HASANUDDIN

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 190

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TUGAS DAN PERAN JURUSITA

PADA PENGADILAN AGAMA PALU KELAS I A

TESIS

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar


Magister Hukum pada Program Studi Ahwal Syakhsiyyah
Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu

Oleh :

HASANUDDIN
NIM : 02.21.01.15.004

PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALU


2019
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Dengan penuh kesadaran, penyusun yang bertanda tangan di bawah ini,

menyatakan bahwa tesis dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Tugas Dan

Peran Jurusita Pada Pengadilan Agama Palu Kelas I A” benar adalah hasil karya

penyusun sendiri, jika di kemudian hari terbukti bahwa ini merupakan duplikat

tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain secara keseluruhan atau sebagian, maka

tesis dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.

Palu, 24 Juni 2019 M


20 Syawwal 1440 H

Penulis,

Hasanuddin
NIM : 02.21.01.15.004

ii
HALAMAN PERSETUJUAN

Tesis yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Tugas dan Peran

Jurusita Pada Pengadilan Agama Palu Kelas I A” oleh Hasanuddin, NIM

02.21.01.15.004, Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ahwal Syakhsiyyah

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu, setelah dengan saksama meneliti dan

mengoreksi tesis yang bersangkutan, maka masing-masing pembimbing

memandang bahwa tesis tersebut telah memenuhi syarat-syarat ilmiah dapat

diterima sebagai persyaratan guna memperoleh Gelar Magister Hukum Jurusan

Ahwal Syakhsiyyah.

Palu, 24 Juni 2019 M


20 Syawwal 1440 H

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Muhammad Akbar, S.H., M.Hum Dr. H. Abidin Djafar, M.Ag


NIP. 19700428 200003 1 003 NIP. 19710827 200003 1 002

iii
PENGESAHAN DEWAN PENGUJI TESIS

Dewan Penguji Tesis Saudara HASANUDDIN, NIM 02.21.01.15.004


dengan judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TUGAS DAN PERAN
JURUSITA PADA PENGADILAN AGAMA PALU KELAS I A”, yang telah
diujikan pada hari Senin, 27 Mei 2019 M. yang bertepatan dengan 22 Ramadhan
1440 H. di hadapan dewan penguji tesis Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Palu, setelah melakukan evaluasi dan perbaikan terhadap tesis yang
dimaksud, kami menyatakan tesis tersebut telah memenuhi kriteria penulisan
karya ilmiah dan dapat di terima sebagai persyaratan guna memperoleh Gelar
Magister Hukum (M.H) Program Studi Ahwal Syakhsiyyah.

Palu, 24 Juni 2019 M


20 Syawwal 1440 H

DEWAN PENGUJI

Nama Jabatan Tanda Tangan


Prof. Dr. Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc Ketua

Dr. Muhammad Akbar, S.H., M.Hum Pembimbing I

Dr. H. Abidin Djafar, S.Ag., M.Ag Pembimbing II

Dr. H. M. Syarif Hasyim, Lc., M.Th.I Penguji Utama I

Dr. H. Muhtadin Dg. Mustafa, M.HI Penguji Utama II

Mengetahui :

Direktur Ketua Prodi


Pascasarjana IAIN Palu, Ahwal Syakhsiyyah,

Prof. Dr. Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc Dr. Marzuki, MH.


NIP. 19720523 199903 1 007 NIP. 19561231 198503 1 024

iv
v
vi
vii
viii
ix
x
KATA PENGANTAR

‫بســـــــــم هللا الرحمن الرحــــــيم‬


َ‫س ِلــيْن‬ ْ ‫ـــــاء‬
َ ‫وال ُم ْر‬ ِ َ‫ف ْاْلَ ْنبِي‬ َ ‫علَـى اَ ْش‬
ِ ‫ـــــر‬ َّ ‫ وال‬. َ‫ب ْالعـَـــا لَ ِمــــيْن‬
َ ‫صالَة ُ َوالسَّــــالَ ُم‬ ّْ ‫اَ ْل َح ْمدُ ِللّـــ ِه َر‬
ْ َ‫علَى آ ِلــه َوا‬
.ُ‫ اَ ّمـــــابَ ْعــــــد‬, َ‫صحــــَابِ ِه اَجْ َم ِعـــــــيْن‬ َ ‫سيِّدِنا َ ُم َح َّم ٍد َو‬
َ
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt, karena berkat

rahmat dan hidayahnya jualah, Tesis ini berhasil diselesaikan sesuai dengan target

waktu yang telah direncanakan. Shalawat dan salam Penulis persembahkan

kepada Nabi besar Muhammad saw, beserta segenap keluarga dan sahabatnya

yang telah mewariskan berbagai macam hukum sebagai pedoman umatnya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan Tesis ini

banyak mendapatkan bantuan moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh

karena itu Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Ayah Abd. Rasyid dan Ibu Rosliah yang telah

merawat, membesarkan, mendidik dan membiayai penulis dalam kegiatan studi

dari jenjang pendidikan dasar sampai saat ini.

2. Isteri Penulis, Roskiani, SH beserta anak-anak Muhammad Nur Hidayat

dan Kaysha Aysha yang memberikan dukungan penuh dalam penyelesaian studi.

3. Bapak Prof. Dr. H. Sagaf S. Pettalongi, M.Pd., selaku Rektor Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) Palu beserta segenap unsur pimpinan Institut Agama

Islam Negeri (IAIN) Palu, yang telah mendorong dan memberi kebijakan kepada

penulis dalam berbagai hal.

4. Bapak Prof. Dr. Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc, selaku Direktur Pascasarjana

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu bersama seluruh staf.

xi
5. Bapak Dr. Muhammad Akbar, S.H., M.Hum selaku pembimbing I dan

Bapak Dr. H. Abidin Djafar, S.Ag., M.Ag., selaku pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan dan bantuan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

6. Ibu Supiani, S.Ag, Kepala Unit Pelaksana Teknis Pusat Perpustakaan

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu dan seluruh staf yang telah memberikan

bantuan dalam mencari referensi di Perpustakaan Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Palu.

7. Bapak Drs. Khalis, MH selaku Ketua Pengadilan Agama Palu Kelas I A

yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian pada

instansi yang dipimpin sekaligus memberikan banyak informasi kepada penulis

berkaitan dengan penelitian yang dilakukan penulis.

8. Bapak/Ibu Panitera, Panitera Muda Hukum, Panitera Muda Permohonan,

Panitera Muda Gugatan, pegawai dan staf yang ada di Pengadilan Agama Palu

Kelas I A yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian di

Pengadilan Agama Palu Kelas I A.

9. Bapak Solman Abidin, S.HI, dan Kamaruddin, S.Kom selaku Jurusita pada

Pengadilan Agama Palu Kelas I A yang telah bersedia memberikan banyak

informasi kepada penulis berkaitan dengan penelitian yang dilakukan penulis.

10. Bapak Mujiyono, S.H, dan Abdul Khair, S.H, selaku Jurusita Pengganti

pada Pengadilan Agama Palu Kelas I A yang telah bersedia memberikan banyak

informasi kepada penulis berkaitan dengan penelitian yang dilakukan penulis.

xii
11. Bapak/Ibu Dosen dan seluruh karyawan Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Palu, yang dengan ikhlas memberikan pelayanan selama penulis mengikuti

rutinitas akademik.

12. Kepada seluruh rekan-rekan yang tidak sempat penulis sebutkan

namanya satu persatu. Penulis hanya bisa mengucapkan banyak terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya.

Akhirnya kepada semua pihak, penulis senantiasa mendo’akan semoga

segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang tak

terhingga dari Allah swt.

Palu, 24 Juni 2019 M


20 Syawwal 1440 H

Penulis,

Hasanuddin
NIM : 02.21.01.15.004

xiii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i


HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ........................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI TESIS ............................. iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xvi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvii
ABSTRAK ....................................................................................................... xviii

BAB I : PENDAHULUAN .............................................................................. 1


A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan dan Batasan Masalah .................................................... 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................. 7
D. Penegasan Istilah ........................................................................... 8
E. Kerangka Pemikiran ..................................................................... 11
F. Garis-Garis Besar Isi .................................................................... 14

BAB II : KAJIAN PUSTAKA ......................................................................... 17


A. Penelitian Terdahulu ..................................................................... 17
B. Teori Hukum ................................................................................. 20
C. Tinjauan Umum Tentang Jurusita ................................................ 26
1. Pengertian dan Dasar Hukum Jurusita ..................................... 26
2. Kedudukan dan Kode Etik Jurusita .......................................... 32
3. Tugas dan Wewenang Jurusita ................................................. 39
D. Tinjauan Umum Tentang Peradilan Agama .................................. 55
1. Pengertian Pengadilan Agama .................................................. 55
2. Kedudukan Pengadilan Agama ................................................ 66
3. Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama ............................... 68

BAB III : METODE PENELITIAN ................................................................ 74


A. Pendekatan dan Desain Penelitian ................................................ 75
B. Lokasi Penelitian .......................................................................... 77
C. Kehadiran Peneliti ........................................................................ 77
D. Data dan Sumber Data .................................................................. 78
E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 79
F. Teknik Analisis Data .................................................................... 83
G. Pengecekan Keabsahan Data ......................................................... 84

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 86


A. Profil Pengadilan Agama Palu Kelas I A ...................................... 86
B. Tinjauan Yuridis Tugas dan Peran Jurusita Pada Pengadilan
Agama Palu Kelas I A ................................................................... 95

xiv
C. Hambatan/Kendala Yang di Hadapi Dalam Tugas dan Peran
Jurusita Pada Pengadilan Agama Palu Kelas I A .......................... 139

BAB V : PENUTUP ....................................................................................... 150


A. Kesimpulan.................................................................................... 150
B. Implikasi Penelitian ....................................................................... 151

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 152


LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

xv
DAFTAR TABEL

TABEL I : Wilayah Yurisdiksi Pengadilan Agama Palu ........................... 88

TABEL II : Daftar Pimpinan PA Palu dari Masa ke Masa ......................... 90

TABEL III : Rekapitulasi Jabatan Pada Pengadilan Agama Palu ................. 91

TABEL IV : Komposisi Pegawai Pengadilan Agama Palu Tahun 2018 ....... 93

TABEL V : Aplikasi yang digunakan Pengadilan Agama Palu ................... 125

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Pengajuan Judul Tesis

2. Penunjukan Pembimbing Tesis

3. Surat Izin Penelitian

4. Surat Keterangan Penelitian dari Pengadilan Agama Palu Kelas I A

5. Pedoman Wawancara

6. Riwayat Hidup

xvii
ABSTRAK

Nama Penulis : Hasanuddin


NIM : 02.21.01.15.004
Judul Tesis : Tinjauan Yuridis Terhadap Tugas dan Peran Jurusita
Pada Pengadilan Agama Palu Kelas I A

Tulisan ini menggunakan metode penelitian lapangan (field research)


yaitu pendekatan kualitatif di Pengadilan Agama Palu Kelas I A. Sumber data
berasal dari pengamatan, wawancara dan sumber-sumber tertulis. Penulis
menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi dalam
mengumpulkan data.
Dalam penelitian ini disimpulkan: Jurusita dalam proses persidangan
berperan sebagai bagian dari pelaksana tugas pengadilan dalam memeriksa dan
mengadili perkara. Bahwa ada dua asas yang harus diperhatikan dalam melakukan
pemanggilan, agar panggilan dikatakan sah menurut hukum, yaitu harus resmi dan
patut. Panggilan dikatakan resmi apabila dilakukan oleh pejabat yang berwenang
dan sasaran atau obyek pemanggilan tepat menurut tata cara yang telah ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu panggilan disampaikan
langsung atau tidak langsung kepada pribadi pihak yang berperkara di tempat
kediamannya. Sedangkan suatu panggilan dikatakan patut apabila dilakukan
dengan memenuhi tenggang waktu yang patut, yaitu tidak boleh kurang dari tiga
hari sebelum acara persidangan dimulai dan didalamnya tidak termasuk hari besar
atau hari libur.
Hambatan yang dihadapi oleh Jurusita pada Pengadilan Agama Palu
Kelas I A antara lain: 1) Sumber Daya Manusia (SDM) baik itu SDM aparatur
pengadilan maupun masyarakat pencari keadilan, 2) Geografis (lingkungan/alam)
baik itu lingkungan kerja maupun keadaan wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama
Palu Kelas I A, dan 3) Sarana dan Prasarana terutama jaringan teknologi informasi
dan sarana pendukung lainnya.
Implikasi dari penelitian ini adalah Mahkamah Agung dan Badan
Peradilan yang berada dibawahnya, harus mensosialisasikan peraturan perundang-
undangan dan tetap berkoordinasi dengan instansi terkait serta terus meningkatkan
SDM aparaturnya dengan berbagai pendidikan dan pelatihan terutama jurusita
yang bersentuhan langsung dengan pihak berperkara hendaknya dalam
melaksanakan tugasnya harus bersikap profesional dan menjaga integritas sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

xviii
ABSTRACT

Name of the Writer : Hasanuddin


I.D Number : 02.21.01.15.004
Title of Thesis : Juridical Review of the Duty and Role of the Bailiff
in the Palu Religious Court

This research used field research method with quantitative approach at


Palu Religious Court. The data source was coming from observation, interview,
and written sources. The writer used observation, interview, and documentation
method in collecting the data.
In this study concluded: The Bailiff in the trial process acts as part of the
implementation of court duties in examining and adjudicating cases. At there are
two principles that must be considered in making summons, so that the call is said
to be lawful, that is, it must be official and proper. The call is said to be official if
it is carried out by an authorized official and the target or object of the call is
appropriate according to the procedures determined by the applicable legislation,
namely the call is delivered or not delivered directly to the person the litigant in
his residence. Whereas a call is said to be appropriate if it is done by fulfilling the
appropriate deadline, that is, it may not be less than three days before the trial
begins and it does not include holidays or holidays.
Obstacles faced by the Bailiff at Palu Religious Courts include: 1) Human
Resources (HR) both human resources court apparatus and justice seekers, 2)
Geographical (environmental/natural) both work environment and circumstances
the jurisdiction of the Religious Class of Palu Class IA, and 3) Facilities and
Infrastructure, especially information technology networks and other supporting
facilities.
The implications of this research are the Supreme Court and the Courts
under it, must socialize the laws and regulations and continue to coordinate with
relevant agencies and continue to improve the apparatus human resources with
various education and training, especially the bailiff who in direct contact with
litigation parties should carry out their duties in a professional manner and
maintain integrity in accordance with applicable laws and regulations.

xix
PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi yang digunakan dalam tesis ini adalah model


Library Congress (LC), salah satu model transliterasi Arab-Latin yang digunakan
secara internasional.
1. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat
dilihat pada halaman berikut:

Arab Latin Arab Latin Arab Latin

‫ب‬ b ‫ز‬ z ‫ق‬ q

‫ت‬ t ‫س‬ s ‫ك‬ k

‫ث‬ th ‫ش‬ sy ‫ل‬ l

‫ج‬ j ‫ص‬ sh ‫م‬ m

‫ح‬ ḥ ‫ض‬ ḋ ‫ن‬ n

‫خ‬ kh ‫ط‬ ṭ ‫و‬ w

‫د‬ d ‫ظ‬ ẓ ‫هـ‬ h

‫ذ‬ dh ‫ع‬ ‘ ‫ء‬ ’

‫ر‬ r ‫غ‬ gh ‫ي‬ y

‫ف‬ f

Hamzah (‫ )ء‬yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi


tanda. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (’).

2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,
transliterasinya sebagai berikut:

v
Tanda Nama Huruf Latin Nama

‫ا‬ Fathah a a

‫ا‬ Kasrah i i

‫ا‬ Dammah u u

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara


harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

‫ـى‬ fathah dan ya ay a dan y

‫ـو‬ fathah dan wau aw a dan w

Contoh:

َ‫كََيف‬ : kayfa

َ‫هَ َول‬ : hawl


3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harakat dan
Nama Huruf dan Tanda Nama
Huruf

‫ى‬... ‫ا‬... fathah dan alif / ya ā a dan garis di atas

‫ـ ـ ـ ـى‬ kasrah dan ya ī i dan garis di atas

u dan garis di
‫ـــــ ُ َو‬ dammah dan wau ū
atas

Contoh:

‫مات‬ : māta ‫رمى‬ : ramā

vi
4. Ta marbūtah
Transliterasi untuk ta marbūtah ada dua, yaitu: ta marbutah yang hidup
atau mendapat harakat fathah, kasrah, dan dammah,transliterasinya adalah [t].
sedangkan ta marbūtah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya
adalah [h].
Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbūtah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta
marbūtah itu ditransliterasikan dengan ha [h].
Contoh:

‫ متعددة‬: Muta`addidah

‫عدة‬ : ‘Iddah

‫شورية‬ : Shūriah
5. Syaddah (Tasdid )
Shaddah atau tasdid yang dalam sistem tulisan arab dilambangakan
dengan sebuah tanda tasdid [َّ], dalam transliterasi ini dilambangkan dengan
perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda shaddah.
Contoh:

‫ربـَّنا‬ : rabbanā

‫احلق‬ : al-haqq

‫احلج‬ : al-hajj

Jika huruf ‫ ى‬ber-tasdid di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf
kasrah (‫) ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــى‬, maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah ( i ).

Contoh:

‫عل ى‬ : ‘Ali (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)

‫عربـى‬ : ‘Arabi (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)

vii
6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf َ ‫ال‬
(alif lam ma’arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi
seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf shamsiah maupun huruf
qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang
mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan
dihubungkan dengan garis mendatar (-).Contoh:

‫الشمس‬ : al-shams (bukan asy-syamsu)

‫الـزلـزلة‬ : al-zalzalah (az-zalzalah)

‫الفلسفة‬ : al- falsafah

‫البَلد‬ : al-bilād

7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (’) hanya berlaku
bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak
di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.

Contoh:

‫ َتمرون‬: ta’murūna ‫النـوء‬ : al-naw’

8. Penulisan Kata Arab yang Lazim Digunakan dalam Bahasa Indonesia


Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah
atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau
kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa
Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi
ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya kata Al-qur’an (dari al-
Qur’an), sunnah, khusus dan umum. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi
bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara
utuh.

viii
Contoh:
Fī Zilāl al-Qur’ān
al-Sunnah qabl al-tadwīn

9. Lafz al-Jalālah (‫)هللا‬


Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya
atau berkedudukan sebagai muḋāf ilayh (frasa nominal), ditransliterasi tanpa huruf
hamzah, Contoh:

‫دين للا‬: dīnulāh ‫ابلل‬ : billāh

Adapun ta marbūtah di akhir kata yang disandarkan kepada lafz al-


jalālah, ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh:

‫هم ِف رْحة للا‬ : hum fī rahmatillāh

10. Huruf Kapital


Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps),
dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan
huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan bahasa Indonesia yang berlaku yakni
Ejaan Yang Disempurnakan. Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk
menuliskan huruf awal nama dari (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada
permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang
ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang
tersebut menggunakan huruf kapital (Al-), ketentuan yang sama juga berlaku
untuk huruf awal dari judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik
ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK, DP).
Contoh:
Wa mā Muhammadun illā rasūl
Inna awwala baytin wuḋi‘a linnāsi lalladhȳ bi Bakkata mubārakan
Shahru Ramaḋān al-ladhȳ unzila fīh al-Qur’ān
Abū Nasr al-Farābī
Al-Gazālī

ix
Al-Munqiż min al-Dalāl
Jika nama resmi seseorang menggunakan kata Ibnu (anak dari) dan Abu
(bapak dari) sebagai nama kedua terakhirnya, maka kedua nama terakhir itu harus
disebutkan sebagai nama akhir dalam daftar pustaka atau daftar referensi.
Contohnya:
Abū al-Walīd Muhammad ibnu Rusyd, ditulis menjadi:
Ibnu Rushd, Abū al-Walīd Muhammad (bukan: Rusyd, Abū al-Walīd
Muhammad ibnu)
Nasr Hāmid Abū Zaīd, ditulis menjadi:
Abū Zaīd, Nasr Hāmid (bukan: Zaīd, Nasr Hāmīd Abū)

x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lembaga peradilan merupakan salah satu unsur utama dalam menyelesaikan

persoalan-persoalan masyarakat. Karena persoalan-persoalan yang sudah pasti timbul

di masyarakat memerlukan suatu perangkat yang diharapkan dapat memecahkan dan

menyelesaikan masalah tersebut dengan jaminan kepastian hukum. Bahwa

pemerintah (ulil amri) harus menetapkan hukum dengan berpijak kepada kebenaran

yang diturunkan Allah swt. dan tidak menyimpang darinya karena itu akan

menyesatkan mereka dari jalanNya. Seorang pemimpin harus bersikap adil, amanah

dan mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadinya. Hal ini

tertuang dalam Q.S. Shad (38):26 sebagai berikut:

‫َّاس ِِّب ْلَ ِّق َوََل تَ تَّبِّ ِّع‬


ِّ ‫اح ُك ْم بَ ْْيَ ال ن‬
ْ َ‫ض ف‬ِّ ‫اك َخ لِّي َف ةً ِِّف ْاْل َْر‬ َ َ‫ََي دَ ُاوودُ إِّ ََّّن َج عَ لْ ن‬
‫اب‬ َِّّ ‫يل‬ ِّ ‫اَّللِّ ۚ إِّ َّن ا لَّذِّ ين ي‬
ِّ ِّ‫ض لُّو َن عَ ْن َس ب‬ ِّ ِّ‫ك عَ ْن َس ب‬ ِّ ‫ى فَ ي‬
َ َّ‫ض ل‬
ٌ ‫اَّلل َْلُ ْم عَ َذ‬ َ َ َّ ‫يل‬ ُ ٰ ‫ا ْْلََو‬
‫اب‬ِّ ‫َش دِّ ي ٌد ِِّبَا نَس وا ي وم ا ْلِّس‬
َ َ َْ ُ
Terjemahnya:
“Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu
dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan
mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”.1

1
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Surabaya: Lintas Media,2002), 651.

1
2

Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk beragama Islam

terbanyak di dunia, bahkan mencapai 207.176.162 jiwa atau sekitar 87.18% dari

seluruh penduduk Indonesia,2 merupakan cerminan bahwa hukum yang bersumber

dari ajaran Islam akan mudah diterima di masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah

negara yang berdaulat, Indonesia wajib melindungi rakyatnya melalui aturan-aturan

yang akan menjamin pemenuhan hak dan kewajiban mereka. Itulah mengapa, negara

melalui pemerintah membuat Undang-undang, seperti Undang-undang tentang

Peradilan Agama.

Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana

telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua

dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, maka

terdapat perubahan yang mendasar mengenai kewenangan-kewenangan bagi

Peradilan Agama. Terutama di Jawa dan Madura yang sebelumnya kewenangan

didasarkan pada Saatsblad (selanjutnya disingkat Stb.), yaitu Stb. 1882 Nomor 152

dan Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 serta di Kalimantan Selatan dan sebagian

Kalimantan Timur yang kewenangannya didasarkan pada Stb. 1937 Nomor 638 dan

Nomor 639, serta Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan

Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah diluar Jawa dan Madura.3

2
Badan Pusat Statistik, “Penduduk Menurut Agama dan Wilayah yang Dianut”. Official
Website Badan Pusat Statistik. http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321 (21 Februari 2017)
3
Konsideran Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, Pengaturan Tentang Susunan,
Kekuasaan dan Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama. 1.
3

Berlakunya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut tidak saja

memberikan sejumlah kewenangan baru, tetapi sekaligus juga beban tugas baru yang

harus dipikul oleh lembaga Peradilan Agama, baik dari segi teknis maupun aparat.

Salah satu beban tugas teknis dimaksud antara lain adalah dalam hal pemanggilan

para pihak berperkara oleh Jurusita/Jurusita Pengganti.4

Pengadilan yang tugas pokoknya, menerima, memeriksa, dan mengadili serta

menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dalam keberhasilan

pelaksanaan tugasnya sangat tergantung pada aparat pendukungnya, salah satu motor

penggerak dari roda proses peradilan adalah keberadaan Jurusita/Jurusita Pengganti.

Keduanya merupakan ujung tombak pengadilan yang tidak hanya melaksanakan

eksekusi saja, melainkan proses administrasi di dalam badan peradilan pada

umumnya.

Di lingkungan peradilan umum keberadaan Jurusita sudah terdapat sejak

zaman Belanda saat pengadilan masih bernama Landraad. Yaitu lembaga pengadilan

yang memiliki yurisdiksi se-kabupaten dimana hakim yang bertugas

di landraad adalah hakim-hakim profesional.5 Sedang bagi lingkungan peradilan

agama keberadaan Jurusita masih relative baru. Sebelum berlakunya Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989, pengadilan agama tidak memiliki Jurusita dan Jurusita

pengganti yang bertugas antara lain melaksanakan putusan pengadilan. Pada saat itu

4
Wildan Suyuti Musthofa, Praktek Kejurusitaan Pengadilan, (Mahkamah Agung RI, 2002)1.
5
Ibid., 2.
4

semua putusan pengadilan agama dilaksanakan oleh pengadilan negeri melalui

lembaga eksekutoir verklaring.6

Dalam perjalanan sejarah Jurusita/Jurusita pengganti adalah sesuatu yang baru

bagi peradilan agama, sebagai akibat dari lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang peradilan agama yang mengatur juga masalah kejurusitaan. Disebut

baru karena selama ini Peradilan Agama tidak dapat melaksanakan eksekusi sendiri

atas putusannya, maka pasal 38 memperkenalkan adanya lembaga Jurusita dan

Jurusita Pengganti.

Penjelasan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 menegaskan bahwa untuk

memantapkan kemandirian Pengadilan Agama diadakan Jurusita hingga Pengadilan

Agama dapat melaksanakan keputusannya sendiri.7 Masalah kejurusitaan menjadi

mendesak bagi Peradilan Agama bila melihat penjelasan pasal 49 Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989 menyebutkan bahwa yang termasuk bidang perkawinan

meliputi masalah-masalah yang banyak sekali terurai dan diantaranya ada yang

memerlukan tindakan eksekusi apabila ada pihak yang tidak melaksanakan vonis

secara sukarela.

Adapun yang memerlukan eksekusi dalam bidang perkawinan antara lain :

putusan tentang penyelesaian harta bersama, penguasaan anak, biaya pemeliharaan

dan pendidikan anak, biaya hidup mantan isteri, kelalaian atas kewajiban suami yang

berupa pembayaran sejumlah uang dan putusan tentang pembebanan ganti rugi

6
Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Sketsa Peradilan Agama, (Edisi V) 49.
7
Wildan Suyuthi Musthofa, Praktek Kejurusitaan Pengadilan, 2.
5

terhadap wali yang merugikan anak yang ada dibawah kekuasaannya. Sedangkan

dalam bidang kewarisan, hibah, wasiat, wakaf dan shodaqoh, semuanya memerlukan

eksekusi jika para pihak tidak dengan sukarela melaksanakan putusan Pengadilan

Agama.8

Tidak mudah menemukan Literatur, khususnya yang membahas tentang

kejurusitaan, karena tidak banyak mendapat perhatian dari para sarjana hukum kita

dibandingkan dengan bidang tugas hukum lainnya di Pengadilan, di samping itu

bidang kejurusitaan ini kurang diajarkan secara mendalam dalam pendidikan ilmu

hukum. Padahal, bidang tugas kejurusitaan merupakan hal yang sangat penting dan

sangat menentukan untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan suatu perkara.

Suatu perkara tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik dan benar

menurut hukum, tanpa peran dan bantuan tugas di bidang kejurusitaan. Hakim tidak

mungkin dapat menyelesaikan perkara tanpa dukungan Jurusita/Jurusita Pengganti,

sebaliknya Jurusita/Jurusita Pengganti juga tidak mungkin bertugas tanpa perintah

Hakim. Keduanya dalam melaksanakan tugasnya tidak mungkin lepas sendiri-sendiri,

kedua-duanya saling memerlukan satu sama lain.9

Sebagai pemutus perkara, hakim dibantu oleh pejabat pengadilan dalam

menangani suatu perkara baik Panitera Pengganti yang mendampingi hakim di

persidangan, serta Jurusita/Jurusita Pengganti yang melaksanakan tugas-tugas

kejurusitaan dan berperan penting dalam proses beracara di Pengadilan.

8
Mahkamah Agung RI, Praktek Kejurusitaan Pengadilan, (Jakarta, 2002) 3.
9
Ibid., 4.
6

Dalam menjalankan tugasnya seringkali Jurusita menghadapi beberapa

hambatan/kendala karena teori dan prakteknya di lapangan kadang berbeda. Tidak

jarang pelaksanaan tugas tersebut mengalami persoalan. Persoalan tersebut timbul

karena apa yang telah menjadi ketentuan secara normatif, masih perlu dicari

terobosan dalam pelaksanaannya yang secara rinci memang tidak mendapat

penjabaran lebih lanjut.

Tentu saja munculnya berbagai hambatan/kendala ini menyulitkan Jurusita

ketika menjalankan tugasnya di lapangan. Hambatan/kendala itu bisa berupa kondisi

geografis yang bisa berakibat terlambatnya surat pemberitahuan atau pemanggilan

terhadap pihak-pihak berperkara. Bahkan tidak jarang ketika Jurusita melaksanakan

tugas penyitaan atau eksekusi mendapat halangan dari pihak berperkara, terutama

pihak yang kalah di pengadilan, meskipun putusan itu telah sesuai dengan hukum dan

keadilan.10

Di antara persoalan-persoalan tersebut, malah menjadi problem yang tidak ada

habisnya untuk terus diwacanakan. Sebagian problem tersebut adalah mengenai

persoalan pemanggilan pihak-pihak berperkara, dalam hal ini pelaksanaan

pemanggilan yang dilaksanakan oleh Jurusita dalam wilayah yurisdiksi dan

pemanggilan pihak yang gaib, serta pemanggilan melalui perangkat elektronik (e-

court).11

10
Gunanto Suryono, Sambutan Panitera Mahkamah Agung RI pada Pusdiklat Mahkamah
Agung RI, Jakarta, 2002.
11
Drs. Khalis, MH., Wawancara Pra Penelitian, tanggal 12 Maret 2018.
7

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang tersebut di

atas, rumusan masalahnya adalah “Bagaimana tinjauan yuridis terhadap tugas dan

peran Jurusita pada Pengadilan Agama Palu Kelas I A?”. Pokok masalah tersebut

diformulasi kedalam 2 (dua) sub masalah, yakni :

1. Bagaimana Tinjauan Yuridis Terhadap Tugas dan Peran Jurusita pada

Pengadilan Agama Palu Kelas I A?

2. Bagaimana Hambatan/Kendala yang dihadapi Jurusita dalam menjalankan

tugas dan peranannya pada Pengadilan Agama Palu Kelas I A?

Adapun batasan masalah dalam tesis ini adalah hanya memfokuskan pada

permasalahan tugas pemanggilan yang dilakukan oleh jurusita pada Pengadilan

Agama Palu Kelas I A yaitu :

1). Pemanggilan wilayah yurisdiksi

2). Pemanggilan Gaib

3). Pemanggilan melalui E-Court

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Dalam penelitian ini, tujuan yang ingin dicapai adalah:

1. Untuk mengetahui Tinjauan Yuridis Terhadap Tugas dan Peran Jurusita pada

Pengadilan Agama Palu Kelas I A.

2. Untuk mengetahui Hambatan/Kendala yang dihadapi Jurusita dalam

menjalankan tugas dan perannya pada Pengadilan Agama Palu Kelas I A.


8

Adapun kegunaan dalam penelitian ini, adalah:

1. Teoretik

Dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan, hasil dari penelitian ini

diharapkan mampu memberikan kontribusi positif dalam bidang hukum sesuai

dengan perkembangan hukum itu sendiri. Juga sebagai pijakan dan referensi

pada penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan tugas dan

peran Jurusita.

2. Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan terhadap

institusi peradilan agama bagi kemajuan hukum acara perdata islam yang

berkaitan dengan pelaksanaan tugas kejurusitaan.

D. Penegasan Istilah

Untuk menghindari adanya perbedaan pemahaman dalam istilah yang

digunakan dalam penelitian ini, maka peneliti menegaskan beberapa penggunaan

istilah sebagai berikut:

1. Tinjauan Yuridis Terhadap Tugas dan Peran Jurusita

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian tinjauan adalah

mempelajari dengan cermat, memeriksa (untuk memahami) pandangan, pendapat

(sesudah menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya).12 Menurut kamus hukum,

kata.yuridis berasal dari kata Yuridisch yang berarti menurut hukum atau dari segi

12
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa (Edisi
keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012), 1470.
9

hukum.13 Dalam tulisan ini, yuridis yang dimaksud adalah yuridis normatif (Quran

dan Sunnah serta peraturan lainnya) dan yuridis empiris.

2. Jurusita

Istilah Jurusita terdiri dari dua kata “Juru” dan “Sita”. Kata Juru berarti

orang yang pandai dalam suatu pekerjaan yang memerlukan latihan, kecakapan dan

kecermatan (keterampilan).14

Sedangkan “Sita” berarti tuntutan pengadilan, perihal mengambil dan

menahan barang menurut keputusan pengadilan oleh alat Negara (polisi dan

sebagainya); pembeslahan.15

Dari kedua arti kata tersebut, secara sederhana dapat diambil pengertian

bahwa Jurusita adalah orang terlatih yang dianggap mempunyai kecakapan dan

kecermatan melaksanakan tugas atau melaksanakan penyitaan yang dibebankan

kepadanya. Jurusita dan atau Jurusita Pengganti adalah Jurusita dan atau Jurusita

Pengganti pada Pengadilan Agama.16

Dengan demikian Jurusita/Jurusita Pengganti adalah pegawai umum yaitu

pegawai negeri yang memang sengaja diangkat oleh pemerintah untuk melakukan

tugas kejurusitaan di pengadilan di mana ia bertugas.

13
M. Marwan dan Jimmy P., Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), 651.
14
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa (Edisi
keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012), 482.
15
Ibid, 1078.
16
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, pasal 1 ayat (5).
10

3. Pengadilan Agama

Pengadilan Agama adalah salah satu lembaga peradilan pada tingkat

pertama, tepatnya adalah lembaga peradilan agama.17 Dalam literatur lain disebutkan

bahwa Peradilan Agama adalah sebutan resmi yang diperuntukkan salah satu badan

peradilan di antara empat lingkungan peradilan negara atau kekuasaan kehakiman

yang sah di Indonesia.18 Peradilan dalam kamus Bahasa Indonesia berarti “segala

sesuatu mengenai perkara pengadilan”, sedangkan kata pengadilan diartikan sebagai

“dewan majelis yang mengadili perkara”, atau “mahkamah”, “proses mengadili”,

“keputusan hakim”, “sidang hakim ketika mengadili perkara”, “rumah (bangunan)

tempat mengadili perkara”.19 Lebih khusus lagi dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia disebutkan definisi atas pengadilan agama yaitu “badan peradilan khusus

untuk orang yang beragama Islam yang memeriksa dan memutus perkara perdata

tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.20

Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang

bertugas dan berwenang menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara

perdata tertentu bagi yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam

pasal 2 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pengadilan Agama.

Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat

17
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia (Sejarah Pemikiran dan Realita), Malang:
UIN-Malang Press, 2009), 7.
18
Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), 7.
19
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000),
2.
20
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat bahasa (Edisi
keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012).
11

pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur

dalam Undang-undang ini. Dengan demikian keberadaan Pengadilan Agama

dikhususkan kepada warga Negara Indonesia yang beragama Islam.21

E. Kerangka Pemikiran

Kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori

berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang

penting. Kerangka berfikir yang baik akan menjelaskan secara teoritis pertautan antar

variabel yang akan diteliti. Jadi secara teoritis perlu dijelaskan hubungan antar

variabel independen dan dependen. Bila dalam penelitian ada variabel moderator dan

intervening, maka juga perlu dijelaskan, mengapa variabel itu ikut dilibatkan dalam

penelitian. Pertautan antar variabel tersebut, selanjutnya dirumuskan ke dalam bentuk

paradigma penelitian. Oleh karena itu pada setiap penyusunan paradigma penelitian

harus didasarkan pada kerangka berfikir.22

Kerangka pikir adalah narasi (uraian) atau pernyataan (proposisi) tentang

kerangka konsep pemecahan masalah yang telah diidentifikasi atau dirumuskan. Pada

dasarnya esensi kerangka pemikiran berisi: (1) Alur jalan pikiran secara logis dalam

menjawab masalah yang didasarkan pada landasan teoritik dan atau hasil penelitian

yang relevan. (2) Kerangka logika (logical construct) yang mampu menunjukkan dan

menjelaskan masalah yang telah dirumuskan dalam kerangka teori. (3) Model

21
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, pasal 2.
22
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, (Bandung:
Alfabeta, 2010), 60.
12

penelitian yang dapat disajikan secara skematis dalam bentuk gambar atau model

matematis yang menyatakan hubungan-hubungan variable penelitian atau merupakan

rangkuman dari kerangka pemikiran yang digambarkan dalam suatu model. Sehingga

pada akhir kerangka pemikiran ini terbentuklah hipotesis.

Dalam penelitian ini, peneliti berangkat dari hukum yang dibangun di

Indonesia. Berupa dasar dari semua hukum yaitu Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian melahirkan Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Setelah lahirnya Undang-undang Perkawinan

kemudian lahir Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir diamandemen dengan Undang-

undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.23

Dasar hukum lainnya dalam penelitian ini adalah Kompilasi Hukum Islam

yang termuat dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, yang merupakan

penjabaran secara lengkap terkait undang-undang perkawinan dan hukum perdata

Islam lainnya yang berlaku di Indonesia. Terkait dengan tugas di bidang kejurusitaan,

dasar hukum dalam penelitian ini adalah HIR (Herziene Inlandsch Reglement) dan

RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten) tentang pelaksanaan tugas Jurusita

dan prakteknya di lapangan, serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018

tentang administrasi perkara di pengadilan secara elektronik dan KMA Nomor 122

Tahun 2013 tentang Kode Etik Panitera dan Jurusita.

23
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, pasal 2.
13

Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini, dapat dilihat dari bagan

berikut:

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TUGAS DAN PERAN JURUSITA


PADA PENGADILAN AGAMA PALU KELAS I A

AL QUR’AN
AL HADITS
UUD NRI TAHUN 1945
UU NO. 1 TAHUN 1974
UU NO. 7 TAHUN 1989
TEORI NEGARA HUKUM : UU NO. 3 TAHUN 2006
UU NO. 50 TAHUN 2009
TEORI EFEKTIVITAS HUKUM UU NO. 3 TAHUN 2009
PP NO. 9 TAHUN 1975
INPRES NO. 1 TAHUN 1991
HIR/RBg dan Rv
PERMANO. 3 TAHUN 2018
KMA 122 TAHUN 2013

TINJAUAN YURIDIS : HAMBATAN/KENDALA :


1. Pemanggilan Wilayah Yurisdiksi 1. Sumber Daya Manusia (SDM)
2. Pemanggilan Gaib 2. Geografis (Alam/Lingkungan)
3. Pemanggilan Melalui E-Court 3. Sarana dan Prasarana

TERDAPAT KESESUAIAN ATURAN TERHADAP


TUGAS DAN PERAN JURUSITA PADA
PENGADILAN AGAMA PALU KELAS I A
14

F. Garis-garis Besar Isi

Tesis ini tersusun atas 5 (lima) bab, yang memiliki pembahasan masing-

masing sebagai berikut :

Bab pertama berupa pendahuluan. Dalam pendahuluan ini berisikan tentang

konteks penelitian agar masalah yang diteliti dapat diketahui arah masalah dan

konteksnya yang meliputi latar belakang masalah yang berisikan tentang ide awal,

serta didalam permasalahan dikemukakan uraian tentang masalah yang menarik minat

dan mendesak untuk diteliti. Kemudian pokok masalah penelitian yang muncul dari

latar belakang masalah dijadikan sebagai rumusan masalah dan batasan masalah yang

diteliti. Dirumuskan dalam bentuk kalimat Tanya, agar dalam melakukan penelitian

semua terarah untuk menjawab pertanyaan dalam perumusan masalah tersebut.

Kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan kegunaan penelitian, apa yang hendak

dicapai dalam penelitian akan dikemukakan dengan jelas dan tegas. Penegasan istilah

yang memuat defenisi yang diberikan kepada setiap suatu variabel atau konstrak

dengan cara memberikan arti yang diperlukan untuk menentukan kerangka pemikiran

dan garis-garis besar isi yang diteliti.

Bab kedua berupa kajian pustaka yang berisi sub bab yang berisi tentang

konsep-konsep yuridis yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti sebagai

landasan untuk pengkajian dan analisis masalah. Konsep-konsep tersebut nantinya

yang akan digunakan dalam menganalisa setiap permasalahan yang dibahas dakam

penelitian ini. Sub bab berikutnya yang berkaitan dengan penelitian terdahulu yang

mendukung teori dari penelitian ini baik yang sudah diterbitkan maupun yang belum
15

diterbitkan, dengan tema yang sama atau mempunyai keterkaitan dengan

permasalahan yang akan peneliti lakukan. Penelitian terdahulu ini bertujuan untuk

mencari titik perbedaan penelitian yang akan peneliti lakukan dengan penelitian yang

sudah ada guna menghindari duplikasi dan plagiasi. Adapun sub bab yang dibahas

dalam bab ini adalah tinjauan umum tentang jurusita dan tinjauan umum tentang

peradilan agama.

Bab ketiga berupa metode penelitian. Metode penelitian sangat diperlukan

dalam melakukan penelitian secara ilmiah. Bab ini menjelaskan tentang metode

penelitian yang berisi pendekatan dan desain penelitian, lokasi penelitian, kehadiran

peneliti, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data dan

pengecekan keabsahan data. Sehingga penelitian yang dilakukan dapat berjalan

secara sistematis dan terarah serta hasil yang didapat maksimal karena pada bab ini

merupakan rambu-rambu penelitian yang dilakukan oleh peneliti.

Bab keempat berupa hasil penelitian dan pembahasan. Bab ini merupakan inti

dari penelitian, karena dalam bab ini akan diuraikan data-data yang telah diperoleh

dari hasil kegiatan penelitian serta pembahasan hasil penelitian di lapangan. Hasil

pengolahan data dari penelitian dikaitkan atau akan dikaji dengan konsep-konsep

yang sudah dipaparkan pada bab sebelumnya. Bab ini berisi profil Pengadilan Agama

Palu Kelas I A serta inti dari penelitian ini yaitu Tinjauan Yuridis Terhadap Tugas

dan Peran Jurusita pada Pengadilan Agama Palu Kelas I A, hambatan-hambatan atau

kendala yang di hadapi Jurusita dalam pelaksanaan tugasnya. Data-data yang sudah di

analisis dengan konsep ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah yang ada.
16

Bab kelima merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan implikasi

penelitian. Kesimpulan ini berupa jawaban singkat atas rumusan masalah yang

ditetapkan. Dari hasil penelitian ini diharapkan muncul usulan atau anjuran yang

diperlukan sebagai tindak lanjut dari penelitian ini.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Dalam kajian yang dilakukan penulis, terdapat persamaan dari penelitian

terdahulu yang membahas tentang Jurusita. Hasil penelitian terdahulu yang berkaitan

dengan penelitian ini yaitu Analisis Tentang Sistem Peradilan Agama di Indonesia

oleh Domiri. Penelitian yang berjudul Analisis Tentang Sistem Peradilan Agama di

Indonesia oleh Domiri, diterbitkan melalui Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun

ke-47 No. 3, Juli-September 2016.

Penelitian ini membahas mengenai sistem hukum pengadilan agama yang

terdiri dari komponen-komponen peradilan agama yaitu aturan hukum (hukum

materiil dan hukum formil) dan aparat hukum. Ada pun aparat hukum yang dimaksud

adalah Hakim, Panitera dan Jurusita. Bahwa masing-masing komponen tersebut

memiliki fungsi dan tugas sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya saling

tergantung dan bekerjasama untuk mencapai satu tujuan yakni terciptanya hukum dan

keadilan.1

Penelitian kedua yaitu Kewenangan Penyitaan Oleh Jurusita Pajak Dan Upaya

Penyelesaian Sengketa Pajak (Tinjauan Yuridis Normatif terhadap Undang-undang

Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa) oleh Yuda Adi

Seno, diterbitkan melalui Jurnal Ilmu Hukum Mizan, Volume 1, Nomor 2,

1
Domiri, Analisis Tentang Sistem Peradilan Agama di Indonesia, (Jurnal Hukum dan
Pembangunan Tahun ke-47 No. 3, 2016).

17
18

Desember 2012. Penelitian ini membahas syarat dan prosedur penyitaan tersebut

masih belum dapat mengantisipasi atau mengatasi hambatan/kendala yang dihadapi

Jurusita dalam melakukan penyitaan di lapangan karena selain kendala alamat tempat

tinggal yang sulit ditemui (alamat fiktif), masalah yang dihadapi juga adalah upaya

perlawanan yang dilakukan oleh wajib pajak saat Jurusita hendak memasuki rumah

kediaman, apalagi sewaktu akan dilakukan penyitaan asset/harta kekayaannya.

Kendala lain yang dihadapi Jurusita adalah hampir semua wajib pajak sudah mengerti

hukum dan mereka mempunyai pengacara atau kuasa hukum yang secara otomatis

akan membela kepentingan hukum kliennya. Oleh karena itu semua tindakan yang

dilakukan Jurusita harus lebih selektif dan penuh kehati-hatian.2

Penelitian ketiga yaitu Penelitian Hukum tentang Penyederhanaan Proses

Peradilan oleh Mosgan Situmorang pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum

Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Tahun

2009. Dalam penelitian ini ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses peradilan

yaitu,3 1). faktor internal seperti hukum acara perdata, sumber daya manusia termasuk

didalamnya seluruh aparat peradilan tak terkecuali jurusita, sarana dan prasarana. 2).

Faktor eksternal yaitu sikap para pihak yang berperkara dan sikap instansi terkait.

Penelitian keempat yang berjudul Analisis Terhadap Faktor Penghambat

Tugas Jurusita dalam Pemanggilan Pihak-pihak berperkara di Pengadilan Agama

2
Yuda Adi Seno, Kewenangan Penyitaan Oleh Jurusita Pajak Dan Upaya Penyelesaian
Sengketa Pajak (Tinjauan Yuridis Normatif terhadap Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa), Jurnal Ilmu Hukum Mizan, Vol. 1 No. 2 Tahun 2012.
3
Mosgan Situmorang, Penyederhanaan Proses Peradilan, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Tahun 2009.
19

Semarang, oleh Nur Wahyudin, mahasiswa Fakultas Syariah Institut Agama Islam

Negeri Walisongo Tahun 2004. Bahwa Undang-undang yang mengatur tugas dan

wewenang jurusita sudah sangat jelas, tetapi dalam prakteknya pelaksanaan tugas dan

wewenang jurusita di Pengadilan Agama Semarang banyak menemui faktor-faktor

yang menghambat kinerjanya.4

Penelitian kelima yang berjudul Tinjauan Hukum Acara Peradilan Islam

Terhadap Domisili Tergugat/Termohon berstatus Terpidana oleh Dwi Ulya Rifqiyati,

mahasiswi Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tahun 2013. Letak fokus dari penelitian ini adalah memfokuskan pada tehnik cara

pemanggilan seorang tergugat yang berstatus terpidana.5

Hal yang membedakan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang

dilakukan oleh peneliti terdapat pada fokus penelitian yang menggunakan tinjauan

yuridis empiris dalam menganalisis praktek Jurusita pada Pengadilan Agama Palu

Kelas I A, terutama pemanggilan melalui e-court dengan aplikasi berbasis internet.

Sampai saat ini penelitian dengan cara pemanggilan e-court ini belum ada yang

meneliti tentang efektif tidaknya cara pemanggilan tersebut.

Sejalan dengan penelitian ini tentunya berbagai aturan-aturan tertulis yang sah

dan berlaku di Indonesia, seperti Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

4
Nur Wahyudin, Analisis Terhadap Faktor Penghambat Tugas Jurusita dalam Pemanggilan
Pihak-pihak berperkara di Pengadilan Agama Semarang, Mahasiswa Fakultas Syariah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Tahun 2004.
5
Dwi Ulya Rifqiyati, Tinjauan Hukum Acara Peradilan Islam Terhadap Domisili
Tergugat/Termohon Berstatus Terpidana, Mahasiswi Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta Tahun 2013.
20

Tahun 1945, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 7 Tahun 1989 jo.

UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, INPRES

No. 1 Tahun 1991, KHI (Kompilasi Hukum Islam), HIR (Het Herzien Inlandsch

Reglement) atau RB.g (Rechtreglement voor de Buitengewesten), Peraturan

Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2018 dan peraturan lainnya yang memuat aturan

tentang pelaksanaan tugas Jurusita.

B. Teori Hukum

Penelitian kepustakaan yang ada mengenai teori efektivitas memperlihatkan

keanekaragaman dalam hal indikator penilaian tingkat efektivitas suatu hal. Hal ini

terkadang mempersulit pemelaahan terhadap suatu penelitian yang melibatkan teori

efektivitas, namun secara umum efektivitas suatu hal diartikan sebagai keberhasilan

dalam pencapaian target atau tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas memiliki

beragam jenis, salah satunya adalah efektivitas organisasi. Sama halnya dengan teori

efektivitas secara umum, para ahli pun memiliki beragam pandangan terkait dengan

konsep efektivitas organisasi.

Mengutip Ensiklopedia administrasi,6 menyampaikan pemahaman tentang

efektivitas sebagai berikut :

“Efektivitas adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai


terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki, kalau seseorang melakukan suatu
perbuatan dengan maksud tertentu yang memang dikehendaki. Maka orang itu
dikatakan efektif kalau menimbulkan atau mempunyai maksud sebagaimana yang
dikehendaki.”

6
Ray Pratama Siadari, Teori Efektifitas Hukum,
http://www.academia.edu/9568999/Teori_Efektifitas_Hukum, diakses pada tanggal 10 Februari 2019.
21

Dari defenisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu hal dapat dikatakan

efektif apabila hal tersebut sesuai dengan yang dikehendaki. Artinya pencapaian hal

yang dimaksud merupakan pencapaian tujuan dilakukannya tindakan-tindakan untuk

mencapai hal tersebut. Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian

suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat

dikatakan efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah mencapai tujuannya.

Apabila tujuan yang dimaksud adalah tujuan suatu instansi maka proses pencapaian

tujuan tersebut merupakan keberhasilan dalam melaksanakan program atau kegiatan

menurut wewenang, tugas dan fungsi instansi tersebut.

Adapun apabila kita melihat efektivitas dalam bidang hukum, ketika ingin

mengetahui sejauh mana efektivitas dan hukum, maka pertama harus mengukur

“sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati”. Pada umumnya faktor yang

banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan adalah professional dan

optimal pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik

didalam menjelaskan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam

menegakkan perundang-undangan tersebut.7

Efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu:8

1. Faktor hukumnya sendiri (perundang-undangan)

7
Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Vol. 1 (Jakarta; Kencana, 2010).
375.
8
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2008). 8.
22

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan

hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan.

5. Faktor kebudayaan yakni, sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada

karsa manusia didalam pergaulan hidup.

Kelima faktor diatas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan

esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas

penegakan hukum. Pada elemen pertama, yang menentukan dapat berfungsinya

hukum tertulis tersebut dengan baik atau tidak adalah tergantung dari aturan hukum

itu sendiri.9

Efektivitas pada elemen pertama adalah :

1. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup

sistematis.

2. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup

sinkron, secara hierarki dan horizontal tidak ada pertentangan.

3. Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur bidang

kehidupan tertentu sudah mencukupi.

4. Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan persyaratan yuridis

yang ada.

9
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Bandung: Bina Cipta, 1983), 80.
23

Pada elemen kedua yang menentukan efektif atau tidaknya kinerja hukum

tertulis adalah aparat penegak hukum. Dalam hubungan ini dikehendaki adanya

aparatur yang handal sehingga aparat tersebut dapat melakukan tugasnya dengan

baik, kehandalan dalam kaitannya disini adalah meliputi keterampilan professional

dan mempunyai mental yang baik.

Masalah yang berpengaruh terhadap efektivitas hukum tertulis ditinjau dari

segi aparat akan tergantung pada hal berikut :

1. Sampai sejauh mana petugas terikat oleh peraturan-peraturan yang ada.

2. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberikan kebijaksanaan.

3. Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat.

4. Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan

kepada petugas, sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada

wewenangnya10.

Pada elemen ketiga, tersedianya fasilitas yang berwujud sarana dan prasarana

bagi aparat pelaksana di dalam melakukan tugasnya. Sarana yang dimaksud adalah

fasilitas yang digunakan sebagai alat untuk mencapai efektivitas hukum. Sehubungan

dengan hal itu dapat di prediksi patokan efektivitas elemen-elemen tertentu dari

sarana-prasarana tersebut secara jelas memang menjadi bagian yang memberikan

kontribusi untuk kelancaran tugas-tugas aparat ditempat atau lokasi kerjanya.

Adapun elemen tersebut adalah:11

10
Ibid., 82.
11
Ibid., 82.
24

1. Prasarana yang telah ada apakah telah terpelihara dengan baik.

2. Prasarana yang belum ada perlu diadakan dengan memperhitungkan angka waktu

pengadaannya.

3. Prasarana yang kurang, perlu segera dilengkapi.

4. Prasarana yang rusak perlu segera di perbaiki.

5. Prasarana yang macet perlu segera di lancarkan fungsinya.

6. Prasarana yang mengalami kemunduran fungsi perlu ditingkatkan fungsinya.

Kemudian ada beberapa elemen pengukur efektivitas yang tergantung dari

kondisi masyarakat, yaitu :

1. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi aturan walaupun peraturan yang

baik.

2. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan walaupun peraturan sangat

baik dan aparat sudah sangat berwibawa.

3. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan, baik petugas atau aparat

berwibawa serta fasilitas mencukupi.

Elemen tersebut diatas memberikan pemahaman bahwa disiplin dan

kepatuhan masyarakat tergantung dari motivasi yang secara internal muncul

internalisasi faktor ini ada pada tiap individu yang menjadi elemen terkecil dari

komunitas sosial. Oleh karena itu pendekatan paling tepat dalam hubungan disiplin

ini adalam melalui motivasi yang ditanamkan secara individual. Dalam hal ini derajat

kepatuhan masyarakat menjadi salah satu parameter tentang efektif atau tidaknya

hukum itu diberlakukan, sedangkan kepatuhan masyarakat tersebut dapat dimotivasi


25

oleh berbagai penyebab, baik yang ditimbulkan oleh kondisi internal maupun

eksternal.12

Kondisi internal muncul karena ada dorongan tertentu baik yang bersifat

positif maupun negatif. Dorongan positif dapat muncul karena adanya rangsangan

yang positif yang menyebabkan seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu yang

sifatnya positif. Sedangkan yang bersifat negatif muncul karena adanya perlakuan

yang tidak adil dan sebagainya. Sedangkan dorongan yang sifatnya eksternal karena

adanya semacam tekanan dari luar yang mengharuskan bersifat memaksa agar warga

masyarakat tunduk dan patuh kepada hukum. Pada takaran umum, keharusan warga

masyarakat untuk tunduk dan menaati hukum disebabkan karena adanya sanksi atau

punishment yang menimbulkan rasa takut atau tidak nyaman sehingga lebih memilih

taat hukum daripada melakukan pelanggaran yang pada gilirannya dapat

menyusahkan mereka. Motivasi ini biasanya bersifat sementara atau temporer.

Teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut

relevan dengan teori yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita, yaitu faktor-faktor

yang menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap

mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasehat hukum) akan

tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan.13

Menurut Soerjono Soekanto efektif adalah taraf sejauh mana suatu kelompok

dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak

12
Ibid., 83.
13
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum,
(Bandung: Mandar Maju, 2001), 55.
26

hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing

ataupun merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum.14

Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum, pengidentikkan hukum

tidak hanya dengan unsur paksaan eksternal namun juga dengan proses pengadilan.

Ancaman paksaan pun merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat

dikategorikan sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan ini erat kaitannya

dengan efektif atau tidaknya suatu ketentuan aturan hukum. Jika suatu aturan hukum

tidak efektif, salah satu pertanyaan yang dapat muncul adalah apa yang terjadi

dengan ancaman paksaannya? Mungkin tidak efektifnya hukum karena ancaman

paksaannya kurang berat; mungkin juga karena ancaman paksaan itu tidak

terkomunikasi secara memadai pada warga masyarakat.15

C. Tinjauan Umum Tentang Jurusita

1. Pengertian dan Dasar Hukum Jurusita

Istilah Jurusita terdiri dari dua kata “Juru” dan “Sita”. Dalam Kamus Bahasa

Arab, Juru Sita di sebut (‫اجب َمحْ َك َمة‬


ِ ‫ ) َح‬hajib mahkama. Dalam Kamus Al Munawwir,

Juru Sita disebut )‫األم َوا ِل‬


ْ ‫ف ال َح ْج ِز ( َحجْ ِز‬ ّ ‫ ُم َو‬muwadhdhiful hajzi (hajzil amwaali). Kata
ُ ‫ظ‬

Juru berarti orang yang pandai dalam suatu pekerjaan yang memerlukan latihan,

kecakapan dan kecermatan (keterampilan).16

14
Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, (Bandung: CV. Ramadja
Karya, 1988). 80.
15
Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum (Jakarta; Yarsif Watampone,
1998). 186.
16
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa (Edisi
keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012), 482.
27

Sedangkan “Sita” berarti tuntutan pengadilan, perihal mengambil dan

menahan barang menurut keputusan pengadilan oleh alat negara (polisi dan

sebagainya); pembeslahan.17

Dari kedua arti kata tersebut, secara sederhana dapat diambil pengertian

bahwa Jurusita adalah orang terlatih yang dianggap mempunyai kecakapan dan

kecermatan melaksanakan tugas atau melaksanakan penyitaan yang dibebankan

kepadanya. Jurusita dan atau Jurusita Pengganti adalah Jurusita dan atau Jurusita

Pengganti pada Pengadilan Agama.18

Jurusita dalam bahasa Belanda (deurwaarder)19 adalah seorang pejabat

pengadilan yang di tugaskan melakukan penggilan-panggilan dan peringatan atau

ancaman-ancaman resmi terhadap pihak-pihak yang berperkara di pengadilan.20

Sedangkan Jurusita pengganti merupakan Jurusita yang bertugas membantu tugas

Jurusita di bidang kejurusitaan. Pemanggilan merupakan tindak lanjut dari tugas

kepeniteraan dan panitera karena jabatannya adalah pelaksana tugas kejurusitaan.21

Jurusita/Jurusita Pengganti adalah pejabat resmi negara, yang diangkat

berdasarkan Surat Keputusan (SK), Jurusita di angkat dan di berhentikan oleh Ketua

Mahkamah Agung dengan diusulkan oleh Ketua Pengadilan Agama dan Jurusita

Penganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pengadilan Agama.22

17
Ibid., 1078.
18
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Agama, pasal 1 ayat (5).
19
Soebyakto, Tentang Kejurusitaan Dalam Praktek Peradilan Perdata, (Jakarta: Kencana) 1.
20
Soebekti dan Tjitro Sodikin, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2002), Cet. 14, 64.
21
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000). Cet. III. 29.
22
Bahder Johan Nasution, Hukum Acara Peradilan Agama, (Bandung: Tarsito, 1992), 36.
28

Jika melihat dari tugas-tugas jurusita yaitu melaksanakan seluruh perintah

ketua sidang atau pun ketua pengadilan maupun panitera sebagai atasan langsungnya,

hal ini sesuai dengan Q.S. An Nisa’ (4): 59 yang berbunyi :

⧫ ⧫
 ❑➔ ❑⧫◆
⧫❑▪ ❑➔◆
…   ◆
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu....”23

Tafsir at-Thabari, sebuah kitab tafsir klasik yang ditulis oleh ulama besar Abu

Jafar Muhammad bin Jarir at-Thabari dan banyak dirujuk oleh para mufassir

berikutnya, menyebutkan bahwa para ahli ta’wil berbeda pandangan mengenai arti

ulil amri. Satu kelompok ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulil amri

adalah umara. Berkata sebagian ulama lain, masih dalam kitab tafsir yang sama,

bahwa ulil amri itu adalah ahlul ilmi wal fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan

pengetahuan akan fiqh). Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa sahabat-

sahabat Rasulullah yang dimaksud dengan ulil amri. Sebagian lainnya berpendapat

ulil amri itu adalah Abu Bakar dan Umar.24

Perbedaan pendapat tentang siapa yang dimaksud ulil amri dalam ayat di atas

juga disebutkan dalam kitab-kitab tafsir lainnya. Namun di antara seluruh pendapat

tersebut, mayoritas ulama menguatkan bahwa maksud ulil amri dalam ayat tersebut

23
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Surabaya: Lintas Media,2002), 114.
24
Abu Jafar Muhammad bin Jarir at-Thabari, Tafsir at-Thabari, juz 5, (Jakarta:Pustaka
Azzam, 2009), 147-149.
29

ialah para penguasa dan ulama yang memiliki otoritas dalam mengurus urusan kaum

muslimin, baik urusan dunia maupun agama mereka. Hal ini juga dapat di qiyaskan

bahwa jurusita harus mentaati perintah pimpinannya sebagai perpanjangan wewenang

dari para penguasa dan ulama dengan berpedoman kepada peraturan perundang-

undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Hal ini tidak terkecuali bagi jabatan Jurusita/Jurusita Pengganti, sebagaimana

tertuang dalam Q.S. An Nisa (4):58 sebagai berikut:

ِ ‫أَه لِ َه ا َوإِذَ ا َح َك ْم تُ ْم بَ ْْيَ ال ن‬


‫َّاس أَ ْن‬ ِ َ ‫اَّلل َيْم رُك م أَ ْن تُ ؤدُّ وا ْاْلَم‬
ْ ٰ‫اَن ت إِ ََل‬ َ َ ِ
ْ ُ ُ َ َ َّ ‫إ َّن‬
ِ ‫اَّلل َك ا َن ََسِ يع ا ب‬ ِ ِِ ِ ِ ِ َّ ‫ََتْ ُك م وا ِِب لْع ْد ِل ۚ إِ َّن‬
‫ص يًا‬ َ ً َ َّ ‫اَّللَ ن ع َّم ا يَع ظُ ُك ْم ب ه ۗ إ َّن‬ َ ُ
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.25

Hadis riwayat Imam Ahmad dan semua pemilik kitab sunan, memaknai hadis

ini umum mencakup semua jenis amanat yang diharuskan bagi manusia

menyampaikannya.

Perintah pemanggilan adalah amanat yang harus disampaikan kepada yang

berhak menerimanya atau wakilnya. Amanat artinya setiap yang dibebankan kepada

manusia dan mereka diperintahkan melakukannya. Allah swt memerintahkan hamba-

hambaNya menunaikan amanat yakni, secara sempurna, tidak dikurangi dan tidak

25
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Surabaya: Lintas Media,2002), 113.
30

ditunda-tunda. Contohnya menunaikan amanat dalam jabatan adalah dengan

memenuhi kewajibannya.

Sedangkan syarat-syarat untuk di angkat menjadi Jurusita diatur dengan UU

No. 7 Tahun 1989 pasal 39 ayat (1) :

a). Warga Negara Indonesia

b). Beragama Islam26

c). Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

d). Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

e). Berijazah serendah-rendahnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)

f). Berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Jurusita Pengganti

Pasal 39 ayat (2) mengatur tentang Jurusita Pengganti :


a). Syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) a, b, c, d, dan e.
b). Berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai pegawai negeri
pada pengadilan agama.27
Dalam menjalankan tugasnya Jurusita/Jurusita Pengganti tidak diperbolehkan

untuk :

1. Menjadi wali, pengampu dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di
dalamnya ia berkepentingan.
2. Menjadi penasehat hukum.

26
UU No. 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama, pasal 39 ayat (1). (Syarat beragama
Islam adalah ketentuan khusus bagi jurusita pengadilan agama, walaupun tugas dan fungsinya sama
dengan jurusita pada pengadilan negeri).
27
Muh Amin, Rencana Kerja Peningkatan Pelaksanaan Tugas Jurusita/Jurusita Pengganti
Dalam Rangka Penerpan Konsep Tentang Profesionalitas Jurusita/Jurusita Pengganti di Lingkungan
Peradilan Agama Semarang. (Semarang: Peradilan Agama Semarang, 2004), 5-6.
31

3. Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Jurusita selain jabatan sebagaimana yang

dimaksudkan dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah

Agung.28

Kata “diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung” berarti Mahkamah Agung

sebagai lembaga tinggi negara memiliki fungsi mengatur yaitu :

a. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi

kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum

cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai

pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang

diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-

undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).

b. Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap

perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang.

Pasal 41 UU No. 7 tahun 1989 menyatakan bahwa Jurusita/Jurusita Pengganti

diambil sumpah menurut agama Islam oleh ketua Pengadilan Agama sebelum

melaksanakan tugasnya, sumpah tersebut berbunyi :

“Demi Allah swt, saya bersumpah bahwa saya untuk memperoleh jabatan saya ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga,
tidaka memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga”.
“Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak maka bukan sesuatu
dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari
siapapun”.

28
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama Pasal 42, Lihat juga:
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI, Kode Etik Panitera dan Jurusita, KMA Nomor 122 Tahun
2013, Pasal 6 ayat 5-6.
32

“Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara,
Undang-Undang Dasar 1945 dan segala peraturan lain yang berlaku bagi negara
Republik Indonesia”.
“Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan
jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam
melaksanakan kewajibannya saya sebaik-sebaiknya dan seadil-adilnya seperti
layaknya Jurusita, Jurusita Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan
hukum dan keadilan”.29

Menurut penulis, Jurusita/Jurusita Pengganti adalah pejabat pengadilan yang

diangkat dan diberhentikan serta bertugas di bidang kejurusitaan.

2. Kedudukan dan Kode Etik Jurusita

2. 1. Kedudukan Jurusita

Dasar hukum yang berhubungan dengan Jurusita dapat ditemukan dalam

peraturan-peraturan lama yaitu R.O (Rechterhijke Organisasi) atau Susunan

Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili, yakni pada bab VII dengan judul Jurusita.

Jurusita atau Deurwaarder adalah pejabat umum (pasal 193) yang diangkat untuk

tugas-tugas sebagaimana disebutkan dalam pasal 196 tentang Jurusita.30 Perlu

diketahui bahwa Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 pasal 40 menyebutkan bahwa

(1), Jurusita diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Jenderal Badan Peradilan

Agama atas usul Ketua Pengadilan Agama. (2), Jurusita Pengganti diangkat dan

diberhentikan oleh Ketua Pengadilan Agama.31

29
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 pasal 41.
30
Mahkamah Agung RI, Praktek Kejurusitaan Pengadilan, (Jakarta, 2004) 4.
31
Wildan Suyuti Musthofa, Pelaksanaan Tugas Kejurusitaan Pengadilan, (Jakarta:
Mahkamah Agung RI, 2002), 4.
33

Dengan demikian Jurusita/Jurusita Pengganti adalah pegawai umum yaitu

pegawai negeri yang memang sengaja diangkat oleh pemerintah untuk melakukan

tugas kejurusitaan di pengadilan dimana ia bertugas. Jurusita/Jurusita Pengganti

termasuk dalam kelompok tenaga fungsional, karena ia bertugas sesuai dengan fungsi

yang dimilikinya disamping panitera/panitera pengganti dan hakim yang kesemuanya

adalah bagian dari petugas persidangan.

Jurusita/Jurusita Pengganti adalah bagian dari kepaniteraan suatu pengadilan

sebagaimana disebut dalam SK 004/SK/II/92. Mahkamah Agung RI tentang

organisasi dan tata kerja kepaniteraan Pengadilan Agama/Pengadilan Tinggi Agama.

Kepaniteraan kedudukannya adalah unsur pembantu pimpinan dan bertanggung

jawab kepada ketua, bertugas memberikan pelayanan tehnis dibidang administrasi

perkara dan administrasi peradilan lain berdasarkan undang-undang dan berfungsi

antara lain kegiatan pelayanan administrasi perakara dan persidangan serta

pelaksanaan putusan perkara perdata dimana jurusita terlibat didalamnya.32

Susunan Pengadilan Agama yang diatur oleh Undang-undang Nomor 50

Tahun 2009 telah menempatkan Jurusita/Jurusita Pengganti sebagai bagian tak

terpisahkan dari susunan Pengadilan Agama yang diatur dalam pasal 38 yang

menyatakan “Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Jurusita atau Jurusita

Pengganti” dan pasal 2 Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

KMA/055/SK/X/1996, serta pasal 40 dan pasal 41 UU No. 50 tahun 2009 tentang

32
Ibid., 4-5.
34

pengangkatan Jurusita/Jurusita Pengganti dan sumpah jabatan dilingkungan peradilan

agama.33

Jurusita/Jurusita Pengganti dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya

diatur berdasarkan pasal 103 UU No. 7 Tahun 1989 ayat (1) menjelaskan :

a. Melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh ketua sidang.

b. Menyampaikan pengumuman-pengumuman atau putusan peradilan menurut cara-

cara berdasarkan Undang-undang.

c. Melakukan penyitaan atas perintah ketua pengadilan agama.

d. Membuat berita acara penyitaan yang salinan resminya diserahkan kepada pihak-

pihak yang berkepentingan.34

Pemanggilan pihak-pihak berperkara yang dilakukan Jurusita/Jurusita

Pengganti diatur dengan pasal 122, 338 dan 390 HIR dan pasal 146-718 R.Bg serta

pada pasal 26-28 PP No. 9 Tahun 1975 juga pasal 138-140 Kompilasi Hukum

Islam.35

Pengadilan Agama sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman, sesuai

dengan kedudukannya yang telah diberikan oleh Undang-undang maka Pengadilan

Agama harus menempatkan dirinya sebagai lembaga peradilan yang court of law.

Oleh karena itu, SDM-nya harus ditingkatkan kualitasnya, agar dapat melaksanakan

tugas-tugas yang diberikan kepadanya dengan baik dan benar. Dalam hal ini,
33
Departemen Agama RI, Badan Penyuluhan Hukum, Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, (1999/2000), 66.
34
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Gramedia Persada,
2002), 275.
35
Abdul Manan, Pemanggilan dan Pemberitahuan Putusan, Dalam Mimbar Hukum, VII. 28
September-Oktober 1996, 86.
35

terutama yang harus dilakukan ialah melaksanakan hukum acara dengan baik sesui

dengan ketentuan yang berlaku. Salah satu unsur yang harus dilakukan dalam

pelaksanaan hukum acara tersebut ialah memanggil para pihak untuk mengikuti

persidangan yang telah ditentukan oleh Pengadilan Agama.

2. 2. Kode Etik Jurusita

Kode etik merupakan suatu sistem norma, nilai serta aturan profesional secara

tertulis dan dengan tegas menyatakan yang baik dan juga benar, serta apa yang tidak

benar dan juga tidak baik bagi profesional. Atau secara singkat definisi dari kode etik

adalah suatu pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis di dalam melakukan suatu

kegiatan ataupun suatu pekerjaan. Kode etik juga merupakan suatu pola aturan atau

tata cara sebagai pedoman untuk berperilaku.36

Pengertian lain dari kode etik ialah suatu aturan yang tertulis, secara

sistematik dengan sengaja di buat dengan berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada

serta ketika dibutuhkan bisa di fungsikan sebagai alat yang dapat digunakan

menghakimi berbagai macam dari tindakan yang pada umumnya dinilai menyimpang

dari kode etik yang ada.

Etika profesi adalah sikap hidup berupa keadilan untuk memberikan

pelayanan profesional terhadap masyarakat dengan penuh ketertiban dan keahlian

36
https://www.seputarpengetahuan.co.id/2016/09/pengertian-kode-etik-dan-tujuan-kode-etik-
lengkap.html di akses pada tanggal 18 Februari 2019.
36

sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap

masyarakat.37

Etika profesi atau kode etik profesi sangat berhubungan dengan bidang

pekerjaan tertentu yang berhubungan langsung dengan masyarakat atau konsumen.

Konsep etika tersebut harus disepakati bersama oleh pihak-pihak yang berada di

lingkup kerja tertentu, misalnya; dokter, jurnalistik dan pers, guru, engineering

(rekayasa), ilmuwan, dan profesi lainnya termasuk juga panitera dan jurusita.

Kode Etik Panitera dan Jurusita diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah

Agung, yaitu KMA No. 122 Tahun 2013, pasal-pasal mana adalah sebagai berikut:38

Pasal 1 (1) :

Yang dimaksud dengan kode etik Panitera dan Jurusita ialah aturan tertulis
yang wajib dipedomani oleh setiap Panitera dan Jurusita dalam melaksanakan tugas
peradilan.

Pasal 1 (2) :

Yang dimaksud dengan Panitera ialah Panitera, Kepala Panitera Militer,


Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti pada Mahkamah Agung Rl
dan Pengadilan tingkat banding dan Pengadilan tingkat pertama dari 4 (empat)
lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung Rl yaitu Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer.

Pasal 1 (3) :

Yang dimaksud dengan Jurusita ialah Jurusita dan Jurusita Pengganti yang
diangkat untuk melaksanakan tugas kejurusitaan pada Pengadilan tingkat pertama
dibawah Mahkamah Agung Rl yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tata Usaha Negara.

37
Suhrawardi Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), 6-7.
38
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI, Kode Etik Panitera dan Jurusita, KMA Nomor
122 Tahun 2013.
37

Pasal 2 :

Kode etik Panitera dan Jurusita ini dibuat untuk menjaga kehormatan,
keluhuran martabat atau harga diri yang mulia sebagaimana layaknya seorang
Panitera dan Jurusita yang memberikan pelayanan prima dan adil kepada
masyarakat pencari keadilan tanpa membeda-bedakannya berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 3 (1) :

Panitera dan Jurusita wajib melayani masyarakat pencari keadilan dengan


pelayanan yang prima yaitu dengan sopan, teliti, dan sungguh-sungguh serta tidak
membeda-bedakan berdasarkan status sosial, golongan dan menjaga serta
menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan.

Pasal 3 (3) :

Panitera dan Jurusita dalam melaksanakan tugasnya wajib bersikap sopan dan
santun serta tidak melakukan perbuatan tercela.

Pasal 3 (4) :

Panitera dan Jurusita dilarang memberikan kesan memihak kepada salah satu
pihak yang berperkara atau kuasanya termasuk Penuntut Umum dan saksi sehingga
seolah-olah berada dalam posisi istimewa.

Pasal 3 (6) :

Jurusita dilarang mewakilkan kepada siapapun penyampaian relaas panggilan


maupun pemberitahuan.
Pasal 5 (1) :

Panitera dan Jurusita dilarang menjadi penasehat hukum baik langsung atau
tidak langsung kecuali diatur dalam Undang-Undang. (jo. Pasal 36 UU No. 49 Tahun
2009).
Pasal 5 (2) :

Panitera dan Jurusita dilarang menjadi penghubung dan memberikan akses


antara pihak berperkara atau kuasanya dengan Pimpinan Pengadilan atau Majelis
Hakim.
38

Pasal 5 (4) :

Panitera dan Jurusita dilarang memasuki tempat perjudian, tempat minuman


yang memabukkan dan tempat prostitusi kecuali dalam melaksanakan tugas.

Pasal 6 (1) :

Panitera dan Jurusita wajib mengutamakan kepentingan negara dan


masyarakat daripada kepentingan pribadi atau golongan.

Pasal 6 (2) :

Panitera dan Jurusita wajib mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa


serta memegang teguh rahasia negara dan rahasia jabatan sesuai dengan sumpah
jabatannya.

Pasal 6 (4) :

Demi terpeliharanya kemantapan dan kelancaran peiaksanaan tugas serta


untuk menegakkan citra yang baik dalam tugas pelayanan, Panitera dan Jurusita wajib
mentaati dan meningkatkan 3 (tiga) tertib yaitu:
a. Tertib Administrasi
b. Tertib Perkantoran
c. Tertib Jam Kerja

Pasal 7 (1) :

Panitera dan Jurusita wajib memelihara dan memupuk hubungan kerjasama


yang baik antara sesama pejabat kepaniteraan dan pejabat peradilan lainnya.

Pasal 7 (2) :

Panitera dan Jurusita wajib memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa dan
saling menghargai antara sesama pejabat peradilan.

Pasal 7 (3) :

Panitera dan Jurusita wajib memelihara, membina kesatuan dan persatuan


sesama aparat peradilan, berjiwa kesatria dan bertanggung jawab.
39

Pasal 9 (1) :

Panitera dan Jurusita wajib menjaga kerukunan, keharmonisan dan


keutuhan rumah tangga.

Pasal 9 (2) :

Panitera dan Jurusita wajib memiliki rasa tanggung jawab terhadap keluarga.

Pasal 10 (1) :

Kode Etik ini mengikat secara hukum kepada Panitera dan Jurusita di
lingkungan Mahkamah Agung Rl dan 4 (empat) lingkungan peradilan di bawahnya
dan pelanggaran terhadap kode etik ini dapat dijatuhi hukuman disiplin sesuai
ketentuan perundangan yang berlaku.

Pasal 10 (2) :

Panitera dan Jurusita yang akan dijatuhi hukuman pemberhentian dengan


hormat atau tidak dengan hormat dari pegawai negeri sipil terlebih dahulu diberi hak
membela diri dihadapan Majelis Dewan Kehormatan Panitera dan Jurusita.

Pasal 13 :

Kode Etik ini dinyatakan sah dan mengikat kepada seluruh Panitera dan
Jurusita pada Mahkamah Agung Rl dan 4 (empat) lingkungan peradilan di bawahnya
terhitung mulai tanggal ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia.

Dari uraian diatas diperlukan kesadaran dan pemahaman yang baik dari para

jurusita untuk tetap berpedoman pada kode etik dalam pelaksanaan tugasnya serta

pengawasan secara khusus untuk tetap menjaga profesionalisme jurusita.

3. Tugas dan Wewenang Jurusita

Pengadilan Agama sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman harus

menempatkan dirinya sebagai lembaga peradilan yang sesungguhnya, sesuai dengan

kedudukan yang telah diberikan oleh Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
40

peradilan agama. Dengan demikian pengadilan agama perlu meningkatkan kualitas

aparatur serta pelayanannya sehingga dapat melaksanakan dengan baik dan benar

tugas-tugas yang diberikan kepadanya.

Adapun yang harus dilakukan adalah melaksanakan hukum acara dengan baik

sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Salah satu unsur yang harus dilakukan dalam

pelaksanaan hukum acara tersebut adalah memanggil para pihak untuk mengikuti

persidangan yang telah ditentukan oleh pengadilan agama. Sehubungan dengan ini

tugas jurusita sebagai pihak yang bertanggung jawab memanggil para pihak yang

berperkara untuk hadir dalam persidangan tidak dapat di pandang ringan, sebab kalau

salah dalam teknis memanggil para pihak berperkara tersebut akan membawa dampak

negatif pada proses pemeriksaan perkara.39

Tugas-tugas Jurusita Pengadilan Agama telah diatur dalam pasal 103 Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1989, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang

Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun

2009 Tentang Peradilan Agama, yaitu melaksanakan semua perintah yang diberikan

oleh Ketua Majelis, menyampaikan pengumuman-pengumuman dan teguran-teguran,

pemberitahuan, penetapan dan putusan diluar wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama

yang memberikan perintah dan pemberitahuan putusan tersebut.40

Dari keseluruhan tugas yang dibebankan kepada Jurusita/Jurusita Pengganti,

tugas yang paling banyak dilakukan adalah tugas pemanggilan kepada pihak-pihak

39
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, 135.
40
Undang-undang No. 50 Tahun 2009, Tentang Peradilan Agama, pasal 103.
41

berperkara di Pengadilan dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

a.1. Pemanggilan Pihak Berperkara

Pemanggilan dalam hukum acara perdata berarti menyampaikan secara resmi

(official) dan patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara

di Pengadilan agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan

diperintahkan majelis hakim atau pengadilan.41

Tentang pemanggilan dalam persidangan, sebagaimana yang telah dikatakan

oleh Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al Mahalli dalam Minhaj al-Thalibin Juz IV

dikatakan bahwa :

‫ب‬ َ َ‫أي طَل‬ُّ ،‫ض ٍر ِِبلْبَ لَ ِد‬


ِ ‫إن استَعدَّى علَى ح‬ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ
َ َ َ ْ ‫ َو‬,‫َولَ ْو َعَزَل بَ ْع َد ََساى بَْي نَة ُُثَّ َوََّل َو َجبَت اْال ْست َع َادة للْبَ يِنَة‬
‫ص ِم َولْيَ ُك ْن‬ ِِ ِ ِ
ْ َ‫ للْ ُمدَّعى بِ َع ْرضه َعلَى ا ْْل‬,ُ‫ب أ َْوغَ ْيَه‬ ٍِ ِ َ ِ‫ اِ ْحت‬,ِ‫ضا ِره‬ ِ ِ ِ ‫ِمن الْ َق‬
َ َ‫ض ُرهُ ب َدفْ ِع َختَِم ط ْْي َرط‬ َ ‫اضى ا ْحت‬ َ
ِ َ‫ب ف‬ ِ ِ‫ضى وُمؤنَِةهِ َعلَى الطَّل‬ ِ ِ ِ ِ ِ
ِ َ ‫َّب لِزل‬ ِ ِ
‫إن‬ َ ‫ م َن اْل َْع َواَن ببَاب الْ َق‬,‫ك‬ َ ٍ ‫ ْأوِِبَُرت‬,‫ب الْ َقضى فُلَ ًن‬ َ ‫أج‬
َ ‫َمكْتُ ْوًِب َعلَْيه‬
)‫ (قول املاملماء‬42. ‫ت َعلَْي ِه‬ ِ َ‫ ِِبَاي راه والْمؤن‬,ِ‫ان وعَّزِره‬
ُ َ ُ ََ
ِ
ُ َ َ‫السلْط‬
ِ ِ ِِ ِ ‫ بِالَعزٍر أ‬,‫ اَلْمطْلُوب‬,‫امتَ نَع‬
ُ ‫َحضره ِب َْع َون‬ ْ ُْ ُ ْ َ َ ْ
Terjemahnya:
“Jikalau Tergugat menjauh dari gugatan setelah mendengar pembuktian, maka
dimintakan untuk kembali menghadiri sidang untuk pembuktian itu. Apabila
Penggugat minta kepada hakim agar tergugat dihadapkan ke pengadilan,
hakim wajib mendatangkannya. Pemanggilan itu hendaknya memakai stempel
resmi atau yang semacamnya, untuk di hadapkan pada gugatan serta jelas
pemanggilannya ditujukan kepada si Pulan, pemanggilan mana dilaksanakan
oleh aparat pengadilan dengan ketentuan biayanya ditanggung oleh
penggugat.43
41
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Sinar Grafika:Jakarta, 2006), 213.
42
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al Mahali, Sarakh Minhajjuth Thalibin, Juz IV,
(Musthafa Al Babi Al Halabi. Cet. III, Mesir, 1956), 312.
43
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Acara Islam, Direktur Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam, Jakarta, 1994/1995. 123.
42

Kemudian jika tergugat enggan tanpa suatu halangan, maka tergugat

dihadapkan ke pengadilan secara paksa oleh aparat penguasa dengan ketentuan

biayanya di tanggung oleh tergugat.44

Majelis Hakim dalam pertimbangan putusannya selalu menggunakan Sabda

Rasulullah saw yang tertuang dalam Kitab Ahkamul Qur’an Juz II halaman 405 yang

berbunyi sebagai berikut:

ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ْ ‫َم ْن ُدع َى ا ََل َحك ٍم م ْن ُحك ِم اْلْ ُم ْسلم‬
45
ُ‫ب فَ ُه َو ظَاِلْ الَ َح َق لَه‬
ْ ‫ْي فَلَ ْم ُُي‬
Terjemahnya:
“Barang siapa yang dipanggil oleh hakim Islam, sedangkan orang-orang
tersebut tidak memenuhi panggilan itu, maka dia dianggap zalim dan gugur
haknya”

Begitu pula dengan pemanggilan pemohon yang dilakukan oleh hakim, maka

pihak kuasa hukum harus dapat menghadirkan pihak pemohon secara in person.

Sebab barang siapa yang di panggil oleh hakim Islam, sedangkan orang-orang

tersebut tidak memenuhi panggilan itu, maka dia dianggap zalim dan gugur haknya

(hak untuk mengajukan jawaban).46

Dalam hal pemanggilan para pihak yang berperkara di Pengadilan Agama,

akan dipanggil sesuai dengan Penetapan Hari Sidang (PHS) yang sudah ditentukan

oleh Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut. Gunanya kedua pihak

44
Ibid,. 123.
45
Ibid,. 124.
46
Ibid,. 124.
43

berperkara tersebut hadir dalam persidangan adalah terciptanya keadilan di antara

mereka yang bersengketa, sesuai dengan firman Allah swt. Q.S. Al Maidah (5):42

◼⬧ ☺⬧ ◆ ...........


   ◆⧫
⧫✓☺ ⧫ 

Terjemahnya:
……….Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil,
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.47.

Setelah persidangan dibuka oleh Ketua Majelis, maka Hakim ketua

memeriksa surat panggilan sidang atau relaas yang sudah diserahkan oleh Jurusita

untuk dapat menentukan apakah relaas tersebut sah, resmi dan patut.

Dalam hukum acara perdata, tata cara pemanggilan dan pemberitahuan

putusan dimuat dalam pasal 122, 388 dan pasal 390 HIR, pasal 146-718 R.Bg, serta

pasal 26-28 PP. No. 9 Tahun 1975, dan pasal 138-140 KHI. Dalam ketentuan

peraturan Undang-undang ini diatur teknis pemanggilan para pihak yang berperkara

sebagai berikut:

a. Pemanggilan Dalam Wilayah Yurisdiksi

Ada dua asas yang harus diperhatikan dalam melakukan pemanggilan, agar

panggilan dikatakan sah menurut hukum, yaitu harus resmi dan patut. Panggilan

dikatakan resmi apabila dilakukan oleh pejabat yang berwenang (Jurusita/Jurusita

Pengganti Pengadilan Agama yang berwenang untuk melakukan pemanggilan) dan

sasaran atau obyek pemanggilan tepat menurut tata cara yang telah ditentukan oleh

47
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Surabaya: Lintas Media,2002), 113.
44

peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu panggilan disampaikan langsung

kepada pribadi kepada pihak yang berperkara di tempat kediamannya.48 Kalau

perkara dikuasakan kepada kuasa hukumnya, maka panggilan disampaikan kepada

kuasa hukumnya, biasanya di alamatkan kepada kantor di mana kuasa hukum tersebut

berpraktek.

Kemudian jika yang dipanggil tidak dijumpai di tempat kediamannya, maka

panggilan disampaikan melalui kepala Desa/Kelurahan, sebagaimana diatur dalam

pasal 390 HIR, 718 ayat(1) R.Bg, pasal 26 ayat (3) PP.No. 9 Tahun 1975, dan pasal

138 ayat (3) KHI.

Dalam beberapa pertemuan Tehnis Yustisial yang diadakan selama ini,

Mahkamah Agung memberikan petunjuk, bahwa ketua RT/RW tidak termasuk dalam

peraturan perundang-undangan ini, sebab ketua RT/RW itu bukan pejabat umum.

Oleh karena itu panggilan yang disampaikan lewat ketua RT/RW adalah tidak sah.

Sedangkan suatu panggilan dikatakan patut apabila dilakukan dengan

memenuhi tenggang waktu yang patut, yaitu tidak boleh kurang dari tiga hari

sebelum acara persidangan dimulai dan didalamnya tidak termasuk hari besar atau

hari libur.

Pemanggilan para pihak yang berperkara, saksi-saksi dan pihak-pihak yang

dianggap perlu dihadirkan dalam persidangan Majelis Hakim, harus dilakukan oleh

Jurusita/Jurusita Pengganti, dan harus dilaksanakan dengan surat panggilan. Surat

48
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000), 63.
45

panggilan tersebut harus diketik rapi, tidak boleh ada double ketikan, atau

mempergunakan tip ex. Kalau ada kesalahan ketik, maka harus mempergunakan

renvoi, demikian pula kalau mempergunakan blanko yang sudah disediakan, maka

harus dicoret mana yang tidak perlu dengan mempergunakan renvoi terhadap coretan

itu.49

Hal ini sejalan dengan firman Allah swt. Q.S. Al Baqarah (2):282

ِ ِ َّ
‫ب‬ْ ُ‫س ًّم ى فَا ْك تُ بُوهُ ۚ َولْيَ ْك ت‬ َ ٰ‫ين آمَ نُوا إِذَ ا تَ َد ايَ نْ تُ ْم ب َد يْ ٍن إِ ََل‬
َ ُ‫أَج ٍل م‬ َ ‫ََي أَيُّ َه ا ا ل ذ‬
ِ ِ ِ
‫ب‬ْ ُ‫اَّللُ ۚ فَ لْ يَ ْك ت‬ َّ ُ‫ب َك َم ا عَ لَّ َم ه‬ َ ُ‫ب أَ ْن يَ ْك ت‬ ٌ ‫ب َك ات‬ َ ْ‫ب ِِب لْ عَ ْد ل ۚ َوَال ََي‬ ٌ ‫بَ يْ نَ ُك ْم َك ات‬
‫س ِم نْ هُ َش يْ ئًا ۚ فَإِ ْن َك ا َن‬ ِ ‫َولْيُ ْم لِ ِل ا لَّذِ ي عَ لَيْ هِ ا ْْلَ ُّق َولْيَ ت‬
ْ ‫خ‬َ ْ‫اَّللَ َربَّهُ َوَال يَ ب‬
َّ ‫َّق‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ‫أَو َال يَ ْس تَط يعُ أَ ْن ُُي لَّ ُه َو فَ لْ يُ ْم ل ْل َول يُّه‬ ْ ‫أَو ضَ ع ي ًف ا‬ ْ ‫يه ا‬ً ‫ا لَّذ ي عَ لَيْ ه ا ْْلَ ُّق َس ف‬
‫وَن َر ُج لَ ْْيِ فَ َر ُج ٌل‬ َ ‫يد يْنِ ِم ْن رِ َج الِكُ ْم ۖ فَإِ ْن َِلْ يَ ُك‬ َ ‫اس تَ ْش ِه ُد وا َش ِه‬ ِ
ْ ‫ِِب لْعَ ْد ل ۚ َو‬
‫ض لَّ إِ ْح َد ا ُُهَا فَ تُ َذكِ َر إِ ْح َد ا ُُهَا‬ِ َ‫ََت ِن ِِمَّن تَ رضَ و َن ِم ن الشُّه َد اءِ أَ ْن ت‬ َ ‫َو ْام َرأ‬
َ َ ْ ْ ْ
ِ
ْ ‫ُّه َد اءُ إِذَ ا مَ ا دُ عُ وا ۚ َوَال تَ ْس أَمُ وا أَ ْن تَ ْك تُ بُوهُ صَ غ يًا‬
‫أَو‬ َ ‫ب الش‬ َ ْ‫ى ۚ َوَال ََي‬ ٰ ‫ُخ َر‬
ْ ‫ْاْل‬
‫أَال تَ ْر ََت بُوا ۖ إِ َّال‬ َّ ٰ‫َّه ادَ ةِ َوأ َْد ََن‬ ِ َِّ ‫ط عِ نْ َد‬ ُ ‫أَج لِهِ ۚ ذَٰ لِ ُك ْم أَقْ َس‬
َ ‫اَّلل َوأَقْ َومُ ل لش‬ َ ٰ‫َك بِيًا إِ ََل‬
َّ ‫اح‬ ِ‫اض رةً تُد‬ِ ِ
ۗ ‫وه ا‬َ ُ‫أَال تَ ْك تُ ب‬ ٌ َ‫س عَ لَيْ ُك ْم ُج ن‬ َ ‫ي‬
ْ ‫ل‬
َ َ‫ف‬ ‫م‬
ْ ‫ك‬
ُ ‫ن‬
َ ‫ي‬
ْ َ‫ب‬ ‫ا‬َ ‫َن‬
َ ‫و‬‫ير‬
ُ َ ‫ارةً َح‬ َ َ‫أَ ْن تَكُ و َن ِت‬
‫س و ٌق‬ ِ ِ ِ ِ َّ َ‫وأَ ْش ِه ُد وا إِذَ ا تَ ب اي ع تُم ۚ وَال ي ض‬
ُ ُ‫ب َوَال َش ه ي ٌد ۚ َوإ ْن تَ ْف عَ لُوا فَإ نَّهُ ف‬ ٌ ‫ار َك ات‬ ُ َ ْ َْ َ َ
ِ ٍ ِ َّ ‫اَّلل ۗ و‬ ِ َّ ‫بِ ُك ْم ۗ َواتَّ قُ وا‬
ٌ‫اَّللُ ب ُك ِل َش ْي ء عَ ل يم‬ َ ُ َّ ُ‫اَّللَ ۖ َويُ عَ ل ُم ُك م‬
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah50 tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan

49
Abdul Manan, Pemanggilan dan Pemberitahuan Putusan, Dalam Mimbar Hukum, VII. 28
September-Oktober, 1996), 90.
50
Bermuamalah ialah seperti berjual beli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan
sebagainya.
46

hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar, dan


janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,
maka hendaklah ia menulis,51 dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.
jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya)
atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan
janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan
lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika
kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.

Dalam ayat ini Allah swt memerintahkan kepada orang-orang yang beriman

jika melaksanakan transaksi hutang piutang atau mu’amalah pada umumnya, hendak

melengkapinya dengan bukti-bukti, baik bukti tertulis maupun dengan persaksian,

sehingga dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin

timbul di kemudian hari.

Ayat diatas jika diqiyaskan dengan tugas jurusita, hal ini menjelaskan betapa

pentingnya Jurusita untuk membuat catatan tertulis pada relaas panggilan, hal ini juga

sesuai dengan pasal 389 HIR yaitu meskipun pasal ini hanya diwajibkan para Jurusita

pada Pengadilan Negeri Jakarta, Semarang dan Surabaya saja. Untuk membuat tugas

51
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Surabaya: Lintas Media,2002), 59-
60.
47

Jurusita namun dalam praktek sejak dahulu Jurusita dari semua Pengadilan Negeri

dan Pengadilan Agama selalu membuat surat laporan atas pekejaannya itu. Malahan

didalam pelatihan-pelatihan maupun pendalaman-pendalaman tehnis yustisial

dilingkungan Peradilan Agama selalu ditekankan, supaya surat-surat Jurusita itu ikut

ditandatangani oleh orang-orang yang bersangkutan. Tata kerja seperti ini adalah

penting untuk mendidik para Jurusita bekerja dengan serius sebab berdasarkan surat-

surat relaas itulah hakim dapat mengambil keputusan, misalnya verstek atau gugur.

Surat panggilan (relaas) dibuat oleh Jurusita/Jurusita Pengganti sebanyak

rangkap dua. Lembar pertama (asli) dibuat oleh Jurusita/Jurusita Pengganti sebanyak

rangkap dua. Lembar pertama (asli) setelah di tandatangani oleh pihak yang di

panggil, para pihak itu menyerahkannya kepada ketua majelis untuk kepentingan

pemeriksaan dan minutasi. Sedangkan tindasannya diserahkan kepada para pihak

untuk tanda bukti bahwa yang bersangkutan telah dipanggil secara resmi dan patut.

Surat panggilan itu harus ditanda tangani oleh Jurusita yang bertugas memanggil para

pihak untuk hadir dalam sidang Majelis Hakim, dan surat panggilan itu harus dicap

dinas Pengadilan Agama yang berwenang.

Dalam menjalankan tugas pemanggilan, Jurusita harus bertemu langsung dan

berbicara kepada orang dipanggil ditempat kediamannya.52 Apabila ditempat

52
Abdul Manan, Pemanggilan dan Pemberitahuan Putusan, Dalam Mimbar Hukum, VII. 28
September-Oktober, 1996), 90.
48

kediamannya tidak ada, maka surat panggilan disampaikan melalui Kepala

Desa/Lurah yang bersangkutan.53

Jika pihak yang dipanggil tidak ditemui, maka dalam surat panggilan harus

ditulis, “Penggugat/Tergugat tidak ada ditempat dan surat panggilan disampaikan

dengan perantaran Kepala Desa/Lurah, dan Kepala Desa/Lurah menyatakan bahwa ia

sanggup untuk menyampaikan kepada pihak yang bersangkutan”. Satu lembar surat

panggilan yang disampaikan melalui Kepala Desa/Lurah harus dikembalikan oleh

Jurusita/Jurusita Pengganti untuk diserahkan kepada Majelis Hakim setelah surat

panggilan itu ditanda tangani oleh Kepala Desa/Lurah dengan dibubuhi dengan cap

Desa/Kelurahan tersebut.

Penyampaian relaas kepada Kepala Desa/Lurah ini dianggap sah walaupun

tidak sampai pada pihak yang bersangkutan, walaupun Lurah tersebut melakukan

kelalaian dalam menyampaikan relaas tersebut, tidak ada sanksi bagi Lurah,54 dan

Lurah yang bersangkutan tidak dapat dituntut secara pidana.55 Surat panggilan

tersebut sebagai bukti bahwa Jurusita telah memanggil para pihak dengan resmi dan

patut.

b. Pemanggilan Di Luar Wilayah Yurisdiksi

Apabila Tergugat berada di luar wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama yang

bersangkutan, maka Ketua Pengadilan Agama memohon bantuan pemanggilan


53
Ridwan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2000), 48.
54
Sudikno Mertokisimo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993), Edisi
Keempat, Cet. I, 35-36.
55
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori
dan Praktek, Cet. Ke-7, (Bandung: Mandar Maju, 1995) 96.
49

kepada Pengadilan Agama yang yurisdiksinya meliputi tempat kediaman Tergugat.

Surat permohonan pemanggilan tersebut di buat dan ditandatangani oleh Panitera

yang isinya memohon kepada Pengadilan Agama yang dituju untuk memanggil para

pihak (biasanya tergugat) karena saat ini berada di tempat dalam wilayah yurisdiksi

Pengadilan Agama tersebut.56

Surat permohonan pemanggilan itu juga harus berisi ketentuan pasti hari

sidang di laksanakan dan memerintahkan para pihak untuk menghadap pengadilan

agama yang meminta bantuan panggilan. Bersamaan dengan surat permohonan

pemanggilan tersebut juga dilampirkan salinan atau fotocopy surat gugatan

Penggugat sebanyak satu lembar untuk diketahui oleh Tergugat sebagaimana

mestinya.57

Pengadilan Agama yang memohon bantuan pemanggilan itu harus

mempertimbangkan jauhnya jarak Pengadilan Agama dan yurisdiksinya mewilayahi

tempat kediaman Tergugat. Hal itu diperlukan guna menghindari terjadinya

persidangan Pengadilan Agama di mana relaas panggilan belum diterima oleh Majelis

Hakim yang menyidangkan perkara tersebut.

Pengadilan Agama yang menerima permohonan pemanggilan dari Pengadilan

Agama lain diharapkan segera melaksanakan permohonan pemanggilan tersebut

dengan memerintahkan Panitera atau Jurusita untuk melaksanakannya. Agar

pelaksanaan pemanggilan ini dapat berjalan dengan lancar dan tertib, diharapkan

56
Abdul Manan, Pemanggilan dan Pemberitahuan Putusan, 91.
57
Ibid., 91.
50

kepada Panitera untuk mengontrol dengan serius pelaksanaan tugas Jurusita dalam

menangani permohonan pemanggilan dan Pengadilan Agama lain ini, dan hasilnya

segera disampaikan kepada Pengadilan Agama yang memohon pemanggilan tersebut,

agar persidangan yang sedang diproses dapat segera diselesaikan sebagaimana

mestinya.58

Hal ini penting karena banyak Pengadilan Agama yang mengabaikan

permintaan bantuan pemanggilan yang dimintakan oleh Pengadilan Agama lain,

sehingga Pengadilan Agama tersebut menyulitkan dalam menyelesaikan perkara yang

sedang disidangkan itu. Terhadap hal ini Mahkamah Agung RI dalam setiap Diklat

Tehnis Yustisial selalu menekankan agar Pengadilan Agama yang menerima

pemanggilan melaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab,

sebab apabila hal ini diabaikan maka akan merugikan pihak yang berperkara dan akan

menurunkan wibawa Pengadilan Agama di mata masyarakat.

Tentang biaya pemanggilan dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu:

a. Mengirimkannya bersama-sama dengan surat permohonan bantuan pemanggilan

kepada Pengadilan Agama yang dituju. Ini kalau sudah diketahui dengan pasti

jarak radius dari Pengadilan Agama dengan termpat Tergugat.

b. Mengirimkannya setelah pemanggilan dilaksanakan oleh Pengadilan Agama yang

melaksanakan pemanggilan itu.59

58
Abdul Manan, Pemanggilan dan Pemberitahuan Putusan, 91.
59
Ibid., 92.
51

Besarnya biaya dapat diketahui dari relaas pemanggilan yang dikirim oleh

Pengadilan Agama yang melaksanakan pemanggilan. Sementara biaya ditanggung

lebih dahulu oleh Pengadilan Agama yang melaksankan pemanggilan. Dengan cara

ini diharapkan persidangan dapat berjalan lancar.

c. Pemanggilan Di luar Negeri

Jika para pihak yang berperkara berada di luar negeri, sebagaimana tersebut

dalam pasal 28 PP No. 9 Tahun 1975, dan pasal 140 KHI, maka panggilan dilakukan

melalui Direktorat Jenderal dan konsuler Kementerian Luar Negeri. Tembusan

permohonan pemanggilan itu disampaikan kepada perwakilan RI atau Kedutaan

Besar RI di Negara dimana pihak yang dipanggil bertempat tinggal dan disampaikan

juga kepada pihak yang dipanggil dengan melampirkan surat gugatan.60

Pengadilan Agama yang meminta bantuan pemanggilan melalui Direktorat

Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri supaya memperhitungkan

jarak jauhnya Negara yang dituju, sehingga pihak yang dipanggil ada kesempatan

untuk mempersiapkan diri memenuhi panggilan tersebut. Jangan sampai menentukan

hari sidang dalam jangka waktu yang pendek, karena akan menyulitkan pihak-pihak

yang dipanggil dan majelis hakim itu sendiri dalam memeriksa perkara tersebut.

Jangka waktu yang ideal adalah minimal tiga bulan dan maksimal enam bulan. Dalam

masa tersebut dapat diusulkan surat selanjutnya, sebagai monitoring terhadap surat

permintaan sebelumnya.

60
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), 82.
52

Pemanggilan yang dikirim melalui Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler

Kementerian Luar Negeri tidak perlu dilampirkan surat panggilan yang lazimnya

dipakai oleh Pengadilan Agama, tetapi permohonan pemanggilan itu dibuat tersendiri

yang sekaligus berfungsi sebagai surat panggilan (relaas).

Meskipun surat panggilan (relaas) itu tidak kembali atau tidak dikembalikan

oleh Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri kepada

Pengadilan Agama yang memohon pemanggilan itu, panggilan tersebut sudah

dianggap sah dan telah mempunyai nilai resmi dan patut.

d. Pemanggilan Perkara Yang Gaib.

Panggilan gaib adalah panggilan yang ditujukan kepada pihak yang tidak

diketahui alamatnya secara jelas atau hilang untuk menghadiri persidangan di

pengadilan. Dalam istilah fiqh, dikenal dengan istilah mafqud61 yaitu orang hilang

yang tidak diketahui apakah masih hidup yaitu bisa diharapkan kehadirannya ataukah

sudah mati berada dalam kubur.

Dalam hal tempat kediaman orang yang dipanggil tidak diketahui atau tidak

mempunyai tempat kediaman yang jelas, atau tidak diketahui pasti tempat tinggalnya,

maka pemanggilan dapat dilaksanakan dengan melihat jenis dan perkaranya, yaitu :

d.1. Perkara Perceraian

Panggilan pihak Tergugat dilaksanakan dengan berpedoman kepada pasal 27

PP No. 9 Tahun 1975 dan pasal 139 KHI. Pemanggilan dilaksanakan dengan cara

61
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al- Islami Wa adillatuhu, (Damaskus : Dar al Fikr, 2006), 7187
53

mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau media massa lainnya,

sebagaimana yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Agama secara resmi sesuai

dengan ketentuan yang berlaku.

Pengumuman melalui surat kabar atau media massa sebagaimana tersebut

diatas harus dilasanakan sebanyak dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara

pengumuman pertama dan kedua.62 Tenggang waktu antara panggilan terakhir

dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya tiga bulan. Dalam hal

pemanggilan sudah dilaksanakan sebagaimana tersebut dan Tergugat atau Kuasa

hukumnya tetap tidak hadir, maka gugatan itu diterima tanpa hadirnya Tergugat,

kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.

d.2. Perkara kewarisan dan harta bersama

Berdasarkan pasal 390 ayat (3) HIR dan pasal 718 ayat (3) R.Bg, pemanggilan

perkara yang berkenaan dengan kewarisan dan kebendaan lainnya seperti harta

bersama dilaksanakan melalui Bupati atau Walikota dalam wilayah yurisdiksi

Pengadilan Agama setempat. Surat panggilan ditempelkan pada papan pengumuman

Pengadilan Agama dan juga pada papan pengumuman kantor Bupati atau Walikota.63

Dalam hal yang dipanggil meninggal dunia, maka panggilan disampaikan

secara langsung kepada ahli warisnya.64 Jika ahli warisnya tidak diketahui tempat

tinggalnya, maka panggilan dilaksanakan melalui Kepala Desa atau Lurah

62
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, 64.
63
Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Seriphartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori
dan Praktis, (Bandung: Mandar Maju, 1997), 96.
64
Ridwan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta:
Pustaka Kartini, 1998), 38.
54

sebagaimana tersebut dalam pasal 390 ayat (2) HIR dan pasal 718 ayat (2) R.Bg.

Agar pelaksanaan pemanggilan terlaksana dengan baik, diharapkan ada kerjasama

yang baik antara Pengadilan Agama dengan pemerintah daerah setempat sehingga

semua tugas Jurusita dapat berjalan dengan lancar dan tertib sesuai peraturan yang

berlaku.

Saat lahirnya Peraturan Pemerintah (selanjutnya di singkat PP) PP No. 9

Tahun 1975, radio merupakan media massa yang paling banyak digunakan oleh

masyarakat. Bahkan, hingga saat ini, radio masih digunakan sebagai media utama

penyampaian panggilan. Hal ini karena radio dapat menyampaikan informasi

panggilan gaib lebih murah dibandingkan dengan media massa lain.

Seiring dengan perkembangan zaman, penggunaan radio di kalangan

masyarakat mulai ditinggalkan. Masyarakat lebih memilih televisi dan layanan

internet ketimbang menggunakan radio. Selain itu, jangkauan radio juga tidak seluas

televisi dan internet. Sehingga, bisa saja keberadaan pihak yang digugat tidak berada

dalam jangkauan radio yang melakukan panggilan gaib radio masih digunakan oleh

masyarakat, namun tidak semua panggilan didengarkan oleh masyarakat. Sehingga,

efektivitas panggilan gaib melalui radio perlu diperhitungkan mengingat perkara gaib

yang masuk ke Pengadilan Agama mencapai ribuan perkara.

Perkara tersebut pada umumnya melahirkan putusan verstek dalam perkara

perceraian. Apabila pihak yang digugat tidak mendengarkan panggilan gaib melalui

radio atau membaca panggilan di papan pengumuman pengadilan agama maka pihak

yang digugat tidak mengetahui batas waktu pengajuan upaya hukum. Hal ini tentu
55

merugikan pihak yang digaibkan. Apalagi jika perkara tersebut adalah perkara cerai

talak, di mana isteri akan kehilangan hak-haknya.

e. Pemanggilan Perkara Prodeo

Pelaksanaan pemanggilan pihak-pihak yanag berperkara prodeo (cuma-cuma)

tetap dilaksanakan sebagaimana dalam perkara biasa. Pemanggilan itu dilaksanakan

apabila yang bersangkutan telah mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama

yang berwenang memeriksa perkara tersebut, baik secara lisan maupun tertulis dan

Pengadilan Agama tersebut telah memberi izin kepada yang bersangkutan untuk

berperkara secara prodeo.65 Pemanggilan dilaksanakan oleh Jurusita dengan biaya

sepenuhnya di tanggung oleh negara dengan dibebankan pada DIPA Pengadilan

Agama. Apabila Pengadilan Agama berkehendak memanggil para pihak dengan

perantaraan Pengadilan Agama lain untuk sidang pertama dan perkara tersebut belum

ditentukan prodeo atau tidak dalam sidang insidentil, maka surat permohonan

pemanggilan yang dikirim ke Pengadilan Agama lain itu dilampirkan juga surat Surat

Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari kelurahan setempat. Di samping itu kepada

Pengadilan Agama yang menerima permohonan pemanggilan itu diberi penjelasan

bahwa orang tersebut dalam keadaan miskin dan biaya panggilan adalah nihil.

Apabila Pengadilan Agama yang berwenang telah menetapkan izin berperkara

secara prodeo dalam sidang insidentil, maka surat permohonan pemanggilan tersebut

yang disampaikan kepada Pengadilan Agama yang dituju supaya dilampirkan juga

65
PERMA No. 1 Tahun 2014, Tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi
Masyarakat Tidak mampu di Pengadilan secara prodeo (cuma-cuma).
56

salinan putusan sela tentang izin berperkara secara prodeo. Pengadilan Agama yang

yang dimintakan pemanggilan secara prodeo wajib melaksanakan pemanggilan

tersebut dengan penuh tanggungjawab. Apabila panggilan sudah dilaksanakan maka

surat panggilan (relaas) segera dikirimkan kepada Pengadilan Agama yang memohon

dilaksanakan pemanggilan secara prodeo.66 Baik itu melalui email ataupun melalui

pengiriman melalui kantor pos karena relaas tersebut harus dimasukkan kedalam

berkas perkara sebelum hari sidang dimulai.

f. Pemanggilan Melalui Piranti Teknologi Informasi

Salah satu kemajuan di bidang teknologi informasi yang langsung dan hampir

dapat dinikmati oleh semua orang adalah kemunculan telepon seluler yang bisa

menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Kondisi ini tentu memberikan peluang

positif bagi jalannya praktek peradilan. Produk teknologi ini dapat dimanfaatkan oleh

pengadilan untuk memaksimalkan pelayanan kepada pencari keadilan.

Pemanggilan pihak yang selama ini dilakukan secara manual oleh Jurusita

dapat dimanfaatkan melalui piranti produk kemajuan teknologi bernama telpon

seluler ini, disamping akan memudahkan dan mengurangi beban tugas Jurusita.

Langkah ini adalah pendukung panggilan manual sesuai dengan ketentuan

perundangan. Caranya setiap pihak yang mendaftar perkara ada keharusan

memberikan nomor telepon supaya gampang dihubungi dalam hal pemanggilan atau

pemberitahuan putusan.

66
Ibid.
57

Sedangkan Jurusita berwenang melaksanakan tugasnya di daerah hukum

Pengadilan yang bersangkutan. Tentang wewenang Jurusita sebagaimana ditentukan

dalam pasal 65 ayat (2) UU No. 2 Tahun 1986 dan pasal 103 ayat (2) UU No. 7

Tahun 1989. Sebagai aparat hukum pendukung pengadilan, tanggungjawab

Jurusita/Jurusita Pengganti dalam konteks kelembagaan adalah kepada Ketua

Pengadilan dan secara administrative bertanggung jawab kepada Panitera. Hal ini

diatur dalam pasal 8 Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor :

KMA/055/SK/X/1996 yaitu:

(1). Dalam hal ditunjuk melakukan eksekusi, Jurusita/Jurusita Pengganti

bertanggungjawab kepada Ketua Pengadilan.

(2). Dalam hal melaksanakan perintah pemanggilan atau penyampaian pengumuman,

teguran, protes-protes dan pemberitahuan, Jurusita/Jurusita Pengganti

bertanggungjawab kepada Ketua Pengadilan atau Ketua Sidang.

(3). Dalam hal ditunjuk melakukan Sita, Jurusita/Jurusita Pengganti bertanggung

jawab kepada Ketua Pengadilan/Ketua Sidang.67

Apabila tugas dan wewenang Jurusita/Jurusita Pengganti dilihat dalam R.O

maka pasal 198 R.O. menyebutkan bahwa tugas dan wewenang Jurusita/Jurusita

Pengganti adalah melakukan pemberitahuan pengadilan, pengumuman, protes-protes

dan exploit-exploit lain yang bersangkutan ataupun tidak bersangkutan dengan

perkara yang sedang dalam proses, perlu pula mengadakan segala macam panggilan,

teguran dan pemberitahuan tentang kapan dimulainya perkara atau instraksi yang

67
Mahkamah Agung RI, Praktek Kejurusitaan Pengadilan, (Jakarta, 2004) 6.
58

bersangkutan dengan perkara perdata ataupun perkara pidana dan menjalankan semua

exploit untuk melaksanakan perintah-perintah hukum, keputusan hakim dan arrest-

arrest baik dalam perkara perdata maupun pidana.68

Dalam pasal 104 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama serta pasal 66

UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum telah mengamanatkan bahwa

ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Jurusitadiatur oleh Mahkamah

Agung dan sampai saat sekarang pelaksanaannya belum ada, maka lebih tepat apabila

menganut ketentuan-ketentuan dalam HIR sepanjang ketentuan-ketentuan itu tidak

bertentangan dengan Undang-undang.

C. Tinjauan Umum Tentang Peradilan Agama

A. Pengertian Pengadilan Agama

Peradilan Agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan hukum

agama Islam kepada orang-orang Islam yang dilakukan di peradilan agama dan

pengadilan agama. Pengadilan Agama adalah salah satu lembaga peradilan pada

tingkat pertama, tepatnya adalah lembaga peradilan agama.69 Dalam literatur lain

68
Ibid., 7.
69
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia (Sejarah Pemikiran dan Realita), Malang:
UIN-Malang Press, 2009), 7.
59

disebutkan bahwa Peradilan Agama adalah sebutan resmi yang diperuntukkan salah

satu badan peradilan yang ada di Indonesia.70

Peradilan dalam kamus Bahasa Indonesia berarti “segala sesuatu mengenai

perkara pengadilan”, sedangkan kata pengadilan diartikan sebagai “dewan majelis

yang mengadili perkara”, atau “mahkamah”, “proses mengadili”, “keputusan hakim”,

“sidang hakim ketika mengadili perkara”, “rumah (bangunan) tempat mengadili

perkara”.71 Lebih khusus lagi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan

definisi atas pengadilan agama yaitu “badan peradilan khusus untuk orang yang

beragama Islam yang memeriksa dan memutus perkara perdata tertentu sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku”.72

Peradilan Agama di Indonesia sebenarnya merupakan instansi yang cukup tua

usianya, lebih tua dari Departemen Agama sendiri bahkan lebih tua usia negara kita,

kehadirannya sudah ada sejak munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Bumi Nusantara

ini. Peradilan ini muncul berbarengan dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasai,

Aceh, Demak, Mataram, Cirebon, dan lain-lain.73

Jauh sebelum itu Peradilan Agama dikenal dengan sebutan Peradilan Islam.

Sepeninggal Rasulullah saw, pucuk pimpinan pemerintahan Islam digantikan oleh

Abu Bakar. Pada masa Khalifah Abu Bakar, keadaan peradilan relatif sama dengan

yang terdapat pada masa nabi. Hal ini terutama disebabkan Abu Bakar sibuk
70
Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), 7.
71
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 2
72
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat bahasa (Edisi
keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012).
73
Afdol, Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006 dan Legislasi
Hukum Islam di Indonesia (Surabaya: Airlangga University Press, 2006), 91.
60

membasmi kaum murtad dan orang-orang yang membangkang menunaikan zakat,

disamping terdapatnya berbagai masalah politik dan pemerintahan. Faktor lain adalah

disebabkan daerah kekuasaan Islam masih sama sebagaimana pada masa nabi. Abu

Bakar menyerahkan urusan qadla' kepada Umar bin Khattab selama dua tahun,

namun selama itu tidak pernah terjadi sengketa yang perlu dihadapkan ke muka

pengadilan, karena Umar dikenal sebagai orang yang keras. Dan karena kaum

muslimin pada saat itu dikenal soleh dan toleran terhadap sesama muslim.74

Pada masa-masa permulaan Islam, belum dikenal adanya pencatatan kasus-

kasus dan putusan-putusan hukum, caranya adalah bahwa pihak-pihak yang

berperkara datang menghadap hakim dan langsung menyampaikan pengaduan

masing-masing. Setelah hakim mengetahui mana pihak yang benar dan mana pihak

yang bersalah, maka langsung pada saat itu dijatuhkan putusan hukum, pemilik hak

dapat mengetahui haknya. Atau dalam bentuk yang seperti ini, yaitu seorang

penggugat datang menyampaikan gugatannya ke hadapan hakim, kemudian hakim

mengirim seorang utusan untuk memanggil tergugat dan sekaligus menyampaikan isi

gugatan atasnya, di mana pada masa-masa permulaan itu belum ada Panitera atau

penulis yang mencatat semua yang terjadi, bahkan tidak ada catatan yang

menghimpun isi gugatan atau putusan-putusan hukum dan putusan-putusan

pengadilan waktu itu dilaksanakan setelah disampaikan kepada pihak-pihak yang

berperkara, atau hakim itu sendiri yang langsung menangani pelaksanaannya.75

74
Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam, (Surabaya, Bina Ilmu, 1988). 29.
75
Ibid., 66.
61

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, keadaan daerah kekuasaan Islam

semakin luas dan pemerintahan menghadapi berbagai masalah politik, ekonomi,

sosial dan budaya, disebabkan terjadinya pertemuan beberapa kebudayaan, sehingga

Umar perlu untuk memisahkan kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif (Kekuasaan

Peradilan dan Pemerintahan). Dan Umar bin Khattab mengangkat Abu Darda' sebagai

Qadli di kota Madinah, Syuraih di Basrah, Abu Musa al Asy'ary di Kufah, dan

Syuraih bin Qais bin Abil Ash di daerah Mesir.76

Para Hakim ditetapkan daerah yurisdiksinya dan diangkat oleh khalifah atau

diwakilkan kepada para gubernur di daerah. Kepada hakim yang di angkat secara

langsung, Khalifah memberikan ketentuan-ketentuan untuk dijadikan pedoman. Hal

ini terjadi dari surat yang dikirim oleh Umar kepada Abu Musa al-'Asyari, (Qadli di

Kufah) yang isinya mengandung pokok-pokok penyelesaian perkara dimuka sidang,

yang ternyata disambut dan di terima di kalangan Ulama' serta menghimpun pokok-

pokok hukum.

Kadhi Kaufah yang berisi petunjuk tentang peradilan yang kemudian dikenal

dengan Risalah al-Qadha dari Umar. Risalah al-Qadha ini berisi sepuluh butir

pedoman para hakim dalam melaksanakan peradilan. Dengan demikian, pada masa

ini lembaga peradilan telah merupakan badan khusus dibawah pengawasan penguasa.

Meskipun telah terjadi pemisahan antara lembaga "Eksekutif dan Yudikatif", pada

76
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Bandung: PT. Al Ma’arif,
1964). 16.
62

masa Khalifah Umar belum terdapat Panitera pengadilan dan registrasi keputusan

hakim. Akan tetapi, pada masa ini sudah dikenal praktek Yurisprudensi.77

Pada masa Khalifah Utsman bin Affan pertama kali mendirikan Gedung

Pengadilan, yang dimasa dua orang Khalifah sebelumnya, kegiatan ini dilakukan di

Masjid. Demikian juga dimasa Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali telah

ditertibkan gaji bagi pejabat-pejabat peradilan dengan diambilkan dari Kas Baitul Mal

yang mula-mula dirintis dimasa Khalifah Abu Bakar.

Demikian pula masa Khalifah Ali bin Abi Thalib mengangkat An Nakha'i

sebagai gubernur di Ustur dan Mesir dengan pesan-pesannya, agar Ia bertaqwa

kepada Allah, dan agar hatinya diliputi rasa kasih sayang dan kecintaan terhadap

rakyat, dan agar bermusyawarah dan memilih penasehat-penasehat, serta

dijelaskannya tentang siasat pemerintahan. Pada periode ini, para Qadli mulai

mempunyai penulis (Panitera) atau Sekretaris yang mencatat dan menghimpun

hukum-hukum produk Qadlanya.

Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang

Peradilan Agama, Peradilan Agama yang ada di Indonesia adalah beraneka nama dan

dikategorikan sebagai peradilan Kuasai, karena berdasarkan ketentuan yang terdapat

dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,

maka semua putusan Pengadilan Agama harus dikukuhkan oleh Peradilan Umum.

Ketentuan ini membuat Pengadilan Agama secara de facto lebih rendah

kedudukannya dari Peradilan Umum. Padahal secara yuridis formil dalam pasal 10

77
Ibid., 17.
63

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa ada empat lingkungan Peradilan di

Indonesia, yaitu:78

a. Peradilan Umum

b. Peradilan Agama

c. Peradilan Militer

d. Peradilan Tata Usaha Negara

Ketentuan diatas menegaskan, bahwa ada empat lingkungan peradilan yang

setara di Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer,

Peradilan Tata Usaha Negara. Pernyataan kesetaraan empat lingkungan Peradilan

yang ada di Indonesia. Termasuk didalamnya Peradilan Agama merupakan koreksi

terhadap ketentuan yang terdapat dalam staatblad 1882 Nomor 152 dan staadblad

1937 Nomor 116 dan 610 Tentang peraturan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura,

staadblad 1937 Nomor 639 Tentang Peraturan Kerapatan Qadi dan Qadi Besar untuk

sebagian residensi Kalimantan Selatan dan Timur serta peraturan Pemerintah Nomor

45 Tahun 1957 Tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah di luar

Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99) yang telah

menempatkan Peradilan Agama berada di bawah Peradilan Umum.79

78
Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), 14.
79
Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada
Peradilan Agama (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2009), 2.
64

Dalam kekuasaan kehakiman Indonesia, posisi badan Peradilan Agama di era

reformasi sudah sejajar dengan badan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung.

Hal ini terjadi ketika lahirnya Undang-Undang No 35 Tahun 1999 tentang perubahan

atas Undang-Undang No 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan

Kehakiman.80

Gerakan reformasi, selain berhasil merespon hal-hal terkait dengan persoalan

politik, juga telah berhasil merespon tuntutan atas pembenahan hukum dan lembaga

peradilan. Pentingnya pembenahan hukum dan peradilan, mengingat pada masa Orde

Baru banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan dan

aparatur hukum, sehingga akibatnya hukum tidak bisa tegak karena peradilannya

korup (judicial corruption). Karena itu, setengah gerakan reformasi berhasil, isu

seputar indenpendensi kekuasaan kehakiman menggema.81

Penerapan peradilan satu atap di Indonesia, dimaksudkan untuk menjadikan

sistem hukum sebagai subjek reformasi (varibel independent). Hal ini didasarkan

pada hipotesis bahwa, hukum sebagai sarana yang didayagunakan sebagai alat untuk

mempercepat evolusi.82 Upaya yang dilakukan dalam rangka reformasi di bidang

hukum dan peradilan adalah keluarnya UU No 35 Tahun 1999 yang merubah

beberapa pasal UUNo 14 Tahun 1970.

80
Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), 14.
81
Ibid., 292.
82
Ibid., 293.
65

Perubahan tersebut terutama menyangkut pengawasan dan pembinaan hakim

yang diatur dalam UU No 14 Tahun 1970.83 UU No 14 Tahun 1970 menentukan

bahwa badan-badan peradilan yang ada di Indonesia, secara teknis peradilan di bawah

kekuasaan dan pengawasan serta pembinaan oleh Mahkamah Agung dan secara

oraganisasi, administrasi dan finansial berada di bawah Departemen masing-masing.

Selanjutnya, dalam UU khusus yang mengatur masing-masing lingkungan peradilan

ditegaskan Departemen masing-masing yang dimaksud UU No 14 Tahun 1970 ini.

Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara berada di bawah Departemen

Kehakiman. Peradilan Agama berada di bawah Departemen Agama dan Peradilan

Militer berada di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan.84

Ketentuan tersebut di atas dirubah oleh UU No 35 Tahun 1999. Menurut UU

ini seluruh urusan peradilan (teknis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial)

semuanya berada di bawah kekuasaan, pengawasan dan pembinaan Mahkamah

Agung. Dengan adanya ketentuan baru ini diharapkan hakim/lembaga peradilan dapat

melaksanakan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan lebih mandiri, bebas dari

campur pihak-pihak di luar pengadilan, terutama oleh pihak eksekutif.85

Dengan adanya pemindahan kewenangan bidang empat hal yang disebutkan

di atas berdasarkan UU No 4 Tahun 2004, maka pembinaan bidang teknis yustisial

dan non yustisial lembaga peradilan, telah berada satu atap di bawah kekuasaan

Mahkamah Agung. Pemindahan kewenangan di bidang organisasi meliputi

83
Asasriwarmi, Peradilan Agama Di Indonesia, (Padang: Hayfa Press, 2008), 84.
84
Ibid., 84.
85
Ibid., 85.
66

kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan dan struktur organisasi pada semua badan

peradilan. Adapun yang dimaksud dengan pemindahan kewenangan di bidang

administrasi meliputi kepegawaian, kekayaan Negara, keuangan, arsip, dan dokumen

termasuk dari financial masing-masing instansi atau departemen, beralih satu atap di

bawah kekuasaan Mahkamah Agung Republik Indonesia.86

B. Kedudukan Pengadilan Agama

Keberadaan Peradilan Agama selain didasarkan kepada peraturan perundang-

undangan yang telah ada sebelumnya (pada masa orde baru) juga terdapat beberapa

peraturan Perundang-Undangan yang menjadi dasar hukum keberadaan Peradilan

Agama atau kewnangan Peradilan Agama. Peraturan Perundang-Undangan tersebut

adalah: (1) UU Nomor 35 tahun 1999 tentang Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1970

tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, (2) UU Nomor 4 Tahun

2004 tantang Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, (3) UU Nomor 18 Tahun Tahun

2001 tentang Pembentukan Mahkamah Syariah di Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam, (4) Kepres RI Nomor 21 Tahun 2004 tentangPengalihan Organisasi,

Administari dan Finansial di lingkungan Peradilan Umum,Tata Usaha Negara dan

Peradilan Agama ke Mahkamah Agung, (5) Undang-Undang Tahun 2006 tentang

Perubahan atas UU Nomor 7 1989 tentang Peradilan Agama.87

Peradilan Agama adalah salah satu badan peradilan yang melaksanakan

kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi orang-orang yang

86
Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, 296.
87
Asasriwarmi, Peradilan Agama Di Indonesia, 88.
67

beragama Islam. Secara yuridis formal, yuridis Peradilan Agama diatur Islam.

Menurut UU No. 7 Tahun 1989, Peradilan Agama hanya berwenang menyelesaikan

perkara; perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq dan sedekah. Akan

tetapi, dengan diberlakukannya UU No 3 Tahun 2006, menandai lhirnya paradigm

baru peradilan agama.88

Paradigma baru tersebut menjelaskan bahwa; “Peradilan agama adalah salah

satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat perncari keadilan yang beragama Islam

mengenai ‘perkara tertentu’ sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Kata-

kata “perkara tertentu” merupakan hasil perubahan terhadap kata “perkara perdata

tertentu” sebagaimana yang disebut dalam UU No 7 Tahun 1989. Dengan adanya

penegasan tentang perluasan kewenangan peradilan agama tersebut, juga

dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada peradilan agama dalam

menyelesaikan perkara tertentu.

Termasuk atas pelanggaran atas undang-undang tentang perkawinan dan

peraturan pelaksanaannya, serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah

dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan qanun.

Meskipun UU No. 3 Tahun 2006 merupakan perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989.

Akan tetapi, status peraturan perundang-undangan yang lama tetap berlaku sepanjang

tidak bertentangan dengan undang-undang ini.89

88
Ibid., 343.
89
Ibid., 343.
68

Hal ini seperti dinyatakan dalam salah satu pasalnya, yakni; “Pada ssaat

undang-undang ini mulai berlaku peraturan perundang-undang pelaksana Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama masih tetap berlaku

sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini”.90

Oleh karena itu dalam penjelasan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006, dijelaskan

bahwa yang dimaksud dengan antara orang-orang yang beragama islam adalah

termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan

sukarela. Adapun tentang kewenangan peradilan agama secara spesifik ditentukan

kewenangan pengadilan agama di bidang perkawinan. Adapun yang dimaksud dalam

perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan UU mengenai

perkawinan yang dilakukan menurut syariah.91

C. Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama

Kata “kekuasaan” di sini sering disebut juga dengan “kompetensi”, yang

berasal dari bahasa Belanda “conpetentie”, yang kadang-kadang diterjemahkan juga

dengan “wewenang”, sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna. Bicara tentang

kekuasaan Peradilan dalam kaitannya dengan Hukum Acara Perdata, biasanya

menyangkut dua hal, yaitu tentang “Kekuasaan Relatif” dan “Kekuasaan Absolut”,

sekaligus dibicarakan pula di dalamnya tentang mengajukannya gugatan/permohonan

serta jenis perkara yang menjadi kekuasaan pengadilan.92

90
Ibid., 343-344.
91
Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, pasal 49.
92
Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Surabaya: Karina,
2004). 26.
69

Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama diatur dalam Pasal 49 sampai

dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.

Wewenang tersebut terdiri atas wewenang relatif dan wewenang absolut. Wewenang

Relatif Peradilan Agama pada Pasal 118 HIR, atau Pasal 142 R.Bg jo Pasal 66 dan

Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, sedangkan wewenang absolut

berdasarkan pasal 49 Undang-Undang 7 Tahun 1989, yaitu kewenangan mengadili

perkara-perkara perdata bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah yang dilakukan

berdasarkan hukum Islam, wakaf, zakat, infaq, shadaqoh dan ekonomi syariah.93

Kekuasaan dan kewenangan Peradilan kaitannya adalah dengan hukum acara

tesebut.

Peradilan Agama mempunyai 2 (dua) kompetensi yaitu:

a. Kompetensi Absolut

Dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970

Tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman yang masih tetap berlaku

berdasarkan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang

Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa lingkungan Peradilan Agama adalah salah

satu diantara lingkungan “Peradilan Khusus” sama halnya seperti Peradilan Militer

dan Peradilan Tata Usaha Negara, yakni melaksanakan fungsi kewenangan mengadili

perkara “tertentu” dan terhadap rakyat “tertentu”.94

93
M. Fauzan, Pokok Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah di
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 33.
94
Ibid, 34.
70

Penjelasan lebih lanjut mengenai kata “perkara tertentu” dan “rakyat

tertentu” dapat dilihat dalam Pasal 2 dan 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dinyatakan bahwa

“Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi

rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara tertentu yang diatur

dalam Undang-Undang ini”. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 di atas berbeda

dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

Tentang Peradilan Agama yang mencantumkan kata “perdata” sehingga sebelum

adanya perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 ini, maka bunyi Pasal 2 itu

adalah “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman

bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata

tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini”.

Dengan demikian jelas, bahwa perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun

1989 tentang Peradilan Agama tersebut membawa perubahan kewenangan Peradilan

Agama, yang semula hanya berkewenangan menyelasaikan perkara perdata, tetapi

dalam Undang-Undang nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Peradilan Agama telah diberi

kewenangan baru untuk mengadili perkara non perdata. Perubahan ini dipandang

sebagai upaya pemberian landasan yuridis bagi Perdilan Agama untuk memiliki

peradilan khusus yang disebut dengan nama Mahkamah Syariah untuk Tingkat
71

Pertama dan Mahkamah Syariah Provinsi untuk tingkat Banding sebagaimana diatur

dalam Pasal 3A dan penjelasannya jo Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

Tentang Kekuasaan Kehakiman.95

Selain itu, kewenangan Absolut Peradilan Agama telah dirumuskan dalam

Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai berikut :

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang menerima, memeriksa, memutus,

dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam di bidang :

1) Perkawinan

2) Kewarisan

3) Hibah

4) Wakaf

5) Zakat

6) Infaq

7) Shodaqoh

8) Ekonomi Syariah96

Selanjutnya, pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 47 Undang-Undang

Nomor 47 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman

95
Abdurrahman, Kewenangan Peradilan Agama di Bidang Ekonomi Syariah : Tantangan
Masa Yang Akan Datang, Suara Uldilag, (3 maret 2008), 12.
96
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, pasal 49.
72

telah menyebutkan secara enumerative tugas pokok Peradilan Agama, yaitu

menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang diajukan

kepadanya.

Dalam Pasal 50 UU No. 3 Tahun 2006 ditentukan bahwa, pengadilan agama

berwenang untuk sekaligus memutus sengketa milik atau keperdataan lain yang

terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila subjek sengketa

antara orang-orang yang beragama Islam. Hal ini menghindari upaya memperlambat

atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau

keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan

adanya gugatan di pengadilan agama.97

Sebaliknya, apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau

keperdataan lain tersebut bukan yang menjadi subjek bersengketa di pengadilan

agama ditunda untuk menunggu ke pengadilan di lingkungan peradilan umum.

Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah

mengajukan bukti ke pengadilan agama bahwa telah didaftarkan gugatan di

pengadilan negeri terhadap objek sengketa yang sama di pengadilan agama.

Sedangkan oleh Pasal 52 ayat (1) dinyatakan, bahwa selain mempunyai tugas

pokok juga mempunyai tugas tambahan, yang dapat memberikan keterangan,

pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam terhadap instansi Pemerintah di

daerah hukumnya apabila diminta. Begitu juga dengan kewenangan yang diberikan

oleh Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan

97
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah, 54.
73

Agama yang menyebutkan, bahwa Pengadilan Agama dapat melaksanakan tugas dan

kewenangan lain yang diserahkan kepadanya berdasarkan Undang-undang.98

b. Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif sebagai kewenangan atau kekuasaan pengadilan yang satu

jenis berdasarkan daerah atau wilayah hukum.99 Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dinyatakan, bahwa

Pengadilan Agama berkedudukan di Kotamadya (Kota) atau ibukota kabupaten yang

daerah hukumnya meliputi wilayah Pemerintah Kota atau Kabupaten.100 Akan tetapi

dalam penjelasan pasal 4 ayat (1) ini ada pengecualian, pengecualian ini dapat berupa

pengalokasian hukum yang lebih kecil dari kota atau kabupaten.101

98
Ibid., 55.
99
Raihan Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, 25.
100
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, pasal 4 ayat 1.
101
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, 218-219.
BAB III
METODE PENELITIAN

Penelitian menurut J. Supranto adalah suatu keinginan untuk memperoleh data

atau informasi yang sangat berguna untuk mengetahui sesuatu, memecahkan masalah

atau mengembangkan ilmu pengetahuan.1 Kegiatan inilah yang akan dilakukan oleh

peneliti untuk memperoleh data atau informasi dari jurusita Pengadilan Agama Palu

Kelas I A tentang tugas-tugas jurusita dan prakteknya dalam pelaksanaan tugas untuk

memecahkan masalah dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Untuk memperoleh informasi sesuai dengan yang terumuskan dalam

permasalahan atau tujuan penelitian, perlu suatu metode penelitian. Metode penelitian

yaitu tata cara bagaimana suatu penelitian dilakukan yang meliputi teknik penelitian

dan prosedur penelitian.2 Metode secara etimologi diartikan sebagai jalan atau cara

melakukan untuk mengerjakan sesuatu. Sedangkan menurut istilah metode merupkan

titik awal menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu.3

Penelitian atau riset merupakan aktivitas ilmiah yang sistematis, berarah dan

bertujuan. Maka data atau informasi yang dikumpulkan dalam penelitian harus

relevan dengan persoalan yang dihadapi. Artinya, data tersebut, berkaitan, mengena

dan tepat.4

1
Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2002), 10.
2
Ibid., 21.
3
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: CV. Mandar Maju,
2008), 13.
4
Kartini Kartono dan Marzuki, Metodologi Riset, (Yogyakarta: UII Press, tt.), 55.

74
75

Dengan ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa metode penelitian adalah

metode yang mengemukakan secara teknis tentang metode-metode yang digunakan

dalam penelitian, atau juga bisa dikatakan sebagai prosedur atau cara mengetahui

sesuatu dengan langkah-langkah sistematis yang digunakan dalam penelitian.5

Untuk memperoleh informasi sesuai yang telah dirumuskan dalam

permasalahan dan tujuan penelitian, perlu suatu desain atau rencana menyeluruh

tentang urutan kerja penelitian dalam bentuk suatu rumusan operasional metode

ilmiah, rincian garis-garis besar keputusan sebagai suatu rumusan operasional metode

ilmiah. Rincian gari-garis besar keputusan suatu pilihan beserta dasar atau alas an-

alasan ilmiahnya. Sebagai suatu rancangan penelitian, bebrapa unsur yang hendak

dipaparkan adalah :

A. Pendekatan dan Desain Penelitian

Pendekatan penelitian adalah metode atau cara mengadakan penelitian.6

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan

metode yuridis empiris, dalam arti mengkaji peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dan juga dilakukan pendekatan

lapangan untuk memperoleh informasi sebagai bahan penunjang.7 Pendekatan

kualitatif sendiri merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif

S
Sedarmayanti dan Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian, (Bandung: CV. Mandar Maju,
2002), 25.
6
Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2008), 123.
7
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI, Jakarta:1986), 8.
76

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat

diamati.8

Sehubungan dengan definisi tersebut, Krick dan Miller mendefinisikan

penelitian kualitatif adalah tradisi ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental

bergantung pada pengamatan manusia dan berhubungan dengan orang-orang tersebut

dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.9

Penggunaan pendekatan kualitatif karena data yang dikumpulkan adalah

berupa kata-kata, gambar atau dokumen lain dan bukan angka-angka, sehingga dalam

penelitian nanti uraian hasil penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk

memberi gambaran yang berkisar pada tugas kejurusitaan.

Desain penelitian studi kasus bertujuan untuk mempelajari secara intensif

tentang latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan suatu unit sosial,

individu, kelompok, lembaga atau masyarakat.10 Desain penelitian studi kasus dipilih

oleh peneliti untuk memahami secara mendalam tentang tugas dan peran jurusita pada

Pengadilan Agama Palu Kelas I A.

8
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2013), 3.
9
Ibid., 4.
10
Dewi Sadiah, Metode Penelitian Dakwah Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung:
PT. Remaja Rosad Karya, 2015), 20.
77

B. Lokasi Penelitian

Penulis melakukan objek penelitian di Pengadilan Agama Palu Kelas I A yang

lokasinya terletak di Jalan W.R. Supratman No. 10, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu

Barat, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah.

Penelitian tersebut didasarkan pada pertimbangan:

1. Pengadilan Agama Palu Kelas I A merupakan lembaga peradilan khusus bagi

agama Islam di Kota Palu yang menggunakan Kompilasi Hukum Islam sebagai

salah satu sumber hukum dalam memutus atau menetapkan suatu perkara.

2. Pengadilan Agama Palu Kelas I A pada tahun 2017 menerima perkara

permohonan dan gugatan dengan total jumlah 1177 (seribu seratus tujuh puluh

tujuh ) perkara dan pada tahun 2018 menerima perkara permohonan dan gugatan

dengan total jumlah 1095 (seribu sembilan puluh lima ) perkara.

C. Kehadiran Peneliti

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, diamana peneliti merupakan

instrumen kunci dalam penelitian atau dengan kata lain merupakan pengumpul data

utama. Oleh karena itu, pada waktu pengumpulan data di lapangan, peneliti berperan

sebagai perencana, pelaksana, pengumpul data dan penganalisis data.

Kehadiran peneliti merupakan sesuatu yang penting dan mutlak dalam

penelitian ini. Peneliti akan mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam lokasi

penelitian di Pengadilan Agama Palu Kelas I A dengan terlebih dahulu menerima

surat izin penelitian dari Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu,
78

kemudian melaporkan maksud untuk melaksanakan penelitian kepada Ketua

Pengadilan Agama Palu Kelas I A untuk melakukan penelitian terkait tugas

kejurusitaan di Pengadilan Agama Palu Kelas I A.

D. Data dan Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini dikategorikan dalam dua bentuk yaitu data

primer dan data sekunder. Data primer yaitu jenis data yang diperoleh lewat

pengamatan langsung dilapangan.11 Dalam penelitian ini, data langsung diperoleh

dari hasil wawancara dari berbagai informan. Sedangkan data sekunder adalah data

penunjang yang merupakan data pelengkap yang diperoleh melalui literatur-literatur,

dokumen-dokumen, dan lain-lain, seperti statistik yang telah tersedia sebagai sumber

data tambahan bagi keperluannya.12 Karena itu perlu adanya pemeriksaan ketelitian.13

Dalam penelitian ini, data-data yang dikategorikan pada data primer adalah:

1. Data yang diperoleh dari dokumentasi di Pengadilan Agama Palu Kelas I A berupa

putusan dan berkas perkara.

2. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan hakim, panitera dan jurusita

serta pegawai lainnya di Pengadialan Agama Palu Kelas I A terkait tugas dan

perannya dalam penyelesaian perkara.

3. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak pencari keadilan yang

berperkara di Pengadilan Agama Palu Kelas I A.

11
S. Nasution, Metode Research (Penelitian Ilmiah), (Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 2004),
143.
12
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 116.
13
Marzuki, Metodologi Riset, (Yogyakarta: PT. Hanindita Offset, 1986), 56.
79

4. Data yang diperoleh dari hasil observasi yang dilakukan dengan mengamati proses

sidang dan mengamati pelaksanaan tugas jurusita di Pengadilan Agama Palu Kelas

I A.

Adapun yang termasuk data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku,

artikel pada jurnal, majalah, literatur yang berkaitan dengan tugas kejurusitaan. Data

ini diperoleh dari perpustakaan atau laporan-laporan terdahulu.14 Data sekunder yang

digunakan peneliti diantaranya yaitu buku-buku yang berhubungan dengan penelitian

ini, seperti buku tentang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan Agama,

buku-buku Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Pemerintah, Peraturan

Mahkamah Agung serta buku-buku lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

E. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah alat yang digunakan untuk mengambil, merekam,

atau menggali data.15 Metode Pengumpulan data merupakan prosedur yang sistematis

yang diperoleh untuk memperoleh data yang diperlukan dan merupakan suatu hal

yang penting dalam penelitian ini, dimaksudkan untuk memperoleh bahan-bahan,

keterangan kenyataan-kenyataan dan informasi yang dapat dipercaya.16

Langkah-langkah yang akan dilakukan oleh peneliti dalam mengumpulkan

data dalam penelitian ini, secara berurutan sebagai berikut:

14
Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, 82.
15
Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian Kuantitatif-Kualitatif, (Malang-UIN Malang Press,
2008). 232.
16
Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008).
93.
80

1. Wawancara

Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data yang efektif

dalam penelitian lapangan. Dianggap efektif karena pewawancara dapat bertatap

muka langsung dengan responden untuk menanyakan perihal fakta-fakta yang ada

dan pendapat maupun persepsi diri responden dan bahkan saran-saran responden.17

Wawancara juga diartikan sebagai proses memperoleh keterangan untuk

tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab, sambil bertatap muka antara

pewawancara dengan informan terkait.18

Awalnya peneliti akan melakukan persiapan dengan menyiapkan pedoman

wawancara, alat pencatat dan perekam suara serta waktu dan tempat untuk bertemu

responden atau informan. Kemudian melakukan wawancara dengan mempersiapkan

diri peneliti, isi atau materi wawancara yang berasal dari studi keperpustakaan yang

dilakukan sebelumnya, keadaan responden serta suasana wawancara. Setelah itu

mencatat hasil wawancara dan membuatkan transkrip.

Wawancara ini digunakan untuk mendapatkan data dari hakim, panitera dan

jurusita serta pegawai mengenai Tugas dan Peran Jurusita di Pengadilan Agama Palu

Kelas I A. Wawancara dilengkapi dengan pedoman wawancara yang telah peneliti

susun sebelumnya agar tidak ada hal-hal yang terlewati.

Dengan menggunakan wawancara semi struktur yaitu wawancara yang

berasal dari pengembangan topik. Maksudnya ialah dalam melakukan proses

17
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, tt. 192.
18
M. Nazir, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003). 193.
81

wawancara pertanyaannya tidak hanya terfokus pada pedoman wawancara yang telah

peneliti siapkan, karena ada jawaban dari para informan yang membutuhkan

penjelasan lebih, sehingga menimbulkan pertanyaan lagi yang tidak tercatat dari

pedoman wawancara yang telah peneliti susun. Wawancara ini juga dilakukan secara

terbuka, maksudnya wawancara terbuka yaitu pertanyaan yang tidak dibatasi

jawabannya.19

Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini diantaranya yaitu:

1) Drs. Khalis, MH, Ketua Pengadilan Agama Palu Kelas I A yang memberikan

informasi tentang aturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tugas

jurusita.

2) Drs. H. A. Kadir, MH, Panitera Pengadilan Agama Palu Kelas I A yang

merupakan atasan langsung dari para jurusita dan memberikan informasi tentang

Kejurusitaan Pengadilan Agama Palu Kelas I A.

3) Hj. Rahidah Said, S.Ag, Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Palu Kelas I

A yang memberikan informasi tentang rekapan data-data perkara yang ditangani

tiap tahun.

4) Hj. Agustina Pettanasse, SH., MH, Panitera Muda Gugatan Pengadilan Agama

Palu Kelas I A yang memberikan informasi tentang perkara gugatan.

5) Moh. Rizal, S.HI., MH, Panitera Muda Permohonan Pengadilan Agama Palu

Kelas I A yang memberikan informasi tentang perkara permohonan dan

pemanggilan melalui e-court.

19
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analis Data,(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 51.
82

6) Solman Abidin, S.HI, Jurusita Pengadilan Agama Palu Kelas I A yang

memberikan informasi mengenai pemanggilan dalam wilayah yurisdiksi dan

pemanggilan perkara gaib.

7) Kamaruddin, S.Kom, Jurusita Pengadilan Agama Palu Kelas I A yang

memberikan informasi tentang pemanggilan diluar wilayah yurisdiksi atau

pemanggilan tabayun serta praktek pemanggilan e-court.

8) Mujiyono, SH Jurusita Pengganti Pengadilan Agama Palu Kelas I A yang

memberikan informasi mengenai hambatan yang dihadapi jurusita selama

melaksanakan tugas pemanggilan.

9) Abdul Khair, SH Jurusita Pengganti Pengadilan Agama Palu Kelas I A yang

memberikan informasi mengenai hambatan yang dihadapi jurusita selama

melaksanakan tugas pemanggilan.

10) Nasruddin, ST., MM, Kepala Sub Bagian IT dan Pelaporan Pengadilan Agama

Palu Kelas I A yang memberikan informasi mengenai berbagai aplikasi berbasis

elektronik yang telah di terapkan oleh Pengadilan Agama Palu Kelas I A.

11) Syuaib, SH, Kepala Sub Bagian Kepegawaian Pengadilan Agama Palu Kelas I A

yang memberikan informasi mengenai rekapan data pegawai pada Pengadilan

Agama Palu Kelas I A.

12) Direktur Radio Al Khairaat Palu yang memberikan informasi tentang penyiaran

perkara gaib.
83

2. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-

gejala yang diteliti dan dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung.20

Observasi atau pengamatan yang dilakukan dalam penelitian harus berpokok pada

jalur tujuan penelitian yang dilakukan, serta dilakukan secara sistematis melalui

perencanaan yang matang.21

Observasi dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat secara langsung proses

pelaksanaan tugas jurusita di Pengadilan Agama Palu Kelas I A.

3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan proses pengumpulan data yang diperoleh melalui

dokumen-dokumen.22 Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berkas

berita acara pemanggilan (relaas) dan pemberitahuan kepada pihak berperkara serta

putusan di Pengadilan Agama Palu Kelas I A.

F. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sehingga analisis data

dilakukan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:23

1. Reduksi Data

Dalam proses reduksi (rangkuman) data, dilakukan pencatatan di lapangan

dan dirangkum dengan mencari hal-hal penting yang dapat mengungkap tema
20
Dewi Sadiah, Metode Penelitian Dakwah, 87.
21
Suratman, Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, 135.
22
Dewi Sadiah, Metode Penelitian Dakwah, 91.
23
Ibid., 93.
84

permasalahan. Dalam hal ini, setelah peneliti mengumpulkan data yang dibutuhkan

melalui teknik-teknik pengumpulan data, peneliti akan mereduksi data yang didapat,

sehingga hasil penelitian hanya pada kisaran tugas jurusita dalam penyelesaian

perkara.

2. Display (kategorisasi)

Display data artinya mengategorikan pada satuan-satuan anilisis berdasarkan fokus

dan aspek permasalahan yang diteliti. Dalam hal ini, peneliti akan menggunkan

display data untuk mengategorikan hasil penelitian dari wawancara, observasi dan

dokumentasi kedalam beberapa hal, yaitu tugas dan peran jurusita, hambatan/kendala

yang dihadapi oleh jurusita dan kategori lainnya akan berkembang dalam penelitian.

3. Mengambil Kesimpulan dan Verifikasi

Langkah yang terakhir adalah menyimpulkan dan verifikasi dengan data-data baru

yang memungkinkan diperoleh keabsahan hasil penelitian.

G. Pengecekan Keabsahan Data

Untuk penetapan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan yang di

dasarkan pada sejumlah kriteria. Ada empat kriteria keabsahan data yang biasa

digunakan yaitu: “derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability),

kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability)”.24 Data yang telah

diklasifikasikan berdasarkan rumusan masalah dan jenis penelitian kemudian disusun

dan dihubungkan. Pada tahap ini yang peneliti lakukan yakni, setelah data melewati

24
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 173.
85

tahapan klasifikasi data isinya di sesuaikan dengan informasi dengan cara memeriksa

kembali data-data informsai yang ada agar validitasnya terjamin.

Adapun metode yang digunakan dalam melakukan pengecekan terhadap

validitas dan kredibilitas data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah dengan:

1. Triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu

yang lain, diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding

terhadap data itu.25 Triangulasi yang digunakan dalam wawancara dan pengamatan

atau observasi, serta triangulasi metode, yakni pengecekan derajat kepercayaan

melalui beberapa sumber data dengan metode yang sama.

2. Pengecekan anggota (member check) merupakan suatu tahap uji kritis terhadap

data sementara yang diperoleh dari subjek penelitian sesuai dengan data yang

ditampilkan subjek dengan cara mengoreksi, mengubah dan memperluas data

tersebut sehingga menampilkan kasus terpercaya.26

25
Ibid., 178.
26
Dewi Sadiah, Metode Penelitian Dakwah, 99.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Profil Pengadilan Agama Palu Kelas I A

Pengadilan Agama Palu adalah lembaga peradilan agama yang berlokasi di

Jalan WR. Supratman No. 10, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu,

Provinsi Sulawesi Tengah. Pengadilan Agama Palu bertugas menerima, memeriksa,

mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan hukum keluarga dan

ekonomi Islam.

Pengadilan Agama Palu Pertama kali terbentuk pada tanggal 10 Februari

1965. Namun saat pertama kali terbentuk, Pengadilan Agama Palu belum bisa

menerima perkara, hal ini terjadi karena ketua Pengadilan Agama Palu yaitu bapak

KH.Mahfud Godal belum dilantik dan diambil sumpah, pegawai belum lengkap,

pedoman kerja belum ada, mesin ketik dan anggaran biaya rutin belum tersedia.

Jumlah pegawai pada awal pembentukan Pengadilan Agama Palu berjumlah tiga

orang terdiri dari satu orang ketua (KH.Mahfud Godal), satu orang prakit TU/Panitera

muda (Abd. Mubin Latopada), satu orang tata usaha (Alimin Muchtar).1

Gedung pertama kantor Pengadilan Agama Palu berlokasi di kompleks Masjid

Raya Lolu Palu, gedung ini berdiri atas kerjasama ketua Pengadilan Agama Palu

bapak KH. Mahfud Godal dengan Pemda Tingkat I Provinsi Sulawesi Tengah.

Dasar hukum dibentuknya Pengadilan Agama Palu adalah:

1
Pengadilan Agama Palu, “Sejarah Pengadilan Agama Palu”. Official Website Pengadilan
Agama Palu.http://pa-palu.go.id//link/20160728045745864341895579990c9c029b.html (diakses pada
tanggal 9 Februari 2019).

86
87

1. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945

2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman (sudah

dicabut), terakhir dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 (Lembaran Negara Nomor 99 Tahun

1957) tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa

dan Madura.

4. Penetapan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 1958 tentang Pembentukan Pengadilan

Agama/Mahkamah Syar’iyah di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian

Barat.

Saat ini kewenangan Pengadilan Agama Palu terdiri atas kewenangan absolut

dan relatif. Adapun kewenangan absolut artinya kewenangan pengadilan yang

berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan,

dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan

pengadilan lainnya.2 Atau diartikan sebagai atribusi kekuasaan berbagai jenis badan

peradilan untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap

perkara yang diajukan kepadanya.3 Adapun kekuasaan relatif Pengadilan Agama Palu

berada dalam wilayah yuridiksinya yaitu seluruh kecamatan dan kelurahan yang

berada di Kota Palu, dengan jumlah 8 Kecamatan dan 46 Kelurahan sebagai berikut:4

2
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: PT. RAjaGrafindo Persada,
2010), 27.
3
M. Nasir, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Djambatan, 2003), 30.
4
Pengadilan Agama Palu.
88

Tabel I
Wilayah Yurisdiksi Pengadilan Agama Palu Kelas I A

No Kecamatan Kelurahan Kelurahan Kelurahan


Radius 1 Radius 2 Radius 3
1. Palu Barat Lere, Kamonji
Siranindi
Baru, Ujuna
Balaroa
2. Palu Timur Besusu Barat
Besusu Tengah
Besusu Timur
Lolu Utara
Lolu Selatan
3. Palu Selatan Tatura Utara Birobuli Selatan
Tatura Selatan Petobo
Birobuli Utara
4. Palu Utara Kayumalue
Pajeko, Ngapa
Mamboro
Mamboro Barat
5. Tawaeli Panau, Baiya
Lambara
Pantoloan
Pantoloan Boya
6. Tatanga Boyaoge, Duyu
Nunu, Palupi
Tavanjuka
Pengawu
7. Ulujadi Donggala Kodi Buluri
Kabonena Watusampu
Silae,
Tipo
8. Mantikulore Talise Talise Valangguni
Tanamodindi
Lasoani, Poboya
Kawatuna,
Tondo
Layana Indah
Sumber : Pengadilan Agama Palu
89

Sedangkan kekuasaan absolutnya telah dijelaskan dalam Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan

Agama, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

sebagai berikut:

1. Bidang Perkawinan, antara lain


a. Izin Poligami
b. Pencegahan Perkawinan
c. Penolakan Perkawinan oleh PPN
d. Pembatalan Perkawinan
e. Kelalaian Atas Kewajiban Suami/Istri
f. Cerai Talak
g. Cerai Gugat
h. Harta Bersama
i. Penguasaan Anak
j. Nafkah Anak oleh Ibu Karena Ayah tidak Mampu
k. Hak-Hak Bekas Istri/ Kewajiban Bekas Suami
l. Pengesahan Anak
m. Pencabutan Kekuasaan Orang Tua
n. Perwalian
o. Pencabutan Kekuasaan Wali
p. Penunjukkan Orang Lain sebagai Wali oleh Pengadilan
q. Ganti Rugi terhadap Wali
r. Penetapan Asal Usul Anak dan Penetapan Pengangkatan Anak
s. Penolakan Kawin Campur
t. Izin Kawin
u. Dispensasi Kawin
v. Isbat Nikah
w. Wali Adhal
2. Kewarisan
3. Wasiat
4. Hibah
5. Wakaf
6. Shadaqah
7. Ekonomi Syari’ah
a. Bank Syari’ah
b. Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah
c. Asuransi Syari’ah
d. Reasuransi Syari’ah
e. Reksa Dana Syari’ah
90

f. Obligasi Syari’ah
g. Sekuritas Syari’ah
h. Pembiayaan Syari’ah
i. Pegadaian Syari’ah
j. Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari’ah
k. Bisnis Syari’ah

Sejak berdiri tahun 1965, Pengadilan Agama Palu telah dipimpin oleh 11

orang Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama sebagai berikut:5

Tabel II
Daftar Pimpinan Pengadilan Agama Palu dari masa ke masa

No. Nama Pimpinan Jabatan Masa jabatan


1. KH. Mahfud Godal Ketua 1965-1981
2. Drs. Hamzah Tiku Wakil 1981-1988
3. Drs. Saifuddin Noor Hadi Ketua 1988-1994
4. Drs. Dadi Suryadi, SH. Wakil 1994-1995
5. Drs. A. Dahlan, SH.,MH Ketua 1995-1999
6. Drs.H. Uce Supriadi Ketua 1999-2003
7. Drs. Dady Suryadi, SH.,MH. Ketua 2003-2005
8. Drs.Yasin Irfan, MH Wakil 2005-2007
9. Drs.H. Akmad Syamhudi,SH.,MH Ketua 2007-2010
10. H.Sutarman, SH Ketua 2011-2015
11. Drs. Khalis, MH Ketua 2015-sekarang
Sumber : Official Website Pengadilan Agama Palu

Saat ini, Pengadilan Agama Palu Kelas I A dipimpin oleh Drs. Khalis, MH

sebagai Ketua dibantu dengan Wakil Ketua, Hakim, Panitera, Jurusita/Jurusita

Pengganti serta staf dalam jabatan fungsional dan struktural yang berjumlah 58 orang

dengan rincian dan sebagai berikut:6

5
Pengadilan Agama Palu, “Sejarah Pengadilan Agama Palu”.
6
Ibid.
91

Tabel III
Rekapitulasi Jabatan Pada Pengadilan Agama Palu Kelas I A

Jenis Kelamin
No. Nama Jabatan Jumlah Ket
L P
1. Ketua 1 - 1
2. Wakil Ketua 1 - 1
3. Hakim 12 3 15
4. Panitera 1 - 1
5. Sekretaris 1 - 1
6. Panitera Muda 1 2 3
7. Kepala Sub Bagian 2 1 3
8. Panitera Pengganti 1 11 12
9. Jurusita 3 - 3
10. Jurusita Pengganti 4 6 10
11. Staf 3 5 8
12. Honorer 6 1 7
Sumber : Official Website Pengadilan Agama Palu

Dalam urutan kepangkatan, Ketua Pengadilan Agama Palu merupakan hakim

yang diberikan jabatan tambahan untuk memimpin lembaga tersebut dengan dibantu

oleh wakil ketua. Sedangkan hakim-hakim di Pengadilan Agama Palu memiliki garis

koordinasi dengan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan.

Panitera dan Sekretaris memiliki garis tanggung jawab kepada Ketua dan Wakil

Ketua Pengadilan Agama Palu, dimana Panitera bertanggung jawab terhadap

pelaksanaan tugas Panitera Muda hukum, Panitera Muda Gugatan dan Panitera Muda

Permohonan. Sementara Sekretaris bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas

Kasubbag Umum dan Keuangan, Kasubbag Kepegawaian Ortala dan Kasubbag

Perencanaan, TI dan Pelaporan. Dan jabatan fungsional panitera pengganti serta


92

jurusita/jurusita pengganti bertanggung jawab langsung kepada panitera dan tetap

berkoordinasi dengan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama. Struktur tersebut

dapat dilihat pada bagan berikut:7

Keterangan:
= Garis koordinasi
= Garis tanggung jawab

KETUA

WAKIL KETUA

MAJELIS HAKIM

PANITERA SEKRETARIS

PANMUD. PANMUD PANMUD KASUBAG UMUM KASUBAG KASUBAG


DAN KEUANGAN KEPEGAWAIAN PERENCANAAN, TI &
GUGATAN PERMOHONAN HUKUM PELAPORAN
ORTALA

PANITERA PENGGANTI JURUSITA/JURUSITA


PENGGANTI

Sedangkan jumlah pegawai di lingkungan Pengadilan Agama Palu Kelas I A

hingga Desember 2018 berjumlah 54 orang yang terdiri dari :

7
Pengadilan Agama Palu, Laporan Tahunan Tahun 2018, (31 Desember 2018), 7.
93

Tabel IV
Komposisi Pegawai Pengadilan Agama Palu Kelas I A Tahun 2018

No Jabatan Jumlah
1 Ketua 1 Orang
2 Wakil Ketua 1 Orang
3 Hakim 20 Orang
4 Panitera 1 Orang
5 Sekretaris 1 Orang
6 Panitera Muda 3 Orang
7 Kasubag 3 Orang
8 Panitera Pengganti 12 Orang
9 Jurusita 3 Orang
10 Jurusita Pengganti 9 Orang
Jumlah 54 Orang
Sumber : Official Website Pengadilan Agama Palu

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,


Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Kementerian Lembaga, maka
kedudukan, tugas, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja Pengadilan Agama Palu
sebagai berikut :8
1 . Kedudukan :
Pengadilan Agama Palu Kelas I A dipimpin oleh seorang Ketua/Wakil yang
berada di bawah Pengadilan Tinggi Agama Palu dan Mahkamah Agung R.I.

2 . Tugas Pokok :
Pengadilan Agama Palu Kelas I A mempunyai tugas membantu Ketua
Mahkamah Agung, yang bertugas di Kota Palu dalam menjalankan tugas
peradilan dan administrasi umum lainnya.

8
Pengadilan Agama Palu, Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Tahun 2018), 3-8.
94

3. Fungsi
Dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab, Pengadilan Agama Palu Kelas I
A menyelenggarakan fungsi :
a. Pengurusan Kegiatan Pelayanan Administrasi Perkara serta Pelaksanaan
Koordinasi dan Sinkronisasi yang berkaitan dengan persidangan perkara.
b. Pengurusan Daftar Perkara, Administrasi Perkara, dan Administrasi Keuangan
Perkara, administrasi persidangan, administrasi umum dan pelayanan publik
c. Pengurusan Statistik Perkara, Dokumentasi Perkara, Laporan Perkara.
d. Melaksanakan Pengawasan dan pembinaan.
e. Dan lain-lain berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.
f. Pengelolaan Barang Milik/Kekayaan Negara yang menjadi tanggungjawab.
g. Penyampaian Laporan Hasil Evaluasi, Saran dan Pertimbangan dibidang
Tupoksinya kepada Mahkamah Agung RI.
Selain dari tugas pokok diatas, Pengadilan Agama Palu melaksanakan
fungsinya sebagai berikut:9
a. Fungsi Peradilan
Pengadilan Agama Palu Kelas I A sebagai pelaksana tugas untuk menerima,
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya
yang masuk dalam kompetensi/kewenangannya.
b. Fungsi Administrasi.
Pengadilan Agama Palu Kelas I A sebagai pelaksana administrasi dalam rumah
tangganya baik menyangkut administrasi perkara maupun administrasi umum.
c. Fungsi Nasehat dan Pembinaan.
Pengadilan Agama Palu Kelas I A berfungsi atau berwenang untuk memberikan
nasehat dan pertimbangan mengenai hukum kepada seorang dan atau instansi

9
Ibid., 4.
95

pemerintah yang memintanya serta pembinaan terhadap pegawai di lingkungan


Pengadilan Agama Palu Kelas I A.
c. Fungsi Pengawasan

Dala fungsi ini Pengadilan Agama Palu Kelas I A berkewajiban mengawasi

tingkah laku aparaturnya secara kelembagaan juga berwenang mengawasi

pengelolaan barang milik negara serta pengelolaan anggaran.

B. Tinjauan Yuridis Terhadap Tugas dan Peran Jurusita Pengadilan Agama

Palu Kelas I A

1. Tugas Jurusita Pengadilan Agama Palu Kelas I A

Pengadilan Agama Palu Kelas I A sebagai lembaga pelaksana kekuasaan

kehakiman harus menempatkan dirinya sebagai lembaga peradilan yang

sesungguhnya, sesuai dengan kedudukan yang telah diberikan oleh Undang-undang

Nomor 50 tahun 2009 tentang peradilan agama. Dengan demikian Pengadilan Agama

Palu Kelas I A perlu meningkatkan kualitas aparaturnya serta pelayanannya sehingga

dapat melaksanakan dengan baik dan benar tugas-tugas yang diberikan kepadanya.

Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. An Nisa’ (4): 59 yang berbunyi :

⧫ ⧫
 ❑➔ ❑⧫◆
⧫❑▪ ❑➔◆
…   ◆
Terjemahnya:
96

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu....”10

Adapun yang harus dilakukan adalah melaksanakan hukum acara dengan baik

sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Salah satu unsur yang harus dilakukan dalam

pelaksanaan hukum acara tersebut adalah memanggil para pihak untuk mengikuti

persidangan yang telah ditentukan oleh pengadilan agama. Sehubungan dengan ini

tugas jurusita sebagai pihak yang bertanggung jawab memanggil para pihak yang

berperkara untuk hadir dalam persidangan tidak dapat di pandang ringan, sebab kalau

salah dalam teknis memanggil para pihak berperkara tersebut akan membawa dampak

negatif pada proses pemeriksaan perkara.11

Bahwa di antara berbagai persoalan-persoalan dibidang tugas kejurusitaan

yang penulis teliti adalah hanya memfokuskan pada bagian tugas pemanggilan pihak-

pihak berperkara di Pengadilan Agama Palu Kelas I A, yang dapat diuraikan sebagai

berikut :

1.1. Pemanggilan dalam wilayah yurisdiksi

Panggilan adalah menyampaikan secara resmi (official) dan patut (properly)

kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan, agar memenuhi

dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan majelis hakim.12

Pemanggilan dalam wilayah yurisdiksi dilakukan dalam wilayah atau daerah tempat

berlakunya sebuah Undang-undang yang berdasarkan hukum.

10
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Surabaya: Lintas Media,2002), 152.
11
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, 135.
12
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata. Cet. VII (Jakarta:Sinar Grafika, 2008), 213.
97

Dalam Kompilasi Hukum Acara Islam, pengadilan tidak dibenarkan

mengadili perkara di luar wilayah yurisdiksinya. Yang dimaksud dengan ketentuan

macam kasus yaitu hakim yang diangkat oleh penguasa dengan ditentukan macam

perkara yang boleh ditangani, baik ketentuan itu pada waktu diangkat atau

sesudahnya, seperti khusus perkara yang menyangkut hukum keluarga (ahwal al

syahsiyyah), perdata, dagang, pidana dan lain sebagainya, maka ia tidak dibenarkan

mengadili perkara yang lain. Demikian juga tidak dibenarkan mengadili perkara di

luar wilayah yurisdiksinya.13

Penjelasan diatas juga berlaku bagi jurusita dalam melaksanakan tugasnya, ia

tidak dibenarkan melaksanakan tugas di luar wilayah yurisdiksinya, atau dengan kata

lain jurusita hanya bertugas dalam wilayah yurisdiksi pengadilan di mana ia bekerja.

Oleh karena pengadilan itu fardhu kifayah, gunanya untuk menolak kezaliman

dan menyelesaikan persengketaan. Wajib bagi pemerintah menegakkan pengadilan

bagi manusia, dan siapa yang tidak mau, maka pemerintah memaksa orang tersebut.14

Jurusita dalam tugasnya untuk menghadirkan kedua belah pihak adalah sangat

penting, sebagaimana yang disebutkan dalam Hadis Rasulullah saw :

ِ َ‫ اِنَّ ُكم ََتْت‬،‫الّل‬


‫ص ُم ْو َن إِلَ ََّّي فَلَ َع َّل بَ ْع َد ُك ْم اَيَّ ُك ْو َن ا ْْلَ َن‬ ِ ‫ال رسو ُل‬ ِ ِ
ْ ‫ قَ َ َ ُ ْ ه‬: ‫َع ْن أ ُُّم َسلَ َمة َرض َى هالّلُ َعْنهُ قَالَت‬
15 ...‫ه شيا‬
ً ْ َ ِ ‫أخْي‬ ِ ‫ فَمن قَطَعت لَه ِمن ح ِق‬,‫أْسع ِمْنه‬
‫ض فَأقْضى لَهُ َعلَى ََْن ِو َم َْ ُ ُ َ ْ ْ ُ ُ ْ َ ه‬
ِ ِ ‫ِِب َّجتِ ِه ِمن ب ع‬
ْ‫ْ ه‬ ُ
Terjemahnya :

13
Ibid. 73.
14
Kompilasi Hukum Acara Islam. 64.
15
Bukhari al Imam, Sahih Al Bukhari bi Hashiyyat Al Imam Al Sindiy, (Lebanon: Dar al
Kutub al Ilmiyyah, 2008), IV: 105.
98

“Dari Ummu Salamah r.a. ia berakata, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda :


Sesungguhnya kalian mengadukan perselisihan kepadaku, pada hal mungkin
sebahagian kamu lebih lancar (tangkas) hujjahnya dari pada yang lain,
kemudian aku memberikan keputusan kepadanya berdasarkan apa yang aku
dengar darinya, …”

Dalam hadis tersebut Rasulullah saw dengan jelas mengatakan “fa aqdiy lahu

‘ala nahwi ma asma’u (kemudian saya memutuskan menurut apa yang saya dengar),

bukan mengatakan “.....mimma a’lamu” (menurut apa yang saya ketahui).16

Dari keterangan hadis nabi di atas, maka dapat disimpulkan bahwasanya

hakim memutuskan suatu perkara sesuai dengan apa yang di lihat, di dengar dan

pembuktian yang kuat dari para pihak yang bersengketa, maka dari itulah pentingnya

kehadiran kedua belah pihak yang bersengketa, sehingga sebelum menjatuhkan

putusan, hakim dapat mendamaikan keduanya terlebih dahulu.

Bagi Peradilan Islam, prinsip semua hadir itu dapat dipahami dari hadis

Rasulullah saw :

‫ضى‬ِ ‫ك رجلَ ِن فَالَ تَ ْق‬ ِ ‫ قَل ِِل رسو ُل الّلِ صلهى الّل علَي ِه وسلَّم اِزا ت ق‬: ‫عن علِى قَل‬
ُ َ َ ‫ضى الَْي‬َ َ َ َ َ َ ْ َ ُ‫َ ْ َ ْ َ َ َ ُ ْ ه َ ه‬
ِ َ‫ت ق‬
ً‫اضيا‬ ِ َ َ‫ ق‬,‫ضى‬ ِ ‫ض ِري َكيف تَ ْق‬ َ ‫لِْلالََّوِل َح ََّّت تَ ْس َم َع َكلَ َم اْالَ َخَر فَ َس ْو‬
ْ َ‫ فَ َم َازل‬,‫ال َعل ْى‬ َ ْ ْ ْ َ‫ف ت‬
17
.‫بَ ْع َد‬
Terjemahnya :

“Hadis dari Ali r.a. Ali berkata : Rasulullah saw. telah berkata kepadaku,
apabila datang dua orang yang berperkara kepada engkau, janganlah engkau
putuskan untuk seseorang sebelum mendengar yang lainnya, boleh jadi
engkau nanti akan mengetahui bagaimana cara memberikan putusan. Ali
berkata: maka aku selalu memutuskan perkara seperti itu”.

16
Fatchur Rahman, Kumpulan hadis-hadis tentang Peradilan Agama, cet. ke-1 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1977). 165.
17
Abi Isa Muhammad, Sunan at-Turmuzi, cet ke-3 (Beirut: Dar al Fikr, t.t), II: 332.
99

Karena pihak-pihak kemungkinan ada yang tidak hadir dengan berbagai sebab

dan keadaannya atau bahkan mungkin ada yang membangkang, maka demi kepastian

hukum, cara-cara panggilan sidang diatur konkrit sehingga jika terjadi penyimpangan

dari prinsip, perkara tetap dapat diselesaikan.18

ِ ِ ِ ِ َ ‫اصم عْنه فَِإ ْن وجب ََْتلِي َفه ب ع‬


ِ ِ ٍ ‫وإِ ْن إِمتَ نَع لِعزٍر َكم ِر‬
ُ‫ث الْ َقضى الَْيه َم ْن ََّّْيل َفه‬ ُ َ ُ َ‫ض ُوهك َل َم ْن ُُّّي‬
19
َْ ُ ْ َ َ َ ُْ َ ْ َ
Terjemahnya :

“Ini berarti jika tergugat berhalangan karena sakit, hendaklah diwakilkan


mengenai gugatan yang ditujukan kepadanya. Dan apabila dia wajib
bersumpah, maka hakim mengirim utusan kepadanya untuk di ambil
sumpahnya”.

ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ‫ب فَ ُه َو ظَاِلْ الَ َح َق لَه‬ َ ْ ‫َم ْن ُدع َى ا َِل َحك ٍم م ْن ُح هك ِم اْلْ ُم ْسلم‬
ْ ‫ْي فَلَ ْم ُُي‬
Terjemahnya :

“Atau barang siapa yang di panggil oleh hakim Islam, sedangkan orang-orang
tersebut tidak memenuhi panggilan itu, maka dia dianggap zalim dan gugur
haknya”.20

Dalam perkembangan hukum acara pada zaman sekarang ini tentunya sangat

diperlukan pencatatan yang berkenaan dengan kasus-kasus, putusan-putusan hukum

serta pemanggilan pihak berperkara yang sudah diatur oleh administrasi badan

peradilan.

Sedangkan dalam hukum acara perdata sebagaimana dijelaskan pasal 388 HIR

pengertian panggilan meliputi makna dan cakupan yang lebih luas, yaitu :21

18
Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, 102.
19
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al Mahalli, 312.
20
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Acara Islam, Direktur Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam, Jakarta, 1994/1995. 124.
100

1) Panggilan sidang pertama kepada Penggugat dan Tergugat.

2) Panggilan menghadiri sidang lanjutan kepada pihak-pihak atau kepada salah satu

pihak, apabila pada sidang pertama tidak hadir baik tanpa alasan yang sah atau

berdasarkan alasan yang sah.

3) Panggilan terhadap saksi yang diperlukan atas permintaasn salah satu pihak

berdasarkan pasal 139 HIR (dalam hal mereka tidak dapat menghadirkan saksi

yang penting ke persidangan)

4) Panggilan dalam arti luas, meliputi juga tindakan hukum pemberitahuan antara

lain :

a. Pemberitahuan putusan banding dan kasasi maupun peninjauan kembali

b. Pemberitahuan permohonan banding kepada terbanding.

c. Pemberitahuan memori banding maupun kontra memori banding.

d. Pemberitahuan permohonan kasasi dan pemberitahuan memori kasasi kepada

termohon kasasi.

Dengan demikian, oleh karena arti dan cakupan panggilan meliputi

pemberitahuan, segala syarat dan tata cara yang ditentukan undang-undang mengenai

tindakan hukum pemanggilan, sama dan berlaku sepenuhnya dalam pemberitahuan.22

Setelah melalui tahap pengajuan gugatan, pembayaran panjar biaya perkara,

registrasi, penetapan majelis hakim tentang hari sidang, tahap selanjutnya adalah

pemanggilan para pihak untuk hadir di depan persidangan pengadilan pada hari dan

21
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan. (Jakarta:Sinar Grafika, 2005), 213.
22
Ibid., 214.
101

jam yang ditentukan. Terdapat berbagai permasalahan dan tindakan hukum yang

harus diperhatikan dalam pelaksanaan dan penerapan pemanggilan, seperti yang

dimaksud di bawah ini :23

1) Majelis Memerintahkan Pemanggilan

Setelah menerima pelimpahan berkas dari ketua pengadilan, majelis segera

menetapkan hari sidang. Dalam penetapan diikuti pencantuman perintah kepada

panitera atau jurusita untuk memanggil para pihak supaya hadir di persidangan pada

waktu yang ditentukan itu.24

2) Yang Melaksanakan Pemanggilan

Untuk mengetahui pejabat yang resmi berwenang melaksanakan atau

melakukan pemanggilan, merujuk kepada ketentuan pasal 388 jo. Pasal 390 HIR dan

pasal 1 Rv :

a) Dilakukan oleh jurusita, sesuai dengan kewenangan relative yang

dimilikinya

b) Jika orang yang hendak di panggil berada diluar yurisdiksi relative yang

dimilikinya, pemanggilan dilakukan berdasarkan ketentuan pasal 5 Rv,

yaitu mendelegasikan pemanggilan kepada jurusita yang berwenang di

wilayah hukum tersebut.

23
Ibid., 219.
24
Ibid.
102

Pemanggilan yang dilakukan jurusita di luar yurisdiksi relative yang

dimilikinya, merupakan pelanggaran dan pelampauan batas wewenang (exceeding its

power), dan berakibat :

a) Pemanggilan dianggap tidak sah.

b) Atas alasan, karena pemanggilan dilakukan oleh pejabat jurusita yang

tidak berwenang.

Sebelum mengangkat seorang pegawai sebagai jurusita terlebih dahulu

memeriksa apakah yang bersangkutan itu cukup cakap, jujur dan bertanggung jawab

untuk melakukan tugasnya. Jurusita yang tidak jujur dan bertanggung jawab dapat

membawa malapetaka besar dan mendatangkan banyak kerugian pada para pencari

keadilan. Karena relaas panggilan oleh hakim dapat dijadikan dasar untuk memutus

perkara dengan putusan gugur atau verstek.25

3) Bentuk Panggilan

Berdasarkan pasal 390 ayat (1) HIR dan pasal 2 ayat (3) Rv, panggilan

dilakukan dalam bentuk :

a) Surat tertulis;

b) Lazim disebut surat panggilan atau relaas panggilan maupun berita acara

pemanggilan.

c) Panggilan tidak dibenarkan dalam bentuk lisan, karena sulit membuktikan

keabsahannya. Oleh karena itu panggilan dalam bentuk lisan tidak sah

menurut hukum.

25
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung:Binacipta, 1989), 40.
103

Relaas mengindikasikan bahwa kehadiran para pihak dipersidangan

merupakan hal yang penting. Hal ini dikarenakan dengan hadirnya para pihak

tersebut di muka persidangan, maka akan memudahkan hakim dalam memutuskan

perkara. Relaas panggilan dibuat berdasarkan alamat yang tertera pada surat gugatan.

Oleh sebab itu, alamat yang tertera dalam surat tersebut harus jelas.

Sejauh mana cakupan pengertian bentuk tertulis, perlu diperhatikan perluasan

jangkauan yang diatur dalam pasal 2 ayat (3) Rv sebagai pedoman. Pasal ini

membenarkan bentuk tertulis, meliputi telegram dan surat tercatat. Bagaimana halnya

bentuk panggilan elektronik melalui radio, televisi, atau komputer melalui internet?.

Dari segi pendekatan hukum yang sempit (strict law) dan formalistic legal thinking,

bentuk-bentuk panggilan tersebut, dianggap bertentangan dengan hukum. Akan tetapi

berpijak dari perubahan sosial, bentuk-bentuk seperti dimaksud dapat diakomodasi

sepanjang ada regulasi yang mengatur tentang itu.

Bahkan khusus mengenai bentuk panggilan melalui media cetak atau media

massa, telah dibenarkan pasal 27 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yaitu :26

a) Apabila yang dipanggil tidak diketahui tempat tinggalnya, panggilan

dilakukan melalui pengumuman di salah satu tempat atau beberapa surat

kabar atau media massa.

b) Sekurang-kurangnya dilakukan dua kali, dengan tenggang waktu antara

pengumuman yang pertama dan kedua adalah satu bulan.

26
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, 220.
104

Meskipun ketentuan diatas dimaksudkan untuk pemanggilan para pihak dalam

perkara perceraian, ketentuan ini dapat diterapkan secara analogis dalam perkara

perdata yang lain.

4) Isi Surat Panggilan

Mengenai hal ini diatur dalam pasal 121 ayat (1) HIR dan pasal 1 Rv yang

menjelaskan, surat panggilan pertama berisi :27

a) Nama yang dipanggil

b) Hari dan jam serta tempat sidang

c) Membawa saksi-saksi yang diperlukan

d) Membawa segala surat-surat yang hendak digunakan

e) Penegasan bahwa yang bersangkutan dapat menjawab gugatan dengan

surat

Selain itu, agar panggilan memenuhi syarat formil, pasal 121 ayat (2) HIR dan

pasal 1 RV mewajibkan jurusita :

a) Melampiri surat panggilan dengan salinan surat gugatan

b) Salinan tersebut dianggap gugatan asli

5) Cara Panggilan yang Sah

Masalah pemanggilan dan pemberitahuan putusan dimuat dalam pasal 122,

388 dan 390 HIR dan pasal 146, pasal 718 R.Bg serta pasal 26-28 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pasal 138, dan pasal 140 Kompilasi Hukum

27
Ibid., 221.
105

Islam. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan ini dikemukakan teknis

pemanggilan para pihak yang berperkara.28

Panggilan kepada para pihak ini disampaikan melalui surat panggilan atau

dikenal juga dengan sebutan relaas, yang merupakan akta autentik karena

ditandatangani oleh pejabat dalam hal ini adalah Jurusita/Jurusita Pengganti.29

Pemanggilan pihak-pihak berperkara di Pengadilan Agama Palu Kelas I A

dalam prakteknya secara umum yaitu:30

a. Setelah hakim ketua menerima berkas perkara dari ketua pengadilan agama,

kemudian hakim atau ketua majelis dengan bermusyawarah dengan hakim anggota

menetapkan hari dan tanggal serta jam perkara akan disidangkan dan

memerintahkan agar para pihak dipanggil untuk hadir sesuai hari, tanggal dan jam

yang ditentukan.

b. Penetapan dan perintah tersebut dituangkan dalam Penetapan Hari Sidang (PHS)

yang ditandatangani oleh ketua majelis, dalam hal ini hakim harus

mempertimbangkan:

1) Ketentuan 30 hari untuk sidang pertama dari tanggal pendaftaran perkara.

2) Jarak antara pihak-pihak yang berperkara dengan pengadilan agama.

3) Asas kepatuhan memanggil yaitu tidak kurang dari 3 hari kerja dari sidang .

PHS tersebut harus menyebutkan :

28
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Cet. III;
(Jakarta: Kecana, 2005), 136.
29
Ibid., 137.
30
Solman Abidin, wawancara tanggal 20 Februari 2019.
106

1) Adanya perintah penyerahan salinan surat gugatan/permohonan kepada

tergugat/termohon.

2) Ada pemberitahuan bahwa tergugat/termohon boleh mengajukan jawaban

tertulis.

3) Pemberitahuan bahwa yang bersangkutan boleh membawa saksi-saksi dan alat

bukti lainnya.

c. Hakim/ketua majelis menandatangani formulir panggilan 1 dan 2.

d. Berdasarkan perintah hakim, maka jurusita/jurusita pengganti ke kasir untuk

meminta ongkos pemanggilan.

e. Relaas harus menyebutkan :

1) Penyerahan sehelai salinan surat gugatan/permohonan kepada

tergugat/termohon.

2) Pemberitahuan bahwa tergugat/termohon boleh mengajukan jawaban tertulis.

3) Pemberitahuan para pihak yang bersangkutan boleh membawa saksi dan bukti

yang diperlukan.

f. Pemanggilan disampaikan langsung kepada yang bersangkutan dan kemudian

yang dipanggil menandatangani relaas tersebut dan bila tidak bertemu, relaas

disampaikan kepada lurah serta berita acara harus dibubuhi cap dinas, bila yang

bersangkutan atau lurah tidak mau menandatangani atau tidak mau memberikan

cap dinas, maka hal ini dicatat oleh jurusita/jurusita pengganti kemudian

jurusita/jurusita pengganti menandatangani relaas dan tidak mengurangi keabsahan

surat panggilan.
107

g. Apabila pemanggilan lewat lurah, maka aparat lurah wajib menyampaikan relaas

tersebut.

h. Tenggang waktu pemanggilan sekurang-kurangnya 3 hari sebelum sidang dibuka.

i. Apabila yang dipanggil tidak diketahui, tidak jelas atau tidak memiliki tempat

tinggal yang tetap, maka :

1) Perkara perceraian dan pembatalan nikah, maka mengikuti ketentuan pasal 27

PP No.9 / 1975

2) Perkara yang lain, maka mengikuti pasal 390 HIR atau pasal 718 R.Bg. lewat

walikota tempat tinggal penggugat dengan menempelkan di papan

pengumuman Pengadilan Agama dan bila yang dipanggil telah meninggal

dunia, maka panggilan disampaikan kepada ahli warisnya, bila ahli waris tidak

diketahui maka dipakai ketentuan pada PP No.9/1975 dalam perkara

perceraian yang bersangkutan telah meninggal, maka hal itu dicatat, sebagai

dasar hakim untuk menggugurkan perkara.

j. Apabila yang dipanggil menunjuk kuasa hukum maka relaas disampaikan kepada

kuasa hukummnya.

k. Jurusita menyerahkan relaas tersebut kepada majelis hakim yang memeriksa

perkara melalui panitera pengganti yang menangani perkara tersebut.

l. Apabila yang dipanggil berada di luar yuridiksi pengadilan agama lain, maka

jurusita Pengadilan Agama Palu Kelas I A meminta bantuan kepada pengadilan

agama yang lain dimana terpanggil bertempat tinggal.


108

Dari hasil wawancara dengan Solman Abidin salah seorang Jurusita senior

Pengadilan Agama Palu Kelas I A menjelaskan :

“Pemanggilan dalam wilayah yurisdiksi adalah pemanggilan yang dilakukan


di dalam wilayah hukum Pengadilan Agama Palu Kelas I A, yaitu panggilan
yang disampaikan langsung atau tidak langsung kepada pihak yang dipanggil
di tempat kediamannya atau pun pemanggilan yang dilakukan dengan tata
cara yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Termasuk
dalam hal ini pemanggilan gaib dengan pengumuman pemanggilan melalui
media massa seperti radio, pemanggilan secara elektronik seperti pada aplikasi
e-Court serta pemanggilan delegasi antar wilayah yurisdiksi maupun
pemanggilan diluar negeri.31

Pemanggilan dalam wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama yang menangani

perkara tersebut diatur dalam pasal 26 PP Nomor 9 Tahun 1975 jo. pasal 390 HIR,

718 R.Bg dan 138 KHI. Secara prinsip panggilan harus memenuhi unsur resmi dan

patut disampaikan kepada yang bersangkutan secara pribadi. Hal ini bertujuan agar

penyampaian pesan atau informasi kepada seseorang agar dia tahu tentang segala

sesuatu hal yang hendak dilakukan oleh pihak lawan maupun suatu tindakan yang

akan dilakukan oleh pengadilan.32

Pemanggilan tersebut memiliki tata cara tersendiri sesuai dengan aturan yang

telah ditetapkan, hanya saja dalam prakteknya jurusita mengembangkan cara-cara

pemanggilan di lapangan dengan memanfaatkan sarana dan prasarana seperti telepon

selular, baik itu melalui telepon, sms maupun melalui WhatsApp. Sebagaimana yang

disampaikan oleh jurusita pengganti yang melaksanakan pemanggilan dalam wilayah

yurisdiksi, Abdul Khair mengatakan bahwa :

31
Solman Abidin, wawancara tanggal 20 Februari 2019.
32
Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori
dan Praktek, 96.
109

“Sebelum memanggil pihak berperkara, terlebih dahulu kami menghubungi


melalui telepon selular pada nomor handpone yang telah disetorkan pada awal
pendaftaran perkara. ini bertujuan agar jurusita dalam melaksanakan
pemanggilan tetap mempertimbangkan efektif dan efisiennya pemanggilan itu.
karena tidak semua pihak yang akan di antarkan surat panggilan berada di
tempat kediamannya, kadang ada pihak yang berada di luar kota saat di
hubungi, jadi jurusita tidak perlu kerumahnya, langsung saja di informasikan
hari dan tanggal sidangnya, kemudian surat panggilannya disampaikan
melalui kelurahan setempat dengan mengisi berita acara pemanggilan sesuai
fakta di lapangan”.33

Dari penjelasan Abdul Khair diatas, bahwasanya pemanggilan yang di

lakukan jurusita pada Pengadilan Agama Palu Kelas I A tidak bertentangan dengan

aturan yang berlaku, hanya saja dalam prakteknya jurusita melihat dari segi efektif

dan efisiennya pemanggilan dengan menggunakan kemajuan teknologi saat ini.

Karena pada prinsipnya hakim tidak melihat bagaimana cara atau praktek yang di

lakukan oleh jurusita dalam memanggil para pihak, tetapi hakim merujuk pada

formalnya relaas panggilan sesuai apa yang tertera dalam berita acara pemanggilan,

telah sesuai dengan asas sah resmi dan patut. Kecuali ada pihak yang keberatan

dengan cara pemanggilan tersebut dan sebaliknya pihak dapat membuktikan

kesalahan tersebut, maka dari itu hakim dapat menunda sidang atau memutuskan

suatu perkara jika hal itu tidak dapat dibuktikan.

1.2. Pemanggilan Gaib

Persoalan gaib biasa juga disebut mafqud. Menurut bahasa kata mafqud dalam

bahasa Arab secara harfiah bermakna menghilang. Kata mafqud merupakan bentuk

33
Abdul Khair, wawancara tanggal 21 Februari 2019.
110

isim maf’ul dari kata faqida yafqadu yang artinya hilang.34 Jadi, kata mafqud secara

bahasa berarti hilangnya seseorang karena suatu sebab-sebab tertentu.

Adapun pengertian mafqud menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan

oleh para ulama yaitu :

Kalangan Hanafiyah mengatakan bahwa mafqud adalah :

35
‫الذي ال يدري حياته وال موته‬
Terjemahnya :
“Yaitu orang yang tidak diketahui hidup dan matinya”.

Sementara Kalangan Malikiyah menjelaskan :

36
‫املفقود هو الذي غاب عن أهله وفقدوه حَّت إنقطع خربه‬
Terjemahnya :
“mafqud ialah orang yang hilang dari keluarganya dan mereka merasa
kehilangan orang tersebut hingga terputus kabar mengenai orang yang hilang
tersebut”.

Wahbah Zuhaili memberikan penjelasan :

37
‫املفقود هو الغاعب الذي ِل يدر أحي هو فيتوقع قدومه أم ميت أودع القرب‬
Terjemahnya :
“mafqud ialah orang hilang yang tidak diketahui apakah masih hidup yaitu
bisa diharapkan kehadirannya ataukah sudah mati berada dalam kubur”.

34
Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997). 321.
35
Ibnu Humam Al Hanafi, Fathul Qadir, Juz 6. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.t.th), 133.
36
Abu Bakar bin Hasan Al-Kasynawi, Ashal Al-Madarik, Juz I, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyah, t.th). 407.
37
Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Juz 9. (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2006).
7187.
111

Sementara ulama fiqih menetapkan hukum yang berlaku berdasarkan kaidah

istishab, sampai ada dalil yang menunjukkan hukum lain. Mereka berdasar pada

hadits :

‫"إمَرأةُ الْ َم ْف ُق ْوِد ْإمَرأتُهُ َح هَّت‬ ِ


ْ ‫الّلُ َعلَْيه َو َسله َم‬
‫صلهى ه‬
ِ
َ ‫ال َر ُس ْو ُل هالّل‬ َ َ‫ع ِن الْ ُمغِ ْ َْية بْ ِن ُش ْعبَةَ ق‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬
38 ٍ ِ ِ ِ
َ ‫َّارقُطْ ِىن ِبِِ ْسنَاد‬
‫ضعْيف‬ ُ ‫أخَر َج ُها الد‬
ْ "‫ْي‬ َُ َ‫ََيْتيَ َها الْب‬
Terjemahnya :
“Dari Mughirah bin Syu’bah berkata : Rasulullah saw bersabda : istri orang
yang hilang tetap sebagai istrinya sampai ia mendapat berita (tentang
kematiannya). (H.R. Al- Daruquthni dengan sanad yang lemah)”.

Selain berdasar pada hadis ini mereka juga menguatkan pendapat mereka

dengan berhujjah menggunakan pendapat Ali yang diriwayatkan dari Abdur Raziq,

katanya telah dikabarkan kepada kami oleh Muhammad bin Abdullah Al Azrami dari

Al Hakam bin Uyainah dari Ali r.a., ia berkata mengenai isteri yang hilang :

‫هَّي إمرأة ابتليت فلتصرب حَّت يستبْي موت أو طلق‬


Terjemahnya :
“Dia adalah perempuan yang sedang diuji, maka hendaklah ia bersabar sampai
menjadi jelas berita kematian atau berita thalak suami”.39

Pendapat ini juga dikuatkan dengan riwayat yang mengatakan bahwa Ibnu

Mas’ud juga sependapat dengan pendapat Ali tersebut. Selain mereka, pendapat ini

juga dianut oleh Ibnu Abi Syaibah dari Qalabah, Jabir bin Yazid, As Syu’bi dsan An

Nakha’i.40

38
Ibnu Hajar Al Asqalani, Bulughul Maram, (Semarang: Thoha Putra, t.th, 2000). 237.
39
Ibnu Humam Al Hanafi, Fathul Qadir, Juz 6, (Beirut : Dar Al- Kutub Al- Ilmiyah, 1995).
137.
40
Ibid. 137.
112

Dari beberapa definisi diatas, dapat dipahami bahwa mafqud yaitu hilangnya

seseorang dari suatu tempat, tidak diketahui kabar dan keberadaannya secara pasti,

serta tidak diketahui apakah dirinya masih hidup atau sudah meninggal dunia.

Secara hukum tempat tinggal tidak diketahui berpatokan pada faktor :

a) surat gugatan sendiri menyatakan dengan tegas pada identitas tergugat, bahwa

tempat tinggal atau kediamannya tidak diketahui.

b) atau pada identitas tergugat, surat gugatan menyebutkan dengan jelas tempat

tinggalnya, tetapi pada saat jurusita melakukan pemanggilan, ternyata tergugat

tidak ditemukan di tempat tersebut dan menurut penjelasan lurah, yang

bersangkutan telah meninggalkan tempat itu tanpa menyebutkan alamat tempat

tinggal yang baru.41

Panggilan gaib adalah panggilan yang ditujukan kepada pihak yang tidak

diketahui alamatnya secara jelas atau hilang untuk menghadiri persidangan di

pengadilan. Walaupun pihaknya tidak diketahui keberadaannya secara pasti, bukan

berarti perkara langsung diputus tanpa memanggil pihak yang menjadi tergugat

ataupun termohon. Akan tetapi para pihak yang bersangkutan tetap dipanggil,

mengingat bahwa semua orang punya kedudukan yang sama di depan hukum untuk

di dengarkan keterangannya di depan persidangan.42

Disamping itu, juga untuk mengantisipasi jika terjadi pemalsuan alamat atau

sengaja menggaibkan pihak lawan. Dengan tetap adanya panggilan terhadap pihak

41
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, 223.
42
Ibid., 224.
113

yang gaib ini, diharapkan pihak yang bersangkutan mengetahui dan bisa hadir di

persidangan. Sehingga permasalahan bisa dicarikan solusinya dan tentunya

diharapkan bisa rukun kembali.

Panggilan gaib memang dibenarkan adanya, namun tata cara pemanggilan

gaib berbeda dengan panggilan sidang sebagaimana biasanya. Setelah dilalui tahap

pengajuan perkara, pembayaran biaya, pendaftaran, penetapan hari sidang oleh

majelis, tahap selanjutnya adalah pemanggilan pihak berperkara untuk hadir di depan

persidangan pada hari dan jam yang telah ditentukan.43

Dalam hal ini, untuk panggilan gaib relaas panggilannya tidak disampaikan

secara langsung kepada pihak yang bersangkutan, karena pihaknya tidak diketahui

keberadaannya. Sehingga panggilannya disampaikan melalui salah satu media massa

yaitu melalui Radio Alkhairaat (RAL) Palu. Panggilan pihak tergugat dilakukan

dengan berpedoman pada pasal 27 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan Pasal

139 Kompilasi Hukum Islam. Pemanggilan dilaksanakan dengan mengumumkannya

melalui satu atau beberapa surat kabar atau media massa lainnya sebagaimana yang

ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Agama secara resmi sesuai dengan ketentuan yang

berlaku.44

Pengumuman melalui surat kabar atau media massa tersebut harus

dilaksanakan sebanyak dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara panggilan

pertama dan kedua. Tenggang waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan di

43
Ibid., 219.
44
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, 141.
114

tetapkan sekurang-kurangnya tiga bulan. Dalam hal pemanggilan sudah dilaksanakan

tersebut dan tergugat atau kuasa hukumnya tetap tidak hadir, maka gugatan ini

diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak

beralasan.45

Relaas panggilan setelah ditandatangani oleh jurusita kemudian dibawa ke

pihak radio untuk disiarkan. Adapun waktu disiarkan tergantung dari pihak radio

sebagaimana disampaikan oleh Mujiyono :

“Untuk panggilan pertama 4 (empat) bulan sebelum sidang, panggilan kedua


3 (tiga) bulan sebelum sidang, biasanya satu hari setelah relaas panggilan
kami berikan baru diumumkan sama pihak radio, misalnya hari selasa kami
bawa kesana, besoknya hari rabu mereka umumkan. pihak radio
mengumumkan sebanyak dua kali yaitu pagi pukul 08.30 dan sore pukul
17.15 Wita. persoalan kapan pihak radio menyiarkan terserah saja, nanti kan
waktu panggilannya juga dimuat di relaas panggilannya, jadi bisa
dipertanggungjawabkan, karena kita sudah MOU dengan pihak RAL”.46

Jika jarak pengumuman pemanggilan pertama dan kedua sudah jelas diatur

dalam Pasal 27 PP No. 9 Tahun 1975, maka untuk waktu pengumumannya adalah

menjadi kewenangan Pengadilan Agama masing-masing dan pihak dari media massa

yang menjalin kerjasama dengan pengadilan tersebut. Dalam hal ini, Pengadilan

Agama Palu Kelas I A bekerjasama dengan Radio Alkhairaat Palu (RAL), adapun

waktu disiarkannya panggilan tersebut adalah tergantung dari pihak radio. Akan

tetapi waktu diumumkannya tersebut harus dicantumkan dalam relaas panggilan,

yang kemudian ditandatangani oleh pihak radio dan jurusita yang bertugas membawa

45
Ibid., 142.
46
Mujiyono, wawancara tanggal 20 Februari 2019.
115

relaas tersebut. Tujuannya adalah agar relaas panggilan tersebut dapat

dipertanggungjawabkan dan sebagai bukti kalau panggilan tersebut telah disiarkan.

Relaas panggilan dalam hukum acara perdata dikategorikan sebagai akta

autentik. Dalam pasal 165 HIR dan pasal 285 R.Bg serta pasal 1868 BW disebutkan

bahwa akta autentik adalah suatu akta yang dibuat dihadapan pegawai umum dalam

bentuk yang ditentukan undang-undang yang berlaku. Demikian juga Relaas

Panggilan. Dengan demikian apa yang termuat dalam relaas panggilan harus

dianggap benar, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.47

Dikarenakan proses panggilan gaib ini berbeda dengan pemanggilan

sebagaimana biasanya, maka berkas-berkas yang diperlukan ketika memanggil pihak

juga berbeda. Seperti yang disampaikan oleh Abdul Khair berikut ini :

“Bahwa panggilan gaib ini memang berbeda dengan panggilan lainnya, kalau
panggilan biasa surat panggilan dilengkapi dengan surat gugatan, kalau
panggilan gaib ini hanya relaas panggilan saja yang dibawa ke pihak radio,
kan dalam relaas panggilan telah dicantumkan agar yang bersangkutan jika
hadir atau mengetahui adanya panggilan sidang dipersilahkan ke kepaniteraan
pengadilan agama untuk mengambil surat gugatannya, atau mengirimkan
wakilnya atau kuasanya dan surat gugatan itu dia bisa jawab lisan atau tertulis
dan di ajukan pada waktu sidang yang telah ditentukan”.48

Bahwasanya panggilan gaib itu memang tata cara pemanggilannya berbeda

dengan pemanggilan para pihak yang diketahui alamatnya dengan jelas. Ketika dalam

pemanggilan biasa atau pihak diketahui alamatnya, relaas panggilan disertai surat

47
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, 136.
48
Abdul Khair, wawancara tanggal 21 Februari 2019.
116

gugatan, sebagaimana yang diatur dalam pasal 121 ayat (1) HIR dan pasal 1 Rv yang

menjelaskan, surat panggilan pertama berisi :49

a) nama yang di panggil

b) hari dan jam serta tempat sidang

c) membawa saksi-saksi yang diperlukan

d) membawa segala surat-surat yang hendak digunakan

e) penegasan, dapat menjawab gugatan dengan surat.

Selain itu, agar panggilan memenuhi syarat formil, pasal 121 ayat (2) HIR dan

pasal 1 Rv mewajibkan jurusita :50

a) melampiri surat panggilan dengan surat gugatan

b) salinan tersebut, dianggap gugatan asli.

Akan tetapi dalam panggilan gaib, hanya relaas panggilan saja yang dibawa

ke pihak radio, tanpa disertai surat gugatan sebagaimana panggilan biasa pada

umumnya.

Adapun ketika pihak yang digaibkan tersebut hadir di persidangan, maka ada

dua kemungkinan yang terjadi disini, pertama yaitu datang sebelum tanggal

persidangan atau sebelum persidangan dilaksanakan, kedua datang pada saat

bertepatan dengan waktu sidang. Kalau pihak tersebut hadir sebelum hari sidang,

maka akan dijelaskan mengenai perkaranya dan apabila ia meminta surat gugatannya

akan diberikan surat gugatannya tersebut kepadanya. Jika tergugat datang ke

49
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, 221.
50
Ibid, 221.
117

Pengadilan Agama sebelum hari sidang yang telah ditentukan dan memberikan

keterangan tempat tinggalnya saat ini, maka cara yang ditempuh adalah sebagai

berikut :51

a) Pengadilan Agama wajib memberitahukan kepada pihak penggugat agar

memperbaiki identitas tergugat yang tersebut dalam gugatan.

b) Membatalkan Penetapan Hari Sidang (PHS) yang lama (panggilan melalui

media massa) karena tergugat telah mengetahui pengumuman di media

massa tersebut hadir ke pengadilan agama memberitahukan alamatnya.

c) Menetapkan Penetapan Hari Sidang baru dan menetapkan pemanggilan

baru kepada penggugat dan tergugat.

Kemudian proses pemeriksaan perkara dilaksanakan dengan cara seperti biasa

pada umumnya. Begitu pula ketika ia hadir pada hari persidangan dilaksanakan, maka

diperiksa terlebih dahulu oleh majelis hakim. Pertama sekali diperiksa adalah

identitas tergugat dengan menunjukkan KTP nya, jika benar ia adalah pihak yang

bersangkutan maka wajib dilakukan mediasi terlebih dahulu.

Adapun alasan dipilihnya radio sebagai salah satu dari media massa yang

digunakan oleh Pengadilan Agama Palu Kelas I A untuk menyiarkan panggilan gaib

ini sebagaimana di ungkapkan sebagai berikut :

“Iya jadi kalau ada panggilan gaib ini kan di umumkan melalui media massa,
karena dalam PP No. 9 memrintahkan untuk dilakukan pemanggilan melalui
media massa. Dan kebetulan media massa yang kita pilih adalah media massa
RAL (Radio Alkhairaat Palu), dan sudah MOU juga. RAL juga sudah
menjangkau seluruh wilayah Sulawesi Tengah, radio kita pilih karena

51
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, 143.
118

sederhana, praktis dan biayanya masih murah. walaupun zaman ini


perkembangan teknologi dan informasi berkembang pesat seperti dengan
adanya website, tetapi apakah semua orang sering mengakses website? tidak
kan. kalau radio masih sering didengarkan orang, dan yang mendengarkan
radio juga diharapkan bisa menyampaikan ke pihak yang bersangkutan jikalau
mendengarkan pengumuman panggilan sidang tersebut, kalau yang
bersangkutan dikenal di daerah itu. akan tetapi tidak salah juga kalau
panggilan secara gaib itu jika sudah diumumkan melalui radio dan di tempel
di papan pengumuman pengadilan agama, alangkah baiknya juga di umumkan
melalui website pengadilan”.52

Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, radio merupakan media

massa yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Bahkan, hingga saat ini, radio

masih digunakan sebagai media utama penyampaian panggilan. Hal ini karena radio

dapat menyampaikan informasi panggilan gaib lebih murah dibandingkan dengan

media massa lain.

Perkara gaib termasuk perkara yang proses penyelesaiannya termasuk lama,

hal ini bukan tanpa alasan. Pemerintah dan para ulama sewaktu merumuskan aturan

ini (PP No. 9 Tahun 1975) telah mempertimbangkan berbagai hal dan adanya unsur

kehati-hatian dalam menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan pihak yang

dikategorikan gaib untuk datang menghadiri persidangan. Sebagai contoh, seorang

suami yang digugat isteri ke Pengadilan, panggilan melalui pengumuman radio

terdengar oleh Tergugat yang saat itu sedang berada di tengah lautan luas, atau

sementara berada di tengah hutan belantara.53

Perkara gaib pada umumnya melahirkan putusan verstek dalam perkara

perceraian. Apabila pihak yang digugat tidak mendengarkan panggilan gaib melalui

52
Drs. Khalis, MH, wawancara tanggal 21 Februari 2019.
53
Ibid.
119

radio atau membaca panggilan di papan pengumuman pengadilan agama maka pihak

yang digugat tidak mengetahui batas waktu pengajuan upaya hukum. Hal ini tentu

merugikan pihak yang digaibkan. Apalagi jika perkara tersebut adalah perkara cerai

talak, dimana isteri akan kehilangan hak-haknya.

Bila melihat praktik panggilan gaib yang dilaksanakan Pengadilan Agama

Palu Kelas I A yang bekerja sama dengan Radio Alkhairaat Palu, panggilan

diumukan secara singkat dalam satu hari. Waktu pengumuman dilaksanakan

sebanyak dua kali dalam satu hari, yakni pukul 08.30 Wita dan 17.15 Wita.

Kemudian dalam jangka waktu satu bulan dilaksanakan panggilan tahap kedua.54

Sehingga wajar bila banyak orang yang tidak mendengar panggilan tersebut. Oleh

sebab itu, panggilan gaib melalui website dapat dijadikan salah satu upaya dalam

mengatasi rendahnya efektivitas pemanggilan gaib melalui radio selama ini.

Adapun pemanggilan perkara gaib yang ditempelkan di papan pengumuman,

berdasarkan hasil wawancara dengan petugas yang menempelkan panggilan gaib,

yakni Solman Abidin, penempelan panggilan dilaksanakan satu bulan sebelum

perkara tersebut sidang sampai satu bulan di mana sidang tersebut berjalan.55

Adapun keterbatasan waktu dalam penempelan ini, dikarenakan banyaknya

panggilan yang mengantri untuk di tempel, sehingga penempelan hanya dilaksanakan

sampai bulan di mana perkara tersebut sidang. Seharusnya penempelan panggilan

54
Solman Abidin, wawancara tanggal 18 Februari 2019.
55
Ibid..
120

dilaksanakn setelah pengumuman panggilan gaib di radio diumumkan sampai sidang

tersebut putus. Bahkan terkadang, relaas di tempel dengan bertumpuk-tumpuk.56

Regulasi yang mengatur panggilan gaib yakni Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, yang telah berusia 45 tahun dan sudah seharusnya mengalami

perubahan. Apabila kita menengok masa lalu, pada saat lahirnya peraturan itu, alat

komunikasi yang ada umumnya hanya radio dan surat kabar. Bahkan, surat kabar

masih sangat jarang dan yang mempunyai televisi ataupun alat komunikasi lain.

Bahkan, listrik dan telpon belum masuk ke desa. Sehingga aturan tersebut sangat

relevan berlaku pada zaman itu.

Perbedaan zaman tentu melahirkan perbedaan teknologi informasi yang

berkembang dan digunakan. Bahkan, hampir tiap orang memiliki handphone, tiap

rumah sudah memiliki televisi bahkan sudah banyak yang memiliki internet dan

seterusnya. Internet merupakan salah satu media yang saat ini digunakan hampir oleh

semua orang. Oleh sebab itu, panggilan sudah seharusnya juga dilakukan melalui

media ini.

Asas sederhana, cepat dan biaya ringan merupakan asas utama dalam

menangani masalah penumpukan perkara di tingkat pertama, khususnya di

Pengadilan Agama Palu Kelas I A. Bahkan, penanganan perkara tingkat pertama

dibatasi hanya 5 (lima) bulan. Hal ini telah sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah

56
Solman Abidin, wawancara tanggal 18 Februari 2019.
121

Agung Nomor 2 Tahun 2014 yaitu penyelesaian perkara pada Pengadilan Tingkat

Pertama paling lambat dalam waktu 5 (lima) bulan.57

Bila merujuk dalam laporan tahunan Pengadilan Agama Palu Kelas I A Tahun

2018, sebanyak 49 perkara dari 835 perkara yang putus adalah perkara gaib. Bila

dibandingkan dengan perkara biasa, maka perkara gaib akan memakan waktu

penyelesaian yang cukup lama. Apalagi jika ternyata tergugat atau termohon

mendengar atau mengetahui panggilan sidang.58

Radio dipilih sebagai panggilan media massa dalam perkara gaib karena pada

zaman dahulu, biayanya paling murah dan paling cocok, jika dibandingkan dengan

media massa yang lainnya. Namun, saat ini peradaban sudah berubah, sehingga perlu

dikaji lagi mengenai sampai atau tidaknya panggilan melalui radio itu. Oleh sebab

itu, penulis menyarankan, agar panggilan dan jadwal sidang perkara gaib itu ditempel

di website resmi pengadilan agama bersangkutan, dan tidak menghapusnya sebelum

perkara itu BHT (Berkekuatan Hukum Tetap). Hal ini tentu berbeda dengan

ketentuan penyiaran panggilan melalui media massa dan penempelan yang

dilaksanakan sejak panggilan pertama sampai perkara terebut putus.

Panggilan melalui website ini menurut penulis sama sekali tidak bertentangan

dengan kaidah yang ada dalam hukum acara. Terlebih karena panggilan ini

hanya bersifat sebagai tambahan. Setelah dipanggil melalui radio, kemudian dapat

dilakukan pemanggilan di website. Dalam pasal 27 PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal

57
SEMA No. 2 Tahun 2014 Tentang Penyelesaian Perkara di Tingkat Pertama dan Tingkat
Banding Pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan.
58
Rahida Said, wawancara tanggal 20 Februari 2019.
122

39 KHI, panggilan dilaksanakan dengan mengumumkannya melalui satu atau

beberapa surat kabar atau media massa lainnya sebagaimana yang ditetapkan oleh

Ketua Pengadilan Agama secara resmi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Internet

merupakan media massa yang dapat diakses dan dijangkau masyarakat luas, oleh

sebab itu unsur “Media massa lainnya” dalam hal ini telah terpenuhi.

Adapun dalam panggilan gaib yang dimasukkan dalam website, baik untuk

perkara biasa maupun e-Summons,59 menurut analisa penulis setidaknya harus

memuat nama pihak yang dipanggil, nomor perkara dan tanggal sidang sebagaimana

yang biasa diumumkan melalui media massa lain. Mengenai panggilan tersebut juga

perlu dijelaskan bahwa panggilan tersebut sebelumnya telah dilaksanakan melalui

radio dan pihak yang dipanggil tersebut dapat mengambil salinan surat gugatan di

Kepaniteraan Pengadilan Agama bersangkutan dan gugatan tersebut dapat dijawab

secara tertulis yang ditandatangani olehnya sendiri atau kuasanya yang sah dan

diajukan pada waktu persidangan yang telah ditentukan.

Menurut penulis, pengadilan agama dapat bekerja sama dengan website

pemerintah daerah agar website pemerintah daerah menampilkan juga panggilan gaib

tersebut. Hal ini akan menambah jangkauan panggilan gaib terhadap pihak yang

digugat dan kemungkinan untuk diketahui oleh pihak yang digugat akan lebih besar

ketimbang hanya menayangkannya di website pengadilan agama.

Adapaun tingkat efektivitas tersebut tidak dihitung dari banyaknya yang

hadir, melainkan dari tercapainya target tersebut. Bahwa ketidakhadiran pihak yang

59
Jaenal Aripin, Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013), 266.
123

digugat bukan hanya karena ia tidak mendengar panggilan tersebut, melainkan juga

karena yang bersangkutan mendengar panggilan tersebut namun berniat tidak hadir.

Bisa juga dari segi waktu pengumumannya yang hanya diumumkan sebanyak dua

kali dan jaraknya terpaut satu bulan. Adapun jika diumumkan lebih dari dua kali akan

menambah biaya lagi.60

1.3. Pemanggilan Melalui E-Court

Dewasa ini, dinamika pasca reformasi, kian mendorong pemerintah agar lebih

meningkatkan transparansinya (keterbukaan) dalam setiap aktivitas pelayanan publik

kepada seluruh masyarakatnya, tanpa kecuali. Tuntutan ini juga kian mengkristal

dalam bentuk ”jaminan” atas akses informasi publik. Pada dasarnya, informasi,

selalu dan mampu memberikan kontribusi penting bagi pengembangan sosial dan

demokrasi. Jika masyarakat kita telah lebih baik dalam ber-informasi, memberi dan

mengambil manfaat dari sumber-sumber informasi (terutama) dalam hal-hal

terpenting dari kepemerintahan, layanan dan akses publik, maka besar

kemungkinan mereka bisa memberikan kontribusi yang tidak kalah penting

dengan ikut berperan serta dalam mempengaruhi lahirnya sebuah (produk)

keputusan atau mungkin juga undang-undang yang menyangkut hajat hidup orang

banyak.61

Sejalan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor : 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan

60
Ibid, 78.
61
Pengadilan Agama Palu, Laporan Tahunan 2018, 42.
124

dan telah diganti dengan SK KMA No. 1-144/KMA/SK/I/2011, maka Pengadilan

berkewajiban untuk memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat

sebagaimana bunyi pasal 2 bagian pertama dalam keputusan ini, bahwa Setiap

orang berhak memperoleh informasi dari Pengadilan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Hal ini merupakan upaya strategis untuk

mengembangkan informasi Pengadilan tentang pelayanan publik berbasis

kebutuhan masyarakat dan diharapkan makin mendekatkan Pengadilan dengan

masyarakat pencari keadilan.62

Dari hasil wawancara penulis, Pengadilan Agama Palu K e l a s I A sebagai

kawal terdepan dari peradilan telah menggunakan beberapa aplikasi berbasis

elektronik untuk membantu pegawai dalam meningkatkan kualitas kinerja dan

meningkatkan kualitas pelayanan publik yang didukung dengan sarana dan prasana

yang memadai. Disetiap Sub Bagian Pengadilan Agama Palu K e l a s I A telah

menggunakan berbagai aplikasi untuk menunjang kegiatan kantor seperti sebagai

berikut:63

Adapun berbagai aplikasi berbasis elektronik yang digunakan oleh Pengadilan

Agama Palu Kelas I A, ada yang sifatnya local host dan online berbasis web sebagai

berikut :

62
Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 1-144/KMA/SK/I/2011 pasal 2.
63
Nasruddin, Kasubag Perencanaan, IT dan Pelaporan, wawancara tanggal 20 Februari 2019.
125

Tabel V
Aplikasi yang digunakan Pengadilan Agama Palu Kelas I A

No Nama Aplikasi Bagian


1. SIKEP (Sistem Aplikasi Kepegawaian) Kepegawaian
2. ABS (Aplikasi Backup SIKEP) Kepegawaian
3. KOMDANAS (Aplikasi Komunikasi Data Nasional) Kesekretariatan
4. SAPK (Sistem Aplikasi Pelayanan Kepegawaian) Kepegawaian
5. SAKTI (Sistem Administrasi Kepegawaian
Terintegrasi) Kepegawaian
6. SIMAK-BMN (Aplikasi Sistem Informasi
Manajemen Akuntansi Barang Milik Negara) Umum dan Keuangan
7. SAS ( Sistem Aplikasi Satker) Umum dan Keuangan
8. SAIBA (Sistem Akuntansi Berbasis Akrual) Umum dan Keuangan
9. GPP (Aplikasi Gaji PNS Pusat) Umum dan Keuangan
10. SIMPONI (Aplikasi Sistem Informasi PNBP Online) Umum dan Keuangan
11. RKAKL (Aplikasi Rencana Kerja & Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga) Umum dan Keuangan
12. Aplikasi E-Monev Kesekretariatan
13. Aplikasi Sistem Monitoring Kinerja Terpadu Kesekretariatan
14. Aplikasi Persuratan Umum
15. e-LLK (Laporan Lembar Kerja) Kesekretariatan &
Kepaniteraan
16. Aplikasi Meja Informasi dan Pengaduan Meja Informasi
17. SIPP (Aplikasi Sistem Informasi Penelusuran
Perkara) Kepaniteraan
18. Aplikasi Berita Acara Sidang (BAS) dan putusan Kepaniteraan
19. Aplikasi e-register untuk cetak register internal Kepaniteraan
20. E-SKUM (Aplikasi Hitung Panjar) Kepaniteraan
21. Aplikasi Arsip BAS Kepaniteraan
22. PEDIS (Aplikasi Pengawasan Data SIPP) Kepaniteraan
23. Aplikasi Arsip SIPP Kepaniteraan
24. Aplikasi Kwitansi Kepaniteraan
25. Aplikasi Direktori Putusan Kepaniteraan
26. Aplikasi e-Court Kepaniteraan
Sumber : Pengadilan Agama Palu
126

Penulis hanya meneliti pada aplikasi yang bersentuhan langsung dengan tupoksi

jurusita yaitu pemanggilan melalui e-Court. Aplikasi e-Court ini sangat relevan

dengan kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dan sulit dijangkau dalam waktu

yang singkat guna memberikan pelayanan pengadilan yang cepat, sederhana dan

biaya ringan bagi para pencari keadilan.

Al-Qur’an selalu mendorong untuk selalu meningkatkan ilmu pengetahuan dan

teknologi untuk kemaslahatan umat manusia itu sendiri, hal ini sesuai dengan Q.S.

Ar-Rahman (55):33 sebagai berikut :

▪◆  ◆➔☺⧫


→⬧  ➔⬧⧫ 
◆❑☺ ⬧ 
  →⬧ ◆
 ⬧  →⬧
Terjemahnya :
“Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi)
penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya
kecuali dengan kekuatan”.64

Ayat tersebut berisi anjuran bagi siapapun yang bekerja di bidang ilmu

pengetahuan dan teknologi, untuk berusaha mengembangkan kemampuan sejauh-

jauhnya sampai-sampai menembus (melintas) penjuru langit dan bumi. Namun al-

Qur’an memberi peringatan agar manusia bersifat realistis, sebab betapapun baiknya

rencana, namun bila kelengkapannya tidak dipersiapkan maka kesia-siaan akan

dihadapi. Kelengkapan itu adalah apa yang dimaksud dalam ayat itu dengan istilah

sulthan, yang menurut salah satu pendapat berarti kekuasaan, kekuatan yakni ilmu

64
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Surabaya: Lintas Media,2002), 775.
127

pengetahuan dan teknologi. Tanpa penguasaan dibidang ilmu dan teknologi jangan

harapkan manusia memperoleh keinginannya untuk menjelajahi luar angkasa. Oleh

karena itu, manusia ditantang dianjurkan untuk selalu mengembangkan ilmu

pengetahuan dan teknologi.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi zaman ini sangat berkembang

pesat, bahkan seluruh lini kehidupan saat ini telah menggunakan media teknologi

sebagai sebagai sarana informasi dalam setiap aspek kehidupan berbangsa, bernegara

dan bermasyarakat, tak terkecuali dunia peradilan moderen saat ini yaitu Mahkamah

Agung dan badan peradilan dibawahnya.

Sebagai perwujudan dari implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3

Tahun 2018 yaitu Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik. Aplikasi e-

Court merupakan sebuah sistem yang terpusat, artinya aplikasi tersebut berada di

Data Center Mahkamah Agung RI yang terintegrasi dengan Sistem Informasi

Penelusuran Perkara (SIPP) di Pengadilan Tingkat Pertama.

Aplikasi e-Court adalah aplikasi yang terintegrasi dengan SIPP yang digunakan

untuk memproses gugatan/permohonan (e-filling), pembayaran biaya perkara (e-

payment), panggilan sidang (e-summons), pemberitahuan dan pengiriman putusan

secara elektronik, serta untuk memproses layanan administrasi lainnya secara

elektronik yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung.65

65
Moh. Rizal, wawancara pada tanggal 21 Februari 2019.
128

Adapun Perma No. 3 Tahun 2018 pada Bab IV yang mengatur pasal-pasal

administrasi pemanggilan secara elektronik sebagai berikut:66

Pasal 11 :

Selain sebagaimana diatur dalam hukum acara, panggilan menghadiri persidangan


terhadap para pihak berperkara dapat disampaikan secara elektronik.

Pasal 12 (1) :

Panggilan disampaikan secara elektronik dilakukan kepada:


a. penggugat/pemohon yang melakukan pendaftaran secara elektronik serta yang
memberikan persetujuan secara tertulis;
b. tergugat/termohon atau pihak lain yang telah menyatakan persetujuannya secara
tertulis untuk dipanggil secara elektronik; dan
c. kuasa hukum wajib mendapatkan persetujuan tertulis dari prinsipal untuk
beracara secara elektronik.

Pasal 12 (2) :

Biaya panggilan yang disampaikan secara elektronik dibebankan kepada para


pihak yang berperkara.

Pasal 13 (1) :

Atas dasar perintah hakim, jurusita/jurusita pengganti mengirimkan surat panggilan


persidangan kepada para pihak secara elektronik melalui Sistem Informasi
Pengadilan.

Pasal 13 (2) :

Panggilan persidangan yang dikirim secara elektronik ditujukan kepada domisili


elektronik para pihak.

Pasal 14 (1) :

Dalam hal panggilan persidangan dilakukan kepada pihak yang berdomisili di luar
wilayah hukum Pengadilan, panggilan kepadanya dapat dikirim secara elektronik dan

66
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara Di
Pengadilan Secara Elektronik.
129

surat panggilan tersebut ditembuskan kepada Pengadilan di wilayah hukum tempat


pihak tersebut berdomisili.

Pasal 14 (2) :

Pengadilan yang menerima tembusan surat panggilan sebagaimana dimaksud pada


ayat ( 1) mencatat dalam daftar yang disiapkan untuk itu.

Pasal 14 (3) :

Panggilan dan atau pemberitahuan terhadap pihak secara elektronik berdomisili di


luar wilayah hukum Indonesia diatur lebih lanjut oleh Panitera Mahkamah Agung
sesuai dengan Nota Kesepahaman Kementerian Luar Negeri dengan Mahkamah
Agung tentang Penanganan Permintaan Bantuan Teknis Hukum Dalam Masalah
Perdata.

Pasal 15 :

Panggilan yang disampaikan secara elektronik merupakan panggilan yang sah dan
patut, sepanjang panggilan tersebut terkirim ke Domisili Elektronik dalam tenggang
waktu yang ditentukan undang-undang.

Meskipun demikian, e-Court juga membawa konsekuensi tersendiri terhadap

perubahan cara pemanggilan.67 Dalam e-Court terdapat E-Summons, yakni panggilan

pihak secara online atau panggilan elektronik yang bertujuan agar proses pelayanan

administrasi perkara di pengadilan yang lebih efektif dan efisien sesuai asas

sederhana, cepat dan biaya ringan. Panggilan e-Summons dapat dikirim ke Domisili

Elektronik tanpa harus bertemu secara tatap muka dengan para pihak sehingga

menghemat waktu dan biaya. Selain itu, e-Summons juga dapat mencegah pungutan

liar dan korupsi karena intensitas para pencari keadilan untuk bertemu aparat

67
Moh. Rizal, wawancara tanggal 21 Februari 2019.
130

pengadilan berkurang sehingga diharapkan integritas pengadilan dapat menjadi lebih

baik lagi.68

E-Summons atau panggilan menghadiri persidangan secara eletronik dihasilkan

oleh aplikasi e-Court setelah data persidangan dari Sistem Informasi Penelusuran

Perkara (SIPP) didapatkan. e-Court sendiri pada dasarnya merupakan pengembangan

inovasi layanan perkara milik Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang didalamnya

masyarakat bisa melakukan pendaftaran dan pembayaran SKUM secara langsung

melalui Virtual Account (VA). Inovasi ini mencontoh dari Commonwealth Courts

Portal yang berasal dari Religious Court Australia.69

Kehadiran e-Summons merupakan inovasi dalam rangka reformasi hukum

acara yang memanfaatkan teknologi informasi. Dengan pemanfaatan teknologi

informasi ini, isu-isu yang timbul dalam penyampaian relaas secara langsung dapat

terpecahkan. Melalui e-Summons, Jurusita/Jurusita Pengganti dapat menyampaikan

panggilan tanpa memakan banyak waktu. Biaya panjar perkara pun dapat ditekan

bahkan hingga nol rupiah dengan mengimplementasikan e-Summons. Selain itu, e-

Summons juga menyampaikan panggilan secara langsung kepada pihak yang

berperkara tanpa perantara orang lain. Dengan berbagai kemudahan yang

ditawarkan e-Summons, pelayanan pengadilan pun dari waktu ke waktu akan

meningkat.

68
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara Di
Pengadilan Secara Elektronik.
69
Jaenal Aripin, Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013), 266.
131

Pengiriman E-Summons dilakukan ke domisili elektronik para pihak, yaitu

alamat surat elektronik (e-mail) dan/atau nomor telepon seluler yang telah

terverifikasi. Penggugat/Pemohon/Kuasa yang melakukan pendaftaran melalui

aplikasi E-Court dianggap telah memberikan persetujuan untuk menggunakan e-

Summons pada saat memberikan e-mail yang tervalidasi. Berbeda halnya dengan

Tergugat/Termohon/Kuasa yang panggilan pertamanya dilakukan secara manual

terlebih dahulu. Selanjutnya, pada hari pertama sidang, Hakim akan menawarkan

kepada Tergugat untuk beracara secara elektronik, termasuk dengan e-Summons.

Apabila Tergugat setuju untuk beracara secara elektronik dan menggunakan

Domisili Elektronik, maka Tergugat akan diminta untuk mengisi formulir

persetujuan. Dalam jangka waktu 2x24 jam setelah selesainya sidang,

Tergugat akan menerima notifikasi bahwa domisili elektroniknya telah terdaftar.

Kemudian Tergugat diminta untuk mengubah nama pengguna dan kata kunci pada

saat melakukan Login pertama pada aplikasi E-court.70

Hanya saja, masalahnya, Tergugat dalam perkara gaib belum tentu datang pada

sidang pertama. Sehingga kalaupun dilaksanakan e-Summons, maka pelaksanaannya

hanya satu pihak, yakni pada Penggugat. Panggilan terhadap Tergugat yang gaib

dalam e-Summons tetap dilakukan melalui surat kabar atau media massa dilakukan

sebanyak 2 (dua) kali panggilan dengan jarak waktu antara panggilan pertama dan

kedua selama 1 (satu) bulan dan tenggang waktu antar panggilan terakhir dengan

persidangan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.

70
Moh. Rizal, wawancara tanggal 21 Februari 2019.
132

Terkait dengan pelaksanaan e-Summons, sejauh ini baru terdapat 5 pasal dalam

PerMA No. 3 Tahun 2018 tentang Pedoman Administrasi Perkara di Pengadilan

secara Elektronik yang mengatur masalah E-Summons yakni pasal 11-15. Kelima

pasal tersebut belumlah memadai untuk mengakomodir pelaksanaan proses panggilan

yang lebih efektif dan efisien secara elektronik. Apalagi jika panggilan yang

dimaksud adalah panggilan gaib, dimana alamat pihak yang digugat belum diketahui.

Oleh sebab itu, panggilan gaib dalam e-Summons masih dilaksanakan

sebagaimana ketentuan yang ada dalam panggilan perkara biasa. Artinya, dalam

perkara gaib e-Courtkemungkinan panggilan masih dilakukan secara biasa (bukan e-

summons). Hal ini dikarenakan dalam panggilan gaib, Tergugat tidak hadir dan

panggilan pertama Penggugat dilaksanakan secara biasa. Sehingga, dalam e-

Courtperkara gaib, yang membedakannya dengan perkara biasa adalah pada tahapan

pendaftaran (e-filling) dan pembayaran biaya panjar (e-SKUM) saja. Sedangkan

untuk pemanggilan masih secara biasa.

Pemanggilan elektronik (e-summons) atau biasa juga disebut e-Pgl sangat

meringkas proses dan menghemat biaya, karena pemanggilan bisa dilakukan

langsung ke domisili elektronik termasuk meniadakan kebutuhan prosedur delegasi

dalam hal para pihak ada bertempat tinggal di wilayah yang berbeda. Hal ini

memungkinkan biaya panggilan ditekan seminimal mungkin sampai nol

rupiah. Khusus untuk e-summons, sesuai Perma No. 3 Tahun 2018, prosedur ini

hanya bisa ditempuh apabila para pihak menyetujui untuk dilakukan panggilan secara
133

elektronik, untuk mengantisipasi kesenjangan yang mungkin terjadi dalam masa awal

pengenalan aplikasi ini.71

Kedepannya sistem e-Court sudah diarahkan ke penggunaan yang lebih luas,

yaitu implementasi litigasi elektronik, mengingat Pasal 5 Perma No. 3 Tahun 2018

telah mencantumkan juga jenis dokumen yang bisa dikirim secara elektronik

meliputi jawaban, replik, duplik, dan kesimpulan. Hanya saja implementasi

sepenuhnya menunggu pengaturan teknis dari Mahkamah Agung.

Adapun praktek yang dilaksanakan oleh Jurusita Pengadilan Agama Palu

Kelas I A dalam pemanggilan para pihak melalui e-Courta dalah sebagai berikut :72

1. Aplikasi e-Court digunakan untuk menyampaikan relaas panggilan kepada para

pihak berperkara secara elektronik.

2. Aplikasi e-Court digunakan untuk menyampaikan pemberitahuan putusan kepada

para pihak yang tidak hadir pada saat pengucapan putusan secara elektronik.

3. Panggilan disampaikan secara elektronik kepada :

a. Pengguna Terdaftar yang telah melakukan pendaftaran perkara secara

elektronik.

b. Kuasa hukum tergugat yang telah menyatakan persetujuannya secara tertulis

untuk dipanggil secara elektronik di persidangan.

4. Panggilan pertama untuk tergugat dilaksanakan dengan menggunakan prosedur

biasa.

71
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara Di
Pengadilan Secara Elektronik.
72
Kamaruddin, wawancara tanggal 21 Februari 2019.
134

5. Panggilan selanjutnya untuk tergugat dapat dilaksanakan secara elektronik melalui

domisili elektronik tergugat yang telah terdaftar dengan ketentuan:

a. Tergugat hadir pada sidang pertama;

b. Tergugat telah mengisi formulir persetujuan berperkara secara elektronik dan

menggunakan domisili elektronik melalui aplikasi e-Court;

c. Tergugat mendapatkan notifikasi bahwa domisili elektroniknya telah terdaftar

dalam waktu 2x24 jam sejak selesainya sidang;

d. Tergugat harus mengubah kata kunci (password) akun pengguna terdaftar

setelah login pertama;

e. Tergugat menyerahkan surat persetujuan prinsipal untuk berperkara secara

elektronik.

6. Pada hari sidang pertama, pengguna terdaftar harus menyerahkan surat-surat asli

berupa surat kuasa, surat gugatan dan surat persetujuan prinsipal untuk beracara

secara elektronik.

7. Pada hari sidang pertama, hakim menawarkan kepada Tergugat untuk beracara

secara elektronik.

Atas perintah Ketua majelis Hakim, Jurusita mengirimkan relaas panggilan

kepada para pihak melalui aplikasi e-Court dengan tahapan sebagai berikut:

a) Melakukan Login pada Aplikasi e-Courtsesuai dengan nama pengguna dan kata

kunci yang diberikan oleh Administrator SIPP;

b) Memeriksa jadwal sidang sebelum melakukan konfirmasi pengiriman e-Pgl;


135

c) Mengunggah relaas panggilan yang telah di isi berita acara pemanggilan serta

telah di tandatangani dan di bubuhi cap dinas ke dalam aplikasi e-Court;

d) Mengirimkan e-Pgl kepada para pihak melalui domisili elektronik.

Atas perintah Ketua Majelis Hakim, Jurusita/Jusurita Pengganti mengirimkan

pemberitahuan Putusan/Penetapan kepada para pihak melalui aplikasi e-Courtdengan

tahapan sebagai berikut:

a) melakukan Login pada Aplikasi e-Court sesuai dengan nama pengguna dan kata

kunci yang diberikan oleh Administrator SIPP;

b) meneliti kehadiran para pihak pada saat pembacaan Putusan/Penetapan dan amar

putusan sebelum melakukan konfirmasi pengiriman e-Pbt;

c) mengunggah relaas pemberitahuan yang telah di isi berita acara pemberitahuan

serta di tandangani dan di bubuhi cap dinas ke dalam aplikasi e-Court;

d) mengirimkan e-Pbt kepada para pihak melalui domisili elektronik.

Dalam hal pihak yang dipanggil berdomisili di luar wilayah hukum

Pengadilan Agama Palu Kelas I A, panggilan kepadanya dapat dikirim secara

elektronik dan surat panggilan tersebut ditembuskan kepada pengadilan di wilayah

hukum tempat pihak tersebut berdomisili. Pengadilan yang menerima tembusan surat

panggilan tersebut mencatat dalam daftar yang disiapkan untuk itu.

Apabila di lihat dari aturan pemanggilan secara e-Court dengan praktek yang

dilakukan oleh jurusita pada Pengadilan Agama Palu Kelas I A, menurut analisa

Penulis telah sesuai dengan regulasi yang ada. Yaitu panggilan dan pemberitahuan

putusan atau penetapan yang disampaikan secara elektronik pada hari dan jam kerja
136

merupakan panggilan atau pemberitahuan yang sah dan patut, sepanjang panggilan

atau pemberitahuan tersebut terkirim ke domisili elektronik dalam tenggang waktu

yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Jika merujuk kepada teori efektivitas, maka pemanggilan melalui e-Court

yang dilaksanakan oleh jurusita pada Pengadilan Agama Palu Kelas I A telah berjalan

secara efektif karena cara pemanggilan para pihak telah menggunakan aplikasi e-

Court dan hal ini telah sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun

2018 tentang Pemanggilan Secara Elektronik.

2. Peran Jurusita Pengadilan Agama Palu Kelas I A

Kedudukan jurusita dalam struktur organisasi peradilan agama sangat jelas,

bahwa kedudukan jurusita memiliki koordinasi dengan Panitera, dimana kedudukan

tugasnya membantu Panitera. Sebagaimana tersebut dalam pasal 26 ayat (2) UU No.

50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama yaitu dalam melaksanakan tugasnya

Panitera Pengadilan Agama dibantu oleh beberapa orang panitera muda, beberapa

orang panitera pengganti dan beberapa orang jurusita.73

Kemudian secara lebih spesifik, jurusita memiliki tugas-tugas yang lebih rinci,

karena jurusita pada pelaksanaan tugasnya lebih menitikberatkan pada bidang teknis,

yaitu meliputi :74

1) bertanggung jawab atas sah dan patut tugas kejurusitaan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku.

73
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah syari’ah, 126.
74
Ibid., 126-127.
137

2) berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam tugas jurusita secara vertikal

dan horizontal.

3) melaksanakan surat perintah ketua pengadilan melaksanakan penyitaan

terhadap objek sengketa tertentu dalam perkara.

4) bertanggung jawab terhadap misi dan visi serta integritas citra pengadilan yang

terkait dengan pelaksanaan tugas kejurusitaan.

5) meneliti instrument dan PHS yang diterima terutama hari dan tanggal sidang

serta alamat para pihak yang akan dihubungi.

6) mempersiapkan blanko-balanko dan surat kejurusitaan yang akan disampaikan

kepada pihak yang berkepentingan.

7) mengetik surat yang akan disampaikan kepada pihak yang bersangkutan.

8) menyampaikan surat-surat kejurusitaan kepada alamat yang bersangkutan.

9) dalam menyampaikan surat pemanggilan dengan memperhatikan alokasi waktu

sidang agar klasifikasi surat menjadi patut.

10) mengupayakan penyampaian surat kejurusitaan agar benar-benar diterima oleh

pihak yang berhak atau yang berwenang sehingga klasifikasi surat menjadi sah.

11) berusaha menyampaikan surat kejurusitaan pada saat waktu dan tempat yang

tepat agar berhasil guna dan berdaya guna.

12) membuat dan menandatangani berita acara penyitaan

13) menyerahkan salinan resmi berita acara penyitaan kepada pihak yang

berkepentingan.
138

14) menyerahkan surat-surat yang telah menjadi akta autentik kepada pihak yang

berkepentingan.

15) menyampaikan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan tentang

situasi di lapangan.

16) memeberikan informasi kepada pihak terkait untuk kelancaran pelaksanaan

tugas.75

Hal ini sesuai dengan hasil wawancara penulis dengan Solman Abidin, jurusita

senior pada Pengadilan Agama Palu Kelas I A yang mengatakan bahwa :

“selain tugas yang telah disebutkan oleh aturan yang berlaku, jurusita sangat
berperan penting dalam proses persidangan, bahkan tugas jurusita bukan hanya
bertugas di lapangan tetapi juga bertugas menjaga sidang pada hari-hari tertentu
sesuai jadwal jaga sidang yang telah ditetapkan oleh pimpinan. Mengapa
jurusita diberikan tugas menjaga sidang? ya pertama, petugas jaga sidang atau
pihak keamanan tidak ada, kedua, karena yang memanggil pihak-pihak yang
berperkara pada hari itu adalah jurusita yang bertugas jaga sidang pada hari itu,
tentu ini sangat membantu majelis hakim, karena jurusita yang lebih
mengetahui situasi di lapangan, makanya sebelum sidang dimulai, jurusita
menyampaikan informasi kepada majelis hakim tentang watak dan tingkah laku
pihak yang berperkara seperti pihak tergugat pada saat di panggil oleh jurusita
di kediamannya marah-marah atau emosi, atau pihak tergugat mengancam
pihak pengadilan jika nantinya dia hadir di persidangan, ketiga jurusita juga
bertugas sebagai juru sumpah jika persidangan dalam tahap pembuktian atau
pemeriksaan saksi-saksi”.76

Jurusita atau Jurusita Pengganti dalam konteks kelembagaan bertanggung

jawab kepada Ketua Pengadilan di mana secara administratif bertanggung jawab

kepada Panitera. Perluasan pengertian dalam Pasal 103 jo. Pasal 10, 13, 16

KMA/004/SK/II/92 disebutkan bahwa jurusita bertugas melaksanakan semua

75
Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 59.
76
Solman Abidin, wawancara pada tanggal 20 Februari 2019.
139

perintah yang di berikan oleh ketua sidang, tentu ini tidak terkecuali perintah ketua

pengadilan dan perintah panitera. Maka berbagai tugas tambahan yang diberikan

kepada jurusita harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sebagaimana yang

disampaikan oleh Mujiyono bahwa :

“Jurusita juga melaksanakan sebagian tugas admistrasi di dalam kantor, bahkan


jurusita yang ada semuanya diberikan tugas tambahan sesuai job description
masing-masing, contohnya ada jurusita pengganti yang di perbantukan dibagian
kesekretariatan seperti sebagai pembuat daftar gaji, jurusita sebagai operator IT
dan operator aplikasi lainnya, dibagian kepaniteraan juga sebagai jurusita
pengganti sekaligus merangkap sebagai petugas meja satu, meja dua dan meja
informasi dan pengaduan, ada yang bertugas sebagai penulis register buku
induk perkara, ada juga yang di bagian arsip perkara dan menjahit berkas.
Semua tugas itu hanya tugas tambahan di samping tugas pokok sebagai
jurusita/jurusita pengganti”.77

Jadi jika melihat dari beberapa uraian diatas menurut analisa penulis, bahwa

Jurusita pada Pengadilan Agama Palu Kelas I A sangat berperan penting sebagai

bagian dari pelaksana tugas pengadilan dalam memeriksa dan mengadili perkara

perdata. Jurusita berperan di dalam dan di luar persidangan, mulai dari awal proses

penerimaan perkara hingga putusan. Bahkan selain dari tugas pokoknya juga

mendapatakan tugas tambahan untuk membantu jalannya administrasi pengadilan.

C. Hambatan/Kendala Jurusita Pengadilan Agama Palu Kelas I A

Jurusita dalam melaksanakan tugasnya, terutama dalam hal pemanggilan pihak-

pihak berperkara di Pengadilan Agama Palu Kelas I A harus sesuai dengan peraturan

dan perundang-undangan yang berlaku. Tentu tidak semudah yang dibayangkan,

sesuai undang-undang tetapi banyak hambatan dan kendala yang menghambat tugas

77
Mujiyono, wawancara pada tanggal 20 Februari 2019.
140

jurusita, hambatan tersebut juga menghambat jalannya proses pemanggilan para

pihak yang berperkara.78

Sedangkan hambatan-hambatan atau kendala tersebut yang dapat terungkap

oleh penulis meliputi beberapa faktor, yaitu:

C.1. Sumber Daya Manusia (SDM)

Dalam Surah al-‘Alaq ayat 1-5 Allah telah berfirman :

◼◆  ⧫


⧫◼  ⧫◼ 
 ◼⧫  
⧫ ◆◆ ⧫
◼⬧ ⧫  
⬧ ⧫  ⧫ 
 ⬧➔⧫
Terjemahnya :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang
Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.79

Dalam tafsirnya, Allah memerintahkan manusia membaca (mempelajari,

meneliti dan sebagainya) apa saja yang telah ia ciptakan, baik ayat-ayat-Nya yang

tersurat yaitu Alquran dan yang tersirat yaitu alam semesta. Kemudian pada ayat 4-5

Allah menjelaskan bahwa di antara bentuk kepemurahan Allah adalah ia mengajari

manusia mampu menggunakan alat tulis. Mengajari diartikan sebagai memberi

manusia kemampuan untuk menggunakannya. Dengan kemampuan mengguanakan

78
Solman Abidin, wawancara pra penelitian, tanggal 14 Januari 2019.
79
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid 10 (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012). 719.
141

alat tulis itu, manusia bisa menuliskan temuannya sehingga dapat dibaca oleh orang

lain dan generasi berikutnya. Dengan dibaca oleh orang lain, maka ilmu itu dapat

dikembangkan.80

Berbagai hambatan/kendala yang di hadapi oleh Jurusita Pengadilan Agama Palu

Kelas I A dalam bidang SDM diantanya :

1. Minimnya pemahaman masyarakat pencari keadilan terhadap hukum pada

umumnnya dan prosedur pemanggilan pada khususnya.

Dari wawancara penulis dengan salah satu jurusita, bahwa ketika jurusita dari

pengadilan agama datang kepada pihak yang dipanggil dengan membawa surat

panggilan untuk menghadiri sidang, karena yang bersangkutan telah digugat oleh

isterinya. Pihak yang dipanggil kemudian marah-marah, dia beranggapan bahwa

petugas pengadilan tersebut telah membantu atau berpihak pada isterinya yang

menggugat pihak suami yang dipanggil tersebut.81

Hal yang sama dikatakan oleh Abdul Khair, pihak yang dipanggil untuk

menghadiri sidang dalam hal ini suami sebagai tergugat sering salah paham dengan

jurusita yang bertugas mengantarkan relaas panggilan, bahkan pihak yang dipanggil

ini tidak jarang memaki-maki dan menantang berkelahi.82 Dan ada juga pihak yang

menerima surat panggilan tidak mau menandatangani tanda terima dari relaas

tersebut, padahal yang bersangkutan adalah pihak yang dipanggil.83 Persoalan di

tandatangani atau tidak, bukanlah menjadi masalah serius, karena majelis hakim
80
Ibid, 720-721.
81
Solman Abidin, wawancara tanggal 11 Februari 2019.
82
Abdul Khair, wawancara tanggal 15 Februari 2019.
83
Abdul Khair, wawancara tanggal 20 Februari 2019.
142

hanya melihat dari berita acara pemanggilan yang tertera dalam relaas yang

dilaksanakan oleh jurusita.

2. Kurangnya koordinasi dengan instansi lain (seperti kelurahan dan walikota)

Kurangnya kesadaran dari aparat kelurahan tentang prosedur pemanggilan dan

dari pihak kelurahan ada perasaan bahwa kelurahan dan khususnya mereka bukanlah

bawahan dari pengadilan Agama Palu Kelas I A, sehingga mereka enggan bila

diminta untuk menyampaikan surat panggilan tersebut kepada warganya, ditambah

bahwa di kota Palu khususnya, pejabat kelurahan sering berganti-ganti yang

menjabat. Hal ini menyebabkan lurah tidak mengetahui secara pasti domisili

warganya yang mendapat surat panggilan.84

Kurangnya jumlah personil dari kelurahan yang menjadi alasan dari pihak

kelurahan, sehingga mereka enggan untuk membantu pelaksanaan pemanggilan pihak

yang dipanggil oleh Pengadilan Agama Palu Kelas I A, dan juga sikap acuh tak acuh

dari aparat kelurahan atau lurah dan aparat kelurahan tidak ada atau sedang sibuk.85

Sama halnya dengan walikota, jika jurusita menyampaikan pemberitahuan isi

putusan perkara gaib, terkadang pejabat walikota di bagian hukum dan perundang-

undangan kadang tidak berada di tempat, sehingga jurusita harus bolak-balik untuk

mendapatkan tandatangan pejabat walikota tersebut.86 Oleh karena itu Pengadilan

Agama Palu Kelas I A harus membangun koordinasi dengan pemerintah Walikota

Palu demi kelancaran tugas-tugas yang di emban oleh jurusita.

84
Mujiyono, wawancara tanggal 11 Februari 2019.
85
Musakip, wawancara tanggal 13 Februari 2019.
86
Mujiyono, wawancara tanggal 11 Februari 2019.
143

3. Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur pengadilan

Sumber Daya Manusia (SDM) keberadaanya memiliki posisi yang penting

dan strategis dalam suatu organisasi, karena Sumber Daya Manusia menunjang

organisasi melalui karya, bakat, kreativitas, serta peran nyata seperti yang dapat

disaksikan dalam setiap organisasi. Tanpa adanya unsur manusia dalam organisasi,

tidak mungkin organisasi tersebut dapat bergerak dan berjalan seperti yang

diinginkan.

Untuk memperoleh bobot kualitas pelayanan, transparansi menjadi kewajiban

yang melekat pada setiap aparat pengadilan. Hal ini tentu harus di imbangi dengan

peningkatan SDM yang berkualitas sehingga kinerja dapat lebih optimal dan prima.

Sebagaimana dengan wawancara penulis dengan Ketua Pengadilan Agama

Palu Kelas I A, Drs. Khalis, MH, mengatakan bahwa :

“Pengadilan Agama Palu sampai saat ini tidak memiliki staf di tiap bagian,
yang menjadi staf disana hanya honorer dan tenaga sukarela, jadi harus betul-
betul memanfaatkan SDM yang ada. ini juga karena selama ini tidak ada
penerimaan pegawai di bidang administrasi. Sementara jurusita atau JSP yang
ada kita berdayakan semua untuk membantu dibagian administrasi, baik itu
dibagian kesekretariatan maupun bagian kepaniteraan. tentu saja ini
berpengaruh kepada tugas pokok pengadilan, tapi ya.. mau di apa, makanya
dalam setiap kesempatan pimpinan selalu melakukan pembinaan kepada
seluruh aparatur pengadilan dan mengadakan Diklat Di Tempat Kerja
(DDTK) untuk memaksimalkan tugas pokok dan fungsi aparatur. Khusus
untuk jurusita harus meningkatkan integritas dan mempedomani kode etik
panitera dan jurusita, karena mereka ujung tombak di lapangan. Jurusita dalam
memanggil harus selalu menggunakan pakaian dinas, harus menguasai ilmu
komunikasi, sopan dan ramah demi menumbuhkan kepercayaan masyarakat
kepada lembaga peradilan”.87

87
Drs. Khalis, MH., wawancara tanggal 27 Februari 2019.
144

Walaupun keterbatasan aparatur pada Pengadilan Agama Palu Kelas I A

khususnya staf untuk membantu bagian administrasi di tiap bagian, tentunya tidaklah

menjadi masalah serius, karena selalu ada solusi untuk mengatasi hal tersebut. Ini

jelas terlihat dari peran jurusita maupun jurusita pengganti yang disamping tugas

pokoknya diperbantukan juga untuk melaksanakan jalannya administrasi pengadilan.

Disamping tidak mengganggu tugas pokok, jurusita rutin mengikuti DDTK

untuk memaksimalkan tugas pokok dan fungsi aparatur pengadilan, dan memiliki

integritas sehingga segala tindakan yang ditempuh tetap berpedoman pada Kode Etik

Panitera dan Jurusita. Dalam hal melaksanakan setiap pemanggilan, jurusita

diwajibkan menjunjung tinggi etika profesi yaitu sikap hidup berupa keadilan untuk

memberikan pelayanan profesional terhadap masyarakat dengan penuh ketertiban dan

keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban

terhadap masyarakat.88

Jika melihat penjelasan diatas, maka menurut penulis, Jurusita Pengadilan

Agama Palu Kelas I A dalam menjalankan tugasnya harus menjunjung tinggi norma

yang berlaku di masyarakat dengan sikap ramah dan perilaku sopan santun dan yang

paling penting adalah jurusita harus menguasai ilmu komunikasi untuk meyakinkan

para pihak yang di panggil demi menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap

lemabaga peradilan.

88
Suhrawardi Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), 6-7.
145

C.2. Geografis (Alam/Lingkungan)

Ada beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang berbicara tentang alam atau

lingkungan seperti dalam Q.S. Al-Hijr (15) : 19-20 yaitu :

⧫⧫ ◆◆
◆◆  ◆⬧◆
   ◆◆◆
 ❑ 
 ⬧ ◆➔◆
⬧  ⧫◆ ➔⧫
 ⧫✓⧫
Terjemahnya:
“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-
gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan
Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan
(kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan
pemberi rezki kepadanya”.89

Dan dalam Q.S. Al-Mulk (67) : 15 yaitu :

⬧ ➔  ◆❑➔


 ❑→⬧ ❑⬧ ◆
 ❑➔◆ ◆⧫
⬧◆  
❑→
Terjemahnya:
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di
segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya
kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”.90

Dalam tafsir jalalayn menerangkan (Dialah yang menjadikan bumi itu mudah

bagi kalian) mudah untuk dipakai berjalan di atas permukaannya (maka berjalanlah di

segala penjurunya) pada semua arahnya (dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya)

89
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Surabaya: Lintas Media,2002), 355-
356.
90
Ibid, 823.
146

yang sengaja diciptakan buat kalian. (Dan hanya kepada-Nyalah kalian dibangkitkan)

dari kubur untuk mendapatkan pembalasan.

Akan tetapi, lingkungan hidup sebagai sumber daya mempunyai regenerasi

dan asimilasi yang terbatas. Selama eksploitasi atau penggunaannya di bawah batas

daya regenerasi atau asimilasi, maka sumber daya terbaharui dapat digunakan secara

lestari. Akan tetapi apabila batas itu dilampaui, sumber daya akan mengalami

kerusakan dan fungsinya sebagai faktor produksi dan konsumsi atau sarana pelayanan

akan mengalami gangguan.91

Hal ini sesuai dengan pengertian lingkungan hidup, yaitu sistem yang

merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup

termasuk manusia dan perilakunya yang menentukan perikehidupan serta

kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya.92 Atau bisa juga dikatakan

sebagai suatu sistem kehidupan dimana terdapat campur tangan manusia terhadap

tatanan ekosistem.

Lingkungan dan alam adalah faktor penghambat yang sangat dominan karena

lingkungan dan alam ini sebagai akibat interaksi manusia dan alam, penghambat yang

datang dari lingkungan berupa petugas Pengadilan Agama Palu Kelas I A bekerja

(melaksanakan pemanggilan) pada jam-jam kerja, sedangkan pada jam kerja yaitu

91
Otto Soemarwoto. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. (Jakarta: Djambatan,
1997). 59.
92
Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup
147

antara pukul 08.00 sampai 16.30 Wita, pada umumnya orang-orang yang menduduki

suatu tempat (daerah) juga bekerja.93

Hal yang sama juga penulis lihat saat ikut melaksanakan pemanggilan, para

pihak berperkara dikelurahan Balaroa dan Kelurahan Petobo, alamat yang tertera di

surat gugatan/permohonan tidak sesuai dengan tempat kediaman sebenarnya. Hal ini

disebabkan karena pada tanggal 28 September 2018 yang lalu Kota Palu, Sigi dan

Donggala dilanda bencana alam gempa bumi, tsunami dan likuifaksi sehingga banyak

warga yang mengungsi ke rumah sanak saudara tak terkecuali para pihak yang sudah

mendaftarkan perkaranya di Pengadilan Agama Palu Kelas I A.94

Sedangkan untuk wilayah tertentu seperti Kelurahan Poboya, Pantoloan Boya

dan Dusun Sampaga di Kelurahan Lambara berupa wilayah perbukitan dan

pegunungan yang bila ada hujan mengakibatkan jalan-jalan licin untuk daerah yang

terpencil yang belum ada pengerasan jalan. Hal ini tentu menyulitkan jurusita dalam

melaksanakan tugas pemanggilan di daerah tersebut.

C.3. Sarana dan Prasarana

Al Qur’an telah menjelaskan tentang sarana dan prasarana seperti yang

termaktub dalam Q.S. Al Israa (17) : 84 sebagai berikut :

◼⧫ ☺➔⧫ → ➔


◼ ⧫⬧ ◼
   ◆❑➔ ☺
Terjemahnya:

93
Solman Abidin, wawancara tanggal 11 Februari 2019.
94
Solman Abidin, Observasi dan partisipasi serta wawancara tanggal 11 Februari 2019.
148

“ Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-


masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar
jalanNya”. 95

Menurut tafsir Jalalayn (Katakanlah, "Tiap-tiap orang) di antara kami dan

kalian (berbuat menurut keadaannya masing-masing) yakni menurut caranya sendiri-

sendiri (Maka Rabb kalian lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya") maka

Dia akan memberi pahala kepada orang yang lebih benar jalannya.96

Ayat diatas mengatakan bahwa setiap orang yang melakukan suatu perbuatan,

mereka akan melakukan sesuai keadaannya masing-masing, (keadaan yang

dimaksud disini ialah tabiat dan pengaruh alam sekitarnya). Hal ini menjelaskan

bahwa dalam melakukan suatu perbuatan memerlukan media (sarana dan prasarana)

agar hal yang dimaksud dapat tercapai. Dalam dunia peradilan, aparatur peradilan

dalam melaksanakan tugasnya dituntut menggunakan sarana dan prasarana untuk

memudahkan pekerjaannya.

Pengadilan Agama Palu Kelas I A merupakan institusi badan peradilan

dibawah lingkungan Mahkamah Agung RI yang tupoksinya sebagai pelayan

masyarakat pencari keadilan tentunya harus didukung dengan adanya sarana

dan prasarana yang memadai. Hal ini terlihat dari seluruh rangkaian proses

kerja yang ada sekitar 75 % pekerjaan telah menggunakan aplikasi yang

95
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Surabaya: Lintas Media,2002), 396.
96
Nurtuah Tanjung, Tafsir Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Manajemen Sarana dan Prasarana
(Sabilarrasyad Volume II Nomor 01 Januari-Juni 2017). 161.
149

tentunya ini berkaitan langsung dengan jaringan teknologi informasi dan sarana

pendukung lainnya. 97

Program aplikasi juga merupakan perangkat lunak (software) yang

mempunyai fungsi khusus sesuai dengan tujuan pembuatannya. Program aplikasi

merupakan software yang banyak digunakan untuk membantu menyelesaikan tugas

tertentu seperti aplikasi SIPP dan turunannya, aplikasi arsip, aplikasi pengaduan,

aplikasi meja informasi dan lain-lain. Aplikasi yang digunakan berupa aplikasi yang

sifatnya local host dan ada pula aplikasi yang online yang terintegrasi dengan instansi

pusat dan instansi lain serta dapat di lihat dan di akses oleh masyarakat luas.

Salah satu hambatan jurusita terkait dengan sarana dan prasarana

sebagaimana di jelaskan oleh Mujiyono bahwa :

“Hambatan jurusita pada umumnya dalam pemanggilan, tidaklah menjadi


masalah serius, karena semuanya bisa teratasi dengan baik, faktor sarana dan
prasarana seperti kendaraan untuk memanggil, semua jurusita memiliki
kendaraan pribadi, laptop atau komputer semua ada, hanya saja untuk
pemanggilan melalui piranti elektronik kadang terkendala masalah jaringan
dan perangkat pendukungnya, tapi itu juga bisa diatasi dengan baik berkat
kerjasama dengan bagian IT”.98

Terlaksananya tupoksi suatu institusi sangat tergantung pada

terpenuhinya sarana dan prasarana, karena tanpa adanya sarana dan prasarana

yang memadai, sangatlah tidak mungkin akan terwujud pencapaian tugas dengan

baik. Teknologi informasi hanya dapat beroperasi dengan baik jika ditunjang

oleh perangkat keras (hardware) berupa PC Unit, Laptop, Server, Wireless, Wireless

97
Moh, Rizal, wawancara tanggal 20 Februari 2019.
98
Mujiyono, wawancara tanggal 11 Februari 2019.
150

Access Point, Televisi, LAN dan sebagainya serta perangkat lunak (software) yang

memadai.

Pada umumnya sarana dan prasarana telah tersedia dan berjalan sebagaimana

fungsinya. Jurusita dalam melaksanakan pemanggilan secara elektronik telah berjalan

dengan lancar berkat ketersediaan jaringan dan perangkat pendukung lainnya.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan dan tujuan dari

penelitian ini, maka peneliti membuat kesimpulan sebagai berikut :

1. Tinjauan yuridis terhadap tugas dan peran jurusita pada Pengadilan

Agama Palu Kelas I A yaitu, dalam menjalankan tugasnya, jurusita melakukan

pemanggilan, membuat berita acara panggilan (relaas). Dari berbagai Tugas

Jurusita dalam pemanggilan yang dimaksud yaitu :

a) Pemanggilan dalam wilayah yurisdiksi, panggilan disampaikan kepada pihak

yang berperkara dalam wilayah hukum Pengadilan Agama Palu Kelas I A, baik

langsung maupun tidak langsung kepada pribadi pihak berperkara ditempat

kediamannya.

b) Pemanggilan gaib, pemanggilan yang disampaikan melalui media massa yaitu

dengan cara diumumkan melalui siaran radio dengan tujuan agar tergugat atau

termohon dapat mendengarkan pengumuman tersebut.

c) Pemanggilan melalui e-court, pemanggilan yang disampaikan melalui aplikasi

elektronik ke alamat domisili elektronik yang berperkara.

Bahwa ada dua asas yang harus diperhatikan dalam melakukan

pemanggilan, agar panggilan dikatakan sah menurut hukum, yaitu harus resmi dan

patut. Panggilan dikatakan resmi apabila dilakukan oleh pejabat yang berwenang

dan sasaran atau obyek pemanggilan tepat menurut tata cara yang telah ditentukan

oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan suatu panggilan

150
151

dikatakan patut apabila dilakukan dengan memenuhi tenggang waktu yang patut,

yaitu tidak boleh kurang dari tiga hari sebelum acara persidangan dimulai dan

didalamnya tidak termasuk hari besar atau hari libur. Jurusita dalam proses

persidangan berperan sebagai bagian dari pelaksana tugas pengadilan dalam

memeriksa dan mengadili perkara.

2. Hambatan/Kendala yang dihadapi oleh Jurusita pada Pengadilan Agama

Palu Kelas I A antara lain: 1) Sumber Daya Manusia (SDM) baik itu SDM

aparatur pengadilan maupun masyarakat pencari keadilan, 2) Geografis

(lingkungan/alam) baik itu lingkungan kerja maupun keadaan wilayah yurisdiksi

Pengadilan Agama Palu Kelas I A, dan 3) Sarana dan Prasarana terutama jaringan

teknologi informasi dan sarana pendukung lainnya.

B. Implikasi Penelitian

1. Bagi Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Agama, khususnya di Pengadilan

Agama Palu Kelas I A harus mensosialisasikan peraturan perundang-undangan

dan tetap berkoordinasi dengan instansi terkait serta terus meningkatkan SDM

aparaturnya dengan berbagai pendidikan dan pelatihan terutama jurusita yang

yang notabene bersentuhan langsung dengan pihak berperkara hendaknya

dalam melaksanakan tugasnya harus bersikap profesional dan menjaga

integritas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku .

2. Dalam hal perbaikan hukum, penelitian ini berguna untuk melihat celah-celah

hukum yang harus di perbaiki dan diharapkan bisa memberi informasi kepada

masyarakat pada umumnya bagi kemajuan hukum acara perdata islam yang

berkaitan dengan pelaksanaan tugas kejurusitaan.


DAFTAR PUSTAKA

Al- Qur’anul Karim dan Al- Hadits.

Abdurrahman, Kewenangan Peradilan Agama di Bidang Ekonomi Syariah :


Tantangan Masa Akan Datang, Suara Uldilag, 2008.

Adi Seno, Yuda, Kewenangan Penyitaan Oleh Jurusita Pajak Dan Upaya
Penyelesaian Sengketa Pajak (Tinjauan Yuridis Normatif terhadap
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa), Jurnal Ilmu Hukum Mizan, Vol. 1 No. 2 Tahun 2012.

Afdol, Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006 dan


Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Airlangga University
Press, 2006.

Ali, Achmad, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta; Yarsif


Watampone, 1998.

Ali, Ahmad, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Vol. 1. Jakarta;
Kencana, 2010.

at-Thabari, Abu Jafar Muhammad bin Jarir, Tafsir at-Thabari, juz 5, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009.

al-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al- Islami Wa adillatuhu, Damaskus : Dar al Fikr,


2006

Aripin, Jaenal, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia,


Jakarta: Kencana, 2008.

, Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana,


2013.

Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Cet. I;


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2005.

Atmasasmita, Romli, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan


Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2001.

Asasriwarmi, Peradilan Agama Di Indonesia, Padang: Hayfa Press, 2008.

152
153

Abu Bakar bin Hasan Al-Kasynawi, Ashal Al-Madarik, Juz I, Beirut: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyah, t.th.

Bukhari al Imam, Sahih Al Bukhari bi Hashiyyat Al Imam Al Sindiy, Lebanon:


Dar al Kutub al Ilmiyyah, 2008.

Departemen Agama, Kompilasi Hukum Acara Islam, Direktur Pembinaan Badan


Peradilan Agama Islam, Jakarta, 1994/1995.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa


(Edisi keempat), Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012.

Djalil, Basiq, Peradilan Islam, Jakarta: Amzah, 2012.

Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analis Data, Jakarta: Rajawali Pers,


2010.

Domiri, Analisis Tentang Sistem Peradilan Agama di Indonesia, Jurnal Hukum


dan Pembangunan Tahun ke-47 No. 3, 2016.

Fauzan, Pokok Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah di
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.

Ibnu Hajar Al Asqalani, Bulughul Maram, Semarang: Thoha Putra, t.th.

Harahap, Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Sinar Grafika. 2004.

, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,


Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta, Sinar Grafika.
2005.

, Hukum Acara Perdata, Cet. VII, Jakarta, Sinar Grafika. 2008.

Hasan Bisri, Cik, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000.

Hasan, Iqbal, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya,


Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.

HIR (Herzien Inlandsch Reglement) dan R.Bg (Rechtreglement voor de


Buitengewesten).

Humam, Ibnu Al Hanafi, Fathul Qadir, Juz 6. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.t.th

Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al Mahali, Sarakh Minhajjuth Thalibin, Juz


III, Musthafa Al Babi Al Halabi. Cet. III, Mesir, 1953.
154

bin Ahmad Al Mahali, Sarakh Minhajjuth Thalibin, Juz


IV, Musthafa Al Babi Al Halabi. Cet. III, Mesir, 1956.

Kamus Al-Munawwir Edisi Indonesia Arab, https://qaamus.com/indonesia-


arab/juru+sita/1 (Di akses pada tanggal 30 April 2019).

Kasiram, Moh, Metodelogi Penelitian Kuantitatif-Kualitatif, Malang-UIN Malang


Press, 2008.

Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI, Kode Etik Panitera dan Jurusita, KMA
Nomor 122 Tahun 2013.

Lubis, Suhrawardi, Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1994.

Madkur, Muhammad Salam Peradilan Dalam Islam, Surabaya: Bina Ilmu, 1988.

Mahkamah Agung RI, Praktek Kejurusitaan Pengadilan, Jakarta, 2002.

, Praktek Kejurusitaan Pengadilan, Jakarta, 2004.

, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Pedoman


Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II, Edisi
Revisi, 2014.

Makarno, Moh. Taufik, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta:Rineka


Cipta, 2004.

Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan


Agama. Cet. III; Jakarta: Kecana, 2005.

Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah syari’ah, Edisi I
Cet. 2; Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

M. Marwan dan Jimmy P., Kamus Hukum, Surabaya: Reality Publisher, 2009.

Marzuki, Kartini Kartono, Metodologi Riset, Yogyakarta: UII Press, tt.

Mubarok, Jaih, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Pustaka Bani Quraisy,


2004.

Muhammad, Abi Isa, Sunan at-Turmuzi, cet ke-3 (Beirut: Dar al Fikr, t.t), II.

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Bandung: PT.


Remaja Rosdakarya, 2013.
155

Mujahidin, Ahmad, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, Cet. 1;


Bogor: Ghalia Indonesia, 2012.

Nasir, M, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Djambatan, 2003.

Nazir, M, Metode Penelitian Survei, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.

Nasution, S, Metode Research (Penelitian Ilmiah), Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara,
2004.

Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung: CV. Mandar
Maju, 2008.

Pengadilan Agama Palu Kelas I A, Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)


Tahun 2018.

Pengadilan Agama Palu Kelas I A, Laporan Tahunan Tahun 2018.

Pengadilan Agama Palu Kelas I A, “Sejarah Pengadilan Agama Palu”. Official


Website Pengadilan Agama Palu Kelas I A. http://pa-palu.go.id (Di akses
pada tanggal 9 Februari 2019).

Pengadilan Tinggi Agama Makassar, Pedoman Kerja Hakim, Panitera dan


Jurusita Sewilayah Pengadilan Tinggi Agama Makassar, 2011.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018, Administrasi Perkara Di


Pengadilan Secara Elektronik.

Qohar, Adnan, Peranan dan Tugas Jurusita Dalam Penyelesaian Suatu Perkara
Perdata, Makalah disampaikan pada Pelatihan Peningkatan Pengetahuan
Kinerja Jurusita/Jurusita Pengganti Pengadilan Agama Lamongan, 2006.

Rahman, Fachtur, Ilmu Mawaris, Bandung: Al-Ma’arif, 1981.

Rahman, Fachtur, Kumpulan hadis-hadis tentang Peradilan Agama, cet. ke-1


Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Rasyid, Chatib dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik
pada Peradilan Agama, Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2009.

Rasyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, Cet: XIV; Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010.

Ray Pratama Siadari, Teori Efektifitas Hukum,


http://www.academia.edu/9568999/Teori_Efektifitas_Hukum, (diakses
pada tanggal 10 Februari 2019)
156

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Republik Indonesia, Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-


ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan


Agama.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan


Agama.

Republik Indonesia, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan


Kehakiman, Surabaya: Karina, 2004.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan


Agama.

Rifqiyati, Dwi Ulya, Tinjauan Hukum Acara Peradilan Islam Terhadap Domisili
Tergugat/Termohon Berstatus Terpidana, Mahasiswi Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2013.

Sadiah, Dewi, Metode Penelitian Dakwah Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif,


Bandung: PT. Remaja Rosad Karya, 2015.

SEMA No. 2 Tahun 2014 Tentang Penyelesaian Perkara di Tingkat Pertama dan
Tingkat Banding Pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan.

Situmorang, Mosgan, Penyederhanaan Proses Peradilan, Pusat Penelitian dan


Pengembangan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI Tahun 2009.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, Lembaga


Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.

Ash Shiddieqy, TM. Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Bandung: PT. Al
Ma’arif, 1964.

Soemarwoto, Otto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta:


Djambatan, 1997.
157

Soebyakto, Tentang Kejurusitaan Dalam Praktek Peradilan Perdata, Jakarta:


Kencana, 1997.

Soekanto, Soerjono, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, Bandung: CV.


Ramadja Karya, 1988.

, Penegakan Hukum, Bandung: Bina Cipta, 1983.

, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan


Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.

, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI, 1986.

Subekti, Hukum Acara Perdata, Bandung: Binacipta, 1989.

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,


Bandung: Alfabeta, 2010.

Suratman, Dillah, Philips, Metode Penelitian Hukum, Cet. II; Bandung: Alfabeta,
2014.

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata


dalam Teori dan Praktek, Cet. Ke-9; Bandung: Mandar Maju, 2002.

Suwandi dan Basrowi, Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT. Rineka


Cipta, 2008.

Suyuti Musthofa, Wildan, Praktek Kejurusitaan Pengadilan, Mahkamah Agung


RI, 2002.

, Praktek Kejurusitaan Pengadilan, Edisi Revisi, Cet.


Ke-4. Mahkamah Agung RI, 2004.

Tanjung, Nurtuah, Tafsir Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Manajemen Sarana dan


Prasarana, Sabilarrasyad Volume II Nomor 01 Januari-Juni 2017.

Wahyudin, Nur, Analisis Terhadap Faktor Penghambat Tugas Jurusita dalam


Pemanggilan Pihak-pihak berperkara di Pengadilan Agama Semarang,
Mahasiswa Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo
Tahun 2004.

Warson, Ahmad Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia


Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.

Zuhriah, Erfaniah, Peradilan Agama Indonesia (Sejarah Pemikiran dan Realita),


Malang: UIN-Malang Press, 2009.
PEDOMAN WAWANCARA

TUGAS JURUSITA SECARA NORMATIF

1. Apa dasar hukum jurusita dalam melaksanakan tugasnya?

2. Apa saja tugas dan peran jurusita di Pengadilan Agama Palu Kelas I A?

3. Bagaimana prosedur pemanggilan para pihak yang dilaksanakan oleh jurusita?

4. Dalam hal pelaksanaan tugas jurusita, apakah prakteknya telah sesuai dengan

hukum yang berlaku di Indonesia?

5. Berapa jumlah jurusita yang bertugas di Pengadilan Agama Palu Kelas I A?

Dilihat dari jumlahnya apakah sudah sesuai dengan aturan yang berlaku?

HAMBATAN-HAMBATAN/KENDALA YANG DIHADAPI JURUSITA

1. Apakah jurusita dalam melaksanakan tugasnya mengalami hambatan/kendala?

2. Apa saja hambatan-hambatan/kendala yang dihadapai jurusita Pengadilan

Agama Palu Kelas I A dalam melaksanakan tugasnya?

3. Apakah ada solusi dalam menghadapi hambatan-hambatan/kendala tersebut?

4. Bagaimana solusi yang ditempuh oleh jurusita Pengadilan Agama Palu Kelas I

A dalam menghadapi hambatan-hambatan/kendala tersebut?

5. Apakah solusi itu bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia?

EFEKTIVITAS TUGAS JURUSITA

Bagaimana tingkat keefektifan tugas jurusita Pengadilan Agama Palu Kelas I A?


DOKUMENTASI

Sruktur Organisasi Pengadilan Agama Palu Kelas I A

Peta Yurisdiksi Pengadilan Agama Palu Kelas I A


Papan pengumuman pemanggilan gaib dan pengumuman isbat nikah

Wawancara dengan Drs. Khalis, MH., Ketua Pengadilan Agama Palu Kelas I A
Wawancara dengan Moh. Rizal, S.HI., MH, Panitera Muda Permohonan

Wawancara dengan Rahidah Said, S.Ag, Panitera Muda Hukum


Wawancara dengan Syuaib, SH, Kasubag Kepegawaian dan Ortala PA. Palu

Wawancara dengan Solman Abidin, S.HI, Jurusita PA. Palu


Wawancara dengan Nasruddin, ST. MM, Kasubag Perencanaan, IT dan Pelaporan

Wawancara dengan Mujiyono, SH, Jurusita Pengganti PA. Palu


RIWAYAT HIDUP

Nama : Hasanuddin
TTL : Caramming, 03 Juni 1984

Alamat : Jl. Intan BTN Baliase Blok P7 No. 18

Desa Baliase, Kecamatan Marawola,

Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Orang Tua : 1. Ayah : Abd. Rasyid

2. Ibu : Rosliah

Istri : Roskiani, SH

Anak : 1. Muhammad Nur Hidayat

2. Kaysha Aysha

Saudara : 1. Aminuddin, S.Sos (Adik)

2. Idil Akbar, S.Kom (Adik)

Riwayat Pendidikan :

1. Taman Kanak-Kanak (TK) Pertiwi Desa Caramming

2. Sekolah Dasar Negeri (SDN) 137 Caramming

3. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 3 Bontotiro

4. Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 1 Bontobahari

5. Universitas Muhammadiyah Palu

Anda mungkin juga menyukai