Anda di halaman 1dari 7

Definisi psikologi forensik

 Wikipedia ensiklopedia bebas: penelitian dan teori psikologi yang berkaitan dengan
efek-efek dari faktor kognitif, afektif, dan perilaku terhadap proses hukum.
 Forensik berasal dari bahasa Latin yaitu forensis yang artinya debat atau perdebatan.
Forensik sendiri sendiri diartikan sebagai bidang ilmu pengetahuan yang digunakan
untuk membantu proses penegakan keadilan melalui proses penerapan ilmu/sain.
 Beberapa istilah yang menggunakan kata forensik adalah: kimia forensik, komputer
forensik, kedokteran forensik, akuntansi forensik, mekanik forensik, dan linguistik
forensik.
 The committee on ethical Guidelines for forensic psychology (Putwain & Sammons,
2002) mendefinisikan psikologi forensik sebagai semua bentuk pelayanan dan kajian
psikologi yang dilakukan di dalam dunia hukum.
 Meliala (2008) menyatakan psikologi forensik merupakan istilah yang dapat
memayungi luasnya cakupan keilmuan psikologi dibidang hukum.
Perkembangan psikologi forensik
 Psikologi forensik menjadi salah satu spesifikasi dalam ilmu psikologi
 Psikologi forensik di luar negeri berkembang pesat
 Psikologi forensik masuk bagian dari APA
 Division 41: American Psychology Law Society
 Aplikasi psikologi forensik pada penegakan hukum, sistem hukum, dan penanganan
korban dan pelaku.
 Di Indonesia psikologi forensik relatif baru.
 Pada 3 November 2007 terbentuk Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR) di Jakarta
 APSIFOR merupakan asosisasi ke -13 di HIMPSI
 APSIFOR telah tiga kali mengadakan seminar dan worskhop di Surabaya di Jakarta di
Semarang
Etika dalam kompetensi psikologi forensik
Pasal 56
Hukum dan Komitmen terhadap Kode Etik
1. Psikologi forensik adalah bidang psikologi yang berkaitan dan/atau diaplikasikan
dalam bidang hukum, khususnya peradilan pidana.
2. Ilmuwan psikologi forensik melakukan kajian/ penelitian yang terkait dengan aspek-
aspek psikologis manusia dalam proses hukum, khususnya peradilan pidana. Psikolog
forensik adalah psikolog yang tugasnya memberikan bantuan profesional psikologi
berkaitan dengan permasalahan hukum, khususnya peradilan pidana.
3. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang menjalankan tugas psikologi forensik
wajib memiliki kompetensi sesuai dengan tanggung jawab yang dijalaninya,
memahami hukum di Indonesia dan implikasinya terhadap peran tanggung jawab,
wewenang dan hak mereka. 4. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari
adanya kemungkinan konflik antara kebutuhan untuk menyampaikan informasi dan
pendapat, dengan keharusan mengikuti hukum yang ditetapkan sesuai sistem hukum
yang berlaku. Psikolog dan/atau ilmuwan Psikologi berusaha menyelesaikan konflik
ini dengan menunjukkan komitmen terhadap kode etik dan mengambil langkah-
langkah untuk mengatasi konflik ini dalam cara-cara yang dapat diterima.
Pasal 57
Kompetensi
(1) Praktik psikologi forensik adalah penanganan kasus psikologi forensik terutama yang
membutuhkan keahlian dalam pemeriksaan psikologis seseorang yang terlibat kasus
peradilan pidana, yang bertujuan membantu proses peradilan dalam menegakkan
kebenaran dan keadilan. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan
praktik psikologi forensik harus memiliki kompetensi sesuai dengan standar psikologi
forensik, memahami sistem hukum di Indonesia dan mendasarkan pekerjaannya pada
kode etik psikologi.
(2) Praktik Psikologi forensik yang meliputi pelaksanaan asesmen, evaluasi psikologis,
penegakan diagnosa, konsultasi dan terapi psikologi serta intervensi psikologi dalam
kaitannya dengan proses hukum (misalnya evaluasi psikologis bagi pelaku atau
korban kriminal, sebagai saksi ahli, evaluasi kompetensi untuk hak pengasuhan anak,
program asesmen, konsultasi dan terapi di lembaga pemasyarakatan) hanya dapat
dilakukan oleh psikolog. Dalam menjalankan tanggung jawabnya psikolog harus
mendasarkan pada standar pemeriksaan psikologi yang baku sesuai kode etik
psikologi yang terkait dengan asesmen, dan intervensi.
(3) Ilmuwan psikologi forensik dalam melakukan kajian/penelitian yang terkait dengan
aspek aspek psikologis manusia dalam proses hukum wajib memiliki pemahaman
terkait dengan sistem hukum di Indonesia dan bekerja berdasarkan kode etik psikologi
terutama yang terkait dengan penelitian.
Pasal 58
Tanggung Jawab, Wewenang dan Hak
(1) Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi forensik yang melakukan praktik psikologi
forensik sesuai dengan kompetensinya memiliki tanggung jawab membantu proses
peradilan pidana, dalam kasus yang ditanganinya sehingga tercapainya penegakan
kebenaran dan keadilan. Dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan maka
psikolog dan/atau ilmuwan psikologi forensik melakukan pekerjaannya dengan
berdasarkan azas profesionalitas serta memperhatikan kode etik psikologi.
(2) Psikolog forensik memiliki wewenang memberikan laporan tertulis atau lisan
mengenai hasil penemuan forensik, atau membuat pernyataan karakter psikologi
seseorang, hanya sesudah ia melakukan pemeriksaan terhadap pribadi bersangkutan
sesuai standar prosedur pemeriksaan psikologi, untuk mendukung pernyataan atau
kesimpulannya. Bila tidak dilakukan pemeriksaan menyeluruh karena keadaan tidak
memungkinkan, Psikolog menjelaskan keterbatasan yang ada, serta melakukan
langkah-langkah untuk membatasi implikasi dari kesimpulan atau rekomendasi yang
dibuatnya.
(3) Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi forensik yang dalam menjalankan pekerjaan di
bidang psikologi sudah menjalankan tanggung jawabnya sesuai dengan standar, maka
memiliki hak untuk mendapat perlindungan dari Himpsi jika ia mendapatkan masalah
terkait dengan hukum.
Pasal 59
Pernyataan Sebagai Saksi atau Saksi Ahli
(1) Psikolog dalam memberikan kesaksian sebagai saksi ataupun saksi ahli harus
bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan dalam menyusun hasil
penemuan psikologi forensik atau membuat pernyataan dari karakter psikologi
seseorang berdasarkan standar pemeriksaan psikologi.
(2) Bila kemungkinan terjadi konflik antara kebutuhan untuk menyampaikan pendapat
dan keharusan mengikuti aturan hukum yang ditetapkan dalam kasus di pengadilan,
psikolog berusaha menyelesaikan konflik ini dengan menunjukkan komitmen
terhadap Kode Etik dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi konflik dengan
cara-cara yang bisa diterima.
(3) Bila kemungkinan ada lebih dari satu saksi atau saksi ahli psikolog, maka psikolog
tersebut harus memegang teguh prinsip hubungan profesional sesuai dengan pasal 19
buku kode etik ini.
(4) Bila harus memberikan kesaksian, atau menyampaikan pendapat selaku saksi atau
saksi ahli yang melakukan pemeriksaan, sejauh memang diizinkan oleh hukum yang
berlaku di Indonesia; Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus tetap dapat bersikap
profesional dalam memberikan pandangan serta menjaga atau meminimalkan
terjadinya konflik antara berbagai pihak.
(5) Bila terdapat lebih dari satu saksi atau saksi ahli psikolog di pengadilan dan bila
kemungkinan terjadi konflik antar psikolog dalam suatu proses peradilan yang
ditanganinya, maka psikolog dapat meminta Himpsi untuk membantu penyelesaian
masalah dengan memberikan kesempatan untuk menyelesaikan permasalahan
berdasarkan standar pemeriksaan psikologi dan kaidah ilmiah psikologi.
(6) Bila terdapat lebih dari Satu saksi atau saksi ahli yang berasal dari psikolog dan ahli
profesi lain dan bila kemungkinan terjadi konflik antara psikolog dengan profesi lain
tersebut maka psikolog dapat meminta Himpsi menyelesaikan masalahnya dengan
mendiskusikannya dengan organisasi profesi dimana profesi lain tersebut bernaung.

Klasifikasi isi tradisional adalah dua kategori perbedaan antara hukum perdata dan pidana,
atau antara hukum substantif dan prosedural.
Perbedaan antara hukum perdata dan pidana terletak terutama pada sengketa vs sifat
hukuman kasus.
Dalam hukum perdata, dua atau lebih pihak (berperkara) mendekati sistem hukum mencari
resolusi sengketa.
Penggugat, orang yang membawa kasus ini, berharap untuk beberapa upaya hukum dari
proses hukum yang berlangsung, meskipun upaya hukum ini mungkin termasuk denda atau
ganti rugi, konsep hukuman bukanlah tujuan utama dari hukum perdata.
Hukum di indonesia:
a. Hukum perdata: Hukum perdata dirancang untuk menyelesaikan sengketa, atau untuk
membuat korban mendapatkan ganti-rugi.
b. Hukum pidana: Hukum pidana, di sisi lain, melibatkan dugaan pelanggaran aturan
dianggap begitu penting bahwa melanggar aturan ini menimbulkan hukuman resmi
masyarakat, yang harus dikenakan oleh pengadilan pidana
c. Hukum adat
Proses peradilan
A. Praperadilan (pretrial)
Proses dalam kasus pidana dimulai ketika kejahatan yang dilaporkan dan diselidiki dan
bukti mulai bertambah. untuk kejahatan federal dan beberapa pelanggaran negara
bagian, hakim agung meninjau bukti yang dikumpulkan oleh jaksa dan memutuskan
apakah cukup bukti untuk mengadili. Selama masa pra peradilan psikolog diminta
untuk mengevaluasi keadaan mental dari orang yang didakwa melakukan tindak
kejahatan, membantu pengacara dalam memilih juri, dan atau wawancara anak dalam
sengketa tahanan. Asesmen dan kesaksian ahli psikolog, kemudian digunakan dalam
berbagai proses praperadilan termasuk sidang pengadilan.
B. Percobaan(trial)
Dalam kasus-kasus pidana dan perdata, pengadilan mengikuti pola yang sama, dimulai
dengan pemilihan juri, setidaknya vonis akan diberikan hanya oleh seorang hakim.
Diikuti oleh argumen pembuka, dua putaran presentasi dan silang - pemeriksaan saksi,
untuk kedua belah pihak, penjumlahan, instruksi hakim kepada juri, musyawarah juri
dan putusan.
C. Disposisi(disposition)
Tahap ketiga dari proses peradilan merupakan proses yang paling relevan dengan kasus
kriminal, karena mensyaratkan bahwa seorang hakim atau juri menjatuhkan hukuman
atau sanksi lainnya kepada pelanggar dihukum. Psikolog memasuki tahap disposisi
khususnya dalam proses pidana, di mana vonis hukuman hakim dapat mengandalkan
rekomendasi psikolog untuk memilih alternatif hukumana seperti penjara atau hukuman
percobaan disertai dengan pengobatan masyarakat. Di beberapa negara bagian, psikolog
bersaksi pada audiensi hukuman mati, biasanya berhubungan dengan keadaan pelaku
tindak kriminal.
D. Banding (appeals)
Selama proses banding pengadilan yang lebih tinggi mereviu temuan-temuan
pengadilan yang lebih rendah mengenai masalah-masalah hukum. Dasar banding
mungkin melibatkan psikologi secara langsung, misalnya, seorang ayah yang menarik
keputusan hak asuh mungkin berpendapat bahwa psikolog yang mewawancarai anaknya
tidak memiliki mandat yang digariskan dalam undang-undang. Psikolog dapat terlibat
dalam mengisi ruang amicus curiae (“friend of the court“ pihak ketiga untuk
menyediakan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan isu-isu yang belum
familiar), dapat memberikan perawatan kepada pelaku atau yang berperkara, atau
mungkin melakukan penilaian tambahan atau melakukan penelitian untuk dibawa ke
perhatian pengadilan banding. karena kepentingan intens psikologi dalam proses
peradilan, masing-masing fase dapat dibahas secara rinci, bersama-sama dengan
beberapa studi penelitian ilustratif. Setidaknya dinyatakan secara khusus, berikut ini
berkaitan dengan kedua kasus perdata dan pidana.
SEJARAH
 Berawal dari upaya Dr. Theodore J. Curphey (1958): ia dihadapkan pada banyak
kasus- kematian yang terkait dengan drug.
 Curphey mengundang Edwin S. Sneidman dan Norman Farberow (1961), co directure
LA suicide prevention center untuk menganalisis kasus kematian yang equivocal
(samar, kurang jelas). Upaya inilah yang kemudian dinamakan autopsi psikologi.
PENGERTIAN
 Autopsi medis bertujuan untuk memeriksa kondisi fisik orang almarhum sedangkan
AP bertujuan untuk memeriksa kondisi mental almarhum.
 Ada beberapa alasan melakukan AP, namun yang paling umum adalah untuk
membantu dalam menentukan penyebab kematian.
 Diperkirakan bahwa 20% kasus disajikan secara medis peneyebab kematiannya
kurang jelas, AP dapat membantu mengatasi ambiguitas ini dan menentukan apakah
kematian akibat dari sebab-sebab a amiah, bunuh diri, kecelakaan atau pembunuhan.
 AP merupakan salah satu alat yang sangat bermanfaat dalam penelitian ttg bunuh diri.
 Metodenya meliputi pengumpulan seluruh informasi yang tesedia melalui wawancara
terstruktur dengan anggota keluarga, teman dll.
 Dapat pula informasinya diperoleh dari riwayat perawatan kesehatan (fisik dan
mental), dokumen lain termasuk pemeriksaan forensik.
 AP menyimpulkan seluruh informasi yang diperoleh dengan berbagai sumber dan
laporan
PERKEMBANGAN AUTOPSI PSIKOLOGI
 Pada perkembangan awal AP mencatat bahwa lebih dari 90% kasus bunuh diri terkait
dengan masalah gangguan mental (gangguan mood dan masalah penggunaan zat).
 Perkembangan terkini AP banyak digunakan untuk mengukur peran berbagai faktor
resiko tindakan bunuh diri.
 Dimasa depan AP lebih difokuskan pada studi ttg interaksi antara risk factor / risk
factor domains, studi pada prevensi kasus bunuh diri yang spesifik, serta studi yang
mengkombinasikan antara AP dengan pengukuran biologis.
PENGERTIAN
 Retrospective death assesment, evaluasi rekonstruktif maupun analisa kematian
equivocal (Katherine Ramsland, 2006)
 Otopsi psikologis tidak kurang dari rekonstruksi motivasi, filsafat, psikodinamika, dan
krisis eksistensial orng yg meninggal. (Edwin Shneidman)
 Otopsi psikologi sebagai metode tertentu yang dipergunakan untuk meneliti secara
cermat riwayat perjalanan kehidupan seseorang sebelum kematian.
TUJUAN
• Merekonstruksi keadaan emosional, kepribadian, pikiran-pikiran dan gaya hidup
almarhum.
• Mengetahui Intensi dan keadaan emosional aim tidak lama sebelum kematiannya.
PENGUMPULAN DATA
• Dalam konteks penyelidikan forensik otopsi psikologi digunakan sebagai alat
pengumpulan data.
• Sumber yang paling umum adalah data wawancara yang diperoleh dari keluarga dan
teman-teman almarhum.
• Mendapatkan sejarah medis dari almarhum juga merupakan komponen utama dari PA,
Mewawancarai dokter dari catatan medis.
SUMBER DATA
• Menurut Berman & Litman (1993), informasi yang dikumpulkan meliputi:
□ Informasi biografis (umur, status perkawinan, pekerjaan).
□ informasi pribadi (hubungan, gaya hidup, alkohol / penggunaan narkoba, sumber stres).
□ Informasi sekunder (riwayat keluarga, catatan polisi, buku harian).
VALIDITAS AUTOPSI PSIKOLOGI
 Dibutuhkan bukti-bukti yang pasti untuk mendukung validitas AP.
 (Brent 1993): istilah AP sendiri belum begitu dikenal secara umum, dan belum ada
standar baku yang benar-benar siap untuk digunakan.
 Belum ada petunjuk sistematis serta pelatihan yang memadai.
 Orang yang membuat AP juga mungkin kurang memiliki pengetahuan mendalam ttg
forensik.
 Oleh karena itu, AP merupakan salah satu alat dari sekian banyak alat investigasi
yang harus digunakan secara bijaksana dalam penanganan kasus kematian.
KLASIFIKASI PENYEBAB KEMATIAN
Penyebab kematian secara tradisional (Jobes, Berman, & Josselson, 1986)
 Natural
 Accident
 Suicide
 Homicidal
APLIKASI AUTOPSI PSIKOLOGI
 Penanganan kasus-kasus bom bunuh diri Kasus pembunuhan berantai
 membedakan korban kecelakaan dengan bunuh diri.
 Membantu penyidik menentukan kemungkinan TSK
 menentukan tanggung jawab ortu atas tindakannya yang memicu anaknya bunuh diri.
 klaim asuransi jiwa
 menuntut sipir yang lalai terhadap keselamatan narapidana.
 kasus kewajiban produk.
 kasus malpraktek medis atau psikologis
PROSEDUR UTAMA
 Interview mendalam pada keluarga/kerabat/orang terdekat dari korban
 Mengumpulkan informasi/riwayat medis, psikologis, psikiatrik dan semua informasi
yang dianggap penting untuk menjelaskan hidup korban.
 PENGERTIAN
 Asal mula Criminal profiling sebenarnya belum jelas.
 Tetapi pada abad ini elemen sosial mencoba untuk menunjukkan sesuatu dengan tepat
antara kualitas fisik dan psikologis yang dibuhubungkan dengan perilaku kriminal
atau perilaku menyimpang.
 Criminal Profiling dapat dijelaskan sebagai pengetahuan sebagai usaha untuk
memberikan informasi yang spesifik tentang beberapa tipe/model orang yang
dicurigai dan sebagai y sketsa atau uraian mengenai pola, kecenderungan, dan juga
alasan adanya tindakan kejahatan.
TIGA PENDEKATAN DALAM CRIMINAL PROFILING
 Profiling Historic and Political Figures
 Profiling Criminal Common Characteristic :
a. Childhood Experience: salah satu pendekatan dengan yang menekankan pada
kesamaan pengalaman pelaku pada masa kecil dengan tindakan yang
dilakukan
b. MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventories) Profiles : Dengan cara
membuat sebuah inventori kepribadian untuk membangun profil psikologi dari
pelaku
 Profiling Criminal from Crime Scene Characteristic
o Ada perbedaan antara apa yang dinamakan dengan modus operandi (MO]
dalam sebuah tindakan kriminal dan Signature dari sebuah tindakan.
o Misalnya : Pencuri akan melakukan tindakan kriminalnya dengan cara
memecah jendela basement untuk masuk ke dalam. Tetapi pada keadaan yang
berikutnya dia menggunakan alat pemotong kaca. Ini untuk mengurangi resiko
ketahuan karena adanya suara.
o Sedangkan Signature merefleksikan keunikan, aspek personal daripada aksi
kriminal, dan biasanya menggambarkan kebutuhan untuk mengekspreksikan
fantasi.
o Misalnya pemerkosa kemungkinan melakukan aktivitas spesifik yang sama
pada korban-korbannya.
PROSEDUR YANG BIASA DIPAKAI OLEH POLISI DAN FBI
 Petunjuk-petunjuk yang didapatkan di lokasi kejadian sangat menentukan untuk
mencari tahu sebuah kebenaran.
GENERATING THE CRIMINAL PROFILE
Sebuah studi komprehensif mengenai aksi kriminal dan tipe dari pelaku yang dihubungkan
dengan peristiwa pada masa lalu
 Analisa secara mendetail mengenai adegan kriminal
 Pemeriksaan secara mendalam mengenai latar belakang dan aktivitas dari para
korban.
 Memformulasikan sebagaimana mungkin faktor dari motivasi dari serentetan
peristiwa.
 Membangun sebuah deskripsi dari petunjuk didasarkan dari karakteristik yang jelas
dari adegan kriminal dan perilaku kriminal pada masa lalu.
EFEKTIVITAS CRIMINAL PROFILING
 Dalam survey di Inggris 184 kasus yang diidentifikasi hanya ada 5 (atau sekitar 2,7%)
dimana profiling menuntun pada identifikasi dari pelaku kejahatan.
 Asumsi fundamental untuk Criminal Profiling:
1. Tanda sebagai petunjuk, mungkin akan sama (dalam tulisannya agen FBI John
Douglas) menunjukkan bahwa beberapa aksi kejahatan tidak berubah.
2. Kepribadian dari Pelaku tidak pernah berubah.
BAHAYA MELEBIH-LEBIHKAN KEUNTUNGAN PROFILING
 Kita melihat betapa bahayanya ketidak akuratan menggunakan model MMPI atau tes
kepribadian lain untuk memberikan klaim bahwa pelaku kejahatan mempunyai
kepribadian sama.
 Selain itu dalam criminal profiling didasarkan atas kesamaan karakteristik. Contohnya
profil dari kurir narkoba yang digunakan oleg DEA termasuk deskripsi adalah kulit
hitam, yang ini menyebabkan beberapa tindakan yang rasial pada orang yang tidak
bersalah
EVALUASI TERHADAP PROFILING
 Holmes and Holmes (1996) menyimpulkan bahwa seorang profiler yang baik adalah
dimana dia dapat membangun “feel” (perasaan) dari beberapa jenis tindakan kriminal.
 Merefleksikan kualitas intuisi sebagai sebuah seni
 Meskipun profiler menemukan pola dari sebuah perilaku, tetapi dia tidak dapat
menjelaskan proses kerjanya.
 Tidak ada dua orang profiler yang akan menyimpulkan analisis yang sama.
 Metode deduksi dalam sebuah analisis kriminal memberikan kualifikasi sebagai
prosedur ilmiah.
PSYCHOLOGICAL AUTOPSY DALAM KEMATIAN YANG TIDAK TERDUGA
 Term “Psychological autopsy” mengacu pada metode investigasi yang digunakan oleh
psikolog atau ahli sosial lainnya untuk membantu dalam menentukan bagaimana cara
kematian dalam sebuah kasus yang samar-samar.
 “Psychological Autopsy” informasi yang termasuk antara lain, gaya hidup dari orang
sebelum mati, kepribadian dan faktor demografi.
 Pada saat ini tujuan dari “psychological autopsy “digunakan untuk menguak kasus
bunuh diri, mencoba mempelajar bagaimana lingkungan dibalik sebuah perilaku
bunuh diri.

Anda mungkin juga menyukai