Ref Trauma Fix
Ref Trauma Fix
BAB 1
PENDAHULUAN
Gambar 4. Thoraks
Terdapat vasa intercostalis yang berjalan dibawah tepi costae dan terdapat nerveus
intercostalis yang bermakna dalam proses nyeri pada operasi torakotomi.
Otot
Muskulus skalenus anterior melekat di bagian anterior permukaan internal tulang-
rusuk I (tuberculum scaleni), dan merupakan pemisah antara pleksus brakhialis di
sebelah lateral dan a/v/n subklavia di sebelah medial dari otot tersebut. Ruang
interkostalis ada 11 (ruang interkostal 12 tidak ada) dan terisi oleh m. interkostalis
eksternus dan internus, setelah itu terdapat fascia transversalis, dan kemudian
pleura parietalis dan rongga pleura. Pada region toraks, otot/muskulus yang
penting:
1. M. latissimus dorsi, otot terbesar di daerah punggung; origo pada prosessus
spinosus vertebra torakal bawah dan vertebra lumbal atas, sakrum, dan krista
iliaka; insersi pada humerus atas. Berfungsi untuk adduksi, ekstensi, dan rotasi-
medial dari lengan atas.
2. M. serratus anterior, origo pada bagian anterolateral tulang-rusuk I-IX dan
berinsersi pada skapula. M.serratus anterior saling bersilangan dengan insersi otot
obliquus abdominis mayor di dinding abdomen. Otot serratus anterior di persarafi
oleh N. Torasikus longus dan berfungsi untuk merotasi skapula ke anterior dan
mengangkat tulang-rusuk.
3. M. teres mayor, yang normalnya tidak dipotong pada insisi toraks. M. teres
mayor berjalan dari skapula menuju humerus dan berfungsi untuk rotasi, ekstensi,
dan abduksi dari lengan atas.
4. M. trapezius sebagian menutupi m. teres mayor dan m. latissimus dorsi di
sebelah posterior. Sebuah celah segi tulang-rusuk di antara ke tulang-rusuk otot
ini dikenal sebagai triangulus auskultatorius, sebagai tempat untuk mengakses
secara langsung dinding dada.
5. M. serratus anterior, yang akan terlibat pada asungan anterior.
6. M. pektoralis mayor, ber-origo pada bagian medial klavikula, manubrium,
sternum, kartilago tulang-rusuk I-VI, dan pada aponeurosis obliquus abdominis
eksternus. Berinsersi pada tuberkulum mayor humerus, dipersarafi oleh N.
torasikus anterior, dan berfungsi untuk mengadduksi dan merotasi-medial dari
lengan.
7. M. pektoralis minor berorígo pada costochondral junction di tulang-rusuk-
tulang-rusuk atas dan berinsersi pada scapula, dipersarafi oleh N. torasikus
anterior dan berfungsi untuk merotasi skapula ke bawah dan/atau mengangkat
(elevasi) tulang-rusuk.
8. M. obliquus abdominis eksternus, merupakan batas bawah rongga toraks
diperkuat oleh otot, yang berorigo pada permukaan lateral dan anterior dari
tulang-rusuk V-XII dan berinsersi pada krista iliaka, ligamentum inguinalis, dan
permukaan anterior fascia recti abdominuis. M. obliquus dipersarafi oleh N.
torasikus inferior.
9. M. trapezius, pada bagian posterior dinding dada dan paraspinosus, berorigo
pada oksiput, menurun ke vertebra torakal dan ligamennya. Berinsersi pada
klavikula lateral, akromion, dan spina skapula, dipersarafi oleh nervus aksesorius,
dan fungsinya untuk merotasi skapula dan menggerakan kepala.
10. M. rhomboideus mayor dan minor, berorigo pada vertebra torakal 1-4 dan
vertebra servikal6 & 7 secara N. torasikus inferior. berurutan, dan berinsersi pada
margo medial skapula, di bawah, dan di atas spina. Keduanya dipersarafi oleh
nervus dorsalis dari skapula.
11. M. paraspinosus atau M. erektor spina terletak di sebelah dalam dari fascia
torakolumbalis, dan dipersarafi oleh cabang dorsal dari nervus torasikus dan
lumbal.
Trauma Thoraks
Mekanisme terjadinya trauma thoraks bisa karena trauma tumpul dan trauma
tajam. Trauma tumpul thoraks tersering dapat menyebabkan fraktur costa. Trauma
tumpul toraks adalah salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada kasus
emergency. Hanya 10 % trauma tumpul dan 15 % trauma tajam toraks yang
memerlukan pembedahan.
Airway Obstruction
Sering disebabkan karena trauma yang dapat menyembabkan
penyumbatan pada jalan nafas, edema, dan pendarahan. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan retraksi dari dinding dada, snoring, stridor, gurgling, dan teraba
krepitasi di leher bagian anterior. Pada primary survei kita dapat mengenali
terjadinya airway obstruction. Untuk tatalaksana dalah pembebasan jalan nafas,
bisa menggunakan suction, mengeluarkan benda-benda yang menyumbat jalan
nafas, atau memposisikan pasien dengan manuver jalan nafas, namun perlu
diperhatikan untuk adanya cedera cervical.
Pneumothoraks
Pneumothoraks merupakan cedera umum yang dapat diakibatkan oleh
benda tumpul dan tajam. Biasanya, pneumothoraks bukan merupakan kondisi
yang langsung mengancam, tetapi ada potensi untuk berkembang yang dapat
berevolusi menjadi ancaman jiwa.6
Berdasarkan etiologi, pneumothoraks dapat diklasifikasikan menjadi
spontan dan traumatis (Tabel 1). Pneumothoraks spontan diklasifikasikan lebih
lanjut menjadi primer dan sekunder. Pneumothoraks traumatis dapat terjadi akibat
trauma tumpul atau cedera tembus pada dinding thoraks. Pneumothoraks juga
dapat disebabkan oleh cedera iatrogenik.7
Tabel 1. Klasifikasi Pneumothoraks.7
Pneumothoraks dapat terjadi pada 7,4 hingga 18 per 100.000 pria setiap
tahun dan 1,2 hingga 6 per 100.000 wanita setiap tahun. Insiden pneumothoraks
spontan sekunder adalah 6,3 per 100.000 pria setiap tahun dan 2 per 100.000
wanita setiap tahun. Beberapa penelitian di Inggris yang telah dilakukan baru-baru
ini menunjukkan kejadian pneumothoraks spontan primer sebesar 24 per 100.000
pada pria dan 9,8 100.000 pada wanita.7
Di Indonesia, insiden pneumothoraks masih belum dapat diketahui secara
pasti, dikarenakan pada beberapa literatur, angka insidennya di masukan pada
insiden cedera thoraks atau trauma thoraks. Sebuah penelitian melaporkan sekitar
5,4% dari seluruh pasien menderita trauma, merupakan pasien yang mengalami
pneumothoraks.8
Hingga saat ini proses patofisiologi pneumothoraks masih belum dapat
diketahui dengan pasti, pada beberapa penelitian, telah dilaporkan bahwa tekanan
pleura negatif dengan nilai -2 sampai -40 cm H2O. Jika terjadi komunikasi antara
rongga pleura dan alveolus, udara akan mengalir ke dalam rongga pleura sampai
gradien tekanan tidak ada lagi atau sampai komunikasi tertutup. Tanpa tekanan
intrapleural negatif yang menahan paru ke dinding thoraks, sifat rekoil elastisnya
dapat menyebabkan kolapsnya paru.7
Pada tension pneumothoraks, tekanan udara intrapleural melebihi tekanan
atmosfer. Mekanisme terjadinya tension pneumothoraks mungkin berhubungan
dengan beberapa jenis proses katup satu arah di mana katup terbuka selama
inspirasi dan tertutup selama ekspirasi. Jika tekanan udara ekstra thoraks tetap
relatif lebih tinggi daripada tekanan di pneumothoraks selama periode waktu
tertentu, maka udara di ruang pleura dan atmosfer sekitar akan mulai mendekati
keseimbangan. Hal ini dapat menyebabkan pergeseran mediastinum, kompresi
vena cava superior, kompresi paru kontralateral. Penurunan preload (volume yang
kembali ke jantung) dapat menyebabkan penurunan volume sekuncup sehingga
terjadi penurunan curah jantung. Hal ini dapat menyebabkan kolaps hemodinamik
dan syok obstruktif.7
Pneumotoraks dibagi menjadi tension pneumotoraks, dan open
pneumotoraks.
1. Tension pneumotoraks (American College of Surgeons Commite on Trauma)
adalah pneumotoraks yang disertai peningkatan tekanan intra toraks yang semakin
lama semakin bertambah atau progresif. Pada tension pneumotoraks ditemukan
mekanisme ventil atau udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak dapat
keluar. Adapun manifestasi klinis yang dijumpai :
a. Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi kolaps total
paru, mediastinal shift atau pendorongan mediastinum ke kontralateral, deviasi
trachea, hipotensi &respiratory distress berat.
b. Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu,
hipotensi, tekanan vena jugularis meningkat, pergerakan dinding dada yang
asimetris.
Gambar 10. a. Tampak paru kiri kolaps dan pendorongan mediastinum ke arah
kanan, b. Paru kanan mendorong mediatinum ke arah kontralateral
Penatalaksanaan tension pneumotoraks berupa dekompresi segera dengan needle
insertion pada sela iga II linea mid-klavikula pada daerah yang terkena. Sehingga
tercapai perubahan keadaan menjadi suatu simple pneumotoraks dan dilanjutkan
dengan pemasangan Torakostomi + WSD. Pada ATLS terbaru juga dikenalkan
tentang finger decompresion.
Gambar 11. Tension pneumothoraks.9
2. Open pneumothorax (American College of Surgeons Commite on Trauma)
terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada toraks sehingga udara dapat
keluar dan masuk rongga intra dengan mudah. Tekanan intra toraks akan sama
dengan tekanan udara luar. Dikenal juga sebagai sucking-wound.
Tanda dan gejala open pneumothoraks : nyeri, kesulitan bernafas, takipnea,
penurunan suara nafas pada sisi yang sakit, terdengar suara seperti peluit sewaktu
bernapas (sucking chest wound),perkusi paru terdengar hipersonor
Penatalaksanaan open pneumotoraks :
a. Luka tidak boleh di eksplore.
b. Luka tidak boleh ditutup rapat yang dapat menciptakan mekanisme ventil.
c. Pasang plester 3 posisi.
d. Torakostomi + WSD.
e. Singkirkan adanya perlukaan atau laserasi pada paru-paru atau organ intra
toraks lain.
f. Umumnya disertai dengan perdarahan atau hematotoraks.
Gambar 12 Plaster 3 Posisi
Pada pneumotoraks kecil ( < 20 % ), gejala minimal dan tidak ada respiratory
distress, serangan yang pertama kali, sikap kita adalah observasi dan penderita
istirahat 2-3 hari. Bila pneumotoraks sedang, ada respiratory distress atau pada
observasi nampak progresif foto toraks, atau adanya tension pneumothorax,
dilakukan tindakan bedah dengan pemasangan torakostomi + WSD untuk
pengembangan paru dan mengatasi gagal nafas. Tindakan torakotomi dilakukan
bila:
1. Kebocoran paru yang masif sehingga paru tak dapat mengembang (bullae /
fistel bronkopleura).
2. Pneumotoraks berulang.
3. Adanya komplikasi (Empiema, Hemotoraks, Tension pneumothorax).
4. Pneumotoraks bilateral.
5. Indikasi social (pilot, penyelam, penderita yang tinggal di daerah terpencil)
Tamponade Jantung
Tamponade jantung merupakan keadaan meningkatnya tekanan dalam
kantung pericardium yag terjadi dengan cepat dan tidak terkontrol sehingga
menekan jantung, menggangu pengisian diastolik, serta menurunkan curah
jantung. Peningkatan tekanan ini biasanya terjadi karena penumpukan darah atau
cairan di dalam kantung pericardium. Pada tamponade jantung, penumpukan
cairan yang progresif dalam kantung pericardium menyebabkan penekanan ruang
jantung. Penekanan atau kompresi ini akan menghalangi aliran darah ke dalam
ventrikel dan mengurangi jumlah darah yang dapat dipompa keluar dari dalam
jantung pada setiap kontraks. Setiap kali ventrikel berkontraksi, semakin banyak
cairan yang terakumulasi dalan kantung pericardial. Keadaan ini lebih lanjut akan
membatasi jumlah darah yang dapat mengisi ruang jantung, khususnya ventrikel
kiri, selama siklus jantung berikut.
Diagnostik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan
tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh. Penilaian
suara jantung menjauh sulit didapatkan bila ruang gawat darurat dalam keadaan
berisik. Distensi vena leher tidak ditemukan bila penderita mengalami
hipovolemia. Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi
penurunan dari tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan
tersebut lebih dari 10 mmHg, maka ini merupakan tanda lain terjadinya
tamponade jantung. Tetapi tanda pulsus paradoxus tidak selalu ditemukan, lagi
pula sulit mendeteksinya dalam ruang gawat darurat.
Kontusio paru
Berdasarkan mekanisme kecelakaan, kontusio paru dapat terjadi akibat
cedera tumpul, tembus atau karena kombinasi keduanya. Trauma tumpul thoraks
menyumbang lebih dari 17% pada instalasi kegawatdarurat. Kontusio paru
berkembang selama 24 jam pertama muncul di sekitar 20-22% dari yang terluka,
mengakibatkan kerusakan parenkim paru, edema, hematoma alveolar dan
hilangnya struktur fisiologis dan fungsi paru.19
Penyebab yang mendasari seringkali adalah deselerasi secara tiba – tiba
pada tubuh, sementara thoraks bertabrakan dengan benda tetap yang tidak
bergerak. Dalam kehidupan sehari-hari, kondisi ini seringkali terjadi selama
kecelakaan lalu lintas pada sekitar 70% pasien dengan kontusio paru. Selain itu,
jatuh dari ketinggian atau lebih jarang, ledakan atau cedera olahraga juga dapat
menyebabkan kontusio paru.19 Kontusio paru merupakan cedera umum dengan
insiden 30% sampai 75% pada pasien yang menderita cedera tumpul thoraks dan
sampai 17% dari semua pasien yang datang akibat trauma.12
Kontusio paru sering terjadi bersamaan dengan cedera dinding thoraks.
Paru yang mengalami kontraksi seringkali tidak dapat berpartisipasi dalam
pertukaran gas respirasi. Jika volumenya cukup besar, kondisi ini dapat
menyebabkan kegagalan pernapasan yang signifikan.6 Kegagalan pernapasan
dapat berkembang segera setelah trauma, dengan onset akut atau bahkan mungkin
memakan waktu seminggu. Namun, setelah jangka waktu yang lebih lama, lebih
sulit untuk mengungkapkan penyebab utama yang mendasarinya. Akibatnya,
faktor mekanik dan patofisiologi cedera harus didiskusikan bersama.19
Tanda dan gejala yang bisa ditemui pada kontusio paru adalah : adanya
riwayat trauma, sesak nafas, nyeri dada, batuk, takikardi, takipnea, penurunan
suara nafas. Pada pemeriksaan rontgen toraks dapat ditemukan perbercakan yang
terletak pada titik benturan maksimal, biasanya muncul 6 jam setelah trauma dan
karena darah cepat diabsorbsikan maka gambaran tersebut akan menghilang
dalam 72 jam.
Aortic Disruption
Ruptur aorta dapat terjadi karena terjadi kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari
ketinggian. Temuan yang kita dapatkan dapat meliputi : pelebaran dari
mediastinum, fraktur iga 1 dan 2 dan scapula yang menandakan terjadinya
benturan yang cukup hebat. Untuk menegakan digagnosi dapat dilakukan CT scan
thoraks + kontras. Tindakan yang dapat kita lakukan, manejemen nyeri yang
adekut dan mempertahakan HR < 80 , MAP 60 – 70 mmHg, kemudian Rujuk
untuk tindakan definitif
Cardiac Injury
Kontusio atau memar pada dinding myocardium akibat benturan dengan sternum
atau iga yangd terjadi akibat adanya Kecealakan lalu lintas atau terjatuh dari
ketingggian. Gejala yang dirasakan pada pasien adalah dada terasa tidak nyaman,
hypotensi, aritmia, Gerakan otot jantung abnormal terlihat pada pemerikasaan
echocardiograpi, peningkatan enzim jantung. Tindakan yang dapat dilakukan
adalah kontrol nyeri pada pasien dan monitoring pasien serta rujuk jika terjadi
kelainan pada EKG pasien
Diapragmatic Injury
Pada temuan awal biasanya terjadi mekanis trauma pada perut pasien.Pada pasien
bisanya tidak menunjukan gejala yang serius, dan kondisi stabil kecuali jika
terjadi robekan yang luas sehingga semua organ abdomen naik ke rongga thoraks
dan menyebabkan peningkatan tekanan hemitoraks dan menyebakan
ketidakstabilan hemodinamik. Pada pemeriksaan radiologi didapatkan banyangan
usus pada hemithoraks yang tejadi injury. Untuk menegakan diagnostik dapat
dilakukan ct scan dengan kontras.
Gambar 20 Bayangan Udara pada Lumen Usus
Esofagel Injury
Kasus ini jarang terjadi, mekanisme mirip dengan terjadinya diapragma injury.
Pada pasien datang dengan hemodinamik yang stabil namun jika tidak terdeteksi
dapat menyebabkan komplikasi mediastinitis yang dapat menyebabkan mortalitas
yang tinggi. Pasien datang dengan gejela batuk darah, muntah darah, dan nyeri
menelan. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakan
diagnosis adalah ct scan dengan kontras.
1. Keadaan umum penderita: sesak? anemis, shock, pre-syok? dinilai nadi, bila
perlu tensi.
* Bila perlu dalam keadaan ini sudah diambil tindakan resusitasi dengan: A
membebaskan Airway (jalan nafas); B menjamin Breathing (pernafasan); C
memperbaiki Circulation: pemberian cairan intravena: plasma, darah, atau cairan
elektrolit.
2. Status lokalis: adakah trauma pada toraks? sisi yang mana? bagaimana gerakan
nafas, simetris, terhambat? trauma tajam: arah dan lokalisasinya trauma tumpul:
macamnya, adakah Flail chest?
* Dalam keadaan ini sudah dapat pula diambil tindakan penyelamatan bila
menghadapi misalnya pneumotoraks tensi: membuat kontra-ventil. Pada
pneumotoraks terbuka dengan luka ternganga (aucking wound) dapat ditutup
secara kedap udara (air-tight) dengan kasa.
* Paling tidak setelah tiga langkah diagnostik ini, diagnosis kerja sudah dapat
dibuat. Tindakan-tindakan darurat/penyelamatan tetap harus dilakukan bila
dipandang perlu.
Trauma thoraks umumnya dapat terjadi pada trauma energi tinggi dan energi
rendah dan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Seperti halnya manajemen semua trauma, evaluasi trauma thoraks memerlukan
pendekatan sistematis, pertama memprioritaskan jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi, diikuti oleh survei sekunder yang terfokus.
Tidak seperti bentuk trauma lainnya, cedera thoraks memiliki potensi untuk
berkembang dengan cepat dan memerlukan intervensi prosedural yang cepat di
ruang gawat darurat. Karena urgensi ini, dokter harus memiliki tingkat kesadaran
situasional yang tinggi dan memperhatikan temuan pemeriksaan fisik.
Sebagian besar trauma thoraks paling baik ditangani dengan resusitasi dan
drainase thoraks, namun analgesia, antibiotik, dan fisioterapi thoraks juga
memiliki peran yang sangat penting untuk dimainkan dalam hasil akhir.
Torakotomi resusitasi dan darurat masih merupakan keterampilan yang sangat
penting bagi dokter yang terlibat dalam perawatan pasien trauma karena prosedur
ini menyelamatkan nyawa.
DAFTAR PUSTAKA