Anda di halaman 1dari 43

TATA LAKSANA ASUHAN GIZI

DISPEPSIA E.C SUSPEK AKALASIA


ESOFAGUS

OLEH

HUSNAENI ARSAD,SKM.M.Kes
NIP 19691211 199203 2 013

RSUD I LAGALIGO
WOTU LUWU TIMUR

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT, karena dengan rahmat dan ridhonya,

penulisan Makalah: Tata Laksana Asuhan Gizi Pada Pasien Dispepsia e.c

suspek Akalasia Esofagus, dapat diselesaikan. Tujuannya adalah supaya dapat

dijadikan sebagai referensi atau bahan bacaan untuk para nutrisionis dan

masyarakat secara umum.

Akhir kata, meskipun berbagai usaha telah dilakukan semaksimal mungkin

dalam menyelesaikan makalah ini, namun karena keterbatasan pengalaman,

pengetahuan, kepustakaan dan waktu, makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.

Untuk ini, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan untuk

menyempurnakan makalah ini.

Wotu, 29 Juni 2020

Husnaeni Arsad,SKM.M.Kes

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................ 2
DAFTAR ISI................................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................... 4
A. Gambaran Umum Penyakit.............................................................................................. 4
B. Data Dasar Pasien................................................................................................................ 5
BAB II PENENTUAN MASALAH GIZI DAN PROBLEM CLUE......................10
A. Diagnosis Gizi.............................................................................................................. 10
B. Diagnosis Medis.......................................................................................................... 11
BAB III RENCANA TERAPI GIZI................................................................................... 12
A. Rencana Asuhan Gizi............................................................................................ 12
B. Implementasi Asuhan Gizi................................................................................... 15
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................ 19
A. Definisi Dispepsia dan Akalasia........................................................................ 19
B. Etiologi........................................................................................................................... 20
C. Potofisiologi................................................................................................................. 21
D. Gejala............................................................................................................................. 24
E. Penatalaksanaan..................................................................................................... 26
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................................31
A. Monitoring.................................................................................................................... 31
B. Hasil Motivasi Diet Pasien................................................................................... 36
C. Evaluasi Asuhan Gizi Pasien.............................................................................37
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................................40
A. Kesimpulan................................................................................................................... 40
B. Saran................................................................................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Gambaran Umum Penyakit


Dispepsia. istilah medis untuk gangguan pencernaan. Gangguan ini
terdiri dari berbagai gejala di perut bagian atas, seperti rasa penuh,
ketidaknyamanan, kekenyangan, kembung, mulas, bersendawa, mual,
muntah, atau nyeri. Lambung adalah reservoir pertama makanan dalam
tubuh dan di organ tersebut makanan melalui proses pencernaan dan
penyerapan sebagian zat gizi. Gangguan lambung berupa
ketidaknyamanan pada perut bagian atas atau dikenal sebagai sindrom
dispepsia, dapat terjadi akibat kelainan organik maupun fungsional (Andri,
dkk., 2011).
Akalasia didefinisikan sebagai gangguan motilitas esofagus ditandai
dengan aperistalsis atau gangguan peristalsis esofagus dan relaksasi
yang inadekuat pada sfingter esofagus bagian bawah (lower esophageal
sphincter/LES) yang disebabkan karena kerusakan pleksus myenterikus
(Fitri, dkk., 2009.).
Pada survei yang dilakukan oleh Shaib dan El-Serag pada pegawai
dalam suatu institusi di Amerika Serikat, dengan melakukan pemeriksaan
endoskopi mereka mendapatkan prevalensi dispepsia sebanyak 15%.
Penelitian oleh Jones et.al menggunakan barium enema dan endoskopi
pada seperlima dari 9936 subjek mendapatkan prevalensi dispepsia
fungsional sekitar 23,8% di Iceland dalam suatu penelitian populasi
selama 10 tahun, terdapat peningkatan dari 13,9% di tahun 1996 menjadi
16,7% di tahun 2006. Di Norwegia 14% dari 2027 orang dewasa juga
mengalami dispepsia fungsional setelah diperiksa, di Jepang, didapatkan
17% prevalensi dispepsia fungsional pada sebuah program skrining
kanker lambung. Penelitian terhadap dispepsia di beberapa negara di Asia
juga menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi, yaitu Cina sebanyak 69%
dari 782 pasien dispepsia, di Hongkong 43% dari 1.353 pasien, di Korea

4
70% dari 476 pasien, dan Malaysia 62% dari 210 pasien yang diperiksa.
Di Indonesia, angka prevalensi dispepsia fungsional secara keseluruhan
belum ada hingga saat ini. Pada tahun 1991 di RS Cipto Mangunkusumo,
terdapat 44% kasus dispepsia fungsional dari 52 pasien dispepsia yang
menjalani pemeriksaan endoskopi. Harahap pada penelitian di RS Martha
Friska Medan tahun 2007 mendapatkan dispepsia fungsional sebanyak
78,8% dari 203 pasien yang diperiksa (Suryaningsih, 2013).

B. Data Dasar Pasien


1. Identitas Pasien
Nama : Tn.MH.
Tgl lahir : 31 Desember 1957.
Umur : 63 Tahun.
Jenis Kelamin : Laki-laki.
Alamat : Malili.
Agama : Islam.
Pekerjaan : Wiraswasta
No. Register RM : 00-18-21-84.
Tgl Masuk Rumah Sakit : 08 Juni 2020
Diagnosa Medis : Dispepsia

2. Data Subyektif
a. Keluhan Utama
Pasien masuk rumah sakit pada tanggal 08 Juni 2020 dengan
keluhan sulit menelan makanan dan minuman, mual, muntah dan
lemas.
a) Riwayat Penyakit Sekarang
Dispepsia e.c suspek Akalasia Esofagus, juga mengalami
kesulitan menelanmakanan dan minuman, mual, muntah.
b) Riwayat Penyakit Dahulu

5
Sebelumnya pasien tidak pernah menderita penyakit yang
serius namun BAB jarang terkadang 3-4 hari baru BAB.
c) Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama
seperti yang dialamipasien.
d) Riwayat Gizi Sekarang
Selama di rumah sakit pasien di berikan diet bubur TKTP,
dengan pola makan sedikit tapi sering, pada pasien nafsu
makan baik namun kesulitan saat menelan, adapun recall 24
jam sebelum intervensi yaitu:

E= 116,56 (8,28%)
P= 3,59 (6,8%)
L= 2,22 (5,68%)
KH= 11,5 (5,45%)
e) Riwayat Gizi Dahulu
1. Nafsu makan baik dengan frekuensi makan 3 kali sehari
berupa nasi dengan porsi sedang
2. Mengkonsumsi mie instan 1 bungkus 3 kali sehari.
3. Makan ikan 2-3 kali seminggu.
4. Mengkonsumsi telur 3-4 kali seminggu, sebanyak 1-2 butir
5. Makan daging 3-5 potong sedang 3-4 kali dalam seminggu.
6. Suka minum kopi 2 sdm sebanyak 500 ml air setiap harinya
dengan 2 sdm gula.
7. Makan buah 1-2 kali dalam seminggu.
8. Tidak makan sayur, tempe dan tahu dengan alasan tidak
suka.
9. Tidak ada alergi.
f) Riwayat Sosial Ekonomi

6
Tn.MH bekerja sebagai wiraswasta, dengan status kawin
memiliki tiga orang anak gadis. Suku Makassar dan
beragam Islam.

3. Data Obyektif
a) Antropometri
Umur : 63 tahun
TB : 160 cm.
BBA : 51 kg.

BBI : (TB -100) – 10% (TB – 100)


: (160 – 100) – 10% (160 – 100)
: 60 – 6 kg
: 54 kg
IMT : BBI/(TB)2
: 51/(1,60)2
: 19,92 Kg/m2 (Status Gizi Normal berdasarkan WHO asia
2005).

b) Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 1.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Tgl 09 Juni 2020
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi
HB 10,4 gr/dL 13-16 gr/dL Rendah
Ureum darah 25 mg/dl 10-50 mg/dl Normal
Kreatinin
0,7 mg/dl < 1,3 mg/dl Normal
darah
SGOT 12 U/I < 37 U/I Normal
SGPT 25 U/I < 42 U/I Normal
Natrium 139 mmol/L 136-145 Normal

7
mmol/L
Kalium 3,8 mmol/L 3,5-5,1 mmol/L Normal
Klorida 103 mmol/L 97-111 mmol/L Normal
Sumber : Data Sekunder, 2020.

c) Pemeriksaan Fisik-klinis

Tabel 1.2 Hasil Pemeriksaan Fisik/Klinis


Tgl 14 Juni 2020
Jenis
Hasil Nilai Normal Interpretasi
Pemeriksaan
Keadaan Umum Lemas- - -
Kesadaran Sedang - -
Tekanan Darah Sadar 120/80mm/Hg Rendah
Nadi 90/60 mmHg 80-120 x/i Normal
Respirasi 86 x/i 16-24 x/i Normal
Suhu 20 x/i 36-37ºC Normal
37,20
Sumber: Data Sekunder, 2020
.
d) Riwayat Makan
Tabel 1.3 Asupan Zat Gizi Sebelum Intervensi
Tgl 14 juni 2020

Energi Protein Lemak KH

Asupan 116,56 kkal 3,59 gr 2,22 gr 11,5 gr


Kebutuhan 1404,46 kkal 52,5 gr 39,01 gr 210,66 gr
% Kebutuhan 8,28% 6,8% 5,68% 5,45%
Sumber : Data Primer Terolah, 2020.

e) Skrining Gizi

8
Tabel 1.4 Hasil Skrining Gizi Terhadap Pasien
Tgl 14 Juni 2020
No Indikator Hasil
1 Perubahan BB -
2 Nafsu makan -
3 Kesulitan mengunyah /& menelan +
4 Mual +
5 Muntah +
6 Alergi/intoleransi zat Gizi -
7 Diet khusus +
8 Asupan oral +
Sumber : Data Primer, 2020

BAB II
PENENTUAN MASALAH GIZI DAN PROBLEM CLUE

9
A. Diagnosis Gizi
1. Domain Intake
Tabel 2.1 Diagnosa Gizi Berdasarkan Domain Intake
Problem Etiologi Sign
Intake asupan oral Keadaan pasien Hasil recall 24 jam
inadekuat yang sulit menelan sebelum intervensi
dan adanya muntah E= 116,56 (8,28%)
P= 3,59 (6,8%)
L= 2,22 (5,68%)
KH= 11,5 (5,45%)
(NI-2.1)
Intake makanan oral yang tidak adekuat berkaitan dengan kondisi
kesulit menelan dan adanya muntah ditandai dengan hasil recall 24
jam (sebelum intervensi) yaitu:
E = 216 kkal (15,42%)
P = 4,08 gr (1,94%)
L = 0,4 gr (0,12%)
KH = 47 gr (5,64%)
Problem Etiologi Sign
Anemia Adanya peningkatan intake Ditandai dengan nilai
mineral tubuh berkaitan Hb yaitu:
dengan penyakit yang HB 10,4 gr/dL (↓)
diderita pasien (13-16 gr/dL).
(NI-5.10.1)
Peningkatan intake mineral tubuh berkaitan dengan gangguan
gastro intestinal/malabsorbsi ditandai dengan nilai Hb yaitu:
HB 10,4 gr/dL (↓) (13-16 gr/dL).

2. Domain Behaviour
Tabel 2.2 Diagnosa Gizi Berdasarkan Domain Behavior

10
Problem Etiologi Sign
Kebiasaan Adanya penolakan atau Ditandai dengan
makan yang ketidaksukaan pasien BAB yang jarang
salah makan sayur. yaitu 3-4 haru baru
BAB
(NB-1.2)
Kebiasaan makan yang salah berkaitan dengan penolakan
pasien mengkonsumsi sayur. Hal ini ditandai dengan BAB yang
jarang yaitu 3-4 haru baru BAB.

B. Diagnosis Medis
Diagnosa medis yang diberikan untuk pasien Tn. MH adalah Dispepsia e.c
susp. Aklasia Esofagus

BAB III
RENCANA TERAPI GIZI

11
A. Rencana Asuhan Gizi
1. Jenis Diet
Diet yang diberikan untuk pasien adalah Diet Lambung II
2. Tujuan Diet
Adapun tujuan Diet yaitu sebagai berikut:
a) Mempertahankan berat badan normal
b) Untuk memenuhi kebutuhan zat gizi tanpa memperberat kerja
saluran cerna untuk mencegah dan mengurangi kerusakan
jaringan tubuh lainnya.
c) Memberikan makanan sesuai dengan keadaan penyakit.
3. Prinsip/Syarat Diet
Adapun syarat diet yang diberikan yaitu sebagai berikut:
a) Kebutuhuan energi tinggi 1404,48 kkal untuk kebutuhan sehari.
b) Kebutuhan protein cukup yaitu sebesar 52,66 gr/hari atau
setarah dengan 15% kebutuhan TEE.
c) Kebutuhan lemak sedang yaitu sebesar 39,01 gr/hari atau
setara dengan 25% kebutuhan TEE.
d) Kebutuhan karbohidrat cukup yaitu sebesar 210,66 gr/hari atau
setara dengan 60% dari kebutuhan TEE.
e) Makanan yang diberikan merupakan makanan yang mudah
dicerna.
f) Makanan yang diberikan bukan makanan yang mengandung
gas.
g) Frekuensi pemberian makanan sering diberikan dalam porsi
kecil (minimal 6 kali/hari).
h) Konsistensi makanan pasien yakni dalam bentuk makanan cair.

4. Perencanaan Kebutuhan Energi dan Zat Gizi


Data Antropometri:

12
Umur : 63 tahun
TB : 160 cm.
BBA : 51 kg.
BBI : (TB -100) – 10% (TB – 100)
: (160 – 100) – 10% (160 – 100)
: 60 – 6 kg
: 54 kg
IMT : BBI/(TB)2
: 51/(1,60)2
: 19,92 Kg/m2 (Status Gizi Normal berdasarkan WHO asia
2005).

Kebutuhan energi basal dan zat gizi dengan menggunakan rumus


Harris-Benedict:
BEE = 66 + (13,7 x BB) + (5 x TB) – (6,8 x U)
= 66 + (13,7 x 51) + (5 x 160) – (6,8 x 63)
= 66 + (698,7) + (800) – (428,4)
= 1136,3 kkal
Faktor Aktivitas
12
Tidur (12 jam) = x 1=0,5
24
10
Duduk (10 jam)= x 1,08=0,45
24
1
Berdiri (1 jam) = x 1=0,04
24
1
Berjalan (1 jam) = x 1=0,04
24
Faktor Stress
(FS = 1,2)
Total Energi
TEE = AMB × FA × FS
TEE = 1136,3 x 1,03 x 1,2

13
TEE = 1404,46 kkal

Kebutuhan protein
15 % ×TEE
Protein =
4
15 % ×1404,46
=
4
Protein = 52,66 gr

Kebutuhan lemak
25 % ×TEE
Lemak =
9
25 % ×1404,46
=
9
Lemak = 39,01 gr.

Kebutuhan karbohidrat
60 % ×TEE
Karbohidrat =
4
60 % ×1404,46
=
4
Karbohidrat = 210,66 gr.

5. Rencana Motivasi dengan Penyuluhan Konsultasi


a) Materi
Materi yang diberikan pada pasien dengan metode konsultasi dan
diskusi, berikut materi yang diberikan:
1. Diet lambung II.
2. Menjelaskan perlunya menjaga pola makan.
3. Menjelaskan jenis makanan yang sebaiknya dikonsumsi.
4. Menjelaskan pentingnya asupan makanan.
b) Tujuan
Agar pasien dan keluarga:

14
1. Memperbaiki pola dan kebiasaan makan yang salah.
2. Memotivasi pasien untuk patuh terhadap diet yang diberikan.
3. Menjalankan diet yang diberikan.
4. Mengerti dan mematuhi diet yang diberikan.
c) Sasaran
Pasien dan keluarga khususnya anak pasien.
d) Waktu
± 30 menit.
e) Tempat
Kamar Perawatan Mahalona 1 RSUD I LAGALIGO Prov.
SulSel. Metode
Penyulahan dilakukan dengan metode konsul pada pasien
dan keluarga pasien khususnya anaknya.
f) Alat Bantu
food picture, buku, polpen, leaflet.

6. Rencana Monitoring
Parameter yang dimonitor selama studi kasus adalah sebagai
berikut:
a) Asupan zat gizi.
b) Data antropometri.
c) Perubahan data pemeriksaan fisik klinis.
d) Biokimia darah/Nilai laboraturium

B. Implementasi Asuhan Gizi


1. Diet Pasien
Diet yang diberikan untuk pasien adalah lambung II yang bertujuan
untuk Mempertahankan berat badan normal serta untuk memenuhi
kebutuhan zat gizi tanpa memperberat kerja saluran cerna, juga
mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh lainnya dan
memberikan makanan sesuai dengan keadaan pasien yang sulit

15
menelan. Diet ini mengandung energi sebesar 1404,46 kkal, protein
15% sebesar 52,66 gr, lemak 25% sebesar 39,01 gr dan KH 60%
sebesar 210 gr. Konsistensi makanan diberikan dalam bentuk cair
dengan pertimbangan adanya keadaan akalasia pada pasien
sehingga sulit menelan makan yang dikonsumsi, adapun frekuensi
pemberian sedikit tapi sering.

2. Susunan Menu
Dari hasil perhitungan, maka didapatkan standar kebutuhan energi
dan zat gizi harian pasien sebagai berikut: energi 1404,46 kkal,
protein 15% sebesar 52,66 gr, lemak 25% sebesar 39,01 gr dan KH
60% sebesar 210 gr. Sehingga berdasarkan standar kebutuhan
tersebut, maka perencanaan distribusi makanan pasien
berdasarkan menu dan porsi makanan seharinya adalah sebagai
berikut:

Tabel 3.1 Perencanaan Susunan Menu


Waktu Menu
Susu Entramix
07.00
Bubur sumsum

10.00 Mix Jus Sari buah

Susu Entramix
12.00
Bubur saring jagung manis

16.00 Jus sari buah

Susu Entramix
19:00
Bubur saring wortel

16
3. Distribusi Makanan Pasien

Tabel 3.2 Perencanaan Menu Makanan Pasien

17
Jumlah
Menu Bahan
URT Gram
Pagi 07:00
Susu
Entramix 3 sdm 25
Formula
Tepung beras 5 sdm 50
Makanan Santan 3 sdm 25
Cair Susu sapi 2 sdm 25
Labu waluh ½ gls 50
Snack 10:00
Mix jus sari Semangka 1 ptg kcl 50
buah Apel 1 ptg 50
Siang 12:00
Susu
Entramix 3 sdm 25
Formula
Beras giling ¼ gr 50

Jagung 1 ptg kcl 50


Bubur saring Tahu ½ ptg 50
jagung manis
Ayam 1 ptg 40
Bayam ½ gls 10
Margarin 1 sdt 5
Snack 16:00
Pepaya 1 ptg kcl 50
Jus sari buah
Madu 1 sdm 10
Malam 19:00
Susu
Entramix 3 sdm 25
Formula
Beras giling ¼ gr 50
Wortel ½ gls 25
Bubur saring
Telur ayam 1 btr 50
wortel
Labu siam ¼ gls 25
Tempe 1 ptg 50 18
Menu tersebut mengandung Energi = 1404,46 kkal sebesar
96,67%, protein sebesar 52,66 gr (98,87%), lemak sebesar 39,01
gr (96,3%) dankarbohidrat sebesar 210 gr (97.8%).

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Dispepsia dan Akalasia


1. Dispepsia

19
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang
terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap
atau mengalami kekambuhan keluhan refluks gastroesofagus klasik
berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam
lambung kini tidak lagi termasuk dispepsia (Mansjoer A edisi III,
2007). Dispepsia adalah keluhan yang diasosiasikan sebagai akibat
dari kelainan saluran makanan bagian atas yang berupa nyeri perut
bagian atas, perih, mual, yang kadang-kadang disertai rasa panas
di dada dan perut, lekas kenyang, anoreksia, kembung, regurgitasi,
banyak mengeluarkan gas asam dari mulut (Hadi, 2009).
Perubahan gaya hidup dan pola makan menjadi salah satu
penyebab terjadinya gangguan saluran pencernaan. Dispepsia
merupakan salah satu gangguan pencernaan yang paling banyak
diderita. Dispepsia merupakan istilah yang menunjukkan rasa nyeri
atau tidak menyenangkan pada bagian atas perut. Kata dyspepsia
berasal dari bahasa Yunani yang berarti “pencernaan yang jelek”.
Dispepsia adalah ketidaknyamanan bahkan hingga nyeri pada
saluran pencernaan terutama bagian atas (Setyono, dkk., 2006).
Dispepsia salah satu penyakit tidak menular. Dalam
Konsensus Roma III (2006), dispepsia (uninvestigated dyspepsia)
didefinisikan sebagai “one or more of the following bothersome
postprandial fullness or early satiation, or epigastric pain and/or
epigastric burning” (salah satu atau lebih dari rasa penuh yang
menyusahkan setelah makan, atau cepat merasa kenyang, atau
nyeri epigastrium dan atau rasa terbakar di epigastrium). Kriteria
tersebut dipenuhi dalam 3 bulan terakhir dengan gejala tidak
kurang dari 6 bulan sebelum diagnosis (Suryaningsi, 2013).

2. Akalasia Esofagus
Akalasia tidak adanya atau tidak efektifnya peristaltic
esophagus distal disertai dengan kegagalan sfingter esophagus

20
untuk rileks dalam respon terhadap menelan. Penyempitan
esophagus tepat diatas lambung menyebabkan peningkatan
dilatasi esophagus secara bertahap di dada atas. Akalasia dapat
berlanjut secara perlahan.ini terjadi palig sering pada individu usia
40 atau lebih (fitri, dkk., 2009).
Akalasia merupakan gangguan motilitas esofagus yang tidak
diketahui penyebabnya dan ditandai dengan adanya aperistalsis di
badan esofagus dan lemahnya relaksasi sfingter esofagus bagian
bawah. Akalasia terjadi di segala usia dengan gejala terutama sulit
menelan makanan padat/cair dan adanya regurgitasi. Diagnosis
disarankan dengan barium esofagogram dan dikonfirmasi oleh
manometri esofagus. Akalasia tidak bisa disembuhkan. Tujuan
pengobatan akalasia adalah mengurangi gejala, meningkatkan
pengosongan esofagus dan mencegah perkembangan
megaesofagus (Basirotul, 2014).

B. Etiologi
1. Dispepsia
Penyebab dispepsia bermacam-macam diantaranya tukak
lambung dan peradangan pada lapisan lambung yang disebabkan
oleh obat NSAID, infeksi, alkhohol. Gangguan saluran pencernaan
dapat disebabkan merokok, penurunan tekanan spingter esofagus
bawah, stress emosional, makanan yang memicu sekresi asam
lambung berlebihan seperti kopi, alergi atau sensitif terhadap
makanan seperti merica, cabe, jahe,rempah lain. Faktor yang lain
adalah kebiasaan makan sambil bicara atau gigi yang tanggal
sehingga udara tertelan ketika makan menyebabkan kembung dan
rasa penuh diperut (Setyono, dkk., 2006).

2. Akalasia Esofagus

21
Penyebab dispepsia bermacam-macam diantaranya tukak
lambung dan peradangan pada lapisan lambung yang disebabkan
oleh obat NSAID, infeksi, alkhohol. Gangguan saluran pencernaan
dapat disebabkan merokok, penurunan tekanan spingter esofagus
bawah, stress emosional, makanan yang memicu sekresi asam
lambung berlebihan seperti kopi, alergi atau sensitif terhadap
makanan seperti merica, cabe, jahe,rempah lain. Faktor yang lain
adalah kebiasaan makan sambil bicara atau gigi yang tanggal
sehingga udara tertelan ketika makan menyebabkan kembung dan
rasa penuh diperut (Setyono, dkk., 2006).

C. Patofisiologi

1. Dispepsia
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang
tidak jelas, zat-zat seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi
kejiwaan stres, pemasukan makanan menjadi kurang sehingga
lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat mengakibatkan
erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding
lambung, kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan
produksi HCL yang akan merangsang terjadinya kondisi asam pada
lambung, sehingga rangsangan di medulla oblongata membawa
impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan
maupun cairan (Susanti, dkk., 2011).

2. Akalasia Esofagus
Selama 75 tahun terakhir, penelitian terhadap patologi
akalasia menunjukkan adanya penurunan neuron pleksus
myenterikus. Ilustrasi ini berdasarkan penelitian oleh Goldblum
pada 42 pasien akalasia yang menjalani esofagectomy, 64% tidak

22
didapatkan sel ganglion myenterikus dan 36 % terjadi penurunan
sel ganglion myenterikus di esofagus. Penelitian tersebut juga
menunjukkan adanya dominasi infiltrasi inflamasi sel T di pleksus
myenterikus dan fibrosis. Penelitian terbaru terhadap pasien
akalasia yang diobati di stadium awal menunjukkan adanya sel
ganglion yang intak, namun dengan jumlah sel berkurang. Pasien
pada stadium awal tersebut memiliki lama gejala yang lebih singkat
dan tidak terjadi pelebaran diesofagusnya. Terdapat anggapan
bahwa peradangan di myenterikus merupakan fase awal akalasia
sehingga menyebabkan aganglionosis dan fibrosis. Beberapa
hipotesis teori terjadinya akalasia antara lain (Basirotul, 2014):
1. Adanya kemampuan inervasi kolinergik
Penelitian in vitro oleh Trounce tahun 1957 menunjukkan
kontraksi otot lurik pada pasien akalasia merupakan kombinasi
antara inhibitor acetylcholinesterase, serine, agonis ganglionik
dan nikotin. Aktivitas acetylcholinesterase di sel ganglion LES
pada pasien akalasia digambarkan oleh Adams pada tahun
1961. Acetylcholinesterase inhibitor edrophonium klorida
kemudian terbukti secara signifikan meningkatkan tekanan LES
pada pasien dengan akalasia. Temuan ini menunjukkan bahwa
setidaknya beberapa ujung saraf kolinergik postganglionik tetap
utuh. Penelitian lain menunjukkan adanya efek agen
antikolinergik atropin pada pasien akalasia. Terjadi penurunan
30 % sampai 60 % pada tekanan LES pada pasien dengan
akalasia yang diberikan atropin. Penurunan serupa ditemukan
pada kelompok kontrol relawan sehat. Namun sisa tekanan
setelah pemberian atropin secara signifikan lebih tinggi pada
pasien akalasia (17 mmHg) dibandingkan dengan subyek
normal (5 mmHg).
2. Hilangnya inervasi inhibitor (penghambat)

23
Pada akalasia terjadi hilangnya neuron di persarafan kolinergik
esofagus saat eksitasi dan neuron tersebut selektif pada neuron
penghambat. Pada pasien akalasia, cholecystokinin
menginduksi kontraksi LES dan sebaliknya menginduksi
relaksasi LES pada subyek sehat, sehingga membuktikan
adanya gangguan saraf penghambat postganglionik.
Bukti yang mendukung konsep hilangnya neuron inhibitor
berasal dari penelitian secara imunohistokimia dan fisiologis.
Penelitian awal menyatakan adanya defek adrenergik saraf
inhibitor esofagus pada pasien akalasia. Vasoaktif Intestinal
Polipeptida (VIP) juga dianggap sebagai inhibitor
neurotransmitter esofagus, dan penurunan neuron yang
mengandung VIP terdapat pada pasien akalasia. Penelitian lain
menunjukkan tidak adanya nitric oxide synthase pada neuron di
spesimen LES pada pasien akalasia. Penelitian tersebut
menunjukkan inhibitor nitrat oksida sintase meningkatkan fase
istirahat LES dan hampir meniadakan relaksasi LES. Di
esofagus inhibitor nitrat oksida sintase menyebabkan kontraksi
di badan esofagus secara simultan. Sehingga terdapat
pendapat akalasia merupakan gabungan dari hilangnya inhibitor
selektif dan adanya fungsi saraf kolinergik enteric. Penelitian
patologis dari spesimen hasil reseksi esofagus pasien akalasia
stadium akhir menunjukkan adanya aganglionosis merupakan
hasil akhir dari inflamasi myentericus pada sebagian besar
pasien akalasia. Hal ini mendukung bahwa akalasia disebabkan
oleh karena adanya eksitasi saraf kolinergik dan tidaka adanya
inhibitor nitrat oksida (Gambar). Dalam keadaan seperti itu,
obstruksi fungsional gastroesophageal junction disebabkan oleh
sisa myogenik LES. Tidak adanya aktivitas peristaltik esofagus
merupakan hasil dari tidak adanya persarafan neural enteric
(fitri, dkk., 2009).

24
D. Gejala
1. Dispepsia
Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin
disertai dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi).
Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri; pada
penderita yang lain, makan bisa mengurangi nyerinya. Gejala lain
meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan
flatulensi (perut kembung), Perlukaan yang terjadi dapat berlanjut
sampai ke bagian dalam lambung sehingga menyebabkan lambung
menjadi bolong dan akhirnya terjadi perdarahan dan kanker
lambung (Setyono, dkk., 2006).
2. Akalasia Esopagus
Pasien dengan akalasia, terlepas dari penyebabnya primer atau
sekunder mempunyai gejala klinis yang hampir sama. Gejalanya
antara lain kelainan menelan/disfagia progresif, odynofagia,
regurgitasi, nyeri dada, dan penurunan berat badan. Diagnosis
akalasia harusnya disuspekkan pada tiap pasien yang mempunyai
keluhan disfagia makanan padat dan cair disertai regurgitasi
makanan dan saliva. Terjadinya disfagia biasanya bertahap,
awalnya digambarkan sebagai "rasa penuh di dada" atau "sticking
sensation" dan terjadi setiap hari atau setiap kali makan. Awalnya,
disfagia terutama pada makanan padat, namun seiring waktu
terjadi disfagia pada makanan padat dan cair terutama minuman
dingin. Adanya "power swallow" dan minuman berkarbonasi
meningkatkan tekanan intra esofageal dan dapat meningkatkan
pengosongan esofagus. Regurgitasi menjadi masalah seiring
dengan perkembangan penyakit, terutama saat esofagus melebar.
Regurgitasi, makanan yang tertahan dan akumulasi air liur, kadang-
kadang salah didiagnosis dengan postnasal dahak atau bronkitis.

25
Biasanya terjadi ketika setelah makan pada malam hari pasien
sering terbangun karena batuk dan tersedak (Basirotul, 2014).

Tanda dan gejalah akalasia dapat diketahui sebagai berikut


(Wibawa, 2010):
1) Sulit menelan baik cair dan padat
2) Pasien mepunyai sensasi makanan menyumbat pada bagian
bawah esophagus
3) Muntah, secara spontan aau sengaja untuk menghilangkan
ketidak nyamanan
4) Nyeri dada dan ulu hati (pirosis). Nyeri bisa karena makanan
atau tidak.
5) Kemungkinan komplikasi pulmonal akibat aspirasi isi lambung.
6) Disfagia, merupakan keluhan utama dari penderita Akalasia.
Disfagia dapatterjadi secara tiba-tiba setelah menelan atau bila
ada gangguan emosi. Disfagia dapat berlangsung sementara
atau progresif lambat. Biasanya cairan lebih sukar ditelan dari
pada makanan padat.
7) Penurunan berat badan terjadi karena penderita berusaha
mengurangi makannya unruk mencegah terjadinya regurgitasi
dan perasaan nyeri di daerah substernal.
8) Regurgitasi isi esophagus yang stagnan. Regurgitasi dapat
timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Sering
regurgitasi terjadi pada malam hari pada saat penderita tidur,
sehingga dapat menimbulkan pneumonia aspirasi dan abses
paru.
9) Rasa terbakar dan Nyeri Substernal dapat dirasakan pada
stadium permulaan. Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri
hebat di daerah epigastrium dan rasa nyeri ini dapat
menyerupai serangan angina pektoris.

26
10) Gejala lain yang biasa dirasakan penderita adalah rasa penuh
pada substernal dan akibat komplikasi dari retensi makanan.
11) Adanya ruptur esofagus karena dilatasi
12) Kesukaran menempatkan dilator pneumatik karena dilatasi
esofagus yang sangat hebat

E. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis DIspepsis Akalasia
Akalasi esofagus merupakan salah satu penyebab keluhan
dispepsia. Sekitar 30% keluhan dispepsia ini disebabkan oleh
penyempitan lumen esophagus, sehigga dapat di kendalikan
sebagai berikut:
1) Pasien harus diintruksikan untuk makan dengan perlahan dan
minum cairan pada saat makan
2) Kalsum dan nitrit, digunakan untuk menurunkan tekanan
esophagus dan memperbaiki menelan, jika tidak berhasil
dilakukan pembedahan dengan dilatasi pneumetik atau
pemisaha serat otot.
3) Akalasia dapat diobati secara konserfatif dengan meregangkan
area esophagus yang menyempit disertai dilatasi pneumatic.
4)  Terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik
esofagus tidak dapat dipulihkan kerabali. Terapi dapat dilakukan
dengan memberi diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan
dilatasi, psikoterapi, dan operasi esofagokardiotomi (operasi
Heller).

Menurut Basirotul (2014), mengemukakan bahwan penganan


dyspepsia dapat dilakukan dengan sebagai berikut:

27
1) Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis
sel darah lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja,
dan urin. Jika ditemukan leukositosis berarti ada tanda-
tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir atau banyak
mengandung lemak pada pemeriksaan tinja
kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang
diduga menderita dispepsia ulkus sebaiknya diperiksa
derajat keasaman lambung. Jika diduga suatu
keganasan, dapat diperiksa tumor marker seperti CEA
(dugaan karsinoma kolon), dan CA 19-9 (dugaan
karsinoma pancreas).
2) Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada
orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah,
penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang
membaik atau memburuk bila penderita makan.
3) Endoskopi biasanya digunakan untuk mendapatkan
contoh jaringan dari lapisan lambung melalui tindakan
biopsi. Pemeriksaan nantinya di bawah mikroskop untuk
mengetahui apakah lambung terinfeksi Hp. Endoskopi
merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai
diagnostik sekaligus terapeutik.
4) Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos
abdomen, serologi Hp, urea breath test, dan lain-lain
dilakukan atas dasar indikasi.

2. Penatalaksanaan Diet
Beberapa studi mengenai penanganan dispepsia diantaranya
dengan cognitive-behavioural therapy, pengaturan diet, dan terapi
farmakologi. Gejala dapat dikurangi dengan menghindari makanan
yang mengganggu, diet tinggi lemak, kopi, alkohol, dan merokok.
Selain itu, makanan kecil rendah lemak dapat membantu

28
mengurangi intensitas gejala. Direkomendasikan juga untuk
menghindari makan yang terlalu banyak terutama di malam hari
dan membagi asupan makanan sehari-hari menjadi beberapa
makanan kecil (Basirotul, 2014).
Tidak ada pengobatan yang dapat mengembalikan aktivitas otot
dan persyarafan di esofagus pada kasus akalasia. Tujuan terapi
tersebut antara lain: 1. menghilangkan gejala pasien, terutama
disfagia dan regurgitasi, 2. meningkatkan pengosongan esofagus
dengan memperbaiki relaksasi LES yang terganggu. 3. Mencegah
perkembangan megaesofagus (Basirotul, 2014).
Kebiasaan hidup yang dianjurkan pada dispepsia dengan
gejalah akalasi adalah pola makan yang normal dan teratur, pilih
makanan yang seimbang dengan kebutuhan dan jadwal makan
yang teratur, sebaiknya tidak mengonsumsi makanan yang
berkadar asam tinggi, cabai, alkohol dan pantang rokok, bila minum
obat karena sesuatu penyakit, misalnya sakit kepala, gunakan obat
secara wajar dan tidak mengganggu fungsi lambung (Fitri, dkk.,
2012):
Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi
peristaltik esofagus tidak dapat dipulihkan kerabali. Terapi dapat
dilakukan dengan memberi diet tinggi kalori, medikamentosa,
tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi esofagokardiotomi (Fitri,
dkk., 2012):
1. Kebutuhan Protein penderita Dispepsia
Protein sangat berperan penting dalam tubuh terutama untuk
mengganti sel-sel jaringan yang rusak. Protein banyak
terkandung pada lauk hewani terutama telur dan nabati
terutama tempe. Kebutuhan protein bagi penderita dispepsi
adalah 15% dari kebutuhan energi total.
2. Kebutuhan Lemak penderita Dispepsia

29
Lemak merupakan salah satu zat gizi yang sangat penting
dalam tubuh. Lemak berperan penting dalam pembakaran tubuh
dan berperan sebagai cadangan makanan. Kebutuhan protein
bagi penderita dispepsi adalah 20% dari kebutuhan energi total.
3. Kebutuhan Karbohidrat penderita Dispepsi
Karbohidrat berperan sebagai zat tenaga. Zat tenaga sangat
penting bagi tubuh, yaitu untuk melakukan segala jenis kegiatan
dalam kehidupan sehari-hari. Kebutuhan karbohidrat bagi
penderita dispepsi diperoleh dari kebutuhan energi total
dikurangi energi yang berasal dari nutrisi parentral.
Salah satu syarat diet untuk penderita Dispepsia adalah
makanan mudah cerna dan tidak merangsang saluran
pencernaan, maka bahan makanan dan jenis pengolahannya
harus dipilih sedemikian rupa agar dapat memenuhi
persyaratan, berikut bahan makanan yang dia anjurkan dan
tidak dianjurkan (Wibawa, 2010):

Tabel 4.1 Bahan Makanan Yang dianjurkan dan Tidak dianjurkan


Bahan
Dianjurkan Tidak Dianjurkan/Dibatasi
Makanan
Beras ditim atau dibubur, Beras ketan, ubi, singkong,
Sumber
makanan yang direbus kue yang terlalu manis dan
Karbohidrat
dan dihaluskan. berlemak.
Daging, ikan, ayan yang
Daging sapi, hati, ayam
diawetkan, telur digoreng
Sumber digiling, telur yang
atau diceplok. Tahu, tempe,
Protein direbus. Tahu, tempe
dan kacang-kacangan yang
ditim atau dihaluskan.
digoreng.
Sayuran Sayuran yang tidak Sayuran mentah, sayuran
banyak serat dan tidak berserat tinggi dan
menimbulkan gas, seperti menimbulkan gas, seperti

30
daun singkong, kacang
bayam, wortel, tomat.
panjang, kol, lobak, sawi
Buah yang tinggi serat dan
Semua buah yang tidak
Buah- dapat menimbulkan gas,
diawetkan atau dalam
buahan seperti jambu biji, nanas,
kaleng.
durian, nangka.
Minyak goreng, Santan kental, lemak hewan.
Lemak margarine, dan mentega,
santan encer.
Minuman yang mengandung
Minuman Sirup, teh.
soda dan alkohol, serta kopi.
Bumbu yang tidak Bumbu yang merangsang,
Bumbu merangsang, seperti seperti cabai, bawang,
gula, garam, sereh, jahe merica, cuka.
Sumber: Data Primer 2020.

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

31
A. Monitoring
1. Monitoring Diet Pasien
Pasien masuk rumah sakit pada tanggal 08 Juni 2020
dengan keluhan utama sulit menelan, mual dan munta. Diagnosis
medis yang ditegakkan pada pasien Dispepsia e.c suspek Aklasia
Esofagus, pasien mendapatkan diet tinggi kalori dan tinggi protein
saat masuk masuk rumah sakit.
Hasil recall 24 jam sebelum intervensi tanggal 14 Juni 2020
diperoleh persentase asupan yaitu energi 116,34 (8,28%), protein
3,59 (6,8%), lemak 2,22 (5,68%) dan karbohidrat 11,5 (5,45%). Dari
hasil tersebut kita dapat mengetahui bahwa asupan gizi pasien
masih rendah dan belum mencapai standar kebutuhan tubuhnya
berdasarkan hasil monitoring sesuai dengan kondisi dan penyakit
pasien maka diet yang diberikan adalah diet lambung II
Diet yang diberikan adalah diet yang mengandung energi
sebesar 1404,46 kkal, protein 15% sebesar 52,66 gr, lemak 25%
sebesar 39,01 gr dan KH 60% sebesar 210 gr, dalam bentuk
makanan cair dengan pertimbangan keadaan pasien yang kesulitan
menelan. Tujuan pemberian diet lambung II untuk penderita
Dispepsia adalah untuk Meningkatkan nafsu makan pasien,
Memberikan makanan dan cairan secukupnya yang tidak
memberatkan lambung serta Mencegah dan menetralkan sekresi
asam lambung yang berlebihan. Untuk mencapai tujuan tersebut
maka diet yang diberikan pada penderita lunak dan bubur.

Adapun tabel distribusi hasil monitoring asupan makanan pasien


yaitu:

32
Tabel 5.1 Distribusi Hasil Monitoring Asupan Makanan Pasien
Asupan Zat Gizi
Tanggal Uraian E
P (gr) L (gr) KH (gr)
(Kkal)
14/06/2020 Asupan 116,34 3,59 2,22 11,5
(sebelum Kebutuhan 1404,4 52,66 39,01 210,66
Intervensi) % Asupan 8,28 6,8 5,68 5,45
Asupan 89,64 3,28 2,2 5,4
15/06/2020
Kebutuhan 1404,4 52,66 39,01 210,66
(Intervensi I)
% Asupan 6,38 6,22 5,64 2,56
Asupan 89,64 3,28 2,2 5,4
16/06/2020
Kebutuhan 1404,4 52,66 39,01 210,66
(Intervensi II)
% Asupan 6,38 6,22 5,64 2,56
Asupan 89,64 3,28 2,2 5,4
17/06/2020
Kebutuhan 1404,4 52,66 39,01 210,66
(Intervensi III)
% Asupan 6,38 6,22 5,64 2,56
Rata-rata % Asupan 6,85% 6,36% 5,65% 2,28%
Sumber: Data Primer Terolah, 2020

Berdasarkan tabel 10. diatas, dapat dilihat bahwa persentase


asupan pasien sebelum intervensi didapatkan energi sebesar 8,28%,
protein 6,8%, lemak 5,68%, karbohidrat 5,45% hal ini menandakan bahwa
asupan pasien sangat kurang ini berkaitan dengan penyakit yang diderita
pasien sulit menelan dan adanya muntah. Adapun untuk intervensi hari
pertama sedikit meningkat dibandingkan sebelum intervensi yaitu asupan
pasien didapatkan energi 6,38%, protein 6,22%, lemak 5,64%, dan
karbohidrat 2,56%. %asupuan pasien pada hari kedua dan ketiga sama
dengan %asupan hari pertama, tidak ada perubahan baik peningkatan
maupun penurunan asupan ini dikarenakan akalasia yang diderita pasien
sehingga makanan tidak dapat masuk. Dari intervensi hari pertama

33
sampai dengan hari ketiga dibandingkan sebelum intervensi mengalami
peningkatan, walaupun hanya sedikit dengan %asupan rata-rata energi
6,85%, protein 6,36%, lemak 5,65% dan 2,28%. Hal ini menandakan
bahwa asupan pasien masih sangat jauh dari rentang kebutuhan.

2.Monitoring Pengukuran Antropometri

Pada pengukuran antropometri pasien tidak ditemukan masalah


yang berkaitan dengan massa tubuh ini karena status gizi pasien normal
dengan IMT 19,92 Kg/m2 (Normal).
Tabel 5.2 Distribusi Monitoring Pengukuran Antropometri
Parameter Sebelum Intervensi Setelah Intervensi
Tgl 14/06/2020 Tgl 17/06/2020
BB 51 kg 51 kg
TB 160 cm 160 cm
IMT 19,92 Kg/m2 (Normal) 19,92 Kg/m2 (Normal)
Sumber : Data Sekunder, 2020.

Berdasarkan tabel diatas diperoleh bahwa setelah intervensi tidak


terjadi perubahan signifikan yaitu status gizi pasien tetap seperti sebelum
intervensi.

3.Monitoring Pemeriksaan fisik/klinis

Adapun tabel distribusi hasil monitoring pemeriksaan fisik/klinik pasien


sebagai berikut:

Tabel 5.3 Monitoring Pemeriksaan Fisik/Klinik


Hari Uraian Hasil Pemeriksaan

34
Hasil Normal Ket.
90/60 120/80
TD Rendah
mm/Hg mm/Hg
(14/06/2020)
Nadi 86 x/i 60-100x/i Normal
Sebelum
Pernapasa
Intervensi 20 x/i 16-24x/i Normal
n
Suhu 37,20 C 36-37 o C Normal
90/60 120/80
TD Rendah
mm/Hg mm/Hg
(15/06/2020)
Nadi 86 x/i 60-100x/i Normal
Hari 1
Pernapasa
Intervensi 20 x/i 16-24x/i Normal
n
Suhu 37,20 36-37 o C Normal
100/60 120/80
TD Rendah
mm/Hg mm/Hg
(16/06/2020)
Nadi 86 x/i 60-100x/i Normal
Hari 2
Pernapasa
Intervensi 20 x/i 16-24x/i Normal
n
Suhu 37,20 36-37 o C Normal
100/60 120/80
TD Rendah
mm/Hg mm/Hg
(17/06/2020)
Nadi 94 x/i 60-100x/i Normal
Hari 3
Pernapasa
Intervensi 22 x/i 16-24x/i Normal
n
Suhu 36,9oC 36-37 oC Normal
Sumber : Data Sekunder, 2020.

Adapun monitoring pemeriksaan fisik/klinis pasien cenderung stabil


yaitu pada hari sebelum intervensi keadaan umum pasien lemah, tekanan
darah 90/60 mm/Hg (Rendah), nadi 86 x/menit (normal) pernapasan 20

35
x/menit (normal) dan suhu tubuh 37,20C (normal). Selanjutnya pada hari
pertama intervensi, keadaan umum pasien masih lemah, tekanan darah
90/60 mm/Hg (Rendah), Suhu tubuh 37,20C (normal), nadi 86 x/menit
(normal) dan pernapasan 20 x/menit (normal). Selanjutnya pada hari
kedua intervensi, keadaan umum pasien masih lemah, tekanan darah
100/60 mm/Hg (Rendah), 37,20C (normal). nadi 86 x/menit (normal) dan
pernapasan 20 x/menit (normal). Dan pada hari ketiga intervensi, keadaan
umum pasien sedang, tekanan darah 100/60 mmHg (Rendah), Suhu
tubuh 36,9oC (normal), nadi 94 x/ menit (normal) dan pernapasan 22
x/menit (normal).
Berdasarkan hasil pemantauan pemeriksaan fisik klinis pasien
selama tiga hari didapatkan bahwa setiap pemeriksaan cenderung normal
baik suhu, pernapasan dan nadi, hanya saja tekanan darah mulai dari
intervensi pertama hingga berakhirnya intervensi pemeriksaan tekanan
darah tetap rendah, ini berkaitan dengan keadaan pasien yang sulit
menelan.

4. Monitoring Pemeriksaan Laboratorium


Adapun perkembangan data laboraturium pasien selama
intervensi sebagai berikut:
Tabel 5.4. Monitoring Pemeriksaan Laboratorium
Hasil Pemeriksaan

TANGGAL BIOKIMIA Nilai Nilai


Kriteria
Pemeriksaan Normal

09/06/2020 Ureum darah 25 mg/dl 10-50 N


Kreatinin
0,7 mg/dL <1,3 N
darah
Natrium 139 mmol/L 135-147 N
Kalium 3,8 mmol/L 3,5-5,0 N
SGOT 12 U/I <37 N

36
SGPT 25 U/I <42 N
12-14
Hb 10,4 gr/dL ↓
gr/dL
Ureum darah 25 mg/dl 10-50 N
Kreatinin
0,7 mg/dL <1,3 N
darah
Natrium 139 mmol/L 135-147 N
17/06/2020 Kalium 3,8 mmol/L 3,5-5,0 N
SGOT 12 U/I <37 N
SGPT 25 U/I <42 N
12-14
Hb 10 gr/dL ↓
gr/dL
Sumber : Data Sekunder, 2020.
Berdasarkan tabel 13 diatas menujukkan bahwa pemeriksaan
biokimia pasien dari hari sebelum intervensi hingga berakhirnya intervensi
tidak mengalami perubahan dan cenderung normal hanya pada hari
kedua intervensi yaitu pada tanggal 17 terjadi penurunan nilai Hb pada
pasien, disebabkan karena kondisi penyakit pasien.

B. Hasil Motivasi Diet Pasien

1. Perkembangan Pengetahuan Gizi


Pasien dan keluarga sebelum pelaksanaan intervensi belum
pernah mendapatkan edukasi terkait dengan masalah gizi. Jadi
pengetahuan gizi pasien masih kurang mengenai jenis penyakit
yang diderita serta belum mengetahui secara jelas makanan apa
saja yang sebaiknya dikonsumsi agar tidak memperparah keadaan
kesehatan.
Pada intervensi hari pertama, pasien dan anggota keluarga
diberikan edukasi mengenai gambaran umum tentang diet
Lambung II serta asupan makanan dalam hal ini mengenai bahan

37
makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan bagi pasien sesuai
dengan keadaan. Pasien diberikan makanan yang terjangkau dan
tetap beraneka ragam, dan bervariasi serta mengacu pada pola
menu seimbang sesuai dengan kebutuhan gizi pasien. Diet ini
bertujuan untuk memberikan makanan yang adekuat sesuai
kebutuhan untuk mencegah dan memperbaiki kerusakan jaringan
tubuh.
Untuk intervensi hari selanjutnya yaitu hari kedua dan ketiga
intervensi, edukasi yang diberikan masih sama yaitu terkait dengan
makanan-makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan serta
bagaimana pentingnya asupan juga makanan yang boleh serta
yang dibatasi untuk konsumsi pasien
Dari edukasi yang diberikan menunjukkan hasil yang lumayan baik,
dimana pasien dan keluarga merespon dengan baik apa yang
disampaikan terkait diet yang dianjurkan.

2. Sikap dan Prilaku Pasien Terhadap Diet


Penyuluhan gizi dan diskusi yang diberikan kepada pasien cukup
dapat memberi motivasi kepada pasien dan penjaga pasien untuk
menjalankan terapi diet yang dianjurkan dengan baik dan benar.
Selain itu, pasein juga merespon baik mengenai makanan apa saja
yang sebaiknya ia konsumsi dan makanan apa saja yang
sebaiknya dikurangi bahkan dihindari, hanya saja selama intervensi
pasien tidak dapat mengkonsumsi makanan yang diberikan karena
sulit menelan makanan namun motivasi pasien untuk sembuh
sangat tinggi.

C. Evaluasi Asuhan Gizi Pasien


1. Konsumsi Energi dan Zat Gizi Pasien
Pada monitoring evaluasi asupan energi dan zat gizi diketahui
bahwa terjadi penurunan persentase asupan setelah intervensi,

38
asupan pasien berada dibawah rentang kebutuhan gizi pasien. Hal
tersebut terjadi karena keadaan pasien yang menurun dimana
sesak pasien selalu muntah setiap kali makanan dan minuman,
juga dipengaruhi oleh keadaan fisiologis pasien yang tidak bisa
menelan makanan karena adanya penyakit akalasia yang diderita
oleh pasien.
Adapun asupan makanan pasien dapat dilihat pada grafik di bawah
ini
Grafik 1. Asupan Selama Intervensi

9.00%
8.00%
7.00%
6.00%
Asupan (%)

5.00%
4.00%
3.00%
2.00%
1.00%
0.00%
Sebelum In- Intervensi 1 Intervensi 2 Intervensi 3 Rata-rata
tervensi

Berdasarkan grafik di atas, kita bisa melihat bahwa selama studi kasus
berlangsung, asupan energi, protein, lemak dan karbohidrat tidak
mengalami peningkatan dari sebelum intervensi hingga berjalannya
intervensi. Dapat dilihat bahwa asupan makanan sebelum intervensi yakni
energi sebesar 8,28%, protein 6,8%, lemak 5,68%, dan karbohidrat 5,45%
dan pada hari pertama intervensi dan sampai hari ketiga persentasi
asupan energi 6,38%, protein 6,22%, lemak 5,64%, dan karbohidrat
2,56%. Asupan pasien yang tidak mengalami peningkatan bahkan
cenderung menurun dibandingkan sebelum intervensi dimana pada hari
pertama, kedua dan ketiga intervensi asupan pasien statis tidak

39
mengalami perubahan hal ini dikarenakan keadaan pasien yang
mengalami kesulitan menelan dan rasa panas di bagian dada sehingga
mempengaruhi nafsu makan pasien.

2.Evaluasi Status Gizi

Keadaan status gizi pasien pada akhir studi kasus tidak mengalami
perubahan, status gizi pasien masih berada dalam kondisi normal dengan
berat badan aktual 51 kg. Hal ini perlu dipertahankan pola asupan diet
yang sesuai dengan kebutuhan gizi pasien melalui petunjuk dan
penatalaksana diet yang telah didiskusikan bersama. Dan juga
menghindari beberapa makanan yang perlu dihindari dan mengonsumsi
makanan dengan berprinsip pada gizi seimbang.

3.Perkembangan Pengobatan Yang Berhubungan Dengan Gizi

Terapi obat diberikan kepada pasien yaitu Albumin yang merupakan


ekstrak ikan air tawar, mengandung albumin asam amino serta mineral
yang berfungsi untuk mempertahankan tekanan osmotik untuk kekebalan
tubuh. Juga diberikan omeprazole yang berfungsi untuk menurunkan
kadar asam yang dipengaruhi didalam lambung dan ceftriaxone berfungsi
untuk mengobati beberapa kondisi akibat infeksi bakteri, selain itu pasien
juga diberikan sotatik merupakan pengobatan untuk nyeri panas di dada
lambung dan keterlambatan pengosongan lambung untuk mengurangi
mual dan muntah.

2. Perkembangan Terapi Diet


Terapi diet yang diberikan sejak awal intervensi hingga akhir
intervensi adalah diet lambung II yaitu diet yang cukup energi, protein,
lemak dan karbohidrat dengan konsistensi makanan cair. Hal ini
didasarkan karena kondisi selanjutnya pada hari kedua dan ketiga

40
intervensi pasien masih diberikan diet lambung II karena kondisi pasien
yang masih lemas.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Diagnosa medis yang ditegakkan pada pasien adalah Dispepsia e.c
susp. Aklasia Esofagus
2. Status gizi pasien normal berdasarkan WHO 2005 untuk penduduk
Asia dan tidak berubah sampai studi kasus berakhir.
3. Pada studi kasus ini diagnosa gizi yang ditegakkan adalah NI-2.1
tentang asupan oral, NI.5.10.1 tentang intake mineral tubuh dan
NB.1.2 tentang Kebiasaan makan yang salah. Diagnosa gizi ini
masih berlaku setelah dilakukan intervensi selama 3 hari.
4. Jenis diet yang diberikan adalah diet lambung II dengan konsistensi
makanan cair. Cara makanan melalui oral, frekuensi pemberian
makanan yaitu sedikit tapi sering.
5. Asupan energi 1404,46 kkal, protein 52,66 gr, lemak 39,01 dan KH
210,66 gr. Asupan pasien baik sebelum intervensi maupun setelah
intervensi tetap berada di bawah rentang kebutuhan gizi pasien.

B. Saran
1. Terapi diet dan edukasi gizi harus terus dlakukan untuk memberikan
motivasi pada pasien dan keluarganya.
2. Pemantauan asupan zat gizi pasien serta pemeriksaan
antropometri, fisik-klinis dan laboratorium harus tetap dipantau
untuk melakukan identifikasi masalah gizi sedini mungkin.

41
DAFTAR PUSTAKA

Andri Susanti, Dodik Briawan, Vera Uripi. 2011. Faktor Risiko Dispepsia
pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB). Jurnal Kedokteran
Indonesia, Vol. 2/No. 1/Januari/2011.

Basirotul, Ana. 2014. Akalasia. Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran


Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Fitri, Fachzi, Novialdi, Wahyu Triana. 2009. Diagnosis dan
Penatalaksanaan Striktur Esofagus. Bagian Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Hadi, S. (2009). Gastroenterolog i. Edisi 4. Bandung : Alumni.

Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W.L, dan Setiowulan, W.
2007). Kapita selekta kedokteran. Jilid 1. Edisi 1. Jakarta: Media
Aesculapius.

Setyono, Dkk.. 2006. Karakteristik Penderita Dispepsia di Rsud Prof. Dr.


Margono Soekarjo Purwokerto. Jurnal Keperawatan Soedirman (The
Soedirman Journal Of Nursing), Volume 1, No.1, Juli 2006.

Suryaningsih, Veronika. 2013. Hubungan Stres dengan Kejadian


Dispepsia (Uninvestigated Dyspepsia) di Kabupaten Tegal Provinsi Jawa
Tengah. Tesis FK UGM.

Susanti, dkk.. 2011. Faktor Risiko Dispepsia Pada Mahasiswa Institut


Pertanian Bogor (IPB). Jurnal Kedokteran Indonesia, Vol. 2/No.
1/Januari/2011.
Wibowo, I Dewa Nyoman dan I Putu Arsana. 2010. Karsinoma Sel
Skuamus Esofagus. J Peny Dalam, Vol.11 No.1 Januari

42
43

Anda mungkin juga menyukai