Tanah Hak Pengelolaan
Tanah Hak Pengelolaan
Kesimpulan yang dapat kita petik dari formulasi pasal 6 PMA tersebut:
Pertama, legal standing atau kedudukan hukum pemegang HPL atas tanah di
Indonesia tidak setara derajat yuridisnya dengan pemilik hak atas tanah.
Pemegang HPL bukan pemilik tanah melainkan hanya sebatas sebagai wakil
negara yang melaksanakan hak menguasai dari negara atas tanah HPL. Status
hukum tanahnya adalah tanah negara dan bukan tanah hak. Kewenangan
pemegang HPL adalah melaksanakan hak menguasai dari negara atas bidang
tanah HPL untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah HPL,
menggunakan tanah HPL untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan
bagian-bagian tanah HPL yang tidak diperlukan untuk kepentingan pelaksanaan
tugasnya kepada pihak ketiga atau kalangan anggota masyarakat umum dengan
suatu hak atas tanah dan memungut penerimaan negara bukan pajak (PNBP),
uang gani rugi dan/atau uang wajib tahunan(UWT).
Ciri Khas
Salah satu ciri khas sebagai tanda khusus tanah-tanah HPL di Indonesia
adalah Fisik tanahnya adalah hamparan tanah yang luasnya ribuan sampai
ratusan ribu meter persegi dan/atau berhektar-hektar. Tanah-tanah HPL yang
luasnya terbatas dimiliki beberapa pemerintah kabupaten dan kota yang
umumnya digunakan untuk tempat pasar umum, terminal, taman kota atau
taman rekreasi. Sedangkan paling luas dimiliki Badan Otorita Pulau Batam yang
terdiri dari 108 pulau dan semua tanahnya berstatus tanah HPL( pasal 6 Kepres
Nomor: 41/1973). Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memiliki tanah HPL di
bagian utara Kota Semarang sekitar 237 hektar yang data-data fisik dan
yuridisnya tercatat dalam 8(delapan) sertipikat HPL. Beberapa daerah lain seperti
Kalimantan, Bali, Surabaya juga memiliki tanah-tanah HPL tetapi semua
sertipikat hak atas bagian-bagian tanah yang sudah dimiliki pihak ketiga hingga
saat ini belum bisa diperpanjang atau diperbarui sehingga tidak dapat dialihkan
atau dijaminkn atas dasar alasan hukum yang akan diulas pada bagian lain dari
tulisan ini.
Tujuan awal dari penciptaan lembaga hukum tanah HPL diluar UUPA
tersebut pada dasarnya untuk memberi kemudahan kepada instansi atau
lembaga-lembaga negara tingkat pusat maupun daerah serta BUMN dan BUMD
mendapatkan tanah yang akan digunakan sebagai wadah pelaksanaan tugasnya.
Luas tanahnya sengaja tidak dibatasi karena negara tidak bisa memperkirakan
berapa real luas bidang tanah yang akan diperlukan untuk kepentingan
pelaksanakan tugas Instansi atau lembaga-lembaga negara pusat maupun
daerah-daerah.
Salah satu kewajiban hukum pemegang tanah HPL seperti berulang kali
diutarakan di atas adalah mengalihkan bagian-bagian bidang tanah HPL yang
tidak diperlukan bagi keperluan pelaksanaan tugas instansi atau lembaganya
kepada anggota masyarakat umum yang membutuhkan dengan suatu jenis hak
atas tanah yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku untuk penerima hak
atas bagian tanah HPL. Proses hukumnya diawali dengan penerbitan sertipikat
HPL atas nama pemegang HPL dan kemudian bagian dari bidang tanah HPL yang
tidak diperlukan dapat dialihkan kepada pihak ketiga dengan terlebih dahulu
menerbitkan sertipikat hak atas tanah sesuai luas bidang tanah asal tanah HPL
yang dibutuhkan pihak ketiga berdasarkan perjanjian tertulis antara pemegang
HPL dengan pihak ketiga yang membutuhkan sebagian dari bidang tanah HPL.
Bidang tanah HPL yang sudah bersertipikat hak atas tanah atas nama pemegang
HPL tersebut yang menjadi obyek peralihan melalui sistem jual beli, tukat-
menukar, hibah atau cara peralihan lain yang sah. Pada catatan pinggir(caping)
salah satu halaman sertipikat hak atas tanah yang sudah tercatat atas nama
pemegang HPL maupun yang sudah tercatat atas nama pihak ketiga tertera
tulisan HPL dengan nomor sertipikat HPLnya.
Mekanisme hukum baku tentang peralihan hak atas tanah yang sudah
bersertipikat kepada pihak ketiga dilakukan dengan akta PPAT. Peralihan hak
atas tanah dari penjual kepada pembeli berlangsung demi hukum usai tanda
tangan akta jual beli dihadapan PPAT. Pembeli sejak saat itu sudah punya hak
atau kewenangan untuk merencanakan dan melaksanakan rencana peruntukan
khusus untuk bidang tanah yang sudah dibeli sesuai aturan hukum negara tanpa
perlu intervensi atau izin apapun dari penjual. Semua kewenangan pemilik tanah
beralih demi hukum kepada pembeli tanah sejak saat akta jual beli
ditandatangani dihadapan PPAT.
Ternyata sistem hukum peralihan hak bagian tanah HPL yang sudah
bersertipikat hak atas tanah kepada pihak ketiga selama ini dilakukan negara
dengan melanggar hukum secara terencana, sistematis dan berkelanjutan
terhadap sistem hukum perdata tentang peralihan hak atas tanah. Pelanggaran
hukum yang dilakukan negara tersebut dapat kita amati dari mekanismenya
sebagaimana diatur dalam PP 18/2021 yang rinciannya sebagai berikut:
Rentetan pertanyaan terkait sistem jual beli tanah HPL tersebut adalah
mengapa pemegang HPL masih juga mempunyai kewenangan mengatur pemilik
bagian tanah HPL yang sudah diperoleh pihak ketiga sesuai aturan hukum
peralihan hak seperti kewenangan memberi surat rekomendasi mengalihkan,
menjaminkan, memperpanjang atau memperbarui hak atas tanah? Mengapa
penerima hak atas tanah yang berasal dari pemegang HPL masih harus
menandatangani perjanjian pemanfaatan tanah HPL, padahal hak atas tanah
sudah dialihkan sesuai aturan hukum peralihan hak atas tanah? Bukankah
perjanjian pemanfaatan tanah hanya berlaku antara pemilik tanah dengan pihak
yang bukan pemilik tanah yang memanfaatkan tanah saja? Bukankah peralihan
hak atas tanah yang dilangsungkan sesuai tata cara hukum membawa dampak
peralihan hak atau kewenangan mengurus administrasi dan pemanfaatan tanah
tanpa ada campur tangan mengikat dan menentukan dari pihak yang sudah
mengalihkan hak atas tanah? Perlindungan hukum apa yang bisa didapat secara
cuma-cuma oleh pihak ketiga jika suatu saat kelak tidak diberi rekomendasi yang
diperlukannya dari pemegang HPL? Mengapa tanah HPL yang sudah lama
ditetapkan sebagai tanah negara yang tidak dapat dialihkan tiba-tiba negara via
UU Nomor: 18/2021 menetapkan lagi tanah HPL sebagai tanah yang dapat
dialihkan?
Potensi Merugikan
Potensi kerugian kedua bagi pihak ketiga yang sudah memperoleh bidang
tanah HPL adalah tidak ada aturan yang memberi perlindung hukum terhadap
bangunan milik pihak ketiga yang sudah dibangun sendiri sesuai aturan hukum
negara atau dibeli bersamaan dengan bagian tanah HPLnya. Faktor potensi
kerugian ini dipandang pantas diangkat untuk dianalisis di sini dengan
mengingat bahwa hukum HPL atas tanah di Indonesia hanya mengatur hak atas
tanah dan tidak mengatur bangunan yang ada di atas tanah HPL yang dibangun
sendiri pihak ketiga atau ikut dibeli pihak ketiga sejak awal membeli tanahnya.
Jadi ada kekosongan hukum terkait tanah HPL di Indonesia yang masih perlu
ditata kembali dalam sistem hukumnya supaya bisa tampil rapi, adil, pasti dan
sempurna.
Potensi kerugian ketiga adalah kalau ada sengketa atau perkara yang
melibatkan pemegang tanah HPL dengan pihak lain mengakibatkan semua proses
up date sertipikat hak atas tanah yang berasal dari bagian tanah HPL atau
permohonan baru maupun perpanjangan jaminan kredit di kantor pertanahan
terblokir demi hukum. Akibat yang diderita pihak ketiga yang sudah memiliki dan
menguasai tanah secara sah adalah tidak bisa memanfaatkan tanah untuk
dijaminkan atau dialihkan guna memenuhi kebutuhan ekonomi. Contoh kasat
mata yang tengah berlangsung saat ini adalah tanah HPL milik Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah yang berlokasi di utara Kota Semarang yang haknya sudah
berakhir sejak tahun 2018 lalu tidak bisa dialihkan, dijaminkan, diperbarui atau
diperpanjang haknya, karena menjadi obyek perkara perdata di pengadilan.
Pemprov Jateng memang sudah menang perkara berdasarkan putusan PK
Mahkamah Agung RI tanggal: 23 Januari 2019, Nomor: 790PK/Pdt/2019 tetapi
urusan mengalihkan, menjaminkan, memperbarui atau memperpanjang
sertipikat HGB yang sudah berakhir masa berlakunya sejak tahun 2018 lalu
bertambah panjang dan semakin rumit lantaran pemerintah pusat lewat PP
18/2021 mewajibkan pihak ketiga membuat perjanjian pemanfaatan tanah HPL
dan membayar uang wajib tahunan yang tarifnya menurut pasal 9 ayat 4 PP
ditetapkan menteri. Menteri sampai hari ini belum juga tetapkan tarif yang
dimaksud yang mengakibatkan luka dan pilunya hati pemilik sekitar 3000
sertipikat eks HGB yang berasal dari HPL milik Pemprov Jateng di Kota Semarang
khususnya dan di daerah-daerah lain seperti Surabaya, Bali dan beberapa daerah
di Kalimantan semakin berdarah-darah dari hantaman ketidakpastian akibat dari
aturan yang tidak tuntas, tidak tegas dan tidak rinci mengatur sehingga tidak
dapat dilaksanakan secara serta merta.
Gubernur Jateng yang memiliki karakter bawaan pro rakyat menjadi tidak
berdaya juga akibat dikandang oleh aturan hukum sektoral dan internal tanah
HPL di Indonesia tentang tarif uang wajib tahunan ditetapkan menteri. Rumusan
tarif uang wajib tahunan dalam pasal 9 ayat 4 PP 18/2021 itu sejatinya sudah
ada dan masih dilaksanakan di lingkungan Otorita Pulau Batam tetapi mengapa
pemerintah pusat tidak mengadopsi sistem hukum HPL yang masih berlaku di
lingkungan internal pemerintah Otorita Pulau Batam tersebut sehingga PP
18/2021 memilik kemampuan hukum dapat dilaksanakan secara serta merta?
Mari kita tunggu seraya berharap penuh akan apa dan kapan Menteri Agraria
dan Tata Ruang/Kepala BPN RI memberi jawaban tuntas dan pasti terkait
pertanyaan ini supaya bisa menyembuhkan luka batin para pemilik bagian tanah
HPL di Jawa, Bali dan Kalimantan yang sudah lama menderita batin akibat
urusan perpanjangan, pembaruan dan pendaftaran jaminan HGB di atas HPL
sampai hari ini belum bisa terlaksana karena terhambat aturan tentang rumusan
tarif uang wajib tahunan yang belum juga diterbitkan menteri.
Kesimpulan
Sistem hukum tanah HPL di Indonesia masih memiliki ruang kosong yang
belum diatur. Aturan-aturan hukum yang ada masih mengandung banyak
kelemahan di sana-sini yang layak diperbaiki supaya segala kemungkinan
dampak kerugian kepada pihak ketiga yang telah memperoleh bagian tanah HPL
secara sah dapat ditekan sampai pada titik minimal. Eksistensi kodrat hukum
jual beli tanah yang menurut penilaian subyektif penulis telah ditabrak dan
dilanggar oleh mekanisme hukum tanah HPL di Indonesia mungkin perlu juga
direhabilitasi sepatutnya.
Kiranya semua pihak terkait di negeri ini dapat mengambil peran sesuai
porsinya masing-masing untuk menata kembali kaedah-kaedah hukum tanah
HPL di Indonesia supaya tampak lebih adil, pasti, terstruktur dan komprehensif.
Tabik.