Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

Gangguan Tidur pada Depresi Usia Lanjut

Disusun oleh:

Windyanissa Recita

112021117

Pembimbing:

dr. Sri Woroasih, SpKJ

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Rumah Sakit Panti Wilasa Dr Cipto

Periode 12 September – 15 Oktober 2022

1
DAFTAR ISI

Bab I Pendahuluan …………………………………………………………………………….2

Bab II Tinjauan
Pustaka………………………………………………………………………..3
2.1 Gangguan
Depresi………………………………………………………………….3
2.1.1 Gangguan Depresi Usia
Lanjut…………………………………………………..6
2.2 Gangguan Tidur……………………………………………………………………8
2.2.1 Gangguan Tidur pada Usia Lanjut…………………………………………...
….11
2.3 Gangguan Tidur pada Depresi Usia
Lanjut……………………………………….13

Bab III Kesimpulan


…………………………………………………………………………..16

Daftar Pustaka……………………………………………………………………………...…
17

1
BAB I
PENDAHULUAN

Seiring bertambahnya usia, manusia mengalami banyak perubahan secara anatomis


maupun psikologis. Masalah kesehatan, baik fisik ataupun mental, akan mulai bermunculan.
Masalah yang sering ditemui dapat berupa masalah pergerakan, nyeri otot kronik, gangguan
tidur, serta depresi.1

Definisi dari depresi adalah gangguan mental yang ditandai dengan adanya perasaan
sedih, kehilangan minat atau kesenangan, penurunan energi, perasaan bersalah atau rendah
diri, gangguan tidur atau nafsu makan dan kurangnya konsentrasi. Selain itu, depresi sering
bersamaan dengan gejala kecemasan.2 Menurut data WHO diperkirakan 350 juta orang
menderita depresi. Depresi merupakan kelainan di bidang psikiatri yang sering ditemui pada
usia lanjut. Pada kasus depresi pada usia lanjut, gejala mayor dan gangguan mood lebih
jarang didapatkan, sehingga gejala yang lebih utama adalah gejala somatik atau psikotik, dan
defisit kognitif.3

Perubahan neurofisiologi yang banyak ditemui pada depresi di usia lanjut ialah
gangguan tidur. Pasien dengan depresi umumnya mengeluhkan bangun yang terlalu pagi dan
sulit kembali tidur, bersamaan pula dengan sering terbangun di malam hari. Insomnia
merupakan salah satu gejala depresi yang paling sering pada usia berapapun terutama pada
usia lanjut, serta merupakan faktor risiko independent timbulnya ide bunuh diri.4

Penuaan dikaitkan dengan penurunan kualitas tidur. Sebanyak 40% orang usia lanjut
melaporkan masalah tidur, dan sebanyak 50-90% pasien dengan depresi mengeluhkan adanya
gangguan tidur. Adanya perubahan sirkadian pada lanjut usia, terutama pada pasien dengan
demensia Alzheimer, dimana dapat terjadi penurunan rapid-eye movement, dan slow-wave
sleep, yang menyebabkan pasien terjaga sepanjang hari dan tidak bisa tidur di malam hari.

Makalah ini akan membahas mengenai gangguan tidur dan depresi pada usia lanjut,
serta gangguan tidur pada pasien usia lanjut dengan depresi.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Depresi5,6

Definisi

Gangguan depresi menurut DSM V termasuk gangguan regulasi mood yang


mengganggu, gangguan depresif (termasuk episode depresi mayor), gangguan depresi
persisten (distimia), gangguan disforik pramenstruasi, gangguan depresi akibat zat atau obat,
gangguan depresi karena kondisi medis lain, gangguan depresi karena kondisi medis lain, dan
gangguan depresi lainnya. Ciri umum dari semua gangguan ini ialah adanya rasa sedih,
suasana hati yang kosong, atau mudah tersinggung, disertai dengan perubahan somatic dan
kognitif yang secara signifikan mempengaruhi kapasitas individu untuk berfungsi. Yang
membedakan jenis depresi tersebut adalah perihal durasi, waktu, dan dugaan etiologi.

Major Depressive Disorder (MDD) merupakan kondisi klasik dalam gangguan ini.
Hal ini ditandai dengan episode depresi selama minimal 2 minggu yang melibatkan
perubahan yang jelas dalam pengaruh, kognitif, dan fungsi neurovegetatif.

Etiologi

Depresi adalah gangguan multifaktorial, dengan berbagai faktor risiko. Genetika, pola
asuh awal dan kepribadian dapat meningkatkan kerentanan terhadap depresi, dengan episode
yang timbul tergantung pada tingkat stres akut dan kronis yang dialami.

Penegakan Diagnosis6

Kriteria diagnosis MDD ialah:

A. Adanya 5 atau lebih gejala yang muncul selama 2 minggu berturut-turut dan menunjukkan
adanya perubahan fungsi dari keadaan sebelumnya; yang mana satu diantara gejalanya
adalah (1) suasana depresi atau (2) kehilangan minat

3
1. Perasaan depresi yang terjadi hampir sepanjang hari, terjadi hampir setiap hari
yang dinyatakan sebagai perasaan sedih, kosong, atau tidak berdaya atau penilaian
pihak lain (sering menangis)
2. Berkurangnya minat atau kesenangan pada hampir semua hal dan aktivitas yang
terjadi hampir setiap hari
3. Perubahan berat badan secara signifikan yang tidak disengaja (lebih dari 5% dari
berat badan sebelumnya dalam satu bulan) atau perubahan nafsu makan yang
terjadi hampir setiap hari
4. Insomnia atau hypersomnia hampir setiap hari
5. Agitasi atau keterbelakangan psikomotor yang tidak disengaja (yang dapat
dirasakan atau diamati oleh orang lain)
6. Merasa mudah lelah hampir setiap hari
7. Merasa tidak berharga, tidak pantas atau merasa bersalah yang berlebihan (yang
mungkin bersifat delusi) yang terjadi hampir setiap hari
8. Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau merasa ragu-
ragu yang dirasakan hampir setiap hari (baik penilaian subjektif atau yang diamati
oleh orang lain)
9. Pemikiran mengenai kematian yang berulang (bukan hanya rasa takut akan
kematian), ide bunuh diri yang berulang tanpa rencana khusus, atau usaha bunuh
diri, atau rencana khusus untuk bunuh diri.
B. Gejala tersebut menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau hendaya dalam
fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya
C. Episode ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat atau kondisi medis yang lain
D. Terjadinya episode depresi mayor yang bukan merupakan diagnosis dari gangguan
skizoafektif, skizofrenia, gangguan skizofreniform, gangguan delusi, atau spektrum
skizofrenia lainnya dan gangguan psikotik lainnya
E.Tidak pernah ada episode manik atau episode hipomania

Klasifikasi
Gangguan depresi dibagi menjadi 3 kategori, yaitu ringan, sedang dan berat. Depresi
ringan adalah gangguan depresi yang memenuhi kriteria depresi diatas, hanya sedikit
kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan sehari-hari, dan dalam periode 2
minggu tersebut tidak boleh ada gejala depresi berat. Kemudian digolongkan menjadi

4
depresi sedang apabila memenuhi kriteria depresi diatas dan menghadapi kesulitan nyata
untuk melakukan kegiatan sosial, pekerjaan, dan urusan rumah tangga.
Depresi berat tanpa gejala psikotik ditandai dengan kriteria depresi yang terpenuhi
dengan intensitas yang berat, adanya retardasi psikomotor yang mencolok, dan pasien
sangat tidak memungkinkan untuk dapat melakukan kegiatan baik social, pekerjaan,
ataupun urusan rumah tangga. Apabila disertai adanya waham, halusinasi, atau stupor
depresi maka digolongkan menjadi depresi berat dengan gejala psikotik.

Tatalaksana
Tujuan utama terapi yaitu mengakhiri episode depresi saat ini dan mencegah
timbulnya episode penyakit di masa yang akan datang. Untuk itu dibagi menjadi 3 fase :
Terapi fase akut, fase lanjutan, dan fase rumatan (Tabel 1).
1. Terapi fase akut
Target pengobatan pada fase akut tercapainya respon atau remisi (lebih baik).
Lama terapi pada fase akut 2-6 minggu. Kombinasi terapi psikososial dan
farmakoterapi memberikan hasil yang baik. Untuk kasus ringan terapi psikososial
saja juga memberikan hasil yang baik.
2. Terapi fase lanjutan
Tujuan pengobatan pada fase ini adalah tercapainya remisi dan mencegah
relaps. Remisi yaitu bila HAM-D ≤ 7 atau MADRS ≤ 8, bertahan paling sedikit 3
minggu. Dosis obat sama dengan fase akut.
3. Terapi fase rumatan
Tujuan untuk mencegah rekurensi. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah
risiko rekuren, biaya dan keuntungan perpanjangan terapi. Pasien yang telah tiga
kali atau lebih mengalami episode depresi atau dua episode berat dipertimbangkan
terapi pemeliharaan jangka panjang. Antidepresan yang telah berhasil mencapai
remisi dilanjutkan dengan dosis yang sama selama masa pemeliharaan.

Nama Obat Dosis Harian (mg) Efek Samping


SSRI Semua SSRI bisa
- Escitalopram 20-60 menimbulkan insomnia,
- Fluoksetin 10-40 agitasi, sedasi, gangguan
- Sertralin 50-150 saluran cerna, dan disfungsi
- Fluvoksamin 150-300 seksual

5
Trisiklik/Tetrasiklik
- Amitriptilin 75-300
Antikolinergik
- Maprotilin 100-225
- Imipramin 75-300
SNRI Mengantuk, kenaikan BB,
- Duloksetin 40-60 hipertensi, gangguan saluran
- Venlafaksin 150-375 cerna
RIMA Pusing, sakit kepala, mual,
- Moklobemid 150-300 berkeringat, mulut kering,
mata kabur
NaSSA
Somnolen, mual
- Mirtazapin 15-45
SSRE Somnomlen, mual,
- Tianeptin 12,5-37,5 gangguan kardiovaskuler
Melatonin Agonis
Sakit kepala
- Agomelatin 25-50

Kemudian dapat diberikan terapi psikososial berupa terapi kognitif, interpersonal, terapi
perilaku, terapi orientasi-psikoanalitik, dan terapi keluarga. Untuk depresi katatonik, atau
pada pasien dengan tendensi bunuh diri berulang

2.1.1 Depresi pada Usia Lanjut

Depresi pada lanjut usia sangat sering terjadi dan secara bermakna menurunkan
kualitas kehidupan para lansia. Depresi sering dianggap sebagai bagian yang biasa dari proses
penuaan sehingga sering tidak menjadi perhatian. Akibat lebih lanjut yang dapat dialami para
lansia yang depresi adalah peningkatan risiko mendapatkan berbagai penyakit, sehingga
sering ada bersamaan dengan penyakit diabetes melitus, hipertensi, sindroma metabolik,
gangguan jantung koroner, kanker, asma dan hendaya kognitif dan demensia.7

Pada penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Mental Health ditemukan
beberapa gangguan mental yang paling sering dijumpai pada pasien lanjut usia adalah

6
gangguan depresi, gangguan kognitif, fobia, dan gangguan pengunaan alkohol. Pasien lanjut
usia juga memiliki risiko tinggi untuk bunuh diri dan timbulnya gejala psikiatri akibat obat.8

Usia bukan merupakan faktor risiko untuk timbulnya gangguan depresi, namun
biasanya peristiwa kehilangan pasangan dan memiliki penyakit medis kronis dikaitkan
dengan kerentanan terhadap munculnya gangguan depresi pada usia lanjut.

Gangguan depresi yang umumnya ditandai oleh rasa lelah yang berkepanjangan dan
sulit untuk berkonsentrasi, gangguan tidur, berkurangnya nafsu makan, kehilangan berat
badan, dan keluhan somatik. Pasien usia lanjut yang mengalami depresi memperlihatkan
gejala yang berbeda dengan pasien dewasa muda. Pasien usia lanjut dengan depresi lebih
banyak memiliki keluhan somatic. Pasien usia lanjut juga lebih rentan terhadap episode
depresi berat dengan ciri melankolik, ditandai dengan adanya hipokondriasis, harga diri yang
rendah, perasaan tidak berharga, dan kecenderungan menyalahkan diri sendiri (terutama
mengenai seks dan rasa berdosa), dengan ide paranoid dan bunuh diri.

Gangguan kognitif pada pasien lanjut usia yang mengalami depresi atau disebut juga
sindroma demensia dari depresi (pseudodemensia), yang mudah rancu dengan demensia yang
sebenarnya, dimana pada pseudodemensia akan ditemukan adanya defisit atensi dan
konsentrasi yang bervariasi, serta jarang memiliki gangguan Bahasa dan berkonfabulasi.

Gangguan depresi sendiri dapat diklasifikasikan menjadi gangguan depresi mayor,


yang diantaranya merupakan episode depresi, gangguan depresi mayor dan gangguan depresi
berulang, dan gangguan depresi non mayor (depresi minor, distimia, gangguan penyesuaian
dengan mood terdepresi, dan gangguan campuran anxietas dan depresi). Pada pasien lanjut
usia, umumnya jenis yang lebih sering ditemui adalah depresi minor, yaitu depresi yang
bersifat subthreshold dan subklinikal, dengan gejala sebagai berikut:

 Keluhan fisik yang lebih dominan


 Gejala berupa tidak ada motivasi, kesulitan untuk berkonsentrasi dan fungsi
kognitif yang memburuk
 Memiliki efek yang negatif sama seperti gangguan depresi mayor

Hingga saat ini, belum ditemukan faktor risiko pasti terjadinya depresi pada pasien
lanjut usia, namun beberapa penelitian mengatakan faktor predisposisi terjadinya gangguan
depresi, khususnya pada pasien lanjut usia, ialah:

7
 Jenis kelamin: perempuan mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk
menderita depresi dan lebih terpapar mengalami risiko depresi, hal ini
didukung oleh sebuah penelitian di Hongkong yang menyebutkan perempuan
usia lanjut lebih rentan jatuh ke dalam depresi apabila ia kehilangan
pasangannya
 Riwayat gangguan depresi
 Status pernikahan (Riwayat berpisah dengan pasangan)
 Perubahan neurotransmitter pada otak: pada pasien usia lanjut terjadi
penurunan kadar berbagai neurotransmitter seperti serotonin, dopamine,
norepinefrin, dan noradrenalin.
 Gangguan neuroendokrin: pada pasien lansia, terjadi hiperaktivitas dan
disregulasi pada aksis hipotalamus-pituitari sehingga terjadi peningkatan
kortisol
 Perubahan struktur otak: terjadinya atrofi pada neuron-neuron otak dan perfusi
yang menurun
 Komorbiditas dengan penyakit fisik: penyakit vascular (hipertensi), merokok
dan konsumsi alkohol
 Riwayat pengobatan: obat yang dapat menimbulkan depresi diantaranya obat-
obatan antihipertensi (golongan beta blocker, metildopa, CCB, digoksin,
klonidin), steroid, analgesic (kodein, opioid, indomethacin, cox2 inhibitor),
antiparkinson (L-dopa, amantadine, tetrabenazine), antipsikotik, dan
benzodiazepine

2.2 Gangguan Tidur

Definisi

Tidur adalah proses yang dibutuhkan otak untuk berfungsi secara tepat. Keseriusan
dari gangguan tidur tidak diketahui oleh masyarakat umum karena mereka menganggap hal
ini tidak berbahaya.

Pada manusia, siklus tidur-bangun dikendalikan oleh jam endogen yang beroperasi
selama periode 24 jam, disebut ritme sirkadian. Ritme ini disinkronkan dengan isyarat waktu
eksternal ("zeitgebers") seperti siklus terang- gelap, yang berfungsi sebagai isyarat waktu
eksternal utama manusia.

8
Siklus tidur terdiri dari 3 fase, yaitu: fase bangun, fase Non-Rapid Eye Movement
(NREM) dan fase REM. Fase NREM terbagi menjadi 4 tahap. Tahap 1 tidur NREM disebut
“drowsy period”, awal tidur yang bila terbangun kembali, individu sering merasa seperti tidak
tidur. Tahap 2 mulai menunjukkan adanya sleep spindle, merupakan peri- ode aktivitas dari
interaksi thalamus-cortex. Tahap 3 dan 4, disebut slow wave sleep (SWS), merupakan
tahapan tidur dalam yang ditandai gelombang Delta. Fase REM termasuk tidur ringan dan
disebut juga paradoxical sleep. Sedangkan untuk EEG fase REM tidak berbeda dengan fase
bangun. Periode tidur dalam semalam terdiri dari 5 episode aktivitas NREM-REM. Episode
REM pertama muncul sekitar 90 menit setelah tidur, yang disebut REM latency dan berku-
rang pada individu dengan depresi, narkolepsi, dan sleep apnea.4

Terdapat 10 kelainan yang saat ini digolongkan sebagai gangguan tidur-bangun, yaitu:
insomnia, hipersomnolen, narcolepsy, gangguan tidur terkait pernapasan, gangguan irama
sirkadian, gangguan non-rapid eye movement (NREM), mimpi buruk, gangguan kebiasaan
tidur rapid eye movement (REM), restless legs syndrome, serta gangguan tidur yang
diakibatkan oleh obat-obatan.

Penegakkan Diagnosis7

A. keluhan utama ketidakpuasan dengan kuantitas atau kualitas tidur, terkait dengan satu
atau lebih gejala berikut:
1. kesulitan memulai tidur
2. Kesulitan mempertahankan tidur, ditandai dengan sering terbangun atau masalah
Kembali tidur setelah bangun
3. Bangun tidur lebih awal dengan ketidakmampuan untuk Kembali tidur
B. Gangguan tidur menyebabkan gangguan yang bermakna secara klinis, atau gangguan
fungsi sosial, pekerjaan, Pendidikan, akademik, perilaku, atau fungsi penting lainnya
C. Kesulitan tidur terjadi setidaknya 3 hari dalam seminggu
D. Kesulitan tidur sudah terjadi selama 3 bulan
E. Kesulitan tidur terjadi meskipun ada kesempatan yang cukup untuk tidur
F. Insomnia tidak terjadi bersamaan dengan gangguan bangun-tidur lainnya (seperti
narkolepsi, gangguan tidur terkait pernapasan, gangguan irama sirkadian, parasomnia)
G. Insomnia tidak disebabkan oleh efek suatu zat (pengobatan, penyalahgunaan obat)

Tatalaksana9

9
Prinsip pengobatan insomnia adalah optimalisasi pola tidur yang sehat. Pengobatan
insomnia dapat dilakukan secara farmakologis dan non farmakologis. Tujuan utama
pengobatan insomnia adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya. Setelah
faktor penyebabnya teridentifikasi, penting untuk mengontrol dan mengelola masalah yang
mendasarinya.

Prinsip dasar pengobatan insomnia adalah golongan hipnotik tidak boleh


digunakan sebagai monoterapi, tetapi harus dengan obat golongan hipnotik dosis
rendah yang dikombinasikan dengan terapi non-farmakologis yang secara bertahap
meningkat sesuai dengan kebutuhan pasien.

Terapi farmakologi untuk insomnia diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:

1. Nonbenzodiazepine: merupakan alternatif yang sangat baik dibandingkan


benzodiazepine (BZD) serta memiliki efek yang cukup sebanding. Golongan ini
memiliki efek samping angka kejadian amnesia, depresi respiratorik, ortostatik
hipotensi, dan kejadian jatuh pada pasien lanjut usia yang lebih rendah. Golongan
dari obat ini juga mengurangi efek hipotonia, gangguan perilaku, dan
kekambuhan insomnia dibandingkan dengan BZDs. Zolpidem,eszopiclonedan
zaleplonbekerja untuk mengurangi latensi tidur, sementara ramelteon
(agonis reseptor melatonin) digunakan untuk pasien yang sulit tidur.

2. Benzodiazepin: efek yang diinginkan dari BZD adalah efek hipnotik-sedatif yang
gunanya memprebaiki kcemasan atau anxietas, euphoria, dan peningkatan kualitas
tidur. Pemberian BZD pada lanjut usia perlu diperhatikan. Penyerapan BZD
tidak dipengaruhi oleh proses penuaan, tetapi peningkatan massa lemak
pada lansia menyebabkan waktu paruh obat menjadi konsentrasi yang sama
seperti pada penyakit, tetapi selain itu pada orang tua lebih rentan terhadap
BZD.

3. Obat lain yang memberikan efek tertidur, seperti: golongan sedating


antidepressant, antihistamin, dan antipsikotik. Sedating antidepressant hanya
diberikan pada pasien insomnia yang diakibatkan oleh depresi.1 Amitriptiline
adalah salah satu sedating antidepressant yang digunakan sebagai obat insomnia,
akan tetapi pada usia lanjut menimbulkan beberapa efek samping yaitu

10
takikardi, retensi urin, konstipasi, gangguan fungsi kognitif dan delirium. ada
pasien usia lanjut juga dihindari penggunaan trisiklik antidepresan. Obat
yang paling sering digunakan adalah trazodone.Walsh dan Schweitzer
menemukan bahwa trazodone dosis rendah efektif pada pasien yang mengalami
insomnia oleh karena obat psikotik atau monoamnie oxidase inhibitordan pada
pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap BZD.

2.2.1 Gangguan Tidur pada Lansia10,11

Jika dibandingkan dengan orang yang lebih muda, orang tua menunjukkan perubahan
kebiasaan tidur yang terkait dengan pertambahan usia yang mengakibatkan tidur
terfragmentasi dan bangun lebih awal. Beberapa etiologi berkontribusi terhadap insomnia
pada lansia. Selain itu, pasien usia lanjut cenderung memiliki kondisi komorbiditas dan
konsumsi obat-obatan yang memicu terjadinya gangguan tidur.

Insomnia adalah salah satu gejala yang paling umum dikeluhkan pasien geriatri.
Insomnia pada orang tua sering dikaitkan dengan beberapa komorbiditas psikiatri dan medis.
Prevalensi insomnia meningkat hingga 40% pada pasien yang berusia diatas 65 tahun.

Pada orang tua, penurunan tekanan homeostatik saat tidur turut menurunkan jumlah
gelombang tidur. Selain itu, berkurangnya sinyal sirkadian pada orang tua, mengakibatkan
penurunan suhu tubuh inti dan kemajuan waktu bangun dan tidur.

Terdapat beberapa kemungkinan penyebab terjadinya insomnia pada pasien lansia:

1. Gangguan tidur primer: gangguan tidur terkait pernapasan, restless leg syndrome,
gangguan tidur REM, gangguan irama sirkadian

2. Penyakit kronis: kelainan kardiovaskuler (gagal jantung (CHF), nocturnal


angina), kelainan pernapasan (PPOK, asma), kelainan endokrin (hipotiroid,
hipertiroid), gangguan saluran cerna (GERD), kelainan saraf (stroke, migrain,
kejang malam hari (nocturnal seizures), Parkinson’s disease), nyeri (artritis,
fibromyalgia, nyeri neuropatik, kanker, migrain atau sakit kepala), serta kelainan
berkemih (nocturia, BPH)

11
3. Kebiasaan dan stressor lain: tidur di siang hari, penggunaan kasur untuk aktivitas
selain tidur (menonton tv, membaca, makan), kurangnya aktivitas fisik saat siang
hari, kematian pasangan, kesepian, atau masa rawat inap di rumah sakit

4. Lingkungan: bising, cahaya, suhu, kelembaban, kurangnya pencahayaan saat siang


hari
5. Obat-obatan: psikostimulan, antidepressant, antihipertensi, antiparkinson,
bronkodilator, steroid, antihistamin, antikolinergik

Tatalaksana Gangguan Tidur Pada Lansia

Terapi utama bagi pasien lanjut usia dengan insomnia adalah tatalaksana
nonfarmakologis, diantaranya sebagai berikut:

a. Stimulus control: edukasi pasien untuk hanya tidur hanya Ketika terasa
mengantuk. Perlu juga untuk mengedukasi bahwa aktivitas yang boleh dilakukan
di atas tempat tidur hanyalah tidur. Apabila pasien masih kesulitan untuk tidur
setelah 20 menit, sarankan pasien untuk pergi ke ruangan lain dan melakukan hal
lain dan Kembali ke kamar tidur hanya Ketika mengantuk. Pasien harus bangun di
waktu yang sama setiap paginya dan sebisa mungkin hindari tidur di siang hari.

b. Pembatasan durasi tidur: mengedukasi pasien untuk tidur selama minimum 4,5
jam. Mengevaluasi efisiensi waktu tidur dengan memperhitungkan jumlah waktu
tidur dibandingkan dengan waktu yang dihabiskan di tempat tidur.

c. Sleep hygiene: terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam penerapan
sleep hygiene, yaitu: olahraga secara teratur, menciptakan suasana kamar tidur
yang baik – disarankan kamar tidur agar tetap tenang dan gelap serta suhu ruangan
dibawah 24oC, pola makan yang baik – 3 kali sehari serta hindari makan makanan
berat sebelum tidur, batasi konsumsi cairan sebelum tidur, pembatasan konsumsi
kafein – paling lambat 4 jam sebelum waktu tidur, hindari alkohol dan kebiasaan
merokok

12
Apabila terapi nonfarmakologis masih belum berhasil, perlu dipertimbangkan
pemberian obat-obatan. Pada pasien dengan keluhan sulit untuk mulai tidur, pilihan
pengobatan yang tepat adalah pemberian golongan obat short-acting (etizolam, brotizolam,
lormetazepam) atau ultra-short-acting (BZD – triazolam, Non BZD – zolpidem, zopiclone,
eszopiclone). Pada pasien dengan keluhan bangun tidur terlalu cepat, dapat diberikan tipe
intermediate (estazolam, nitrazepam, flunitrazepam) atau long-acting (quazepam,
flurazepam).

Pemberian benzodiazepine jangka panjang pada orang tua harus diperhatikan. Pada
studi prospektif yang melibatkan pasien lansia, penggunaan benzodiazepine angka Panjang
berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya demensia.

2.3 Gangguan Tidur pada Depresi Usia Lanjut

Penuaan dikaitkan dengan penurunan kualitas tidur, dan tersebar luas di antara orang
dewasa lanjut usia. Sebanyak 40% orang lanjut usia melaporkan masalah tidur, dan sebanyak
50-90% pasien dengan depresi mengeluhkan adanya gangguan tidur. Keluhan tidur yang
sering dikemukakan adalah sulitnya masuk tidur, seringnya terbangun di malam hari, dan
terbangun dini hari. Kualitas tidur yang buruk pada lanjut usia dikaitkan dengan peningkatan
risiko gangguan kognitif dan demensia.

Hubungan sebab-akibat dari gangguan tidur dan gangguan depresi masih menjadi
kontroversi hingga saat ini. Sejak lama, diketahui bahwa gangguan tidur merupakan salah
satu gejala sekunder dari gangguan depresi. Namun banyak penelitian longitudinal telah
menunjukkan bahwa insomnia tidak hanya merupakan manifestasi prodromal dari depresi,
tetapi juga merupakan faktor risiko independen untuk depresi berikutnya.12

13
Gambar 1: Mekanisme inflamasi antara gangguan tidur dan depresi

Fang, et al menjelaskan hipotesa inflamasi mengenai mekanisme dua arah antara


gangguan tidur dan depresi. Bahwa kurangnya waktu tidur berpengaruh pada peningkatan
kadar sitokin inflamasi (seperti IL 6 dan TNF) saat siang hari. Selain itu, penelitian
menunjukkan meningkatnya kadar CRP dan IL-6 berhubungan dengan gangguan tidur.
Secara umum, kurangnya waktu tidur menyebabkan peningkatan sel-sel inflamasi. Selain itu,
terdapat hubungan yang erat antara depresi dan inflamasi. Pada pasien depresi, didapatkan
marker inflamasi yang lebih tinggi dibandingkan pasien non-depresi, dan pada pasien dengan
kelainan sel inflamasi didapatkan merupakan komorbid terjadinya depresi.

Gangguan depresi mayor (MDD) telah dihubungkan dengan gangguan REMS.


Transisi menuju fase REM dimediasi oleh penurunan kadar monoamine (serotonin,
norepinefrin, dan dopamine) dan bersamaan dengan peningkatan kadar kollinergik. Dimana,
pada penelitian lain dikatakan mengenai hipotesa patofisiologi terjadinya depresi diakibatkan
oleh perubahan kadar monoamine.

Untuk penatalaksanaan secara umum adalah kombinasi dengan intervensi


farmakologis dan nonfarmakologis. Intervensi farmakologis dapat diberikan mulai
antidepressant (golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor/ SSRI, modulator reseptor
benzodiazepin, agonis reseptor melatonin, dan inhibitor reseptor orexin). Agomelatin,
antidepresan baru, yang bekerja sebagai ago- nis melatonergik dan antagonis pada reseptor
5HT2C dapat menyinkronkan kembali gangguan ritmik sirkardian sehingga bermanfaat pada
depresi.

14
Pada depresi usia lanjut, Antidepresan golongan SSRI dapat ditoleransi dengan baik,
namun jangan diberhentikan langsung, harus di-tappering down, karena dapat terjadi mual
dan diare serta efek samping seksual. Pada dosis tinggi terjadi hiponatremia (SIADH/
Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Secretion). Fluoxetin bukan obat pilihan
untuk lansia karena waktu paruh yang panjang hingga 4-6 hari, metabolitnya 9,3 hari serta
potensi interaksi obat, juga menginduksi ansietas, gangguan tidur dan agitasi, serta efek
samping antikolinergiknya. Meskipun benzodiazepin umumnya diresepkan untuk insomnia di
orang dewasa yang lebih tua, ada risiko signifikan yang terkait dengan kelas obat ini,
terutama pada orang dewasa yang lebih tua, termasuk yaitu peningkatan risiko jatuh,
gangguan kognitif, dan kecelakaan berkendara.

Pengobatan Non-Farmakologis meliputi penerapan perilaku yang efektif (seperti


CBT, BBTI, Sleep Hygiene Program dan Manipulasi lingkungan/ sosial.

Cognitive-Behavioral Therapy (CBT) untuk insomnia telah terbukti memiliki


kemanjuran jangka pendek dan jangka panjang pada orang dewasa yang lebih muda dan lebih
tua. Cognitive Behavioral Therapy for Insomnia (CBT-I) berasal dari prinsip terapi Cognitive
Behavioural Therapy for Depression (CBT-D) yang sudah mapan. CBT-D adalah pengobatan
yang efektif untuk dewasa lebih tua untuk mengurangi keparahan depresi. Meskipun
demikian, CBT-D tidak termasuk intervensi CBT-I yang hanya mengatasi komorbiditas
insomnia.

15
BAB III

KESIMPULAN

Gangguan depresi adalah gangguan regulasi mood yang ditandai dengan adanya rasa
sedih, suasana hati yang kosong, atau mudah tersinggung, disertai dengan perubahan somatic
dan kognitif yang secara signifikan mempengaruhi kapasitas individu untuk berfungsi.
Depresi dan gangguan tidur merupakan gangguan mental yang paling sering dijumpai pada
pasien lanjut usia.

Hubungan sebab-akibat dari gangguan tidur dan gangguan depresi masih menjadi
kontroversi hingga saat ini. Beberapa penelitian mengatakan keduanya saling berhubungan
dan dapat saling menyebabkan satu sama lain.

Terapi pada pasien lanjut usia dapat diberikan kombinasi intervensi farmakologis dan
nonfarmakologis. Pada depresi usia lanjut, Antidepresan golongan SSRI dapat ditoleransi
dengan baik, namun jangan diberhentikan langsung, harus di-tappering down. Untuk
tatalaksana insomnia, diutamakan tatalaksana atau manuver non farmakologis. Apabila masih
belum membaik dapat diberikan obat golongan non-benzodiazepine.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. BehPajooh A, Soleymani S. The Relationship Between Sleep Quality and Depression


in Older People Living in 3 Districts of Tehran, Iran. Salmand: Iranian Journal of
Ageing. 2016; 11 (1) :72-79
2. WHO. Depression. World Health Organization [Internet]. [Cited 24 Sep 22].
Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs369/en/.
3. Krautter SH, Ellison JM. Late life depression: the essentials and the essential
distinctions. Focus:Vol 19(3).h.282-6
4. Angkawidjaja KMA, Soetjipto. Sleep disorsers in late-life depression. JPS. Vol
09(01): 2020.h.1-5
5. Marwick,K; Birrel,M., 2013. The Mood (Affective) Disorders in Crash Course
Psychiatry, 4th Edition. Edinburgh: Elsevier Ltd. Pp:133-7
6. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman nasional pelayanan kedokteran jiwa: 2015.h.36-
44
7. American Psychiatric Association. (2013). Bipolar and related disorders. In
Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.)

17
8. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri Edisi 3: Psikiatri geriatri. Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:2017.h.540-45
9. Sutardi MAG. Tatalaksana insomnia. JMH. Vol 03(01):2021.h.1703-6
10. Suzuki K, Miyamoto M, Hirata K. Sleep disorders in the elderly: diagnosis and
management. J Gen Fam Med. Vol 18: 2017.h.61-71
11. Chun S, Lee EK. Approach to insomnia in the elderly: practice considerations in
primary care for complex patients. CGS Journal of CME. Vol 9(2): 2019.h.1-10
12. Fang H, Tu S, Sheng J, Shao A. Depression in sleep disturbance: a review on a
bidirectional relationship, mechanism and treatment. J Cell Mol Med. Vol
23:2019.h.2324-32

18

Anda mungkin juga menyukai