Anda di halaman 1dari 4

Apa tujuan hidupmu?

Di tengah dunia yang semakin dinamis, kita seakan-akan dipaksa untuk memihak
atau berperang dengan keadaan. Hal ini menimbulkan dilema. Keberpihakan untuk menikmati kemajuan
hidup membuat kita terlena dan tergerus. Kita harus berperang melawan distraksi teknologi berlebihan.
Namun sungguhkah kita harus berperang? Apakah itu memberikan kita sebuah kebahagiaan yang kita
inginkan? Kita membutuhkan sebuah falsafah hidup 1, untuk mencapai kebahagiaan tersebut tanpa
beperang dan terdistraksi.

Sama seperti dahulu, kala filsafat lahir melawan mitos Yunani dan pencarian arche2 (thales,
miletus sekitar 6SM), filsafat menjadi cara untuk meraih kebahagiaan. Sama seperti situasi saat ini, jika
kita mulai berkaca padanya kita mulai berpikir apa yang harusnya menjadi terbaik dan apa kebahagiaan
sejati bagi hidup kita. Kemenarikan zaman mendistraksi disposisi dan menimbulkan habitus yang
kosong3. Yakni dengan apakah kita seharusnya mengisi kekosongan hidup itu?

Filsafat Stoikisme sedang booming sekarang, terutama di kalangan anak muda. Di platform
Twitter contohnya, perbincangan ini menjadi sangat diminati dan berkelanjutan. Setidaknya ada 1.260
pencarian tentang stoikisme dalam sehari di Google. Hal ini menarik, karena banyak orang mulai
mencari apa yang terbaik untuk dirinya. Lalu mereka mulai melabeli diri mereka sebagai seorang stoik.
Tapi apakah mereka sungguh mengerti apa itu stoikisme dan pemahamannya?

Stoikisme adalah filsafat kuno dari Yunani. Dengan kata lain filsfat stoikisme tidak segampang
untuk mengatakan, saya adalah seorang stoik: seperti dalam suatu kutipan di Twitter, “Bagian dari stoik
yang aku jalani adalah semudah ada orang yang janjian dari lama sama kita. Hari H beliau cancel dan kita
biasa, santai saja.” (akun Twitter @krisnafigrianto, 17 Desember 2022) 4. Pemahaman tentang Stoikisme
yang lebih jauh dari sekadar adopsi personal belaka, namun butuh penjelasan (bahkan lebih dari itu,
stoikisme memiliki sistem logikanya sendiri). Semakin banyak stoikisme itu dibicarakan, maka stoikisme
akan semakin banyak mengalami simplikasi, penyederhanaan makna. Proses simplikasi ini yang
membuat banyak orang menjiplak hanya sebagian atau bisa disebut sebagai poser5, sebatas ikut-ikut
karena tren yang eksis. Mereka takut ketinggalan, lalu karena Stoikisme menarik, diadopsi sebagai
falsafah bagi hidupnya.

Seperti halnya simplikasi pada umumnya, stoikisme yang disimplikasikan mengalami degradasi
keaslian. Dengan kata lain, apa yang diadopsi tentang stoikisme oleh anak muda dari satu orang ke
orang yang lain tak lagi asli. Dalam tulisan ini stoikisme akan dilihat dari sudut pandang dan sejarahnya
serta bagaimana anak muda bisa mengadopsinya.

1
Irvine, William.B. 2009. A Guide to the Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy. New York: Oxford University Press.
2
Cari nanti
3
Ambil dari Blaise Pascal
4
Diakses dari https://twitter.com/krisnafigrianto/status/1603929486730604544 pada 02 Januari 2023, pukul 14.53
WIB.
5
2.1. Sejarah Filsafat Stoa
Filsafat stoa lahir kira-kira 300 tahun sebelum masehi ketika seorang pedagang kaya dari
Siprus(sebuah pulau di Selatan Turki) yaitu Zeno. Zeno sedang melakukan perjalanan
perdagangan menggunakan kapal laut dari Phoenicia ke Peiraeus. Namun kapal yang
ditumpangi Zeno tenggelam sehingga barang dagangan Zeno (sebuah pewarna tekstil
yang mahal) pun tenggelam. Bukan hanya itu Zeno pun terdapar di kota yang sangat
asing baginya, yaitu Atehna.
Suatu hari, Zeno mengunjungi toko buku di Atena dan ia merasa tertarik pada
sebuah buku filsafat yang ditulis para fulsuf. Karena penasaran Zeno bertanya kepada
penjual buku di manakah ia bisa bertemu dengan para filsuf. Lalu kebetulan seorang
filsuf yang bernama Crates melintas toko buku itu dan Zeno pun akhirnya pergi
mengikuti Crates untuk belajar filsafat darinya.
Zeno pun belajar banyak aliran filsafat salah satunya dari fulsuf Epikuros. Namun
Zeno banyak menentang pemikiran Epikuros dan membuat Zeno mulai mengajar tentang
pikiranya sendiri. Karena Zeno adalah orang asing di Atena, ia tidak boleh memiliki
ruangan atau Gedung snediri makai a mengajar di tempat umum yaitu Stoa Poikile yang
berarti “Serambi beriang warna-warni” karena itu mazhab ini dikenal sebagai Stoa dan
para pengikutnya disebut “stoisi”

2.2 Konsep Kebahagiaan Stoa


Menurut Aristoteles, semua orang percaya bahwa kebaikan tertinggi (atau disebut
ευδαιμονία-eudaimonia), adalah kebahagiaan. Secara etiomologi kata eudaimonia
berasal dari bahasa Yunani. Kata “eu” berarti ‘baik” atau “bagus” dan “daimon” berarti
“roh, dewa, kekuatan batin atau jiwa”. Ini mengartikan bahwa eudaimonia adalah jiwa
yang berbahagia atau jiwa yang baik. Dengan kata lain kebahagiaan adalah sebuah
kondisi kehidupan manusia yang ditandai dengan karakter dan intelektualitas yang baik
dan berkembang penuh.
Namun di era modern ini banyak orang yang percaya bahwa kebahagiaan terdiri
dari kesenangan dan kenikmatan. Seperti makan, minum, bekerja, seks, dan semua
aktivitas manusia yang membuat manusia itu senang. Seperti anggapan bahwa jika saya
kaya maka saya pasti bahagia atau jika saya berpenampilan baik, berbody yang seksi,
berparas cantik, ganteng dan bersih pasti banyak yang mengikuti saya. Sebaliknya jika
saya miskin maka saya tidak akan punya teman, atau jika tubuh saya gemuk maka saya
akan dihujat banyak orang.
Menanggapi problem itu filsafat stoic hadir. Para filsuf stoa berpendapat bahwa
jalan mencapai kebahagiaan ialah dengan bergantung penuh kepada kebajikan (Virtue).
Artinya tidak apa-apa jika saya miskin, sakit, atau kehilangan orang tersayang. Yang
terpenting ialah saya hidup dengan kebajikan maka saya tetap berbahagia. Seperti kata
seorang stoa baru yang lahir di Cordoba, Spanyol yaitu Seneca. Ia berkata “Akal budi
adalah hal terbaik yang dimiliki oleh manusia”. Binatang dan tumbuhan itu tidak
memiliki akal budi. Hanya manusialah yang memiliki akal budi. Oleh karena itu Akal
budi yang digunakan dan disempurnakan dengan selaras dengan alam adalah kebajikan.
Dan akal budi adalah kunci menuju kebahagiaan. Contohnya ketika sedang lari pagi tiba-
tiba menginjak kotoran hewan lalu orang itu marah-marah. Itu bukanlah kebajikan
karena kodratnya memang sudah demikian. Disinilah peran akal budi yang harus
menahan emosi dan berpikir rasional bahwa dengan terinjaknya kotoran hewan itu
karena ternya orang itu sedang tidak fokus melihat jalan.
Selanjutnya ialah Marcus Aurelius Epictetus seorang budak yang mengikuti
ajaran stoa untuk mendapatkan kebebasan batinya. Semasa hidupnya Epictetus
mengalami banyak siksaan yang berat sebelum dia dibebaskan. Ia mendapatkan
kebebasan batinya melalui prinsip dikotomi kendali. Menurut kaum Stoa sebenarnya ada
banyak hal-hal yang dapat dikendalikan dan ada juga yang tidak bisa dikendalikan oleh
manusia. Seperti Kesehatan, pendapat orang lain, kekayaan, keadaan alam, dan segala
hal yang berada diluar diri manusia. Sedangkan opini pribadi, perasaan, keinginan,
persepsi pribadi, tujuan, dan segala sesuatu yang berada dalam diri manusia itu dapat
dikendalikan. Dan kebahagiaan sejati terletak pada apa yang dapat dikendalikan oleh diri
manusia itu. Maka jangan pernah mengantunggkan kebahagiaan pada segala sesuatu
yang tidak bisa dikontrol oleh diri manusia. Maksudnya ialah jika saya kaya maka saya
bahagia. Konsep bahagia ini tidak masuk akal, sangat absurd dan paling tidak autentik.
Karena konsep ini mengandalkan sesuatu hal yang tidak bisa dikendalikan oleh diri
padahal seharusnya karena bisa dikendalikan maka dapat bahagia.
2.3 Kelemahan Stoikisme

Dalam kehidupan manusia ada sebuah prinsip dualisme dimana ada kebaikan pasti ada
kejahatan, dimana ada kelebihan ada juga kelemahan. Aliran filsafat stoikisme pun demikian
memiliki sebuah kelemahan anatara lain :

1.

Anda mungkin juga menyukai