Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Depresi
2.1.1.
Pengertian
Menurut PPDGJ III, depresi adalah adanya gangguan suasana
perasaan, kehilangan minat, menurunnya kegiatan dan pesimisme
menghadapi masa yang akan datang.
2.1.2.

Gejala Klinis
Gejala klinis depresi merupakan gangguan kejiwaan pada alam
perasaan yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketiadaan gairah
hidup, perasaan tidak berguna, putus asa, dan lain sebagainya. Gejalagejala depresi termasuk kesedihan mendalam dan/atau ketidakmampuan
untuk mengalami kenikmatan. Gejala fisik dari depresi juga umum,
termasuk energi kelelahan dan merasa sakit fisik. Meskipun orang-orang
dengan depresi biasanya merasa lelah, mereka mungkin merasa sulit untuk
tertidur, dan mungkin sering terbangun (Davison, dkk, 2010).
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV
Text Revision (DSM-IV-TR), kriteria diagnosis untuk episode depresif
mayor adalah sedikitnya lima gejala harus dijumpai selama periode dua
minggu dan harus ada perubahan dari fungsi sebelumnya. Diantara gejala
yang harus ada adalah depressed atau irritable mood atau kehilangan
minat atau kegembiraan. Gejala lain adalah kegagalan kenaikan berat
badan, insomnia atau hypersomnia, agitasi atau retardasi psikomotor,
kelelahan atau hilang tenaga, perasaan tidak berharga atau rasa bersalah
yang tidak sesuai, berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau
konsentrasi dan pemikiran tentang kematian (Sadock BJ, Sadock VA,
2007).
Keltner, dkk (1999) menjelaskan bahwa individu menderita gangguan
depresi jika satu atau lebih gejala depresi telah ada selama periode dua
minggu dan merupakan perubahan dari keadaan biasa seseorang. Gejala
depresi ialah keadaan emosi yang tertekan sebagian besar waktu dalam
satu hari, hampir setiap hari, yang ditandai oleh laporan subjektif (misal:
5

rasa sedih atau hampa) atau pengamatan orang lain (misal: terlihat seperti
ingin menangis).
Beberapa gejala yang mungkin terjadi pada seseorang yang mengalami
depresi (Keltner, dkk, 1999) yaitu:
Kehilangan minat atau rasa nikmat terhadap semua, atau hampir semua
kegiatan sebagian besar waktu dalam satu hari, hampir setiap hari

(ditandai oleh laporan subjektif atau pengamatan orang lain);


Kehilangan berat badan yang signifikan saat tidak melakukan diet atau
bertambahnya berat badan secara signifikan (misal: perubahan berat

badan lebih dari 5% berat badan sebelumnya dalam satu bulan);


Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari;
Kegelisahan atau kelambatan psikomotor hampir setiap hari (dapat
diamati oleh orang lain, bukan hanya perasaan subjektif akan

kegelisahan atau merasa lambat);


Perasaan lelah atau kehilangan kekuatan hampir setiap hari;
Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau

tidak wajar (bisa merupakan delusi) hampir setiap hari;


Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau
sulit membuat keputusan hampir setiap hari (ditandai oleh laporan

subjektif atau pengamatan orang lain);


Berulang kali muncul pikiran akan kematian (bukan hanya takut mati),
berulang kali muncul pikiran untuk bunuh diri tanpa rencana yang
jelas, atau usaha bunuh diri atau rencana yang spesifik untuk
mengakhiri nyawa sendiri.

2.1.3.

Etiologi Depresi
Penyebab terjadinya depresi dapat dibagi ke dalam beberapa sudut
pandang. Sudut pandang tersebut yaitu sudut pandang psikologi, sudut
pandang kognitif dan sudut pandang interpersonal (Fausiah dan Widury,
2005).
Menurut sudut pandang psikologi, penyebab depresi menggunakan
pendekatan psikoanalisis. Proses pembentukan depresi berawal setelah
anak mengalami kehilangan seseorang yang sangat dicintai karena
meninggal, perpisahan, atau penarikan afeksi. Periode ini diikuti periode

berduka, dimana ia akan mengingat kenangan dari orang yang hilang dan
memisahkan diri darinya dengan orang lain tersebut yang di anggap
meninggalkannya dan melepaskan pula ikatan yang tadinya digabungkan.
Periode berduka akan menjadi periode berkelanjutan untuk menyiksa diri,
menyalahkan diri, dan berakhir pada kondisi depresi (Fausiah dan Widury,
2005).
Pada sudut kognitif terdapat empat pendekatan kognitif untuk
menjelaskan tentang depresi, yaitu teori Depresi Beck, teori Learned
Helplessness, teori atribusi, dan teori hopelessness. Teori Depresi Beck
menjelaskan bahwa depresi terjadi karena pemikiran individu tersebut
dibiaskan pada interpretasi negatif. Interpretasi negatif tentang diri seperti
gambaran pesimis tentang diri, dunia, dan masa depan. Keyakinan negatif
dipicu oleh peristiwa-peristiwa hidup yang negatif seperti asumsi bahwa
saya harus sempurna. Sikap-sikap negatif akan membuat bias-bias
kognitif dan memicu depresi.
Teori Learned Helplessness menjelaskan bahwa depresi muncul akibat
peristiwa menyakitkan yang tidak dapat dikontrol. Peristiwa yang
menyakitkan tersebut diperoleh dari pengalaman hidup yang tidak
menyenangkan dan trauma yang gagal dikontrol oleh individu. Kondisi
seperti itu akan menghasilkan ketidakberdayaan yang memicu depresi.
Teori atribusi merupakan penjelasan yang dimiliki seseorang tentang
tingkah laku. Orang akan mengalami depresi apabila mengatribusi
peristiwa

negatif

dengan

atribusi

global

(mengumumkan

semua

kegagalan). Selanjutnya muncul perasaan tidak berdaya, tidak ada respon


yang memungkinkan untuk mengatasi situasi dan terjadilah depresi.
Teori hopelessness menjelaskan bahwa munculnya depresi berawal
dari adanya peristiwa yang menyakitkan. Selanjutnya akan muncul
perasaan tidak ada harapan, tidak ada respon yang memungkinkan untuk
mengatasi situasi dan perkiraan. Hasil yang diharapkan tidak akan terjadi
dan terjadilah depresi.
Asumsi sudut pandang interpersonal adalah bahwa individu yang
depresi cenderung memiliki hubungan sosial yang kurang baik dan
menganggap mereka kurang memberikan dukungan. Sedikitnya dukungan

sosial dapat mengurangi kemampuan individu untuk mengatasi peristiwa


yang negatif dan membuat mereka rentan terhadap depresi. Asumsi
lainnya ialah orang-orang yang depresi cenderung mencari-cari kepastian
bahwa orang lain sungguh-sungguh memperhatikan mereka dan mereka
masih kurang puas.
2.1.4.

Derajat Depresi dan Penegakan Diagnosis


Berdasarkan PPDGJ III, episode depresi dikelompokkan dalam tiga
derajat, yaitu ringan, sedang, berat. Individu biasanya menderita perasaan
yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan dan berkurangnya
energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya
aktivitas. Biasanya terdapat rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit
saja. Gejala yang lazim ditemukan adalah:
1. Konsentrasi dan perhatian yang kurang
2. Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
3. Gagasan tentang keadaan bersalah dan tidak berguna
4. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistik
5. Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri
6. Tidur terganggu
7. Nafsu makan berkurang
Tiga gejala depresi yang khas adalah suasana perasaan (mood) yang
depresif, kehilangan minat dan kesenangan, dan mudah lelah. Pada depresi
ringan, minimal dua gejala khas ini muncul ditambah dengan minimal dua
gejala lazim yang dituliskan di atas. Pada depresi sedang sama dengan
depresi ringan, hanya gejala lazimnya saja yang bertambah menjadi tiga
(dan sebaiknya empat). Sedangkan pada depresi berat, tiga gejala khas
depresi harus ada, ditambah minimal empat gejala lazim dengan beberapa
gejala berintensitas berat.

2.1.5.

Penatalaksanaan Depresi
Individu yang mengalami depresi harus mendapatkan penanganan
segera. Jika dibiarkan lebih lanjut akan memicu perilaku tindakan bunuh
diri (Hawari, 2010). Salah satu penanganan depresi ialah melalui
konseling. Konseling merupakan proses bantuan penyelesaian masalah,
bersifat terbuka dengan bertemu muka yang diberikan oleh tenaga
profesional. Konseling dilakukan dengan pendekatan konsep holistik yang
mencangkup

enam

kesejahteraan

yaitu

kesejahteraan

akademik,

emosional, sosial, fisik, spiritual, dan okupasional (Wanda, dkk, 2008).


Salah satu pendekatan konseling bersifat kognitif memfokuskan pada
proses mental dan pengaruhnya pada kesehatan mental dan tingkah laku.
Pendekatan ini menggunakan premis bahwa pikiran seseorang menentukan
bagaimana perasaan klien dan bagaimana cara klien akan bertingkah laku
(Lesmana, 2006).
Seligman (1993) menjelaskan bahwa terdapat empat terapi yang
bekerja untuk membantu menyelesaikan gangguan depresi, yakni dua
terapi biologis dan dua terapi psikologis. Terapi biologis memberikan
bantuan cukup efektif, namun keduanya memiliki efek samping yang
serius. Terapi biologis tidak dapat memecahkan masalah mendasar
sehingga depresi kemungkinan akan kembali, kecuali jika penderita
depresi terus menerus minum obat. Terapi biologis terdiri dari terapi obat
dan terapi Electroconvulsive Syok (ECS). Jenis utama terapi obat adalah
trisiklik (misalnya, Elavil, Toframil dan Sinequan), inhibitor MAO
(marplan, Nardil, dan Parnate), dan serotonin reuptake inhibitor (Prozac).
Semua obat ini memakan waktu antara sepuluh hari dan tiga minggu untuk
mulai bekerja. Mereka meringankan depresi secara nyata sekitar 65% dari
waktu.

10

Terapi psikologis terdiri dari terapi kognitif dan terapi interpersonal.


Terapi kognitif berusaha untuk mengubah cara berpikir orang yang depresi
tentang kegagalan, kekalahan, kerugian, dan ketidakberdayaan. Terapi
kognitif bekerja dengan baik, memberikan bantuan yang cukup untuk
sekitar 70% dari orang yang depresi. Terapi Interpersonal (IPT) berfokus
pada hubungan sosial, memiliki asal-usul dalam pengobatan psikoanalitik
jangka panjang yang terdiri dari 12-16 sesi, biasanya sekali seminggu.
Pada IPT pasien diminta untuk mengevaluasi kembali peran yang hilang
mengekspresikan emosi tentang kerugian, mengembangkan ketrampilan
sosial yang cocok untuk peran baru, dan membangun dukungan sosial
baru. IPT merupakan terapi yang singkat dan murah, tidak memiliki efek
samping yang merugikan, dan telah terbukti cukup efektif terhadap depresi
(memberikan bantuan pada 70% kasus).
Fausiah dan Windury (2005) menjelaskan bahwa depresi dapat
ditangani dengan empat cara, yakni:
a. Pendekatan Psikodinamik
Pendekatan ini akan membantu klien memperoleh hikmah dari
konflik yang dialami dan mendorong pelepasan keluar kemarahan
yang selama ini terpendam di dalam dirinya. Pendekatan ini akan
membantu klien membuka motivasi yang tersembunyi.
b. Pendekatan Cognitive Behaviora
Pada pendekatan ini butuh adanya konselor mencoba mempersuasi
klien depresi untuk merubah pandangannya tentang diri dan peristiwa
yang negatif.
c. Pelatihan Ketrampilan Sosial
Pendekatan prilaku memfokuskan pada upaya membantu klien
meningkatkan interaksi sosialnya.
d. Pendekatan Biologis
Bentuk terapi biologis yang dapat digunakan pada klien depresi
adalah ECT (Electroconvulsive therapy). ECT dianggap merupakan
pengobatan yang paling optimal untuk depresi parah. Terapi lainnya

11

ialah dengan pemberian obat depresi tricyclis (imipramine dan


amitrityline), selective serotonin reuptake inhibitor (fluoxetine dan
setraline, monoamine oxidase inhibitor (parnate).
2.2 Perawat
2.2.1. Definisi Perawat
Menurut Gaffar (1999), pengertian dasar, seorang perawat yaitu
seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dan
melindungi seseorang karena sakit, cedera dan proses penuaan.
Di Indonesia, keperawatan sebagai profesi dirumuskan melalui
Lokakarya Nasional Keperawatan, 1993. Keperawatan didefinisikan suatu
bentuk pelayanan sebagai bagian integral pelayanan kesehatan berdasarkan
ilmu dan kiat keperawatan meliputi aspek biologi, psikologi, sosial, dan
spiritual yang bersifat komprehensif, ditunjukkan kepada individu,
keluarga dan masyarakat yang sehat maupun sakit mencakup siklus hidup
manusia untuk mencapai derajat kesehatan optimal (Gaffar, 1999).
2.2.2. Peran Perawat
Peran perawat menurut konsorsium ilmu kesehatan tahun 1989 terdiri
peran sebagai pemberi asuhan keperawatan, advokat, pasien, pendidik,
koordinator, kolaborator, konsultan dan pembaharu (Hidayat, 2004).
a. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan
Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan dapat dilakukan
perawat dengan memperhatikan kebutuhan dasar manusia yang
dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan
menggunakan proses keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis
keperawatan agar bisa direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang
tepat sesuai dengan kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat
dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatan
ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan yang kompleks.
b. Peran sebagai advokat klien
Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga
dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberian
pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan

12

persetujuan atas tindakan keperawatan yang, diberikan kepada pasien,


juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien
yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya hak atas informasi
tentang penyakit, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya
sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian.
c. Peran edukator
Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan
tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang
diberikan sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah
dilakukan pendidikan kesehatan.
d. Peran koordinator
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta
mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga
pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan
kebutuhan klien.
e. Peran koloborator
Peran perawat disini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim
kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain
dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang
diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan
bentuk pelayanan selanjutnya.
f. Peran konsultan
Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah
atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini
dilakukan atas permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan
pelayanan keperawatan yang diberikan.
g. Peran pembaharu
Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan
perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai
dengan metode pemberian layanan keperawatan.
2.2.3. Kerja Perawat
Rumah sakit adalah salah satu pelayanan yang beroperasi 24 jam
dimana pelayanan tersebut dilaksanakan oleh pekerja kesehatan rumah
sakit. Pekerja kesehatan rumah sakit yang terbanyak adalah perawat yang

13

berjumlah sekitar 60 % dari tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit.


Perawat merupakan salah satu pekerja kesehatan yang selalu ada di setiap
rumah sakit dan merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan rumah
sakit (Intan Hestya, 2005).
Pekerjaan seorang perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan
tidak terlepas dari pengaturan jam kerja di suatu rumah sakit yang lebih
dikenal dengan istilah shift kerja. Shift kerja dapat berperan penting
terhadap permasalahan pada manusia yang dapat meluas menjadi ganguan
tidur (60 80%), gangguan kesehatan fisik dan psikologi serta gangguan
sosial maupun kehidupan keluarga. Selain itu, pekerjaan yang perlu
dikerjakan oleh seorang perawat di rumah sakit adalah memelihara
kebersihan dan kerapihan di dalam ruangan, menerima pasien baru,
melaksanakan asuhan keperawatan dengan menggunakan metode proses
keperawatan, mempersiapkan pasien keluar, membimbing dan mengawasi
pekerja kesehatan dan pekerja rumah tangga, mengatur tugas jaga,
mengelola peralatan medik dan mengelola administrasi.
Perawat yang bekerja di bagian jantung berbeda dengan perawat
bagian lain. Tingkat pekerjaan dan pengetahuan perawat bagian jantung
lebih kompleks dibandingkan dengan perawat bagian lain di rumah sakit,
karena mereka bertanggung jawab untuk mempertahankan homeostasis
pasien untuk berjuang melewati kondisi kritis yang mendekati kematian.
Perawat bagian jantung memiliki karakteristik, seperti tingkat pengetahuan
dan keterampilan yang lebih baik dari perawat lain dalam menangani
pasien yang memiliki kondisi kritis (Intan Hestya, 2005).
2.2.4. Fungsi Perawat
Dalam menjalankan perannya, perawat (Hidayat, 2004) akan
melaksanakan berbagai fungsi diantaranya:
a. Fungsi independen
Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain,
dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara
sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan dalam
rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti pemenuhan

14

kebutuhan

fisiologi,

pemenuhan

keamanan

dan

kenyamanan,

pemenuhan kebutuhan cinta mencintai, pemenuhan kebutuhan harga


diri dan aktualisasi diri.
b. Fungsi dependen
Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas
pesan atau instruksi perawat lain. Sehingga sebagai tindakan
pelimpahan tugas yang diberikan. Hal ini biasanya dilakukan oleh
perawat spesialis kepada perawat umum, atau dari perawat primer ke
perawat pelaksana.
c. Fungsi interdependen
Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling
ketergantungan diantara tim satu dengan lainnya. Fungsi ini dapat
terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerjasama tim dalam
pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan keperawatan
pada penderita yang mempunyai penyakit kompleks. Keadaan ini tidak
dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter atau
lainya.
2.3 Beck Depression Inventor
Beck Depression Inventory (BDI) merupakan standar baku untuk
pemeriksaan sendiri (kuesioner) yang dikembangkan untuk menilai efisiensi
psikoterapi psikoanalitik pada pasien depresi. Instrumen ini dibuat oleh DR.
Aaron T. BECK. BDI pertama kali diterbitkan pada tahun 1961 terdiri dari dua
puluh satu pertanyaan tentang bagaimana perasaan klien pada minggu terakhir
terkait tanda dan gejala depresi. BDI merupakan salah satu instrumen yang
paling banyak digunakan untuk mengukur tingkat keparahan depresi.
Instrumen BDI dirancang untuk individu yang berusia 13 sampai 80 tahun
yang terdiri dari pertanyaan yang berhubungan dengan gejala depresi seperti
keputusasaan dan marah, kognisi seperti perasaan bersalah atau dihukum, serta
gejala fisik seperti kelelahan, penurunan berat badan, dan kurangnya minat
pada seks (Beck, 2006).
Terdapat tiga versi BDI yaitu BDI, BDI-IA dan BDI-II. Pada tahun 1996
terdapat perubahan pada BDI-IA, setelah keluarnya DSM-IV, menjadi BDI-II.
Empat item baru (agitasi, merasa tak berguna, sulit konsentrasi, dan hilang

15

energi) ditambahkan untuk membuat BDI-II lebih reflektif terhadap kriteria


gangguan depresif mayor dalam DSM-IV, dan beberapa item dari BDI-IA
(seperti turun berat badan, perubahan bentuk tubuh, sulit bekerja, dan
preokupasi somatik) dihilangkan karena kurang mengindikasikan derajat
depresi secara keseluruhan (C Cusin dkk, 2010).
Instrumen BDI II terdiri dari 21 item pertanyaan dengan gejala-gejala yang
berbeda dan pada setiap item terdapat empat jawaban yang menjelaskan
beratnya gejala dengan nilai 0-3. Dua pengecualian untuk ini adalah
pertanyaan 16 dan 18. Pertanyaan 16 adalah perubahan pola tidur, sedangkan
pertanyaan 18 adalah perubahan nafsu makan. Skala dalam dua item terdiri
dari 0, 1a, lb, 2a, 2b, 3a, & 3c. Pengisi diminta untuk melaporkan perasaan
yang mereka alami sendiri secara terus-menerus selama 2 minggu terakhir,
bukan 1 minggu seperti dalam BDI dan BDI-IA. Gejala-gejala depresi yang
teridentifikasi dari 21 item pernyataan modifikasi BDI II ialah kesedihan,
pesimis, kegagalan masa lalu, kehilangan kesenangan, perasaan bersalah,
perasaan dihukum, ketidaksukaan terhadap diri, kritikan terhadap diri,
keinginan bunuh diri, menangis, gelisah, kehilangan ketertarikan, sulit
mengambil keputusan, perasaan tidak berharga, kehilangan energi, perubahan
pola tidur, sensitifitas (kemarahan), perubahan pola makan, sulit konsentrasi,
kelelahan, dan kehilangan ketertarikan terhadap seks (Cooper, 2010).
Cooper (2010) menjelaskan bahwa temuan awal dari BDI disajikan
menjadi faktor kognitif, afektif, dan somatik. Gejala depresi yang termasuk
dalam faktor kognitif ialah kesedihan, pesimis, kegagalan masa lalu, perasaan
bersalah, perasaan dihukum, ketidaksukaan terhadap diri, kritikan terhadap
diri, keinginan bunuh diri, dan tidak berharga. Rentang nilai untuk faktor
kognitif ialah 0-27. Gejala depresi termasuk dalam faktor afektif ialah
kehilangan kenikmatan, menangis, gelisah, kehilangan ketertarikan, keraguan,
iritabilitas, dan kehilangan ketertarikan terhadap seks. Rentang nilai untuk
faktor afektif ialah 0-21. Gejala depresi yang termasuk pada faktor somatik
ialah kehilangan energi, perubahan pola tidur, perubahan nafsu makan, sulit
berkonsentrasi, dan kelelahan. Rentang nilai untuk faktor somatik ialah 0-15.

16

Jumlah dari semua nilai BDI-II menunjukkan tingkat keparahan depresi.


Instrumen ini menetapkan hasil berbeda untuk populasi umum dan untuk
individu yang telah didiagnosis dengan depresi klinis. Untuk populasi umum,
skor 21 atau lebih mewakili depresi. Bagi orang yang telah didiagnosis secara
klinis, skor dari 0-13 mewakili gejala depresi yang minimal atau masih dalam
kondisi

normal,

14-19

menunjukkan

depresi

ringan,

nilai

20-28

mengindikasikan depresi sedang, dan 29-63 mengindikasikan depresi berat


(American Psychiatric Association, 2000).
Keuntungan memakai kuesioner, seperti BDI, dibandingkan dengan
pemeriksaan yang dilakukan langsung oleh praktisi, adalah lebih hemat waktu,
tidak membutuhkan tenaga terlatih, dan administrasi serta proses penilaian
menjadi lebih terstandarisasi (C Cusin dkk, 2010).

2.4 Kerangka Teori

Perawat

Faktor Eksternal

Faktor Internal

Beban kerja
Masa kerja

Depresi

Bagan 1. Kerangka Teori

17

Anda mungkin juga menyukai