Anda di halaman 1dari 10

TUGAS 3

Makalah Kepemimpinan / ADPU4334

Topik / Tema : Hambatan dan tantangan kepemimpinan perempuan


di era digital

Disusun oleh : Nur Holifah Safitri

NIM : 044222798

Program Studi : Ilmu Administrasi Bisnis

Universitas Terbuka Banjarmasin Kalimantan Selatan

BAB 1

PENDAHULUAN

Dua Puluh Satu April, tanggal yang senantiasa diperingati sebagai hari Kartini oleh perempuan
di seluruh Indonesia, hari dimana para perempuan Indonesia meng-ekspresikan dirinya sebagai
perempuan yang setara dengan lawan jenisnya. Ada semboyan yang menyatakan bahwa
“Perempuan Adalah Tiang Negara, Tiang Suatu Bangsa”. Ibu yang besar akan melahirkan bangsa
yang besar pula. Perempuan merupakan penerus, pengabdi, dan pendidik bagi generasi yang
akan datang, yaitu generasi yang akan menentukan perjalanan bangsa tercinta ini.

Perempuan dan laki-laki pada dasarnya sama, mereka mempunyai kecerdasan otak yang sama,
sama mulia budi pekertinya, sama luhur cita-citanya, dan sama-sama memiliki impian dan
harapan. Dan tentu mereka mempunyai potensi kepemimpinan yang sama, baik potensi
kepemimpinan sebagai individu maupun makhluk sosial. Perkembangan zaman yang semakin
dinamis semakin menunjukan bahwa keberadaan perempuan sangat berperan baik dalam
kehidupan bernegara, berbangsa maupun berumah tangga. Hadirnya revolusi industri 4.0 (era
digtialisasi) telah menjadikan perempuan terbiasa dengan digitalisasi melalui kemauan dan
semangat yang kuat untuk melek teknologi informasi. Kehadiran digitalisasi menjadikan
perempuan semakin andal dalam segala hal.

Desa Terara merupakan desa yang berada di dalam wilayah administrasi kecamatan Terara,
Kabupaten Lombok Timur dan merupakan satusatunya desa yang dipimpin oleh seorang
perempuan (kepala desa perempuan) untuk periode 2007-2013. Motivasi/faktor pendorong
perempuan dalam hal ini Ibu Hj Siti Nurbaya, SH untuk mencalonkan diri sebagai seorang kepala
desa, tantangan apa saja yang dihadapi, bagaimana masyarakat memandang mengenai
keberadaannya sebagai seorang perempuan yang memimpin desa, bagaimana bawahan,
atasan, rekan kerja, tokoh-tokoh desa menilai kinerjanya dan gaya kepemimpinannya sebagai
seorang kepala desa. Faktor pendorong dalam mencalonkan diri sebagai kepala desa adalah
motivasi diri/keinginan diri, kecintaannya terhadap Desa Terara membuat beliau berkeinginan
untuk berpartisipasi dalam pembangunan di Terara. Selain itu dukungan dari lingkungan
keluarga, teman, kerabat dan tetangga semakin memperbesar semangat Ibu Hj. Siti Nurbaya
untuk maju dalam pemilihan Kepala Desa Terara periode 2007/2013.

Keamanan masyarakat Desa Terara tidak luput dari perhatian agar selalu aman dan kondusif,
serta program peningkatan kesehatan masyarakat juga sangat penting untuk dilakukan. Satu
hal lagi yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan harkat dan martabat perempuan dalam
hal ini, mencoba menangani permasalahan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) yang
dihadapi oleh perempuan-perempuan di wilayah Desa Terara. namun memang usaha ini sedikit
sulit dilakukan karena kurang adanya keterbukaan dari perempuan-perempuan yang
mengalami KDRT. Kemudian diadakan juga kegiatan ibu-ibu dengan turun ke dusun-dusun
bersoisialisasai dengan masyarakat, berbagi resep dengan ibu-ibu, berbagi tips-tips kesehatan,
pemanfaatan lahan sekitar rumah, penyuluhan tentang pentingnya pendidikan bagi anak- anak
baik laki-laki maupun perempuan. Segala penyuluhan atau kegiatan yang dilakukan
berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari.

Tantangan tidak hanya dihadapi pada saat proses pencalonan saja, tantangan juga tentunya
datang pada saat ibu Siti Nurbaya menjalankan kepemimpinannya sebagai seorang kepala desa
baik dalam menghadapi bawahan, atasan, maupun menghadapi masyarakat/penduduk Desa
Terara. Namun menurut pengakuan kepala desa perempuan dalam hal ini ibu Hj Siti Nurbaya,
S.H tantangan yang dihadapi tidak terlalu berat, dalam arti tidak sampai mengganggu kerja
beliau selaku kepala desa. Sejauh ini selama 4 tahun masa kepemimpinan kepala desa
perempuan tidak ada permasalahan-permasalahan seperti demonstrasi, tidak ada kerusuhan,
tidak ada perang antar, tidak ada tuntutan yang berlebihan dari masyarakat. Permasalahan
yang datang masih bisa diselesaikan dengan baik melalui musyawarah bersama.
sebagai seorang istri, ibu maupun sebagai kepala desa ibu Hj. Siti Nurbaya berusaha melakukan
tugasnya dengan baik. Kendala hadir apabila terdapat gesekan peran beliau sebagai seorang ibu
yang seharusnya ada untuk merawat anaknya ketika sakit dengan tugasnya sebagai kepala desa
yang harus slalu ada dan siap menjalankan segala tugas dan tanggung jawabnya sebagai
pamong masyarakat desa.

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA
Secara etimologi kepemimpinan berasal dari kata dasar “pimpin” (lead) berarti bimbing atau
tuntun, dengan begitu di dalam terdapat dua pihak yaitu yang dipimpin (rakyat) dan yang
memimpin (imam). Setelah ditambah awalan “pe”menjadi “pemimpin” (leader) berarti orang
yang mempengaruhi pihak lain melalui proses kewibawaan komunikasi sehingga orang lain
tersebut bertindak sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Dan setelah ditambah akhiran
“an”menjadi “pimpinan” artinya orang yang mengepalai. Apabila dilengkapi dengan awalan
“ke” menjadi “kepemimpinan” (leadership) berarti kemampuan dan kepribadian seseorang
dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan
bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat
proses kelompok (Inu Kencana,2003).

Secara terminologi, digital berasal dari kata “digitus” dalam bahasa Yunani yang berarti “jari
jemari”. Maka dapat disimpulkan bahwa digitalisasi merupakan aktivitas yang berhubungan
atau yang dilakukan dengan menggunakan jari jemari melalui perangkat dunia maya
(gawai/handphone, laptop dan sejenisnya) sehingga terdapat istilah “world in our hand”.
Dengan adanya digitalisasi dunia terasa berada didalam genggaman, mendekatkan yang jauh
serta memudahkan komunikasi dalam segala aktivitas. Saat ini, komunikasi dapat dilakukan
melalui aplikasi, bahkan suatu pekerjaan pun dapat dilakukan hanya dalam sebuah genggaman
yaitu gawai, kehadiran digitalisasi memang memudahkan aktivitas sehari-hari, walaupun
kendala itu pasti ada namun dapat teratasi.

Digital leadership adalah kemampuan memimpin organisasi di era digital dengan


memanfaatkan teknologi dan inovasi untuk mencapai tujuan organisasi. Hal ini mencakup
penyusunan visi dan strategi organisasi serta pengelolaan karyawan dalam organisasi. Misalnya
saja seperti menciptakan visi dan strategi yang ikut mengintegrasikan teknologi digital di
dalamnya, memimpin tim, dan mengelola sumber daya untuk mencapai tujuan, serta
membangun budaya organisasi yang mampu beradaptasi dengan perubahan.

Untuk dapat memimpin dengan baik di era digital ini, dibutuhkan kemampuan berpikir yang
sistematis dan analitis. Seorang digital leader harus mampu memahami bagaimana teknologi
dapat membantu organisasinya, membuat keputusan yang cerdas, serta cepat
mengintegrasikan teknologi ke dalam proses bisnis organisasi. Hal ini tentunya memerlukan
pemahaman yang mendalam tentang teknologi dan bagaimana sesuatu tersebut dapat
membantu mencapai tujuan organisasi.

Digitalisasi merupakan kenyataan yang harus dihadapi, digitalisasi merupakan tantangan yang
harus dinikmati, karena teknologi informasi semakin canggih, perkembangan zaman semakin
dinamis, maka dari itu perempuan pun harus memiliki pola fikir dan cara pandang yang realistis,
namun tetap kreatif dan produktif. Bagi seorang perempuan, tiada tantangan yang harus
ditakuti, namun setiap tantangan harus dihadapi dan dinikmati. Tantangan digital hanyalah
sebagian dari perjalanan peradaban dunia, namun tetap harus dihadapi demi segala hal yang
dicintai. Adanya kemauan dan semangat dari hati, itu sudah menjadi modal bagi perempuan
Indonesia yang andal dalam menghadapi era digital.

BAB 3

PEMBAHASAN

Seiring dengan berkembangnya pendidikan dan kematangan karier, banyak wanita mulai terjun
dalam dunia bisnis. Namun, perjalanan menjadi pemimpin tersebut tidak selamanya mulus.
Masih banyak tantangan yang harus dihadapi bagi wanita. Perbedaan antara pria dan wanita
pada hakekatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya yang mengakibatkan terjadinya
perbedaan peran, tugas dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Konstruksi sosial
selalu memposisikan perempuan dan laki-laki pada status yang berbeda dalam hal ini
perempuan selalu menjadi gender kelas dua. Paham ini/teori ini memperjuangkan kesamaan
proporsional dalam segala aktifitas masyarakat dan dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat seperti eksekutif, legislatif, usahawan, politikus, dan berbagai profesi lainnya.
Meskipun Indonesia telah kemajuan dalam keterwakilan perempuan di dalam partai politik dan
perempuan sebagai pejabat terpilih baik dalam ranah pelayanan publik, departemen, komisi-
komisi nasional dan peradilan, perjuangan tersebut harus dilanjutkan secara terus menerus.
Pengalaman menunjukkan bahwa partisipasi perempuan yang rendah di bidang politik dan
pemerintah akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas kebijakan publik yang responsif
terhadap gender yang menyangkut baik laki-laki maupun perempuan.

Pengakuan terhadap kesetaraan antara perempuan dan laki-laki sudah menjadi issu global,
namun kesenjangan akses dan penguasaan teknologi informasi dan komunikasi antara
perempuan dan laki-laki masih cukup besar. Data dari International Telecommunication Union
(ITU), menunjukan bahwa prosentase pengguna teknologi informasi dan komunikasi kaum
perempuan masih lebih rendah dari laki-laki. Hafkinn dan Taggart (2001) faktor-faktor
penghambat perempuan di negara berkembang dalam penguasaan teknologi informasi dan
komunikasi adalah pendidikan, keaksaraan, bahasa, waktu, biaya, norma sosial dan budaya
(Gaib & Dkk, 2017). Hal ini berdampak pada tingkat partisipasi perempuan dalam pembangunan
sangat kurang. Pandangan masyarakat yang masih memandang ranah kaum perempuan ada
dalam keluarga, menjebak perempuan untuk tidak mengambil bagian pada pekerjaan di luar
rumah. Tiap individu secara hakiki memiliki kemerdekaan dan kebebasan dan setara, mereka
tidak boleh dibatasi oleh kondisi kelahiran (biologis) dan memiliki potensi yang tidak terbatas
untuk berkembang.

Tantangan dapat diartikan sebagai sesuatu yang membuat sulit, terkadang menghambat
sesuatu yang ingin kita capai/menghambat tujuan yang ingin kita capai. Begitu pula seorang
pemimpin dalam hal ini kepala desa dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya tidak
lepas dari sebuah tantangan. Walaupun memiliki prosentase yang kecil, namun kepemimpinan
perempuan dalam era pembangunan baik sekarang maupun masa yang akan datang memiliki
potensi dan peran yang besar dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya pada semua
tingkat baik lokal, nasional maupun internasional. Perempuan dan laki-laki pada dasarnya sama,
mereka mempunyai kecerdasan otak yang sama, sama mulia budi pekertinya, sama luhur cita-
citanya, dan sama-sama memiliki impian dan harapan. Dan tentunya mereka mempunyai
potensi kepemimpinan yang sama, baik potensi kepemimpinan sebagai individu maupun
makhluk sosial.

Berikut beberapa tantangan yang akan dihadapi bagi kamu kaum perempuan saat menjadi
pemimpin :

1. Ketidaksetaraan gender
Kesetaraan gender menjadi sorotan dalam rangka memajukan peran perempuan dalam
pembangunan. Dilihat dari sudut pandang kemampuan secara intlektual laki-laki dan
perempuan dalam kapasitas dan potensinya sama. Sehingga laki-laki dan perempuan
dapat dipandang setara, sedangkan kalau dicermati kemampuan spesifik adalah
kemampuan yang berbeda karena feminimnya sehingga kesetaraan itu menjadi tidak
tepat, dalam hal ini kesetaraan itu kalau dipandang harus sama (50 : 50) maka tidak
akan pernah terjadi kesetaraan, konsep kesetaraan ini mengindikasikan bahwa laki-laki
dan perempuan harus mempunyai kapasitas, kesukaan dan kebutuhan yang sama,
sehingga idealnya mereka harus meraih tingkat kesehatan, pendidikan, pendapatan,
partisipasi politik yang sama pula. Secara implisit di sini tidak diakui adanya tidak sama
antara laki-laki dan perempuan (Wibowo, 2011).
2. Diskriminasi
Masyarakat masih menganggap bahwa laki-laki lebih layak menjadi pemimpin daripada
perempuan. Alasannya, karena pria dianggap lebih kuat, bisa berpikir lebih rasional, dan
alasan-alasan lainnya. Sehingga, anggapan tersebut membuat wanita menjadi sulit
dihargai saat menjadi pemimpin. Bahkan, Alison Gutterman, CEO dan Presiden Jelmar,
memiliki pengalaman ini di awal kariernya. Dia merasa sulit mendapatkan rasa hormat
ketika menjadi wanita pengusaha di industri yang didominasi oleh laki-laki.
3. Anggapan “perempuan lebih baik di dapur”
Masyarakat Indonesia kental sekali dengan anggapan bahwa perempuan lebih baik
berada di dapur daripada di kantor. Wanita sering kali dianggap lebih cocok mengurusi
rumah tangga daripada memimpin sebuah perusahaan. Anggapan tersebut menjadi
tantangan bagi sebagian besar wanita yang ingin menjadi pemimpin sebuah
perusahaan. Mereka ditakuti oleh opini tersebut sehingga tidak berani untuk melangkah
lebih jauh.
4. Ketidakpercayaan atas kemampuan menyeimbangkan pekerjaan dengan urusan rumah
dianggap sulit menyeimbangkan pekerjaan dengan urusan rumah. Ini bermula dari
anggapan bahwa wanita punya peran ganda sebagai seorang ibu, istri, anak, sekaligus
orangtua. Banyaknya peran tersebut sering membuat wanita kewalahan dalam
‘membagi dirinya’. Saat di kantor, wanita harus berkomitmen untuk menjadi seorang
pemimpin. Sementara, di rumah ia harus mengurus rumah tangga.
5. Ekspektasi tinggi
Jumlah pemimpin wanita dalam perusahaan terhitung masih lebih sedikit dibanding
pria. Ketimpangan ini membuat banyak orang berekspektasi tinggi pada business
woman. Pasalnya, wanita sering diharapkan bisa menjadi seperti pria yang memiliki
sikap kompetitif, agresif, dan tegas. Ekspektasi tersebut tentu saja menjadi tantangan
besar bagi wanita. Bagaimana pun, semua orang harus menjadi dirinya sendiri, apalagi
dalam memimpin sebuah perusahaan.
6. Anggapan “terlalu emosional”
Wanita dianggap memiliki sifat alami yang terlalu memakai perasaan dan moody. Hal ini
tentu saja menjadi salah satu tantangan bagi wanita. Wanita sering dianggap tidak logis
ketika rapat atau mengambil keputusan. Selain itu, stereotip tersebut juga menjadi salah
satu alasan mengapa banyak karyawan, terutama laki-laki, kurang mempercayai atasan
wanita.
7. Anggapan “mentalnya lemah”
Wanita dianggap tidak tahan banting, takut mengambil risiko, dan mudah down ketika
menghadapi masalah. Padahal, nyatanya gender tidak memiliki hubungan dengan
mental, lho. Setiap orang bisa memiliki mental yang kuat, terlepas dari apa pun
gendernya.

BAB 4
KESIMPULAN

Peran perempuan diera digital tidak cukup hanya berperan sebagai ibu rumah tangga
(domestik) tetapi juga dituntut untuk mampu berperan diluar rumah seperti melakukan usaha
keluarga maupun sebagai perempuan karier. Diera digital yang ditandai dengan tumbuhnya
industri STIM, memberikan peluang besar bagi perempuan untuk berkiprah lebih luas, namun
masih sedikit yang mampu memanfaatkan kesempatan ini. Perempuan memiliki peran yang
sangat strategis dalam pembangunan, oleh karena itu dukungan berbagai pihak sangat
diperlukan. Pemerintah telah melaksanakan program kesetaraan gender yang
mengintegrasikan gender dalam arus pembangunan menempatkan perempuan sebagai subyek
pembangunan. Tantangan yang dihadapi kaum perempuan dalam mengoptimalkan perannya
dalam pembanguanan bagaimana mengubah sikap permisif masyarakat dan praktek budaya
yang membatasi kemajuan perempuan. Disisi lain perempuan dituntut memiliki wawasan yang
luas, cerdas dan melek teknologi.

Daftar Pustaka

Gaib, H., & Dkk. (2017). Profil Perempuan Indonesia 2017. (Santosa Didiek, Ed.). Jakarta: KP3A.
Rahmawati, D. Nu., & Lukitasari, I. (2017). Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2017. (S. B.
Widoyono & Dkk, Eds.). jakarta: KP3A. Wibowo, D. E. (2011). Peran Ganda Perempuan dan
Kesetaraan Gender. Gender, 3(1), 356–364. Widyastuti, D. A. R., Nuswantoro, R., & Sidhi, T. P.
(2016). Literasi Digital Pada Perempuan Pelaku Usaha. Jurnal ASPIKOM, 3(1), 1–15.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta
Astuti, E.W. 2006. Program Studi Sosiologi Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Craib, Ian.
1996. Teori-Teori Sosial Modern Dari Parsons Sampai Habermas. Jakarta: CV Rajawali Djanaid,
Djanalis. 1994. Kepemimpinan Teori dan Praktek. Malang: Indonesia Multi Management Etzioni,
Amitai. 1982. Organisasi Modern. Jakarta: UI-Prees Furchan, Arief. 1992. Pengantar Metoda
Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan
Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Gandhi, Mahatma. 2002. Kaum Perempuan
dan Ketidakadilan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Johnson, D.P. 1990. Teori Sosiologi

https://sohib.indonesiabaik.id/article/digital-leadership-zVzd4

Anda mungkin juga menyukai