Anda di halaman 1dari 130

SINTESIS DAN KARAKTERISASI HIDROKSIAPATIT DARI

LIMBAH SISIK IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus


campechanus) MENGGUNAKAN METODE PENGENDAPAN
KIMIA BASAH SEBAGAI BAHAN DENTAL BIO-IMPLANT

SKRIPSI

Oleh:
DWI ULFYANA
NIM 135100601111037

JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
SINTESIS DAN KARAKTERISASI HIDROKSIAPATIT DARI
LIMBAH SISIK IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus
campechanus) MENGGUNAKAN METODE PENGENDAPAN
KIMIA BASAH SEBAGAI BAHAN DENTAL BIO-IMPLANT

Oleh:
DWI ULFYANA
NIM 135100601111031

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


Gelar Sarjana Teknologi Pertanian

JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
LEMBAR PERSETUJUAN

Judul TA : Sintesis Dan Karakterisasi Hidroksiapatit Dari


Limbah Sisik Ikan Kakap Merah (Lutjanus
Campechanus) Menggunakan Metode
Pengendapan Kimia Basah Sebagai Bahan
Dental Bio-Implant

Nama : Dwi Ulfyana


NIM : 135100601111037
Jurusan : Keteknikan Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian

Menyetujui

Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua,

Prof.Dr.Ir. Sumardi H.S., MS. Dr. Yusuf Wibisono, STP.,M.Sc


NIP. 19540112 198002 1 001 NIP. 19800107 200212 1 003

Tanggal Persetujuan : Tanggal Persetujuan :


LEMBAR PENGESAHAN

Judul TA : Sintesis Dan Karakterisasi Hidroksiapatit Dari


Limbah Sisik Ikan Kakap Merah (Lutjanus
Campechanus) Menggunakan Metode
Pengendapan Kimia Basah Sebagai Bahan
Dental Bio-Implant

Nama : Dwi Ulfyana


NIM : 135100601111037
Jurusan : Keteknikan Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian

Dosen Penguji I, Dosen Penguji II,

Prof.Dr.Ir. Sumardi H.S., MS. Dr. Yusuf Wibisono, STP., M.Sc


NIP. 19540112 198002 1 001 NIP. 19800107 200212 1 003

Dosen Penguji III, Ketua Jurusan,

Fajri Anugroho,S.TP.M.Agr,Ph.D La Choviya Hawa, STP.MP.Ph.D


NIP. 20120173 0328 1 001 NIP. 19780307 200012 2 001
IDENTITAS TIM PENGUJI

1. Dosen Penguji I
Prof.Dr.Ir. Sumardi H.S., MS.
NIP. 19540112 198002 1 001

2. Dosen Penguji II
Dr. Yusuf Wibisono, S.TP., M.Sc
NIP. 19800107 200212 1 003

3. Dosen Penguji III


Fajri Anugroho, S.TP., M.Agr., Ph.D
NIP. 20120173 0328 1 001
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR

Yang Bertanda tangan di bawah ini

Nama Mahasiswa : Dwi Ulfyana


NIM : 135100601111037
Jurusan : Keteknikan Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Judul TA :Sintesis Dan Karakterisasi Hidroksiapatit
Dari Limbah Sisik Ikan Kakap Merah
(Lutjanus Campechanus) Menggunakan
Metode Pengendapan Kimia Basah
Sebagai Bahan Dental Bio-Implant

Menyatakan bahwa,

TA dengan judul di atas merupakan karya asli penulis tersebut


di atas. Apabila di kemudian hari terbukti ini tidak benar saya
bersedia dituntut sesuai hukum yang berlaku.

Malang, 04 September 2017


Pembuat Pernyataan,

Dwi Ulfyana
NIM. 135100601111037
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Malang Jawa
Timur pada 23 Januari 1996 dari Alm.
Ayah bernama Imam Solikin dan Ibu
Rohana Anita. Penulis telah
menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar
di SDN Perumnas 9 Tangerang pada
2007. Kemudian melanjutkan kejenjang
sekolah menengah pertama di SMPN 20 Tangerang dengan
tahun kelulusan 2010 dan melanjutkan ke jenjang sekolah
menengah atas SMA 1 Nusantara Tangerang dan lulus pada
tahun 2013.
Pada Tahun 2017 penulis telah berhasil menyelesaikan
pendidikannya di Universitas Brawijaya Malang pada program
studi Teknologi Bioproses Jurusan Keteknikan Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian. Selama menjalani pendidikan di
Universitas Brawijaya penulis aktif menjadi koordinator asisten
praktikum, staf magang CARE HIMATETA pada periode
2013/2014, Sekretaris Bidang P.I (Pengelolaan Internal)
HIMATETA periode 2014/2015, dan Sekretaris Umum
HIMATETA periode 2015/2016 di Fakultas Teknologi Pertanian.
Selain itu penulis juga aktif dalam kegiatan kepanitiaan di
Fakultas Teknologi Pertanian.
Alhamdulillah……. Terimakasih Ya Allah
Karya kecil ini aku persembahkan kepada
Kedua Orang Tuaku, Kakakku, Adikku dan segenap keluarga
tercinta
DWI ULFYANA. 135100601111037. Sintesis dan
Karakterisasi Hidroksiapatit dari Limbah Sisik Ikan Kakap
Merah (Lujtanus campechanus) Menggunakan Metode
Pengendapan Kimia Basah Sebagai Bahan Dental Bio-
Implant. Skripsi. Pembimbing I : Prof.Dr.Ir. Sumardi H.S.
MS. Pembimbing II : Dr. Yusuf Wibisono, STP.,M.Sc

RINGKASAN
Biomaterial saat ini sangat berkembang pesat, terutama
pada bidang medis. Salah satu material yang digunakan dalam
dunia kedokteran gigi merupakan senyawa Hidroksiapatit (HAp)
yang berfungsi untuk Implant gigi. HAp memiliki sifat
biokompatibilitas yang lebih baik dibandingkan implant gigi
berbahan logam. HAp dapat disintesis dari bahan alami seperti
cangkang telur, cangkang kerang, tulang sapi, tulang babi, sisik
ikan, dan tulang ikan. Indonesia dengan potensi perikanan
terbesar di dunia menghasilkan limbah salah satunya adalah
limbah Sisik Ikan. Kalsium fosfat merupakan komponen utama
senyawa HAp, yang dapat disintesis dari limbah sisik ikan.
Metode yang digunakan untuk sintesis Hidroksiapatit (HAp)
adalah pengendapan kimia basah (Wet Chemical Precipitation).
Pada proses sintesis hidroksiapatit dilakukan proses kalsinasi,
dimana proses ini bertujuan untuk membentuk kristal apatit yang
mempengaruhi sifat mekanik dari hidroksiapatit yang dapat
diaplikasikan sebagai coating implant tulang maupun gigi.
Perlakuan kalsinasi diberikan dengan variasi suhu kalsinasi
600oC (FHAp1) dan 800oC (FHAp2) selama 5 jam. Hasil
karakterisasi dengan XRF (X-Ray Fluorescence) menunjukkan
kadar kalsium dari limbah Sisik Ikan Kakap Merah yaitu sebesar
83.62%. Hasil FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy)
terdapat bilangan gelombang yang menunjukkan terbentuknya
HAp yaitu gugus PO43- dan OH-. Kemudian untuk hasil XRD (X-
Ray Diffraction) derajat kristalinitas untuk sampel FHAp1
sebesar 75.52% dan sampel FHAp2 sebesar 79.20%. Nilai
derajat kristalinitas ini sudah sesuai dengan standard ISO
13779-2:2000 dimana nilai derajat kristalinitas yang harus
dimiliki HAp sebagai bahan bio-medis memiliki nilai kristalinitas
minimal 45%. Dan untuk hasil PSA (Particle Size Analyzer)
menunjukkan bahwa sebaran ukuran partikel sudah merata,
dengan ukuran partikel HAp berskala mikro, yaitu berkisar
antara 5.76 µm sampai 132.64 µm.

Kata kunci : FTIR, Hidrokasiapatit, Pengendapan Kimia Basah,


PSA, XRF, XRD
DWI ULFYANA. 135100601111037. Hydroxyapatite
Synthesis And Characterization From Red Snapper Fish
(Lutjanus campechanus) Using Wet Chemical Precipitation
Implementation As Dental Material Bio-Implant. Skripsi.
Pembimbing I : Prof.Dr.Ir. Sumardi H.S. MS. Pembimbing II :
Dr. Yusuf Wibisono, STP.,M.Sc

SUMMARY
Biomaterials today are very rapidly growing, in the field of
medicine. One of the materials used is Hydroxyapatite (HAp)
that functions for dental implants. HAp has better
biocompatibility than implants based steel. HAp can be
synthesized from natural ingredients such as eggshells, shells,
cow bones, pig bones, fish scales, and fish bones. Indonesia
with the largest fishery potential in the world produces Fish
Scales waste. Calcium phosphate is a major component of HAp,
which can be synthesized from fish scales waste.
The method used for the synthesis of HAp is the deposition
of wet chemistry (wet chemical precipitation). In the process of
hydroxyapatite synthesis is done through calcination process,
where this process forms apatite crystals that affect each other
from hydroxyapatite, which can be applied as a coating of bone
and dental implants. Calcination treatment was administered
with temperature variations of calcination 600oC (FHAp1) and
800oC (FHAp2) for 5 hours. The results of characterization with
XRF (X-Ray Fluorescence) showed calcium content from waste
of red snapper fish scale of 83.62%. FTIR (Fourier Transform
Infrared Spectroscopy) result shows that there are wave
numbers indicating the formation of HAp. They are in the
presence of PO43- dan OH-. Then for XRD (X-Ray Diffraction)
result shows the degree of crystallinity for FHAp1 sample is
75.52% and FHAp2 sample is 79.20%. The value of this
crystallinity degree is in accordance with ISO 13779-2: 2000
standard where the degree of crystallinity which must be owned
by hydroxyapatit as bio-medical material has a crystallinity value
of at least 45%. And for the PSA (Particle Size Analyzer) results
show that the particle size distribution is evenly distributed, with
the size of micro-scale hydroxyapatite particles, ranging from
5.76 μm to 132.64 μm.
Keywords : Calcination, Fish Scale Waste, Hydroxyapatite,
Implant, Wet Chemical Prepitation.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir
dengan judul “Sintesis dan Karakterisasi Hidroksiapatit dari
Limbah Sisik Ikan Kakap Merah (Lujtanus campechanus)
Menggunakan Metode Pengendapan Kimia Basah Sebagai
Bahan Dental Bio-Implant”.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Prof.Dr.Ir. Sumardi H.S.,M.S, Dr. Yusuf Wibisono, STP,
M.Sc sebagai dosen pembimbing dan Fajri Anugroho,
STP., M.Agr., Ph.D, selaku Penguji yang memberikan
bimbingan dan arahan selama proses penyusunan dan
penyelesaian Tugas Akhir ini.
2. Kedua orang tua, bapak Alm. Imam Solikin dan bapak
Amat, dan Ibu Rohana Anita serta saudara penulis
yang telah memberikan doa dan dukungan moral
maupun materil, demi terselesaikannya Tugas Akhir ini.
3. Shinta Rosalia Dewi, S.Si, M.Sc selaku dosen penulis
dan Ir. Supriyono selaku laboran laboratorium TPPHP,
FTP, UB yang telah membantu dan memberikan
fasilitas dalam penyelesaian Tugas Akhir ini.
4. Sahabat-sahabat penulis, Mine, Rizka, Ella, Sukses, Je,
Rini, dan segenap teman-teman TBP 2013 yang selalu
memberi masukan sharing-sharing, dan motivasi serta
semangat dalam mengerjakan Tugas Akhir ini .
Penulis menyadari bahwa Tugas akhir (skripsi) ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang
membangun sangat diharapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Malang, 04 September 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL ................................................................. i
HALAMAN JUDUL ................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................... iv
RIWAYAT HIDUP ..................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR .......................... vii
RINGKASAN ..........................................................................viii
SUMMARY ............................................................................... x
KATA PENGANTAR .............................................................. xii
DAFTAR ISI............................................................................xiii
DAFTAR TABEL ................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................xvii
I. PENDAHULUAN ................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................. 5
1.5 Batasan Masalah ................................................................ 6
II. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................... 9
2.1 Ikan Kakap Merah ............................................................... 7
2.1.1 Sisik Ikan................................................................. 11
2.1.2 Komposisi Kimia Sisik Ikan...................................... 12
2.2 Biokeramik ........................................................................ 13
2.2.1 Bio-Implant ............................................................. 15
2.3 Kalsium Fosfat .................................................................. 17
2.4 Hidroksiapatit (HAp) .......................................................... 19
2.4.1 Sifat Fisis ................................................................ 21
2.4.2 Sifat Kimia .............................................................. 22
2.4.3 Sifat Biologis ........................................................... 24
2.5 Struktur Kristal HAp........................................................... 25
2.6 Sintesis Hidroksiapatit ....................................................... 26
2.7 Sintesis Hidroksiapatit Metode Presipitasi Kimia Basah .... 28
2.8 Kalsinasi ........................................................................... 33
2.9 Sonikasi ............................................................................ 35
2.10 Karakterisasi ................................................................... 37
2.10.1 XRF (X-Ray Fluorescense) ................................... 38
2.10.2 XRD (X-Ray Diffraction) ........................................ 41
2.10.3 FTIR (Fourier Transform Infrared) ......................... 43
2.10.4 PSA (Particle Size Analyzer) ................................. 46
2.11 Penelitian Terdahulu ....................................................... 47
III. METODE PENELITIAN ..................................................... 53
3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan ...................................... 53
3.2 Alat dan Bahan ................................................................. 53
3.2.1 Alat ................................................................................ 53
3.2.2 Bahan...................................................................... 55
3.3 Metode Penelitian ............................................................. 56
3.4 Tahapan Penelitian ........................................................... 57
3.5 Prosedur Penelitian ........................................................... 57
3.5.1 Preparasi Sample .................................................... 57
3.5.2 Sintesis Hidroksiapatit ............................................. 59
3.6 Diagram Alir Peneliltian ..................................................... 61
3.6.1 Preparasi Sampel ................................................... 61
3.6.2 Sintesis Hidroksiapatit ............................................. 63
3.7 Karakterisasi ..................................................................... 64
3.7.1 XRF (X-Ray Fluorescence) ..................................... 65
3.7.2 FTIR (Fourier Transform Infrared) ........................... 66
3.7.3 XRD (X-Ray Diffraction) .......................................... 66
3.7.4 PSA (Particle Size Analyzer) ................................... 67
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………..… 69
4.1 Karakterisasi Menggunakan XRF (X-Ray Fluorescence)... 69
4.2 Karakterisasi Menggunakan FTIR (Fourier Transform
Infrared Spectroscopy) ..................................................... 72
4.3 Karakterisasi Menggunakan XRD (X-Ray Diffraction) ...... 82
4.4 Karakterisasi Menggunakan PSA (Particle Size Analyzer) 88
V. PENUTUP .......................................................................... 93
5.1 Kesimpulan ....................................................................... 93
5.2 Saran ................................................................................ 94
DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 95
LAMPIRAN ........................................................................... 107
DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman


2.1 Sifat Biokeramik .............................................................. 15
2.2 Jenis-jenis Senyawa Kalsium Fosfat .............................. 18
2.3 Sintesis HAp dari Tulang dan Sisik Ikan .......................... 20
2.4 Pengaruh Pemanasan Pada HAp ................................... 35
2.5 Sintesis HAp Yang Telah Dilakukan ................................ 52
4.1 Karakterisasi XRF (X-Ray Fluorescence) ........................ 69
4.2 Panjang Gelombang dan Gugus Fungsi Pada Suhu
Kalsinasi 600oC selama 5 jam ......................................... 74
4.3 Panjang Gelombang dan Gugus Fungsi Pada Suhu
Kalsinasi 800oC selama 5 jam ......................................... 77
4.4 Perbandingan Gugus Fungsi dan Panjang Gelombang
Produk HAp (Fluka, Riedel-de, dan Sigma Aldrich).......... 81
DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman


2.1 Ikan Kakap Merah ........................................................... 10
2.2 Struktur Kimia Hidroksiapatit ........................................... 23
2.3 Struktur Hexagonal Hidroksiapatit ................................... 25
2.4 Struktur Monoklinik Hidroksiapatit ................................... 26
2.5 Sintesis HAp Dengan Metode Presipitasi Kimia Basah ... 29
2.6 Prosedur Kalsinasi .......................................................... 34
2.7 Perangkat Difraktometer ................................................. 42
2.8 Pola Interaksi XRD .......................................................... 43
2.9 Spektrum FTIR................................................................ 38
2.10 Metode Sintesis HAp Yang Telah Dilakukan ................... 43
3.1 Diagram Alir Proses Preparasi Sampel ........................... 62
3.2 Diagram Alir Proses Sintesis Sampel .............................. 64
3.3 Instrumentasi XRF .......................................................... 65
3.4 Instrumentasi FTIR.......................................................... 66
3.5 Instrumentasi XRD .......................................................... 67
3.6 Instrumentasi PSA .......................................................... 67
4.1 Hasil Spektrum FTIR FHAp1 ........................................... 73
4.2 Hasil Spektrum FTIR FHAp2 ........................................... 76
4.3 Pola FTIR HAp 200 Wako Jepang .................................. 82
4.4 Pola Difraksi Sampel FHAp1 ........................................... 83
4.5 Pola Difraksi Sampel FHAp2 ........................................... 84
4.6 Pola Difraktogram JCPDS Hidroksiapatit ........................ 84
4.7 Hasil PSA Serbuk Sisik Ikan Kakap Merah (FHAp0) ....... 89
4.8 Hasil PSA HAp Sisik Ikan Kakap Merah Kalsinasi 600oC
selama 5 jam (FHAp1) ................................................... 89
4.9 Hasil PSA HAp Sisik Ikan Kakap Merah Kalsinasi 800oC
Selama 5 jam (FHAp2) .................................................. 90
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Biomaterial adalah semua material sintetik yang


digunakan untuk menggantikan atau memperbaiki fungsi
jaringan tubuh yang secara berkelanjutan atau sekedar
bersentuhan dengan cairan tubuh (Cahyanto, 2009). Saat
ini perkembangan biomaterial sangat berkembang pesat,
terutama pada bidang medis, contohnya dalam dunia
kedokteran gigi. Biomaterial yang biasa digunakan sebagai
implant gigi merupakan keramik, yang memiliki sifat
biokompatibilitas yang paling baik dibandingkan dengan
implant gigi berbahan logam. Salah satu material yang
digunakan dalam dunia kedokteran gigi merupakan
hidroksiapatit (HAp) yang berfungsi untuk implant gigi.
Senyawa hidroksiapatit yang digunakan saat ini masih
tergolong mahal karena masih impor dari luar negeri dan
harganya mencapai 1 juta rupiah per gram (Muntamah,
2011). Kebutuhan HAp di Indonesia selama ini masih
didapatkan dengan mengimpor dari beberapa negara
diantaranya Amerika Serikat, Jepang, dan Swiss. Hal ini
mengakibatkan harga jual HAp di Indonesia menjadi sangat
mahal. Padahal HAp dapat disintesis dari bahan alami
seperti cangkang kulit telur, cangkang kerang, tulang sapi,
tulang babi, sisik dan tulang ikan serta koral (Shojai et al.,
2013).
Indonesia merupakan salah satu penghasil potensi laut
terbesar di dunia. Berdasarkan data Kementrian Kelautan
dan Perikanan (2014) produksi perikanan di Indonesia dari
tahun 2009 hingga 2014 mengalami kenaikan yang cukup
signifikan yaitu dari 9.817.000 ton/tahun pada tahun 2009
meningkat menjadi 20.722.000 ton/tahun pada tahun 2014.
Ikan kakap merah merupakan salah satu komoditas
perikanan laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Pada
ukuran konsumsi, harga ikan kakap merah di pasar
internasional bisa mencapai 5,50-18,10 US$, sehingga ikan
ini biasanya dipasarkan dalam keadaan hidup maupun
dalam bentuk fillet (Melianawati dkk, 2012). Industri
pengolahan perikanan umumnya memproduksi ikan dalam
kemasan kaleng maupun fillet, dimana pada proses
pengolahan dihasilkan limbah tulang dan sisik ikan yang
cukup banyak. Biasanya sisik ikan hanya dibuang atau
dijadikan sebagai bahan campuran pakan ternak. Sisik
sebagai by-product memiliki kandungan kolagen serta
kalsium fosfat yang tinggi (Kongsri et al, 2013). Kalsium
fosfat merupakan komponen utama senyawa HAp (John et
al., 2003). Dengan demikian, limbah sisik ikan memiliki
potensi yang cukup besar sebagai bahan baku HAp
sintesis.
Berdasarkan penelitian sebelumnya telah dilakukan
banyak riset mengenai pembuatan hidroksiapatit dari tulang
dan sisik ikan, diantaranya sintesis hidroksiapatit dan
chloroapatite dari by-product ikan sardine (Piccirillo et al.,
2014), karakterisasi tribiology hidroksiapatit dari sisik ikan
(Arbind et al., 2015), dan sintesis material biokeramik
berbasis hidroksiapatit dari tulang ikan tuna (Riyanto dkk.,
2013), serta penelitian terbaru yaitu sintesis dan
karakterisasi hidroksiapatit dari sisik ikan kurisi (Andriani,
2016), lalu ada sintesis dan karakterisasi hidroksiapatit dari
limbah cangkang rajungan (Dwijaksara, 2016).
Senyawa hidroksiapatit umumnya dapat dibuat secara
sintesis kimia-fisika. Beberapa metode yang dilakukan yaitu
sol-gel, hydrothermal, solid-state reaction, dan spray drying.
Namun beberapa metode tersebut menggunakan bahan
yang tidak alami, membutuhkan proses yang kompleks dan
tidak aman secara biologis (Pudjiastuti, 2012). Metode wet
chemical precipitation (presipitasi kimia basah) telah banyak
digunakan karena sederhana, ekonomis dan mudah
dilakukan.
Pada penelitian ini dilakukan sintesis pada limbah sisik
ikan kakap merah (Lutjanus campechanus) dengan metode
pengendapan kimia basah (wet chemical precipitation),
dimana prekursor kalsium yang digunakan adalah kalsium
hidroksida Ca(OH)2 yang diperoleh dari sisik ikan kakap
merah, sedangkan prekursor fosfatnya adalah asam fosfat
H2PO4. Penggunaan metode presipitasi kimia basah pada
penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan HAp dari limbah
sisik ikan kakap merah (Lutjanus campechanus) dengan
kemurnian dan kristalinitas yang tinggi dimana salah satu
faktor yang mempengaruhi derajat kemurnian dan
kristalinitas adalah suhu kalsinasi.
Karakterisasi HAp dianalisis menggunakan XRF (X-Ray
Fluorescence) untuk menganalisis komposisi senyawa
kimia, FTIR (Fourier Transform Infrared) untuk menganalisis
gugus-gugus yang terkandung pada HAp, XRD (X-Ray
Diffraction) untuk menganalisis kristalinitas sampel, serta
PSA (Particel Size Analyzer) untuk menganalisis distribusi
ukuran partikel.
Berdasarkan uraian diatas,penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan HAp dari limbah sisik ikan kakap merah
(Lutjanus campechanus) dengan kemurnian dan kristalinitas
yang tinggi dimana salah satu faktor yang mempengaruhi
derajat kemurnian dan kristalinitas adalah suhu kalsinasi.
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana preparasi untuk mendapatkan CaO optimum


dari limbah sisik ikan kakap merah?
2. Bagaimana sintesis Hidroksiapatit dari CaO limbah sisik
ikan kakap merah dengan metode pengendapan kimia
basah?
3. Bagaimana pengaruh suhu kalsinasi terhadap sintesis
hidroksiapatit limbah sisik ikan Kakap Merah?
4. Bagaimana analisis Hidroksiapatit yang dihasilkan
dengan karakterisasi menggunakan XRD, XRF, FTIR,
dan PSA?
5. Bagaimana analisis hasil karakterisasi dengan
karakteristik Hidroksiapatit dan material bio-implant?
1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Melakukan preparasi untuk mendapatkan CaO optimum
dari limbah sisik ikan kakap merah
2. Melakukan sintesis Hidroksiapatit dari CaO limbah sisik
ikan kakap merah dengan metode pengendapan kimia
basah
3. Melakukan analisis pengaruh suhu kalsinasi terhadap
sintesis hidroksiapatit limbah sisik ikan Kakap Merah
4. Melakukan analisis Hidroksiapatit yang dihasilkan
dengan karakterisasi menggunakan XRD, XRF, FTIR,
dan PSA
5. Melakukan analisis hasil karakterisasi dengan
karakteristik Hidroksiapatit dan material bio-implant
1.4 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat


bagi semua kalangan baik untuk pemerintah, masyarakat,
maupun peneliti sendiri.
1. Bagi pemerintah : membantu pemerintah dalam
perkembangan biokeramik hidroksiapatit pada bidang
ortopedi dan kedokteran gigi sebagai material pengganti
gigi, dan membantu pemerintah dalam pemanfaatan
limbah hasil perikanan dan mengembangkannya untuk
diaplikasikan dalam bidang medis.
2. Bagi masyarakat : memberikan informasi pada
masyarakat mengenai potensi limbah sisik ikan (fish-
scales) sebagai bahan dasar pembuatan hidroksiapatit
sintesis.
3. Bagi peneliti : memberikan pengalaman dalam
mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang didapatkan
selama belajar di universitas.
1.5 Batasan Masalah

Batasan masalah dilakukan agar penelitian yang dilakukan


lebih fokus. Adapun batasan masalah dalam penelitian ini
adalah :
1. Sintesis hidroksiapatit menggunakan metode
pengendapan kimia basah.
2. Karakterisasi yang dilakukan adalah PSA, FTIR, XRD,
dan XRF.
3. Penelitian ini tidak membahas analisis biaya dan energi
yang digunakan pada sintesis hidroksiapatit dari limbah
sisik ikan kakap merah.
4. Tidak membahas secara detail aplikasi di bidang medis.
5. Perlakuan yang digunakan adalah variasi perbedaan
suhu kalsinasi yaitu 6000C dan 8000C.
6. Tidak menghitung kadar air selama proses sintesis
hidroksiapatit.
7. Penelitian ini dilakukan dalam skala laboratorium.
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Kakap Merah

Ikan kakap merah memiliki ciri yaitu tubuh yang memanjang


dan melebar, gepeng atau lonjong, kepala cembung atau sedikit
cekung. Jenis ikan ini umumnya bermulut lebar dan agak
menjorok ke muka, gigi konokel pada taring-taringnya tersusun
dalam satu atau dua baris dengan serangkaian gigi caninnya
yang berada pada bagian depan. Ikan kakap merah yang
mempunyai nama latin Lutjana ini termasuk dalam family
Lutjanidae. Secara lengkap taksonomi ikan kakap merah adalah
sebagai berikut (Saanin, 1984) :

Phylum : Chordata

Sub Phylum : Vertebrata

Kelas : Pisces

Sub Kelas : Teleostei

Ordo : Percomorphi

Family : Lutjanidae

Genus : Lutjanus

Spesies : Lutjanus sp.

Warna dari ikan ini sangat bervariasi, mulai dari yang


kemerahan, kekuningan, kelabu hingga kecoklatan. Pada
umumnya ikan jenis ini berukuran panjang antara 25-50 cm,
walaupun tidak jarang dapat mencapai panjang hingga 90 cm
(Aslianti, 2008). Ikan kakap merah merupakan jenis ikan
karnivor dan makanan utamanya meliputi jenis ikan kecil, udang
dan cumi-cumi. Di alam ikan ini dapat tumbuh hingga mencapai
ukuran maksimum panjang 116 cm, berat 32,7 kg dan berumur
maksimal 35 tahun (Melianawati dkk, 2012). Bentuk ikan kakap
merah dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Ikan Kakap Merah

Menurut Mulyani dan Farida (2012) ikan kakap merah


merupakan salah satu komoditas hasil laut yang menghasilkan
berbagai limbah sebagai hasil samping proses produksinya
berupa limbah cair dan limbah padat. Limbah cair biasanya
berupa darah, lender, drip, dan lemak. Sedangkan limbah padat
organik kebanyakan berupa kepala, insang, isi perut, tulang,
sirip, kulit, dan sisik.
2.1.1 Sisik Ikan

Salah satu limbah dari pengolahan ikan segar adalah sisik.


Sisik ikan merupakan jaringan yang mengandung osteoblast
dan osteoclast seperti yang ditemukan pada tingkat vertebrata
yang lebih tinggi, namun regulasi aktivitas sel dalam jaringan
masih sedikit diketahui (Rotlant et al., 2005). Sisik juga
mempunyai karakteristik yang ditemukan dalam struktur-struktur
lain seperti tulang, gigi, dan urat daging yang bermineral.
Semua bahan ini sebagian besar dibentuk oleh suatu komponen
organik (kolagen), suatu komponen mineral (hidroksiapatit) dan
air (Torres et al., 2007).
Sisik ikan mempunyai bentuk dan ukuran yang beraneka
macam, yaitu sisik ganoid merupakan sisik besar dan kasar,
sisik sikloid dan stenoid merupakan sisik yang kecil, tipis atau
ringan hingga sisik placoid merupakan sisik yang lembut.
Umumnya tipe ikan yang perenang cepat atau secara terus
menerus bergerak pada perairan berarus deras mempunyai tipe
sisik yang lembut, sedangkan ikan-ikan yang hidup diperairan
yang tenang dan tidak berenang secara terus menerus pada
kecepatan tinggi umumnya mempunyai tipe sisik yang kasar.
Sisik sikloid berbentuk bulat, pinggiran sisik halus dan rata
sementara sisik stenoid mempunyai bentuk seperti sikloid tetapi
mempunyai pinggiran yang kasar. Selain jenis sisik yang
menjadi kriteria bagi suatu jenis ikan tertentu, jumlah sisik ikan
juga perlu diperhatikan (Wahyuningsih dkk, 2006).
2.1.2 Komposisi Kimia Sisik Ikan

Beberapa komponen yang terdapat pada sisik ikan antara lain:

 Protein
Protein adalah sumber asam amino yang mengandung
unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau
karbohidrat. Molekul protein juga dapat mengandung fosfor,
belerang dan ada unsur logam seperti besi dan tembaga
(Suwardi dkk, 1973).
 Mineral
Unsur mineral juga dikenal sebagai zat anorganik atau
kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan
organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itu
disebut abu. Sampai sekarang telah diketahui ada empat
belas unsur mineral yang berbeda jenisnya diperlukan
manusia agar memiliki kesehatan dan pertumbuhan yang
baik. Unsur tersebut adalah natrium, klor, kalsium, fosfor,
magnesium, dan belerang. Unsur-unsur ini terdapat dalam
tubuh dengan jumlah yang cukup besar dan karenanya
disebut unsur makro atau mineral makro (Suwardi dkk,
1973).
 Kitin
Kitin adalah substansi organik kedua yang banyak
ditemukan setelah selulosa, terdapat dalam berbagai
spesies binatang. Pada binatang perairan, kitin banyak
ditemukan pada kerang-kerangan, contohnya pada karapas
udang dan sisik ikan (Suwardi dkk, 1973).
 Kalsium
Peranan kalsium dalam tubuh yaitu membantu membentuk
tulang dan gigi. Metabolisme kalsium sangat kompleks
sifatnya karena banyaknya faktor yang mempengaruhinya
seperti P (fosfor), Vitamin D, karoten, umur dan sebagainya
(Suwardi dkk, 1973).
Pada tubuh ikan, kalsium sebagian besar terdapat pada sisik
dan tulang (Rotlant et al., 2005). Kalsium merupakan komponen
struktural mineral tulang atau hidroksiapatit yang komposisinya
kira-kira adalah [Ca2(PO4)2]3, Ca(OH)2, namun kalsium yang
terdapat pada sisik ikan berupa kalsium yang kurang
hidroksiapatit (Torres et al., 2007).

2.2 Biokeramik

Biomaterial merupakan suatu material tak hidup yang


biasanya digunakan sebagai perangkat medis dan mampu
berinteraksi dengan sistem biologis. Biomaterial ini di
klasifikasikan menjadi beberapa klasifikasi yaitu polimer,
komposit, dan keramik (Cefaly et al., 2008). Salah satu dari
material tersebut adalah keramik. Keramik juga telah banyak
digunakan sebagai material pengganti dalam ilmu kedokteran
gigi. Biomaterial jenis keramik banyak digunakan untuk implant
gigi, bagian tulang serta pelapisan implant logam untuk
keperluan ortopedik (Sriyono dkk., 2010).
Sifat biokeramik antara lain tidak beracun, tidak mengandung
zat karsinogenik, tidak menyebabkan alergi, tidak menyebabkan
radang, memiliki biokompatibilitas yang baik, serta tahan lama
(Widyastuti, 2009). Biokeramik adalah bahan yang digunakan
untuk memperbaiki kerangka atau jaringan keras. Biokeramik
terdiri dari bioinert (alumina, zirconia), bioresorbable (tricalcium
fosfat), bioaktif (hidroksiapatit, bioactive glasses, dan glass
ceramics), serta keramik yang memiliki pori digunakan untuk
jaringan yang masih tumbuh (lapisan hidroksiapatit, dan lapisan
bioglass pada bahan metalik) (Dahotre, 2008). Sifat biokeramik
dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Menurut Pane (2008) keramik adalah salah satu bahan yang
dapat digunakan untuk dental implant karena
biokompatibilitasnya yang baik dan sifatnya yang inert. Ada dua
tipe keramik yaitu : keramik bioaktif dan non reaktif keramik.
Salah satu contoh keramik bioaktif yang sering digunakan
sebagai bahan dental implant adalah hidroksiapatit karena
mempunyai bikompatibilitas yang tinggi. Menurut Vahdettin et al
(2010) keramik kalsium fosfat merupakan salah satu keramik
bioaktif yang banyak digunakan untuk perbaikan tulang,
termasuk diantaranya betatricalcium phospat (β-TCP),
hidroksiapatit (HA), dan bifasik calcium phospat (BCP) yang
terdiri dari campuran inti HA dan β-TCP dari berbagai HA/β-
TCP. Sebagai bahan implant, keramik tersebut disintesis
dengan desain ilmiah yang kuat dan bersifat biokompatibel.

Tabel 2.1. Sifat Biokeramik (Balgies, 2011)


Reaksi Sel Akibat Contoh
Implant
Bioinert Sel membentuk kapsul Alumina (Al2O3),
serabut yang tidak Zirconia (ZrO2) dan
menempel disekitar implant karbon

Bioaktif Sel membentuk ikatan Hidroksiapatit, bio-


antarmuka dengan implant glass, A-W glass
Bioresorable Sel mengganti implant β-tricalcium fosfat,
hidroksiapatit
karbonat, kalsium
karbonat

2.2.1 Bio-Implant

Bio-implant merupakan sebuah peralatan medis yang dibuat


dari satu atau lebih biomaterial yang dipasangkan/dimasukkan
kedalam tubuh, secara keseluruhan atau sebagian
dipendam/dipasang antara permukaan epitel tubuh (Ylinen,
2006). Material implant adalah material yang tidak akan pernah
menjadi bagian utuh dari suatu organisme meskipun mereka
dimasukkan kedalam tubuh. Maka dari itu sebuah material
implant haruslah bersifat biotoleran dan bioinert, yang artinya
sebuah material implant tersebut harus dapat membangun
kontak langsung dengan tulang disekitarnya, serta suatu
material implant harus mampu bertahan dalam tubuh tanpa
memberikan efek berbahaya bagi lingkungan biologic sekitarnya
(Ylinen, 2006). Dalam dunia biomaterial, material keramik yang
digunakan sebagai biologic implant ada 3 jenis, yaitu keramik
oxide seperti Aluminiumoxide Al2O3 dan zirconiumoxide ZrO2,
kalsium fosfat yang mengandung glass ceramic dan glasses
seperti silica dan karbon pirolitik, dan keramik kalsium fosfat
seperti Tricalciumphosphate (TCP), Hidroksiapatit HA, dan
biphasic calcium phosphates (BCP). Berdasarkan sifat material
yang harus dimiliki sebagai bahan implant, Hidroksiapatit adalah
bahan yang cocok untuk dijadikan material implant karena
memiliki sifat biokompatibilitas tinggi, biotoleran, dan bioinert.

Mengacu pada International Organization of Standardization


(ISO) 13779-2 dan American Society for Testing and Materials
(ASTM) F1609 standarisasi karakteristik HA Coating sebagai
aplikasi pada implant untuk tubuh manusia. Spesifikasi
persyaratan standarnya untuk hidroksiapatit yaitu rasio calcium-
phosporous harus berada pada rentang 1.67-1.76, kandungan
kristalinitas dari hidroksiapatit minimal 45% dengan kandungan
fase kristalinitas yang lain maksimum 5%, dan kekuatan
perekatan lebih tinggi dari 15 MPa pada implant metallic
maupun non-metallic implant (Daigle et al, 2005).

2.3 Kalsium Fosfat

Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat


dalam tubuh, 99% berada dalam jaringan keras, yaitu tulang
dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit
[3Ca(PO4)2.Ca(OH)2] (Jayanti, 2009). Menurut Almatsier (2003),
fungsi kalsium dalam tubuh manusia adalah untuk pembentukan
tulang, pembentukan gigi, mengatur pembekuan darah,
katalisator reaksi biologis, dan saat kontraksi otot kalsium
berperan dalam interaksi protein didalam otot.
Kalsium fosfat merupakan keramik yang memiliki ikatan
kovalen atau ionic. Senyawa kalsium fosfat tidak memiliki
muatan bebas sehingga memiliki sifat listrik yang rendah.
Sintesis senyawa kalsium fosfat dapat diperoleh dengan
mencampurkan prekursor kalsium dan fosfat dengan berbagai
metode. Dalam berbagai penelitian kalsium fosfat sintetik
berhasil diperoleh dalam berbagai macam fase. Perbedaan fase
kalsium fosfat dapat digunakan dalam medis tergantung pada
bioaktivitas atau kemampuan penyerapan material yang
diperlukan. Pada Tabel 2.2 menunjukkan daftar kalsium fosfat
yang sering digunakan pada bidang medis (Shi, 2003).

Tabel 2.2 Jenis-jenis Senyawa Kalsium Fosfat (Shi, 2003)


Nama Nama Kimia Rumus Kimia Ca : P
Mineral (Rasio
Molar)

Monetite Dikalsium fosfat CaHPO4 1,00


(DKF)
Brushite Dikalsium fosfat CaHPO4.2H2O 1,00
dihidrat (DKFD)
Whitlockite Oktakalsium fosfat Ca8H2(PO4)6.5H2O 1,33
(OKF ) Ca3(PO4)2 1,50
Trikalsium fosfat
(TKF)
Hidroksiapatit Hidroksiapatit (HAp) Ca10(PO4)6(OH)2 1,67
Senyawa kalsium fosfat dalam tulang memiliki karakteristik
kristalinitas yang rendah dan non stoikiometri, yang disebabkan
oleh kehadiran ion asing seperti Na+, H+, F-, Sr2-, dan Mg2+ yang
masuk ke dalam kisi kristal atau hanya berada pada permukaan
kisi kristal (Bigi et al., 1992). Kalsium fosfat terdapat dalam dua
bentuk yaitu fase amorf dan fase kristal. Senyawa kalsium fosfat
kristal sintetis mempunyai empat fase yaitu CaHPO2 (dicalcium
phosphate dehydrate/ DCPD), Ca8H2(PO4)6 octacalcium
phosphate/OCP), Ca3(PO4)2 (tricalcium phosphate/TCP), dan
Ca10(PO4)6(OH)2 (hidroksiapatit/ HA). Biomaterial untuk
implantasi tulang menggunakan senyawa kalsium fosfat yang
memiliki kekuatan tinggi. Meninjau sifat tersebut, hidroksiapatit
(HAp) merupakan senyawa apatit yang banyak digunakan
dibidang ortopedik. Hal ini karena HAp memiliki stabilitas yang
tinggi (Aoiki, 1991).

2.4 Hidroksiapatit (HAp)

Hidroksiapatit (HAp) adalah sebuah molekul kristalin yang


intinya tersusun dari fosfor dan kalsium dengan rumus molekul
Ca10(PO4)6(OH)2 yang termasuk di dalam keluarga senyawa
kalsium fosfat (Parahita dkk., 2016). Hidroksiapatit merupakan
fase kristal dari senyawa kalsium fosfat yang paling stabil.
Komposisi unsur penyusun hidroksiapatit (% berat ideal) yaitu
Ca 39,9%, P 1,5%, H 0,2%, O 41,4% dan rasio ideal antara
kalsium-fosfat (Ca-P) adalah 1,67. Kristal hidroksiapatit
mempunyai ukuran yang sama dengan kristal hidroksiapatit
tulang, yaitu berkisar 20-50 nm.
Secara stoikiometri Ca/P hidroksiapatit memiliki ratio 1,67
dan secara kimia sama dengan mineral tulang manusia. Adanya
kesamaan struktur kimia dengan mineral jaringan tulang
manusia, maka hidroksiapatit sintetik menunjukkan daya
afinitasnya dengan baik yaitu dapat berikatan secara kimiawi
dengan tulang (Zakiyah, 2016). HAp secara luas telah
digunakan untuk memperbaiki, mengisi, menambahkan dan
merekonstruksi ulang jaringan tulang yang telah rusak dan juga
di dalam jaringan lunak (Guzman, 2005). Molekul ini menempati
porsi 65% dari fraksi mineral yang ada di dalam tulang manusia
(Petit, 1999).
Tabel 2.3. Sintesis HAp dari tulang dan sisik ikan
Jenis Metode Bagian yang Komponen Refrensi
Ikan Sintesis Digunakan Hasil
Japanese Thermal Tulang HAp Ozawa
sea annealing dan
bream Suzuki,
2002
Cod fish Thermal Tulang HAp, β-TCP Piccirillo et
annealing al., 2013
Sworth Thermal Tulang HAp, β-TCP Boutinguiz
fish, tuna annealing a et al.,
2012
Tuna Thermal Tulang HAp Venkantes
annealing an et al.,
alkaline 2011
hydrolysis
Rohu Acid/basic Sisik HAp Mondai et
treatment+ al., 2010
thermal
annealing
Tilapia Enzyme Sisik HAp Huang et
treatment+ al., 2011
thermal
annealing

Selama sepuluh tahun terakhir, banyak peneliti yang


melakukan sintesis HAp dari bahan alami terutama limbah/by-
product. Bahan-bahan alami tersebut berasal dari limbah tulang
sapi, cangkang telur, dan kerangka organisme laut. Hal ini
karena hidroksiapatit dari bahan alami memiliki sifat fisikokimia
yang lebih baik dari HAp sintetis (Shojai et al., 2013). Salah satu
keuntungan dari HA yang berasal dari bahan alami adalah
adanya beberapa komponen lain yang memiliki kesamaan
dengan tulang asli sehingga dapat meningkatkan
biokompatibilitas serta mendukung pertumbuhan sel (Grynpas
et al., 1993). Perbandingan dari beberapa riset mengenai
penggunaan limbah ikan dari beberapa spesies ikan untuk
sintesis HAp dapat dilihat pada Tabel 2.3.

2.4.1 Sifat Fisis

Hidroksiapatit merupakan contoh dari biokeramik bioaktif.


Bioaktif berarti kemampuan suatu bahan untuk merangsang
pertumbuhan tulang baru disekitar implant. Permukaan bahan
biokeramik bioaktif melekat pada jaringan sehingga mampu
menahan beban gaya mekanis diatasnya. Sering terjadi adhesi
dipermukaan lebih besar daripada kohesi tulang atau implant,
bila terjadi keretakan mekanis. Hal ini terjadinya tidak pada
permukaan melainkan pada tulang atau implant (Pane, 2008).
2.4.2 Sifat Kimia

Apatit merupakan Kristal mineral dengan komposisi


M10(ZO4)6X2. Komponen yang menempati M adalah Ca, Mg, Sr,
Ba, Pb. Komponen Z terdiri dari P, V, As, S, Si, Ge serta
komponen X adalah F, Cl, OH, Br (Comodi et al., 2001). HAp
memiliki rumus kimia Ca10(PO4)6(OH)2 yang merupakan
komponen utama penyusun jaringan keras (hard tissue) seperti
tulang dan gigi pada tubuh manusia (Milenko, 2004).
Hidroksiapatit termasuk senyawa kalsium fosfat yang
merupakan paduan dua senyawa garam trikalsium fosfat dan
kalsium hidroksida. HAp memiliki specific gravity 3,08 serta
berbentuk serbuk murni berwarna putih dengan berat molekul
502,31 gram/mol dan massa jenisnya 3,156 gram/cm3
(Junqueira dan Jose, 2003). Rasio molar dari Ca/P berpengaruh
terhadap kekuatan HAp yang disintetis dimana semakin besar
rasio Ca/P maka kekuatan akan semakin meningkat dan
mencapai nilai maksimal yaitu sekitar 1,67 (HAp stoikiometrik).
Namun kekuatan akan semakin menurun apabila rasio Ca/P
kurang dari 1,67 (Pudjiastuti, 2012). Struktur kimia hidroksiapatit
dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Struktur Kimia Hidroksiapatit (Ylinen, 2006)

Sifat kimia yang penting dari HAp adalah biocompatible,


bioaktif, dan bioresorbable. Biocompatible merupakan sifat
dimana material tersebut tidak menyebabkan reaksi penolakan
dari sistem kekebalan tubuh manusia karena dianggap sebagai
benda asing. Bioaktif adalah material yang dapat menimbulkan
respon biologis antara implant dan jaringan. Bioaktif material
akan sedikit terlarut akan tetapi membantu pembentukan
sebuah lapisan permukaan apatit biologis sebelum langsung
berantarmuka dengan jaringan dalam skala atomik yang
mengakibatkan pembentukan ikatan kimia langsung ke tulang.
Bioresorbable material akan melarut sepanjang waktu dan
mengijinkan jaringan baru terbentuk sehingga dapat
merangsang proses regenerasi tulang yang baru (Pudjiastuti,
2012).
HAp larut di dalam larutan asam sementara tidak larut dalam
larutan alkaline dan sedikit larut dalam air destilasi. Pada kondisi
yang lebih asam maka senyawa seperti brushite (DCPD) dan
octacalcium phosphate (OCP) lebih sering terbentuk pada saat
sintesis HAp pH berkisar 9,5-12. Akan tetapi menurut Suryadi
(2011) pH optimal adalah 10. Selain itu, rasio Ca/P juga
berpengaruh terhadap kelarutan HAp dimana semakin rendah
nilai rasio Ca/P maka semakin bersifat asam sehingga HAp
akan semakin mudah larut (Gomes, 2008). Sifat kelarutan
tersebut sangat berhubungan dengan sifat biokompatibel
dengan jaringan dan reaksi-reaksi kimianya dengan senyawa
lainnya (Suryadi, 2011).

2.4.3 Sifat Biologis

Hidroksiapatit memiliki kemampuan bertahan terhadap


korosi, terhadap efek toksis yang dihasilkan korosi dan
kemampuan bertahan terhadap perubahan selama pemakaian
bahan dilingkungan tubuh, dan tidak menimbulkan reaksi
penolakan dari jaringan tubuh, sehingga dikatakan bahwa
hidroksiapatit memiliki sifat biokompatibilitas yang tinggi (Pane,
2008). Hidroksiapatit yang digunakan sebagai pelapis pada
logam berpori dapat mempercepat laju pembentukan tulang
dalam pori-porinya. Tetapi besarnya pori dapat mengurangi
kekuatan bahan. Semua keramik kalsium phospat memiliki sifat
penyerapan ulang atau biodegradasi, dengan urutan alpha-TCP
> beta-TCP >> hidroksiapatit (Pane, 2008).

2.5 Struktur Kristal HAp

Kristal HAp sintesis memiliki ukuran yang sama dengan


kristal HAp penyusun tulang, yaitu berkisar 20-50 nm. Adanya
kesamaan struktur kimia dengan mineral jaringan tulang
manusia membuat HAp sintetik memiliki daya afinitas yang baik
yaitu berikatan secara kimiawi dengan tulang. Hidroksiapatit
memiliki struktur kristal heksagonal dengan dimensi selnya a = b
= 9,42 A dan c = 6,88 A (1A = 10-10 m). secara stoikiometri Ca/P
hidroksiapatit memiliki ratio 1,67 dan secara kimia sama dengan
mineral tulang manusia (Rocha, 2005).
Struktur kristal HAp dibedakan menjadi dua jenis yaitu
heksagonal dan monoklinik. HAp yang disintesis umumnya
memiliki struktur kristal heksagonal dengan space group
symmetry P63/m. Struktur P63/m merupakan struktur untuk HAp
non-stoikiometrik, yaitu HAp yang masih mengandung impuritis.
Struktur heksagonal hidroksiapatit dapati dilihat pada Gambar
2.3.

Gambar 2.3 Struktur Heksagonal Hidroksiapatit (Ylinen, 2006)

Struktur monoklinik dapat ditemui apabila HAp yang


terbentuk benar-benar stoikiometri yang memiliki rasio Ca/P
1,67 (Ferraz et al., 2004). Monoklinik HAp memiliki space group
symmetry P21/b dengan parameter kisi a= 9.421 Å, b =2a, c=
6.881 Å, dan γ= 120°. Struktur monoklinik disebabkan karena
susunan OH- membentuk urutan OH-OH-OH-OH- yang
membuat parameter kisi b menjadi 2 kali a (Suryadi, 2011).
Struktur monoklinik hidroksiapatit dapat dilihat pada Gambar
2.4.
Kualitas dari hidroksiapatit sangat bergantung pada semua
karakteristik serbuk hasil sintesis. Fase amorfus dibutuhkan
agar mudah larut pada cairan tubuh. Disisi lain, kebanyakan sel
akan lebih terserap dan berkembang baik pada fase kristalin jika
dibandingkan saat fasenya amorfus (Hahn et al., 2011).

Gambar 2.4 Struktur Monoklinik Hidroksiapatit (Ylinen, 2006)

2.6 Sintesis Hidroksiapatit

Pembuatan serbuk hidroksiapatit dipengaruhi oleh morfologi,


stoikiometri, kristalinitas dan ukuran khususnya rentang
nanometer memiliki peran utama dalam produksi biomaterial.
Sintesis serbuk hidroksiapatit telah dilakukan dengan berbagai
sumber Ca dan P, diantaranya kalsium hidroksida dengan asam
fosfat (H3PO4). Telah dikembangkan juga sintesis hidroksiapatit
dengan sumber kalsium dari bahan alam diantaranya tulang
manusia, tulang hewan batu gamping, dan cangkang telur
(Muntamah, 2011).
Untuk sintesis hidroksiapatit tersebut selama ini telah
terdapat beberapa metode yang telah banyak digunakan,
diantaranya adalah (Muntamah, 2011):
1. Metode kering, menggunakan reaksi padat (dari padatan
menjadi padatan) dan menghasilkan serbuk
hidroksiapatit dengan butir halus dan derajat
kristalinitasnya tinggi.
2. Metode hidrotermal, menggunakan reaksi hidrotermal
(dari larutan menjadi padatan) dan menghasilkan
hidroksiapatit dengan kristal tunggal.
3. Metode alkoksida, menggunakan reaksi hidrolisa (dari
larutan menjadi padatan) dan biasanya digunakan untuk
membuat lapisan tipis dan hidroksiapatit yang dihasilkan
mempunyai derajat kristalinitas tinggi.
4. Metode flluks, menggunakan reaksi peleburan garam
(dari pelelehan menjadi padatan), menghasilkan
hidroksiapatit kristal tunggal yang mengandung unsur
lain seperti boron apatit, fluorapatit, dan kloroapatit.
5. Metode basah, metode ini merupakan metode yang
paling banyak digunakan untuk sintesis hidroksiapatit
karna metodenya sederhana dan menghasilkan serbuk
hidroksiapatit dengan sedikit kristal atau amorf.

2.7 Sintesis Hidroksiapatit Metode Presipitasi Kimia Basah

Proses pembentukan HAp dilakukan dengan mencampurkan


senyawa prekursor kalsium (Ca2+) dengan prekursor fosfat
(PO43-) pada pH>7. Sumber ion Ca2+ yang bisa digunakan
antara lain CaCl2, Ca(NO3)2, Ca(OH)2, CaCO3, CaSO4.2H2O,
dan (CH3COO)2Ca. Sementara, sumber ion PO43- yaitu H3PO4,
NH4H2PO4, (NH4)2HPO4, Na3PO4, dan K3PO4. pH larutan dijaga
dengan menggunakan NH3, NaOH dan gas ammonia (Santoso,
2012). Penambahan senyawa fosfat dilakukan tetes demi tetes
(dropwise) disertai dengan pengadukan untuk
menghomogenkan larutan. Rasio molar Ca/P dijaga konstan
yaitu 1,67 (Afshar et al., 2003). Selanjutnya, suspense
diendapkan dan dicuci, disaring dan dikeringkan hingga
diperoleh serbuk hidroksiapatit (Gomez et al., 2001). Prosedur
sintesis HAp dengan metode presipitasi kimia basah dapat
dilihat pada Gambar 2.5

Gambar 2.5 Sintesis HAp dengan Metode Presipitasi Kimia Basah


(Shojai et al., 2013)

Menurut Suryadi (2011) reaksi antara Ca(OH)2 dan H3PO4


memiliki kelebihan dibandingkan dengan reaksi Ca(OH)2 dan
(NH4)2HPO4 karena hasil sampingnya berupa air dan tidak
melibatkan elemen asing di dalam prosesnya. Reaksi antara
Ca(OH)2 dan H3PO4 dapat dilihat pada Persamaan 2.1
(2.1)
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap ukuran, bentuk,
dan permukaan dari partikel HAp yang disintesis antara lain pH,
pengadukan, dan suhu reaksi serta rasio Ca/P.
a. pH
Menurut Gomez et al (2008) nilai pH harus dikontrol
secara efektif diatas pH 9, hal ini dikarenakan pada
kondisi yang lebih asam (pH<7) akan terjadi
pembentukan kalsium monophospat dan dehydrated
calcium yang mudah larut didalam medium air. pH
mempengaruhi tingkat kemurnian serta morfologi dari
kristal HAp. Pada pH 10 dihasilkan partikel HAp murni
berbentuk bola dengan ukuran 20-30 nm, pada pH 9
akan terbentuk campuran β-TCP dan HAp, dan pada pH
8 dihasilkan Ca2PO2O7 (β-TCP) berbentuk jarum dengan
ukuran 0,25 µm (Wang et al., 2010).
b. Pengadukan
Pengadukan berfungsi untuk menghasilkan endapan
HAp yang homogen. Selain itu, pengadukan juga
berkontribusi pada control pH campuran yang lebih baik
sehingga terjadi interaksi yang baik antar reagen.
Namun, pengadukan yang tidak cukup akan
menyebabkan terbentuknya fasa yang tidak diinginkan
yaitu monetite [CaHPO4] dan brushitee [CaHPO4.2H2O]
(Gomes et al., 2008)
c. Suhu Reaksi
Suhu reaksi menentukan apakah kristal HAp sintesis
adalah monokristalin atau polikristalin. HAp yang
0
disintesis pada suhu rendah (<60 C) adalah
monokristalin. Sementara HAp dengan suhu lebih tinggi
(>600C) memiliki struktur polikristalin (Ferraz et al.,
2004).
d. Waktu Maturasi (Ageing)
Lama waktu marturasi yang diberikan memberikan
pengaruh terhadap tingginya derajat kristalinitas.
Semakin tinggi lama maturasi yang diberikan maka
semakin tinggi juga derajat kristalinitas pada nano-HAp.
Selain derajat kristalinitas, rasio Ca/P nano-HAp juga
naik seiring naiknya lama marturasi yang diberikan.
Dengan semakin tingginya derajat kristalinitas nano-
HAp, maka semakin besar pula nilai kekerasan dai nano-
HAp itu sendiri (Septiani dkk., 2013).
e. Rasio Ca/P
Rasio molar dari Ca/P berpengaruh terhadap
kekuatan HAp yang disintesis dimana semakin besar
rasio Ca/P maka kekuatan akan semakin meningkat dan
mencapai nilai maksimal yaitu sekitar 1,67 (HAp
stoikiometrik). Namun kekuatan akan semakin menurun
apabila rasio Ca/P kurang dari 1,67 (Pudjiastuti, 2012).

Berbagai penelitian tentang sintesis hidroksiapatit


menggunakan metode kimia basah telah banyak dilakukan
sebelumnya antara lain sintesis dan karakterisasi hidroksiapatit
dari cangkang kepiting menggunakan metode kimia basah
(Indah et al., 2015), kemudian ada dari Andriani (2016) sintesis
dan karakterisasi hidroksiapatit dari sisik ikan kurisi
menggunakan metode kimia basah, dan sintesis dan
karakterisasi hidroksiapatit dari cangkang rajungan
menggunakan metode presipitasi kimia basah. Selain itu, ada
pula penelitian yang menggunakan prekursor dengan jenis yang
berbeda-beda namun masih menggunakan metode yang sama
yaitu kalsium hidroksida Ca(OH)2 dan diammonium fosfat
[(NH4)2HPO4] serta kalsium hidroksida Ca(OH)2 dan
[(Ca(H2PO4)2.H2O] (Santos et al., 2004). Reaksi antara Ca(OH)2
dan H3PO4 memiliki kelebihan dibandingkan dengan reaksi
Ca(OH)2 dan (NH4)2HPO4 karena hasil sampingnya berupa air
dan tidak melibatkan elemen asing di dalam prosesnya
(Suryadi, 2011). Menurut Saeri et al. (2003) pengaruh waktu
maturasi dan suhu pemanasan terhadap HA yang disintesis dari
Ca(OH)2 dan H3PO4 yaitu waktu maturasi berpengaruh terhadap
pertumbuhan partikel kristal HA, sementara pemanasan pada
suhu 8500C dan 12000C dapat menurunkan kadar air serta
meningkatkan kristalinitas.

Pengaruh dari termal pada sintesis nano-HAp dari cangkang


kerang laut telah dipelajari dalam penelitian yang dilakukan oleh
Santhos dan Balasivanandha (2013). HAp sintesis diperoleh
dari proses pencampuran Ca(OH)2 yang berasal dari cangkang
kerang laut yang direaksikan dengan asam fosfat H3PO4 dimana
rasio Ca/P dikontrol pada 1,67. Bubuk HAp disiapkan kemudian
dipanaskan dengan menggunakan microwave dan furnace
kemudian hasil dari proses pemanasan dengan media yang
berbeda tersebut dibandingkan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa HAp berbentuk batang dan ukuran kristal sekitar 101 nm,
pemanasan HA dengan microwave tidak menunjukkan ukuran
kristal yang lebih rendah dibandingkan dengan pemanasan
menggunakan furnace.

2.8 Kalsinasi

Proses kalsinasi didefinisikan sebagai proses perlakuan


panas yang dilakukan terhadap suatu sampel agar terjadi
dekomposisi dari senyawa yang berikatan secara kimia dengan
sample tersebut, yaitu karbondioksida dan air yang bertujuan
untuk mengubah suatu senyawa karbon menjadi senyawa
oksida yang sesuai dengan keperluan pada proses selanjutnya.
Proses kalsinasi dilakukan dengan pemanggangan pada suhu
yang bervariasi tergantung dari jenis senyawa karbonat yang
ada (Eni, 2011).

Pada tahap kalsinasi ini terjadi proses pengeringan, hal ini


bertujuan untuk melepaskan air yang terikat di dalam konsentrat
dengan cara penguapan. Perlakuan dilakukan dengan cara
pemanasan sedikit di atas titik uap air, atau dengan mengatur
tekanan uap air disekitarnya. Pada prakteknya, prinsip kalsinasi
adalah ketika tekanan uap air di dalam konsentrat harus lebih
besar dari tekanan atmosfer agar kecepatan penguapan dapat
berlangsung lebih cepat (Lalu, 2010).

Dalam kalsinasi terjadi tiga tahapan perubahan suhu


terhadap perubahan waktu yaitu tahap pemanasan, tahap
kalsinasi, dan tahap pendinginan. Pada tahap pemanasan
butiran di panaskan mulai dari suhu kalsinasi, dengan laju
kenaikan suhu tetap. Laju kenaikan suhu dapat divariasi
berdasarkan tebal lapisan butiran bola yang dikalsinasi, makin
tebal lapisan butiran yang dikalsinasi laju kenaikan suhu harus
makin kecil untuk menjaga agar tidak terjadi kejutan panas
sebagai akibat pemanasan terlalu cepat. Pada tahap kalsinasi
dilakukan pemanasan pada suhu mencapai 10000C, sedangkan
tahap pendinginan dilakukan penurunan suhu sampai dicapai
suhu ruangan (Indra, 2008). Pengaruh suhu kalsinasi terhadap
reaksi kimia pada bahan dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Prosedur kalsinasi ini dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Peristiwa yang terjadi selama proses kalsinasi antara lain


(Pujaatmaka dan Qadratillah, 1995):

a) Pelepasan air bebas (H2O) dan terikat (OH) berlangsung


sekitar suhu 1000C hingga 3000C.
b) Pelepasan gas seperti: CO2 berlangsung sekitar suhu
6000C dan pada tahap ini disertai terjadinya
pengurangan berat yang cukup berarti.
c) Pada suhu lebih tinggi, sekitar 8000C struktur kristalnya
sudah terbentuk, dimana pada kondisi ini ikatan diantara
partikel serbuk belum kuat dan mudah lepas.

Gambar 2.6 Prosedur Kalsinasi

Tabel 2.4 Pengaruh Pemanasan pada HAp (Levingstone, 2008)


Suhu Reaksi
25-600°C Penguapan air yang terserap
600-800°C Dekarbonasi
800-900°C Dehidroksilasi HAp membentuk OHAp
(dehidroksilasi parsial) atau OA (dehidroksilasi
sempurna)
1050-1400°C HAp terdekomposisi menjadi β-TCP dan
TTCP
<1120°C β-TCP stabil
1120-1470°C β-TCP terkonversi menjadi α-TCP
1150°C Titik lebur HAp
1630°C Titik lebur TTCP, menyisakan CaO
1730°C Titik lebur TCP
2.9 Sonikasi

Sonikasi merupakan aplikasi dari penggunaan energi suara


untuk mengaduk partikel dalam suatu sampel dengan tujuan
yang bermacam-macam. Sonikasi dapat digunakan untuk
mempercepat pelarutan suatu materi dengan memecah reaksi
intermolekuler, sehingga terbentuk partikel berukuran nano.
Sonikasi berarti memberi perlakuan ultrasonik pada suatu bahan
dengan kondisi tertentu, sehingga bahan tersebut mengalami
reaksi kimia akibat perlakuan tersebut (Suslick dan Price, 1999).

Sonikator merupakan alat yang dapat membangkitkan


gelombang ultrasonic. Metode ini sering disebut juga metode
radiasi ultrasonic dengan menggunakan panjang gelombang
dari 20 kHz hingga 10 MHz. Iradiasi ultrasonik adalah metode
presipitasi baru untuk mempersiapkan nanokristalin
hidroksiapatit. Efek kimia dari ultrasound terutama berasal dari
kavitasi akustik yaitu pembentukan, pertumbuhan, dan
pecahnya gelembung (Sina, 2009). Iradiasi ultrasonic
menghasilkan kavitasi pada medium larutan dimana terjadi
pembentukan, tumbuh dan terpecahnya microbubble. Hal ini
menghasilkan kondisi suhu yang ekstrem (>20000K) dan
tekanan (>500bar) pada mikrodetik pembentukan dari reaksi
intermediet seperti radikal. Hal ini mendorong reaktivitas dari
spesi kimia yang terlibat, sehingga membuat percepatan reaksi
mengarah pada pembentukan monofase hidroksiapatit dan
melemahnya puncak fosfat lain seperti Ca3(PO4)2 dan Ca2PaO7
(Li-Yun et al., 2005).

Meningkatnya daya ultrasonik menunjukkan penurunan


ukuran partikel yang dihasilkan (Poinern et al., 2009). Daya
sonikasi mempengaruhi tingkat kavitasi dalam cairan, dengan
daya ultrasonik yang semakin tinggi akan menghasilkan
peristiwa kavitasi dengan jumlah yang besar dikarenakan makin
banyak gelembung kavitasi transien yang terbentuk. Dapat
diharapkan banyaknya sisi nukleasi menghasilkan partikel
terbentuk di sekitar sisi tersebut lebih kecil untuk konsentrasi
pereaksi yang sama. Pembentukan partikel dengan kontak yang
lama dengan ultrasonik menunjukkan penurunan pada tingkat
aglomerasi (Poinern et al., 2009).

Kegunaan iradiasi ultrasonic pada persiapan sampel (wet


milling) adalah lebih mengefisienkan proses grinding
(penghalusan), dispersing (penyebaran) dan deaglomerasi
(pemecahan) sampel partikel. Hidroksiapatit yang dihasilkan
dari metode ini memiliki keseragaman ukuran dan distribusi.
Keuntungan metode ini dalam membuat ukuran slurry yang
bagus adalah meningkatkan kecepatan reaksi, output reaksi dan
penggunaan energi yang lebih efisien (Poinern et al., 2009).

2.10 Karakterisasi

Karakterisasi bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis


sifat-sifat hidroksiapatit yang telah disintesis. Selain itu,
karakterisasi ini dilakukan untuk mengetahui apakah proses
reaksi antara kalsium hidroksida dan asam fosfat menghasilkan
HAp dengan kemurnian yang tinggi tanpa produk samping.
Pada penelitian ini karakterisasi yang digunakan adalah XRF (X-
Ray Fluoresence) untuk mengetahui kadar ion Ca+, FTIR
(Fourier Transform Infrared Spectroscopy) untuk mengetahui
gugus-gugus yang terkandung pada sampel. Pengujian fasa
sampel dianalisis menggunakan XRD (X-Ray Diffraction) serta
ukuran partikel di analisis menggunakan Particle Analysis
(PSA).

2.10.1 XRF (X-Ray Fluorescence)

Analisis dengan XRF akan diperoleh analisis unsur penyusun


dari sampel, keunggulan teknik ini adalah sampel yang di
analisis tidak perlu dirusak, sehingga metode ini termasuk
dalam non-destructive test, biasanya digunakan untuk
mengidentifikasi serta menentukan konsentrasi elemen yang
ada, baik padatan, bubuk ataupun sampel cair. Secara umum,
XRF spectrometer mengukur panjang gelombang komponen
material secara individu dari emisi fluorosensi yang dihasilkan
sampel saat diradiasi dengan sinar-X. XRF (X-Ray
Fluorescence) dapat digunakan untuk menganalisis unsur
dalam bahan secara kualitas dan kuantitas. Hasil analisis
kualitatis ditunjukkan oleh puncak spektrum yang mewakili jenis
unsur sesuai dengan energi sinar-X karakteristiknya, sedangkan
analisis kuantitatif diperoleh dengan cara membandingkan
intensitas sampel dengan standar.

Prinsip kerja XRF adalah apabila elektron dari suatu kulit


atom bagian dalam dilepaskan, maka elektron yang terdapat
pada bagian luar kulit akan berpindah pada kulit yang
ditinggalkan tadi dan menghasilkan sinar-X dengan panjang
gelombang yang karakteristik bagi unsur tersebut. Terjadinya
proses eksitasi elektron pada kulit atom bagian dalam ketika
atom suatu unsur tersebut dikenai sinar-X kekosongan elektron
tersebut akan diisi oleh elektron bagian luar dengan melepaskan
energi yang spesifik untuk setiap unsurnya (Saksono, 2002).

Elektron dari kulit yang lebih tinggi akan mengisi kekosongan


itu. Perbedaan energi dari dua kulit itu tampak sebagai sinar-X
yang dipancarkan oleh atom. Spektrum sinar-X selama proses
tersebut menunjukkan puncak yang karakteristik, dimana setiap
unsur akan menunjukkan puncak yang karakteristik yang
merupakan landasan uji kualitatif untuk unsur-unsur yang ada.
Sinar X karakteristik diberi tanda sebagai K, L, M, atau N untuk
menunjukkan dari kulit mana ia berasal. Penunjukkan lain
adalah alpha (α), dan beta (β) atau gamma (γ) dibuat untuk
memberi tanda sinar X itu berasal dari transisi elektron dari kulit
yang lebih tinggi. Oleh karena itu K alpha (α) adalah sinar X
yang dihasilkan dari transisi elektron kulit L ke kulit K, dan K
beta (β) adalah sinar X transisi elektron kulit M yang ke kulit K
jadi setiap unsur mempunyai K alpha (α) dan K beta (β) yang
karakteristik sebagai dasar uji kualitatif unsur yang ada
(Sumantry, 2000).

Pada teknik XRF, digunakan sinar X dari tabung pembangkit


sinar X untuk mengeluarkan elektron dari kulit bagian dalam
untuk menghasilkan sinar X baru dari sampel yang dianalisis.
Seperti pada tabung pembangkit sinar X, elektron dari kulit
bagian dalam suatu atom pada sampel analit. Menghasilkan
sinar X dengan panjang-panjang gelombang karakteristik dari
setiap atom di dalam sampel. Untuk setiap atom di dalam
sampel, intensitas dari sinar X karakteristik tersebut sebanding
dengan jumlah atom dalam sampel. Dengan demikian, jika
dapat mengukur intensitas sinar X karakteristik dari setiap
unsur, maka dapat membandingkan intensitasnya dengan suatu
standar yang diketahui konsentrasinya, sehingga konsentrasi
unsur dalam sample bisa ditentukan.

Kelebihan metode XRF adalah sampel yang dianalisis tidak


perlu dirusak, memiliki akurasi yang tinggi, dapat menentukan
unsur dalam material tanpa adanya standar, dapat menetukan
kandungan mineral dalam bahan biologic maupun dalam tubuh
secara langsung. Kelemahan dari metode XRF adalah tidak
dapat mengetahui senyawa apa yang dibentuk oleh unsur-unsur
yang terkandung dalam material yang akan kita teliti dan tidak
dapat menentukan struktur dari atom yang membentuk material
itu, tidak dapat menganalisis unsur dibawah nomor atom 10.
Hasil XRF berupa spektrum hubungan antara energi eksitasi
dan intensitas sinar X. Energi eksitasi menunjukkan unsur
penyusun sampel dan intensitas menunjukkan nilai kuantitatif
dari unsur tersebut. Semakin tinggi intensitasnya, maka semakin
tinggi pula presentase unsur tersebut dalam suatu sampel.
Metode XRF akan memberikan nilai intensitas secara total dari
unsur tertentu dalam semua bentuk senyawa (Saksono, 2002).

2.10.2 XRD (X-Ray Diffraction)

Karakterisasi XRD (X-Ray Diffraction) dilakukan untuk


menganalisis perubahan fase, struktur kristal dan derajat
kristalinitas HAp yang terbentuk. Pola difraksi yang dihasilkan
merepresentasikan struktur kristal. Dari analisis pola difraksi
dapat ditentukan parameter kisi, ukuran kristal, dan identifikasi
fasa kristalin (Santoso, 2012). XRD merupakan suatu metode
yang didasarkan pada sifat-sifat difraksi sinar X, yaitu hamburan
cahaya dengan panjang gelombang λ saat melewati kisi kristal
dengan sudut datang θ dan jarak antar bidang kristal sebesar d
(Pudjiastuti, 2012). Ketika sinar X terhamburkan oleh susunan
teratur atom didalam kristal, terjadi interferensi (konstruktif dan
destruktif) diantara sinar yang terhamburkan karena jarak antara
pusat interferensi adalah sama dengan orde besaran dari
panjang gelombang radiasi sehingga dihasilkan difraksi. Syarat
terjadinya difraksi adalah jarak antara lapisan atom (kisi kristal)
harus berada pada orde yang sama dengan panjang gelombang
dari radiasi serta pusat hamburan harus berada pada susunan
dan jarak teratur (Suryadi, 2011). Data yang diperoleh dari XRD
adalah sudut hamburan (sudut bragg) dan intensitas cahaya
difraksi. Perangkat difraktometer dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Perangkat Difraktometer (Balgies, 2011)

Instrument XRD terdiri atas X-Ray tube, collimating slits,


sample holder, dan detector. X-ray tube berada dalam kondisi
vacuum yang berperan untuk menghasilkan sinar X. Sinar X
yang telah melewati collimating slits akan mengarah ke sampel
yang diletakkan di sample holder. Ketika sampel atau detector
diputar, maka intensitas dari sinar X pantul direkam. Jika
geometri dari peristiwa sinar X tersebut memenuhi persamaan
bragg, maka akan terjadi interferensi konstruktif dan akan
terbentuk suatu puncak. Kemudian, detector akan merekam dan
memproses hasil difraksi dan mengubahnya menjadi pola
difraksi dan selanjutnya dikeluarkan pada layar komputer
(Hidayat, 2005).

Identifikasi pola puncak-puncak XRD ini merupakan bagian


dari analisis kualitatif XRD dimana fasa atau senyawa apa yang
terkandung pada sampel dapat ditentukan tetapi presentase
berat dari fasa-fasa atau senyawa-senyawa tidak dapat
diketahui (Herdianto, 2011). Pola interaksi dapat dilihat pada
Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Pola Interaksi XRD (Balgies, 2011)

2.10.3 FTIR (Fourier Transform Infrared)

FTIR merupakan alat yang dapat digunakan untuk


mengidentifikasi suatu jenis ikatan kimia dalam senyawa
kalsium fosfat, tetapi tidak dapat digunakan untuk menentukan
unsur-unsur penyusunnya. FTIR berguna untuk mengidentifikasi
bahan kimia baik organik maupun anorganik. Hal ini dapat
dimanfaatkan untuk menduga jumlah komponen dari suatu
campuran yang tidak diketahui. Bahan yang dianalisis dapat
berupa padatan, cairan dan gas (Balgies, 2011).

Spektroskopi inframerah ini didalamnya terdapat radiasi


inframerah yang akan dilewatkan oleh sampel. Beberapa radiasi
inframerah diserap oleh sampel dan sebagian dilewatkan oleh
sampel. Absorbs inframerah oleh suatu materi dapat terjadi
apabila ada kesesuaian antara frekuensi radiasi inframerah
dengan frekuensi vibrasional molekul sampel dan perubahan
momen dipol selama bervibrasi. Setiap molekul memiliki energi
tertentu dalam bervibrasi yang bergantung pada atom-atom dan
kekuatan ikatan yang menghubungkannya. Pada senyawa
kalsium fosfat, gugus fungsi yang dapat diamati yaitu gugus
PO4, gugus CO3, dan gugus OH. Gugus PO4 memiliki 4 mode
vibrasi, yaitu:

 Vibrasi stretching (v1), dengan bilangan gelombang


sekitar 956 cm-1. Pita absorbs ini dapat dilihat pada
bilangan gelombang 960 cm-1.
 Vibrasi bending (v2), dengan bilangan gelombang sekitar
363 cm-1.
 Vibrasi asimetristretching (v3), dengan bilangan
gelombang sekitar 1040 sampai 1090 cm-1. Pita absorbs
v3 ini mempunyai dua puncak maksimum yaitu pada
bilangan gelombang 1090 cm-1 dan 1030 cm-1.
 Vibrasi antisimetri bending (v4) dengan bilangan
-1
gelombang sekitar 575 sampai 610 cm .

Bentuk pita v3 dan v4 yang tidak simetri membuktikan bahwa


senyawa kalsium fosfat tidak semuanya dalam bentuk amorf.
Spektrum senyawa kalsium fosfat juga dapat diteliti pada pita
v4, yang terbelah dengan bilangan gelombang maksimum 562
cm-1 dan 602 cm-1. Pita absorbs OH- dapat juga dilihat pada
spektrum kalsium fosfat yaitu sekitar 3576 cm-1 dan 632 cm-1
sedangkan pita absorbs CO3 (karbonat) dilihat pada 1545, 1450,
dan 890 cm-1 (Mulyaningsih, 2007). Karbonat ini juga
berpengaruh terhadap proses presipitasi dan kristalin pada
senyawa kalsium fosfat (Purnama, 2006). Spektrum FTIR pada
sisik ikan dapat dilihat pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9 Spektrum FTIR (Kongsri et al., 2013)

Hasil penelitian dari Kongsri et al (2013), perbandingan


antara sintesis HAp alami dari sisik ikan (FHAp) dengan HAp
sintetis (CHAp). Hasil spektrum FTIR menunjukkan bahwa
informasi kimia berada pada gelombang interval 4000 cm-1
hingga 450 cm-1. Pada pita puncak dengan stretching 3467 cm-1
dan vibrasi 634 cm-1 menunjukkan struktur HA. Pita pada
gelombang 3467 cm-1 menunjukkan adanya gugus OH- yang
terserap air, sedangkan pada puncak kecil 3835 cm-1
menunjukkan vibrasi stretching ion OH-. Pita 1637 cm-1 (v2)
menunjukkan gugus H2O. Gugus fosfat ditunjukkan pada
gelombang 1091 cm-1 dan 1043 cm-1. Pita tersebut berada pada
range 1000-1150 cm-1. Sebuah puncak yang berbeda pada 962
cm-1 (symmetrical stretching atau v1) menunjukkan gugus P-O.
gugus karbonat berada pada pita antara 1458 dan 1417 cm-1
(asymmetric stretching atau v3) (Markovic et al., 2004). Hal ini
mengindikasi bahwa FHAp nanopowders adalah karbonat tipe
B, dimana gugus CO32- digantikan dengan ion PO43- sebagai
hidroksiapatit (Zaragosa et al., 2009). Pita vibrasi pada 628,
602, dan 566 cm-1 menunjukkan bahwa struktur material adalah
kristal (Markovic et al., 2004).

2.10.4 PSA (Particle Size Analyzer)

Karakterisasi menggunakan PSA biasanya digunakan untuk


menentukan ukuran rata-rata nanopartikel. PSA menggunakan
metode dynamic light scattering (DLS) yang memanfaatkan
hamburan inframerah. Hamburan inframerah ditembakkan oleh
alat ke sampel sehingga sampel akan bereaksi menghasilkan
gerak brown (gerak acak dari partikel yang sangat kecil dalam
cairan akibat dari benturan dengan molekul-molekul yang ada
dalam zat cair). Gerak inilah yang kemudian di analisis oleh alat,
semakin kecil ukuran molekul maka akan semakin cepat
gerakannya (Ina, 2013).

Penganalisis ukuran partikel (PSA) dapat menganalisis


partikel suatu sampel dengan tujuan untuk mengetahui ukuran
partikel dan distribusinya. Distribusi ukuran partikel dapat
diketahui melalui gambar yang dihasilkan. Penentuan ukuran
dan distribusi partikel menggunakan PSA dapat dilakukan
dengan menghamburkan sinar untuk mengukur partikel yang
berukuran mikron sampai dengan nanometer dengan
menggunakan metode liquid atau cairan (Pudjiastuti, 2012).
Prinsip pengukuran particle size adalah Dynamic Light
Scattering (DLS). Dynamic Light Scattering juga dikenal sebagai
Photon Correlation Spectroscopy (PCS) telah menjadi teknologi
baru dan popular untuk menyelidiki difusi bahan partikulat baik
dalam larutan atau suspensi. Dengan menentukan laju-laju
difusi (koefisien difusi), informasi mengenai ukuran partikel,
konformasi rantai makromolekul, interaksi antara berbagai unsur
dalam larutan atau suspensi, dan bahkan hamburan kinetik
dapat diperoleh tanpa perlu kalibrasi. Keuntungan dari PCS
adalah teknik non-invasif mutlak hanya membutuhkan sejumlah
kecil sampel, dan tidak memerlukan persiapan sampel
submicron. Standar internasional yang meliputi penggunaan
PCS untuk memperoleh ukuran partikel rata-rata berbentuk
suspensi encer telah dibentuk (Pudjiastuti, 2012).

2.11 Penelitian Terdahulu

Sintesis hidroksiapatit menggunakan metode presipitasi


kimia basah telah banyak digunakan karena sederhana,
ekonomis, dan mudah dilakukan. Pada metode ini, teknis
sintesis HAp dapat dilakukan dalam jumlah besar tanpa
menggunakan pelarut-pelarut organik (Santos et al., 2004),
tingkat homogenitas komposisi yang tinggi dapat dicapai
dengan mudah pada suhu rendah (Vahdettin et al., 2010),
tingkat kemurnian HAp tinggi dengan kristalinitas yang baik
(Shojai et al., 2013) serta tidak ada elemen kontaminan asing
karena hasil sampingnya adalah air (Suryadi, 2011). Beberapa
jenis metode sintesis HA yang telah dilakukan pada penelitian
sebelumnya dapat dilihat pada Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Metode Sintesis HAp yang Telah Dilakukan (Shojai et


al., 2013)

Berdasarkan grafik diatas menunjukkan bahwa metode


presipitasi kimia basah merupakan metode sintesis HAp yang
paling banyak dilakukan dalam beberapa penelitian yaitu sekitar
25% dari total 650 makalah selama periode 1999-2011.
Kemudian metode yang menempati urutan kedua dan ketiga
yaitu metode kombinasi dan proses hidrotermal dengan
presentase 16% dan 14% dari 605 makalah. Survey statistic
juga mengungkapkan bahwa metode solid-state telah menerima
sedikitnya perhatian dalam literature, namun metode ini
membutuhkan proses yang kompleks dan ukuran molekul yang
besar sehingga jarang dilakukan (Shojai et al., 2013).

Althawi (2013) melakukan sintesis HAp dengan cara


mencampurkan Ca(OH)2 dari cangkang keong sawah dan
(NH4)2HPO4 serta tambahan pati singkong sebagai porogen.
Metode yang digunakan adalah metode presipitasi kimia basah
yaitu dengan mereaksikan Ca(OH)2 yang berasal dari cangkang
keong sawah dengan (NH4)2HPO4 teknis. Karakterisasi dengan
difraksi sinar X menunjukkan bahwa perlakukan sonikasi 2, 4,
dan 6 jam menghasilkan kemurnian tertinggi. Hasil SEM
menunjukkan HAp dengan tambahan porogen pati singkong
30% memiliki pori yang lebih besar yaitu 13,2-46,79 µm. Analisis
spektrum inframerah menunjukkan HAp berporogen pati
singkong 30% memiliki pita gugus fungsi yang berbeda dengan
pita gugus fungsi HAp tanpa porogen. Pertumbuhan kristal
apatit pada uji invitro menunjukkan HAp berporogen bersifat
bioaktif.

Balgies (2011) mensitesis HAp dari cangkang kerang ranga.


Sebelum digunakan, serbuk cangkang kerang diidentifikasi fase
kalsiumnya dengan X-Ray Diffractometer dan Atomik Absorption
Spectrophotometer. Hasil analisis menunjukkan fase kalsium
yang dimiliki oleh cangkang kerang adalah CaCO3 dengan
kadar kalsium 79,68%. Sintesis HAp dilakukan dengan metode
presipitasi pada suhu 800C yaitu dengan larutan H3PO4 pada
larutan kalsium.

Sintesis HAp menggunakan bahan dasar cangkang kepiting


menggunakan metode presipitasi kimia basah. Kalsinasi
0
dilakukan pada suhu 1000 C selama 5 jam. Hasil kalsinasi
direaksikan dengan (NH4)2HPO4, kemudian dikeringkan pada
1100C selama 5 jam. Sampel di sintering dengan variasi suhu
400-10000C, selanjutnya sampel dikarakterisasi menggunakan
difraktometer sinar X dan FTIR. Hasil karakterisasi menunjukkan
HAp terbaik terbentuk pada suhu 8000C. HAp kemudian diuji
efektivitasnya dalam perlindungan terhadap demineralisasi gigi
menggunakan pH buffer asetat 5,0 dan konsentrasi asam asetat
1 M dengan penambahan variasi hidroksiapatit serta waktu
perendaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
demineralisasi gigi dalam buffer asetat menurun secara
signifikan dengan pemberian hidroksiapatit dimana
penambahan besarnya HAp mengakibatkan tingkat penurunan
demineralisasi gigi lebih besar (Raya dkk., 2015).

Saeri (2003) mensintesis hidroksiapatit bubuk dengan


metode kimia basah menggunakan asam fosfat dan kalsium
hidroksida sebagai bahan baku. Perubahan waktu dan suhu
pemanasan merupakan parameter utama yang diteliti. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa morfologi dan ukuran partikel
yang diendapkan mengalami perubahan setiap tahap proses.
Setelah kering, nanopartikel ini cenderung membentuk
gumpalan kecil.

Li-yun et al (2005) melakukan sintesis nanokristalin HAp


menggunakan metode presipitasi dengan bantuan iradiasi
ultrasonic menggunakan Ca(NO3)2.4H2O dan NH4OH sebagai
sumber material dengan meninjau pengaruh suhu, Ca2+, rasio
Ca/P dan daya ultrasonic. Penggunaan daya ultrasonic dibawah
300W. Ukuran partikel dari kristal HAp tercatat menurun secara
linier dengan naiknya suhu sintesis.

Piccirillo et al. (2014) melakukan sintesis HAp dan β-TCP


dari tulang dan sisik ikan sardine menggunakan metode
annealing dengan menganalisis pengaruh perbedaan suhu
annealing pada kisaran 600-10000C. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu maka kandungan β-
TCP semakin besar, Hal ini berkebalikan dengan HAp yang
dihasilkan dimana HAp tertinggi didapatkan pada suhu 600∘C
sebesar 88,8%.

Dari penelitian-penelitian tersebut dapat diketahui bahwa


hidroksiapatit dari sisik ikan dapat dilakukan. Ringkasan
mengenai penelitian-penelitian tentang berbagai proses sintesis
HAp dapat dilihat pada Tabel 2.5
Tabel 2.5 Sintesis HAp yang Telah Dilakukan
Sumber Bahan
Prekursor Prekursor Metode Hasil Refrensi
Kalsium Fosfat
Cangkang (NH4)2HPO Presipitasi HA Athawi,
Keong Sawah
4 Kimia Basah berpori 2013
(sumber
Ca(OH)2) dan
Pati Singkong
sebagai
porogen
Cangkang H3PO4 Presipitasi HAp Balgies,
Kerang
Kimia Basah 2011
Rangan
Cangkang (NH4)2HPO Presipitasi HAp Raya
kepiting
4 Kimia Basah dkk.,
(Portunus
pelagicus) 2015
Ca(OH)2 H3PO4 Presipitasi Nano Saeri et
komersial
Kimia Basah HAp al., 2003
Ca(NO3)2 NH4H2PO4 Presipitasi, Nano- Li-yun et
dan ultrasonic kristalin al., 2005
NH2CONH2 dan thermal HAp
Tulang dan - Annealing HAp Piccirillo
sisik ikan
dan β- et al.,
sardine
TCP 2014
III METODE PENELITIAN

1.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Penelitian ini dilakukan selama lima bulan mulai bulan


Desember 2016 sampai April 2017, dengan tempat penelitian
sebagai berikut:
1. Preparasi dan sintesis sampel sisik ikan kakap merah
dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan
dan Hasil Pertanian Jurusan Keteknikan Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya
2. Sonikasi dan pencucian sampel dilakukan di
Laboratorium Kimia dan Fisik FMIPA Universitas
Negeri Malang
3. Karakterisasi XRF, XRD, dan FTIR dilakukan di
Laboratorium Mineral dan Material Maju (Lab Sentral)
FMIPA Universitas Negeri Malang
4. Karakterisasi PSA Laboratorium Kimia Fisik FMIPA
Universitas Brawijaya
1.2 Alat dan Bahan

1.2.1 Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara


lain :
1. Erlenmeyer digunakan untuk tempat sintesis
hidroksiapatit
2. Beaker glass digunakan untuk tempat larutan
3. Gelas ukur digunakan untuk mengukur volume
bahan
4. Batang pengaduk digunakan untuk membantu
mengaduk larutan
5. Corong kaca digunakan untuk membantu
menuangkan larutan
6. Neraca analitik digunakan untuk mengukur massa
bahan.
7. Oven (merk Binder Red Line/RE 115 (230V))
digunakan untuk mengeringkan sisik ikan.
8. Magnetik stirrer (merk labtech/LMS 1003) berfungsi
untuk mencampurkan larutan pada saat proses
hidrolisis sisik ikan dengan NaOH dan sintesis HA
yang disertai pengadukan dan pemanasan.
9. Furnace (merk Brother Furnace XD 1700)
digunakan sebagai alat kalsinasi untuk
dekomposisi bahan organik pada sampel.
10. Kompor digunakan untuk merebus sisik ikan.
11. Sonikator (ultrasonic cleaner merk power sonic405)
berfungsi untuk menghomogenkan serta
menghaluskan partikel.
12. pH meter (merk crison/basic 20) digunakan untuk
mengukur kadar asam-basa larutan.
13. Autoclave berfungsi sebagai alat sterilisasi sisik
ikan agar bebas dari bakteri.
14. Termometer berfungsi untuk mengukur suhu.
15. Buret berfungsi sebagai wadah larutan asam fosfat
(H3PO4) saat pencampuran dengan Ca(OH)2.
16. Statif berfungsi sebagai penyangga buret.
17. Krusibel digunakan sebagai wadah serbuk sisik
ikan kakap merah selama dikalsinasi di dalam
furnace.
18. FTIR (Fourier Transform Infrared), Shimazu IR
Prestige-21 berfungsi untuk menganalisis gugus-
gugus fungsi yang terkandung pada sampel.
19. XRF (X-ray Fluorescence) Merk Philips,
PANalytical Minipal 4 berfungsi untuk menganalisis
kadar kalsium (Ca+) pada sampel.
20. XRD (X-ray Diffraction) Merk Philips, Type:
PANalytical E’xpert Pro, berfungsi untuk pengujian
fasa pada sampel.
21. PSA (Particel Size Analyzer) Merk Cilas 1090
Liquid berguna untuk menganalisis ukuran partikel
pada sampel
22. Ayakan 100 mesh berguna untuk mengayak
sample HAp sebelum dilakukan karakterisasi
1.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain:


1. Sisik ikan kakap merah yang didapatkan dari limbah
Perusahaan PT. Kelola Mina Laut digunakan
sebagai bahan utama.
2. Natrium hidroksida (NaOH) 1% berfungsi untuk
menghilangkan lipid yang masih menempel pada
sisik ikan.
3. Asam fosfat (H3PO4) 85% berfungsi sebagai
prekursor fosfat yang direaksikan dengan prekursor
kalsium Ca(OH)2 .
4. Amoniak (NH3) 25% berfungsi untuk menaikkan pH
larutan.
5. Aquades berfungsi sebagai pelarut sekaligus untuk

mencuci sampel

1.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah analisis deskriptif


yang bertujuan untuk memberikan gambaran umum tentang
data yang diperoleh kemudian digunakan untuk menjelaskan
karakteristik yang dimiliki obyek penelitian (Jasaputra dan
Slamet, 2008). Untuk mendapatkan HAp dari limbah sisik ikan
kakap merah (Lutjanus campechanus) dengan kemurnian dan
kristalinitas yang tinggi, salah satu faktor yang mempengaruhi
kemurnian dan kristalinitas adalah suhu kalsinasi. Oleh karena
itu, pada penelitian ini suhu kalsinasi digunakan sebagai variasi
perlakuan dengan suhu 600°C dan 800°C. Metode sintesis HAp
yang dipilih adalah metode presipitasi kimia basah (wet
chemical precipitation) dimana prekursor kalsium yang
digunakan adalah kalsium hidroksida Ca(OH)2 yang diperoleh
dari sisik ikan kakap merah, sedangkan prekursor fosfatnya
adalah asam fosfat H3PO4.

1.4 Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, antara lain:

1. Preparasi sample
2. Isolasi Ca (kalsium) dari limbah sisik ikan kakap merah
3. Karakterisasi Ca (kalsium) menggunakan XRF
4. Sintesis Hidroksiapatit
5. Karakterisasi hidroksiapatit hasil sintesis menggunakan
XRD, XRF, FTIR, dan PSA.
1.5 Prosedur Penelitian

1.5.1 Preparasi Sample (Modifikasi dari Ardyaning,

2009)

Sampel sisik ikan kakap merah sebanyak 200 gram


direbus dengan air mendidih selama 30 menit dimana
proses perebusan berguna untuk melunakkan sisik
ikan. Kemudian sisik ikan dicuci menggunakan aquades
hingga bersih. Tahapan berikutnya adalah hidrolisis
menggunakan 1 liter NaOH 1% selama 2 jam. Proses
hidrolisis menggunakan magnetic stirrer dengan
pengadukan cepat pada suhu 600C. pengadukan dan
pemanasan berfungsi untuk mempercepat reaksi antara
NaOH dan sisik ikan. Hidrolisis bertujuan untuk
menghilangkan lipid yang menempel pada sisik ikan.
Selanjutnya, sisik ikan didiamkan selama 24 jam.
Kemudian, sisik ikan dicuci dengan air destilat hingga
bebas dari NaOH dan disterilisasi menggunakan
autoclave pada suhu 1210C selama 15 menit. Proses
sterilisasi berfungsi untuk membunuh bakteri dan
mikroba. Setelah itu, sisik ikan dikeringkan
0
menggunakan oven pada suhu 110 C selama 5 jam.
Sisik ikan yang telah kering selanjutnya digiling
hingga berbentuk bubuk (powder) yang disebut tepung
sisik ikan. Kemudian tepung sisik ikan di kalsinasi.
Kalsinasi bertujuan untuk mengkonversi kalsium
karbonat CaCO3 menjadi CaO. Proses kalsinasi
menggunakan alat furnace pada suhu 10000C selama 5
jam. Hasil dari proses kalsinasi adalah CaO dengan
massa 76 gram. Massa sisik ikan mengalami
penyusutan sebesar 38% selama tahapan preparasi
sampel. Selanjutnya sampel sisik ikan dikarakterisasi
menggunakan XRF untuk mengetahui kadar Ca yang
terkandung pada sampel.

1.5.2 Sintesis Hidroksiapatit (Modifikasi dari Raya et

al. (2015))

Sample CaO yang didapatkan dari hasil preparasi,


diambil sebanyak 90 gram untuk dilarutkan dalam 200 ml
akuades sehingga terbentuk suspensi Ca(OH)2, dimana
Ca(OH)2 digunakan sebagai prekursor kalsium,
sedangkan prekursor fosfat diperoleh dari pencampuran
49,25 ml asam fosfat H3PO4 85% dengan 200 ml
akuades. Suspense Ca(OH)2 ditempatkan pada beaker
glass sementara H3PO4 ditempatkan pada buret.
Kemudian suspense Ca(OH)2 dititrasi dengan larutan
H2PO4. Kecepatan penetesan sebesar 1,5 ml/menit.
Proses titrasi ini dilakukan menggunakan magnetic
stirrer pada suhu 600C selama 1 jam. Selanjutnya,
ditambahkan 300 ml NH3 25% untuk mencapai pH 10.
Setelah itu, campuran disonikasi menggunakan alat
ultrasonic dengan frekuensi 50Hz selama 1 jam. Tujuan
proses sonikasi adalah untuk menghomogenkan
sekaligus menghaluskan ukuran partikel.
Sampel yang telah disonikasi seperti pada proses di
atas, di presipitasi (ageing) selama 24 jam. Hal ini
bertujuan untuk membentuk hidroksiapatit (HA). Setelah
didiamkan selama 24 jam, sampel dicuci dengan
akuades sebanyak 3 kali untuk menghilangkan
kandungan amoniak (NH3). Selanjutnya, sampel
dikeringkan menggunakan oven pada suhu 1100C
selama 5 jam. Bubuk HA 25 gram masing-masing
dikalsinasi menggunakan furnace pada suhu 6000C dan
8000C selama 5 jam. Proses kalsinasi bertujuan untuk
membentuk struktur HAp kristal. Sample yang telah
dikalsinasi kemudian diayak dengan ayakan berukuran
100 mesh, hal ini bertujuan untuk memperkecil sample
untuk dilakukan karakterisasi. Kemudian, sampel di
karakterisasi menggunakan FTIR, XRF, XRD, dan PSA.
1.6 Diagram Alir Penelitian

1.6.1 Preparasi Sampel

Mulai

Sisik Ikan Kakap


Merah 200 gr

Direbus selama 30 menit

Dicuci dengan air pada suhu


ruang

Dihidrolisis
menggunakan
1 liter magnetic stirrer Frak
NaOH
o
T=60 C, t=2jam, si
1% P=1atm larut

Didiamkan selama 24 jam

Dinetralkan dengan pencucian


air pada suhu ruang

A
A

Disterilisasi dengan
o
autoclave T=121 C,
t=15 menit

Dikeringkan
menggunakan oven
o
T=110 C, t=5jam

Digiling bahan dengan


ayakan 100 mesh

Tepung sisik
ikan

Tepung sisik ikan (CaCO3)


dikalsinasi menggunakan furnace
o
T=1000 C, t=5jam

CaO (Abu sisik


ikan) Karakterisasi
kalsium
menggunakan
XRF
Selesai

Gambar 3.1 Diagram Alir Proses Preparasi Sampel


(Modifikasi dari Ardyaning, 2009)
1.6.2 Sintesis Hidroksiapatit
Mulai

Suspense Larutan H3PO4


Ca(OH)2 (74gr (34.72ml H3PO4
CaO + 200ml 85% + 200ml
akuades) akuades)

Pencampuran
menggunakan
magnetic stirrer
300ml NH3 selama 1 jam
25%
pH=10
Sonikasi
o
T=60 C, t=60
menit, 50Hz

Presipitasi selama
24 jam pada suhu
kamar

Pencucian 3 kali
dengan akuades

Penyaringan

Pengeringan dengan
o
oven T=115 C, t=5 jam

A
A

HA powder
non-kristalin

Kalsinasi dengan furnace


o o
T=600 c dan T=800 C, t=5 jam

HA powder
kristalin

Karakterisasi FTIR,
XRD, XRF, dan PSA

Selesai

Gambar 3.2 Diagram Alir Proses Sintesis HA (Modifikasi dari


Michele et al. (2013) dan Raya et al. (2015))

1.7 Karakterisasi

Karakterisasi bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis


sifat-sifat hidroksiapatit yang telah disintesis. Selain itu,
karakterisasi ini dilakukan untuk mengetahui apakah proses
reaksi antara kalsium hidroksida dan asam fosfat menghasilkan
HAp dengan kemurnian yang tinggi tanpa produk samping.
Pada penelitian ini karakterisasi HAp dianalisis menggunakan
XRF untuk mengetahui komposisi senyawa kimia, FTIR untuk
mengetahui gugus-gugus yang terkandung pada HA, XRD
dilakukan untuk mengetahui fasa yang terbentuk, serta PSA
untuk mengetahui bagaimana distribusi ukuran partikel HAp.

3.7.1 XRF (X-Ray Fluorescence)

Pengujian XRF bertujuan untuk menganalisis komposisi


kimia yang terkandung didalam sampel beserta persen
beratnya. Instrumentasi XRF yang digunakan yaitu XRF merk
Philips, PANalytical Minipal 4. Instrument XRF dapat dilihat
pada Gambar 3.3. Untuk prosedur pengoperasian alat XRF
dapat dilihat pada Lampiran 6.

Gambar 3.3 Instrumentasi XRF


(merk Philips, PANalytical Minipal 4)
3.7.2 FTIR (Fourier Transform Infrared)

Pengujian FTIR bertujuan untuk mengetahui gugus fungsi


dari hidroksiapatit yang diperoleh. Instrumentasi FTIR memiliki
spesifikasi merk Shimazu IR Prestige-21. Instrument FTIR
dapat dilihat pada Gambar 3.4. Untuk prosedur
pengoperasian alat FTIR dapat dilihat pada Lampiran 6.

Gambar 3.4 Instrumentasi FTIR (merk Shimazu IR


Prestige-21

3.7.3 XRD (X-Ray Diffraction)

Pengujian XRD bertujuan untuk mengetahui fasa serta


kristalografi dari hidroksiapatit yang terbentuk. Instrumentasi
XRD memiliki spesifikasi merk Philips, PANalytical X’Pert
Pro. Instrumen XRD dapat dilihat pada Gambar 3.5. Untuk
prosedur pengoperasian alat XRD dapat dilihat pada
Lampiran 6.
Gambar 3.5 Instrumentasi XRD (merk
Philips, type: Expert Pro

3.7.4 PSA (Particle Size Analysis)

Pengujian PSA bertujuan untuk mengetahui bagaimana


distribusi ukuran partikel HA. Instrumentasi PSA memiliki
merk Cilas 1090 Liquid. Instrument PSA dapat dilihat pada
Gambar 3.6. Untuk prosedur pengoperasian alat PSA dapat
dilihat pada Lampiran 6.

Gambar 3.6 Instrumentasi PSA (merk Cilas 1090


Liquid)
IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakterisasi Menggunakan XRF (X-Ray Fluorescence)

Karakterisasi dengan menggunakan XRF (X-Ray


Fluorescence) bertujuan untuk mengetahui kandungan unsur-
unsur yang terdapat dalam abu Sisik Ikan Kakap Merah dan
hidroksiapatit hasil sintesis. Dengan analisis menggunakan XRF
maka unsur yang terdapat dalam abu Sisik Ikan Kakap Merah
dan hidroksiapatit akan terdeteksi, hasil yang diperoleh dapat
dilihat dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Karakterisasi XRF (X-Ray Fluorescence)

Presentase Unsur (%)


Abu Limbah o o
HA 600 C, 5 jam HA 800 C, 5 jam
Unsur Sisik Ikan Kakap
(FHAP1) (FHAP2)
Merah
P 12.7 14.9 15.1
Ca 83.62 82.30 82.09
Ti 0.05 0.077 -
Fe 0.21 0.19 0.21
Ni 1.30 0.944 0.931
Cu 0.15 0.12 0.11
Zn 0.17 0.13 0.13
Zr 0.2 - 0.2
Re 0.07 0.15 0.05
Co - 0.04 -
Sr - 1.1 1.1
Er - 0.1 -
Sumber: Data Hasil Penelitian

1
Berdasarkan data tabel diatas, dapat dilihat bahwa unsur
penyusun Hidroksiapatit yaitu P dan Ca memiliki presentase
terbesar dari unsur lainnya. Pada abu Sisik Ikan Kakap Merah
unsur Ca memiliki presentase sebesar 83.62% dan unsur P
sebesar 12.7%, sementara itu sisa presentase sebesar 3.68%
merupakan kandungan unsur selain Ca dan P. Kemudian untuk
unsur Ca pada hasil kalsinasi 600oC sebesar 82.30% dan unsur
P sebesar 14.9%, serta unsur lain sebesar 2.8%. Untuk
kandungan unsur Ca pada hasil kalsinasi 800oC sebesar
82.09% dan unsur P sebesar 15.1%, serta unsur lain sebesar
2.81%. Perbedaan penambahan jumlah unsur P yang terlihat
sekitar 2%, hal ini terjadi karena adanya penambahan PO43-
pada saat proses sintesis. Namun kandungan unsur Ca
mengalami penurunan sebesar 1%.

Hasil XRF menunjukkan kadar kalsium pada abu sisik ikan


Kakap Merah sebesar 83.62%. Kadar kalsium pada sisik ikan
Kakap Merah ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya yang menggunakan sisik ikan Kurisi yang
memiliki kadar kalsium sebesar 82.31% (Andriani, 2016), namun
kadar kalsium pada sisik ikan Kakap Merah ini lebih rendah
daripada kadar kalsium pada limbah cangkang rajungan yaitu
sebesar 93.78% (Dwijaksara, 2016).

Berdasarkan penelitian terdahulu, kandungan unsur Ca yang


terkandung pada tiap bahan baku berbeda-beda. Pada

2
penelitian yang dilakukan oleh Musfirah dkk (2012),
menggunakan limbah cangkang telur ayam ras dimana bahan
baku tersebut memiliki kandungan Ca sebesar 95,603% dan
kandungan P sebesar 0.277%. Kemudian pada penelitian yang
dilakukan oleh Ayu dkk (2014), menggunakan bahan baku
limbah tulang sapi yang memiliki kandungan Ca sebesar
89,88% dan kandungan P sebesar 8,07%. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Andriani (2016) pada sampel dengan perlakuan
suhu kalsinasi 600oC selama 5 jam, memiliki kadar Ca sebesar
81.62% dan kadar P sebesar 15.50%, kemudian pada sampel
dengan perlakuan suhu kalsinasi 800oC memiliki kadar Ca
sebesar 81.95% dan P sebesar 16.40%. sementara itu pada
penelitian Dwijaksara (2016), dengan bahan baku Cangkang
Rajungan pada suhu kalsinasi 600oC memiliki kadar Ca sebesar
81.24% dan P sebesar 14.9%, dan pada suhu kalsinasi 800oC
memiliki kadar Ca sebesar 81.74% dan P sebesar 14.5%.
Perbedaan kandungan kalsium pada tiap bahan baku
dipengaruhi oleh karakteristik tiap bahan baku yang berbeda-
beda.

Pada penelitian ini, proses sintesis hidroksiapatit dilakukan


dengan perlakuan kalsinasi dengan menggunakan suhu 600oC
dan 800oC yang menyebabkan berubahnya kadar Ca pada
bahan baku limbah sisik ikan kakap merah. Suhu kalsinasi
mempengaruhi perubahan struktur dari suatu material.
Perubahan struktur dari suatu material akibat diberikan suhu
3
disebabkan karena ketika suatu material dipanaskan maka akan
terjadi peningkatan energi yang memunginkan atom-atom
bergetar pada jarak atom yang lebih besar (Sayoko, 1985).
Selain karena suhu kalsinasi, adanya penambahan asam fosfat
juga dapat mereduksi kadar unsur Ca karena kelarutan Ca
semakin tinggi pada kondisi pH rendah (asam) (Yanuar et al,
2009). Meningkatnya kadar unsur P, hal ini dikarenakan
penambahan asam fosfat pada saat proses sintesis
hidroksiapatit menggunakan metode pengendapan kimia basah.

4.2 Karakterisasi Menggunakan FTIR (Fourier Transform


Infrared)

Spektroskopi pada FTIR dapat memberikan informasi


mengenai lokasi puncak, intensitas, lebar, dan bentuk berbagai
bilangan gelombang untuk memastikan pembuatan sampel
tanpa kehadiran dari gugus organik (Venkatesan dan Kim,
2010). Gambar spektrum FTIR sampel HAp dengan suhu
kalsinasi 600oC selama 5 jam (FHAP1) dapat dilihat pada
Gambar 4.1 dimana pada grafik terdapat hubungan antara
%transmitten dengan panjang gelombang (cm-1), %transmitten
merupakan sinar X-Ray penerusan yang melewati sampel.
Analisis gugus fungsi yang didapatkan dari panjang gelombang
hasil karakterisasi dengan FTIR diketahui dengan cara
membandingkan dengan referensi jurnal penelitian yang telah
dilakukan. Identifikasi gugus fungsi dan bilangan gelombang

4
hasil FTIR sampel HAp dengan suhu kalsinasi 600oC selama 5
jam (FHAP1) dapat dilihat pada table 4.2.

%T

Gambar 4.1 Hasil Spektrum FTIR FHAp1

Keterangan Sumbu X: Panjang Gelombang (cm-1)


Sumbu Y: %Transmittance

Hasil analisis spektofotometer IR, ikatan gugus fosfat (PO43-)


memiliki intensitas yang paling mendominasi, yang nampak
pada panjang gelombang 570.93, 601.79, 962,48, 1049.28, dan
1087.85. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Destainville et al (2003), Raynaud et al (2002), dan
Mobasherpour dan Heshaji (2007), dimana gugus PO43- berada
-1
pada panjang absorpsi 560-600 cm , kemudian pada panjang
absorpsi 555-602 cm-1 juga merupakan panjang absorpsi untuk
gugus fosfat (Han J-K et al, 2006). Kemudian menurut
Mobasherpour dan Heshaji (2007), gugus fosfat juga dapat
5
terlihat pada panjang gelombang 1000-1100 cm-1. Dimana
berdasarkan hasil spektrum sampel HAp sisik ikan kakap merah
dengan suhu kalsinasi 600oC dapat dilihat kehadiran gugus
fosfat pada bilangan gelombang yang sesuai dengan penelitian
terdahulu, sehingga hal ini telah sejalan/sesuai dengan
penelitian terdahulu yang menunjukkan mulai terbentuknya
hidroksiapatit.

Tabel 4.2 Panjang Gelombang dan Gugus Fungsi Pada Suhu


o
Kalsinasi 600 C selama 5 jam
-1
Panjang Gelombang (cm ) Gugus Fungsi
570.93; 601.79; 962.48; 3-
PO4
1049.28; 1087.85
-
630.72 dan 3500-3600 OH
947.05 β-TCP
981.77 α-TCP
1400-1700 Ca-O
2-
1990-2000 CO3

Selain gugus fosfat, pada tabel dapat dilihat pula terdeteksi


gugus hidroksil (OH-) pada panjang gelombang 630.72 cm-1.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Afandi dkk (2015),
gugus hidroksil (OH-) terdeteksi pada panjang gelombang
628.07 cm-1. Selain gugus fosfat dan gugus hidroksil, terdapat
senyawa lain yang terbentuk pada sampel HAp dengan suhu
kalsinasi 600oC, yaitu α-TCP dan β-TCP muncul pada panjang
gelombang 981.77 cm-1 dan 947.05 cm-1. β-TCP merupakan
senyawa kalsium fosfat yang memiliki sifat bioresorabilitas yang

6
lebih cepat dari HAp. Pada penelitian Piccirillo et al (2014),
dengan bahan baku tulang dan sisik ikan sardine, β-TCP mulai
terbentuk pada suhu kalsinasi 600oC dan 700oC dengan kadar
β-TCP sebesar 14,2% dan 13,5%. Pembentukan β-TCP dapat
terjadi dikarenakan proses dekomposisi yang kurang sempurna,
selain itu, proses sintesis dengan pH 9 akan terbentuk
campuran β-TCP dan HAp (Wang et al, 2010). Pada hasil
spektrum FTIR diatas, terdapat puncak/peak yang terlihat pada
kisaran bilangan gelombang 1400-1700 cm-1, berdasarkan hasil
analisis puncak/peak tersebut merupakan gugus fungsi
senyawa fase Ca-O. Menurut Pattanayak et al (2005), gugus
fungsi senyawa fase Ca-O ditemukan pada vibrasi gelombang
1400 cm-1 – 1700 cm-1.

Kemudian untuk hasil FTIR sisik ikan kakap merah


hidroksiapatit dengan suhu kalsinasi 800oC selama 5 jam,
gugus-gugus yang terdeteksi dapat dilihat pada Tabel 4.3, serta
gambar hasil spektrum FTIR dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Indah et al (2015) dengan
perlakukan suhu kalsinasi 800oC gugus fosfat ditunjukkan pada
bilangan gelombang 1120.64 cm-1, 1091.71 cm-1, 1043.49 cm-1,
993.34 cm-1, 877.61 cm-1, 503.72 cm-1, 565.14 cm-1, dan 370.33
cm-1. Kemudian untuk hasil penelitian oleh Dwijaksara (2016)
menggunakan limbah cangkang rajungan sebagai bahan baku
HAp dengan suhu kalsinasi 800oC, gugus fosfat juga telah
terlihat pada kisaran bilangan gelombang 550 cm-1 - 640 cm-1,
7
570.93 cm-1, 815.89 cm-1, 962.50 cm-1 – 1023.10 cm-1, 1045.42
cm-1, dan 1091.71 cm-1.

%T

Gambar 4.2 Hasil Spektrum FTIR FHAp2

Keterangan Sumbu X: Panjang Gelombang (cm-1)


Sumbu Y: %Transmittance

Sementara itu untuk hasil penelitian oleh Andriani (2016),


HAp dari limbah sisik ikan kurisi dengan suhu kalsinasi 800oC,
gugus fosfat telah terlihat pada bilangan gelombang 555.5 cm-1
dan 603.72 cm-1, dan 1047.35 cm-1 dan 1116.78 cm-1. Hal ini
menunjukkan bahwa bilangan gelombang yang dihasilkan pada
penelitian ini telah sesuai dengan penelitian terdahulu dan
menunjukkan telah terbentuknya hidroksiapatit. Pada puncak
gugus fosfat antara hasil FTIR menggunakan kalsinasi pada
suhu 600oC dan pada suhu 800oC, terlihat bahwa semakin tinggi
suhu sintesis maka presentase transmittan gugus fosfat (PO43-)
8
semakin kecil yang artinya puncak gugus (PO43-) semakin tajam
karena semakin banyak sinar yang diserap.

Tabel 4.3 Panjang Gelombang dan Gugus Fungsi


o
Pada Suhu Kalsinasi 800 C
-1
Panjang Gelombang (cm ) Gugus Fungsi
472.56; 493.78; 555.5;
3-
603.72; 725.23; 1049.28; PO4
1118.71; 1209.37
947.05 β-TCP
981.77 α-TCP
-
3500-3600 OH
2-
1990-2000 CO3
1400-1700 Ca-O

Menurut Chaudry et al (2006), meningkatnya intensitas dan


ketajaman dari puncak gugus (PO43-) seiring dengan kenaikan
suhu kalsinasi, yang mengindikasikan kritalinitas HAp
meningkat. Namun ion (PO43-) bisa berkurang intensitasnya jika
telah melewati suhu optimum. Hal ini dikarenakan adanya
substitusi ion (PO43-) oleh CO32- seiring semakin naiknya suhu
kalsinasi (Garcia et al, 2012).

Pada hasil karakterisasi FTIR terlihat perbedaan pada


spektrum bilangan gelombang yang menunjukkan adanya
gugus hidroksil. Pada Gambar 4.1, bilangan gelombang dengan
puncak tertinggi 630.72 cm-1 terlihat adanya gugus hidroksil
(OH-), sedangkan pada Gambar 4.2, pada rentang antara 3500-
3600 cm-1 gugus hidroksil mulai terlihat. Pada penelitian
9
Dwijaksara (2016), dengan suhu kalsinasi 800oC gugus hidroksil
terlihat pada rentang 3000 cm-1-3700 cm-1. Sementara itu pada
hasil FTIR penelitian Andriani (2016), gugus hidroksil mulai
terlihat pada rentang bilangan gelombang 3500-3600 cm-1.
Menurut Huang et al (2011), gugus hidroksil OH- ditunjukkan
pada bilangan gelombang 3570-3670 cm-1 yang merupakan
vibrasi stretching. Dan gugus karbonat (CO32-) ditemukan pada
bilangan gelombang 876 cm-1 dan 1412-1547 cm-1. Hasil
spektrum FTIR dengan suhu kalsinasi 800oC menunjukkan
adanya puncak/peak yang berada antara bilangan gelombang
1400-1700 cm-1, hal ini menunjukkan adanya gugus fungsi fase
Ca-O pada hasil spektrum tersebut. Gugus fungsi senyawa fase
Ca-O ditemukan pada vibrasi gelombang 1400-1700 cm-1
(Pattanayak et al, 2005).

Selain itu, pada hasil spektrum FTIR ini juga menunjukkan


terbentuknya β-TCP dan α-TCP pada bilangan gelombang
947.05 cm-1 dan 981.77 cm-1. Hal ini menunjukkan bahwa masih
terjadi dekomposisi yang kurang sempurna pada proses
kalsinasi, dan bisa juga dikarenakan pH pada saat proses
sintesis pH lebih dari 9. Menurut Wang et al (2010),
pembentukan β-TCP dapat terjadi dikarenakan proses
dekomposisi yang kurang sempurna, selain itu, proses sintesis
dengan pH 9 akan terbentuk campuran β-TCP dan HAp.

10
Menurut Purwasasmita B.S. dan Giltom R.S (2008), pada
penelitiannnya dimana proses presipitasi dilakukan pada pH 7.
Jika presipitasi dilakukan pada kondisi basa akan menyebabkan
mudah terbentuknya fase lain yang merupakan pengotor, yaitu
CaO. Sementara itu apabila dilakukan pada kondisi asam, maka
Ca(OH)2 akan larut dan sulit membentuk endapan HAp. CaO
yang tidak bereaksi untuk membentuk HAp nantinya akan
mempengaruhi kristalinitas HAp yang akan terbentuk.

Dilihat dari hasil spektrum FTIR gugus-gugus yang terlihat


sudah menandakan adanya hidroksiapatit yang terbentuk hasil
sintesis dan kalsinasi dengan bahan baku awal berupa limbah
sisik ikan kakap merah. Berdasarkan spektra yang telah tersaji,
hampir semua gelombangnya memiliki kesamaan dengan
spektra hidroksiapatit, mulai dari vibrasi yang ditunjukkan oleh
PO43- dan OH-. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan suhu
kalsinasi berpengaruh terhadap terbentuknya hidroksiapatit,
dimana pada hasil FTIR HAp sisik ikan kakap merah 600oC 5
jam spektra yang ditunjukkan intensitasnya terlihat lebih runcing
dan sempit, dibandingkan dengan hasil FTIR HAp sisik ikan
kakap merah 800oC 5 jam spektranya terlihat sedikit lebih lebar
pada bilangan gelombang 500 cm-1–1250 cm-1.

Untuk mengetahui secara pasti apakah hasil FTIR yang


didapatkan dari penelitian ini sudah sesuai dengan standar HAp
komersial, maka dilakukan perbandingan dengan HAp

11
komersial. Pada beberapa penelitian produk HAp komersial
dengan merk dagang Fluka® dimana sumber bahan baku yang
digunakan untuk HAp yaitu cangkang telur, kemudian dari merk
dagang Riedel-de® menggunakan cangkang kerang dan dari
Sigma Aldrich® menggunakan reagen komersial, dimana
masing-masing prosuk menunjukkan adanya gugus PO43-, OH-,
CO32-, dan HPO42- namun dengan intensitas bilangan
gelombang yang berbeda-beda. Perbandingan hasil analisis
FTIR untuk HAp komersial dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Hasil bilangan gelombang spektrum FTIR HAp yang


diperoleh tiap peneliti memang berbeda-beda, namun masih
dalam nilai yang berdekatan. Berdasarkan tabel perbandingan
diatas dapat disimpulkan bahwa sampel FHAp1 dan FHAp2
memiliki gugus fungsi yang hampir sama dengan HAp komersial
yaitu PO43-, OH-, dan CO32-. Hal ini mengindikasikan bahwa
hidroksiapatit yang terbentuk adalah non-stoikiometrik. Untuk
hasil grafik spektrum FTIR HAp sisik ikan kakap juga
dibandingkan dengan pola FTIR HAp dari Wako Chemical Co.,
Japan (HAp 200 Wako Jepang).

12
Tabel 4.4 Perbandingan Gugus Fungsi dan Panjang Gelombang Produk HAp (Fluka, Riedel-
de, dan Sigma Aldrich)
-1
Panjang Gelombang (cm )
HAp Komersial HAp Sisik Ikan Kakap Merah
Gugus
Sigma
Kimia Fluka® Riedel-de® FHAp1 FHAp2
Aldrich®
472; 493; 555;
471; 561; 601;
3- 470; 553-600; 470; 553-610; 570; 601; 603; 725;
PO4 605; 964; 1013-
964; 1000-1156 964; 1000-1150 1049; 1087 1049; 1118;
1120
1209
-
OH 635; 3568 3568 630; 3569 630 3500-3600
2-
HPO4 891; 875 870 874 - -
1382; 1413; 1382; 1417;
2- 1386;1411; 1635;
CO3 1457; 1634; 2457; 1639; 1990-2000 1990-2000
1997, (2359 C≡C)
1997 1990; 2359
H2O 3100-3600 3000-3600 3200-3600 - -

13
Pola FTIR HAp dapat dilihat pada Gambar 4.3, dimana
terdapat kemiripan pola antara hasil FTIR FHAP1 dan FHAP2
dengan HAp200 Wako Jepang yang merupakan produk HAp
komersial, hal ini menunjukkan kemurnian HAp yang cukup
tinggi yang dihasilkan pada penelitian ini jika dilihat dari
kemiripan pola spektrum HAp komersial dengan hasil penelitian
ini, dan masih terdapat biokeramik (kalsium-fosfat) jenis α-TCP
dan β-TCP.

%T

Gambar 4.3 Pola FTIR HAp 200 Wako Jepang

4.3 Karakterisasi Menggunakan XRD (X-Ray Diffraction)

Karakterisasi menggunakan XRD dilakukan secara kualitatif,


yaitu dengan membandingkan puncak-puncak yang terbentuk
pada difraktogram HAp hasil sintesis dengan puncak-puncak
14
pada difraktogram HAp standar dari data JCPDS 00-001-1008
(Joint Committee On Powder Difraction Standards). Pola yang
terbentuk pada grafik merupakan hubungan antara position (2
theta) dengan %intensitas dari puncak yang terbentuk. Fasa
yang terbentuk diidentifikasi berdasarkan data JCPDS dimana
fasa HAp dicirikan intensitas utama pada nilai 2θ sebesar
25.879o, 32.196 o, 32.902 o, dan 34.048 o. pola difraksi sampel
HAp sisik ikan kakap pada suhu kalsinasi 600oC selama 5 jam
(FHAp1) dan 800oC selama 5 jam (FHAp2) dapat dilihat pada
Gambar 4.4 dan Gambar 4.5. Menurut Suryadi (2011), bahwa
semakin tinggi suhu sinter maka semakin sempit pula puncak-
puncak grafik XRD yang diperoleh.

% Intensity

sudut (2θ)

Gambar 4.4 Pola Difraksi Sampel FHAp1

15
% Intensity

sudut (2θ)

Gambar 4.5 Pola Difraksi Sampel FHAp2

Gambar 4.6 Pola Difraktogram JCPDS Hidroksiapatit

Hasil karakterisasi XRD juga didapatkan dalam bentuk peak


list yang terdapat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3, dimana
data ini dapat digunakan untuk menghitung kristalinitas dari
sampel HAp. Menurut E. Firman dkk (2006), kristalinitas
didefinisikan sebagai fraksi berat kristalinitas dalam suatu
bahan. Dimana, semakin teratur susunan atom dalam bahan,
maka semakin tinggi tingkat kristalinitasnya. Pada pola XRD
16
HAp pelarut air, terlihat bahwa dengan semakin tinggi suhu
pembuatan, maka semakin naik juga derajat kristalinitasnya. Hal
ini dapat dilihat pada semakin tingginya puncak (FWHM) yang
didapat pada data peak list. Pada penelitian ini perlakuan suhu
kalsinasi diberikan sebesar 600oC dan 800oC selama 5 jam,
dapat dilihat bahwa peak list pada Lampiran 2 lebar setengah
puncak FWHM yang dihasilkan terlihat lebih lebar dibandingkan
peak list pada Lampiran 3.

Berdasarkan hasil perbandingan grafik diatas, dapat dilihat


kesamaan pola antara sampel FHAp1 dan FHAp2 dengan data
JCPDS. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kandungan
hidroksiapatit yang ditandai dengan hadirnya puncak pada 2θ
25o, 31o sampai 35o. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Amrina (2008), pada hasil karakterisasinya dengan XRD
HAp hadir pada puncak 2θ 25.81o, 31.87o, dan 32.97o, yang
telah sesuai dengan puncak dari data JCPDS.

Pada hasil penelitian Andriani (2016), puncak hasil XRD


yang terdapat HAp juga ditunjukkan pada intensitas yang paling
tinggi yaitu 2θ 25.93o, 31.84o, 32.25o, dan 34.12o. Kemudian
pada penelitian yang dilakukan oleh Dwijaksara (2016), nilai
pola XRD yang terdapat HAp juga ditunjukkan pada intensitas
2θ 31.80o, 32.77o, dan 25.85o. Maka dapat disimpulkan bahwa
hasil XRD dari penelitian ini telah menghasilkan HAp, yang
sesuai dengan standar JCPDS serta penelitian terdahulu.

17
Hasil dari data peak list XRD dapat digunakan untuk
menghitung derajat kristalinitas yang terjadi akibat pengaruh
variasi suhu kalsinasi. Dimana nilai derajat kristalinitas dapat
dihitung dengan membandingkan fraksi luas kristalin dengan
penjumlahan fraksi luas kristalin dan fraksi luas amorf. Data
yang diambil dilihat berdasarkan pembentukan Kristal dengan
jangkauan 2θ 25o, 31o, sampai 35o (Purnama, 2006). Nilai luas
tersebut dihitung dengan pendekatan luas segitiga. Fraksi luas
kristalin/amorf = nilai FWHM x Height. Dimana nilai FWHM
dianggap setengah luas alas dan height sebagai tingginya.
Derajat kristalinitas merupakan besaran yang menyatakan
banyaknya kandungan Kristal dalam suatu material dengan
membandingkan luasan kurva kristal dengan luasan amorf
kristal. Data XRD yang digunakan untuk penghitungan luas
kristalin dan luas amorf dapat dilihat pada Lampiran 4 dan
Lampiran 5. Nilai luas kristalin dan luas amorf dimasukkan
kedalam persamaan sehingga dihasilkan nilai %.

Perhitungan Kristalinitas:

Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus diatas,


didapatkan nilai kristalinitas dari kedua sampel. Pada sampel
FHAp1 derajat kristalinitas yang didapatkan yaitu sebesar
75.52% sedangkan sisanya berupa molekul amorf sebesar
18
24.48%, dan pada sampel FHAp2 nilai derajat kristalinitas yang
didapatkan sebesar 79.20% dan sisanya berupa molekul amorf
sebesar 20.8%.

Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Dwijaksara


(2016), nilai derajat kristalinitas yang didapatkan dari sampel
HAp 600oC selama 5 jam yaitu sebesar 55.2% dan pada sampel
HAp 800oC selama 5 jam yaitu sebesar 68.9%. dan pada
penelitian yang dilakukan oleh Andriani (2016), didapatkan pada
sampel HAp 600oC selama 5 jam yaitu sebesar 74.3%, dan
pada sampel HAp 800oC selama 5 jam nilai kristalinitas turun
menjadi 62.5%. Perbedaan nilai derajat kristalinitas bisa
dipengaruhi oleh perlakuan suhu kalsinasi, dimana menurut
Purnama (2006), persentase kristalinitas dari suatu sampel HAp
akan semakin meningkat sebanding dengan kenaikan suhu
pada saat proses kalsinasi.

Menurut Tsui (1998), berdasarkan spesifikasi ISO terstandar


(ISO 13779-2:2000), untuk membuat HAp coating yang memiliki
kekuatan mekanik dalam jaringan yang cukup, setidaknya
memiliki derajat kristalinitas yang lebih dari 45%. Menurut
Septiani dkk (2013), semakin kristalin suatu bahan maka dapat
diindikasikan semakin besar pula ukuran butir bahan tersebut
jika dibandingkan dengan ukuran butir bahan tersebut saat fase
amorf. Semakin besar ukuran butir, maka semakin sedikit
jumlah mikroporositas yang ada pada bahan. Dengan semakin

19
kecilnya tingkat porositas maka semakin besar nilai sifat
mekanik dari bahan tersebut. Berdasarkan standar ISO 13779-
2:2000 tersebut maka HAp yang dihasilkan dari penelitian ini
memenuhi syarat untuk dijadikan HAp coating dalam bidang
medis. Dan dapat disimpulkan pada hasil perhitungan
memperlihatkan dengan semakin tinggi suhu kalsinasi maka
semakin banyak kristal yang terbentuk karena susunan atom
dalam bahan yang semakin teratur.

4.4 Karakterisasi Menggunakan PSA (Particle Size Analyzer)

Hasil PSA serbuk limbah Sisik Ikan Kakap Merah dengan


perlakuan suhu kalsinasi 1000oC selama 5 jam sebelum
dilakukan sintesis dapat dilihat pada Gambar 4.7. Kemudian
hasil PSA sampel HAp sisik Ikan Kakap Merah dengan
perlakuan suhu kalsinasi 600oC selama 5 jam (FHAp1) dapat
dilihat pada Gambar 4.8, dan hasil PSA sampel HAp sisik Ikan
Kakap Merah dengan perlakuan suhu kalsinasi 800oC selama 5
jam (FHAp2) dapat dilihat pada Gambar 4.9.

Berdasarkan data yang didapatkan, hasil PSA serbuk sisik


Ikan Kakap Merah ukuran partikel yang didapatkan yaitu pada
diameter 10% partikel sampel sebesar 2.11 µm, diameter 50%
partikel sampel sebesar 37.57 µm, dan pada diameter 90%
partikel sampel sebesar 113.72 µm.

20
Gambar 4.7 Hasil PSA Serbuk Sisik Ikan Kakap Merah (FHAp0)

o
Gambar 4.8 Hasil PSA HAp Sisik Ikan Kakap Merah Kalsinasi 600 C
selama 5 jam (FHAp1)

21
o
Gambar 4.9 Hasil PSA HAp Sisik Ikan Kakap Merah Kalsinasi 800 C
selama 5 jam (FHAp2)

Jika dilihat dari hasil tersebut, maka ukuran ini masih


terbilang cukup besar mengingat proses pengecilan ukuran
hanya menggunakan mortar yang kemungkinan kurang merata
pada saat penumbukan sampel. Kemudian setelah sampel
dilakukan sintesis, serta diberikan perlakuan ultrasound pada
proses sintesisnya, dan dikalsinasi kembali pada suhu 600oC
terjadi perbedaan ukuran partikel, dimana ukuran partikel
sampel FHAp1 sedikit lebih besar dibandingkan sampel serbuk
sisik Ikan Kakap Merah yaitu pada diameter 10% partikel
sampel sebesar 10.20 µm, diameter 50% partikel sampel
sebesar 61.15 µm, dan pada diameter 90% partikel sampel
sebesar 132.69 µm. Hal ini dikarenakan suhue kalsinasi yang
mempengaruhi ukuran partikel sampel. Dimana menurut Apriani
Setiati dkk (2011), semakin tinggi suhu kalsinasi maka semakin

22
sempit rentang distribusi ukuran partikelnya, dan semakin
banyak jumlah ukuran partikel halusnya.

Selanjutnya untuk hasil PSA sampel HAp perlakuan kalsinasi


800oC selama 5 jam (FHAp2), distribusi ukuran partikelnya
menjadi lebih sempit dibandingkan dengan ukuran partikel
sampel FHAp1. Yaitu pada diameter 10% partikel sampel
sebesar 5.76 µm, kemudian pada diameter 50% partikel sampel
sebesar 52.33 µm, dan pada diameter 90% partikel sampel
sebesar 132.64 µm. Jika dilihat dari hasil tersebut, maka dapat
dibandingkan bahwa ukuran partikel FHAp1 dan FHAp2 terlihat
berbeda. Ukuran partikel pada hasil penelitian ini masih
berukuran mikron, untuk pengaplikasian pada biokeramik,
ukuran ini perlu diperkecil menjadi nano agar dapat di
aplikasikan sebagai bahan implant. Hal ini dikarenakan setelah
sintesis pengaruh suhu kalsinasi serta perlakuan ultrasound
yang dapat memperkecil ukuran partikel. Dimana menurut
Cengiz et al (2008), ultrasonik terutama efektif memecah
agregat dan mengurangi ukuran dan polidispersitas dari
nanopartikel.

Kemudian berdasarkan grafik yang terlampir diatas, dapat


dilihat bahwa tingkat persebaran ukuran partikel belum merata
dan bukan merupakan sebaran normal untuk sampel dalam
bentuk serbuk. Hal ini dapat dibuktikan dengan puncak grafik
yang telah menyempit dan terlihat perbedaan puncak grafik

23
yang tidak terlalu signifikan pada sampel FHAp1 dan FHAp2.
Hal ini dikarenakan setelah perlakuan perbedaan suhu kalsinasi,
bubuk HAp dilakukan pengayakan sebesar 100 mesh agar
sampel bubuk HAp dapat di karakterisasi dengan FTIR dan
XRD.

24
V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan

bahwa:

1. Preparasi hidroksiapatit dari limbah Sisik Ikan Kakap Merah


berhasil dilakukan dengan mendapat CaO optimum sebesar
83.62%, dengan hasil PSA yang menunjukkan ukuran
partikel sebesar 132.64 µm.
2. Karakterisasi hasil FTIR (Fourier Transform Infrared
Spectroscopy) terdapat gugus-gugus yang terdeteksi
mendukung terbentuknya hidroksiapatit yaitu gugus PO43-
dan OH-. Karakterisasi hasil XRD (X-Ray Diffraction)
menunjukkan adanya kandungan hidroksiapatit, dengan nilai
kristalinitas yang berbeda-beda, untuk sampel FHAp1
kristalinitas sebesar 75.52%, dan sampel FHAp2 kristalinitas
sebesar 79.20%, hasil analisis pengaruh suhu kalsinasi dan
pH terhadap sintesis hidroksiapatit limbah Sisik Ikan Kakap
Merah yaitu berpengaruh pada nilai kristalinitas dari sampel
HAp.
3. Berdasarkan standard ISO (ISO 13779-2:2000) syarat suatu
hidroksiapatit untuk dapat digunakan sebagai bahan medis
yaitu harus memiliki derajat kristalinitas minimal 45%, dan
berdasarkan hasil XRD menunjukkan bahwa HAp yang
dihasilkan pada penelitian ini telah memenuhi standard ISO
sebagai bahan bio-medis.

1.2 Saran

Perlakuan frekuensi sonikasi saat sintesis serta variasi suhu


kalsinasi perlu lebih diperhatikan untuk mendapatkan partikel
HAp dengan ukuran nano, agar dapat lebih kuat ikatan antar
partikel saat pengaplikasian pada implant coating.

Variasi suhu kalsinasi, serta perhitungan rasio Ca/P sebelum


sintesis (bahan CaO) dan setelah sintesis (hasil akhir
hidroksipatit) perlu dilakukan untuk mendapatkan kemurnian
HAp yang tinggi. Perlu dicatat data nilai pH saat proses sintesis
agar pH saat sintesis lebih terjaga, dan hasil sintesis lebih
akurat. Lebih diperhatikan standar ISO selain mengenai
kristalinitas, agar hidroksiapatit hasil sintesis dapat lebih
memenuhi standar pengaplikasian pada tubuh.
DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Amri, Zultiniar. 2015. Sintesis Hidroksiapatit dari


Cangkang Kerang Darah (Anadara granosa) dengan
Proses Hidrotermal Variasi Rasio Mol Ca/P dan Suhu
Sintesis. Teknik Kimia Universitas Riau. Jurusan Teknik
Kimia. Universitas Riau.

Afshar, A., Ghorbani M, Ehsani N, Saeri M, and Sorrel C. 2003.


Some Important Faktors In The Wet Precepitation
Process Of Hydroxyapatite. Mater Design 24: 197-202.

Almatsier. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT.


Gramedia Pustaka Umum.

Amrina, Q.H. 2008. Sintesa Hidroksiapatit dengan


Memanfaatkan Limbah Cangkang Telur: Karakterisasi
Difraksi Sinar X dan Scanning Electron Microscpy
(SEM). [skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengentahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Andriani, N.K. 2016. Sintesis dan Karakterisasi HAp dari


Limbah Sisik Ikan Kurisi (Nemipterus nematophorus)
Menggunakan Metode Presipitasi Kimia Basah Sebagai
Aplikasi Bio-Implant. [Skripsi]. Fakultas Teknologi
Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.

Aoiki, H. 1991. Science and Medical Applications of


Hydroxyapatite. Institute for Medical and Dental
Engineering. Tokyo Medical and Dental University.

Apriani, S., Suhanda, Naili S, dan Yoyo S. 2011. Sintesis dan


Karakterisasi Nano Powder Alumina Titania dengan
Metode Masking Gel Calcination. Balai Besar Keramik,
Kementrian Perindustrian. Jurnal Riset Industri Vol.V, No.2,
2011, Hal 175-182.
Arbind, P, Devendar B, Sankar R.M, dan Robi P.S. 2015. Micro-
Stcatch Based Tribiological Characterization of
Hydroxyapatite (HAp) Fabricated Trough Fish Scales.
Proceedings 2: 1216-1224.

Ardyaning, E.J. 2009. Pemanfaatan Flavor Kepala Udang


Windu (Panaeus monodon) dalam Pembuatan Kerupuk
Berkalsium dari Cangkang Rajungan (Portunus sp).
Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Aslianti, T. 2008. Produksi Benih Ikan Kakap Merah Lutjanus


sebae Secara Terkontrol. Prosiding Seminar Nasional
Perikanan dan Kelautan. Universitas Brawijaya 1: 249-253.

Ayu, F.D.W., Sri W, dan Mohammad M.K. 2014. Pengaruh


Perbandingan Massa Ca:P Terhadap Sintesis
Hidroksiapatit Tulang Sapi Dengan Metode Kering.
Jurusan Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Universitas Brawijaya. Vol.1, No.2, pp.196-202.

Balgies. 2011. Sintesis dan Karakterisasi Hidroksiapatit dari


Cangkang Kerang Ronga [Skripsi]. Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Bigi, A.E, Foresti R, Gregorini A.R, Noveri, and J.S. Shah. 1992.
The Role of Magnesium on The Structure of Biological
Apatite, Calc. Tiss. Int. 50: 439-444.

Cahyanto, A. 2009. Makalah Biomaterial. Universitas


Padjajaran. Bandung.

Cefaly, D F., Barata T, Tapety C.M, Bresciami E, and Navarro


M.F. 2008. Clinical Evaluation of Multi-Surface ART
Restorations. J Minim Interv Dent; 1(1): 52-8.

Cengiz, B., Gokce Y, Yildiz N, Aktas Z, and Calimli N. 2008.


Synthesis and Characterization of Hydroxyapatite
Nanoparticle. Colloids and Surfaces A; Physicochem, Eng.
Aspects. 322, 93-33.

Chaudry, A.A., Haque S, Kellici S, Paul B, Rehman I, Khalid


F.A, and Darr J.A. 2006. Instant Nanohydroxyapatite: A
Continuous and Rapid Hydrothermal Synthesis. Journal
of The Royal Society of Chemistry. 2286-2288.

Comodi, P., Liu Y, Zanazzi P.F. and Montagnoli M. 2001.


Struktural and Vibrational Behaviour of Fluoroapatite
with Pressure Part 1 in situ Single-Crystal X-Ray
Diffraction Investigation. Physics and Chemistry of
Minerals 28(4): 219-224.

Daigle, C. Auclair, M.N. Bureau, J-G Legoux, and L’H. Yahia.


2005. Bioactive Hydroxyapatite Coatings On Polymer
Composites For Orthopedic Implants. Industrial Materials
Institute. Canada.

Dasgupta, P., Singh A, Adak S, and Purohit K.M. 2004.


Synthesis and Characterization of Hydroxyapatite
Produce From Eggshell. International Symposium of
Research Students on Materials Science and Engineering.1-
6.

Destainville A., Champion E, and Bernache-Assollante D. 2003.


Synthesis, Characterization and Thermal Behaviour of
Apatite Tricalcium Phosphate. Materials Chemistry and
Physics, No. 80, pp. 269-277.

Dwijaksara, N.L.B.W.F. 2016. Sintesis dan Karakterisasi


Hidroksiapatit dari Limbah Cangkang Rajungan
(Portunus pelagicus) Menggunakan Metode
Pengendapan Kimia Basah Sebagai Aplikasi Untuk
Dental Bio-Implant [Skripsi]. Universitas Brawijaya. Malang.

Febriana, E. 2011. Kalsinasi Dolomit Lamongan untuk


Pembuatan Kalsium Magnesium Oksida sebagai Bahan
Baku Kalsium dan Magnesium Karbonat Presipitat.
Fakultas Teknik. Teknik Kimia. Depok.

Ferraz, M., Montero F.J, and Manuel C.M. 2004.


Hydroxyapatite Nanoparticles: A Review of Preparation
Methodologies. Journal of Application Biomech. 2:74-80.

Garcia, B., Gonzalez G, Ocanto F, and Linares C.F. 2012.


CoMo/Znhydroxyapatites as Catalyst for The
Hydrodesulfurization Reaction of Thiophene. Indian J.
Chem. Technology. 19: 403-408.

Gomes, J. F.G., Cristina C, Silva, Minguel A, Hoyos, Milton,


Rodrigo, and Vieira T. 2008. An Investigation of The
Synthesis Parameters of The Reaction of Hydroxyapatite
Precipitation in Aqueous Media. International Journal of
Chemical Reactor Engineering, 6, A103.

Grynpas, M.D., Hancock R.G.V, Greenwood C, J. Turnquist,


M.J. Kessler, and Calcif. 1993. Tissue Int. 52: 399-405.

Guzman, V. and N. Mungula. 2005. Stoichiometric


Hydroxyapatite Obtainedby Precipitation and Sol-gel
Processes. Revista Maxicana de Fiscia 51(3):284 293.

Han J-K., and Song H-Y. 2006. Synthesis of Height Purity


Nano-Sized Hydroxyapatite Powder by Microwave-
Hydrothermal Method. Materials Chemistry and Physics.
No. 99, pp 235-239.

Hahn, B.D. 2011. Enhached Bioactivity and Compatibility of


Nanostructured Hydroxapatite Coating by Hidrothermal
Annealling.

Herdianto, N. 2011. Studi Bioresorbilitas Biokeramik


Biphasic Calcium Phospate (BCP) Sebagai Material
Pengganti Tulang. Tesis. Universitas Indonesia. Depok.
Hidayat, Y. 2005. Pengaruh Suhu Reaksi Terhadap Derajat
Kristalinitas dan Komposisi Hidroksiapatit Dibuat
Dengan Media Air dan Cairan Tubuh Buatan (Synthetic
Body Fluid) [Skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Huang, Y.C., Hsiao P.C, and Chai H.j. 2011. Hydroxyapatite


Extracted From Fish Scale: Effect on MG63 Osteoblast-
like Cells. Ceramics. Intl. 37: 1825-1831.

Ina, R. 2013. Kajian Pengaruh Konsentrasi Perak Nitrat


(AgNO3) Terhadap Ukuran Nanopartikel Perak. Skripsi.
Jurusan Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Universitas Negeri Semarang.

Indah, R., Erna M, Muhammad S, dan Andi I.L. 2015. Synthesis


and Characterizations of Calcium Hydroxyapatite
Derived From Crab Shells (Portunus pelagius) and Its
Potency in Safeguard Against to Dental
Demineralization. Faculty of Mathematics and Natural
Science. Hassanudin University. Makassar.

Indra, S. 2008. Pengaruh Tebal Umpan Butiran Bola


(NH4)2U2O7.(C2H4O)2 dan Waktu Kalsinasi Terhadap
Densitas U3O8. Prosiding Seminar Nasional. Penelitian dan
Pengelolaan Perangkat Nuklir. Pusat Teknologi Akslerator
dan Proses Bahan. BATAN.

Jasaputra, D.K, dan Slamet S. 2008. Metode Penelitian


Biomedis Ed.2. Bandung: PT. Danamarta Sejahtera Utama.

John, A., Varma H.K, and Kumari T.V. 2003. Surface


Reactivity of Calcium Phospate Based Ceramics In A
Cell Culture System. J Biomater Appl. 18: 63-78.

Junqueira, L.C. and Jose C. 2003. Basic Histology Text &


Atlas, (10th ed.). McGraw-Hill Companies, p. 144, ISBN
0071378294.
Kongsri, K.S., Jan P, K. Buapa, S.N. Techawongstein, and S.
Chanthai. 2013. Nano Crystaline Hydroxyapatite from
Fish Scale Waste: Preparation, Characterization and
Application for Selenium Adsorption in Aqueous
Solution. Chem.Eng.J.215: 522 532.

Lalu, J. 2010. Artikel Bahan Galian Industri: Dolomit.


Makalah Ilmiah. Program Studi Kimia. Fakultas MIPA.
Universitas Mataram, 7-10.

Levingstone, T.J. 2008. Optimization of Plasma Sprayed


Hydroxyapatite Coatings, Academic Thesis, School of
Mechanical and Manufacturing Engineering. Dublin City
Universicty. Ireland.

Li-Yun, C., Chun-bo Z, and Jiang-feng H. 2005. Influence of


Suhu, (CA2+), Ca/P ratio and Ultrasonic Power on The
Crystalinity and Morphology of Hydrixyapatite
Nanoparticles Prepared With A Novel Precipitation
Method. Material Letters. 59: 1902-1906.

Markovic, M., B.O. Fowler, and M.S. Tung. 2004. Preparation


And Comphrensive Characterization od A Calcium
Hydroxyapatite Reference Material. J. Res-Natl. Inst.
Stand. Technol. 109: 553-568.

Milenko M., Bruce O.F, and Ming S.T. 2004. Preparation and
Comprehensive Characterization of A Calcium
Hydroxyapatite Reference Material. J. of Research of The
National Institute of Standards and Technology 109: 553
568.

Mobasherpour, I., and Heshajin M. 2007. Synthesis of


Nanocrystaline Hydroxyapatite by Using Precipitation
Method. Journal of Alloys and Compounds, N 430, pp. 330-
333.

Mulyaningsih, N.N. 2007. Karakteristik Hidroksiapatit Sintetik


dan Alami Pada Suhu 1400oC. Skripsi. Fakultas
Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Muntamah. 2011. Sekolah Sintesis dan Karakterisasi


Hidroksiapatit dari Limbah Cangkang Kerang Darah
(Anadra granosa sp). Tesis. IPB: Bogor.

Musfirah, C.F. Toana, Elda R, dan Sukmawati. 2012.


Identifikasi Pengaruh Variasi Ukuran Butiran Terhadap
Unsur dan Struktur Kristal Cangakang Telur Ayam Ras
Dengan Menggunakan X-Ray Fluorescence dan X-Ray
Diffraction. Jurusan Fisika Material dan Energi, Universitas
Tadulako. Prosiding SNaPP2012: Sains, Teknologi, dan
Kesehatan. ISSN 2089-3582.

Naruporn, M. 2008. Nano-size Hydroxyapatite Powders


Preparation by Wet-Chamical Precipitation Route.
National Metal and Material Technology Centre. 144
Thailand Science Park.

Ooi C.Y., M. Hamdi, and S. Ramesh. 2007. Properties of


Hydroxyapatite Produced by Annealing of Bovine Bone.
Journal of Ceramics International 33: 1171-1177.

Pane, M.S. 2004. Penggunaan Hidroksiapatit Sebagai Bahan


Dental Implan. Skripsi. Medan: Fakultas Kedokteran Gigi.
Universitas Sumatera Utara.

Pattanayak, D.K., Divya P, Upadhay S, Prasad R.C, Rao B.T,


and Mohan T.R.R. 2005. Synthesis and Evaluation of
Hydroxyapatite Ceramics. Trends Biomaterial. Artificial
Organs. Vol.18(2), January 2005.

Parahita, I.G.A.A., I N.S, dan Ni G.A.M.D.A.S. 2016. Ekstraksi


dan Karakterisasi Hidroksiapatit Dari Limbah Kerajinan
Tulang Sapi Menggunakan Metode Kombinasi Alkali
Hidrotermal Dengan Dekomposisi Termal. Jurnal Kimia
10 (2): 228-235.
Petit, R. 1999. The Use of Hydroxyapatite in Orthopaedic
Surgery: Aten-year Review. European Journal of
Orthopaedic Surgery and Amp: Traumatology 9(2): 71-74.

Piccirillo, C., Pullar R.C, Tobaldi D.M, Castro P.M.L, and Pintado
M.M.E. 2014. Hydroxyapatite and Chloroapatite Derived
from Sardine By-product. Journal of Ceramics
International 40: 13231-13240.

Poinern, G.E.J., Brundavanam R.K, Mondinos N, and Jang Z.


2009. Synthesis and Characterization of
Nanohydroxyapatite Using an Ultrasound Assisted
Method. Ultrasonic Sonochemistry 16: 569-474.

Pudjiastuti, A. R. 2012. Preparasi Hidroksiapatit dari Tulang


Sapi dengan Metode Kombinasi Ultrasonik dan Spray
Drying. Tesis. Universitas Indonesia. Depok.

Purnama, E.F. 2006. Pengaruh Suhu Reaksi Terhadap


Derajat Kristalinitas dan Komposisi Hidroksiapatit
dibuat Dengan Media Air dan Cairan Tubuh Buatan
(Synthetic Body Fluid). Skripsi. Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Purwasasmita, B.S., dan Giltom R.S. 2008. Sintesis dan


Karakterisasi Serbuk Hidroksiapatit Skala Sub-Mikron
Menggunakan Metode Presipitasi. Bionatura 2008: 10(2):
155-167.

Raya, I., Mayasari E, Yahya A, Syahrul M, and Latunra A.L.


2015. Sythesis and Characterizations of Calcium
Hydroxyapatite Derived from Crabs Shells (Portunus
pelagicus) and its Potency in Safeguard Against to
Dental Demineralizations. International Journal of
Biomaterials Vo;. 2015 pp. 1-8.

Raynaud, S., Champion E, and Bernache-Assollant D. 2002.


Calcium Phosphate Apatite With Variable Ca/P Atomic
Ratio I. Synthesis, Characterization and Thermal
Stability of Powders. Biomaterials No. 23, pp. 1065-1072.

Riyanto, B., Maddu A, dan Nurrahman. 2013. Material


Biokeramik Berbasis Hidroksiapatit Tulang Ikan Tuna.
JPHP 16(2): 119-132.

Rocha, J.H.G., Lemos A.F, Kannan S, Agathopoulos S, Ferreira


J. M, Valerio P, and Oktar F.N. 2005. Scaffolds for Bone
Restoration from Cuttlefish Bone. 37: 850 857.

Rotlant, J., Redruello B, Guerreiro P.M, Fernandes H, and


Canario A.V.M. 2005. Calcium Mobilization from Fish
Scales is Mediated by Parathyriod Hormone Related
Protein Via Tge Parathyroid Hormone Type 1 Receptor.
Regulatory Peptides 132: 33-40.

Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid


I dan II. Binacipta. Bandung.

Saeri, M.R., Afshar A, Ghorbani M, Ehsani N, and Sorrel C.C.


2003. The Wet Precipitation of Hydroxyapatite. Materials
Letters 57: 4064-4069.

Santos, M.H., Oleiveira M.D, Souza L.P.D.F, Mansur H.S, and


Vaconcelos W.L. 2004. Synthesis Control and
Characterization of Hydroxyapatite Prepared by Wet
Precipitatin Process. Material Research 7: 625-630.

Santoso. 2012. Preparasi dan Aplikasi Komposit


Hidroksiapatit/Kitosan Sebagai Adsorben Logam Berat.
Sripsi. Universitas Indonesia. Depok.

Saksono, N. 2002. Analisis Iodat dalam Bumbu Dapur


dengan Metode Iodometri dan X Ray Fluorescence.
Makalah Teknologi. Universitas Indonesia. Volume 6 No. 3.
Depok.
Septiani, Lia., Yudyanto, dan Hartatiek. 2013. Pengaruh Lama
Maturasu Terhadap Derajat Kristalinitas dan Kekerasan
Nano-Hidroksiapatit dari Calcite Druju Malang. 1-5.

Shi, D. 2003. Biomaterials and Tissue Engineering. Springer.


New York.

Shojai, M.S., Khorasani T.M, Khoshdargi E.D, and Jamshidi A.


2013. Synthesis Methods for Nanosized Hydroxyapatite
With Diverse Structures. Journal of Acta Biomaterialia 9
(7591-7621).

Sina, Y. 2009. A Review on Dental Ceramic: An Analysis


Discussion About Hydroxyapatite, Chemistry and
Processing. Departement of Material Science and Eng.
University of Tennessee. United State.

Sokanee, Z.N., Toabi A.A.H, Al-Assadi M.J, and Al-Assadi E.A.


2009. The Drug Release Study of Cefiriaxone From
Porous Hydroxyapatite Scaffolds. AAPS Pharmacy
Science Technology. 10(5): 772-779.

Sriyono, B., Saefudin, dan Prasetyo A.B. 2010. Pengembangan


Pembuatan Hidroksiapatit dan Penguatan Sifat
Mekanisnya untuk Aplikasi Medis. Pusat Penelitian
Metalurgi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Sumantry, T. 2000. Aplikasi XRF untuk Identifikasi Lempung


pada Kegiatan Penyimpanan Lestari Limbah Radioaktif.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah
VII. BATAN.

Suryadi. 2011. Sintesis dan Karakterisasi Biomaterial


Hidriksiapatit dengan Proses Pengendapan Kimia
Basah. Tesis. Program Studi Teknik Metalurgi dan Material.
Fakultas Teknik. Universitas Indonesia.

Suslick, K.S dan Price G.J. 1999. Application of Ultrasound to


Materials Chemistry. Annu. Res. Sci. 29: 295-326.
Torres, F.G., Troncoso O.P, Nakamatsu J, Grande C.J, and
Gomez C.M. 2008. Characterization of the
Nanocomposite Laminate Structure Occuring in Fish
Scales From Arapaima gigas. Materials Science &
Engineering C. 28(8): 1276-1283.

Tsui. 1998. Plasma Sprayed Coating of Hydroxyapatite


Coating on Titanium Substrate. Optimalization of Coating
Properties.

Vahdettin, B., Murat B, and Elif B. 2010. Evaluation of


Bioceramic Material in Biology and Medicine. Digest
Journal of Nanomaterials and Biostructures, 7(3): 267-278.

Wang, P., Li C, Gong H, Jiang X, Wang H, and Li K. 2010.


Effects of Syntesis Conditions On The Morphology of
Hydroxyapatite Nanoparticels Produced by Wet
Chemical Process. Powder Technology 203(2): 315-321.

Widyastuti. 2009. Synthesis and Characterization of


Carbonated Hydroxyapatite as Bioceramic Material.
Universitas Sains Malaysia. Malaysia.

Yanuar, V., Santoso J, Salamah E. 2009. Pemanfaatan


Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus) Sebagai
Sumber Kalsium dan Fosfor dalam Pembuatan Produk
Creakers. Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Ylinen, P. 2006. Applications of Coralline Hydroxyapatite


with Bioresorbable Containment and Reinforcement as
Bonegraft Substitute. Academic dissertation, Medical
Faculty of University of Helsinki.

Zakiyah, L.Z. 2016. Toksisitas Hidroksiapatit Hasil Sintesis


Limbah Dental Gypsum Tipe III Dengan Waktu
Penyimpanan Yang Berbeda Pada Mesenchymal Stem
Cells (MSCs) Tikus. Skripsi. Universitas Jember.
Zaragosa, E.T.R., Guzman L.R.R, and Gutierrez. 2009. Surface
and Physicochemical Characterization of Phosphates
Vivianite, Fe (PO) and Hydroxyapatite, Ca (PO) OH. J.
Miner. Mater. Charact. Eng. 8: 591-609.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi Proses Penelitian

Limbah Sisik Ikan Kakap Merah Hasil Kalsinasi Pada Suhu


o
1000 C

Sintesis hidroksiapatit secara Proses Sonikasi sampel


wisedrop
Proses Presipitasi Sampel
Setelah disonikasi Proses Kalsinasi

Bubuk HA Hasil Kalsinasi


o o
600 C dan 800 C
Lampiran 2. Peak List hasil karakterisasi XRD sampel HAp FHAp1
o
(600 C, 5 jam)

Pos.[°2Th.] Height FWHM[°2Th.] d- Rel.Int.[%]


[cts] spacing[Å]
17.1248 18.03 0.5510 5.17801 6.86
21.9133 18.65 0.2362 4.05615 7.10
25.9894 262.71 0.1378 3.42851 100.00
28.2155 56.60 0.1378 3.16287 21.54
29.0493 45.00 0.1574 3.07395 17.13
31.3961 72.93 0.2755 2.84933 27.76
31.9081 260.35 0.1574 2.80477 99.10
32.3073 181.59 0.1378 2.77102 69.12
33.0405 173.90 0.1378 2.71119 66.20
34.1795 77.66 0.0984 2.62340 29.56
34.7476 47.05 0.2362 2.58180 17.91
35.8082 9.63 0.4723 2.50772 3.67
39.3363 15.91 0.1574 2.29055 6.06
39.9414 57.93 0.1574 2.25724 22.05
42.1934 21.61 0.2362 2.14183 8.22
43.9944 22.66 0.2362 2.05824 8.62
45.4186 20.49 0.2362 1.99696 7.80
46.8255 71.85 0.1968 1.94019 27.35
48.2023 41.55 0.1574 1.88794 15.82
49.5983 103.54 0.0984 1.83802 39.41
50.6291 42.83 0.1968 1.80299 16.30
51.3957 42.73 0.1574 1.77789 16.26
52.2066 45.80 0.1574 1.75217 17.43
53.2971 100.43 0.1968 1.71886 38.23
56.0177 13.70 0.3149 1.64166 5.22
60.1228 18.26 0.2362 1.53902 6.95
61.7741 22.07 0.2362 1.50179 8.40
63.1529 18.36 0.2362 1.47228 6.99
64.1815 23.03 0.3936 1.45114 8.77
65.1938 16.86 0.3149 1.43104 6.42
74.1053 9.65 0.4723 1.27946 3.67
75.7355 12.23 0.2362 1.25592 4.66
77.2092 13.31 0.3149 1.23559 5.07
84.4077 12.58 0.2362 1.14762 4.79
87.4788 24.32 0.1574 1.11507 9.26
88.6064 15.59 0.3840 1.10286 5.93
Lampiran 3. Peak List Hasil Karakterisasi XRD sampel HAp FHAp2
o
(800 C, 5 jam)

Pos.[°2Th.] Height FWHM[°2Th.] d- Rel.Int.[%]


[cts] spacing[Å]
13.7621 23.36 0.3149 6.43473 11.54
17.1701 40.45 0.1968 5.16445 19.97
22.0104 20.92 0.3149 4.03847 10.33
25.9972 202.49 0.1181 3.42750 100.00
26.7518 19.49 0.2362 3.33251 9.63
28.0009 89.54 0.2362 3.18662 44.22
29.0577 27.49 0.1574 3.07308 13.58
29.8630 25.91 0.3936 2.99202 12.79
31.2274 178.89 0.2362 2.86434 88.34
31.9140 126.09 0.1378 2.80426 62.27
32.3416 81.33 0.1574 2.76816 40.17
33.0587 92.50 0.1574 2.70974 45.68
34.2084 43.18 0.1181 2.62125 21.33
34.5827 112.39 0.1574 2.59373 55.50
35.9221 15.25 0.6298 2.50004 7.53
37.5756 16.37 0.2362 2.39374 8.08
39.9841 44.10 0.1968 2.25493 21.78
41.3742 16.54 0.2362 2.18232 8.17
42.1076 20.22 0.3149 2.14600 9.98
43.9912 21.70 0.3936 2.05838 10.72
45.4905 18.17 0.2362 1.99397 8.97
46.8512 42.87 0.1181 1.93918 21.17
48.2517 26.71 0.2362 1.88612 13.19
49.6221 65.50 0.0787 1.83720 32.35
50.6376 32.38 0.1181 1.80271 15.99
51.3999 9.26 0.9446 1.77775 4.57
53.3220 83.18 0.1574 1.71811 41.08
60.0620 15.97 0.5510 1.54043 7.89
61.7924 12.59 0.2362 1.50138 6.22
64.1649 12.35 0.2362 1.45148 6.10
65.2725 7.64 0.4723 1.42950 3.77
77.1396 11.14 0.4723 1.23653 5.50
78.4256 5.06 0.4723 1.21945 2.50
84.5243 6.07 0.4723 1.14633 3.00
87.5184 19.17 0.3840 1.11375 9.47
Lampiran 4. Data XRD Penghitungan Kristalinitas Sampel FHAp1

Pos (2θ) Height FWHM Luas


[cts] (2θ)
25.9894 262.71 0.1378 36.2014
31.9081 260.35 0.1574 40.9790
Kristal ∑ 77.1804
32.3073 181.59 0.1378 25.0231
Amorf ∑ 25.0231

= 0.7552 x 100%

= 75.52%

Lampiran 5. Data XRD Penghitungan Kristalinitas Sampel FHAp2

Pos (2θ) Height FWHM Luas


[cts] (2θ)
25.9972 202.49 0.1181 23.9140
31.2274 178.89 0.2362 42.2538
Kristal ∑ 66.1678
31.9140 126.09 0.1378 17.3752
Amorf ∑ 17.3752
= 0.7920 x 100%

= 79.20%

Lampiran 6. Prosedur Pengoperasian Alat Karakterisasi

1. XRF (X-Ray Fluorescence)


Langkah I: preparasi alat XRF
1. Hidupkan XRF
2. Putar kunci HT On (X-Ray On)
3. Hidupkan computer
4. Buka program Minipal
5. Tunggu sekitar 10-15 menit atau sampai alat benar-
benar siap untuk digunakan

Langkah II: Preparasi sampel

a. Untuk sampel powder dan padatan


1. Siapkan holder yang sudah dipasangi dengan
plastic khusus untuk XRF
2. Masukkan sampel yang akan di uji ke dalam
holder
b. Untuk sampel cair
1. Siapkan holder yang sudah dipasangi dengan
plastic khusus untuk XRF. Periksa kembali
apakah plastic benar-benar tidak bocor. Jika
perlu pasangi dengan plastic dobel.
2. Masukkan sampel kedalam holder. Untuk sampel
yang mengandung air, panasi dahulu sampai
kadar airnya hilang, setelah itu tunggu sampai
dingin dan masukkan kedalam holder.
Langkah III: Measurement

1. Masukkan sampel kedalam alat XRF


2. Pada program Minipal
a. Buka menu measure
b. Measure Standardless
c. Isi nama sampel yang akan diukur pada sampel
Identification
d. Measure (sesuai dengan urutan sampel). Tunggu
beberapa menit sampai proses pengukuran
selesai.
3. Untuk melihat hasil
a. Buka menu result
b. Open result
c. <Standardless>
d. Print hasil yang diinginkan

2. FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy)


1. Menyalakan instrument dan inisialisasi
a. Nyalakan IR prestige 21/FTIR 8400
b. Klik icon IR solution → pilih measure → measurement
→ initialize
c. Tunggu sampai muncul keterangan INIT SUCSESS dan
keterangan 4 parameternya sudah berwarna hijau (BS-
KBr, RRS-800A, lamp laser).
2. Pengukuran
a. Siapkan background (background menggunakan KBr
yang dihaluskan untuk uji sample padat dan pelat
KBr untuk uji sample cair → klik BKG (ditunggu
sampai proses analisis selesai, kemudian hasil BKG
dibandingkan dengan literature) → hasil disimpan
b. Siapkan sample (perbandingan sample KBr 1:10, lalu
dihaluskan dan dipelet) → isi comment & data file →
klik sample
c. Setelah sample selesai di-run klik manipulation 1 →
peaktable (diatur min. area untuk menyesuaikan
jumlah puncak yang terbaca sesuai dengan
keinginan) → OK → data disimpan
d. Menyamakan puncak (klik search → pilih jenis library
sesuai sample (agrichemical, reagent,
pharmaceutical, polymer, organic & inorganic) → pilih
peak search/spektrum search.
3. Mematikan instrument
a) Tutup file yang terbuka → file → close all
b) Tutup software IR solution → file → exit
c) Matikan computer
d) Matikan IR Prestige 21/FTIR 8400

3. XRD (X-Ray Diffraction)


a. Preparasi sample
Sample yang akan dianalisa diletakkan pada sebuah
holder sampai menutup rata seluruh permukaan.
b. Preparasi alat
Nyalakan chiller (pendingin untuk XRD) kemudian
tekan power dan tunggu beberapa menit kemudian
putar kunci kearah X-Ray on →Breed sampai alat
siap digunakan.

c. Analisa sample
Tube sample dimasukkan ke dalam tempat sample
pada alat (diperhatikan peletakannya). Penutup XRD
ditutup lalu program terkait dalam computer
dijalankan. Sebelum pengukuran dimulai, pilih menu
measure → program dengan variable pengukuran
diisi sesuai prosedur:
 Tegangan : 40 kV
 Arus : 30 mA
 Waktu : terkait dengan program yang
digunakan yaitu antara sudut 10o-90o (sekitar
33 menit)

Setelah selesai, hasilnya dapat dilihat pada grafik


kemudian dari data hasil XRD terebut dapat dianalisa
menggunakan program yang sesuai dengan target
yang ingin dicapai

4. PSA (Particle Size Analyzer)

Sebelum melakukan langkah pertama, pastikan bahwa:


1. Kualitas air harus tak bercacat. Gunakan botol air
mineral untuk mengukur. Air keran dapat digunakan
untuk membilas. Dua atau tiga botol yang cukup
untuk semua prosedur IQ
2. Tangki ultrasonik bersih
3. Kekuatan ultrasonic beralih ke nilai maksimal (50W)
4. Pipa berada dalam kondisi baik dan bersih
(perubahan jika diperlukan)
5. Sirkuit cair (sample cell holder) bersih dan tidak
terhalang
6. Lensa dalam kondisi baik dan bersih

Jika salah satu dari titik-titik ini tidak diperhatikan,


pengukuran yang dilakukan tidak akan benar dan IQ
yang akan salah

Serangkaian langkah: sebelum memulai:

1. Aktifkan option << Ref Cilas >> in >> Display >> tab
di kotak dialog <<system options>>
2. Aktifkan option << tampilkan overlay >> in <<
Organisasi >> tab kotak di dialog << system options
>>
3. Aktifkan maintenance mode. Klik pada judul program
(main window), tekan tombol << insert >> dan
kemudian kunci <<F12>>. << [mode maintenance]
>> kemudian ditampilkan pada the end of the mimic
screen title, yang berarti maintenance mode
diaktifkan. Jika komentar ini tidak muncul,
maintenance mode tidak diaktifkan. Dalam hal ini,
ulangi urutan tombol. Untuk meninggalkan
maintenance mode, ulangi urutan tombol yang sama.

Langkah mulai:

1. Panggil << measure >> kotak dialog (<<command>>


menu I << measuring…>> function)
2. Pilih SOP (<< PS215 >> misalnya). Penting:
menggunakan SOP yang salah dapat memberikan
hasil yang salah.
3. Pada ukuran pertama, masukkan nomor lot botol
dalam edisi komentar wilayah menggunakan format
berikut: << Lot: xxxx >>. <<xxxx>> adalah jumlah
banyak botol. Informasi ini sangat penting untuk
menjamin traceability tersebut.
4. Aktifkan << automatic incrementation >> option.
Parameter yang berbeda harus: <<First number>> =
1, <<Number of measurement>> = 5, <<waktu antara
dua pengukuran>> = 0…validate. Fungsi ini
memungkinkan kita melakukan pengukuran dengan
5 sample yang sama didalam tangki dan akan
meningkatkan perhitungan statistik dan merupakan
tes yang sangat baik untuk stabilitas pengukuran
sample
5. Masukkan data sample. Sebagai contoh:
Untuk PS215 ukuran vial:
PS215_1_1 (referensi dimulai dengan nama sample)
PS215_1_2 (angka pertama menunjukkan jumlah
botol)
PS215_1_3 (angka kedua menunjukkan jumlah
pengukuran)
PS215_1_4
PS215_1_5

Lampiran 7. Perhitungan Rasio Ca/P

Diketahui: M CaO sisik ikan kakap merah = 66 gr

Rasio Molar Ca/P = 1.67

Massa Abu sisik ikan kakap = 74 gr

Ditanya: Berapa Vol. As. Fosfat=?

Jawab:

1. Konsentrasi Ca(OH)2
( ) ( )

( ) ( )
=5
2. Rasio Ca/P=1.67
( )
= 2.99
3. Konsentrasi As. Fosfat
( ) ( )

( )
= 58.68 = = 34.74

Anda mungkin juga menyukai