Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

MAQAMAT DAN AHWAL DALAM TASAWUF


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Islam Indonesia Masa Kemerdekaan
Dosen Pengampu : Zuhrotul Latifah, S.Ag. M.Hum.

Disusun Oleh :

Ahmad Fathi Farhat (21101020034)


Sri Wahyuni Oktafia (21101020037)
Rian Fahrizal Azmi (21101020047)

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat
rahmat- Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Maqamat dan Ahwal
dalam Tasawuf”. Shalawat beserta salam penulis hadiahkan khusus kepada Nabi besar
Muhammad Saw semoga dengan membaca shalawat kita mendapatkan syafa’at di hari
akhir kelak.

Adapun maksud dan tujuan makalah ini disusun adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Akhlak Tasawuf. Kami pun turut mengucapkan terima kasih kepada Ibu Zuhrotul
Latifah selaku dosen mata kuliah Akhlak Tasawuf.

Tentu saja kami sangat menyadari bahwa makalah yang kami buat ini jauh dari kata
sempurna dan masih terdapat banyak kesalahan dan kekeliruan. Oleh sebab itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan dalam
makalah ini. Akhir kata kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pembaca.
Kami sangat berharap semoga makalah yang kami buat ini dapat memberikan manfaat
kepada para pembaca.

Yogyakarta, 09 Mei 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................1
C. Tujuan................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................2
A. Pengertian dan Macam-Macam Maqamat.........................................................2
B. Pengertian dan Macam-Macam Ahwal.............................................................
C. Hubungan antara Maqamat dan Ahwal.............................................................
BAB III PENUTUP...........................................................................................................
A. Kesimpulan........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu bagian dari agama Islam yang bertujuan untuk
mendekatkan diri seorang hamba kepada Allah SWT. Tasawuf dapat membantu
seorang Muslim untuk menjadi pribadi yang lebih baik serta memiliki hubungan
khusus dengan penciptanya, yakni Allah SWT. Pada dasarnya, tasawuf membicarakan
tentang bagaimana seseorang dapat melepaskan dirinya dari kesenangan duniawi dan
berfokus kepada kehidupan akhirat namun bukan semata-mata meninggalkan dunia
sepenuhnya.
Terdapat dua konsep yang menjadi fokus utama dalam tasawuf, yakni
maqamat dan ahwal. Maqamat merupakan tingkatan-tingkatan yang harus dilalui oleh
seseorang sufi dalam perjalannya menuju Tuhannya. Sedangkan Ahwal merupakan
pengalaman-pengalaman yang akan dirasakan oleh seorang sufi dalam melewati
tahapan-tahapan maqam tersebut. Melalui pengalaman ini, seorang sufi dapat
memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang keberadaan Allah dan mendekati
kesatuan dengan-Nya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Maqamat dan macam-macamnya?
2. Bagaimana Pengertian Ahwal dan macam-macamnya?
3. Bagaimana Hubungan Antara Maqamat dan Ahwal?

C. Tujuan
1. Mendeskripsikan pengertian Maqamat dan Macam-Macamnya.
2. Mendeskripsikan pengertian Ahwal dan Macam-Macamnya.
3. Mengidentifikasi Hubungan Antara Maqamat dan Ahwal

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Macam-Macam Maqamat
Secara bahasa maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri
atau pangkal mulia. Dalam bahasa Inggris maqomat dikenal dengan istilah stages yang
berarti tangga. Secara istilah makam adalah tingkatan sikap hidup yang telah dapat
dicapai seseorang dengan kesungguhan dan latihan yang terus-menerus. Menurut Ath-
Thusi, maqamat adalah kedudukan seorang hamba dalam perjalanannya menuju Allah
melalui ibadah, kesungguhan melawan rintangan (al-Mujahadat), dan latihan-latihan
rohaniyah (ar-Riyadhah). Adapun urutan-urutan dari maqamat adalah:
1. Taubah
Secara bahasa, taubah berasal dari bahasa Arab taba, yatubu, taubatan yang
artinya kembali. Secara etimologi, taubat dapat diartikan sebagai pembersihan hati
dari segala dosa. Tobat yang dimaksudkan disini adalah taubat yang sebenar-
benarnya dan tidak akan membawa manusia kepada perbuatan dosa lagi. Apabila
seseorang yang bertobat namun belum ke akar-akarnya, maka belum mencapai
maqam taubat. Ketika seseorang bertaubat namun belum bersungguh-sungguh,
diibaratkan seperti memotong tumbuhan namun tidak sampai pada akarnya, maka
tumbuhan tersebut akan tumbuh kembali dengan lebih kuat dan berat dari
sebelumnya. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, syarat-syarat taubat ada tiga, yakni
menyesal, meninggalkan dosa, dan meminta ampunan.1 Tobat menjadi maqam
pertama yang harus dijalani oleh seorang sufi karena dengan tobat jiwa seorang sufi
bersih dari dosa dan Tuhan dapat didekati dengan jiwa yang suci. 2 Di dalam Al-
Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang menganjurkan manusia untuk bertaubat,
salah satunya adalah ayat yang berbunyi:

‫ون‬ َ ُ‫ْم ْؤ ِم ن‬
َ ‫ون لَ َع لَّ ُك ْم ُت ْف لِ ُح‬ ِ
ً ‫و تُ وبُوا ِإ لَ ى اللَّ ه َج ِم‬...
ُ ‫يع ا َأيُّ هَ ال‬ َ
Artinya: “... Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung” (QS. An Nur: 31).

1
Nasrul, Akhlak Tasawuf (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), hlm. 183-186.
2
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 200.

4
2. Al-Zuhud
Secara bahasa zuhud berarti ketidakinginan terhadap sesuatu yang bersifat duniawi.
Secara istilah zuhud dapat diartikan sebagai keadaan meninggalkan dunia yang
bersifat materi dan berfokus kepada pendekatan diri kepada Allah SWT. Zuhud
penting untuk dilakukan bagi para pemula sufi dikarenakan zuhud memiliki
keterkaitan dengan taubat. Hal ini dikarenakan orang yang dapat mencapai maqam
taubat adalah ketika seseorang sudah tidak terikat dengan kesenangan duniawi.3

3. Sabar
Secara bahasa sabar dapat diartikan sebagai tabah hati. Di kalangan sufi, sabar
diartikan sabar dalam menjalani perintah-perintah Allah, sabar menjauhi larangan-
Nya, serta sabar dalam menghadapi cobaan-cobaan yang ditimpakan-Nya kepada
kita.4 Sabar di dalam Al-Qur’an salah satunya tercantum dalam QS. Al-Baqarah ayat
153 yang berbunyi:

ِ َّ ‫ ِإ َّن اللَّ هَ َم َع‬7ۚ ‫الص اَل ِة‬ َّ ِ‫اس تَ ِع ينُ وا ب‬ ِ َّ ُّ ‫ي ا‬


َ ‫الص اب ِر‬
‫ين‬ َّ ‫الص ْب ِر َو‬ ْ ‫آم نُ وا‬
َ ‫ين‬
َ ‫َأي َه ا ال ذ‬ َ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al-
Baqarah: 153).

4. Tawakkal
Tawakkal berasal dari bahasa Arab yang artinya mewakilkan atau menyerahkan.
Menurut Harun Nasution, tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan
keputusan Allah. Namun, hal ini bukan berarti menyebabkan manusia berhenti dari
berusaha dan ikhtiar. Tawakkal yang dimaksudkan adalah menyerahkan urusan
kepada Allah setelah melakukan usaha yang maksimal.5 Dalam Al-Qur’an dibahas
mengenai tawakkal seperti dalam QS. Ibrahim ayat 12 yang berbunyi:

‫ص رِب َ َّن َع لَ ٰى َم ا‬
ْ َ‫ َو لَ ن‬Dۚ ‫َو َم ا لَ نَ ا َأاَّل َن َت َو َّك َل َع لَ ى اللَّ هِ َو قَ ْد َه َد انَا ُس ُب لَ نَ ا‬

َ ُ‫ َو َع لَ ى اللَّ هِ َف ْل يَ َت َو َّك ِل الْ ُم َت َو ِّك ل‬Dۚ ‫آذَ ْي تُ ُم ونَا‬


‫ون‬

3
Nasrul, Akhlak Tasawuf (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), hlm. 187.
4
Ibid., hlm. 188.
5
Ibid., hlm. 189-190.

5
Artinya: “Mengapa kami tidak akan bertawakkal kepada Allah padahal Dia telah
menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap
gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja
orang-orang yang bertawakkal itu, berserah diri" (QS. Ibrahim: 12).

5. Ridha (Kerelaan)
Secara bahasa ridha artinya rela, suka, senang. Secara istilah ridha dapat diartikan
sebagai menerima dengan rasa puas terhadap apa yang telah dianugerahkan oleh
Allah SWT kepada hambanya. Menurut Harun Nasution, ridha artinya menerima
dengan senang hati serta tidak menentang maupun membenci qada dan qadar
Tuhan.6 Ridha akan membawa manusia kepada titik di mana manusia tidak akan
mudah mengeluh maupun merasa tidak adil terhadap cobaan yang menimpanya
karena ia dapat melihat kesempurnaan, keagungan, dan kebesaran Dzat yang
memberikan cobaan tersebut.7

6. Al-Wara’
Secara bahasa al-wara’ bermakna shaleh. Dalam pengertian sufi, al-wara’ adalah
meninggalkan sesuatu yang di dalamnya terdapat keraguan antara halal dan haram
(syubhat). Sifat syubhat sangat dihindari oleh sufi karena apabila melakukan
perbuatan yang syubhat dan ternyata sifatnya haram, maka akan meninggalkan jejak
kekotoran di dalam hati, sedangkan sufi memiliki tujuan untuk mendapatkan cahaya
dari Tuhan dan tujuan tersebut hanya bisa dicapai dengan memiliki hati yang suci.8

7. Kefakiran
Secara bahasa fakir dapat diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh, atau orang
miskin. Namun, kefakiran dalam pandangan sufi adalah tidak meminta kepada Allah
lebih dari apa yang telah Allah berikan kepada kita. Namun, di satu sisi juga tidak
menolak apa yang Allah berikan kepada kita.9

6
Ibid., hlm. 190.
7
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 201.
8
Nasrul, Akhlak Tasawuf (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), hlm. 190-191.
9
Ibid., hlm. 191.

6
8. Al-Mahabbah
Mahabbah berasal dari bahasa Arab ahabba, yuhibbu, mahabbatan yang artinya
mencintai secara mendalam atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Secara istilah
mahabbah dapat diartikan sebagai kecintaan yang mendalam kepada Tuhan. tujuan
mahabbah ialah untuk mencapai kebahagiaan batiniah yang sulit untuk diungkapkan
dengan kata-kata namun dapat dirasakan oleh jiwa. Mahabbah dalam Al-Qur’an
dapat dilihat pada QS. Al-Maidah:54 yang berbunyi:10

‫ف يَْأ يِت اللَّ هُ ب َِق ْو ٍم‬ ْ ‫آم نُ وا َم ْن َي ْر تَ َّد م‬


َ ‫ِن ُك ْم َع ْن دِينِهِ فَ َس ْو‬ َّ
َ ‫يَا َأيُّ َه ا ال ذ‬
َ ‫ِين‬
ٍ َّ ‫ِني َأع‬ ٍ
‫ون يِف‬
َ ‫اه ُد‬
ِ َ‫ِين جُي‬
َ ‫ِز ة َع لَ ى الْ َك افِر‬ َ ‫حُيِ ُّب ُه ْم َو حُيِ بُّ ونَهُ َأذِلَّ ة َع لَ ى الْ ُم ْؤ مِن‬

ُ‫ َو اللَّ ه‬Dۚ ُ‫ض ُل اللَّ هِ يُ ْؤ تِيهِ َم ْن يَ َش اء‬ َ ‫ َٰذ ل‬Dۚ ‫ون لَ ْو َم ةَ اَل ِئ ٍم‬
ْ َ‫ِك ف‬ َ ُ‫ِيل اللَّ هِ َو اَل خَيَ اف‬
ِ ‫َس ب‬

ٌ‫اس ٌع َع لِيم‬
ِ ‫َو‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad
dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang
berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.
Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Maidah: 54).

9. Al-Ma’rifah
Secara bahasa Al-Ma’rifah berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dalam
tasawuf, ma’rifah adalah mengenal Allah ketika sufi mencapai suatu maqam dalam
tasawuf.

B. Pengertian dan Macam-Macam Ahwal

C. Hubungan Maqamat dan Ahwal

10
Ibid., hlm. 191-192.

7
Setelah dibahas pada bagian sebelumnya, dapat dipahami bahwa ahwal
merupakan suatu kondisi jiwa yang diperoleh melalui kesucian jiwa. Hal merupakan
anugrah dari Allah Swt. Bukan sesuatu yang diperoleh oleh manusia, berbeda dengan
maqamat. Sedangkan Al-Thusi dan al-Qusyairi berpendapat mengenai pengertian ahwal
merupakan anugrah dari Allah ataupun suatu keadaan yang datang tanpa wujud kerja. 11
Sama halnya dengan maqamat, ahwal masih memunculkan perbedaan ulama khususnya
di kalangan sufi tentang jumlah dan urutannya. Hal tersebut memunculkan inisiatif
penarikan benang merah bahwa Nabi sendiri tidak memberikan kisi-kisi mengenai
macam-macam dan tingakatan-tingkatan ahwal dalam hadis-hadis. Jika ditelisik secara
umum, dalam al-Qur’an dan hadist nabi sudah membahas tentang ahwal meskipun tidak
dijelaskna secara rinci. Hal tersebut menjadikan bahwa ahwal merupakan hasil ijtihad
dan pemikiran para ulama.
Pada umumnya kebanyakan ulama sufi membedakan antara maqam dan hal.
Seperti Imam al-Ghazali berpendapat bahwa maqam dan hal sama sekali berbeda.
Menurut beliau maqam memiliki sifat tetap berbeda dengan hal yang berubah-ubah. Al-
Ghazali menganalokikan pada warna kuning emas dan dan penyakit kuning yang mana
warna kuning pada emas bersifat tetapp dan warna kuning pada penyakit kuning
cenderung tidak tetap.12 Sedangkan salah satu sufi bernama Abu Hafs Syihab ad-Din al-
Suhrawardi menyatakan bahwa maqam dan ahwal merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Untuk memperincinya beliau juga berpendapat bahwa hal dan maqam
memiliki dua sisi yaitu, pemberian dan perolehan yang mana keduanya merupakan sama
sama anugrah.13 Tidak ada hal dan maqam yang terpisah dan tidak ada maqam yang tidak
dimasuki oleh hal. Perdapat dari Abu Hafs tersebut mendapatkan dukungan dari al-
Kalabadzi yang menyatakan bahwa setiap maqam memiliki permulaan dan akhir dan di
antara keduanya terdapat bermacam macam hal.
Sedangkan sumber lain mengatakan perbedaan antara keduanya berdasarkan
perspektif yang berbeda. Perbedaan antara maqamat dan ahwal dapat terlihat dari
maqamat yang memiliki pengertian tingkatan seorang hamba di hadapan tuhannya dalam
hal ibadah dan latihan-latihan jiwa. Juga dapat diartikan bahwa maqamat diperoleh
melalui usaha manusia. Berbeda dengan ahwal yang merupakan suatu keadaan jiwa
manusia atas pemberian Allah kepada hamba-Nya tanpa melalui usaha-usaha tertentu.
11
Al-Qusyairy. Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, tahqiq Ma‟ruf Zuraiq dan Ali Abd al-Hamid
Balthaja (Mesir: Dar al-Khair, t.t.) hlm. 56
12
Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), hlm. 206.
13
Ibid.., hlm. 207.

8
Kendati demikian, apabila ditelaah lebih dalam tentang pemberian tuhan tersebut ada
hubungannya dengan upaya-upaya yang sebelumnya sudah dilakukan oleh seorang
hamba.14 Sedangkan maqamat merupakan kondisi jiwa seorang hamba yang dihasilkan
dari usaha-usaha latihan jiwa yang dilakukannya.
Cukup jelas perbedaan-perbedaan pendapat tentang maqamat dan ahwal yang
singgung oleh beberapa ulama sufi mengenai pemaknaan konsep maqamati dan ahwal.
Namun perlu ditegaskan bahwa dari beberapa perbedaan tersebut bukanlah untuk
menghakimi mana yang benar dan mana yang salah. Dalam tasawuf memiliki peluang
bahwa semua pendapat ialah benar walaupun bersinggungan. Karena bagaimanpun harus
kita ingat bahwa tasawuf acapkali membicarakan tentang pengalaman spritual seorang
sufi ketika melakukan perjalanannya dalam mengarungi samudera Ilahi yang terkadang
antara sufi satu dan sufi lainya memiliki pengalaman yang berbeda.

14
M. Jamil, Cakrawala Tasawuf; Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas, (Ciputat: Gaung Persada Press,
2004), hlm. 56.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

10
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. (2010). Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia

Al-Qusyairy. Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf. tahqiq Ma‟ruf Zuraiq dan Ali
Abd al-Hamid Balthaja, Mesir: Dar al-Khair, t.t.

Azra, Azyumardi. (2008). Ensiklopedi Tasawuf. Bandung: Angkasa

Jamil. M. (2004). Cakrawala Tasawuf; Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas. Ciputat:


Gaung Persada Press

Nasrul. (2015). Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

11

Anda mungkin juga menyukai