Anda di halaman 1dari 3

Pengaruh Syi’ah Terhadap Modernisme Iran

Iran sebagai negara dengan penganut Syi’ah terbesar di dunia, bukan hanya
menjadikan Islam dengan mazhab Syi’ah sebagai panutan teologis dan ritual, tapi ajaran
Syiah cukup mendominasi dalam kehidupan sosial dan pemerintahan bangsa Iran. Awalnya
bangsa Iran adalah penganut Sunni mazhab Hanafi dan Syafi’i, dan selama beberapa waktu
penganut keduanya mengalami pertikaian yang sengit. Mazhab Syiah kemudian menemukan
momentumnya dalam sejarah politik Iran yaitu pada saat meletusnya revolusi Islam Iran
tahun 1979. Terjadi revolusi total pada semua lini kehidupan sosial dan politik bangsa Iran.
Bangsa Iran mengukir sejarah baru dalam perjalanannya, yaitu sistem monarki yang telah
bertahan lebih dari 25 abad diganti dengan sistem pemerintahan yang memadukan antara
sistem pemerintahan modern dan sistem politik Islam Syi’ah, yaitu Imamah.
Peristiwa revolusi Islam 1979, Syiah berhasil maju ke depan sebagai alat yang
teramat hidup bagi gerakan massa yang cukup efektif dengan meneguhkan identitas dan
sistem nilai yang bukan Barat. Akhirnya Islam Syi’ah menjadi sebuah ideologi dengan ulama
sebagai avant gardenya.1 Walhasil, Islam Syiah akhirnya menjadi sebuah ideologi
revolusioner yang memantik hadirnya sebuah kekuatan massa yang cukup massif dan
berhasil menggulingkan kekuasaan Syah Reza Pahlevi. Setelah keberhasilan revolusi Islam
1979, mulailah terjadi pembenahan secara besar-besaran dalam pembentukan struktur sosial
dan pemerintahan negara Iran. Mazhab Syiah Imamiyah dijadikan sebagai mazhab resmi
negara sekaligus ideologi negara.
Dalam keyakinan Syiah Imamiyah, setelah Rasulullah saw wafat, maka
kepemimpinan dilanjutkan oleh 12 imam mulai dari Ali bin Abi Thalib hingga imam yang
terakhir yaitu Muhammad bin Hasan al-Mahdi al-Muntazhar. Dalam keyakinan Syiah
imamiyah, imam yang terakhir ini mengalami kegaiban sugra selama 70 tahun kemudian
mengalami kegaiban kubra (mulai dari tahun 270 H) hingga akhir zaman. Oleh karena itu,
dalam pandangan mazhab Syiah Imamiyah, Imam Mahdi masih hidup dan masih menjadi
pemegang kekuasaan yang sah, dan karena Imam Mahdi masih hidup maka lembaga Imamah
juga masih tetap hidup.
Dalam sejarah kontemporer, tiga "lingkaran" yang tidak bisa dipisahkan yaitu:
seorang "aktor pemimpin" Ayatullah Khomeini, Iran, dan mazhab Syiah. Artinya, siapapun
tidak bisa berbicara tentang Iran (kontemporer) tanpa menyebut nama Ayatullah Khomeini

1
John L. Esposito, Islam and Politics, Diterjemahkan oleh HM. Rasyidi dengan Judul Islamdan Politik, (Cet, I;
Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990), h. 265-266.
dan Syiah. Begitu pula tidak mungkin berbicara tentang Ayatullah Khomeini tanpa menyebut
Iran dan Syiah, dan seterusnya. Iran dan Syiah begitu melekat pada figur Ayatullah
Khomeini, setidaknya karena keberhasilan Ayatullah menggerakkan Revolusi Islam Iran
yang salah satu dampaknya adalah meluasnya kajian-kajian tentang salah satu mazhab dalam
Islam, yang sebelumnya "kurang begitu dikenal". Dengan kata lain, Ayatullah Khomeinilah
yang berjasa "mempopulerkan" mazhab Syiah.2 Namun juga perlu diketahui bahwa dalam
modernisme Iran juga melibatkan banyak tokoh syi’ah meskipun masih memiliki perbedaan
model pemikiran tentang politik dan Islam. Salah satu tokoh yang terkenal ialah Ali Syari’ati.
Namun berbeda dengan al-Khomeini, Ali Syari’ati tidak seberhasil al-Khomeini dalam
menggulingkan rezim monarki pada waktu itu.
Diantara pokok-pokok pikiran Ayâtullah Khomeini yang relevan dengan konteks
pembahasan mengenai keterkaitan antara agama dengan politik dalam madzab Syi’ah
diantaranya adalah: Pertama, Imam Husein memberontak dan menjadi martir guna mencegah
berdirinya monarki dan pewarisan tahta secara turun temurun. Kedua, Islam bersifat politis,
karena al-Qur’an memuat 100 kali lebih banyak ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah
masalah sosial daripada soal-soal ibadah. Dari lima puluh kitab hadis, barangkali
hanya ada tiga atau empat yang membahas soal shalat atau kewajiban manusia terhadap
Tuhan, dan sebagian kecil mengenai moralitas, selebihnya, selalu ada sangkut pautnya
dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, hukum, dan politik. Ketiga, pemisahan agama
dengan politik serta adanya tuntutan agar ulama tidak ikut campur dalam masalah sosial
politik merupakan bagian dari propaganda imperialisme. Para ulama yang enggan melibatkan
diri dalam masalah sosial-politik sama saja dengan menolak kewajiban dan misi yang
didelegasikan kepada mereka oleh para Imam. Mereka yang ingin mengecilkan kekuasaan
para ulama dan menghancurkan kehormatan mereka di antara rakyat adalah “pengkhianat
negara”.
Keempat, Para faqih memiliki hak sebagai wakil imam dalam semua aspek
keagamaan, sosial dan politik. Kelima, Negara Islam harus menjamin keadilan sosial,
demokrasi yang sesungguhnya, dan kemerdekaan yang murni dari kapitalisme. Keenam,
hukum Islam menyediakan cetak biru (blue print) bagi negara dan masyarakat, di mana
eksekutif bertugas melindungi dan mengawal, sedangkan yudikatif berfungsi menerapkan
hukum Islam tersebut. Ketujuh, pemerintahan Islam adalah pemeritahan rakyat dengan
berpegang pada hukum Tuhan. Kedelapan, dalam pemerintahan Islam, kaum ulama
menduduki posisi, baik sebagai pengawal, penafsir, maupun pelaksana hukumhukum Tuhan.
2
M. Riza Sihbudi, Biografi Politik Imam Khomeini, (Jakarta: Gramedia, 1996), him. 15.
Kesembilan, Selama ghaibnya Imam Mahdi tidak berarti berhentinya peran politik umat
Syi’ah. Dalam rangka membangun masyarakat dan negara Islam, kaum Muslim tidak boleh
menunggu (dengan pasif) sampai kembalinya Imam Mahdi. Kesepuluh, pemerintahan Islam
yang benar adalah sebuah pemerintahan konstitusional dengan al-Qur’an dan Hadis sebagai
konstitusinya.3
Gagasan Imam Khomeini tentang penyatuan antara agama dan politik itu pada
dasarnya betul-betul terimplementasi dalam kehidupan di Iran.Bahkan sampai dalam bentuk
ritual keagamaan selalu dikaitkan dengan “ritual politik”. Contoh paling jelas adalah dalam
pelaksaanaan shalat Jum’ah.Di Iran yang mayoritas penduduknya penganut madzhab Syi’ah,
shalat Jum’ah sangat bernuansa politik (mungkin seperti pula pada saat Nabi). Bahkan selama
berlangsungnya revolusi 1979, peringatan empat puluh hari meninggalnya mereka yang
menentang Syah dengan mudah menjadi suatu mobilitas politik untuk melawan tirani. Begitu
pula, bentuk-bentuk ritual keagamaan lainnya seperti upacara yang berlangsung selama bulan
Muharram (untuk mengenang syahidnya Imam Husein), yang kemudian menjadi sarana aksi
anti rezim Syah.4

3
Ayâtullah Khomeini, Islamic Government (Roma: European Islamic Cultural Centre, 1983), hlm. 47-77
4
Mohsen M. Milani, “Political Participation in Revolutionary Iran”, dalam John L. Esposito (ed.), Political Islam:
Revolution, Radicalism, or Reform? (London: Lynne Rienner Publisher, 1997), hlm. 81.

Anda mungkin juga menyukai