Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“PERAN APOTEKER DALAM PENGGUNAAN TERAPI ANTINYERI


DI IGD”

Disusun Oleh :

 Herti Riswinda Siki ( 194111076)


 Florensia A.S. Ndaung ( 194111074)
 Kristoforus E. Wonkay (194111082)

FARMASI C/VII

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
UNIVERSITAS CITRA BANGSA
KUPANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur patut dipanjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah mata
kuliah Gawat Darurat. Adapun isi dari makalah ini yaitu menjelaskan tentang
“PERAN APOTEKER DALAM PENGGUNAAN TERAPI ANTINYERI
DI IGD”
Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Hal ini
semata-mata karena keterbatasan kemampuan penyusun sendiri. Oleh karena itu,
sangatlah diharapkan saran dan kritik yang positif dan membangun dari semua
pihak agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna untuk pembaca.

Kupang, 9 Februari 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

Cover/Sampul…….……………………………….……………………………i
Kata Pengantar ..…….…………………………….……………………..........ii
Daftar Isi...……………..…………………………..…………...…….............iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………
B. Rumusan Masalah……………………………………………………..
C. Tujuan………………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN
A. Instalasi Gawat Darurat………………………………..……………….
B. Apoteker ………………………………………………………….........
C. Peran Apoteker Dalam Perawatan Pasien Di UGD.……………………
D. Manajemen Risiko Pelayanan Farmasi Klinik……………………........
E. Terapi Antinyeri………………………………………………………..
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………...
B. Saran………………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berdasarkan laporan terdapat 114 juta pasien gawat darurat yang masuk ke
rumah sakit di seluruh dunia setiap tahunnya.  Hal tersebut mengakibatkan
pelayanan gawat darurat sangat crowded karena tingginya pasien dengan
status asuransi yang belum jelas, peningkatan volume pasien, peningkatan
kompleksitas pasien, dan seringnya rumah sakit kekurangan tempat tidur
rawat inap yang diperlukan pasien setelah menerima pelayanan gawat darurat.
Kombinasi dari banyaknya faktor yang mempengaruhi pelayanan gawat
darurat beresiko pada timbulnya medication error dan sedikitnya kesalahan
yang mungkin dapat dicegah. (ASHP, 2008)
Instalasi Gawat Darurat sebagai unit yang memberikan pelayanan gawat
darurat merupakan bagian yang kompleks,  yang membutuhkan perlakuan
khusus dalam hal pemilihan, pemberian dosis, administrasi, dan pemantauan
obat. Apoteker yang bekerja di unit gawat garurat dituntut untuk dapat
berperan sebagai tim multidisipliner guna mendukung pelayanan gawat
darurat. Merupakan tantangan tersendiri bagi apoteker yang memberikan
pelayanan di IGD untuk melakukan optimalisasi penggunaan obat baik dari
sisi pelayanan farmasi klinis maupun managemen farmasi  agar sesuai dengan
tuntutan akreditasi.
Praktik farmasi EM terus berkembang, ditunjukkan tidak hanya oleh
jumlah spesialis EMP yang bekerja di rumah sakit, tetapi juga oleh
peningkatan ketersediaan program pelatihan residensi khusus. Jumlah posisi
pelatihan terakreditasi yang didedikasikan untuk EM telah meningkat dari
hanya 3 pada tahun 2007 menjadi 70 pada tahun 2020. Ini menunjukkan
peningkatan lebih dari 2.000% dalam posisi pelatihan khusus hanya dalam
waktu satu dekade. Selain itu, organisasi medis nasional, termasuk Amerika
College of Emergency Physicians (ACEP) dan American College of Medical
Toxicology (ACMT), telah menerbitkan pernyataan posisi yang mendukung
nilai EMP dan secara resmi mengakui dampak EMP pada evaluasi dan
pengelolaan pasien EM dan toksikologi. (ASHP, 2021)
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana peran apoteker dalam penggunaan terapi antinyeri di IGD?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui peran apoteker dalam penggunaan terapi antinyeri di IGD.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Instalasi Gawat Darurat
Gawat darurat adalah sebuah kondisi saat pasien memerlukan tindakan
medis segera guna menyelamatkan nyawa ataupun mencegah kecacatan permanen
yang lebih lanjut. Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan salah satu bagian di
rumah sakit yang menyediakan penanganan pertama bagi pasien yang mengalami
sakit dan cedera, yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya. IGD memiliki
tugas menyelenggarakan pelayanan asuhan medis dan asuhan keperawatan
sementara, serta pelayanan pembedahan darurat, pada pasien yang datang dengan
gawat darurat medis dan mampu menanggulangi bencana pada waktu kapan saja.
Pelayanan pasien gawat darurat adalah pelayanan yang memerlukan pelayanan
segera, yaitu cepat, tepat, dan cermat untuk mencegah kematian dan kecacatan
(Solagracia, 2017)
Alur keperawatan pasien di IGD dimulai ketika pasien datang dan
mendaftar di IGD. Saat penanggung jawab pasien mendaftar di IGD, triase
dilakukan terhadap pasien. Setelah pasien mendaftar dan dilakukan triase, pasien
menunggu. Selanjutnya dokter ataupun tenaga kesehatan lain melakukan tindakan
penanganan sesuai keadaan pasien. Tahapan ini dimulai saat initial physician
assessment (penilaian awal dokter), sampai decision to admit. Prosedur pelayanan
resep di instalasi gawat darurat memiliki prinsip pelayanan ‘prima 5 menit ‘
artinya dalam 5 menit pasien sudah mendapatkan pertolongan darurat. Alur
resepnya adalah pasien datang ke IGD, dilakukan pemeriksaan, dilakukan
tindakan medis, penulisan resep di kartu obat, penyerahan kartu obat ke apotek
IGD, perawat mengambil obat dan alat kesehatan di apotek IGD, entri data,
dispensing ke pasien (jika pasien pulang obat di ambil pasien dengan membawa
kuitansi pembayaran dan jika pasien di rawat inap obat dikirim ke IGD).
(Solagracia, 2017)

2.2 Apoteker
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan
telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. (Permenkes, 2016)
Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit yang menjamin seluruh
rangkaian kegiatan perbekalan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta memastikan
kualitas, manfaat, dan keamanannya. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan suatu siklus kegiatan,
dimulai dari pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian, dan
administrasi yang diperlukan bagi kegiatan Pelayanan Kefarmasian. (Permenker,
2016)
Apoteker di Instalasi  Gawat  Darurat (IGD) adalah seorang sarjana
farmasi yang telah menempuh pendidikan apoteker serta telah mengucapkan
sumpah jabatan apoteker dan berfokus pada pelayanan farmasi klinik di Instalasi
Gawat Darurat terkait  penggunaan obat oleh pasien dalam rangka
keberhasilan outcome terapi serta meminimalkan resiko terjadinya medication
error dan kejadian efek samping obat yang mungkin terjadi. Apoteker di IGD
juga berperan dalam mengendalikan perbekalan farmasi di instalasi gawat darurat.
Keberadaan apoteker di Instalasi Gawat Darurat adalah agar pasien dapat
memperoleh/mendapatkan obat dengan indikasi, bentuk sediaan, dosis, rute,
frekuensi pemberian, waktu dan durasi pemberian dengan benar dan tepat. Selain
itu juga, apoteker berperan dalam pencapaian terapi obat secara efektif dan efisien
dengan meminimalkan risiko medication error, efek samping, dan efisiensi biaya.

2.3. Peran Apoteker Dalam Perawatan Pasien Di UGD (ASHP, 2021)

The Institute of Medicine melaporkan Perawatan Darurat Berbasis Rumah


Sakit: Di Breaking Point merekomendasikan untuk menyertakan apoteker klinis
dalam tim perawatan EM untuk memastikan kebutuhan obat pasien terpenuhi
dengan tepat, memimpin perubahan sistem untuk mengurangi atau menghilangkan
kesalahan pengobatan, dan mengevaluasi biaya-efektivitas terapi obat untuk
pasien dan rumah sakit. Sebagai bagian dari tim perawatan EM interdisipliner,
apoteker memberikan perawatan kepada pasien melalui berbagai kegiatan klinis
langsung di samping tempat tidur serta inisiatif perawatan pasien tidak langsung
untuk memastikan manajemen terapi obat yang aman dan efektif di pengaturan
UGD.

1. Kegiatan perawatan pasien secara langsung.

Sebagian besar kesalahan pengobatan terjadi pada fase peresepan dan


pemberian obat dalam proses penggunaan obat; oleh karena itu, penting bagi EMP
untuk terlibat langsung dalam kegiatan perawatan pasien, termasuk pemilihan
obat dan proses peresepan. EMP paling efektif dalam melakukan hal ini saat hadir
secara fisik di UGD. EMP, bekerja sama dengan penyedia EM lainnya, harus
bertanggung jawab untuk memastikan rejimen terapi pengobatan yang
dioptimalkan dan hasil terapi berdasarkan literatur yang muncul, pedoman
pengobatan, dan ukuran kualitas yang ditetapkan oleh badan akreditasi. EMP
harus membuat sistem triase untuk memfokuskan upaya perawatan pasien mereka
pada pasien dengan penyakit kritis atau kebutuhan mendesak, pada populasi
pasien berisiko tinggi, atau pada kelas obat tertentu yang paling terkait dengan
kesalahan pengobatan.

2. Informasi obat.

Penyebab paling umum dari kesalahan pengobatan adalah kurangnya


informasi yang berkaitan dengan terapi obat. Oleh karena itu, penyediaan
informasi obat merupakan peran penting dalam praktik semua apoteker, termasuk
EMP. Studi berbasis ED menunjukkan bahwa penyebaran informasi pengobatan
kepada penyedia, perawat, dan staf rumah sakit lainnya merupakan layanan
penting yang disediakan oleh EMP, meskipun hanya setengah dari departemen
farmasi yang dilaporkan melakukan fungsi ini. Selain itu, dokter kesehatan EM
melaporkan bahwa mereka lebih mungkin untuk memanfaatkan sumber daya
seorang apoteker ketika apoteker itu berada di UGD daripada di departemen
farmasi pusat.

3. Resusitasi.

EMP harus ada selama semua upaya resusitasi kritis dan akut di UGD.
Studi awal tentang peran EMP dalam resusitasi pasien trauma menemukan
peningkatan keamanan dari penurunan efek samping obat yang dapat dicegah dan
waktu yang dipercepat untuk pemberian obat. Selain resusitasi trauma, EMP
memberikan nilai dalam sejumlah keadaan darurat klinis, seperti stroke, infark
miokard, henti jantung dan pernapasan, gangguan saluran napas yang
membutuhkan intubasi urutan cepat dan perawatan pascaintubasi, dan keadaan
darurat medis lainnya. Peran EMP dalam resusitasi dapat mencakup berbagai
tanggung jawab termasuk, namun tidak terbatas pada:

• Membantu dokter dengan diferensial


• Diagnosis, terutama bila berkaitan dengan
• Penyebab potensial terkait pengobatan;
• Memastikan pemilihan dan dosis obat yang tepat; menjawab
pertanyaan informasi obat;
• Membuat rekomendasi untuk rute administrasi alternatif bila perlu;
menyiapkan obat untuk pemberian segera;
• Memastikan pemberian atau pemberian obat yang tepat sesuai dengan
ruang lingkup praktik setempat;
• Mendapatkan obat yang tidak tersedia di ugd; dan
• Melengkapi dokumentasi resusitasi.

4. Obat dan prosedur kewaspadaan tinggi.


EMP harus ada di samping tempat tidur untuk memfasilitasi pemberian
perawatan pasien yang melibatkan obat atau prosedur kewaspadaan tinggi.
Partisipasi harus mencakup membantu dalam pemilihan obat yang tepat dan dosis
yang sesuai, penyiapan obat, pemantauan pasien, dan pemberian obat yang dapat
diterima sesuai undang-undang negara bagian dan kebijakan rumah sakit. EMP
harus berpartisipasi dalam upaya untuk meningkatkan keamanan prosedur yang
menggunakan obat-obatan berisiko tinggi. Upaya ini harus mencakup evaluasi
proses saat ini dan pengembangan proses dan sistem baru atau yang ditingkatkan
yang mencegah atau mengurangi potensi bahaya dan kesalahan. Peran EMP dapat
mencakup membantu dalam pengembangan kebijakan dan protokol, dengan fokus
pada pemilihan, penggunaan, pemantauan, dan pengelolaan obat yang tepat.
Rekomendasi untuk mengurangi kesalahan yang terkait dengan pengobatan dan
prosedur kewaspadaan tinggi tersedia. Misalnya, penggunaan sistem infus obat
dengan perangkat lunak teknologi infus cerdas dan pemeriksaan ganda pada obat-
obatan yang harus diwaspadai dapat dipertimbangkan. Selain itu, EMP harus
memberikan pendidikan dan pelatihan terkait dengan obat-obatan yang harus
diwaspadai kepada penyedia layanan kesehatan UGD.

5. Pengadaan dan penyiapan obat.

Pengadaan obat di UGD menghadirkan tantangan yang berbeda secara


signifikan dari yang ada di area lain di rumah sakit. Karena kebutuhan perawatan
pasien yang mendesak di UGD, beberapa obat kritis harus tersedia. EMP harus
menjadi bagian integral dari proses pengadaan dan penyiapan obat untuk obat
yang digunakan di UGD, karena pemberian obat adalah salah satu dari 5 tahap
proses penggunaan obat yang dapat dipengaruhi EMP untuk mencegah kesalahan
pengobatan. EMP dapat berfungsi sebagai penghubung antara departemen farmasi
dan UGD mengenai pengembangan atau revisi proses yang terkait dengan
pengadaan obat, atau mereka dapat berperan lebih aktif dalam pengadaan dan
persiapan obat berdasarkan alur kerja operasional.

6. Peninjauan pesanan obat.

Standar Komisi Bersama menyatakan bahwa semua pesanan obat harus


menjalani tinjauan pesanan prospektif oleh apoteker sebelum pemberian obat
kepada pasien, dengan 2 pengecualian:

1) Jika keterlambatan pemberian akan membahayakan pasien; Dan


2) Jika seorang praktisi independen berlisensi hadir untuk mengawasi
pemesanan, penyiapan, dan pemberian obat.

Meskipun banyak pesanan obat di UGD berada di bawah pengecualian di atas,


tingkat penilaian selama tinjauan pesanan obat harus konsisten dengan yang
disediakan untuk pasien di tempat lain di rumah sakit. Proses tinjauan pesanan
obat ED akan bervariasi antara UGD dan harus ditentukan oleh masing-masing
institusi berdasarkan kebutuhan yang teridentifikasi, struktur kepegawaian, dan
sistem penggunaan obat yang tertanam, serta interpretasi persyaratan spesifik
lokasi oleh organisasi pengatur dan akreditasi.

7. Pemantauan terapi obat.


EMP harus memberikan rekomendasi untuk parameter pemantauan untuk
efektivitas dan keamanan obat yang diberikan di UGD. Mengingat jumlah pasien
di UGD dan kepentingan yang bersaing untuk waktu EMP, fokus pada obat
berisiko tinggi harus diprioritaskan (misalnya, vasopresor, antihipertensi IV,
insulin, agen analgesik dan obat penenang, antitrombotik dan agen hemostatik).
EMP harus bekerja sama dengan staf perawat dan menilai kembali pasien pada
pengobatan ini untuk memastikan respons, keamanan, dan pemantauan yang tepat
selesai. Bila perlu, EMP harus menindaklanjuti dengan penyedia untuk
meningkatkan dan menurunkan perawatan.

8. Dokumentasi.

Intervensi apoteker dalam pengaturan rawat inap meningkatkan hasil


pasien melalui rejimen farmakoterapi yang dioptimalkan, pemantauan terapi obat,
dan menghindari kejadian obat yang merugikan. Selain itu, partisipasi apoteker
dalam perawatan pasien secara signifikan mengurangi biaya yang terkait dengan
terapi obat. Khusus di UGD, EMP meningkatkan proses penggunaan obat dan
perawatan pasien dengan memberikan rekomendasi tentang terapi obat, berfungsi
sebagai sumber informasi obat, dan meningkatkan keselamatan pasien.

9. Pendidikan pasien dan pengasuh.

EMP secara unik memenuhi syarat untuk memberikan pendidikan dan


informasi pengobatan kepada pasien dan pengasuh mereka dan harus memainkan
peran kunci dalam penyampaian informasi pengobatan. EMP harus
mengembangkan sistem triase untuk pendidikan pasien sehingga konseling
difokuskan pada pasien yang akan keluar dari UGD dengan pengobatan baru atau
berisiko tinggi atau yang kunjungan ke UGD merupakan akibat dari efek samping
atau kesalahan pengobatan. EMP juga dapat mengandalkan penyedia layanan
kesehatan EM lainnya untuk mengidentifikasi pasien yang membutuhkan
pendidikan pengobatan. Pendidikan pengobatan yang diberikan kepada pasien dan
perawat di UGD beragam dan dapat mencakup informasi yang berkaitan dengan
penggunaan perangkat baru atau pengobatan baru, pentingnya kepatuhan
pengobatan dalam pengelolaan keadaan penyakit, atau pencegahan dan
pengelolaan kejadian obat yang merugikan. Edukasi harus mencakup materi lisan
atau tertulis dan harus didokumentasikan dalam rekam medis pasien. EMP harus
mengkonfirmasi pemahaman pasien dan pengasuh tentang pendidikan pengobatan
yang diberikan.

10. Perawatan pasien naik pesawat.

Kepadatan ED adalah hal biasa. Ada banyak kendala dan proses yang
menjadi faktor pemindahan tepat waktu pasien rawat inap dari UGD ke tempat
tidur rawat inap. Kepadatan di UGD sering mengakibatkan staf UGD memberikan
perawatan kepada pasien untuk jangka waktu yang lama sementara pasien
menunggu masuk atau pemindahan fisik ke tempat tidur rawat inap atau ke
institusi lain untuk tingkat perawatan yang berbeda (yaitu asrama). Kebutuhan
pasien yang naik pesawat dapat bervariasi dari permintaan sederhana untuk obat-
obatan sesuai kebutuhan hingga kebutuhan kompleks seperti manajemen
perawatan kritis. Selain itu, dokter EM dapat diberi tanggung jawab untuk
memulai dan mempertahankan tingkat perawatan rawat inap, termasuk
pengobatan rutin dan manajemen penyakit kronis. Dokter EM tidak dilatih secara
khusus untuk memberikan perawatan rawat inap untuk masa tinggal yang lama.
EMP ditantang untuk mencoba mendukung pemberi resep dengan memastikan
manajemen terapi pengobatan yang menyeluruh untuk pasien yang naik kompleks
sambil terus memfokuskan upaya pada kebutuhan mendesak atau mendesak dari
pasien UGD yang baru tiba.

11. Transisi perawatan.

EMP dapat menyediakan berbagai layanan TOC. Tanggung jawab untuk


tindak lanjut dapat diserahkan sepenuhnya kepada pasien, yang sering
menghadapi hambatan untuk menerima perawatan primer yang sedang
berlangsung. EMP harus membantu menjembatani kesenjangan ini dengan
memastikan pasien memahami setiap perubahan yang dilakukan pada rejimen
pengobatan mereka dan membantu mengidentifikasi pasien yang berisiko bagi tim
untuk memastikan tindak lanjut yang tepat dengan dokter perawatan primer atau
klinik pasca pulang. Misalnya, pendidikan pemulangan untuk antikoagulan yang
diberikan oleh EMP untuk pasien UGD menghasilkan pemahaman pasien yang
lebih baik dan penurunan kunjungan kembali. Program TOC yang dijalankan
apoteker untuk pasien yang datang ke UGD dengan keluhan utama penyakit paru
obstruktif kronik, kronis gagal jantung, atau eksaserbasi asma dapat memberikan
intervensi yang berguna dan tindak lanjut rujukan dalam perawatan rawat jalan
klinik atau program manajemen obat berbasis rumah.

12. Riwayat pengobatan dan rekonsiliasi pengobatan.

Penelitian rekonsiliasi obat telah mengidentifikasi beberapa hambatan


untuk memperoleh riwayat pengobatan yang akurat di UGD. Dalam banyak kasus,
staf UGD diminta untuk menghubungi berbagai sumber, termasuk kantor dokter
perawatan primer, apotek, dan anggota keluarga untuk mendapatkan riwayat
pengobatan, dan bahkan upaya yang memberatkan ini mungkin tidak
menghasilkan daftar pengobatan rumahan yang akurat. Meskipun tenaga farmasi
adalah tenaga kesehatan yang mendapatkan daftar obat rumah paling akurat,
mendedikasikan seorang apoteker semata-mata untuk pengumpulan riwayat obat
bukanlah alokasi sumber daya apoteker terbaik di UGD. EMP harus membantu
dalam pengembangan dan penerapan protokol stratifikasi risiko untuk
mengidentifikasi dan menentukan pasien UGD mana yang memerlukan riwayat
pengobatan. Secara umum, riwayat pengobatan harus diperoleh untuk pasien
dengan keadaan darurat toksikologi yang diketahui atau diduga, dengan efek
samping yang diketahui atau dicurigai dari pengobatan di rumah, atau dengan
riwayat pengobatan rumit yang akan mempengaruhi pengambilan keputusan klinis
ED.

2.4 Manajemen Risiko Pelayanan Farmasi Klinik (Permenkes, 2016)

Beberapa risiko yang berpotensi terjadi dalam melaksanakan pelayanan farmasi


klinik adalah:

1. Faktor risiko yang terkait karakteristik kondisi klinik pasien Faktor risiko
yang terkait karakteristik kondisi klinik pasien akan berakibat terhadap
kemungkinan kesalahan dalam terapi. Faktor risiko tersebut adalah umur,
gender, etnik, ras, status kehamilan, status nutrisi, status sistem imun, fungsi
ginjal, fungsi hati.
2. Faktor risiko yang terkait terkait penyakit pasien Faktor risiko yang terkait
penyakit pasien terdiri dari 3 faktor yaitu: tingkat keparahan, persepsi pasien
terhadap tingkat keparahan, tingkat cidera yang ditimbulkan oleh keparahan
penyakit.
3. Faktor risiko yang terkait farmakoterapi pasien Faktor risiko yang berkaitan
dengan farmakoterapi pasien meliputi: toksisitas, profil reaksi Obat tidak
dikehendaki, rute dan teknik pemberian, persepsi pasien terhadap toksisitas,
rute dan teknik pemberian, dan ketepatan terapi.

Setelah melakukan identifikasi terhadap risiko yang potensial terjadi


dalam melaksanakan pelayanan farmasi klinik, Apoteker kemudian harus mampu
melakukan:

1. Analisa risiko baik secara kualitatif, semi kualitatif, kuantitatif dan semi
kuantitatif.
2. Melakukan evaluasi risiko; dan
3. Mengatasi risiko melalui:
a. melakukan sosialisasi terhadap kebijakan pimpinan Rumah Sakit;
b. mengidentifikasi pilihan tindakan untuk mengatasi risiko;
c. menetapkan kemungkinan pilihan (cost benefit analysis);
d. menganalisa risiko yang mungkin masih ada; dan
e. mengimplementasikan rencana tindakan, meliputi menghindari risiko,
mengurangi risiko, memindahkan risiko, menahan risiko, dan
mengendalikan risiko.

Pembinaan dan edukasi Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlibat dalam
setiap tahap manajemen risiko perlu menjadi salah satu prioritas perhatian.
Semakin besar risiko dalam suatu pemberian layanan dibutuhkan SDM yang
semakin kompeten dan kerjasama tim (baik antar tenaga kefarmasian dan tenaga
kesehatan lain/multidisiplin) yang solid. Beberapa unit/area di Rumah Sakit yang
memiliki risiko tinggi, antara lain Intensive Care Unit (ICU), Unit Gawat Darurat
(UGD), dan kamar operasi (OK).
2.5 Terapi Antinyeri

Nyeri akut adalah keluhan utama yang paling umum terlihat di gawat
darurat (ED), nyeri sering tidak dirawat dengan baik di UGD. Secara khusus,
pasien mengharapkan untuk menerima analgesik lebih cepat dari pada yang terjadi
secara rutin. Sebuah survei pasien ED mengungkapkan bahwa mereka diharapkan
untuk menerima analgesik dalam waktu 30 menit setelah kedatangan mereka.
(Hapsari, 2020)

Keselamatan pasien menurut International Patient Safety Goals (IPSG)


yang dikeluarkan oleh WHO mempunyai 6 indikator dimana salah satunya adalah
peningkatan kewaspadaan dalam pemberian obat. Hal ini menunjukkan bahwa
kesalahan pemberian obat (medication error) harus dicegah atau diminimalkan.
Akan tetapi, kesalahan dalam pemberian obat masih saja terjadi di pusat
pelayanan kesehatan baik di dalam maupun di luar negeri. Menurut Institute of
Medicine (IOM) setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 48000-100000 pasien
meninggal akibat kesalahan pemberian obat. Sementara di Indonesia, laporan Peta
Nasional Insiden Keselamatan Pasien Rumah Sakit menunjukkan bahwa 2
kesalahan dalam pemberian obat menduduki peringkat pertama (24,8%) dari 10
besar insiden yang dilaporkan (Hapsari, 2020).

IGD merupakan gerbang awal pasien masuk rumah sakit dan mempunyai
resiko tinggi terjadi kesalahan pengobatan. Jumlah pasien yang datang ke IGD
sangat fluktuatif bergantung pada kondisi masyarakat (Nurhanifah,2015). Selain
itu, pasien yang masuk ke IGD berasal dari segala macam usia, seperti bayi, anak,
orang dewasa, dan lansia. Pasien IGD juga memiliki tingkat keparahan yang tidak
dapat diprediksi serta memiliki beragam penyakit.

Pasien yang datang ke UGD sering membutuhkan perawatan tepat waktu,


berpotensi termasuk pemberian obat untuk menghilangkan gejala mereka, seperti
rasa sakit. Manajemen nyeri adalah aspek yang sering diabaikan dari perawatan
akut, dengan pasien dipaksa untuk menunggu periode waktu yang lama tanpa
penilaian nyeri atau ditawarkan analgesia. Waktu pemberian obat sering dianggap
sebagai indikator kualitas perawatan (Wayne Varndell, 2018).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
 Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan salah satu bagian di rumah sakit
yang menyediakan penanganan pertama bagi pasien yang mengalami sakit
dan cedera, yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya.
 Apoteker di Instalasi  Gawat  Darurat (IGD) adalah seorang sarjana
farmasi yang telah menempuh pendidikan apoteker serta telah
mengucapkan sumpah jabatan apoteker dan berfokus pada pelayanan
farmasi klinik di Instalasi Gawat Darurat terkait  penggunaan obat oleh
pasien dalam rangka keberhasilan outcome terapi serta meminimalkan
resiko terjadinya medication error dan kejadian efek samping obat yang
mungkin terjadi. Apoteker di IGD juga berperan dalam mengendalikan
perbekalan farmasi di instalasi gawat darurat.
 Keberadaan apoteker di Instalasi Gawat Darurat adalah agar pasien dapat
memperoleh/mendapatkan obat dengan indikasi, bentuk sediaan, dosis,
rute, frekuensi pemberian, waktu dan durasi pemberian dengan benar dan
tepat. Selain itu juga, apoteker berperan dalam pencapaian terapi obat
secara efektif dan efisien dengan meminimalkan risiko medication error,
efek samping, dan efisiensi biaya.
 Nyeri akut adalah keluhan utama yang paling umum terlihat di gawat
darurat (ED), nyeri sering tidak dirawat dengan baik di UGD. Secara
khusus, pasien mengharapkan untuk menerima analgesik lebih cepat dari
pada yang terjadi secara rutin. Sebuah survei pasien ED mengungkapkan
bahwa mereka diharapkan untuk menerima analgesik dalam waktu 30
menit setelah kedatangan mereka.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Albrich, J. 2008. “ASHP Statement on Pharmacy Services to the Emergency


Department”, American journal of health-system pharmacy, 65(24):2380-
2383. DOI:10.2146/ajhp080417

Hapsari, A.F. 2020. Literature review: Keefektifan pemberian obat nyeri di


instalasi gawat darurat, Wellness And Healthy Magazine, 2(2), p. 331-336.

Ortmann, M.J. et al. 2021. “ASHP Guidelines on Emergency Medicine


Pharmacist Services”, Am J Health-Syst Pharm, 78:261-275. DOI
10.1093/ajhp/zxaa378

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Standar Pelayanan


Kefarmasian Di Rumah Sakit. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Solagracia, G.A. 2017. Gambaran Pemberian Obat Di Instalasi Gawat Darurat


Rsud K.R.M.T Wongsonegoro Semarang. Universitas Diponegoro
Semarang. Skripsi.

Anda mungkin juga menyukai