Anda di halaman 1dari 7

SEJARAH PEMIKIRAN :

POLITIK ABUL A’LA AL-MAUDUDI


Oleh:
Rian Fahrizal Azmi (21101020047)
Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

A. PENDAHULUAN
Kehadiran dasar agama menjadi anggapan sebagai pilihan yang sebenarnya
bagi umat Islam dan diharapkan dapat membuat umat islam kembali pada keemasannya
dengan mempedomani kepada Al-Quran dan hadis nabi. Salah satu cara untuk
mengembalikan keemasan Islam zaman dahulu tidak terdapat cara lain selain
membentuk serta mewujdukan suatu negara Islam sebagai sebuah tindakan nyata
pelaksanaan syariat Islam secara penuh. Sebab sebuah kelompok bahwa Islam adalah
keyakinan sekaligus negara.
Opini serupa bahkan lebih tegas mengenai hubungan antara Islam serta negara
dinyataan oleh al- Maududi ia mengungkapkan secara lebih tegas bahwa Islam bersama
Al-quran tak hanya berisikan ibadah, moral, serta etika saja. Tetapi didalamnya juga
terdapat tuntunan dalam bidang sosial, politik, serta ekonomi bahkan mengai hukum
negara serta institusi kenegaraan. Berbagai macam aturan yang ada dalam al-Qur’an
mestilah diwujudkan dalam kenyataan salah satu caranya yaitu dengan mendirikan
agama Islam yang berbasis hukum Islam secara utuh. Menurutnya kita haruslah
menegaskan hukum ilahi sejajar dengannya serta menjadi aturannya sebagai undang-
undang negara. Ia juga memberikan tambahan, apabila langkah ini tidak dilakukan
maka tidak akan dapat untuk menegakkan agama secara sempurna tapi jika sebagian
kecil saja dari agama, dan jikalau ini terjadi maka akan terjadi penolakan atas agama itu
sendiri.
Dalam hal ini pemikiran Abu A’la Al-Maududi yang secara tegas berkomentar
perihal betapa pentingnya negara Islam. Bahkan lebih dari itu, pemikiran Abu Al-
Maududi terkait dengan negara Islam merupakan sebuah pemikiran yang paling
lengkap dan berkelanjutan dibandingkan dengan beberapa pemikir Islam kontemporer
lainnya. Tulisan ini berusaha untuk melihat secara intensif pemikiran politik Abu A’la
Al-Maududi yang berserakan dengan sejumlah karyanya. Hal ini penting sebagai suatu
alasan mengingat pemikiran-pemikirannnya disenangi serta dijadikan panduan oleh
beberapa organisasi masyarakat kegamaan.di Indonesia.
B. PEMBAHASAN
1. Biografi Abul A’la Al-Maududi
Abul A’la al-Maududi merupakan salah seorang ulama abad ke-20 dan
penggagas Jamaat al-Islami (Partai Islam). Al-Maududi merupakan seorang ahli
filsafat, sastrawan, dan aktifis dalam pergerakan dan perjuangan Islam di seluruh
dunia. Abul A’la al-Maududi mendapat ilham dari perjuangan Sayyid Qutb di Mesir
yaitu Jamaah al-Ikhwan al-Muslimun. Sebagaimana Sayyid Qutb, Maududi
merupakan tokoh perjuangan Islam seluruh dunia.
Abul A’la Al-Maududi dilahirkan pada tanggal 3 Rajab 1321 H / 25
September 1903 M di Aurangabad yang merupakan salah satu kota terkenal di India.
Ia dilahirkan dari keluarga terhormat, dan merupakan keturunan dari Nabi
Muhammad SAW melalui Khawajah Maunuddin Ajmeri, inilah sebabnya ia
memakai nama Sayyid.1 Selain itu, Dilihat dari sejarah keluarga Al-Maududi memiliki
hubungan erat dengan dinasti Moghul, utamanya pada pemerintahan Bahadur Syah
Zhafar (penguasa terakhir).2 Ayahnya, Ahmad Hasan, berprofesi sebagai pengacara
yang taat beragama sekaligus menjadi guru pertama bagi Maududi. Sang ayah,
Ahmad Hasan pernah menempuh pendidikan di Universitas Aligarh, namun ayahnya
hanya menempuh pendidikan sebentar dikarenakan pola pendidikan di Universitas
tersebut adalah kebarat-baratan. Ketika menjadi seorang pengacara, beliau sangat
selektif dalam memilih kliennya. Beliau enggan mengerjakan hal-hal yang
menyimpang dari agama dan bertentangan dengan hati kecilnya, maka dari itu beliau
banyak ditinggalkan oleh para kliennya.
Al-Maududi berasal dari keluarga yang agamis. Saat masih kecil beliau
belajar bahasa Urdu, Persia, Arab, Fiqh, dan Hadist. Ayahnya menginginkan jika al-
Maududi menjadi seorang Mulia, dan tidak memperbolehkan al-Maududi belajar
bahasa Inggris. Namun akhirnya beliau mempelajari bahasa Inggris dan berbagai
disiplin ilmu pengetahuan modern lainnya setelah sang ayah meninggal dunia.
Pemikiran yang mempengaruhi dirinya dan berperang penting dalam pembentukan
pemikirannya yaitu pemikiran dari Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyim, dan Syah Waliullah.3

1
A Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern; di India dan Pakistan, (Bandung : Mizan, 1993), hal. 238
2
Kesuma dkk, Pemikiran Politik Abu A’la Al Mawdudi, (Lampung : IAIN Raden Intan, 2015), hal. 326
3
Ainur Ropik, Studi Komparasi Pemikiran Abul A’la Maududi Dengan Muhammad Natsir Tentang Konsep
Negara Islam, (Palembang: IAIN Raden Fatah, 2012), hal. 174-175
Sejak kecil Al-Maududi memperoleh pendidikan di rumahnya yang
kemudian masuk ke sekolah menengah Madrasah Fawqaniyah, suatu madrasah yang
menggabungkan pendidikan Barat modern dengan pendidikan Islam tradisional. 4
Keinginan al-Maududi untuk melanjutkan pendidikan harus terkubur dikarenakan
perekonomian dan keadaan ayahnya yang sakit. Kemudian beliau ikut ayahnya pindah
ke Hyderabad, disana beliau dapat melanjutkan pendidikan di Dar al-Ulum, di
Deoband, sebuah institut tempat untuk mencetak para ulama yang kharismatik di India
saat itu. Maududi menempuh pendidikannya hanya enam bulan saja, dikarekan harus
merawat ayahnya yang sakit, namun akhirnya meninggal dunia. Al-Maududi terus
belajar menambah ilmu secara mandiri, walaupun pendidikan formalnya terlah
terputus. Hal ini bisa terjadi berkat kemampuannnya menguasai bahasa asing yaitu
bahasa urdu (bahasa ibu), Arab, Persia, dan Inggris. Sehingga dari kemampuannya ini
beliau dapat belajar dari para ulama yang berpengalaman.5
Setelah tidak bersekolah lagi, al-Maududi bekerja sebagai Jurnalis. Pada
1918 beliau banyak menyumbangkan tulisan-tulisan dan mengirimnya ke surat kabar
dengan menggunakan bahasa urdu. Beliau pernah menjadi editor harian Taj, Jabalpur,
lalu menjadi editor di Al-Jami’ah, Delhi, yang merupakan satu surat kabar Muslim
India yang populer pada abad ke 19-20. Tahun 1929 ketika beliau berumur 26 tahun,
beliau telah menerbitkan sebuah karya yang cemerlang dan fenomenal, yaitu al-jihad
fi al-Islam (perang suci dalam Islam). Buku ini belum pernah ada sebelumnya di
literatur Islam dan tidak ada bandingannya walaupun dalam bahasa arab. Maududi
pindah ke Hyderabad (Deccan) serta tahun 1932 mulai menerbitkan Tarjuman Al-
qur’an jurnal bulanan yang dipersembahkannya demi kebangkitan Islam. Jurnal ini
menjadi pelopor untuk kebangkitan kembali kaum elit terpelajar India.6

2. Pemikiran Politik Abul A’la Al-Maududi


Dalam banyak karyanya, Maududi menguraikan pandangannya soal Islam
baik teologi, hukum, filsafat dan mistisisme. Disini ia menganjurkan supaya bacaan
Islam itu interpretatif, dengan maksud menggerakkan kesalehan dan Iman menjadi
aksi politik. Maududi mengembangkan gagasan Islamnya untuk menggantikan
ideologi Barat yang dianut pemimpin intelektual muslim ketika itu. Bukan saja
4
A Mukti Ali, hal. 238
5
Muhammad Iqbal, Implementasi Pemikiran Politik Abu Al A’la Al-Maududi Dalam Dinamika Politik
Kontemporer, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2006), hal. 16
6
Ibid
ideologi Barat itu asing bagi pandangan dunia muslim, tapi lebih-lebih mengancam
kepentingan Muslim.7
Pokok pikiran dari al-Maududi mengenai kenegaraan, dilihat dari banyak
pemikiran mengenai politik Islam, hanya al-Maududi yang mengemukakan konsep
kenegaraan yang lebih rinci dan lengkap. Dalam formula pemikiran al-Maududi,
secara singkat model negara yang ditegakkan adalah pokok tahuhid (kemahaesaan
Allah), risalah (Kerasulan Muhammad), dan yang terakhir Khalifah. Menurut beliau,
syarat-syarat untuk menjadi penguasa ialah merupakan seorang muslim, laki-laki,
dewasa, berakal, dan warga negara dari negara islam dimana pemilihan itu
berlangsung.
. Terdapat 3 pokok dasar yang menjadi landasan dalam pemikiran Maududi
mengenai kenegaraan antara lain menurut islam:
a. Islam merupakan agama yang lengkap, dengan segala petunjuk untuk setiap
aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik. Yang berarti dalam Islam
ada sistem politiknya. Jadi umat islam jika ingin berpolitik tidak perlu atau
bahkan tidak boleh menggunakan politik dari Barat. Hanya cukup menggunakan
sistem politik Islam dengan merujuk pada politik pada masa Khulafaur Ar
Rasyidin sebagai model politik islam.
b. Kekuasaan tertinggi yang terdapat di istilah politik disebut kedaulatan, adalah
pada Allah, insan hanya sebagai pelaku dari kedaulatan Allah tersebut sebagai
khalifah Allah di bumi, maka dari itu kedaulatan rakyat tidak dapat dibenarkan,
sebagai khalifah Allah di bumi, manusia dan negara seharusnya mematuhi
hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
c. Sistem politik Islam merupakan sistem universal, tanpa mengenal batas, dan
ikatan-ikatan geografi, bahasa dan kebangsaan.8
Menurut al-Maududi cuma Amir lah satu-satunya yang dapat menerima
ketaatan serta kesetiaan rakyat, rakyat juga telah mewakilkan sepenuhnya hak mereka
untuk mengambil sebuah keputusan tentang semua masalah yang berkaitan dengan
kebutuhan mereka. Kedudukan pemimpin menurutnya sangat berbeda dengan raja
ataupun ratu layaknya di Inggris ataupun presiden bahkan perdana menteri. Didalam
konsepnya, al-Maududi tidak menyebutkan bentuk pemerintahan yang bagaimana, ia
hanya berkata bentuk pemerintahan yang ia gagas bukanlah seperti pemerintahan
7
Ilyas Hasan, Para Perintis Zaman Baru Islam, judul asli: Pioneers of Islamic Revival, (Bandung: Mizan, 1998)
hal. 109
8
Muhammad Iqbal, hal. 41
modern layaknya sekarang ini. Beliau juga menyampaikan bahwa bentuk konsep
kedaulatan Tuhan (Teo-demokrasi) yang tepat diaksanakan apabila negara Islam
nantinya terwujud di Pakistan.9
Kekuasaan badan-badan eksekutif haruslah dibatasi dengan batasan-batasan
dan undang-undang Allah dan rasul-Nya. Tidak menggunakan undang-undang Allah
dan rasul-Nya dengan mengeluarkan suatu hukum dapat digolongkan sebagai maksiat
atau pembangkangan terhadap konstitusi ini. Apabila hal tersebut dilakukan, maka
hilang haknya dalam menuntut ketaatan rakyat. Badan eksekutif dibentuk dengan cara
musyawarah (pemilihan). Karena musyawarah hanya satu-satunya jalan yang
dibenarkan dalam mencari pemimpin yang adil. Dalam al-Qur’an tidak menentukan
bentuk-bentuk dalam pemilihan, kemudian bentuk-bentuk pelaksanaannya ditetapkan
sendiri oleh manusia sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lingkungan mereka.
Lembaga legislatif haruslah bekerja berdasarkan musyawarah, namun
kekuasaannya dibatasi oleh undang-undang Allah dan rasul-Nya. Perkara-perkara
yang ditetapkan di dalam al-Qur’an dan sunnah, maka lembaga ini boleh melakukan
penafsiran, perincian, membuat kaida-kaidah, peraturanperaturan dan ikatan khusus
dalam pelaksanaannya. Apabila ada hukum-hukum yang belum ditetapkan dalam al-
Qur’an dan sunnah, maka lembaga ini diperbolehkan membuat undang-undang sesuai
dengan syari’at Islam. Lembaga yudikatif harus bersifat bebas dan terlepas dari segala
campur tangan dan tekanan sehingga ia dapat membuat keputusan sesuai dengan
konstitusi tanpa rasa takut atau penyimpangan. Dan menjadi kewajibannya untuk
memutuskan perkara-perkara dengan haq dan adil tanpa terpengaruh oleh
kecenderungannya sendiri ataupun orang lain.
Pemikiran-pemikiran aI-Maududi tersebut, dapat dikatakan bahwa Islam
tidak berkembang menurut yang seharusnya di India dan Pakistan disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu; faktor ekstern maksudnya pengaruh ideologi Barat yang
dikembangkan oleh masyarakat waktu itu. dan juga faktor intern yaitu paham-paham
yang dianut oleh umat Islam sendiri yang tidak sejalan dengan roh al-Quran. Untuk
mengangkat kehidupan manusia, maka seharusnya umat Islam meninggalkan ideologi
dan paham-paham yang berkembang tersebut.
Al-Maududi menempatkan Amir (pemimpin) negara islam sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi. Beban yang diemban seorang Amir bukan sekedar sebagai
pemimpin eksekutif tetapi juga harus bertanggungjawab dalam urusan keagamaan.
9
Kesuma dkk, hal. 334
Pendapat al-Maududi tersebut didasari pada tradisi yang pernah dilakukan oleh Nabi
pada masa Khulafa al-Rasyidin yakni “Amir” memiliki kewajiban menjadi imam
dalam shalat fardu,dan menjadi Khatib disetiap salat jum’at di masjid tersebut. Dalam
memilih seorang pemimpin harus memilih orang yang bertakwa. Pencalonan kepala
negara (imarah) dipilih dari Muslim yang sudah dilihat biografinya, sikap, dan akhlak
yang amanah oleh masyarakat. Apabila masyarakat telah menyetujui hal ini, maka
calon baru diperbolehkan memimpin umat. Dan rakyat wajib mematuhi segala
aturannya. Dan dalam pelaksanaan hukum seluruhnyya bersandar pada khalifah dan
khalifah berjanji pada syariat yang telah digariskan oleh Al-Quran dan Hadist
Rasulullah saw.10
Menurut Al-Maududi tujuan negara yang dikonsepsikan al-Qur’an tidaklah
negatif tetapi positif. Tujuan negara tidak hanya mencegah rakyatnya saling memeras
tetapi melindungi kebebasan mereka serta melindungi seluruh bangsa dari invasi
asing. Negara mempunyai tujuan untuk mengembangkan sistem keadilan sosial yang
berkeseimbangan yang tengah diketengahkan Allah dalam al-Qur’an. Untuk
mewujudkan misi ini maka menurut al-Maududi kekuasaan politik akan digunakan
demi kepentingan itu apabila dirasa perlu, sarana propaganda dan persuasif damai
akan digunakan, pendidikan moral juga dilaksankan, serta pengaruh sosial ataupun
pendapat umum akan dijinakkan.11
Tujuan pembentukan negara adalah menegakkan suatu keadilan dalam
kehidupan manusia serta menghentikan kedzaliman serta mengahncurkan
kesewenang-wenangan. Tujuan pokok berdirinya negara Islam ialah melaksanakan
sistem keadilan sosial yang baik, seperti yang diperintahkan Allah dalam kitab-Nya,
disamping itu juga menawarkan konsep-konsep maslahat yang diridhai oleh Allah.
Al-Maududi menegaskan bahwa kejahatan yang tidak dapat dimusnahkan melalui
ajaran-ajaran Qur’an yang membutuhkan kekuasaan memaksa dari pihak negara untuk
melakukan pembasmian.

C. KESIMPULAN
Abul A’la Al-Maududi dilahirkan pada tanggal 3 Rajab 1321 H / 25
September 1903 M di Aurangabad yang merupakan salah satu kota terkenal di India. Ia

10
Ibid., hal. 335
11
Ibid., hal. 341
dilahirkan dari keluarga terhormat, dan merupakan keturunan dari Nabi Muhammad
SAW melalui Khawajah Maunuddin Ajmeri, inilah sebabnya ia memakai nama
Sayyid. Selain itu, Dilihat dari sejarah keluarga Al-Mawdudi memiliki hubungan erat
dengan dinasti Moghul, utamanya pada pemerintahan Bahadur Syah Zhafar (penguasa
terakhir). Ayahnya, Ahmad Hasan, berprofesi sebagai pengacara yang taat beragama
sekaligus menjadi guru pertama bagi Maududi.
Menurut Al-Mawdudi tujuan negara yang dikonsepsikan al-Qur’an tidaklah
negatif tetapi positif. Untuk mewujudkan misi ini maka menurut al-Maududi kekuasaan
politik akan digunakan demi kepentingan itu apabila dirasa perlu, sarana propaganda
dan persuasif damai akan digunakan, pendidikan moral juga dilaksankan, serta
pengaruh sosial ataupun pendapat umum akan dijinakkan. Selain hal itu, al-Maududi
juga berpendapat bahwa dalam al-Qur’an dan Sunnah sudah mencangkup kehidupan
secara menyeluruh termasuk politik. Maka dari itu, beliau berupaya untuk
menggunakan hukum agama Islam sebagai hukum negara baik dari kriteria
kepemimpinan dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, A Mukti. (1993). Alam Pikiran Islam Modern; di India dan Pakistan. Bandung:
Mizan

Hasan, Ilyas. (1998). Para Perintis Zaman Baru Islam, judul asli: Pioneers of Islamic
Revival. Bandung : Mizan

Iqbal, Muhammad. (2006). Implementasi Pemikiran Politik Abu Al A’la Al-Maududi


Dalam Dinamika Politik Kontemporer. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah

Kesuma dkk. (2015). Pemikiran Politik Abu A’la Al Mawdudi. Lampung : IAIN Raden
Intan

Ropik, Ainur. (2012). Studi Komparasi Pemikiran Abul A’la Maududi Dengan
Muhammad Natsir Tentang Konsep Negara Islam. Palembang: IAIN Raden
Fatah

Anda mungkin juga menyukai