Anda di halaman 1dari 9

TUGAS MAKALAH KELOMPOK 1

MODUL 2

KEGIATAN BELAJAR 1

( Pendekatan PKn sebagai Pendidikan Nilai dan Moral di SD )

Apakah sesungguhnya Pendidikan Nilai? Hermann (1972) mengemukakan suatu


prinsip yang mendasar yaitu “… value is neither taught nor cought, it is learned” yang
artinya substansi nilai tidaklah semata-mata ditangkap dan diajarkan tetapi lebih jauh, nilai
dicerna dalam arti ditangkap, diinternalisasi, dan dibakukan sebagai bagian yang melekat
dalam kualitas pribadi seseorang melalui proses belajar. Proses pendidikan pada dasarnya
merupakan proses pembudayaan atau enkulturasi untuk menghasilkan manusia yang
berkeadaban dan berbudaya.

Berkaitan dengan nilai-nilai dalam masyarakat, proses “indiginasi” yakni


pemanfaatan kebudayaan daerah untuk pembelajaran mata pelajaran lain dengan tujuan untuk
mendekatkan pelajaran itu dengan lingkungan sekitar siswa menjadi sangat penting, hasil
belajar akan lebih bermakna sebagai wahana pengembangan watak individu sebagai
warganegara. Dalam pengertian generik, konsep dan proses pendidikan merupakan proses
yang sengaja dirancang dan dilakukan untuk mengembangkan potensi individu dalam
interaksi dengan lingkungannya sehingga menjadi dewasa dan dapat mengarungi kehidupan
dengan baik. Pada dasarnya pendidikan mempunyai dua tujuan besar yakni mengembangkan
individu dan masyarakat yang “smart and good” (Lickona, 1992:6). Secara elaboratif dimensi
tujuan ini oleh Bloom dkk (1962) dirinci menjadi pengembangan kognitif, afektif, dan
psikomotorik.

Dalam pasal 1 butir 1 UU Sidikan 20/2003 ditegaskan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selanjutnya sebagai prinsip pendidikan
ditegaskan hal-hal sebagai berikut :

1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak


diskriminatif dan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan
kemajemukan bangsa.
2. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistematik dengan sistem
terbuka dan multimakna
3. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
4. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran
5. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan
berhitung bagi segenap warga masyarakat
6. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat
melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan
pendidikan (Pasal 4)

Bagaimana PKn sebagai Mata Pelajaran yang Memiliki MIsi adalah Pendidikan
Nilai dan Moral?

Dalam konteks kehidupan masyarakat masih tanpak besarnya kesenjangan antara


konsep dan muatan nilai yang tercermin dalam sumber-sumber normatif konstitusional
dengan fenomena sosial, kultural, politik, ideologis dan religiositas dalam kehidupan
bermasyarakat sampai saat ini, kita masih sering menyaksikan kondisi paradoksal antara
nilai dan fakta seperti kekerasan, pelanggaran lalu lintas, korupsi kolekti dan lainnya.

Alisyahbana (1976) mengatakan bahwa Nilai merupakan kekuatan perekat-pemersatu


dalam diri, masyarakatdan kebudayaan, namun tampaknya sampai saat ini kita sedang
dalam salah satu dimensi krisis multidimensi yakni krisis nilai dan moral. Dalam
kehidupan bermasyarakat masih banyak dijumpai fenomena yang justru potensial
memperlemah komitmen nilai-nilai tersebut.

Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea empat, dinyatakan bahwa Pemerintah Negara
Indonesia dibentuk untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” . Secara psikologis dan
sosial yang dimaksud cerdas bukan hanya cerdas secara rasional tetapi juga secara
emosional, sosial, dan spiritual (Sanusi: 1998, Winataputra: 2001). Berkaitan dengan hal
tersebut (UU Nomor 20/2003, Sisdiknas) dengan tegas menyatakan bahwa “pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik
sepanjang hayat”, dan seyogyanya bukan hanya proses berpikir tetapi juga pendidikan
nilai dan watak serta perilaku.
Menurut Lickona (1992: 53-63) yang perlu dikembangkan dalam rangka pendidikan
nilai adalah nilai karakter yang baik (good character) yang didalamnya mengandung tiga
dimensi nilai moral sebagai berikut :

Dimensi Wawasan Moral

1. Wawasan Moral (Moral Knowing) yang mencakup:


2. Kesadaran Moral (Moral Awareness)

Dimensi Perasaan Moral

1. Perasaan Moral (Moral Feeling) yang mencakup:


2. Kata hati atau nurani (Conscience)
3. Harapan diri sendiri (Self-esteem)
4. Merasakan diri orang lain ( Emphaty)
5. Cinta kebaikan (Loving the good)
6. Kontrol diri ( Self-control)
7. Merasakan diri sendiri (Humility)

Dimensi Perilaku Moral

1. Perilaku Moral (Moral Action) yang mencakup:


2. Kompetensi (Competence)
3. Kemauan (Will)
4. Kebiasaan (Habit)

Ketiga domain moralita tersebut satu dan lainnya memiliki keretkaitan substantif
dan fungsional, artinya bahwa wawasan, perasaan, sikap, dan perilaku moral
merupakan tiga hal yang secara psikologis bersinergi.

Mengapa pendidikan nilai/ moral perlu diberikan di sekolah-sekolah Indonesia?

Dalam dunia pendidikan di Indonesia pendidikan moral secara formal


kurikuler terdapat dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(Kurikulum 1994) atau Pendidikan Kewarganegaraan (UU RI Nomor 20 Tahun 2003)
dan Pendidikan Bahasa dan Agama. Ketiga mata pelajaran tersebut mengemban misi
yang sama yang mengandung ubsur yang pokok sebagai pendidikan moral-sosial/etis
(PKn), nilai religius (Pendidikan Agama) dan nilai etis (Bahasa).
Dari bahasan terhadap konsep, isi dan strategi pendidikan nilai di dunia Barat
lebih cenderung bersifat sekuler dan berpijak serta bermuara pada perkembangan
moral kognitif, kiranya dapat beberapa hal yang diadaptasikan bagi kepentingan
pendidikan di Indonesia. Secara konstitusional demokrasi Indonesia adalah demokrasi
yang Theistis atau demokrasi yang ber Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu
pendidikan nilai bagi Indonesia berpijak pada nilai keagamaan, nilai demokrasi yang
ber Ketuhanan Yang Maha Esa, dan nilai sosial-kultural yang ber Bhineka Tunggal
Ika.

Dalam konteks itu teori perkembangan moral dari Piaget dan Kohlberg yang
dapat diadaptasikan adalah terhadap nilai moral sosial-kultural selain nilai yang
berkenaan dengan aqidah keagamaan yang tidak selamanyadapat atau boleh
dirasionalkan.

Konsepsi pendidikan nilai moral Piaget menitikberatkan pada pengambilan


keputusan dab memecahkan masalah moral dalam kehidupan dapat diadaptasikan
dalam pendidikan nilai di Indonesia. Konsepsi pendidikan nilai moral Kohlberg
menitikberatkan pada penalaran moral melalui pendekatan klarifikasi nilai yang
meberi kebebasan pada individu peserta didik untuk memilih posisi moral, dapat
digunakan dalam konteks pembahasan nilai selain nilai aqidah sesuai dengan
keyakinan agama masing-masing. Konseptual komponen Good Character dari
Lickona yang membagi karakter menjadi wawasan moral, perasaan moral, dan
perilaku moral dapat dipakai untuk mengklasifikasikan nilai moral dalam pendidikan
nilai di Indonesia.

Kesemua teori pendidikan nilai Barat tersebut dapat digunakan sebagai


sumber akademis dalam membangun desain pendidikan nilai di Indonesia dengan cara
megambil secara adaptif sesuai dengan konteks sosial-kultural dan sosil-religius
masyarakat Indonesia.
KEGIATAN BELAJAR 2

( Pendidikan Nilai dan Moral dalam Standar Isi PKn di SD )

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 "Mata


Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada
pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan
kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yangcerdas, terampil, dan berkarakter
yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.”Selanjutnya digariskan dengan tegas
bahwa PKn bertujuan “ agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.

1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan
2. Partisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam
kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan
karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-
bangsa lainnya
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau
tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.”

Dalam ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk pendidikan


dasar dan menengah, menurut Permendiknas NO. 22 Tahun 2006 secara umum meliputi
substansi kurikuler yang di dalamnya mengandung nilai dan moral sebagai berikut.

1. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta
lingkungan,Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara,Sikap
positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan
keadilan
2. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga,Tata tertib
di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma-
norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistim hukumdan peradilan
nasional, Hukum dan peradilan internasional
3. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota
masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, penghormatan
dan perlindungan HAM
4. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong-royong, Harga diri sebagai warga
masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat,
Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga negara
5. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama,
Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara
dengan konstitusi
6. Kekuasaan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan,Pemerintahan
daerah dan otonomi-Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya
politik,Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers
dalam masyarakat demokrasi
7. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara,
Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka
8. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesiadi era
globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional,
dan Mengevaluasi globalisasi.”
KEGIATAN BELAJAR 3

( Hubungan Interaktif Pengembangan Nilai dan Moral dalam PKn SD )

Hubungan interaktif proses pengembangan nilai dan moral dengan proses pendidikan
di sekolah harus dilihat dalam paradigma pendidikan nilai secara konseptual dan operasional.
Konsep-konsep “values education, moral education, education forvirtues" yang secara
teoritik, oleh Lickona (1992) diperkenalkan sebagai program dan proses pendidikan yang
tujuannya selain mengembangkan pikiran, atau menurut Bloom untuk mengembangkan nilai
dan sikap.

Seperti dikutip oleh Lickona (1992) Theodore Roosevelt (mantan Presiden USA) dan
Bill Honing (Superintendent of Public Instruction, California) memberi landasan pentingnya
pendidikan nilai di Amerika. Roosevelt, mengatakan bahwa “Mendidik orang, hanya tertuju
pada pikirannya dan bukan moralnya, sama dengan mendidikkan keburukan kepada
masyarakat". Lebih jauh juga Lickona (1992:6-7) melihat bahwa para pemikir dan
pembangun demokrasi, sebagai paradigma kehidupan di dunia Barat, berpandangan bahwa
pendidikan moral merupakan aspek yang esensial bagi perkembangan dan berhasilnya
kehidupan demokrasi. Hal itu sangatlah beralasan, karena demokrasi pada dasarnya
merupakan suatu sistem pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.

Sejak dini sekolah diharapkan mampu mengambil peran yang aktif dalam merancang
dan melaksanakan pendidikan nilai moral yang bersumber dari kebajikan dan keadaban
demokrasi. Dengan kata lain pendidikan nilai dalam dunia barat adalah pendidikan nilai yang
bertolak dari dan bermuara pada nilai-nilai sosial-kultural demokrasi. Sedangkan nilai yang
bersumber dari agama bukanlah tanggung jawab negara, karena memang dunia barat yang
sekuler dengan tegas memisahkan urusan agama sebagai urusan pribadi,bukan urusan publik.

Jean Piaget pada masa hidupnya pernah menjadi Wakil Direktur “Institute of
Educational Science” dan sebagai Guru Besar (Profesor) Psikologi Eksperimental pada
university of Geneva. Ia dengan tekun melakukan penelitian mengenai perkembangan
struktur kognitif (cognitive structure) anak dan kajian moral (moral judgement) anak selama
40 tahunan. Penelitiannya itu didasarkan pada sikap verbal anak (childrenverbal attitudes)
terhadap berbagai aturan permainan, perilaku sehari-hari, mencuri,dan membohong. Ia
mengidentifikasi bahwa ada dua tingkat perkembangan moral pada anak usia antara 6-12
tahun yakni heteronomi dan autonomi.

Secara teoritik nilai moral berkembang secara psikologis dalam diri individu
mengikuti perkembangan usia dan konteks sosial. Dalam kaitannya dengan usia, Piaget
merumuskan perkembangan kesadaran dan pelaksanaan aturan sebagai berikut. Piaget
membagi beberapa tahapan dalam dua domain yakni kesadaran mengenai aturan dan
pelaksanaan aturan.

Tahapan pada domain kesadaran mengenai aturan:

1. Usia 0-2 tahun: Pada usia ini aturan dirasakan sebagai hal yang tidak bersifat
memaksa
2. Usia 2-8 tahun: Pada usia aturan disikapi sebagai hal yang bersifat sakral dan diterima
tanpa pemikiran
3. Usia 8-12 tahun: Pada usia ini aturan diterima sebagai hasil kesepakatan

Tahapan pada domain pelaksanaan aturan:

1. Usia 0-2 tahun: Pada usia ini aturan dilakukan sebagai hal yang hanya bersifat
motorik saja
2. Usia 2-6 tahun: Pada usia ini aturan dilakukan sebagai perilaku yang lebih
berorientasi diri sendiri
3. Usia 6-10 tahun: Pada usia ini aturan diterima sebagai perwujudan darik esepakatan
4. Usia 10-12 tahun: Pada usia ini aturan diterima sebagai ketentuan yang sudah
dihimpun

Bertolak dari teorinya itu Piaget menyimpulkan bahwa pendidikan sekolah


seyogianya menitikberatkan pada pengembangan kemampuan mengambil keputusan
(decision making skills) dan memecahkan masalah (problem solving) dan membina
perkembangan moral dengan cara menuntut para peserta didik untuk mengembangkan aturan
berdasarkan keadilan/kepatutan (fairness).

Di lain pihak, Lawrence Kohlberg, Professor pada Harvard University, USA,sejak


tahun 1969 selama 18 tahun ia mengadakan penelitian tentang perkembanganmoral
berlandaskan teori perkembangan kognitif Piaget. Ia mengajukan postulat atauanggapan dasar
bahwa anak membangun cara berpikir melalui pengalaman termasukpengertian konsep moral
seperti keadilan, hak, persamaan, dan kesejahteraan manusia.Penelitian yang dilakukannya
memusatkan perhatian pada kelompok usia di atas usiayang diteliti oleh Piaget.

Dari penelitiannya itu Kohlberg merumuskan adanya tiga tingkat (level) yang terdiri atas
enam tahap (stage) perkembangan moral seperti berikut.

1. Tingkat I: Pra konvensional (Pre conventional)


a. Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan. Ciri moralita pada tahap ini adalah
apapun yang pada akhirnya mendapat pujian atau dihadiahi adalah baik, dan
apapun yang pada akhirnya dikenai hukuman adalah buruk.
b. Tahap 2: Orientasi instrumental nisbi. Ciri moralita pada tahap ini adalah
seseorang berbuat baik apabila orang lain berbuat baik padanya, dan yang baik itu
adalah sesuatu bila satu sama lain berbuat hal yang sama
2. Tingkat II: Konvensional (Conventional)
a. Tahap 3: Orientasi kesepakatan timbal balik. Ciri utama moralita pada tahap ini
adalah bahwa sesuatu hal dipandang baik dengan pertimbangan untuk memenuhi
anggapan orang lain baik atau baik karena memang disepakati.
b. Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban. Ciri utama moralita pada tahap ini
adalah bawa sesuatu hal yang baik itu adalah yang diatur oleh hukum dalam
masyarakat dan dikerjakan sebagai pemenuhan kewajiban sesuai dengan norma
hukum tersebut.
3. Tingkat III: Pos konvensional (Post conventional)
a. Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalistik. Ciri utama moralita adalah bahwa
sesuatu dinilai baik bila sesuai dengan kesepakatan umum dan diterima oleh
masyarakat sebagai kebenaran konsensual.
b. Tahap 6: Orientasi prinsip etika universal. Ciri utama moralita pada tahap ini
adalah bahwa sesuatu dianggap baik bila telah menjadi prinsip etika yang bersifat
universal dari mana norma dan aturan dijabarkan.

Dengan kata lain,pendekatan pendidikan nilai yang ditawarkan oleh Kohlberg sama
dengan yang ditawarkan Piaget dalam hal fokusnya terhadap perilaku moral yang dilandasi
oleh penalaran moral, namun berbeda dalam hal titik berat pembelajarannya

Anda mungkin juga menyukai