Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH OBAT GANGGUAN SARAF

“DEPRESI”

Disusun oleh:
Kelompok 6 – Kelas OGS C

Anggota Kelompok:
Afaf Amma Lahilla 1606924266
Alma Dafina E. 1606883013
Benedictus 1606889105
Felmina L. 1606924436
Naura Syafira 1606837581
Stella Vania 1606887232
Maria Juanita 1606924064

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya makalah ini dapat selesai dengan baik dan tepat waktu. Terima kasih kepada Dr. Fadlina
Chany Saputri, S.Si., M.Si., Apt. selaku dosen pengampu mata kuliah Obat Gangguan Saraf
yang telah banyak membimbing penulis dalam proses pembuatan makalah ini.

Makalah ini menbahas tentang gangguan depresi dan pengobatannya, Penulis harap
setelah membaca makalah ini, pembaca dapat mempertimbangkan obat-obatan yang akan
diberikan kepada pasien depresi dengan lebih baik dan bijaksana, sehingga dapat memberikan
efek terapi yang lebih aman, efektif, dan efisien.

Mengingat masih banyaknya ketidaksempurnaan dalam makalah ini, penulis sangat


mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah yang
lebih berkualitas. Akhir kata, terimakasih atas perhatiannya dan selamat membaca.

Depok, 2 Desember 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …..……………………………………………………………………i

DAFTAR ISI …..……………………………………………………………………………..ii

BAB 1: PENDAHULUAN …......……………………………………………………………1

1.1 Latar Belakang …..………………………………………………………………..1

1.2 Rumusan Masalah ….……………………………………………………………..1

1.3 Tujuan ...…………………………………………………………………………...1

1.4 Manfaat ……………………………………………………………………………2

1.5 Metode Penulisan ...……………………………………………………………….2

BAB 2: ISI ......………………………………………………………………………………..2

2.1 Pendahuluan ....……………………………………………………………………3

2.2 Gejala Depresi ..........……………………………………………………………...3

2.3 DSM-IV-TR Kriteria Diagnosis Episode Depresi Mayor ………………………....5

2.4 Patofisiologi Depresi ...…………………………………………………………….5

2.5 Terapi Farmakologi ……………..…………………………………………………7

2.6 Terapi Non Farmakologi ....…….………………………………………………...17

BAB 3: PENUTUP ….……………………………………………………………………...20

3.1 Kesimpulan ...…………………………………………………………………….20

3.2 Saran ...…………………………………………………………………………...20

DAFTAR PUSTAKA .............……………………………………………….……………..21

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Depresi menjadi istilah yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat. Depresi dikenal
sebagai gangguan suasana hati yang dapat mempengaruhi pola pikir, perasaan, serta cara
menghadapi aktivitas sehari – hari. Prevalensi depresi di Indonesia mencapai 3,7 persen
populasi atau sekitar 9 juta orang dan kebanyakan menyerang pada usia produktif sekitar
20 – 50 tahun.
Dalam dunia medis, kondisi ini dikenal sebagai clinical depression atau major
depression. Perasaan yang konsisten terhadap kesedihan atau kehilangan ketertarikan
untuk melakukan aktivitas menjadi salah satu karakterisasi dari major depression. Hal ini
dapat menyebabkan perubahan pola tidur, nafsu makan, menurunnya konsentrasi, bahkan
dapat diasosiasikan dengan pikiran untuk bunuh diri. Berdasarkan urgensi ini, maka
penulis ingin menjabarkan definisi dan penggolongan depresi, penyebab dari sisi medis,
serta pengobatan yang diperlukan dalam mengatasi depresi.

1.2. Rumusan Masalah


a. Bagaimana depresi bisa terjadi?
b. Bagaimana patofisiologi depresi?
c. Apa saja golongan obat yang dapat digunakan pada depresi?
d. Bagaimana mekanisme kerja dari golongan obat depresi?
e. Apa penyebab hiperflaksia dan kondisi klinis lainnya setelah penggunaan Phenelzine?
f. Apa mekanisme yang mungkin terjadi dan bisa dijelaskan?
g. Apa efek yang tidak diinginkan dan kemungkinan interaksi yang terjadi diantara obat-
obatan pada kasus depresi?

1.3. Tujuan
a. Mengidentifikasi penyebab terjadinya depresi
b. Mengidentifikasi bagaimanai patofisiologi depresi
c. Mengidentifikasi golongan obat pada depresi
d. Mengidentifikasi tujuan penanganan depresi
e. Mengidentifikasi penyebab hiperflaksia

1
f. Mengidentifikasi apa saja efek yang tidak diiginkan pada penggunaan obat-obat
depresi

1.4. Manfaat
a. Mengetahui penyebab terjadinya depresi
b. Mengetahui bagaimanai patofisiologi depresi
c. Mengetahui golongan obat pada depresi
d. Mengetahui tujuan penanganan depresi
e. Mengetahui penyebab hiperflaksia
f. Mengetahui apa saja efek yang tidak diiginkan pada penggunaan obat-obat depresi

1.5. Metode Penulisan


Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu dengan
metode pustaka yang dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mencari data dengan
mengguanakan informasi yang tercantum pada literatur yang tersedia.

2
BAB II

ISI

2.1. Pendahuluan

Depresi adalah gangguan mental yang muncul dengan perasaan depresi, kehilangan
minat atau kesenangan, penurunan energi, perasaan bersalah atau rendah diri, tidur atau
nafsu makan yang terganggu, dan konsentrasi yang buruk. Depresi sering disertai
dengan gejala kecemasan (WHO, 2012).
Depresi adalah penyebab utama kecacatan untuk laki-laki dan perempuan. Prevalensi
depresi pada wanita 50% lebih tinggi daripada pada pria (WHO, 2008).
Depresi diklasifikasikan dalam beberapa kategori, yaitu:

 Disruptive Mood Dysregulation DIsorder


 Major Depressive Disorder
 Persistent Depressive Disorder (Dysthymia)
 Premenstrual Dysphoric Disorder
 Substance/Medication-Induced Disorder
 Depressive Disorder Due to Another Medical Condition
 Other Specified Depressive Disorder & Unspecified Depressive Disorder
Pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang Major Depressive Disorder.
Beberapa faktor risiko dari depresi yaitu:
1. Genetik  Seseorang yg memiliki keluarga dekat (First-degree family) yang
mengidap depresi akan berisiko lebih tinggi.
2. Biologi  Akibat terganggunya regulasi neurotransmitter Serotonin (5-HT),
Norepinefrin (NE), dan Dopamin. Hal ini bisa disebabkan akibat konsumsi obat-
obatan yang mempengaruhi regulasi neurotransmitter.
3. Lingkungan  Akibat kehilangan sesorang terdekat (bisa akibat kematian).
4. Psikologi  Trauma masa lalu akibat kekerasan fisik maupun seksual.

2.2. Gejala Depresi


Symptomps depresi menurut dipiro terbagi menjadi 4 jenis, yaitu emotional, physical,
intellectual/kognitif dan psychomotor.
2.2.1. Emotional symptoms

3
Major depressive ditandai dengan berkurangnya perasaan untuk mengalami
kesenangan. Hilangnya minat dan rasa senang dalam kegiatan yang biasa dilakukan,
hobi atau pekerjaan. Pasien tampak sedih atau depresi. Mereka merasa sering
pesimis dan percaya bahwa tidak ada yang dapat membantu mereka merasa lebih
baik. Memiliki perasaan tidak berharga dan selalu merasa bersalah dapat membuat
pasien mencetuskan pikiran bunuh diri.
Gejala kecemasan hadir hampir di 90% pasien. Pasien sering memiliki perasaan
bersalah yang tidak realistis dan ini dapat mencapai proporsi delusional. Seorang
pasien yang menderita depresi berat dengan psikoterapis dapat mendengar suara
(halusinasi pendengaran) mengatakan bahwa dia orang jahat dan dia harus bunuh
diri. Depresi dengan fitur psikotik dapat memerlukan rawat inap, terutama jika
pasien menjadi bahaya bagi diri sendiri atau orang lain
2.2.2. Physical symptoms
Gejala fisik yang paling sering dikeluhkan adalah kelelahan kronis dengan
kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari yang normal menurun. Kelelah
ini sering muncuk lebih buruk pada pagi hari dan tidak membaik walau dengan
istirahat. Keluhan rasa sakit pada kepala juga muncul.
Selanjutnya terdapat gangguan tidur yaitu terbangun dimalam hari dan sulit untuk
melanjutkan tidurnya kembali. Lama kelamaan pasien akan mengalamai
hypersomnia, yaitu sulitnya tidur walaupun mengalami kelelahan di siang hari
Pasien juga mengalami gangguan nafsu makan. Penurunan nafsu makan membuat
pasien mengalami penurunan berat badan secara drastic. Pasien kehilangan berat
badan 0,9 kg atau lebih per minggu tanpa diet.
Pasien mengalami keluhan pasa gastrointestinal, kardivaskular terutama palpitasi.
Pasien juga dapat mengalami kehilangan libido
2.2.3. Intellectual or cognitive symptoms
Gejala intelektual atau kognitif adalah menurunnya kemampuan berkonsentrasi,
melambat dalam berpikir, dan ingatan menjadi buruk. Pasien dapat tampak bingung
dan ragu-ragu. Seseorang dapat di pertimbangkan mengalami depresi ketika gejala
kognitif hadir pada orang tua.
2.2.4. Pyschomotor Disturbances
Pasien dapat terlihat terasa melambat dalam gerakan fisik, proses berpikir, dan
berbicara (keterbelakangan psikomotor). Sebaliknya, depresi dapat disertai dengan

4
agitasi psikomotor, bermanifestasi sebagai gerakan tanpa tujuan, gelisah (misalnya,
mondar-mandir, meremas-remas tangan, atau berteriak dengan sangat keras).
2.3. DSM-IV-TR Kriteria Diagnosis Episode Depresi Mayor
2.3.1. Seseorang dapat dinyatakan mengalami depresi apa bila mengalami lima atau
lebih gejala yang ada berlangsung selama 2 minggu dan memperlihatkan
perubahan fungsi, paling tidak satu atau lainnya
2.3.1.1.Mood depresi terjadi sepanjang hari atau bahkan setiap hari, diindikasikan
dengan laporan yang subjektif (merasa sedih atau kosong) atau yang dilihat
oleh orang sekitar. Note : pada anak dan remaja dapat mudha marah
2.3.1.2.Ditandai dengan hilangkan minat di semua hal atau hampir semua hal
2.3.1.3.Penurunan berat badan yang signifikan ketika tidak diet atau penuruan atau
peningkatan hampir setiap hari. Note : pada anak anak berat badan tidak
naik
2.3.1.4.Insomnia atau hypersomnia hampir setiap hari
2.3.1.5.Agitasi psikometer atau retardasi hampir setiap hari (dilihat oleh orang lain,
bukan perasaan yang dirasakan secara subjektif dengan kelelahan atau
lamban)
2.3.1.6.Cepat lelah atau kehilangan energy hampir setiap hari
2.3.1.7.Merasa tidak berguna atau perasaan bersalah yang berlebihan (bisa terjadi
delusi) hampir setiap hari
2.3.1.8.Tidak dapat berkonsentrasi atau berpikir hampir setiap hari
2.3.1.9.Pemikiran untuk mati yang berulang, ide bunuh diri yang berulang tanpa
perencanaan yang jelas, atau ide bunuh diri dengan perencanaan
2.3.2. dalam sosial,pekerjaan, atau area penting lainnya yang berfungsi.
2.3.3. Symptom bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya,
apenyalahgunaan narkoba, obat-obatan) atau kondisi medis umum (mis.,
hipotiroidisme)
2.3.4. Symptoms tidak diperhitungkan bila disebabkan karena kehilangan seseorang
yang dicintai. gejalanya menetap selama lebih dari 2 bulan
2.4. Patofisiologi Depresi
Penyebab dan proses terjadinya gangguan depresi sangat kompleks dan sulit untuk
dijelaskan secara teoritis. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa pasien yang
mengalami gangguan depresi akan mengalami perubahan pada neurotransmitter otak,
terutama norepinefrin (NE), serotonin (5-HT), dan dopamin (DA). Tidak ada teori pasti

5
yang menyatakan tentang bagaimana proses terjadinya depresi, namun terdapat
beberapa hipotesis sebagai berikut :
2.4.1. Biogenic Amine Hypothesis
Beberapa tahun sebelum diperkenalkannya antidepresan, penyebab depresi
dihubungkan dengan menurunnya level neurotransmitter NE, 5-HT, dan DA.
Hipotesis ini dihasilkan di awal tahun 1950, dimana dicatat bahwa obat
antihipertensi reserpine menurunkan jumlah granul neuronal (NE, 5-HT, dan
DA) dan menyebabkan depresi pada 15% lebih pasien. Walaupun pemberian
antidepresan segera menghambat pengambilan kembali senyawa monoamine,
efek antidepresan tidak langsung terlihat dan baru teramati 4 minggu setelah
administrasi dosis. Adanya penundaan efek kerja ini diduga arena adanya
kaskade proses dari bertemunya substansi dengan reseptor hingga transkripsi
gen. Adanya penundaan onset ini menyebabkan peneliti berusaha mencari
hipotesis lain.
2.4.2. Theories Of Postsynaptic Changes In Receptor Sensitivity
Studi dari banyak obat antidepresan telah mendemonstrasikan bahwa
desensitasi atau penurunan regulasi dari reseptor NE atau 5-HT1A adalah
penyebab terjadinya depresi. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab obat
bekerja setelah selang waktu tertentu pada teori sebelumnya. Pada pemberian
antidepresan, walaupun jumlah neurotransmitter di otak meningkat, karena
terjadi gangguan pada reseptor, maka depresi tetap berlangsung dan tidak segera
teratasi.
2.4.3. Dysregulation Hypothesis
Hipotesis ini menyatakan bahwa depresi timbul akibat kegagalan homeostasis
dari regulasi sistem neurotransmitter. Berdasarkan hipotesis ini, obat
antidepresan memberikan efek terapi dengan memulihkan regulasi dari sistem
neurotransmiter.
2.4.4. 5-HT / NE Link Hypothesis
Berdasarkan penelitian sejauh ini, tidak ada bukti yang menyatakan bahwa
neurotransmitter tunggal dapat menyebabkan depresi. Hipotesis ini menyatakan
bahwa ada hubungan antara aktivitas 5-HT dan NE. Diduga baik sistem
seronergik maupun noradrenergik, terlibat dalam respon antidepresan.
2.4.5. Role of DA in Depression

6
Beberapa penilitian menunjukkan bahwa peningkatan neurotransmitter DA di
jalur mesolimbik mungkin berpengaruh terhadap mekanisme aksi dari obat
antidepresan. Hal ini diketahui dari beberapa bukti yang menyatakan bahwa
terjadi penurunan transmisi DA pada pasien depresi, serta beberapa
antidepresan yang efektif ternyata juga menyebabkan terjadinya peningkatan
transmisi DA.
2.5. Terapi Farmakologi
2.5.1. Algoritme Terapi Depresi

Algoritme terapi digunakan untuk dapat menuntukan urutan terapi depresiyang


dapat diberikan kepada pasien dari pengobatan lini pertama hingga terapi
berikutnya juga lini pertama tidak berhasil. Terapi depresi menggunakan prinsip
trial and error.
2.5.2. Selektif Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI)
SSRI merupakan golongan antidepresan yang bekerja dengan menginhibi
reuptake serotonin secara selektif dengan 300 hingga 3000 kali lebih serotonin
transporter selektif dibanding norepinefrin transporter. Sifat selektif ini yang
membedakan SSRI dari antidepresan lain seperti Antidepresan Trisiklik (TCA)
dan Serotonin/Norepinephrine Reuptake Inhibitors (SNRI) yang menginhibisi
reuptake serotonin dan juga norepinefrin. Blocking activity dari SSRI di
reseptor muskarinik, α-adrenergik, dan histamin H1 rendah tidak seperti TCA

7
sehingga tidak muncul efek-efek samping seperti hipotensi ortostatik, sedasi,
mulut kering, dan penglihatan kabur. Karena SSRI memiliki efek samping yang
berbeda dan relatif aman bahkan dalam keadaan overdosis, maka SSRI telah
secara besar menggantikan TCA dan MAOI sebagai obat pilihan dalam
mengobati depresi.
SSRI bekerja dengan menghambat reuptake serotonin, yang
menyebabkan peningkatan konsentrasi neurotransmitter di
celah sinaptik. Antidepresan seperti SSRI biasanya
membutuhkan paling cepar 2 minggu untuk memunculkan
efek terapeutik yang signifikan dan munculnya efek yang
maksimal dibutuhkan waktu hingga 12 minggu. Pasien
yang tidak merespon terhadap satu antidepresan dapat
merespon jika diberikan antidepresan lain, dan sekitar 80%
atau lebih pasti pasien akan menanggapi terhadap
setidaknya satu obat antidepresan. Oleh sebab itu
pengobatan menggunakan antidepresan disebut dengan
trial and error.
Obat-obat yang termasuk antidepresan golongan SSRI yaitu fluoxetine, citalopram,
escitalopram, fluvoxamine, paroxetine, dan sertraline. Obat golongan ini memiliki efek
samping yaitu sakit kepala, muntah, ansietas dan agitasi, efek gastrointestinal (nausea,
muntah, diare), kelemahan dan fatigue, difungsi seksual, perubahan berat badan (bulimia),
gangguan tidur (insomnia dan somnolence) dan dapat terjadi interaksi antar obat. Obat
golongan ini dikontraindikasikan untuk pasien dengan bopilar disorder, sedang
menggunakan obat yang memperpanjang interval QT, pasien hamil dan/atau menyusui.

2.5.3. Serotonin/Norepinephrine Reuptake Inhibitors (SNRI)


SNRI bekerja dengan cara menghambat reuptake serotonin dan norepinephrine.
SNRI diresepkan pada pasien yang setelah diberikan SSRI tidak menimbulkan
hasil yang efektif, serta untuk pasien yang mengalami depresi yang disertai
dengan simptoms nyeri yang kronis seperti sakit punggung atau sakit pada otot
yang dimodulasi oleh serotonin dan norepinephrine pathways di sistem saraf
pusat.
SNRI merupakan obat yang dikembangkan dan lebih baru dari Tricyclics
Antidepressant (TCA) yang juga menginhibisi reuptake serotonin dan

8
norepinephrine karena TCA memiliki efek samping yang berlebih, sementara
SNRI memiliki efek samping yang dapat ditoleransi. Keduanya efektif dalam
meredakan sakit yang berhubungan dengan diabetic peripheral neuropathy,
postherpetic neuralgia, fibromyalgia, dan low back pain.
Contoh dari SNRI adalah venlafaxine serta desvenlafaxine yang merupakan
metabolit dari venlafaxine yang terdemetilasi. Venlafaxine pada dosis kecil
dapat menginhibisi reuptake serotonin, sementara pada dosis yang medium dan
lebih tinggi dapat menghambat reuptake serotonin dan juga norepinephrine.
Efek samping dari venlafaxine adalah nausea, headache, sexual dysfunction,
dizziness, insomnia, sedation, hingga constipation. Pada dosis yang tinggi,
venlafaxine dapat meningkatkan tekanan darah dan ritme jantung.
Selain venlafaxine, contoh SNRI lainnya
adalah duloxetine yang dapat menghambat
reuptake serotonin dan norepinephrine
pada semua dosis. Duloxetine
termetabolisme di hati menjadi metabolit
yang inaktif, sehingga penggunaannya
harus dihindari pada pasien dengan
disfungsi hati karena obat akan terus
berada dalam keadaan bebas. Efek
samping duloxetine adalah penghambatan
sedang pada isoenzyme CYP2D6 sehingga
meningkatkan konsentrasi obat yang
termetabolisasi seperti antipsikotik.
Levomilnacipran adalah salah satu jenis obat SNRI yang merupaka enantiomer
dari milnacipran dan dimetabolisasi oleh CYP3A4.
2.5.4. Antidepresan Trisiklik (TCA)
Pada dasarnya obat-obatan antidepresan bekerja dengan meningkatkan atau
memperpanjang ktivitas zat kimia otak tertentu, seperti noradrenalin dan
serotonin, yang dianggap terlibat dengan pengaturan suasana hati. Noradrenalin
dan serotonin adalah neurotransmitter. Hal ini berarti bahwa baik noradrenalin
maupun serotnin akan menyampaikan pesan antara sel-sel saraf di otak, dan
antara saraf dan organ target lainnya di seluruh tubuh. Dengan menyebabkan

9
perubahan pada kondisi kimia otak antidepresan dapat meningkatkan mood dan
memperbaiki suasana hati.
Antidepresan trisiklik mempunyai efek antikolinergik dan noradrenergik. Obat
ini paling efektif untuk mengobati depresi endogen sedang sampai berat yang
berkaitan dengan perubahan psikomotor dan fisiologis seperti hilangnya nafsu
makan dan gangguan tidur. Trisiklik ini menghambat pompa reuptake amin
(norepinefrin atau serotonin), yaitu “off switches” neurotransmisi amin.
Sehingga neurotransmitter lebih lama berada pada reseptor. Antidepressan
trisklik bekerja lebih baik dibanding obat golongan penghambat monoamin
oksidase dan memiliki efek samping yang lebih rendah.

Mekanisme Aksi Antidepresan Trisiklik

1. Inhibisi reuptake Neurotransmitter

Antidepresan trisklik menginhibisi reuptake serotonin, norepinefrin, dan dopamin pada


terminal saraf pra sinaptik sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi transmitter
di celah sinaps.

2. Memblokir Reseptor
TCA memblokir sejumlah reseptor yaitu : reseptor alfa-adrenergik perifer, histaminik,
muskarinik dan sentral serotonin:
 Blokade reseptor alfa-adrenergik dapat menyebabkan hipotensi.
 Blokade reseptor muskarinik dapat menyebabkan tanda-tanda toksisitas
antikolinergik, seperti takikardia, demam, dan perubahan status mental.
 Blokade reseptor histamin juga dapat menyebabkan perubahan status mental

Penggolongan Obat Antidepresan Trisiklik

1. Amin Tersier
a. Imipramin
Contoh obat yang sering digunakan yaitu Imipramin. Merupakan senyawa
induk TCA yang pertama kali dikembangkan. TCA amina tersier, seperti imipramine
,merupakan penghambat serotonin reuptake yang lebih poten daripada TCA amina
sekunder. Imipramin juga memblokir reseptor histamin H1, reseptor α1-adrenergik dan

10
reseptor muskarinik, yang berdampak pada efek penenang, hipotensi, dan
antikolinergik.

Farmakokinetika imipramin yaitu diabsorpsi secara cepat di saluran cerna walau


tidak sempurna (50%). Kadar plasma puncak terjadi pada 0,5 – 1 jam setelah pemberian
per oral. Dengan waktu paruh 16 jam. Pemberian dosis adalah 100 – 200 mg/hari

Struktur Kimia Imipramin Sediaan Imipramin

2. Amin Sekunder
a. Desipramin
Desipramine adalah antidepresan trisiklik (TCA) yang secara selektif
memblokir reuptake norepinefrin (noradrenalin) dari sinaps neuronal.
Desipramin juga menghambat serotonin reuptake, tetapi pada tingkat lebih
rendah dibandingkan dengan TCA amina tersier seperti imipramine.
Penghambatan reuptake neurotransmitter meningkatkan stimulasi neuron
pasca-sinaptik.
Farmakokinetika desipramine yaitu dimetabolisme di hati, dan sekitar
70% diekskresikan dalam urin. Dosis 150-250mg/hari

11
Struktur Kimia Desipramin Sediaan Desipramin

Mekanisme Kerja Desipramin pada Tubuh

Berikut adalah tabel yang menunjukkan spesifisitas relatif SSRI, SNRI, dan TCA terhadap
reseptor serotonin dan norepinefrin. Dapat dilihat bahwa SSRI memiliki afinitas yang sangat

12
tinggi terhadap reseptor serotonin namun tidak sama sekali mempengaruhi reseptor
norepinefrin. SNRI memiliki afinitas yang sangat tinggi juga terhadap serotonin namun begitu
juga terhadap norepinefrin. TCA memiliki spesifisitas yang lebih tinggi terhadap reseptor
norepinefrin dibandingkan terhadap serotonin.

2.5.5. Monoamino Oxidase Inhibitor (MAOI)


Monoamino oxidase adalah enzim yang secara oksidative men deaminasi dan
menonaktifkan neurotransmitter yang berlebih yang dapat keluar dari synaptic
vesicles saat saraf sedang beristirahat. Monoamino oxidase inhibitor memiliki
mekanisme kerja penghambatan enzim monoamino oxidase. MAOI
diresepkan pada pasien yang tidak merespons pada pemberian SSRI dan TCA
atau pada pasien depresi yang juga mengalami anxiety yang tinggi.
Contoh dari MAOI adalah phenelzine dan tranylcypromine yang bersifat
nonselektif, isocarboxazid, serta selegiline yang bersifat selektif dan
merupakan satu satunya antidepresan yang dapat diberikan secara transdermal.
Mekanisme aksi dari MAOI adlaah membentuk kompleks yang stabil dengan
enzim MAO sehingga enzim MAO tidak dapat mendegradasi
neurotransmitter. Hal ini meningkatkan konsentrasi norepinephrine, serotonin,
dan dopamine pada neuronal synaps. MAOI memiliki tempat aksi di otak, hati,
dan juga gut. Pada hati dan gut, MAO mengkatalisasi deaminasi secara
oksidatif terhadap obat dan substansi yang berpotensial toksik. Hal ini
menyebabkan tingginya resiko interaksi antara MAOI dengan obat lainnya dan
juga antara obat MAOI dengan makanan. Secara farmakokinetik, obat MAOI

13
paling baik apabila diberikan ecara oral dan akan dimetabolisasi di hati dan
diekskresikan lewat urin. Regenerasi enzim setelah penggunaan MAOI kurang
lebih sekitar dua minggu sehingga diperlukan delay 2 minggu sebelum
mengganti obat dari MAOI ke obat lainnya. Terapi MAOI yang berkelanjutan
dan kronis dapat menganggu sensitifitas reseptor.
Tyramine merupakan salah satu substansi yang dinonaktifkan oleh MAO,
sehingga penggunaan MAOI dapat menyebabkan pelepasan katekolamin
dalam jumlah besar dari terminal saraf. Hal ini dapat menyebabkan krisis
hipertensif dengan tanda – tanda occipital headache, leher yang kaku,
tachycardia, nausea, cardiac arrhythmias, seizures, stroke, dan hipertensi.
Untuk mengatasi hal ini, penggunaan MAOI dapat diberikan bersamaan
dengan phentolamine dan prazosin. Efek samping lainnya yang dapat
diberikan oleh MAOI adalah drowsiness, orthostatic hypotension, blurred
vision, dry mouth, dan constipation.
MAOI juga dapat
menyebabkan serotonin
syndrome apabila digunakan
bersamaan dengan antidepresan
lainnya sehingga level
serotonin menjadi terlalu
tinggi. Hal ini dapat
menyebabkan hyperreflexia.
Hyperreflexia disebabkan
karena hilangnya modulasi
penghambatan dari descending
pathway, sehingga myotatic
reflex menjadi berlebihan pada
upper motor neuron disorders. Stretch reflex ini merupakan tes diagnosis
klinis untuk melihat apakah terdapat gangguan pergerakan yang disebabkan
karena damage pada upper / lower motor neuron.

2.5.6. Antidepresan Atipikal

14
Antidepresan Atipikal ini merupakan kombinasi yang memiliki beberapa mekanisme.

1. Bupropione
Bupropion merupakan inhibitor reuptake dopamine transporter (DAT) dan norepinefrin
transporter (NET) yang lemah yang digunakan untuk meringankan gejala depresi.
Penggunaan obat ini harus dihindari pada pasien yang berisiko kejang atau mereka yang
memiliki gangguan makan seperti bulimia (penyakit gangguan makan dimana pasien
akan makan secara berlebihan dan berulang namun selalu dikeluarkan). Bupropion
dapat dikombinasi dengan SSRI, SNRI, dan Mirtazapine. Efek samping ditimbulkan
adalah mulut kering, berkeringat, gelisah, tremor, insomnia, nausea dan peningkatan
risiko kejang.
Dosis yang digunakan pada
- immediate release adalah 225-450 mg/hari
- sustained release adalah 200-450 mg/hari
- extended release adalah 150-450 mg/hari.

2. Mirtazapine
Mirtazapine dapat meningkatkan serotonin dan norepinefrin dengan cara sebagai
antagonis reseptor α2 presinaptik. Selain itu Mirtazapine juga sebagai antagonis
reseptor 5 HT2 dan memiliki aktivitas antihistamin yang kuat sehingga dapat digunakan
sebagai penenang. Mirtazapine dapat dikombinasi dengan venlafaxine. Efek samping
yang ditimbulkan adalah gangguan pencernaan, disfungsi seksual, dan insomnia.
Dosis yang digunakan 15-45 mg/hari diberikan saat malam hari sebelum tidur. Ketika
pasien tidak merespon pada dosis awal yaitu 15 mg/hari maka dosis dapat ditingkatkan
hingga 45 mg/hari. Perubahan dosis tidak dapat dilakukan dengan interval kurang dari
1-2 minggu

3. Nefazodone dan Trazodone


Kedua obat ini merupakan inhibitor reuptake serotonin yang lemah. Manfaat efek
terapeutik berkaitan dengan kemampuan untuk menghambat reseptor 5-HT2a di post
sinaps. Kedua obat dapat menenangkan karena aktivitas memblok antihistamin H1 yang
kuat. Selain itu, kedua obat ini memiliki mekanisme antagonis reseptor α1 ringan
hingga sedang, berkontribusi terhadap ortostatik (penurunan tekanan darah yang terjadi
tiba-tiba saat berubah posisi) dan pusing. Trazodone dikaitkan dengan priapisme dan

15
nefazodone dikaitkan dengan hepatotoksisitas. Efek samping pada trazodone adalah
kebingungan, berkeringat, lelah, pusing, penglihatan kabur. Efek samping pada
Nefazodone adalah konstipasi, pusing, gangguan visual, nausea, telinga berdenging.
Dosis untuk orang dewasa pada Nefazodone adalah sebagai berikut :
- Initial dose : 200 mg/hari secara oral yang terbagi menjadi 2 dosis
- Maintenance dose : 300-600 mg/ hari secara oral
Dosis untuk orang dewasa pada Trazodone adalah sebagai berikut:
- Initial dose: 150 mg/hari yang terbagi dalam beberapa dosis dan dapat ditingkatkan
sebanyak 50 mg/ 3-4 hari
Maximum dose untuk pasien rawat inap : 600 mg/hari
Maximum dose untuk pasien rawat jalan : 400 mg/hari

4. Vilazodone
Vilazodone merupakan inhibitor reuptake serotonin dan agonis parsial pada 5-HT 1a.
Reseptor 5-HT1a ada di pre-sinaps tepatnya pada raphe nuclei sebagai autoreseptor
yang menyebabkan penurunan sekresi serotonin. Reseptor 5-HT1a ada di post-sinaps
yang terletak pada hippocampus dan menyebabkan aktivasi serotonin. Maka ketika
extra-neuronal serotonin ditingkatkan, autoreseptor pada pre-sinpas mengalami
desensitisasi ditambah dengan aktivitas reseptor 5-HT1a pada post-sinaps. Kedua
kombinasi ini dapat meningkatkan pelepasan serotonin yang menunjukkan efek
antidepressant. Efek samping yang ditimbulkan adalah diare, nausea, muntah, pusing,
mulut kering, insomnia
Dosis yang diberikan adalah 40 mg/hari

5. Vortioxetine
Vortioxetine merupakan kombinasi untuk inhibisi reuptake serotonin, agonis 5-HT1a,
reseptor ini merupakan autoreseptor untuk neurotransmisi serotonergic yang berfungsi
untuk menghentikan transmisi serotonin. dan antagonis untuk 5HT-3 dan 5HT-7 untuk
mengobati depresi. Antagonis reseptor 5HT-3 dapat meningkatkan serotonin,
dopamine, norepinefrin, asetilkolin dan histamine. Antagonis reseptor 5HT-7 dapat
meningkatkan pelepasan serotonin dari raphe nucleus. Efek samping yang ditimbulkan
adalah mual, muntah, dan konstipasi.
Dosis yang diberikan dimulai dari 10-20 mg/hari

16
2.6. Terapi Non Farmakologi
2.6.1. Terapi elektrokonvulsif (ECT atau “Shock Therapy”)
Terapi ini merupakan “gold standard” untuk mengobati resisten depresi yang
menginduksi kejang ringan yang mengganggu depresi. Terapi ini bertujuan untuk
memasangkan kembali saraf-saraf dan dapat meningkatkan neurogenesis. Dapat
dimodifikasi oleh relaksasi otot yang dapat diinduksi oleh obat dan anestesi
umum. Terapi ini memiliki kegunaan yaitu untuk pasien dalam kondisi:
2.6.1.1.Tidak dapat menggunakan obat karena pasien geriatric atau kondisi jantung
2.6.1.2.Belum dapat merespon obat
2.6.1.3.Memiliki gejala yang berat sehingga membutuhkan efek antidepresan yang
lebih cepat
2.6.1.4.Memiliki risiko bunuh diri yang tinggi

Posisi pasien dengan Electroconvulsive Therapy (ECT)


2.6.2. Terapi cahaya
Terapi ini menggunakan paparan cahaya spectrum penuh dalam kisaran 10.000
lux dan efektif dalam mengobati gangguan afektif musiman ringan hingga
sedang. Namun, terdapat efek samping yang ditimbulkan yaitu sakit kepala,
iritasi mata, dan mual.

17
Terapi dengan cara duduk dengan jarak 12-18 inches di depan lampu selama 30
menit atau lebih dalam sehari. Cahaya tersebut harus masuk ke pupil agar dapat
bekerja namun tidak perlu ditatap secara langsung. Biasanya pasien akan lebih
baik setelah 1-2 minggu.

Posisi pasien ketika melakukan terapi cahaya

2.6.3. Transcranial Magnetic Stimulation


TMS merupakan alat yang beroperasi di luar tubuh dan akan memengaruhi
aktivitas SSP dengan menerapkan medan magnet yang kuat ke area tertentu dari
otak. Sinyal pendek dari energy magnetic terfokus pada struktur system limbik
(mengontrol pola emosi dan perilaku. Sinyal ini akan memicu muatan listrik
yang menyebabkan neuron menjadi aktif. TMS tidak memerlukan anestesi dan
memiliki efek samping yang jarang terjadi yaitu kejang. TMS berisiko tinggi
pada penderita epilepsi, cedera kepala, dan masalah neurologis yang serius.
Terapi ini dilakukan 5 hari seminggu yang berlangsung 20-50 menit di setiap
sesi tergantung pada protocol klinis. Pasien akan merasa lebih baik beberapa
bulan setelah TMS dihentikan dengan rentang respon sedikit lebih dari 1 tahun.

18
Mekanisme kerja dari Transcranial Magnetic Stimulation (TMS)

19
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Depresi adalah gangguan mental yang muncul dengan perasaan depresi,


kehilangan minat atau kesenangan, penurunan energi, perasaan bersalah atau rendah
diri, tidur atau nafsu makan yang terganggu, dan konsentrasi yang buruk. Depresi sering
disertai dengan gejala kecemasan. Depresi yang biasa terjadi adalah jenis Major
Depressive Disorder. Depresi terjadi karena 4 hal yaitu biogenic amine hypothesis,
theories of postsynaptic changes in receptor sensitivity, dysregulation hypothesis, dan
role of dopamine in depression. Depresi memiliki berbagai gejala yang terbagi menjadi
gejala emosi, gejala fisik, gejala intelektual atau kognitif, dan gejala psikomotor.
Pengobatan untuk depresi terbagi menjadi 2 yaitu terapi farmakologi dan non-
farmakologi. Terapi farmakologi meliputi golongan SSRI (Selective Serotonin
Reuptake Inhibitor) sebagai lini pertama pengobatan, SNRI (Selective Noradrenalin
Reuptake Inhibitor), Antidepresan Trisiklik, Antidepresan Atipikal, dan MAO
(Monoamine Oxidase Inhibitor). Terapi non-farmakologi meliputi terapi
elektrokonvulsif, terapi cahaya, dan transcranial magnetic stimulation.

3.2 SARAN

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan makalah


kali ini. Depresi merupakan gangguan mental yang dapat berbahaya bagi pasien
sehingga perlu dilakukan kajian dan pemahaman lebih lanjut mengenai depresi untuk
memastikan pengobatan yang sesuai.

20
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders


(5th Ed.). Arlington, VA: American Psychiatric Publishing; 2013.

Brunton, Laurence L., Lazo, John S., Parker, Keith L. 2006. Goodman & Gilman’s The
Pharmacological Basis of Therapeutics 11th Edition. USA : The McGraw-Hill
Companies, Inc.

Depression: A Global Public Health. 2012. World Health Organization.

DiPiro, J. T. (2005). Pharmacotherapy: A pathophysiologic approach (6th ed.). New York:


McGraw-Hill.

Whalen K. 2015. Lippincott Illustrated Reviews: Pharmacology Sixth Edition.


https://psychopharmacologyinstitute.com/antidepressants/bupropion-psychopharmacology/
https://psychopharmacologyinstitute.com/antidepressants/mirtazapine-essentials-every-
prescriber-know/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4880584/
https://psychscenehub.com/psychinsights/vortioxetine-mechanism-of-action/
https://www.health.harvard.edu/blog/transcranial-magnetic-stimulation-for-depression-
2018022313335

21

Anda mungkin juga menyukai