Anda di halaman 1dari 34

TRAUMA THORAKS

BAB 1
PENDAHULUAN

Trauma thoraks dapat secara luas diklasifikasikan sebagai cedera dinding


thoraks, paru, esofagus, dan kardiovaskular, sedangkan komplikasi dari trauma
thoraks sendiri, dapat menyebabkan pneumonia, sepsis pleura, dan gagal
pernapasan yang sering membutuhkan perawatan unit perawatan intensif (ICU)
dan dukungan ventilator, serta bertanggung jawab atas sekitar 25% kematian
akibat trauma yang terkait.1,2
Di Amerika Serikat, telah dilaporkan setiap tahunnya terdapat lebih dari
350.000 pasien mengalami cedera tulang rusuk. Sedangkan di China, jumlah
tersebut telah dispekulasi lebih dari tiga kali lipat atau bahkan empat kali lipat.
Trauma thoraks menempati urutan kedua setelah cedera kepala sebagai penyebab
utama kematian terkait trauma. Insiden trauma thoraks ditemukan sekitar 14%
pada trauma tumpul dan 12% pada trauma tajam. Penyebab paling umum dari
trauma tumpul pada thoraks adalah tabrakan kendaraan bermotor (MVC) yang
menyumbang hingga 80% dari cedera. Penyebab lainnya termasuk jatuh,
kendaraan yang menabrak pejalan kaki, tindakan kekerasan, dan cedera akibat
ledakan. Mayoritas trauma tajam pada thoraks disebabkan oleh tembakan dan
penusukan. Trauma thoraks sendiri menyumbang 10% hingga 15% dari
keseluruhan trauma dan fraktur tulang rusuk serta trauma intrathoraks terkait
dalam trauma tumpul menyebabkan mortalitas 15,5% hingga 25%.1–3
Di Indonesia, trauma thoraks merupakan penyebab kematian nomor empat,
terutama ditemukan pada kelompok umur 15-25 tahun. Trauma thoraks seringkali
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa trauma tumpul
(90%).4 Di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado didapatkan 120 kasus trauma
thoraks pada tahun 2014 hingga Juni 2016. Berdasarkan data, jumlah kematian
akibat kecelakaan lalu lintas di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado berjumlah
85, dan yang meninggal akibat trauma thoraks berjumlah 7 orang.5
Evaluasi segera selama survei trauma primer adalah kunci dalam
mengidentifikasi trauma yang langsung mengancam jiwa dan membutuhkan
intervensi cepat. Setelah kondisi ini dikesampingkan, cedera thoraks yang kurang
mendesak sering kali mudah didiagnosis selama survei trauma sekunder dan
berhasil dikelola dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar dukungan kehidupan
trauma lanjut (ATLS).3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Rongga Toraks


Anatomi toraks Toraks terdiri atas bagian tubuh yang meliputi kulit regio torakalis
dengan otot/ muskulus yang mengelilingi rongga toraks dengan vertebra torakal,
tulang tulang-rusuk, sternum, dan jaringan ikatnya serta semua organ tubuh di
dalamnya termasuk pembuluh darah arteri dan vena, jantung, paru, saraf dan
pembuluh limfe. 6

Gambar 1. Anatomi Thoraks


Bagian anterior roangga thoraks terdiri dari sternum, costae 1 – 7 (true
ribs), 8 – 12 costa vera dimana 11 dan 12 costa melayang. Di bagiana posterior
terdiri dilindungi oleh scapula. Terdapat thoracic inlet yang merupakan tempat
masuknya pembuluh darah besar, organ esofagus dan trakea untuk masuk ke intra
thoraks.
Rongga toraks (cavum thoracis) dibatasi di daerah bawah/inferior oleh diafragma
yang memisahkan toraks dari rongga abdomen dan di daerah atas/superior dengan
regio collil leher, sekitar batas atas insisura jugularis di tengah dan bahu di kanan
dan kiri. Rongga toraks terdiri atas dua bagian utama, yaitu: (1) paru-paru (kanan
dan kiri) dan sistema trakeo-bronkial dan pembuluh darah arteri dan vena yang
menyertainya; (2) mediastinum
Mediastinum dibagi dalam 2 bagian anatomis : superior dan posterior.
Mediastinum terletak di antara pleura paru kiri dan kanan dan merupakan daerah
tempat organ-organ penting toraks selain paru-paru (yaitu: jantung, aorta, arteri
pulmonalis, vena kava, esofagus, trakea, dan lain-lain). Pada mediastinum
superior terdapat pembuluh darah utama yang memasok darah ke ekstremitas atas,
leher, dan kepala. Mediastinum inferior, ruang antara bidang torakus transversa
dan diafragma, dibagi lagi menjadi mediastinum anterior, tengah, dan posterior.
Mediastinum anterior adalah ruang antara perikardium dan sternum Dibatasi di
sebelah ventral oleh corpus sterni, m.transversus thoracis sinister, sebagian dari
ujung costa IV – VII . Di sebelah dorsal dibatasi oleh percardium parietalis yang
meluas ke arah caudal mencapai diaphragma thoracis. Berisi beberapa buah
lymphonodi, jaringan ikat dan jaringan lemak. Mediastinum tengah adalah ruang
yang berisi jantung dan perikardium. Mediastinum posterior memanjang dari
perikardium ke dinding posterior toraks.
Gambar 2. Anatomi Mediastinum

Setiap paru diselubungi oleh membran serosa tipis yang membentuk


kantong terinvaginasi yang tertutup. Sebagian membran serosa yang dinamakan
pleura viseralis menutup permukaan paru dan memanjang ke dalam fissura di
antara lobus- lobusnya. Sisa membran yang lain dinamakan pleura parietalis,
menutupi permukaan dalam dinding dada, diafragma, dan area mediastinum,
kemudian membungkus semua struktur yang berada di hilus. Kedua membran
tersebut bertemu pada bagian inferior hilus. Ruang potensial di antara kedua
struktur tersebut dinamakan rongga pleura. Jika paru kolaps atau bila terdapat
udara atau cairan di antara kedua membran maka rongga pleura menjadi nyata.
Arteri yang berada di pleura berasal dari arteri interkostal, mamaria interna,
muskulofrenik, timus, perikardium, dan bronkhialis. Cairan pleura dihasilkan dan
direabsorpsi secara kontinu, sehingga senantiasa berjumlah konstan (hanya sekitar
10 ml). Cairan pleura berasal dari sirkulasi sistemik (karena adanya tekanan
osmotik dan onkotik), sedangkan reabsorpsi dilakukan oleh sistem limfatik. Laju
produksi dan reabsorpsi berkisar antara 20-1000 ml/24 jam.
Anatomi toraks dapat dibagi dari bagian depan dengan adanya sternum,
yang terdiri atas tiga bagian: manubrium, korpus, dan processus xyphoideus. Titik
paling atas sternum dikenal sebagai insisura jugularis, yang tampak berupa
lekukan antara kedua bonggol klavikula. Secara planar, insisura jugularis adalah
setinggi batas bawah dari vertebra torakal ke-2. Angulus ludovici adalah tonjolan
yang terjadi oleh karena pertemuan bagian korpus dan manubrium sterni yang
membentuk sudut. Sudut ini tampak nyata pada orang yang kurus. Angulus
ludovici adalah penanda anatomi permukaan oleh karena terletak setinggi tulang-
rusuk ke-2 dan vertebra torakal IV-V. Setinggi angulus ini terdapat organ-organ
penting: arkus aorta dan karina. Bagian terakhir sternum adalah processus
xyphoideus yang dapat diraba sebagai ujung bawah yang lunak dari sternum; kira-
kira setinggi vertebra torakal IX., Ke arah lateral dari sternum terdapat tulang-
rusuk yang menempel pada sternum dan ruang interkostal yang dapat dibedakan
dan dihitung melalui palpasi dan ada sebanyak 11 (sebelas) rongga interkostal.
Hampir seluruh tulang-rusuk tertutup oleh otot tetapi dapat diraba dari luar,
kecuali tulang-rusuk I yang tidak dapat teraba oleh karena tertutup oleh klavikula.
Batas bawah sternum di sebelah anterior dibentuk oleh processus xyphoideus,
tulang rawan (kartilago) dari tulang-rusuk VI-XI (membentuk arcus costae), dan
ujung kartilago dari tulang-rusuk XII.

Gambar 3. Anatomi Sternum, Costae


Tulang-rusuk/iga (kosta) yang merupakan tulang jenis osseokartilaginosa.
Memiliki penampang berbentuk konus, dengan diameter penampang yang lebih
kecil pada tulang-rusuk bagian atas dan makin melebar ada daerah tulang-rusuk
sebelah bawah - ke distal. Penampang di bagian posterior lebih kubikal dan makin
ke anterior penampang lebih pipih. Terdapat 12 pasang tulang- rusuk: 7 tulang-
rusuk pertama melekat pada vertebra yang bersesuaian, dan di sebelah anterior ke
sternum. Tulang-rusuk VII-X merupakan tulang-rusuk palsu (costae spuria) yang
melekat di anterior ke rawan kartilago tulang-rusuk di atasnya, dan 2 tulang-rusuk
terakhir merupakan tulang-rusuk yang melayang karena tidak berartikulasi di
sebelah anterior. Setiap tulang-rusuk terdiri atas kaput, kollum dan korpus dengan
2 ujung: permukaan artikulasi vertebral dan sternal. Sisi atas tulang-rusuk terdapat
krista kasar tempat melekatnya ligamentum costotransversus anterior. Di antara
batas bawah dan permukaan internal terdapat sulcus costales, tempat berjalannya
arteri-vena-nervus interkostal. Tulang- rusuk pertama merupakan tulang-rusuk
yang penting oleh karena menjadi tempat melintasnya pleksus brakhialis, arteri
dan vena subklavia.

Gambar 4. Thoraks
Terdapat vasa intercostalis yang berjalan dibawah tepi costae dan terdapat nerveus
intercostalis yang bermakna dalam proses nyeri pada operasi torakotomi.
Otot
Muskulus skalenus anterior melekat di bagian anterior permukaan internal tulang-
rusuk I (tuberculum scaleni), dan merupakan pemisah antara pleksus brakhialis di
sebelah lateral dan a/v/n subklavia di sebelah medial dari otot tersebut. Ruang
interkostalis ada 11 (ruang interkostal 12 tidak ada) dan terisi oleh m. interkostalis
eksternus dan internus, setelah itu terdapat fascia transversalis, dan kemudian
pleura parietalis dan rongga pleura. Pada region toraks, otot/muskulus yang
penting:
1. M. latissimus dorsi, otot terbesar di daerah punggung; origo pada prosessus
spinosus vertebra torakal bawah dan vertebra lumbal atas, sakrum, dan krista
iliaka; insersi pada humerus atas. Berfungsi untuk adduksi, ekstensi, dan rotasi-
medial dari lengan atas.
2. M. serratus anterior, origo pada bagian anterolateral tulang-rusuk I-IX dan
berinsersi pada skapula. M.serratus anterior saling bersilangan dengan insersi otot
obliquus abdominis mayor di dinding abdomen. Otot serratus anterior di persarafi
oleh N. Torasikus longus dan berfungsi untuk merotasi skapula ke anterior dan
mengangkat tulang-rusuk.
3. M. teres mayor, yang normalnya tidak dipotong pada insisi toraks. M. teres
mayor berjalan dari skapula menuju humerus dan berfungsi untuk rotasi, ekstensi,
dan abduksi dari lengan atas.
4. M. trapezius sebagian menutupi m. teres mayor dan m. latissimus dorsi di
sebelah posterior. Sebuah celah segi tulang-rusuk di antara ke tulang-rusuk otot
ini dikenal sebagai triangulus auskultatorius, sebagai tempat untuk mengakses
secara langsung dinding dada.
5. M. serratus anterior, yang akan terlibat pada asungan anterior.
6. M. pektoralis mayor, ber-origo pada bagian medial klavikula, manubrium,
sternum, kartilago tulang-rusuk I-VI, dan pada aponeurosis obliquus abdominis
eksternus. Berinsersi pada tuberkulum mayor humerus, dipersarafi oleh N.
torasikus anterior, dan berfungsi untuk mengadduksi dan merotasi-medial dari
lengan.
7. M. pektoralis minor berorígo pada costochondral junction di tulang-rusuk-
tulang-rusuk atas dan berinsersi pada scapula, dipersarafi oleh N. torasikus
anterior dan berfungsi untuk merotasi skapula ke bawah dan/atau mengangkat
(elevasi) tulang-rusuk.
8. M. obliquus abdominis eksternus, merupakan batas bawah rongga toraks
diperkuat oleh otot, yang berorigo pada permukaan lateral dan anterior dari
tulang-rusuk V-XII dan berinsersi pada krista iliaka, ligamentum inguinalis, dan
permukaan anterior fascia recti abdominuis. M. obliquus dipersarafi oleh N.
torasikus inferior.
9. M. trapezius, pada bagian posterior dinding dada dan paraspinosus, berorigo
pada oksiput, menurun ke vertebra torakal dan ligamennya. Berinsersi pada
klavikula lateral, akromion, dan spina skapula, dipersarafi oleh nervus aksesorius,
dan fungsinya untuk merotasi skapula dan menggerakan kepala.
10. M. rhomboideus mayor dan minor, berorigo pada vertebra torakal 1-4 dan
vertebra servikal6 & 7 secara N. torasikus inferior. berurutan, dan berinsersi pada
margo medial skapula, di bawah, dan di atas spina. Keduanya dipersarafi oleh
nervus dorsalis dari skapula.
11. M. paraspinosus atau M. erektor spina terletak di sebelah dalam dari fascia
torakolumbalis, dan dipersarafi oleh cabang dorsal dari nervus torasikus dan
lumbal.

Gambar 5. Otot dinding toraks

Trauma Thoraks
Mekanisme terjadinya trauma thoraks bisa karena trauma tumpul dan trauma
tajam. Trauma tumpul thoraks tersering dapat menyebabkan fraktur costa. Trauma
tumpul toraks adalah salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada kasus
emergency. Hanya 10 % trauma tumpul dan 15 % trauma tajam toraks yang
memerlukan pembedahan.

Gambar 6. Insiden Trauma Toraks


The deadly dozen terdiri dari lethal six dan hidden six. Lethal six adalah trauma
yang dapat menyebabkan kematian dalam waktu cepat, sedangkan hidden six
dalam perjalanan penyakitnya dapat muncul dan dapat menyebabkan kematian.
Primary survei harus kita lakukan untuk mengenal keadaan yang mengancam jiwa
dan melakukan tatalaksana secepatnya.
Gambar 7. Primary Survey

Airway Obstruction
Sering disebabkan karena trauma yang dapat menyembabkan
penyumbatan pada jalan nafas, edema, dan pendarahan. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan retraksi dari dinding dada, snoring, stridor, gurgling, dan teraba
krepitasi di leher bagian anterior. Pada primary survei kita dapat mengenali
terjadinya airway obstruction. Untuk tatalaksana dalah pembebasan jalan nafas,
bisa menggunakan suction, mengeluarkan benda-benda yang menyumbat jalan
nafas, atau memposisikan pasien dengan manuver jalan nafas, namun perlu
diperhatikan untuk adanya cedera cervical.

Gambar 8. Airway Obstruction


Tracheobronchial Injury
Pasien dengan tracheobronchial injury paling sering disebabkan karena
kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Gejala pada pasien dengan
tracheobroncial injury biasanya adalah : emfisema subcutis, batuk darah, bahkan
dapat menyebakan tension pneumotoraks jika level injurynya di bawah trakea.
pada pemeriksaan radiologi bisa didapatkan gambaran fallen lung sign. Pada
penanganan awal tergantung pada kondisi pasien : Intubasi, trakeostomi, bahkan
jika terjadi tension pneumothoraks dapat dilakukan needel decompresion dan
pemasangan chest tube.

Gambar 9. Fallen Lung Sign

Pneumothoraks
Pneumothoraks merupakan cedera umum yang dapat diakibatkan oleh
benda tumpul dan tajam. Biasanya, pneumothoraks bukan merupakan kondisi
yang langsung mengancam, tetapi ada potensi untuk berkembang yang dapat
berevolusi menjadi ancaman jiwa.6
Berdasarkan etiologi, pneumothoraks dapat diklasifikasikan menjadi
spontan dan traumatis (Tabel 1). Pneumothoraks spontan diklasifikasikan lebih
lanjut menjadi primer dan sekunder. Pneumothoraks traumatis dapat terjadi akibat
trauma tumpul atau cedera tembus pada dinding thoraks. Pneumothoraks juga
dapat disebabkan oleh cedera iatrogenik.7
Tabel 1. Klasifikasi Pneumothoraks.7

Pneumothoraks dapat terjadi pada 7,4 hingga 18 per 100.000 pria setiap
tahun dan 1,2 hingga 6 per 100.000 wanita setiap tahun. Insiden pneumothoraks
spontan sekunder adalah 6,3 per 100.000 pria setiap tahun dan 2 per 100.000
wanita setiap tahun. Beberapa penelitian di Inggris yang telah dilakukan baru-baru
ini menunjukkan kejadian pneumothoraks spontan primer sebesar 24 per 100.000
pada pria dan 9,8 100.000 pada wanita.7
Di Indonesia, insiden pneumothoraks masih belum dapat diketahui secara
pasti, dikarenakan pada beberapa literatur, angka insidennya di masukan pada
insiden cedera thoraks atau trauma thoraks. Sebuah penelitian melaporkan sekitar
5,4% dari seluruh pasien menderita trauma, merupakan pasien yang mengalami
pneumothoraks.8
Hingga saat ini proses patofisiologi pneumothoraks masih belum dapat
diketahui dengan pasti, pada beberapa penelitian, telah dilaporkan bahwa tekanan
pleura negatif dengan nilai -2 sampai -40 cm H2O. Jika terjadi komunikasi antara
rongga pleura dan alveolus, udara akan mengalir ke dalam rongga pleura sampai
gradien tekanan tidak ada lagi atau sampai komunikasi tertutup. Tanpa tekanan
intrapleural negatif yang menahan paru ke dinding thoraks, sifat rekoil elastisnya
dapat menyebabkan kolapsnya paru.7
Pada tension pneumothoraks, tekanan udara intrapleural melebihi tekanan
atmosfer. Mekanisme terjadinya tension pneumothoraks mungkin berhubungan
dengan beberapa jenis proses katup satu arah di mana katup terbuka selama
inspirasi dan tertutup selama ekspirasi. Jika tekanan udara ekstra thoraks tetap
relatif lebih tinggi daripada tekanan di pneumothoraks selama periode waktu
tertentu, maka udara di ruang pleura dan atmosfer sekitar akan mulai mendekati
keseimbangan. Hal ini dapat menyebabkan pergeseran mediastinum, kompresi
vena cava superior, kompresi paru kontralateral. Penurunan preload (volume yang
kembali ke jantung) dapat menyebabkan penurunan volume sekuncup sehingga
terjadi penurunan curah jantung. Hal ini dapat menyebabkan kolaps hemodinamik
dan syok obstruktif.7
Pneumotoraks dibagi menjadi tension pneumotoraks, dan open
pneumotoraks.
1. Tension pneumotoraks (American College of Surgeons Commite on Trauma)
adalah pneumotoraks yang disertai peningkatan tekanan intra toraks yang semakin
lama semakin bertambah atau progresif. Pada tension pneumotoraks ditemukan
mekanisme ventil atau udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak dapat
keluar. Adapun manifestasi klinis yang dijumpai :
a. Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi kolaps total
paru, mediastinal shift atau pendorongan mediastinum ke kontralateral, deviasi
trachea, hipotensi &respiratory distress berat.
b. Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu,
hipotensi, tekanan vena jugularis meningkat, pergerakan dinding dada yang
asimetris.
Gambar 10. a. Tampak paru kiri kolaps dan pendorongan mediastinum ke arah
kanan, b. Paru kanan mendorong mediatinum ke arah kontralateral
Penatalaksanaan tension pneumotoraks berupa dekompresi segera dengan needle
insertion pada sela iga II linea mid-klavikula pada daerah yang terkena. Sehingga
tercapai perubahan keadaan menjadi suatu simple pneumotoraks dan dilanjutkan
dengan pemasangan Torakostomi + WSD. Pada ATLS terbaru juga dikenalkan
tentang finger decompresion.
Gambar 11. Tension pneumothoraks.9
2. Open pneumothorax (American College of Surgeons Commite on Trauma)
terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada toraks sehingga udara dapat
keluar dan masuk rongga intra dengan mudah. Tekanan intra toraks akan sama
dengan tekanan udara luar. Dikenal juga sebagai sucking-wound.
Tanda dan gejala open pneumothoraks : nyeri, kesulitan bernafas, takipnea,
penurunan suara nafas pada sisi yang sakit, terdengar suara seperti peluit sewaktu
bernapas (sucking chest wound),perkusi paru terdengar hipersonor
Penatalaksanaan open pneumotoraks :
a. Luka tidak boleh di eksplore.
b. Luka tidak boleh ditutup rapat yang dapat menciptakan mekanisme ventil.
c. Pasang plester 3 posisi.
d. Torakostomi + WSD.
e. Singkirkan adanya perlukaan atau laserasi pada paru-paru atau organ intra
toraks lain.
f. Umumnya disertai dengan perdarahan atau hematotoraks.
Gambar 12 Plaster 3 Posisi
Pada pneumotoraks kecil ( < 20 % ), gejala minimal dan tidak ada respiratory
distress, serangan yang pertama kali, sikap kita adalah observasi dan penderita
istirahat 2-3 hari. Bila pneumotoraks sedang, ada respiratory distress atau pada
observasi nampak progresif foto toraks, atau adanya tension pneumothorax,
dilakukan tindakan bedah dengan pemasangan torakostomi + WSD untuk
pengembangan paru dan mengatasi gagal nafas. Tindakan torakotomi dilakukan
bila:
1. Kebocoran paru yang masif sehingga paru tak dapat mengembang (bullae /
fistel bronkopleura).
2. Pneumotoraks berulang.
3. Adanya komplikasi (Empiema, Hemotoraks, Tension pneumothorax).
4. Pneumotoraks bilateral.
5. Indikasi social (pilot, penyelam, penderita yang tinggal di daerah terpencil)

Gambar 13. Pneumothoraks terbuka.10


Hemothoraks
Etiologi hemothoraks umumnya dibagi menjadi traumatis dan non-traumatik.
Hemothoraks traumatis dapat disebabkan oleh adanya trauma tumpul atau tembus.
Hemothoraks non traumatik dapat berkembang oleh berbagai penyakit atau
kelainan seperti neoplasia, sekuestrasi paru, ruptur adhesi pleura pada kasus
pneumothoraks, infark paru, tuberkulosis, infeksi paru (misalnya demam berdarah
dengue), fistula arteriovenosa pulmonal, serta anomali dan patologi abdomen.17
Cedera traumatis merupakan masalah kesehatan utama di Amerika Serikat,
berkontribusi terhadap 140.000 kematian setiap tahunnya. Cedera thoraks terjadi
pada sekitar 60% kasus multi-trauma dan bertanggung jawab atas 20 hingga 25%
kematian akibat trauma. Selanjutnya, trauma adalah penyebab utama kematian
pada dekade keempat kehidupan. Di Amerika Serikat, kecelakaan kendaraan
bermotor menyumbang 70 sampai 80% dari trauma thoraks tumpul. Cedera pada
struktur thoraks mungkin timbul dari benturan langsung atau gaya deselerasi yang
cepat. Studi terbaru menunjukkan fraktur tulang thoraks, kontusio paru, dan
cedera diafragma adalah temuan umum pada trauma tumpul thoraks. Tiga puluh
hingga lima puluh persen pasien dengan cedera thoraks tumpul yang parah
mengalami kontusio paru, pneumothoraks, dan hemothoraks secara bersamaan.
Pada penelitian Sirmali et al., pneumothoraks, hemothoraks, atau
hemopneumothoraks ditemukan pada 72,3% kasus patah tulang rusuk traumatis.18
Cedera intrapleural atau ekstrapleural dapat menyebabkan hemothoraks. Tingkat
keparahan respon patofisiologi tergantung pada lokasi cedera, cadangan
fungsional pasien dan jumlah kehilangan darah.17
Tanda dan gejala pada hemothoraks : sesak nafas, nyeri dada, perlukaan atau
jejas pada dada (riwayat trauma mengenai dada), dapat disertai tanda syok. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan takipnea, perkusi redup, suara nafas menurun,
gerakan dada tertinggal
Hemothoraks diklasifikasikan menurut jumlah kehilangan darah antara lain
minimal, sedang, atau masif.17
 Hemothoraks minimal : kehilangan darah tanpa perubahan hemodinamik
yang signifikan. Kehilangan darah pada pasien dengan berat badan 75 kg
tanpa penyakit yang mendasari hingga 750 ml seringkali tidak disertai
respon hemodinamik yang signifikan
 Hemothoraks sedang : kehilangan darah sekitar 750 ml hingga 1500 ml
 Hemothoraks masif : kehilangan darah lebih dari 30% volume darah
(1500-2000 ml) biasanya berhubungan dengan syok hemoragik
Perdarahan intrathoraks sering terjadi bersamaan dengan pneumothoraks.
Hemothoraks nonmasif terjadi karena cedera parenkim paru, pembuluh
interkostal, atau pembuluh dinding thoraks lainnya. 11
Sedangkan, hemothoraks masif adalah kondisi mengancam jiwa yang
dikaitkan dengan angka kematian yang tinggi dan membutuhkan intervensi
segera. Fraktur tulang rusuk dengan atau tanpa laserasi pembuluh darah
interkostal dan laserasi paru paling sering menyebabkan perdarahan ringan hingga
sedang, tetapi pada kesempatan yang jarang dapat menyebabkan hemothoraks
masif. Hemothoraks masif merupakan hasil dari cedera yang lebih signifikan dan
melibatkan pembuluh darah paru, pembuluh darah besar, atau jantung.6

Gambar 14. Hemothoraks sinistra


Meskipun banyak faktor yang terlibat dalam keputusan untuk mengoperasi pasien
dengan hemothoraks, status fisiologis pasien dan volume drainase darah dari chest
tube merupakan pertimbangan penting. Lebih dari 1500 mL darah yang drainase
segera melalui selang thoraks menunjukkan hemothoraks masif yang mungkin
memerlukan intervensi operatif. Juga, jika drainase lebih dari 200 mL/jam selama
2 sampai 4 jam terjadi, atau jika transfusi darah diperlukan dan jika terjadi
pendarahan 3-5 cc / kgBB / jam di tim kegawatdaruratan harus
mempertimbangkan eksplorasi operatif. Keputusan akhir untuk intervensi operatif
didasarkan pada status hemodinamik pasien.9 Tindakan awal yang dapat dilakukan
adalah oksigenasi pemberian cairan (jarum IV besar, cristaloid tetes cepat dan 2
jalur) dan pemasanga WSD.

Tamponade Jantung
Tamponade jantung merupakan keadaan meningkatnya tekanan dalam
kantung pericardium yag terjadi dengan cepat dan tidak terkontrol sehingga
menekan jantung, menggangu pengisian diastolik, serta menurunkan curah
jantung. Peningkatan tekanan ini biasanya terjadi karena penumpukan darah atau
cairan di dalam kantung pericardium. Pada tamponade jantung, penumpukan
cairan yang progresif dalam kantung pericardium menyebabkan penekanan ruang
jantung. Penekanan atau kompresi ini akan menghalangi aliran darah ke dalam
ventrikel dan mengurangi jumlah darah yang dapat dipompa keluar dari dalam
jantung pada setiap kontraks. Setiap kali ventrikel berkontraksi, semakin banyak
cairan yang terakumulasi dalan kantung pericardial. Keadaan ini lebih lanjut akan
membatasi jumlah darah yang dapat mengisi ruang jantung, khususnya ventrikel
kiri, selama siklus jantung berikut.

Diagnostik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan
tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh. Penilaian
suara jantung menjauh sulit didapatkan bila ruang gawat darurat dalam keadaan
berisik. Distensi vena leher tidak ditemukan bila penderita mengalami
hipovolemia. Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi
penurunan dari tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan
tersebut lebih dari 10 mmHg, maka ini merupakan tanda lain terjadinya
tamponade jantung. Tetapi tanda pulsus paradoxus tidak selalu ditemukan, lagi
pula sulit mendeteksinya dalam ruang gawat darurat.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi foto toraks : bila


cairan di rongga perikardium lebih dari 200 ml biasanya terdapat gambaran
kardiomegali dengan pembesaran jantung dengan konfigurasi mirip tabung
Erlenmeyer dengan gambaran paru-paru bersih.

Gambar 15. Foto thoraks tamponade jantung

Pemeriksaan USG (Echocardiografi) merupakan metode non invasif yang dapat


membantu penilaian pericardium

Gambar 16. kardiomegali dengan konfigurasi tabung Erlemeyer


Tindakan awal bisa berurupa oksigenisasi, resusitasi cairan. Tindakan definitif
bisa berupa perikardiosintesis dengan tuntunan ekocardiografi atau CT atau juga
torakotomi.
Flail chest
Tabrakan kendaraan bermotor merupakan 75% penyebab dari trauma
mayor yang mengakibatkan flail chest. Jatuh terutama pada orang tua
menyebabkan 15% lainnya. Peristiwa traumatis tertentu seperti pukulan langsung
ke thoraks lebih cenderung menyebabkan fraktur pada dua tulang rusuk tertentu.
Pada masa kanak-kanak penyakit tulang metabolik dan osteogenesis imperfekta
merupakan predisposisi kondisi ini. Orang tua cenderung mengalami flail chest
baik karena mereka memiliki kekakuan fisiologis yang berhubungan dengan usia
pada dinding thoraks dan karena mereka mungkin menderita osteoporosis.14
Lebih dari 11.000 pasien dengan fraktur multipel (≥3) tulang rusuk
dan/atau tulang thoraks terdaftar di database Trauma Audit Research Network
(TARN) di Inggris setiap tahunnya. Lebih dari 20% gambaran klinis trauma di
Inggris melibatkan trauma dinding thoraks tumpul dan kematian terkait adalah
22%, sedangkan flail chest dapat terjadi pada sekitar 7% pasien dengan trauma
thoraks.15
Segmen flail dapat menyebabkan gerakan dinding thoraks yang paradoks,
yang dapat memengaruhi mekanika pernapasan sepanjang siklus pernapasan.
Dampak dari cedera ini sangat signifikan. Lebih dari 80% pasien dengan flail
chest memerlukan izin masuk ke unit perawatan intensif (ICU) dan hampir 60%
akan membutuhkan ventilasi mekanis dengan tingkat trakeostomi 20%. Cedera
memiliki efek signifikan pada komplikasi di rumah sakit karena 20% akan
mengembangkan terjadinya pneumonia dan hingga 7% akan mengembangkan
terjadinya sepsis.6
Terjadinya trauma flail chest membutuhkan energi kinetik yang besar pada
kasus trauma tumpul pada daerah yang luas di thoraks, seperti pada kecelakaan
lalu lintas, jatuh dari ketinggian dan sebagainya. Terjadinya flail chest merupakan
indikator bahwa pasien mengalami trauma dengan energi kinetik yang cukup
besar, kecuali pada kasus tertentu seperti osteoporosis, dan multiple myeloma.
Pada anak kecil, energi kinetik yang besar seringkali bukan penyebab flail chest,
karena tulang rusuk bersifat elastis, tetapi gaya yang besar akan diteruskan ke
organ intratoraks, seperti paru, jantung, atau struktur yang ada di mediastinum,
yang akan menimbulkan komplikasi pada organ tersebut.16
Flail chest terjadi ketika ≥ 3 costae atau ≥ 2 segmen costae fraktur sehingga
dinding dada tidak lagi mempunyai hubungan dengan keseluruhan dinding dada
karena ada bagian tulang dada yang tidak lagi berkaitan dengan tulang iga secara
menyeluruh (dapat berhubungan dengan / tanpa fraktur sternum).Costa atau
segmen flail, akan 'mengambang', sehingga terjadi pergerakan segmen dinding
dada yang melayang berlawanan dengan pergerakan dinding dada pada saat
proses pernapasan normal. Pada saat otot-otot pernafasan berkontraksi, rongga
dada mengembang, volume bertambah, tekanan udara di dalam rongga dada
berkurang, tidak hanya udara yang dihisap keluar, tetapi segmen flail/float juga
akan 'masuk' ke arah dalam/medial, berlawanan dengan gerakan dinding dada
yang utuh. Gerakan ini disebut 'paradoks'.16

Gambar 17. Pernapasan paradoksal


Hal ini akan membuat pergerakan fungsi paru yang paradoksal, seperti
ventilasi, distribusi, perfusi yang akan terganggu. Pada saat inspirasi, dinding dada
mengembang, segmen flail costa didorong/masuk ke dalam paru akan menekan,
sehingga saat inspirasi udara yang masuk ke paru akan bocor ke dinding yang
utuh, karena segmen flail dinding paru akan tertekan oleh adanya fraktur. Bila saat
ekspirasi dinding dada mengecil, segmen thoraks yang akan mengembang, karena
tekanan intrapleura meningkat, udara harus keluar pada saat ekspirasi, sebagian
akan mengalir ke dinding flail paru (inhalasi), karena pergerakan segmen fraktur
akan menyebabkan terjadinya rongga dada karena gerakannya yang paradoks.
Akibat kasus tersebut, penderita akan mengalami hipoksia yang cukup berat,
karena sebagian besar udara di dalam paru tidak ikut dalam proses
inspirasi/ekspirasi.16
Diagnosis flail chest dapat dilihat pada pasien dengan nyeri dinding thoraks
setelah cedera. Gejalanya dapat meliputi : Pernafasan paradoksal, nafas cepat,
nyeri, krepitus, asimetri dinding thoraks, dan dispnea dan distress pernafasan
sering ditemukan. Radiografi thoraks dapat mengidentifikasi banyak fraktur
tulang rusuk, khususnya fraktur yang bergeser secara signifikan. Fraktur sternum
dan fraktur tulang rusuk nondisplaced sering hanya diidentifikasi dengan
pencitraan computed tomography (CT).6
Perawatan awal flail chest dapat dilakukan :
 Primary Survei
 Analgesia dapat diberikan dengan pemberian anestesi lokal, yang
menghindari potensi depresi pernafasan yang umum dengan narkotik
sistemik. Pilihan untuk pemberian anestesi lokal termasuk blok saraf
interkostal intermiten dan anestesi intrapleural, ekstrapleural, atau epidural
transkutan.
 Pertahankan oksigenisasi dan ventilasi yang kuat.
 Bila tidak dijumpai adanya hipotensi sistemik, pemberian cairan kristaloid
intravena harus diawasi secara ketat agar tidak terjadi overhidrasi yang
dapat menyebabkan terjadinya gangguan pernafasan
Pencegahan hipoksia sangat penting bagi pasien trauma, periode intubasi dan
ventilasi yang singkat mungkin diperlukan sampai dokter mendiagnosis seluruh
pola cedera. Penilaian yang cermat terhadap laju pernapasan pasien, saturasi
oksigen arteri, dan kerja pernapasan.9
Gambar 18. Fisiologi Flail chest.6
Secara umum, pasien yang tidak memerlukan ventilasi mekanis memiliki
prognosis yang jauh lebih baik dibandingkan dengan mereka yang membutuhkan.
Namun, efek samping yang sangat umum adalah tingkat kecacatan yang tinggi.
Rasa sakit dapat berlangsung berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun pada
beberapa pasien.14

Kontusio paru
Berdasarkan mekanisme kecelakaan, kontusio paru dapat terjadi akibat
cedera tumpul, tembus atau karena kombinasi keduanya. Trauma tumpul thoraks
menyumbang lebih dari 17% pada instalasi kegawatdarurat. Kontusio paru
berkembang selama 24 jam pertama muncul di sekitar 20-22% dari yang terluka,
mengakibatkan kerusakan parenkim paru, edema, hematoma alveolar dan
hilangnya struktur fisiologis dan fungsi paru.19
Penyebab yang mendasari seringkali adalah deselerasi secara tiba – tiba
pada tubuh, sementara thoraks bertabrakan dengan benda tetap yang tidak
bergerak. Dalam kehidupan sehari-hari, kondisi ini seringkali terjadi selama
kecelakaan lalu lintas pada sekitar 70% pasien dengan kontusio paru. Selain itu,
jatuh dari ketinggian atau lebih jarang, ledakan atau cedera olahraga juga dapat
menyebabkan kontusio paru.19 Kontusio paru merupakan cedera umum dengan
insiden 30% sampai 75% pada pasien yang menderita cedera tumpul thoraks dan
sampai 17% dari semua pasien yang datang akibat trauma.12
Kontusio paru sering terjadi bersamaan dengan cedera dinding thoraks.
Paru yang mengalami kontraksi seringkali tidak dapat berpartisipasi dalam
pertukaran gas respirasi. Jika volumenya cukup besar, kondisi ini dapat
menyebabkan kegagalan pernapasan yang signifikan.6 Kegagalan pernapasan
dapat berkembang segera setelah trauma, dengan onset akut atau bahkan mungkin
memakan waktu seminggu. Namun, setelah jangka waktu yang lebih lama, lebih
sulit untuk mengungkapkan penyebab utama yang mendasarinya. Akibatnya,
faktor mekanik dan patofisiologi cedera harus didiskusikan bersama.19
Tanda dan gejala yang bisa ditemui pada kontusio paru adalah : adanya
riwayat trauma, sesak nafas, nyeri dada, batuk, takikardi, takipnea, penurunan
suara nafas. Pada pemeriksaan rontgen toraks dapat ditemukan perbercakan yang
terletak pada titik benturan maksimal, biasanya muncul 6 jam setelah trauma dan
karena darah cepat diabsorbsikan maka gambaran tersebut akan menghilang
dalam 72 jam.

Gambar 19 Gambaran Rontgen Thoraks Kontusio Paru


Kontusio seringkali berkembang di lokasi benturan. Pada beberapa teori,
mekanismenya dilaporkan mirip dengan pasien trauma otak, yaitu melalui
mekanisme contrecoup, dapat bermanifestasi di jaringan paru kontralateral
dengan trauma langsung. Mekanisme ini berhubungan dengan fleksibilitas
dinding thoraks yang bertanggung jawab atas tingkat impuls energi yang
mempengaruhi jaringan paru. Pada anak, tulang rusuk yang fleksibel mampu
mentransfer lebih banyak energi tanpa patah tulang rusuk. Namun, tulang rusuk
orang dewasa yang lebih kaku mampu menyerap lebih banyak energi. Pasien
dengan fraktur disertai kontusio paru adalah anak-anak pada 62% dan dewasa
pada 80% kasus. Pasien lanjut usia lebih mungkin menderita fraktur dibandingkan
dengan kontusio.19
Sebagai akibat dari kontusio, alveoli dan kapiler mengalami robekan,
sehingga darah dan cairan interstisial masuk ke dalam alveoli dan jaringan.
Awalnya, hematoma muncul di area cedera, setelah beberapa jam kemudian,
edema berkembang di dalam dan sekitar area yang terkena. Ventilasi lebih lanjut
terganggu oleh respon inflamasi yang berkembang dan protein yang muncul di
alveoli sehingga terjadi penurunan jumlah surfaktan dan alveolus akhirnya kolaps.
Cairan patologis yang muncul di alveoli menjadi semakin tebal, jaringan paru
kehilangan elastisitasnya.19
Pengobatan kontusio paru umumnya suportif : mempertahankan
oksigenasi, mencegah/mengurangi edema, terapi oksigen, pain control. Untuk
kontusio yang berat, intubasi dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan.6 Melihat
kontusio paru sebagai patologi yang terpisah, prognosisnya sangat ditentukan oleh
tingkat keparahan kontusio dan penyakit paru sebelumnya dalam riwayat. Dalam
kebanyakan kasus, kontusio paru dapat sembuh secara spontan dalam 5-7 hari.
Penurunan fungsi pernapasan dapat berkembang sebagai komplikasi. Pada lebih
dari 90% pasien yang terdiagnosa, sesak napas terjadi dalam enam bulan pertama
setelah kecelakaan. Dalam beberapa kasus, sesak napas ini berlangsung sepanjang
hidup pasien. Penyakit paru kronis juga dapat berkembang sebagai akibat dari
kontusio yang berat. Empat tahun setelah cedera, kapasitas residu fungsional paru
menurun pada sebagian besar pasien dengan kontusio. Fibrosis paru berkembang
6 tahun setelah cedera.19

Aortic Disruption
Ruptur aorta dapat terjadi karena terjadi kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari
ketinggian. Temuan yang kita dapatkan dapat meliputi : pelebaran dari
mediastinum, fraktur iga 1 dan 2 dan scapula yang menandakan terjadinya
benturan yang cukup hebat. Untuk menegakan digagnosi dapat dilakukan CT scan
thoraks + kontras. Tindakan yang dapat kita lakukan, manejemen nyeri yang
adekut dan mempertahakan HR < 80 , MAP 60 – 70 mmHg, kemudian Rujuk
untuk tindakan definitif

Cardiac Injury
Kontusio atau memar pada dinding myocardium akibat benturan dengan sternum
atau iga yangd terjadi akibat adanya Kecealakan lalu lintas atau terjatuh dari
ketingggian. Gejala yang dirasakan pada pasien adalah dada terasa tidak nyaman,
hypotensi, aritmia, Gerakan otot jantung abnormal terlihat pada pemerikasaan
echocardiograpi, peningkatan enzim jantung. Tindakan yang dapat dilakukan
adalah kontrol nyeri pada pasien dan monitoring pasien serta rujuk jika terjadi
kelainan pada EKG pasien

Diapragmatic Injury
Pada temuan awal biasanya terjadi mekanis trauma pada perut pasien.Pada pasien
bisanya tidak menunjukan gejala yang serius, dan kondisi stabil kecuali jika
terjadi robekan yang luas sehingga semua organ abdomen naik ke rongga thoraks
dan menyebabkan peningkatan tekanan hemitoraks dan menyebakan
ketidakstabilan hemodinamik. Pada pemeriksaan radiologi didapatkan banyangan
usus pada hemithoraks yang tejadi injury. Untuk menegakan diagnostik dapat
dilakukan ct scan dengan kontras.
Gambar 20 Bayangan Udara pada Lumen Usus
Esofagel Injury
Kasus ini jarang terjadi, mekanisme mirip dengan terjadinya diapragma injury.
Pada pasien datang dengan hemodinamik yang stabil namun jika tidak terdeteksi
dapat menyebabkan komplikasi mediastinitis yang dapat menyebabkan mortalitas
yang tinggi. Pasien datang dengan gejela batuk darah, muntah darah, dan nyeri
menelan. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakan
diagnosis adalah ct scan dengan kontras.

Mekanisme Diagnosis dan Manajemen Awal Trauma Toraks


1) ARAH DAN ASAL TRAUMA: langsung, tidak langsung ("contre coupe"),
puntiran/ spiral, genjetan, barotrauma, spontan, dan iatrogenik

2) DIAGNOSTIK SINGKAT Keadaan mendadak pada toraks sering ditandai


dengan SESAK Nafas. Bila terdapat trauma pada toraks, maka diagnostik sering
sudah dapat dibuat dengan menduga patofisiologinya. Suatu trauma tajam (luka
tusuk) akan dapat menyebabkan hematotoraks di samping pneumotoraks. Trauma
tumpul dengan sesak nafas memberi dugaan adanya pneumotoraks tertutup; dan
keadaan sesak hebat pada setiap penambahan nafas dengan sianosis memberi
kemungkinan terdapatnya pneumotoraks-tensi. Prosedur diagnostik harus
dilakukan dengan cepat, sering harus terlebih dahulu sudah dilakukan tindakan
penyelamat (life saving) sebelum diagnosis lengkap ditegakkan. Namun paling
sedikit gambaran kasar diagnosis sudah dapat dibuat. Dalam tindakan penyelamat
ini termasuk pula tindakan bedah. Langkah- langkah umum prosedur diagnostik
pada keadaan mendadak pada toraks dapat digariskan sebagai berikut :

1. Keadaan umum penderita: sesak? anemis, shock, pre-syok? dinilai nadi, bila
perlu tensi.

* Bila perlu dalam keadaan ini sudah diambil tindakan resusitasi dengan: A
membebaskan Airway (jalan nafas); B menjamin Breathing (pernafasan); C
memperbaiki Circulation: pemberian cairan intravena: plasma, darah, atau cairan
elektrolit.

2. Status lokalis: adakah trauma pada toraks? sisi yang mana? bagaimana gerakan
nafas, simetris, terhambat? trauma tajam: arah dan lokalisasinya trauma tumpul:
macamnya, adakah Flail chest?

* Dalam keadaan ini sudah dapat pula diambil tindakan penyelamatan bila
menghadapi misalnya pneumotoraks tensi: membuat kontra-ventil. Pada
pneumotoraks terbuka dengan luka ternganga (aucking wound) dapat ditutup
secara kedap udara (air-tight) dengan kasa.

3. Pemeriksaan fisis toraks: perkusi: pneumotoraks? hematotoraks? sampai


setinggi mana?; auskultasi: suara nafas sisi mdaa yang kurang? suara jantung?

* Paling tidak setelah tiga langkah diagnostik ini, diagnosis kerja sudah dapat
dibuat. Tindakan-tindakan darurat/penyelamatan tetap harus dilakukan bila
dipandang perlu.

4. Pembuatan gambar Röntgen (X-foto) dari rongga toraks: karena penderita


umumnya terlentang, maka paling praktis bila dilakukan pengambilan gambar
dalam posisi A-P dalam kondisi: keras, bila menduga adanya fraktura costa/e;
paru (lunak), bila menduga kelainan ada di parenkim paru; bila penderita dapat
duduk, maka pengambilan gambar dilakukan pada posisi duduk dalam inspirasi
maksimal; bila dapat berdiri (atau dibantu, asal tidak menyebabkan gangguan
sirkulasi), dapat diambil gambar dalam posisi P-A.
BAB 3
KESIMPULAN

Trauma thoraks umumnya dapat terjadi pada trauma energi tinggi dan energi
rendah dan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Seperti halnya manajemen semua trauma, evaluasi trauma thoraks memerlukan
pendekatan sistematis, pertama memprioritaskan jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi, diikuti oleh survei sekunder yang terfokus.
Tidak seperti bentuk trauma lainnya, cedera thoraks memiliki potensi untuk
berkembang dengan cepat dan memerlukan intervensi prosedural yang cepat di
ruang gawat darurat. Karena urgensi ini, dokter harus memiliki tingkat kesadaran
situasional yang tinggi dan memperhatikan temuan pemeriksaan fisik.
Sebagian besar trauma thoraks paling baik ditangani dengan resusitasi dan
drainase thoraks, namun analgesia, antibiotik, dan fisioterapi thoraks juga
memiliki peran yang sangat penting untuk dimainkan dalam hasil akhir.
Torakotomi resusitasi dan darurat masih merupakan keterampilan yang sangat
penting bagi dokter yang terlibat dalam perawatan pasien trauma karena prosedur
ini menyelamatkan nyawa.
DAFTAR PUSTAKA

1. Zhang S, Tang M, Ma J, Yang J, Qin X, Jin W, et al. Thoracic trauma: A


descriptive review of 4168 consecutive cases in East China. Med (United
States). 2019;98(14).
2. Dimitrov I, Iv. Novakov I, P. Bonev P, Uchikov A. Rib fractures in blunt
chest trauma - associated thoracic injuries. Trakia J Sci. 2017;15(3):216–9.
3. Edgecombe L AL. Thoracic trauma. StatPearls [Internet]. 2018.
4. Liwe N, Limpeleh H, Monoarfa A. Pola Trauma Tumpul Toraks Di
Instalasi Rawat Darurat Bedah Rsu Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
Periode Juli 2011 – Juni 2012. e-CliniC. 2014;2(2):2–4.
5. Handoyo CN. Profil Trauma Toraks di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD
Gambiran Periode Maret 2017 – Maret 2018. J Ilm Kedokt Wijaya
Kusuma. 2018;7(2):178.
6. Dennis BM, Bellister SA, Guillamondegui OD. Thoracic Trauma. Surg
Clin North Am. 2017;97(5):1047–64.
7. Milisavljevic S, Spasic M, Milosevic B. Pneumothorax: Diagnosis and
treatment. Sanamed. 2015;10(3):221–8.
8. Suarjaya PP, Kedokteran F. EARLY IDENTIFICATION AND BASIC
LIFE SUPPORT FOR. 2020;1–18.
9. Ronald M. Stewart, MD F. Advanced Trauma Life Support. Vol. 48,
Anaesthesia. 2018. 63–81 p.
10. Kuhajda I, Zarogoulidis K, Kougioumtzi I, Huang H, Dryllis G, Kioumis I,
et al. Penetrating trauma. 2014;6:461–5.
11. Platz JJ, Fabricant L, Norotsky M. Thoracic Trauma: Injuries, Evaluation,
and Treatment. Surg Clin North Am. 2017;97(4):783–99.
12. Yeh DD, Lee J. Trauma and Blast Injuries. Murray Nadel’s Textb Respir
Med. 2016;1354-1366.e4.
13. McKnight CL, Burns. B. Pneumothorax. StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing. 2021.
14. Perera TB, King. KC. Flail Chest. StatPearls [Internet]. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing. 2021.
15. Simpson RB, Dorman JR, Hunt WJ, Edwards JG. Multiple rib fractures: A
novel and prognostic CT-based classification system. Trauma (United
Kingdom). 2020;22(4):265–72.
16. Koesbijanto H. Flail Chest Management in ARDS. Folia Medica Indones.
2011;47(3):191–7.
17. Mahoozi HR, Volmerig J, Hecker E. Modern Management of Traumatic
Hemothorax. 2016;5(3).
18. Gomez LP, Tran. VH. Hemothorax. StatPearls [Internet]. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing. 2021.
19. Rendeki S, Molnár TF. Pulmonary contusion. J Thorac Dis. 2019;11(Suppl
2):S141–51.
20. Cohn SM, DuBose JJ. Pulmonary Contusion: An Update on Recent
Advances in Clinical Management. World J Surg. 2010;34(8):1959–70.

Anda mungkin juga menyukai