Makalah Anak Atresia Ani
Makalah Anak Atresia Ani
B. ETIOLOGI
Penyebab kelainan ini belum diketahui secara pasti. Dalam beberapa kasus, atresia
ani kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan (seperti
peggunaan obat-obatan dan konsumsi alkohol selama masa kehamilan) namun hal ini
masih belum jelas (Bobak, 2005). Kelainan genetik atau bawaan (autosomal) anus
disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi dan pembentukan anus dari tonjolan
embriogenik. Pada minggu kelima sampai ketujuh pada usia kehamilan, terjadi
gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital, biasanya karena
gangguan perkembangan septum urogenital.
Atresia ani atau anus imperforata dapat disebabkan karena:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan
3. Berkaitan dengan sindrom down
Malformasi anorektal memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah
komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat
pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan malformasi anorektal yakni 1 dalam
100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran.
Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara malformasi anorektal dengan
pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa
mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan malformasi
anorektal atau dengan kata lain etiologi malformasi anorektal bersifat multigenik.
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi atresia ani ada 4 yaitu:
1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak dapat
keluar.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum dengan anus.
4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rektum.
Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu:
1. Anomali rendah / infralevator Rektum mempun yaitu jalur desenden normal melalui
otot puborektalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik
dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.
2. Anomali intermediet Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis,
lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
3. Anomali tinggi / supralevator Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter
internal tidak ada. Hal ini biasanya berhubungan dengan fistulagenitourinarius –
retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum
sampai kulit perineum lebih dari 1 cm.
Klasifikasi berdasarkan Wingspread dalam Arifin, 2011:
Kelompok Kelainan Tindakan
I Laki-laki : Fistel urin, atresia rectum,
perineum datar, fistel tidak ada,
invertogram : udara > 1 cm dari kulit
E. PATHWAY
A. Pemeriksaan anorektal
1) Wanita
Umumnya 80 – 90 % wanita ditemukan fistula kevestibulum atau vagina.
Golongan I
a. Kloaka
Pemisahan antara traktus urinarius, traktus genitalia dan traktus digestivus
tidak terjadi. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu
cepat dilakukan kolostomi.
b. Fistel vagina
Mekonium tampak keluar dari vagina, evakuasi feses tidak lancar.
Sebaiknya cepat dilakukan kolostomi.
c. Fistel vestibulum
Muara fistel divulva bawah vagina. Umumnya evakuasi feses lancar
selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat
penderita mulai makan makanan padat. Kolonostomi dapat direncanakan
bila penderita dalam keadaan optimal.
d. Atresia rekti
Kelainan dimana anus tampak normal, tetapi pada pemeriksaan colok
dubur jari tidak dapat masuk lebih dari 1 – 2 cm, sehingga tidak ada
evakuasi feses sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.
e. Tanpa fistel
Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi sehingga
perlu segera dilakukan kolostomi.
Golongan II
a. Fistel perineum
Terdapat lubang antara vulva dan tempat dimana lokasi anus normal.
Dapat berbentuk anus anterior, tulang anus tampak normal, tetapi marka
anus yang rapat ada diposteriornya. Umumnya menimbulkan obstipasi.
b. Stenosis ani
Lubang anus terletak dilokasi normal, tetapi sangat sempit. Evakuasi
feses tidak lancar sebaiknya cepat dilakukan operasi definitif.
c. Tanpa fistel
Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi sehingga
perlu segera dilakukan kolostomi.
2) Laki – laki
Perlu diperhatikan hal – hal sebagai berikut:
- Perineum : bentuk dan adanya fistel
- Urine : dicari ada tidaknya butir – butir mekonium diurin
Golongan I
a. Fistel urine
Tampak mekonium keluar dari orificium urethra eksternum. Fistula dapat
terjadi keuretra maupun vesika urinaria. Cara praktis untuk membedakan
lokasi fistel ialah dengan memasang kateter urine. Bila kateter terpasang
dan urine jernih, berarti fistel terletak diuretra yang terhalang kateter. Bila
kateter urine mengandung mekonium, berarti fistel kevesika urinaria.
Evakuasi feses tidak lancar dan penderita memerlukan kolostomi segara.
b. Atresia rekti
Kelainan dimana anus tampak normal, tetapi pada pemeriksaan colok
dubur jari tidak dapat masuk lebih dari 1 – 2 cm, sehingga tidak ada
evakuasi feses sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.
c. Perineum datar
Menunjukkan bahwa otot yang berfungsi untuk kontinensi tidak terbentuk
sempurna.
d. Tanpa fistel
Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi sehingga
perlu segera dilakukan kolostomi.
Golongan II
a. Fistel perineum
Sama dengan wanita
b. Membran anal
Anus tertutup selaput tipis dan sering tampak bayangan jalan mekonium
dibawah kulit. Evakuasi feses tidak ada. Perlu secepatnya dilakukan
terapi definitif.
c. Stenosis ani
Lubang anus terletak dilokasi normal, tetapi sangat sempit. Evakuasi
feses tidak lancar sebaiknya cepat dilakukan operasi definitif.
d. Bucket handle
Daerah lokasi anus normal tertutup kulit yang berbentuk gagang ember.
Evakuasi feses tidak ada. Perlu secepatnya dilakukan terapi definitif.
e. Tanpa fistel
Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi sehingga
perlu segera dilakukan kolostomi.
Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostic yang umum
dilakukan pada gangguan ini.
B. Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epithelial
mekonium.
C. Pemeriksaan sinar-X lateral inverse (teknik Wangensteen-Rice) dapat
menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu pada atau
di dekat perineum; dapat menyesatkan jika rectum penuh dengan mekonium yang
mencegah udara sampai ke ujung kantong rectal. Dilakukan untuk menentukan
kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung
rectum dari sfingternya.
D. Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak kantong rectal aspirasi jarum
untuk mendeteksi kantong rectal dengan cara menusuk jarum tersebut sambil
melakukan aspirasi; jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah 1,5 cm,
defek tersebut dianggap sebagai defek tingkat tinggi.
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan
dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
E. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum
tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat jarum
sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.
F. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal. Dapat ditemukan:
a. Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah
tersebut.
b. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan
gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus,
pada bayi dengan anus impoefartus. Udara berhenti tiba-tiba di daerah
sigmoid, kolon/rectum.
c. Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala
dibawah dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada foto
daerah antara benda radio-opak dengan dengan bayangan udara tertinggi dapat
diukur.
G. CT Scan : digunakan untuk menentukan lesi.
H. Pyelografi intra vena : digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
I. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau
jari.
J. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan
dengan traktus urinarius.
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu :
a. Pembuatan kolostomi
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli bedah pada
dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Kolostomi adalah suatu tindakan
bedah untuk membuat bukaan intestinal/kolon pada dinding abdomen. Ini
memungkinkan bayi untuk dapat tetap memiliki pasase kolon yang normal dan
mencegah obstruksi kolon. Pembuatan lubang biasanya sementara atau permanen
dari usus besar atau colon iliaka. Pada ujung muara kolostomi ini dipasang sebuah
kantong untuk menampung faeces yang keluar. Ada 2 tempat yang kolostomi yang
dianjurkan dipakai pada neonatus dan bayi yaitu transversokolostomi dan
sigmoidkolostomi.
Manfaat kolostomi antara lain:
Mengatasi obstruksi usus
Memungkinkan pembedahan rekonstruktif untuk dikerjakan dengan
lapangan operasi yang bersih
Memberi kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan
lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta
menemukan kelainan bawaan yang lain.
Tipe kolostomy yang dapat digunakan pada bayi dengan atresia ani adalah
kolostomy loop yaitu dengan membuat suatu lubang pada lengkung kolon yang
dieksteriorisasi.
Komplikasi Colostomy
Infeksi
Iritasi kulit
Prolaps pada stoma
Pendarahan stoma
Perawatan Paska Operasi
BAB pasien harus dimonitor dengan sebaik-baiknya. Konstipasi harus dihindari,
harapannya agar bayi/anak itu merasa nyaman. Obat-obatan yang mengusahakan
lunaknya feses yang dikeluarkan dengan pemberian antibiotik untuk beberapa
hari lamanya paska operasi. Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari, salep
antibiotik diberikan selama 8- 10 hari.
FREKUENSI DILATASI
Tiap 1 hari 1x dalam 1 bulan
Tiap 3 hari 1x dalam 1 bulan
Tiap 1 minggu 2 x dalam 1 bulan
Tiap 1 minggu 1x dalam 1 bulan
Tiap 1 bulan 1x dalam 3 bulan
Kalibrasi anus tercapai dan orang tua mengatakan mudah mengejakan serta tidak
ada rasa nyeri dilakukan 2x selama 3 – 4 minggu merupakan indikasi tutup
kolostomi, secara bertahap frekuensi diturunkan.
c. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah operasi, anak
akan mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB akan sering tetapi seminggu setelah
operasi BAB berkurang frekuensinya dan agak padat.
d. Melakukan pembedahan rekonstruktif:
Operasi abdominoperineum pada usia (1 tahun)
Operasi anorektoplasti sagital posterior pada usia (8-2 bulan)
Pendekatan sakrum setelah bayi berumur (6-9 bulan)
(Putri, Wahid dan Masdar, 2014).
H. KOMPLIKASI
1. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
2. Obstruksi intestinal
3. Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.
4. Komplikasi jangka panjang :
a. Eversi mukosa anal.
b. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.
c. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.
d. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.
f. Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi.
I. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1) Pengkajian
a. Biodata klien
b. Riwayat keperawatan
c. Riwayat keperawatan/kesehatan sekarang
d. Riwayat kesehatan masa lalu
2) Riwayat tumbuh kembang
a. BB lahir abnormal
b. Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh kembang pernah
mengalami trauma saat sakit
c. Sakit kehamilan mengalami infeksi intrapartal
d. Sakit kehamilan tidak keluar mekonium
3) Pola nutrisi – Metabolik
Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umu terjadi pada pasien dengan atresia ani
post kolostomi. Keinginan pasien untuk makan mungkin terganggu oleh mual dan
munta dampak dari anestesi.
4) Pola Eliminasi
Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru maka tubuh
dibersihkan dari bahan – bahan yang melebihi kebutuhan dan dari produk buangan.
Oleh karena pada atresia ani tidak terdapatnya lubang pada anus, sehingga pasien
akan mengalami kesulitan dalam defekasi
5) Pola Aktivitas dan Latihan
6) Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menhindari kelemahan otot.
7) Pola Persepsi Kognitif
Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman, daya ingatan
masa lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.
8) Pola Tidur dan Istirahat
Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri pada luka
inisisi.
9) Konsep Diri dan Persepsi Diri
Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body comfort.
Terjadi perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena dampak luka jahitan operasi
10) Peran dan Pola Hubungan
Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah sakit.
Perubahan pola biasa dalam tanggungjawab atau perubahan kapasitas fisik untuk
melaksanakan peran
12) Pola Reproduktif dan Sexual
Pola ini bertujuan menjelaskan fungsi sosial sebagi alat reproduksi
13) Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi, Adanya faktor stress lama, efek
hospitalisasi, masalah keuangan,
14) Pola Keyakinan dan Nilai
Untuk menerangkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan agama yang
dipeluk dan konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini diharapkan perawat
dalam memberikan motivasi dan pendekatan terhadap klien dalam upaya
pelaksanaan ibadah.
16) Pemeriksaan fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus tampak
merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, termometer yang
dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengan
hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin
dan vagina
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Dx Pre Operasi
1) Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
2) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake,
muntah.
3) Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan
prosedur perawatan.
Dx Post Operasi
1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari
kolostomi.
2) Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.