Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KOASISTENSI VIROLOGI

STUDI PUSTAKA PENYAKIT HEWAN


“HOG CHOLERA (CLASSICAL SWINE FEVER)”

OLEH

MARIA SKOLASTIKA PENI, S.KH


NIM. 2209022015
KELOMPOK 3B/2022

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Hog Cholera merupakan salah satu penyakit hewan menular strategis di
dalam daftar Penyakit Hewan Strategis Nasional yang tercantum dalam Kepdirjen No:
59/Kpts/PD.610/05/2007 tanggal 9 Mei 2007, mendapat prioritas dalam usaha pencegahan,
pengendaliandan pemberantasan. Prioritas tersebut disebabkan karena Hog Cholera
menimbulkan dampak ekonomi yang cukup besar dan berpengaruh dalam perdagangan
(Kementan, 2015).
Babi merupakan salah satu komunitas ternak penghasil daging yang memiliki
potensi besar untuk dikembangkan karena mampunyai sifat-sifat menguntungkan
diantaranya : laju pertumbuhan yang cepat, jumlah anak perkelahiran (litter size) yang
tinggi, efisien dalam mengubah pakan menjadi daging dan memeiliki adaptasi yang tinggi
terhadap makanan dan lingkungan. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha
pengembangan ternak babi dari aspek managemen adalah faktor kesehatan dan kontrol
penyakit. Ternak babi sangat peka terhadap penyakit salah satunya Hog Cholera
(Kementan, 2016).
Hog Cholera (HC) yang disebut sebagai classical swine fever (CSF) adalah
penyakit virus yang sangat menular pada babi. Penyakit ini dikenal sebagai penyakit yang
merugikan peternak babi karena mortalitas dan morbiditasnya yang sangat tinggi berkisar
antara 90 – 100 % (Wirata et al., 2010).
Classical Swine Fever adalah penyakit virus pada babi yang menular. Penyakit ini
menyerang babi komersil dan babi liar. Hog Cholera disebabkan oleh virus dari Genus
Pestivirus, Family Flaviviridae yang sangat terkait dengan Bovine Virus Diarrhea dan
penyakit Border Diseases (OIE, 2019). Secara klinis Hog Cholera ditandai dengan suhu
tubuh yang tinggi, kelesuan, diare kekuningan, muntah dan perubahan warna kulit ungu
telinga, perut bagian bawah dan kaki (Risatti, 2016).
Peneguhan diagnosa Hog Cholera sangat penting dilakukan untuk dapat mendeteksi
agen penyebab penyakit. Hog Cholera merupakan penyakit PHMS sehingga diperlukannya
tindakan pemerintah untuk mengawasi dan mencegah timbulnya penyakit. Vaksinasi
merupakan tindakan pengendalian dan pencegahan yang efektif kerena saat ini belum ada
obat yang efektif untuk mencegah Hog cholera . Oleh karena itu sangat penting untuk
mengetahui penyakit ini sebagai acuan dalam menyusun rencana strategis pengendalian
dan pemberantasan Hog Cholera.
1.2 Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui etiologi, sifat alami
agen, spesies rentan, cara penularan, epidemiologi, sifat penyakit, patogenesis, gejala
klinis, patologi anatomi, teknik diagnosa laboratorium, diagnosa banding serta pencegahan
dan pengendalian terhadap penyakit Hog Cholera.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Etiologi
Hog cholera (HC) disebabkan oleh virus dari famili Flaviviridae, genus pestivirus.
Virus ini berbentuk bulat helikal atau tidak teratur dengan diameter 50nm dan diselubungi
oleh amplop yang tersusun atas glikoprotein. Genom virus terdiri atas satu untai tunggal
(ss-RNA) dengan panjang 12.5 kb (McLachlan and Dubovi dalam Toha et al., 2020). virus
ini mempunyai hubungan antigenik yang dekat dengan Bovine Viral Diarrhea Virus
(BVDV) dan Border Disease Virus (BDV) (Jayanata et al., 2016).
2.2 Sifat alami agen
Virus HC tidak terlalu stabil di lingkungan dan mudah diinaktivasi oleh panas dan
desinfektan pada umumnya. Akan tetapi, ketahanan virus HC di dalam produk daging dan
jeroan yang cukup lama menjadi sumber penyebaran yang penting dari virus HC.
Infektivitas virus dapat menurun pada pemanasan 56°C selama 60 menit, 60°C selama 10
menit atau 71oC selama 1 menit. Virus stabil pada pH 5- 10 namun virus juga sangat
peka terhadap pelarut lemak , seperti eter, kloroform atau deoksikolat. Dalam daging
beku virus dapat bertahan selama 4,5 tahun, dalam organ yang telah membusuk virus tahan
selama 3-4 hari, dari dalam darah atau sumsum tulang yang telah membusuk tahan selama
15 hari (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2014).
2.3 Spesies rentan
Hog Cholera bersifat sangat ganas dan menular bagi ternak babi di segala umur dan
semua jenis atau ras babi baik jantan maupun betina dan bersifat congenital yang dapat
menurun dari induk kepada anak yang dilahirkan. Hal ini dikarenakan, anak babi yang
lahir tidak mendapatkan imunitas dari induknya. Ternak yang paling rentan terhadap
penularan virus ini adalah ternak babi. Sehingga dapat dikatakan bahwa ternak babi
merupakan induk semang yang utama terhadap infeksi virus ini (Podung dan Adiani,
2018).
2.4 Cara penularan
Hog Cholera ditularkan melalui kontak langsung dengan babi terinfeksi, atau secara
tidak langsung melalui ekskresi dan sekresi babi yang terinfeksi. Masuknya penyakit ke
suatu daerah karena adanya babi pembawa virus (carrier), produk asal babi atau bahan
dan makanan tercemar, limbah dari tempat pemotongan hewan atau sisa hotel yang
mengandung daging babi yang tidak dimasak. Penularan tidak langsung dapat terjadi
melalui alat transportasi, sepatu dan pakaian petugas, serta alat suntik yang dipakai
berulang. Penularan vertikal terjadi dari induk kepada anak babi. Penularan transplasental
terjadi pada kebuntingan 68 dan 88 hari ditandai dengan viremia pada anak yang dilahirkan
dan mati setelah 1-8 minggu (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,
2014).
2.5 Epidemiologi Hog Cholera di Indonesia
Kasus pertama Hog Cholera di Indonesia ditemukan di Provinsi Sumatera Utara
pada awal tahun 1994 dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi.
Kejadian wabah diduga disebabkan oleh masuknya babi pejantan dari Semenanjung
Malaysia (BBPMSOH 2012). Pada awal tahun 1995, wabah Hog Cholera menyebar ke
Provinsi Riau, Provinsi Jambi, dan Provinsi Sumatera Barat. Kemudian lewat lalu lintas
babi, wabah menyebar ke Pulau Jawa dan pada akhir tahun 1995 menyebar ke Pulau Bali
dan Pulau Kalimantan. Pada awal 1996, serangan infeksi Hog Cholera mulai terlihat di
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (Kementan, 2015).
Pemerintah mendeklarasikan pertama kali pada tanggal 24 Juni 1996 melalui Surat
Keputusan Menteri Pertanian No. 455/TN.510/Kpts/DJP/Deptan/1996 (BBPMSOH 2012),
setelah wabah Hog Cholera menyebar ke Sulawesi Utara. Pada tahun 1997, SK ini
digantikan dengan SK Mentan No. 888/Kpts/TN.560/9/97 setelah kejadian wabah
penyakit tersebut diketahui telah menyebar di 11 (sebelas) provinsi di Indonesia, yaitu
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan
Barat, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur. Dengan terbitnya
SK tersebut, barulah kejadian wabah Hog Cholera di Indonesia yang pertama kali muncul
di Sumatera Utara dinyatakan secara resmi (Kementan, 2015).
Pada tahun 2006, wabah Hog Cholera muncul di Papua dan awal tahun 2011 wabah
terakhir diketahui terjadi di Pulau Lembata (Provinsi NTT) (Kementan 2006, BBPMSOH
2012). Lalu lintas ternak diduga merupakan penyebab utama penyebaran Hog Cholera.
Sebelum muncul di Pulau Lembata, kejadian wabah Hog Cholera di Provinsi NTT dimulai
dari Kabupaten Kupang tahun 1998. Penyakit ini kemudian ditemukan di pulau Sabu,
Rote, Sumba dan Flores Timur pada tahun 1999, menyebar ke Pulau Alor, Pantar dan Pura
pada tahun 2002, dan ternak seropositif ditemukan di Kabupaten Sikka pada tahun 2005
meskipun tanpa kejadian wabah.
Analisis genetik virus Hog Cholera di Indonesia belum banyak dilakukan,
meskipun secara epidemiologis hal ini sangat strategis dalam menggambarkan kronologi
penyebaran virus dan mencocokkan strain virus lapangan dengan strain vaksin. Secara
genetik, virus dari kasus Hog Cholera tahun 2007-2008 di Bali diketahui berasal dari China
(Wirata et al. 2010). Beberapa strain virus Hog Cholera lain yang diketahui ada namun
belum pernah diidentifikasi di Indonesia diantaranya strain Korea, Perancis, Swiss dan
Amerika Serikat (Wirata et al. 2010).
2.6 Sifat penyakit
Penyakit bersifat endemik. Babi yang terserang virus HC virulen, tingkat
morbiditas dan mortalitasnya tinggi dapat mencapai 100%. Virus ini memiliki masa
inkubasinya berkisar antara 2-6 hari (Basuki, 2018). Proses penyakit ini tidak menciri atau
bahkan kadang tidak tampak sama sekali. Namun sangat berdampak pada kerugian
ekonomi yang cukup besar dengan tingkat morbiditas dan mortaliltas yang tinggi,
hilangnya devisa akibat larangan ekspor khususnya ternak babi dan hasil olahannya serta
dampak yang lebih luas yaitu hilangnya kepercayaan atau minat peternak untuk
mengembangkan peternakan babi. Kasus HC tertinggi terjadi pada anak babi yang berumur
kurang dari 2 bulan dengan tingkat morbiditas 88,15% dan mortalitas 78,88% atau CFR
87,21% dan tingkat mortalitas harian 27,03% (Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan, 2014).
2.7 Patogenesis
Infeksi Oleh Virus Virulensi Tinggi Virus yang masuk kedalam tubuh babi yang
secara alamiah melalui rute oronasal, mengalami proses absorbsi dan multiplikasi awal
pada sel epitel tonsil, kemudian menyebar ke bagian jaringan limforetikuler dari target
organ primer ini. Virus dapat diisolasi dari organ ini sekitar 7 jam setelah inokulasi peroral.
Setelah mengalami replikasi pada tonsil, virus menyebar ke limfoglandula (limfoglandula
mandibula, retrofaringeal, parotid dan cervical). Virus dalam limfoglandula tersebut dapat
diisolasi kembali sekitar 16 jam setelah inokulasi peroral. Setelah mengalami replikasi di
limfoglandula ini, virus masuk kedalam peredaran darah yang mengakibatkan terjadinya
viraemia awal. Virus tertahan dan mengalami multiplikasi yang cepat pada limpa yang
merupakan target organ sekunder. Multiplikasi virus yang cepat ini berakibat viraemia
bertambah hebat. Selanjutnya virus tertahan dan menginvasi limfoglandula visceral dan
superficial, sumsum tulang dan jaringan-jaringan limfoid lain di mukosa usus. Virus
mencapai seluruh tubuh 5-6 hari setelah inokulasi peroral. Pada akhir stadium viramia,
virus menetap dan menginvasi seluruh organ tubuh yang sering berakibat kematian. Selain
menginvasi sel limfold, virus ini juga menyebabkan degenerasi dan nekrosa pada sel
endotel pembuluh darah. Kerusakan pada pembuluh darah, thrombocytopenia dan
gangguan sintesa fibrinogen mengakibatkan perdarahan berupa petechiae dan ecchymosa
yang meluas, yang merupakan salah satu kelainan patologis yang menonjol pada penyakit
ini (Wulandary, 2021).
2.8 Gejala klinis
Menurut Kementan (2016), Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Hog cholera dapat
berlangsung secara per akut, akut, sub akut dan kronik.
 Bentuk per akut
Bentuk perakut ditandai dengan kematian mendadak tanpa menimbulkan gejala
klinis dan pada pemeriksaan pasca mati tidak ada perubahan patologis yang
ditunjukkan.
 Bentuk akut
Bentuk akut ditandai dengan demam, suhu meningkat sampai dengan 42º
C.tingkat kematian bisa mencapai 100%. Babi yang terkena HC
memperlihatkan gejala gangguan pernafasan dan batuk, diare, konjungtivitis,
hiperemia kulit dengan bercak-bercak berwarna ungu pucat, gerakan kaki tidak
koordinasi dan konvulsi dimana hewan tidak bisa bangun. Pada babi bunting
mengalami keguguran.
 Bentuk sub akut
Bentuk sub akut menunjukkan gejala klinis yang lebih ringan seperti suhu
tubuh sedikit lebih ringan (40oC-40,5oC), tingkat kematian kasus yang lebih
rendah dan penyakit berlangsung lebih lama. Pada hewan bunting ditandai
dengan kematian fetus, mumifikasi, lahir prematur, anomali, lahir dalam
keadaan lemah dan tremor. Anak babi terinfeksi in utero yang mati setelah
lahir sering menunjukkan perdarahan berupa ptekie pada kulit dan organ
dalam.
 Bentuk kronik
Bentuk kronik hog cholera terutama ditandai dengan ill thrift. Pneumonia
disertai batuk-batuk, anoreksia, suhu tubuh turun naik, beberapa babi
mengalami diare dan dermatitis atau penyakit yang tidak memperlihatkan
gejala klinis (asimtomatis).
2.9 Patologi anatomi
Perubahan patologi pada kasus per akut mungkin tidak terjadi perubahan umum
yang dapat diamati pada nekropsi. Pada kasus akut terjadi perdarahan ptekie pada
submukosa dan subserosa pada kapsula ginjal, serosa usus dan korteks limpa. Ditemukan
adanya pembendungan dan infark pada limpa, hati, sumsum tulang dan paru. Lesi ini
disebabkan oleh infeksi virus pada endotel pembuluh darah yang sangat kecil. Pada kasus
subakut atau kronis, terjadi ulserasi nekrotik pada mukosa usus besar, adanya pneumonia
dan entritis. Sindrom ini berkaitan dengan tingginya kejadian abortus, kematian dan
mumifikasi fetus, serta kelainan bawaan. Anak babi yang lahir hidup, baik sehat atau cacat,
akan mengalami infeksi secara menetap, toleran secara imunologis dan mengeluarkan virus
selama hidupnya (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2014).
2.10 Diagnosa
Diagnosa Hog cholera dapat didasarkan pada data epidemiologi, gejala klinis,
patologis anatomis dan histopatologis. Identifikasi virus dapat dilakukan dengan
Flourescent antibody technique (FAT), Agar gel precipitation test (AGPT), Complement
fixation test (CFT), Hemagglutination inhibition (HI), capture ELISA dan polymerase
chain reaction (PCR) (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2014).
 Gejala klinis, patologi anatomi dan histopatologis
Gold standard untuk isolasi dan identifikasi virus HC dapat
dilakukan berdasarkan metode konvensional (gejala klinis, perubahan
gambaran darah, patologi serta histopatologis). Diagnosis HC dapat
dilakukan tidak hanya dengan gejala klinis yg timbul tetapi harus di dukung
dengan analisis laboratorium yaitu isolasi dan identifikasi virus sehingga
akan diperoleh hasil yang lebih baik dan akurat.
 Isolasi Virus
Isolasi dalam kultur garis sel PK-15 dan didemonstrasi dengan
metode immunostaining (FAT atau immunoperoxidase) (OIE, 2008).
 Flourescent antibody technique (FAT)
FAT merupakan tes cepat yang dapat digunakan untuk mendeteksi
antigen CSFV di bagian cryostat sampel. Jaringan harus dikumpulkan dari
beberapa hewan (demam atau sakit) dan diangkut tanpa bahan pengawet
dalam kondisi dingin, tetapi tidak beku. Dalam kasus subakut dan kronis,
ileum sering positif dan kadang-kadang mungkin satu-satunya jaringan yang
menunjukkan fluoresensi. Hasil FAT negatif tidak sepenuhnya negatif
infeksi CSF (OIE, 2008).
 Agar gel precipitation test (AGPT)
Agar Gel Precipitation Test lebih dikenal sebagai double
immunodifution test atau ouchterlony´s double difution paling sering
digunakan untuk menganalisis antigen dan antibodi. Prinsip dari uji ini yaitu
adanya ikatan antibodi spesifik dengan antigen. Reaksi dibaca setelah 24
jam. Reaksi positif ditunjukkan dengan adanya pita presipitasi di antara
sumur antigen dan serum.
 Hemagglutination inhibition (HI)
Uji HI merupakan salah satu uji serologi dengan prinsip dasarnya
yaitu terjadinya ikatan antara antigen dengan antibodi yang homolog untuk
membentuk ikatan antigen-antibodi komplek. Uji HI digunakan untuk
mengidentifikasi jenis virus dan titer antibodi. Hasil positif ditandai dengan
adanya pengendapan eritrosit atau tidak ada aglutinasi pada plat mikro.
 Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Teknik ELISA untuk diagnosis Hog Cholera telah banyak
dikembangkan karena test ini mampu memeriksa sampel dalam jumlah
yang besar dalam waktu yang singkat, sehingga ideal untuk screening.
Prinsip kerja dari ELISA untuk mendeteksi antigen virus Hog Cholera
dalam darah. Semua ELISA kit yang dievaluasi merupakan ELISA tipe
double antibody sandwich. Semua ELISA kit spesifik untuk Pestivirus,
tetapi hanya CVL-2 saja yang spesifik untuk virus Hog Cholera (Depner et
al., 1995).
Menurut Wulandary (2021), Pemeriksaan antibodi Hog Cholera
dilakukan secara Elisa Kompetitif. Sampel yang dapat digunakan untuk
pengujian ELISA dapat berupa serum. Reagen yang digunakan berupa Kit
ELISA antibodi Hog Cholera VDPro ® CSFV Antibody C-ELISA Kit. Rev.
05, Kit ELISA PRRS produksi IDEXX Laboratories, Inc.USA dan Kit
ELISA H1N1 produksi IDEXX Laboratories Inc, USA. Hasil uji sampel
serum yang diperiksa secara Elisa diperoleh hasil seropositif atau
seronegatif Hog Cholera. prosedur pemeriksaan ELISA Hog Cholera:
1. Disiapkan semua reagen, sampel dan catatan posisi sampel yang
dalam plate
2. Di isi 50 µl dilution buffer 1x kedalam masing-masing lubang
mikroplate
3. Ditambahkan 50 µl sampel pada semua lubang mikroplate kecuali G
11- 12 untuk Kontrol Positif dan H 11-12 untuk Kontrol Negatif
4. Ditutup plate dengan penutup, inkubasi mikroplate pada temperatur
kamar selama 60 menit
5. Dibuang (kosongkan) semua larutan dalam mikroplate kemudian
Cuci dengan larutan pencuci (wash buffer) sebanyak 3 (tiga) kali dan
kemudian setalah pencucian terakhir pukulkan mikroplate sampai
terbuang sempurna
6. Diisikan 100 µl Konjugat (HPRO Anti E-2) pada semua lubang.
Tutup mikroplate dengan penutup dan inkubasi mikroplate pada
temperature kamar selama 30 menit
7. Diulangi langkah 5
8. Diisikan 100 µl TMB Substrat pada semua lubang mikroplate.
9. Ditutup plate dengan penutup, inkubasi mikroplate pada temperature
kamar selama 15 menit. Dan lihat perubahan warna dengan mata
10. Ditambahkan 50 µl stop solution pada semua lubang mikroplate
11. Dibaca OD semua lubang mikroplate dengan ELISA reade pada
absorbance 450 nm
12. Dilakukan penghitungan hasil uji (Dihitung nilai mean OD poditif
(PCx) dan Kontrol Negatif (NCx). Nilai Kontrol Negatif harus lebih
dari 0.5 Nilai Kontrol Positif harus kurang dari 0.2) Dihitung % PC
sampel dengan rumus : % PC = (NCx- OD sampel ) / (NCx – PCx)
X 100
 Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Peneguhan penyakit dengan teknik reverse transcriptase polymerase
chain reaction (RT-PCR) dilaporkan memberikan hasil akurat (Suartha et
al., 2008). Dengan prinsip kerja untuk mendeteksi genom serta hasil
sekuensing cDNA CSF. Sampel yang digunakan dapat berupa organ yang
mengalami perubahan secara patologi anatomis. Spesimen tersebut dipotong
kecil-kecil dan dihancurkan dalam eppendorf, kemudian ditambahkan PBS
(hingga mendapatkan larutan 10%). Larutan disentrifugasi dengan
kecepatan 15.000 rcf selama 10 menit. Supernatan diambil sebanyak 250 ìl
dan dimasukkan ke dalam eppendorf baru.
Primer yang digunakan adalah primer baku EU (2002) yang
mengamplifikasi gen target E2. Sekuens dari primer adalah VCSFF
5’AGRCCAGACTGGTGGCCNTAYGA 3’dan VCSFR 5’ TTYACCACT
TCTGTTCTCA-3’. Produk RT-PCR hasil isolasi disekuens. Sebagai
kontrol positif digunakan RNA yang diisolasi dari vaksin CSF aktif.
Sedangkan kontrol negatif adalah RNA yang diisolasi dari limpa babi yang
sehat dan tidak divaksin. Produk RT-PCR dipurifikasi dengan QIAquick
PCR Purification Kit (Qiagen) dan disekuens dengan menggunakan Big
Dye Terminator v3.1 Cycle Sequencing Kit, dengan kedua primer tersebut
diatas. Sekuensing dijalankan pada Automatic DNA sequencer Applied
Biosystem 3130/3130x Genetic Analyzer. Identifikasi hasil sekuensing
dibaca dengan Sequence Scanner Ver1.0 (Applied Biosystems).
Penyepadanan nukleotida dan asam amino dilakukan dengan menggunakan
Mega4 Software (Tamura et al., 2007).

Gambar 1. gambar elektroforesis hasil RT-PCR. Gel Agarose 2% yang Diwarnai


dengan Etidium Bromida dari Hasil RT-PCR Tiga Kasus Tersangka CSF dari Bali
2007-2008. Jalur M adalah 100-bp ladder (Invitrogen). Posisi pita 600 bp
ditunjukkan dengan tanda panah. Jalur 1, 2, dan 3 adalah sampel ka-sus 106/N/07,
59/N/07, dan 168/N/ 08. (-) adalah control negatif dari total RNA limpa babi yang
baru lahir. (+) adalah control positif dari total RNA vaksin CSF komersial (Wirata
et al., 2010).
Gambar tersebut menunjukkan bahwa protokol amplifikasi RT-PCR
terhadap dua dari tiga kasus dapat menghasilkan produk dengan panjang
antara 600-700 bp yang sama tinggi dengan kontrol positif, sementara pita
serupa tidak tampak pada kontrol negatif. Hasil sekuensing pendahuluan
untuk konfirmasi produk PCR diperoleh sekuens cDNA sepanjang 406
basa. Sekuens tersebut telah diregistrasi di GeneBank dengan Acc. No. HM
366152 Penelusuran BLAST (basic local allignment search tool) sekuens
yang diperoleh pada GeneBank menunjukkan bahwa sekuens tersebut khas
protein E2 virus CSF (Wirata et al., 2010).
2.11 Diagnosa banding
Diagnosis banding antara lain African swine fever, porcine dermatitis and
nephropathy syndrome (PDNS), post-weaning multisystemic wasting syndrome (PMWS),
thrombocytopenic purpura, salmonellosis, erysipelas, pasteurellosis, actinobacillosis, dan
infeksi Haemophilus parasuis (OIE, 2008).

2.12 Pencegahan dan pengendalian


Menurut Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2014), belum ada
obat yang efektif untuk mencegah hog cholera. Tindakan yang paling efektif untuk
mencegah atau mengendalikan penyakit Hog Cholera adalah melakukan vaksinasi dengan
menggunakan vaksin aktif yang sudah diatenuasi, dengan memperhatikan faktor-faktor
pendukung keberhasilan vaksinasi seperti: pemilihan strain, dosis dan aplikasi vaksin serta
status kesehatan hewan. Setiap ada kasus swine fever harus segera dilaporkan ke Dinas
yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan setempat, untuk diambil
Iangkah-langkah pemberantasan dan pengendalian wabah. Pengendalian dapat dilakukan
dengan melalui tindakan karantina.Tindakan penutupan sementara dilakukan terhadap farm
tertular. Semua babi yang pernah kontak dan tertular HC dilakukan isolasi, stamping out
atau tindakan pemotongan bersyarat. Lalu lintas ternak babi dan hasil olahannya dari
daerah tertular dilarang keluar atau diperjual belikan. Hewan yang menderita HC tidak
dianjurkan untuk dipotong, tetapi dimusnahkan.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Hog Cholera (HC) adalah penyakit virus yang sangat menular pada babi. Penyakit
ini dikenal sebagai penyakit yang merugikan peternak babi karena mortalitas dan
morbiditasnya yang sangat tinggi. Penularan penyakit ini dapat terjadi secara langsung
maupun tidak langsung. Gejala klinis yang ditimbulkan mengikuti tingkat keparahan
infeksi virus dan dapat berlangsung secara per akut, akut, sub akut dan kronik. Penyakit ini
dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Oleh karena itu diperlukan
tindakan pencegahan dan pengendalian sejak awal dan tepat, sehingga dapat mengurangi
risiko terinfeksi virus hog cholera.
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2014. Manual Penyakit Hewan
Mamalia. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Subdit
Pengamatan Penyakit Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan: Jakarta.
Depner, K ., Paton, D. J ., Cruciere, C ., De Mia, G . M ., Muller, A., Koenen, F., Stark, R .
and Liess, B. 1995. Evaluation of the enzyme linked immunosorbent assay for the
rapid screening dan detection of classical swine feveer virus antigens in the blood
of pigs . Rev. Sci. Tech. Off Int. Epiz. 14: 677-689.
Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2006. Manual Standar Metoda Diagnosa
Laboratorium Kesehatan Hewan. Direktorat Bina Kesehatan Hewan, Direktorat
Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian Republik Indonesia: Jakarta.
Jayanata, IMA., Suardana, IBK., Ardana, IBK. 2016. Respon Imun Anak Babi Pasca
Vaksinasi Hog Cholera. Indonesia Medicus Veterinus: 5(5) : 399-406.
Kementerian Pertanian. 2015. Pemberantasan Hog Cholera (PRRS dan H1N1) di Wilayah
Regional II. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Balai Veteriner:
BukitTinggi.
Kementerian Pertanian. 2015. Road Map Pengendalian dan Penanggulangan Hog Cholera.
Direktorat Kesehatan hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan: Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2016. Pemberantasan Hog Cholera di Wilayah Balai Kerja
Veteriner Bukittinggi. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Balai
Veteriner: BukitTinggi.
OIE, 2008. Classical swine fever (hog cholera) dalam OIE Terrestrial Manual.
www.oie.int. hal. 1092-1106.
Podung, AJ., Adiani, S. 2018. Upaya Peningkatan Pengetahuan Peternak Babi Terhadap
Penyakit Hog Cholera Di Kelurahan Kalasey Satu Kecamatan Mandolang
Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal LPPM Bidang Sains dan
Teknologi: 5(2).
Risatti, G.R., Borca, M.V. 2016. Overview of Classical Swine Fever (Hog Cholera,
Classical Swine fever) . Book Chapter. Borca, M.V. The Merck Veterinary Manual.
The Merck Publishing Group 2016.
Suartha IN, Mahardika IGNK, Candra Dewi IAS, Nursanty KD, Kote YLS, Handayani
AD, Suartini GAA. 2008. Penerapan teknik Reverse Transcriptase-Polymerase
Chain Reaction untuk peneguhan diagnosis penyakit Distemper pada anjing. Jurnal
Veteriner, Vol.9 No.1: 25-32.
Tamura K, Dudley J, Nei M, Kumar S, 2007. MEGA4: Molecular Evolutionary Genetics
Analysis (MEGA) software version 4.0. Molecular Biology and Evolution 10.1093/
molbev/msm092.
Toha, LRW., Susetya, H., Nugroho, WS. 2020. Path Analysis Tingkat Pengetahuan, Sikap
Dan Praktek Peternak Babi Terhadap Pengendalian Hog Cholera Di Kecamatan
Kota Raja Kota Kupang. Jurnal Kajian Veteriner: Vol. 8(2).
Wirata, IW, Chandra Dewi IAS, Narendra Putra IGN, Wiyana IBO, Suardana IBK dan
Mahardika IGNK. 2010. Konfirmasi Virus Classical Swine Fever dari Kasus-Kasus
Tersangka pada Babi di Bali Tahun 2007-2008 dengan Reverse Transcriptase-
Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Laboratorium Biomedik Veteriner,
Universitas Udayana, Denpasar.
Wulandary, S. 2021. Kajian Analisis Faktor Risiko Dan Seroprevalensi Penyakit Hog
Cholera Pada Peternakan Rakyat Di Kabupaten Deli Serdang. Tesis: Program Studi
Ilmu Peternakan,Program Pascasarjana Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera
Utara: Medan.

Anda mungkin juga menyukai