Anda di halaman 1dari 10

Tanah Hak Pengelolaan Di Indonesia

Oleh Anisitus Amanat Gaham

Notaris PPAT Di Kendal, Wilayah Jabatan/Kerja Provinsi Jawa


Tengah

TANAH Hak Pengelolaan (HPL) adalah terminologi khas sektor hukum


pertanahan nasional yang saat ini masih eksis dan efektif didayagunakan dalam
lingkungan instansi pertanahan pusat maupun daerah sebagai salah satu unsur
urusan pemerintahan. Makna yuridis yang tersurat dan tersirat dalam terminologi
tersebut adalah gempilan atau pecahan hak menguasai dari negara atas tanah
yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang Hak
Pengelolaan. Pihak-pihak yang dapat menguasai tanah dengan Hak Pengelolaan
ini hanya terbatas pada lembaga-lembaga atau instansi-instansi pemerintah
pusat maupun daerah serta badan-badan usaha milik negara(BUMN) dan daerah
(BUMD).

Walaupun tanah HPL menurut konsepsi hukumnya bukanlah salah satu


jenis hak atas tanah seperti hak milik(HM), hak guna usaha(HGU),hak guna
bangunan(HGB) dan hak pakai(HP) seperti telah diatur dalam pasal 16
UUPA(Undang-Undang Pokok Agraria) Nomor: 5 Tahun 1960, yang mulai berlaku
sejak tanggal 24 September 1960, namun negara cq instansi pertanahan dapat
menerbitkan sertipikat HPL sebagai tanda bukti hak bagi yang empunya tanah
HPL , sehingga dari sisi hukum pertanahan nasional, pemegang HPL atas tanah
mempunyai kedudukan hukum yang kuat dan pasti meski kewenangan yang
terkandung di dalam sertipikat HPL atas tanah tidak seluas dan setara dengan
kewenangan-kewenangan yang inherent terkandung di dalam sertipikat untuk
jenis-jenis hak atas tanah.

Terbatasnya kewenangan yang dimiliki pemegang sertipikat tanah HPL dapat


disimpulkan dari rumusan hukumnya yang menetapkan: pertama, pemegang
HPL mempunyai kewewenang untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan
tanah HPL. Kedua, menggunakan tanah HPL untuk memenuhi kebutuhan
pelaksanaan tugas atau usahanya. Ketiga, menyerahkan bagian-bagian tanah
HPL kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh pemegang
HPL yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan
keuangannya dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak
ketiga dilakukan oleh pejabat-pejabat agraria atau sekarang pertanahan. Dan
keempat, menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib
tahunan( pasal 6 Peraturan Menteri Agraria/PMA Nomor: 9/1965).

Kesimpulan yang dapat kita petik dari formulasi pasal 6 PMA tersebut:
Pertama, legal standing atau kedudukan hukum pemegang HPL atas tanah di
Indonesia tidak setara derajat yuridisnya dengan pemilik hak atas tanah.
Pemegang HPL bukan pemilik tanah melainkan hanya sebatas sebagai wakil
negara yang melaksanakan hak menguasai dari negara atas tanah HPL. Status
hukum tanahnya adalah tanah negara dan bukan tanah hak. Kewenangan
pemegang HPL adalah melaksanakan hak menguasai dari negara atas bidang
tanah HPL untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah HPL,
menggunakan tanah HPL untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan
bagian-bagian tanah HPL yang tidak diperlukan untuk kepentingan pelaksanaan
tugasnya kepada pihak ketiga atau kalangan anggota masyarakat umum dengan
suatu hak atas tanah dan memungut penerimaan negara bukan pajak (PNBP),
uang gani rugi dan/atau uang wajib tahunan(UWT).

Kedua, pemegang HPL atas tanah wajib hukumnya untuk menyerahkan


bagian-bagian tanah HPL tersebut kepada pihak ketiga atau anggota masyarakat
umum hanya sebatas bagian-bagian tanah HPL yang sudah tidak dibutuhkan lagi
oleh pemegang HPL guna memenuhi kebutuhan yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugas instansi atau lembaganya. Dan ketiga, jenis hak atas tanah
yang dapat diberikan kepada pihak ketiga merupakan kewenangan kantor agraria
atau pertanahan dan dalam prakteknya mencakup pula kewenangan untuk
menetapkan jangka waktu berlakunya hak atas bagian tanah di atas HPL yang
diberikan kepada pihak ketiga dengan jenis HGB,HGU atau HP.

Dewasa ini, kewenangan pemegang HPL untuk merencanakan peruntukan dan


penggunaan tanah HPL secara diam-diam dicabut negara via UU Nomor: 26
Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Melalui UU ini, Pemerintah pusat memberi
hak otonomi kepada setiap daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk
membentuk Peraturan Daerah ( Perda) khusus tentang tata ruang. Dampaknya
terhadap pelaksanaan kewenangan pemegang HPL untuk merencanakan
peruntukan dan penggunaan tanah HPL demi hukum dicabut atau hapus oleh
karena setiap daerah sudah mempunyai hak otonomi untuk membentuk perda
tentang tata ruang sendiri. Kalau toh pemegang HPL mau melaksanakan
kewenangan merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah HPL haruslah
disesuaikan dengan perda tata ruang daerah yang mewilayahi letak tanah HPL.

Kewenangan residu yang masih dimiliki pemegang HPL dengan demikian


tinggal kewenangan menggunakan tanah HPL untuk memenuhi kebutuhan
pelaksanaan tugas instansi atau lembaganya, menyerahkan bagian-bagian tanah
HPL yang sudah tidak diperlukannya lagi kepada anggota masyarakat umum
yang memerlukannya dengan suatu jenis hak atas tanah yang ditentukan
instansi pertanahan di daerah sesuai dengan aturan hukum yang sesuai untuk
anggota masyarakat umum penerima hak bagian atas tanah HPL dan menerima
PNBP serta uang wajib tahunan.

Aturan-aturan hukum seputar tanah HPL yang kini tengah berlaku di


Indonesia antara lain PP 40/1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, PP 24/1997 Tentang Pendaftaran Tanah,
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor:
3/1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP 24/1997, dan terbaru PP Nomor;
18/2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun Dan
Pendaftaran Tanah yang aturan teknis pelaksanaannya diatur dalam Peraturan
Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor:
18/2021 Tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan Dan Hak Atas Tanah.

Berdasarkan aturan-aturan hukum terbaru tersebut maka jenis-jenis hak


atas tanah yang dapat diberikan di atas bagian-bagian tanah HPL hanya terbatas
pada HGB, HGU dan HP(lihat pasal 8 PP 18/2021). Pemberian hak milik di atas
tanah HPL yang sudah diatur dalam pasal 4 ayat 1 PMDN Nomor 1/1977 sudah
tidak diatur lagi dan bahkan menurut pasal 14 PP 18/2021 mengatakan bahwa
pemberian hak milik di atas bagian tanah HPL merupakan bukti bahwa status
hukum tanah HPL sudah hapus dan sudah menjadi tanah hak milik pribadi yang
tidak ada ikatan hukumnya lagi dengan pemegang HPL.

Ciri Khas

Salah satu ciri khas sebagai tanda khusus tanah-tanah HPL di Indonesia
adalah Fisik tanahnya adalah hamparan tanah yang luasnya ribuan sampai
ratusan ribu meter persegi dan/atau berhektar-hektar. Tanah-tanah HPL yang
luasnya terbatas dimiliki beberapa pemerintah kabupaten dan kota yang
umumnya digunakan untuk tempat pasar umum, terminal, taman kota atau
taman rekreasi. Sedangkan paling luas dimiliki Badan Otorita Pulau Batam yang
terdiri dari 108 pulau dan semua tanahnya berstatus tanah HPL( pasal 6 Kepres
Nomor: 41/1973). Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memiliki tanah HPL di
bagian utara Kota Semarang sekitar 237 hektar yang data-data fisik dan
yuridisnya tercatat dalam 8(delapan) sertipikat HPL. Beberapa daerah lain seperti
Kalimantan, Bali, Surabaya juga memiliki tanah-tanah HPL tetapi semua
sertipikat hak atas bagian-bagian tanah yang sudah dimiliki pihak ketiga hingga
saat ini belum bisa diperpanjang atau diperbarui sehingga tidak dapat dialihkan
atau dijaminkn atas dasar alasan hukum yang akan diulas pada bagian lain dari
tulisan ini.

Tujuan awal dari penciptaan lembaga hukum tanah HPL diluar UUPA
tersebut pada dasarnya untuk memberi kemudahan kepada instansi atau
lembaga-lembaga negara tingkat pusat maupun daerah serta BUMN dan BUMD
mendapatkan tanah yang akan digunakan sebagai wadah pelaksanaan tugasnya.
Luas tanahnya sengaja tidak dibatasi karena negara tidak bisa memperkirakan
berapa real luas bidang tanah yang akan diperlukan untuk kepentingan
pelaksanakan tugas Instansi atau lembaga-lembaga negara pusat maupun
daerah-daerah.

Sedangkan untuk mencegah penyelahgunaannya oleh pemegang tanah HPL


maka negara dalam format hukum tanah HPL menetapkan: Pertama, semua
bidang tanah HPL harus bersertipikat HPL supaya dapat diketahui nama pemilik,
luas, letak dan batas-batasnya. Kedua, semua bidang tanah yang data-data fisik
dan yuridisnya seperti nama pemilik, luas , letak dan batas-batasnya yang sudah
tercatat dalam sertipikat tanah HPL ditetapkan sebagai bukan jenis hak atas
tanah sehingga tidak bisa dialih atau dijaminkan. Dan ketiga, pemegang tanah
HPL dibebani kewajiban untuk mengalihkan bagian-bagian tanah HPL yang tidak
diperlukan bagi kepentingan pelaksanaan tugasnya kepada pihak ketiga atau
anggota masyarakat umum yang memerlukannya dengan suatu jenis hak atas
tanah sehingga dapat dicegah tanah terlantar dan penguasaan bidang tanah
berlebihan yang tegas dilarang oleh UUPA.

Negara melanggar hukum

Salah satu kewajiban hukum pemegang tanah HPL seperti berulang kali
diutarakan di atas adalah mengalihkan bagian-bagian bidang tanah HPL yang
tidak diperlukan bagi keperluan pelaksanaan tugas instansi atau lembaganya
kepada anggota masyarakat umum yang membutuhkan dengan suatu jenis hak
atas tanah yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku untuk penerima hak
atas bagian tanah HPL. Proses hukumnya diawali dengan penerbitan sertipikat
HPL atas nama pemegang HPL dan kemudian bagian dari bidang tanah HPL yang
tidak diperlukan dapat dialihkan kepada pihak ketiga dengan terlebih dahulu
menerbitkan sertipikat hak atas tanah sesuai luas bidang tanah asal tanah HPL
yang dibutuhkan pihak ketiga berdasarkan perjanjian tertulis antara pemegang
HPL dengan pihak ketiga yang membutuhkan sebagian dari bidang tanah HPL.
Bidang tanah HPL yang sudah bersertipikat hak atas tanah atas nama pemegang
HPL tersebut yang menjadi obyek peralihan melalui sistem jual beli, tukat-
menukar, hibah atau cara peralihan lain yang sah. Pada catatan pinggir(caping)
salah satu halaman sertipikat hak atas tanah yang sudah tercatat atas nama
pemegang HPL maupun yang sudah tercatat atas nama pihak ketiga tertera
tulisan HPL dengan nomor sertipikat HPLnya.

Mekanisme hukum baku tentang peralihan hak atas tanah yang sudah
bersertipikat kepada pihak ketiga dilakukan dengan akta PPAT. Peralihan hak
atas tanah dari penjual kepada pembeli berlangsung demi hukum usai tanda
tangan akta jual beli dihadapan PPAT. Pembeli sejak saat itu sudah punya hak
atau kewenangan untuk merencanakan dan melaksanakan rencana peruntukan
khusus untuk bidang tanah yang sudah dibeli sesuai aturan hukum negara tanpa
perlu intervensi atau izin apapun dari penjual. Semua kewenangan pemilik tanah
beralih demi hukum kepada pembeli tanah sejak saat akta jual beli
ditandatangani dihadapan PPAT.

Ternyata sistem hukum peralihan hak bagian tanah HPL yang sudah
bersertipikat hak atas tanah kepada pihak ketiga selama ini dilakukan negara
dengan melanggar hukum secara terencana, sistematis dan berkelanjutan
terhadap sistem hukum perdata tentang peralihan hak atas tanah. Pelanggaran
hukum yang dilakukan negara tersebut dapat kita amati dari mekanismenya
sebagaimana diatur dalam PP 18/2021 yang rinciannya sebagai berikut:

Pertama, pihak ketiga yang sudah memperoleh (membeli misalnya) bagian


dari bidang tanah HPL yang sudah bersertipikat hak atas tanah dan sudah
didaftar peralihan haknya menjadi atas nama pihak ketiga masih melekat
kewajiban hukum yang harus dilaksanakan pihak ketiga dikemudian hari untuk
minta persetujuan atau rekomendasi dari pemegang HPL apabila hendak
mengalihkan atau menjaminkan hak atas tanah tersebut dengan Hak
Tanggungan(pasal 13 ayat 2 PP 18/2021). Kewajiban hukum kedua adalah minta
surat rekomendasi atau persetujuan pemegang HPL apabila dibelakang hari
bermaksud mengurus perpanjangan atau pembaruan hak atas tanah yang sudah
habis masa berlakukannya. Ketiga, pada saat tanda tangan akta peralihan hak di
hadapan PPAT wajib pula tandatangani perjanjian pemanfaatan tanah HPL.
Keempat, pihak ketiga wajib membayar uang wajib tahunan sesuai dengan
besaran tarif yang ditetapkan negara. Dan kelima, negara melalui pasal 44 ayat
3 huruf f UU Nomor: 1/2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat Dan Pemerintah Daerah menetapkan lagi tanah HPL sebagai hak atas
tanah yang dapat dialihkan dengan kewajiban membayar bea peralihan hak atas
tanah dan bangunan yang disingkat BPHTB, padahal sejak dari awal sampai
dengan PP 18/2021 sudah terang benderang menetapkan tanah HPL sebagai
tanah negara yang tidak dapat dialihkan dan yang dapat dialihkan hanya sebatas
bagian dari tanah HPL yang sudah bersertipikat hak atas tanah.

Rentetan pertanyaan terkait sistem jual beli tanah HPL tersebut adalah
mengapa pemegang HPL masih juga mempunyai kewenangan mengatur pemilik
bagian tanah HPL yang sudah diperoleh pihak ketiga sesuai aturan hukum
peralihan hak seperti kewenangan memberi surat rekomendasi mengalihkan,
menjaminkan, memperpanjang atau memperbarui hak atas tanah? Mengapa
penerima hak atas tanah yang berasal dari pemegang HPL masih harus
menandatangani perjanjian pemanfaatan tanah HPL, padahal hak atas tanah
sudah dialihkan sesuai aturan hukum peralihan hak atas tanah? Bukankah
perjanjian pemanfaatan tanah hanya berlaku antara pemilik tanah dengan pihak
yang bukan pemilik tanah yang memanfaatkan tanah saja? Bukankah peralihan
hak atas tanah yang dilangsungkan sesuai tata cara hukum membawa dampak
peralihan hak atau kewenangan mengurus administrasi dan pemanfaatan tanah
tanpa ada campur tangan mengikat dan menentukan dari pihak yang sudah
mengalihkan hak atas tanah? Perlindungan hukum apa yang bisa didapat secara
cuma-cuma oleh pihak ketiga jika suatu saat kelak tidak diberi rekomendasi yang
diperlukannya dari pemegang HPL? Mengapa tanah HPL yang sudah lama
ditetapkan sebagai tanah negara yang tidak dapat dialihkan tiba-tiba negara via
UU Nomor: 18/2021 menetapkan lagi tanah HPL sebagai tanah yang dapat
dialihkan?

Rentetan pertanyaan di atas kalau dirangkum adalah mengapa pihak


pemilik tanah HPL yang sudah mengalihkan haknya atas tanah dengan menerima
sejumlah uang kompensasi harga tanah masih juga mempunyai kewenangan
mengatur yang bersifat mengikat pihak ketiga selaku pemilik tanah yang sudah
memperolehnya lewat jalur hukum peralihan hak atas tanah yang sah?

Potensi Merugikan

Potensi merugikan dari mekanisme hukum tanah HPL di Indonesia tentu


banyak sekali di luar sana dan tidak gampang diprediksi untuk diformulasikan
satu demi satu dalam tulisan sederhana ini. Potensi yang merugikan pertama
dapat kita tarik dari tidak adanya aturan yang membatasi luas bidang tanah yang
dapat diberi status HPL sehingga membuka peluang terhadap pihak swasta yang
tidak punya legal standing memiliki, menguasai dan memanfaatkan tanah luas
untuk berusaha berkongkalikong dengan instansi atau lembaga negara pusat
atau daerah yang mempunyai legal standing mendapat bidang tanah luas tanpa
batas lewat jalur hukum HPL didorong atau dimotivasi untuk mengajukan
permohonan HPL untuk bidang tanah yang sangat luas supaya bidang tanah
lebih yang tidak diperlukan pemegang HPL dapat dikerjasamakan kepada pihak
swasta sebagai pengelola dengan hak mendapat manfaat atau keuntungan
pribadi. Potensi yang merugikan ini menjadi semakin mungkin terjadi oleh karena
faktor aturan HPL memberi kewenangan kepada pemegang HPL mengalihkan
bagian-bagian tanah HPL kepada pihak ketiga yang memerlukan dengan suatu
hak atas tanah tanpa ada aturan hukum yang membatasi luasnya sehingga
berpotensi mereduksi hak rakyat memiliki, menguasai dan memanfaatkan tanah
karena sudah didominasi oleh pemegang HPL.

Potensi kerugian kedua bagi pihak ketiga yang sudah memperoleh bidang
tanah HPL adalah tidak ada aturan yang memberi perlindung hukum terhadap
bangunan milik pihak ketiga yang sudah dibangun sendiri sesuai aturan hukum
negara atau dibeli bersamaan dengan bagian tanah HPLnya. Faktor potensi
kerugian ini dipandang pantas diangkat untuk dianalisis di sini dengan
mengingat bahwa hukum HPL atas tanah di Indonesia hanya mengatur hak atas
tanah dan tidak mengatur bangunan yang ada di atas tanah HPL yang dibangun
sendiri pihak ketiga atau ikut dibeli pihak ketiga sejak awal membeli tanahnya.
Jadi ada kekosongan hukum terkait tanah HPL di Indonesia yang masih perlu
ditata kembali dalam sistem hukumnya supaya bisa tampil rapi, adil, pasti dan
sempurna.

Potensi kerugian ketiga adalah kalau ada sengketa atau perkara yang
melibatkan pemegang tanah HPL dengan pihak lain mengakibatkan semua proses
up date sertipikat hak atas tanah yang berasal dari bagian tanah HPL atau
permohonan baru maupun perpanjangan jaminan kredit di kantor pertanahan
terblokir demi hukum. Akibat yang diderita pihak ketiga yang sudah memiliki dan
menguasai tanah secara sah adalah tidak bisa memanfaatkan tanah untuk
dijaminkan atau dialihkan guna memenuhi kebutuhan ekonomi. Contoh kasat
mata yang tengah berlangsung saat ini adalah tanah HPL milik Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah yang berlokasi di utara Kota Semarang yang haknya sudah
berakhir sejak tahun 2018 lalu tidak bisa dialihkan, dijaminkan, diperbarui atau
diperpanjang haknya, karena menjadi obyek perkara perdata di pengadilan.
Pemprov Jateng memang sudah menang perkara berdasarkan putusan PK
Mahkamah Agung RI tanggal: 23 Januari 2019, Nomor: 790PK/Pdt/2019 tetapi
urusan mengalihkan, menjaminkan, memperbarui atau memperpanjang
sertipikat HGB yang sudah berakhir masa berlakunya sejak tahun 2018 lalu
bertambah panjang dan semakin rumit lantaran pemerintah pusat lewat PP
18/2021 mewajibkan pihak ketiga membuat perjanjian pemanfaatan tanah HPL
dan membayar uang wajib tahunan yang tarifnya menurut pasal 9 ayat 4 PP
ditetapkan menteri. Menteri sampai hari ini belum juga tetapkan tarif yang
dimaksud yang mengakibatkan luka dan pilunya hati pemilik sekitar 3000
sertipikat eks HGB yang berasal dari HPL milik Pemprov Jateng di Kota Semarang
khususnya dan di daerah-daerah lain seperti Surabaya, Bali dan beberapa daerah
di Kalimantan semakin berdarah-darah dari hantaman ketidakpastian akibat dari
aturan yang tidak tuntas, tidak tegas dan tidak rinci mengatur sehingga tidak
dapat dilaksanakan secara serta merta.

Gubernur Jateng yang memiliki karakter bawaan pro rakyat menjadi tidak
berdaya juga akibat dikandang oleh aturan hukum sektoral dan internal tanah
HPL di Indonesia tentang tarif uang wajib tahunan ditetapkan menteri. Rumusan
tarif uang wajib tahunan dalam pasal 9 ayat 4 PP 18/2021 itu sejatinya sudah
ada dan masih dilaksanakan di lingkungan Otorita Pulau Batam tetapi mengapa
pemerintah pusat tidak mengadopsi sistem hukum HPL yang masih berlaku di
lingkungan internal pemerintah Otorita Pulau Batam tersebut sehingga PP
18/2021 memilik kemampuan hukum dapat dilaksanakan secara serta merta?

Mari kita tunggu seraya berharap penuh akan apa dan kapan Menteri Agraria
dan Tata Ruang/Kepala BPN RI memberi jawaban tuntas dan pasti terkait
pertanyaan ini supaya bisa menyembuhkan luka batin para pemilik bagian tanah
HPL di Jawa, Bali dan Kalimantan yang sudah lama menderita batin akibat
urusan perpanjangan, pembaruan dan pendaftaran jaminan HGB di atas HPL
sampai hari ini belum bisa terlaksana karena terhambat aturan tentang rumusan
tarif uang wajib tahunan yang belum juga diterbitkan menteri.

Kesimpulan
Sistem hukum tanah HPL di Indonesia masih memiliki ruang kosong yang
belum diatur. Aturan-aturan hukum yang ada masih mengandung banyak
kelemahan di sana-sini yang layak diperbaiki supaya segala kemungkinan
dampak kerugian kepada pihak ketiga yang telah memperoleh bagian tanah HPL
secara sah dapat ditekan sampai pada titik minimal. Eksistensi kodrat hukum
jual beli tanah yang menurut penilaian subyektif penulis telah ditabrak dan
dilanggar oleh mekanisme hukum tanah HPL di Indonesia mungkin perlu juga
direhabilitasi sepatutnya.

Kiranya semua pihak terkait di negeri ini dapat mengambil peran sesuai
porsinya masing-masing untuk menata kembali kaedah-kaedah hukum tanah
HPL di Indonesia supaya tampak lebih adil, pasti, terstruktur dan komprehensif.
Tabik.

Anda mungkin juga menyukai