Anda di halaman 1dari 18

HAMBATAN PERAWATAN DENTAL PADA ANAK-ANAK

BERKEBUTUHAN KHUSUS: PERSEPSI DOKTER GIGI UMUM DI


KERALA, INDIA

Disadur dari:
Amith Adyanthaya, Natta Sreelakshmi, Sajeela Ismail, Marium Raheema. Journal
of Indian Society of Pedodontics and Preventive Dentistry, 2017.

Disusun Oleh:
Tommy Syahputra Pardede (213308020041)
Andre Gidion Lase (213308020016)

Pembimbing
drg. Jocelyn Cuwardi

Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak


Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi dan Ilmu Kesehatan
Universitas Prima Indonesia
Medan
2022
HAMBATAN PERAWATAN DENTAL PADA ANAK-ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS: PERSEPSI DOKTER GIGI UMUM DI
KERALA, INDIA

ABSTRAK

Pendahuluan: Anak-anak berkebutuhan khusus merupakan kelompok pasien


yang kurang diinginkan di seluruh dunia. Kesehatan rongga mulut untuk anak
dengan keterbatasan tetap menjadi tantangan yang belum terpenuhi. Salah satu
dari dua orang dengan keterbatasan yang signifikan tidak dapat menemukan
sumber profesional untuk menyediakan perawatan dental yang sesuai. Identifikasi
hambatan merupakan langkah pertama dalam menangani perawatan dental pada
pasien tersebut. Tujuan: Untuk menginvestigasi persepsi dokter gigi di Kerala,
India terhadap rintangan yang dihadapi oleh mereka dalam menyediakan
perawatan dental untuk anak berkebutuhan khusus, meliputi tantangan yang akan
dihadapi mereka. Bahan dan Metode: 149 praktisi profesional diwawancarai
melalui kuesioner terhadap hambatan yang dirasakan untuk menyediakan
perawatan dental pada anak berkebutuhan khusus. Analisis statistik: Data yang
diperoleh menggunakan uji chi-square, korelasi koefisien Pearson dan model
regresi logistik dikaji dengan menggunakan SPSS versi 20.0. Seluruh analisis
dilakukan menggunakan level statistik dengan nilai signifikan 0.05. Hasil:
Hambatan terbesar yang dirasakan oleh praktisi adalah tingkat pelatihan dan
kurangnya motivasi pada perawat. Hubungan signifikan ditemukan antara
pengalaman dokter gigi dengan frekuensi yang dilakukan, dimana mereka
melaporkan menangani anak-anak dengan kebutuhan khusus (p<0.05). Perubahan
rekomendasi untuk kurikulum prasarjana dilakukan untuk memfasilitasi lulusan
selanjutnya dalam berhadapan dengan anak-anak lebih baik.

KATA KUNCI: Hambatan, keterbatasan, kesehatan rongga mulut, anak


berkebutuhan khusus
PENDAHULUAN

India menempati peringkat kedua dalam urutan negara berdasarkan jumlah


populasinya. Populasi India setara dengan 17.84% dari populasi total dunia.

Pada tahun 2001, telah dilaporkan bahwa lebih dari 21 juta orang di India
mengalami salah satu atau lebih dari disabilitas, dalam hal ini 2.1% dari populasi
penduduk negara ini. Berdasarkan data dari United Nations Enable, sebanyak
10% dari populasi dunia hidup dengan disabilitas. Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (1948) menekankan hak-hak yang setara pada kesehatan dan
kesejahteraan bahkan pada orang-orang yang memiliki disabilitas. Anak-anak
dengan kebutuhan medis khusus (CSHCN) merupakan salah satu kelompok
pasien yang kurang mendapatkan perawatan dental dibandingkan populasi
lainnya.

Kesehatan rongga mulut yang buruk dapat berkontribusi terhadap keterbatasan


dasar, mengurangi kemampuan manual dasar, atau terkadang memiliki efek
samping pada pengobatan tertentu.

Walaupun perkembangan kedokteran gigi sudah maju, kesehatan rongga mulut


dasar pada orang yang berkebutuhan khusus tetap kurang. Prevalensi kareis dental
mungkin atau tidak serupa dengan populasi umumnya, teteapi aspek lainnya,
seperti kesehatan periodontal dibutuhkan. Juga ditemukan bahwa individu ini
memiliki karies yang tidak terawat (84.6%) dan kondisi periodontal (74.7%).

Kondisi gigi yang tidak terawat dapat menyebabkan kesehatan rongga mulut yang
terganggu yang juga dapat disebabkan oleh ketidakmampuan perawat untuk
mengevaluasi kondisi rongga mulut dan atau ketidakmampuan anak untuk
mengekspresikan rasa sakit atau ketidaknyamanan yang disebabkan oleh akses
perawatan dental yang buruk.

Hambatan dalam menyediakan kebutuhan perawatan dasar dental biasanya


disebabkan oleh hambatan fisik pada praktiknya, ekonomi, hingga edukasi yang
tidak memadai.
Edward dan Merry pada tahun 2002 menunjukkan bahwa identifikasi hambatan
merupakan langkah pertama dalam menangani kekurangan ini.

Oleh karean itu, studi ini dilakukan dengan tujuan untuk menginvestigasi persepsi
dokter gigi umum di Kerala terkait dengan perawatan yang dibutuhkan dan
halangan dan kesulitan yang dihadapi klinisi dalam menyediakan perawatan
dental pada anak-anak berkebutuhan khusus.

METODE

Studi ini diterima oleh Komisi Etis, Fakultas Kedokteran Gigi KMCT, Kerala,
India.

16 poin angket dikembangkan dan disediakan dalam bentuk tulisan dan elektronik
(online). Validitas dari kuesioner telah dikonfirmasi dengan artikel yang serupa
dengan beberapa modifikasi. Angket kemudian didistribusikan kepada 149 dokter
gigi umum yang dipilih secara acak dari berbagai macam bagian negara. Kesulitan
yang dihadapi praktisi dalam menyediakan perawatan yang adekuat pada
kelompok anak ini termasuk di dalamnya berupa lokasi praktek dokter,
aksesibilitas klinik, lingkungan yang sesuai dalam penanganan pasien, dan
kesediaan praktisi dan staf pendukung klinik untuk merawat individu ini.
Pertanyaan seputar data demografis respondent termasuk dalam pasien
berkebutuhan khusus yang mengunjungi praktisi tiap bulan. Pertanyaan mengenai
pola praktik responden dan tingkat kepercayaan dalam menangani pasien CSHCN
meliputi pertanyaan mengenai kesediaan praktisi untuk merawat seluruh pasien
berkebutuhan khusus, bagaimana pelatihan yang didapatkan untuk CSHCN, dan
apakah mereka membutuhkan pelatihan tambahan lainnya pada praktik lapangan.
Anak berkebutuhan khusus secara umum diklasifikasikan menjadi anak-anak
dengan keterbatasan fisik, keterbatasan mental, dan anak-anak kompromis medis.
Pertanyaan yang ditanyakan kepada responden untuk menilai berbagai macam
faktor, yang mana mereka rasakan sebagai hambatan dalam kesediaan mereka
untuk memeriksa CSHCN. Responden ditanya mengenai prosedur perawatan
spesifik yang dibutuhkan anak-anak ini dan juga mengenai berbagai macam
hukum negara yang meminta kesetaraan perawatan pada seluruh penduduk,
meliputi pasien dengan kebutuhan khusus.

Analisis Statistik

Data diperoleh dan dimasukkan ke dalam Microsof Excel spreadsheet dan


dianalisis menggunakan SPSS versi 20.0 (Statistical Package for the Social
Sciences). Hubungan antara tiap variabel ditemukan melalui uji chi-square.
Korelasi koefisien Pearson memiliki korelasi terhadap berbagai variabel. Model
regresi logistik dikembangkan untuk menilai perawatan kesehatan rongga mulut
yang kurang dirasakan pada anak berkebutuhan khusus. Seluruh analisis ditinjau
dengan interval kepercayaan 95% dengan p < 0.05 dipertimbangkan sebagai
signifikan dan p < 0.001 sebagai siginifikansi yang tinggi.

HASIL

Dari 149 praktisi umum dimana kuesioner diberikan, 126 mengembalikan survei
berbasis tulisan dan 6 responden melalui versi online. Sebanyak 132 formulir hasil
responden diterima, 100 dianggap valid berdasarkan kelengkapan kuesioner pada
lembar responsi. Data menunjukkan bahwa 70% dokter gigi menemukan kurang
dari 3 pasien berkebutuhan khusus setiap bulan pada praktik mereka. Walaupun
45% dari responden mengklaim bahwa pelatihan prasarjana yang diterima pada
bidang ini baik, 57% dari mereka menyatakan bahwa mereka tidak percaya diri
dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus. 55% dari alat bantu pada
praktik dental ditemukan dapat meningkatkan kenyamanan dalam membantu
dokter gigi, Ketidakmampuan ke klinik dental (memiliki lokasi yang tidak pada
lantai dasar, tidak adanya fasilitas lereng/lift untuk kursi roda, dll.) dilaporkan
menjadi hambatan fisik utama untuk mengakses perawatan dental sebanyak 71%
kasus. 86% klinik ditemukan kurang memiliki alat atau fasilitas khusus untuk
menangani pasien berkebutuhan khusus. Pada sisi lainnya, ketika ditanyakan
mengenai pendapat mereka dalam mengurangi kesenjangan dalam menyediakan
perawatan pada anak berkebutuhan khusus dan tidak berkebutuhan khusus, 96%
responden merasa bahwa kedua kelompok harus diberikan pertimbangan yang
sama. Tingkat pelatihan praktisi (32.6%) dan perawat yang memiliki motivasi
inadekuat (20.8%) ditemukan menjadi hambatan dan tantangan terbesar pada
kesediaan praktisi dalam menangani anak berkebutuhan khusus. Perilaku pasien
dan kemampuan untuk menciptakan komunikasi yang sesuai dengan pasien
ditunjukkan sebagai hambatan terbesar yang ditemukan pada 13.3% dan 14.5%
dari responden. Sebanyak 82% dokter gigi tidak paham terhadap berbagai hukum
di India untuk anak berkebutuhan khusus, meliputi Undang-undang pada Individu
Disabilitas, 1995, dan Tuntutan Hak Individu dengan Disabilitas, 2014.

Sebanyak 73,2% dari praktisi percaya bahwa anak-anak dapat ditangani dalam
praktik dental dengan berbagai teknik penanganan yang bervariasi, dimana 17%
menyarankan prosedur dilakukan dibawah anastesi umum dan 9.8%
merekomendasikan penggunaan sedasi secara sadar. Perawatan emergensi
(29.5%) dan instruksi kebersihan rongga mulut meliputi tindakan preventif
(30.1%) secara umum diberikan pada pasien diikuti dengan restorasi, ekstraksi,
perawatan periodontal, prosedur tiap kunjungan meliputi pembuatan gigi tiruan
untuk mengurangi frekuensi kunjungan. Dari seluruh kategori anak-anak
berkebutuhan khusus, lebih dari 50% dokter gigi lebih memilih anak-anak yang
secara fisik terbatas dan paling kurang dalam menangani anak-anak autistic.
Sebanyak 61.2% dari responden merasa bahwa untuk meningkatkan kualitas
perawatan pada anak-anak berkebutuhan khusus, Perawatan Gigi Khusus harus
termasuk dalam kurikulum prasarjana dan juga mahasiswa prasarjana harus
diberikan kesempatan untuk menyediakan berbagai macam kesempatan untuk
menyediakan berbagai tingkatan dan pengawasan dalam Perawatan Gigi Khusus.
84% dari praktisi dental swasta menunjukkan kesediaan dalam melakukan
pelatihan lanjutan dalam menangani pasien dengan kebutuhan khusus. Berkaitan
dengan memperbaharui pengetahuan dan kemampuan dengan mengikuti program
Edukasi Dental secara kontinu atau konferensi, 53% menjawab mengikuti
program tersebut tiap setahun sekali, 35% dua kali per tahun, dan 12% satu kali
dalam 2 tahun.

Tabel 1: Hubungan antara pengalaman dokter gigi, frekuensi menangani anak-


anak berkebutuhan khusus, hambatan yang dihadapi, dan berbagai perawatan yang
dilakukan.

P
Tahun pengalaman Frekuensi anak-anak
sebagai dokter gigi yang mengunjungi klinik
Pelatihan dental prasarjana 0.03 0.001
Tantangan dan hambatan 0.01 0.003
dalam memberikan
perawatan
Perawatan yang dilakukan 0.005 <0.001
pada anak-anak
berkebutuhan khusus

Tabel 1 mempertimbangkan p < 0.005 sebagai signifikan dan p < 0.001 sebagai
sangat signifikan menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara
pelatihan dental prasarjana dan frekuensi anak-anak yang mengunjungi klinik
dental. Dokter gigi yang dengan pengalaman lebih dari 5 tahun menemukan
hambatan yang lebih sering, dan hal ini secara statistik signifikan (p=0.001). Anak
berkebutuhan khusus butuh lebih sering datang ke klinik, dimana terdapat
peningkatan tangtangan dalam menyediakan perawatan dental, dan hal ini secara
statistik signifikan (0.003). Perawatan yang disediakan pada anak-anak
berkebutuhan khusus secara signifikan berhubungan dengan pengalaman
bertahun-tahun (p=0.005).
Tabel 2: Model korelasi yang menunjuukan korelasi antara berbagai variabel

Korelasi
Tahun Frekuensi anak- Pelatihan Hambatan Perawata
Pelatiha anak yang dental yang n yang
n mengunjungi prasarjana dirasakan diterima
klinik
Tahun pelatihan
Korelasi Pearson 1 0.237* 0.158 -0.068 0.095
Signifikansi (two-tail) 0.018 0.116 0.583 0.464
Frekuensi anak-anak
yang mengunjungi klinik
Korelasi Pearson 0.237* 1 0.080 -0.035 -0.214
Signifikansi (two-tail) 0.018 0.427 0.779 0.094
Pelatihan dental
prasarjana
Korelasi Pearson 0.158 0.080 1 -0.064 -0.113
Signifikansi (two-tail) 0.116 0.427 0.609 0.380
Hambatan yang dirasakan
Korelasi Pearson -0.068 -0.035 -0.064 1 -0.081
Signifikansi (two-tail) 0.583 0.779 0.609 0.562
Perawatan yang diterima
Korelasi Pearson 0.095 -0.214 -0.113 -0.081 1
Signifikansi (two-tail) 0.464 0.094 0.380 0.562
*Korelasi signifikan pada level 0.05 (two-tailed)

Tabel 2 menunjukkan matriks korelasi dimana menunjukkan korelasi yang timbul


antara prasarjana dalam pelatihan dental dan perawatan pada pasien dengan
kebutuhan khusus. Frekuensi anak-anak yang mengunjungi klinik dental
berhubungan dengan pengalaman bertahun-tahun ditemukan secara statistik
signifikan.

Matriks korelasi menunjukkan bahwa korelasi timbul antara pelatihan dental pada
saat prasarjana dan perawatan pasien dengan kebutuhan khusus.
Tabel 3: Model regresi logistik untuk aksesibilitas pada pasien terhadap hambatan
yang diterima dan tantangannya

Hambatan yang diterima B SE P Exp (B)


Perilaku pasien 0.152 0.552 0.783 1.16
Kurangnya komunikasi 1.316 0.513 0.01* 3.72
Tingkat pelatihan -0.726 0.457 0.112 0.484
Motivasi perawat inadekuat 0.867 0.456 0.05* 2.38
Batasan waktu 0.593 0.483 0.220 1.809
Perawatan dental kembali -22.133 0.40 0.23 1.25
SE= Standar kesalahan, *p<0.05 (signifikan), **p<0.001 (sangat signifikan)

Tabel 3 menunjukkan Exp(B) sebagai rasio peluang yang sesuai dengan nilai p.
Ketika praktisi ditanyakan mengenai hambatan yang dirasakan, kurangnya
komunikasi memiliki 3.72 peluang sebagai hambatan yang dirasakan (p=0.01),
perawat dengan motivasi inadekuat memiliki peluang sebagai hambatan yang
dirasakan (p=0.05).

Gambar 1 merupakan gambaran grafis dari hambatan yang diterima oleh dokter
gigi umum ketika menangani anak-anak berkebutuhan khusus.
PEMBAHASAN

Studi terkini dilakukan pada 149 dokter gigi umum yang dipilih secara acak di
Kerala, India, untuk menentukan hambatan yang dirasakan pada saat menyediakan
perawatan dental optimal pada anak-anak berkebutuhan khusus.

Hasil menunjukkan bahwa hampir seluruh praktisi ingin mengeliminasi


kesenjangan antara perawatan dental yang diberikan pada anak-anak biasa dan
anak-anak berkebutuhan khusus, namun kebanyakan dari responden menemukan
hal tersebut sulit dilakukan. Temuan yang serupa hingga kesimpulan dibuat oleh
Mueller di Amerika pada tahun 1998 dan Bindal et al.,di Malaysia pada tahun
2015.

Sebanyak 32,6% dari profesional menyatakan kurangnya pelatihan dan


pengalaman, serta dengan kesulitan yang dialami dalam menangani anak-anak
disabilitas, dimana sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Rao et al. Studi
terbaru yang dilakukan oleh Dao et al. juga mendukung penemuan data ini pada
studi kami.

Sebanyak 20.8% dari partisipan menyatakan perawat dengan motivasi yang


inadekuat menjadi salah satu hambatan yang berkaitan. Pengamatan ini mirip
dengan penemuan yang dilakukan oleh Vignehsa et al., Russell and Kinirons dan
Owens.

Hasil studi ini menawarkan gambaran yang kurang jelas terhadap efek pelatihan
pada tingkat prasarjana pada praktisi. Bahkan ketika 45% persen pelatihan yang
telah mereka terima pada saat prasarjana baik, pertanyaan lain yang berkaitan
dengan kepercayaan diri praktisi dalam menyediakan perawatan pada anak-anak
berkebutuhan khusus, 43% menjawab secara negatif. Hasil ini mendorong studi
yang dilakukan oleh Casamassimo et al., yang mana menyatakan bahwa dokter
gigi yang tidak pernah melakukan hands-on dan seminar lebih tidak peduli
terhadap pasien seperti ini.

Kesimpulan penting terhadap penelitian ini sesuai dengan Casamassimo, dimana


ia menyarankan bahwa program edukasi terhadap perawatan pada pasien dengan
kebutuhan khusus tidak diperlukan untuk meningkatkan jumlah dokter gigi yang
bersedia untuk menangani pasien ini, namun lebih mendorong para praktisi untuk
menghilangkan kesenjangan yang dialami pada anak-anak dengan kebutuhan
khusus untuk mendapatkan perawatan yang adekuat.

Pemeriksaan berbagai aspek dipertimbangkan pada studi ini, sehingga dapat


dirangkum bahwa keputusan dokter gigi dalam menyediakan perawatan bagi
CSHCN diatur dengan berbagai faktor, meliputi finansial, waktu, sikap, dan
batasan edukasi sejalan dengan hambatan fisik dalam mengakses klinik dental,
yang mana diperburuk dengan motivasi perawat utama pasien yang inadekuat.

KESIMPULAN

Berdasarkan temuan pada studi ini, kami memaparkan beberapa potensi usaha
untuk melawan persepsi hambatan yang dirasakan dan membantu tenaga
profesional dalam kebutuhan perawatan bagi anak berkebutuhan khusus:

 Program latihan kedokteran gigi pada anak berkebutuhan khusus untuk


menambah dan meningkatkan kualitas perawatan pasien.
Mempertimbangkan respon yang dapat mendorong praktisi dalam
keinginan mereka untuk menghilangkan kesenjangan dalam perawatan
yang diberikan kepada anak berkebutuhan khusus, perbaikan kurikulum
dalam pelatihan prasarjana dapat dipertimbangkan untuk memfasilitasi
dokter gigi yang baru dalam menghadapi kelompok pasien ini lebih baik
 Untuk memberikan perawatan rongga mulut dari tingkatan dasar, orang
tua, perawat, dan guru-guru anak-anak tersebut sebaiknya diberikan
edukasi dan dilatih mengenai masalah dental, intruksi kebersihan rongga
mulut, dan pelatihan diet, pencegahan terhadap trauma orofasial dan
pertolongan pertama
 Ketika lokasi dan peralatan klinik dental ditemukan menjadi salah satu
penghambat utama dalam mengakses perawatan dental pada anak-anak,
lingkungan tanpa hambatan dengan penggunaan ruang terbuka pada klinik
seperti tempat kursi roda, alat stabilisasi, dan toilet ramah disabilitas dan
lift sangat direkomendasikan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Kami mengucapkan terimakasih pada Dr. Arun Paul E.M, dosen senior,
Departmen Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Gigi KMCT, Calicut,
Kerala, untuk menyediakan bantuan yang diperlukan untuk analisis statistik dari
data yang diperoleh.

KONFLIK KEPENTINGAN
Tidak ada konflik kepentingan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bongaarts J. United Nations Department of Economic and Social Affairs,


Population Division World Mortality Report 2005. Population and
Development Review 2006;32:594-6.
2. Altun C, Guven G, Akgun OM, Akkurt MD, Basak F, Akbulut E. Oral
health status of disabled individuals attending special schools. Eur J Dent
2010;4:361-6.
3. Simon EN, Matee MI, Mathee MI, Scheutz F. Oral health status of
handicapped primary school pupils in Dar es Salaam, Tanzania. East Afr
Med J 2008; 85:113-7.
4. Rao D, Hegde A, Munshi AK. Periodontal status of disabled children in
South Canara, Karnataka. J Indian Dent Assoc 2003; 74:559-62.
5. Hennequin M, Faulks D, Roux D. Accuracy of estimation of dental
treatment need in special care patients. J Dent 2000; 28:131-6.
6. Oliver CH, Nunn JH. The accessibility of dental treatment to adults with
physical disabilities in Northeast England. Spec Care Dentist 1996;
16:204-9.
7. Merry AJ, Edwards DM. Disability part 1: The disability discrimination
act (1995) – Implications for dentists. Br Dent J 2002; 193:199-201.
8. O’Donnell D, Sheiham A, Yeung KW. The willingness of general dental
practitioners to treat people with handicapping conditions: The Hong
Kong experience. J R Soc Promot Health 2002; 122:175-80.
9. Smith CS, Ester TV, Inglehart MR. Dental education and care for
underserved patients: An analysis of students’ intentions and alumni
behavior. J Dent Educ 2006; 70:398-408.
10. Edwards DM, Merry AJ. Disability part 2: Access to dental services for
disabled people. A questionnaire survey of dental practices in Merseyside.
Br Dent J 2002; 193:253-5.
11. Mueller CD, Schur CL, Paramore LC. Access to dental care in the United
States: Estimates from a 1994 survey. J Am Dent Assoc 1998; 129:429-37.
12. Bindal P, Lin CW, Bindal U, Safi SZ, Zainuddin Z, Lionel A. Dental
treatment and special needs patients (SNPs): Dentist’s point of view in
selected cities of Malaysia. Biomed Res 2015; 26:152-6.
13. Rao D, Amitha H, Munshi AK. Oral hygiene status of disabled children
and adolescents attending special schools of South Canara, India. Hong
Kong Dent J 2005; 2:107-2.
14. Dao LP, Zwetchkenbaum S, Inglehart MR. General dentists and special
needs patients: Does dental education matter? J Dent Educ
2005;69:1107-15.
15. Vignehsa H, Soh G, Lo GL, Chellappah NK. Dental health of disabled
children in Singapore. Aust Dent J 1991; 36:151-6.
16. Russell GM, Kinirons MJ. A study of the barriers to dental care in a
sample of patients with cerebral palsy. Community Dent Health 1993;
10:57-64.
17. Owens J. Barriers to oral health promotion in the Republic of Ireland.
Scand J Public Health 2011;39 6 Suppl: 93-7.
18. Casamassimo PS, Seale NS, Ruehs K. General dentists’ perceptions of
educational and treatment issues affecting access to care for children with
special health care needs. J Dent Educ 2004; 68:23-8.
19. Casamassimo PS. The great educational experiment: Has it worked? Spec
Care Dentist 1983; 3:101-6.
KUESIONER

Kuesioner diberikan pada partisipan studi (dokter gigi umum)

“Kuesioner ini didesain untuk mengumpulkan informasi mengenai bagaimana


dokter gigi merawat anak-anak berkebutuhan khusus. Kelengkapan survei ini
dilakukan secara sukarela dan seluruhnya bersifat rahasia. Informasi yang anda
berikan kepada kami tetap aman dan dirahasikan. Kami memberikan seluruh
responden identifikasi secara acak, sehingga kami tidak berbagi informasi yang
telah kami kumpulkan dari anda atas nama anda atau informasi identitas lainnya.
Laporan yang dibuat tidak memasukkan informasi yang memungkinkan untuk
dikenali oleh partisipan.”

1. Berapa lama anda telah bekerja sebagai dokter gigi?


2. Rata-rata, berapa banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang
mengunjungi anda untuk perawatan dalam sebulan?
a. Lebih dari 3
b. Kurang dari 3
c. Tidak ada
3. Seberapa baik edukasi dental prasarjana mempersiapkan anda untuk
menangani pasien dengan kebutuhan khusus
a. Sangat baik
b. Baik
c. Cukup
d. Buruk
4. Apakah anda percaya dalam menangani pasien berkebutuhan khusus?
a. Iya
b. Tidak
5. Apakah staf pendukung nyaman dalam menangani pasien berkebutuhan
khusus di klinik anda?
a. Iya
b. Tidak
6. Apakah klinik anda
a. Dapat diakses oleh pasien berkebutuhan khusus (lantai dasar;
fasilitas lift/lereng untuk kursi roda, dll.,)
i. Iya
ii. Tidak
b. Difasilitasi dengan fasilitas yang memadai untuk pasien ini
i. Iya
ii. Tidak
7. Apakah anda merasa butuh untuk mengurangi kesenjangan antara pasien
berkebutuhan khusus dengan pasien tanpa kebutuhan khusus mengenai
Kesehatan rongga mulut dan akses terhadap perawatan
a. Iya
b. Tidak
8. Apa menurut anda hambatan terbesar dan tantangan dalam keinginan
dokter gigi untuk merawat anak disabilitas?
a. Perilaku pasien
b. Kurangnya komunikasi
c. Tingkat pelatihan dokter gigi
d. Motivasi perawat yang inadekuat
e. Keterbatasan waktu
f. Perawatan dental yang relaps
9. Apakah anda tau mengenai Undang-undang bagi Individu dengan
Disabilitas, 1995, dan Hak Individu dengan Disabilitas
a. Iya
b. Tidak
10. Tipe disabilitas pada pasien berkebutuhan khusus yang umumnya
mengunjungi klinik anda
a. Keterbatasan fisik
b. Keterbatasan Kesehatan Mental
c. Keterbatasan Medis
11. Apakah penanganan medis yang lebih anda sukai pada anak-anak dengan
kebutuhan kesehatan khusus:
a. Menggunakan teknik penanganan perilaku
b. Sedasi berkelanjutan
c. Dibawah anastesi umum
12. Perawatan yang dilakukan oleh anda kepada pasien dengan kebutuhan
khusus meliputi:
a. Perawatan emergency
b. Ekstraksi
c. Perawatan restorasi
d. Gigi tiruan dan kunjungan perawatan lebih dari sekali
e. Perawatan periodontal
f. Kebersihan rongga mulut dan langkah preventif
13. Apakah kategori anak berkebutuhan khusus yang anda rawat lebih baik?
a. Keterbatasan pendengaran
b. Keterbatasan penglihatan
c. Gangguan mental
d. Autistik
e. Keterbatasan fisik
f. Cerebral palsy
14. Untuk meningkatkan kualitas perawatan pada anak-anak dengan
keterbatasan khusus, apakah anda berpikir Kedokteran Gigi Khusus
sebaiknya menjadi bagian dalam kurikulum prasarjana? Menurut anda
pada tingkat berapa?
a. Pelatihan teoretis
b. Observasi klinis
c. Berbagai tingkatan perawatan dan bantuan dalam Kedokteran
Gigi Khusus
15. Apakah anda tertarik dalam melakukan pelatihan yang lebih lanjut dalam
penanganan pasien dengan kebutuhan khusus
a. Iya
b. Tidak
16. Seberapa sering anda memperbaharui pengetahuan melalui edukasi,
konferensi, dll.?
a. Dua kali per tahun
b. Satu kali per tahun
c. Satu kali dalam 2 tahun

Anda mungkin juga menyukai