Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Kesehatan Masyarakat Veteriner adalah segala usaha komunitas yang mempengaruhi


dan dipengaruhi oleh seni dan ilmu Kedokteran Hewan (Veteriner) dalam rangka
pencegahan penyakit, perlindungan kehidupan dan peningkatan kesejahteraan manusia.
Kesmavet merupakan penghubung antara bidang kesehatan hewan dan kesehatan manusia,
sebuah peran strategis keilmuan dan profesi kedokteran hewan dalam berkontribusi
mewujudkan status kesehatan manusia. Pada kegiatan Koasistensi yang dilakukan selama
enam minggu di enam tempat berbeda yaitu di Laboraturium KESMAVET FKH UNDANA,
Stasiun Karantina Bandara Eltari, Balai Besar Karantina Pertanian Kelas 1 Kupang, Stasiun
Karantina Ikan Kelas 1 Kupang Penjaminan Mutu dan Keamanan Hasil Ikan dan Dinas
Pertanian, mahasiswa dituntut untuk memperoleh kompetensi dari setipa tempat yang
dikunjungi.
Kegiatan yang dilakukan di Laboratorium KESMAVET FKH UNDANA, adalah
untuk melakukan pemeriksaan kualitas bahan pangan asal hewan yang meliputi susu, telur
dan daging. Telur, susu dan daging merupakan bahan pangan asal hewan yang dikonsumsi
setiap harinya. Pemeriksaan ini sangat penting untuk menentukan kelayakan suatu bahan
asal hewan apakah layak untuk dikonsumsi atau tidak. Kegiatan selanjutnya yaitu di
Karantina, dengan tujuan agar bisa mengetahui regulasi, tupoksi, kegiatan rutin karantina
dan proses administrasi yang ada di Karantina dan pada Dinas Pertanian, kegiatan yang
dilakukan adalah untuk mengetahui proses administrasi, regulasi, tindakan-tindakan yang
dilakukan Dinas Pertanian serta mengikuti kegiatan pelayanan kesehatan hewan.

1.2. TUJUAN

Tujuan dilakukan semua kegiatan ini adalah untuk mencapai kompetensi berupa
pencegahan penyakit, perlindungan kehidupan dan peningkatan kesejahteraan manusia. Hal
yang sama juga bisa menjadi bekal sebagai dokter hewan di masa mendatang.

1
BAB II
MATERI DAN METODE

2.1. PENGUJIAN SUSU

 MATERI

- Tabung reaksi - Susu segar


- Penjepit tabung reaksi - NaOH
- Pipet - Kertas pH
- Bunsen - MSA
- Alkohol 70% dan 96% - Aquades
- Batang L - Metilen blue loffler
- Inkubator - Nutrien Agar (NA)
- Cawan Petri - Eter
- Objek glass - Cakram blank dan cakram antibiotik
- Alumunium foild - Aquades
- Mikroskop - Bakteri patogen
- Gelas ukur - Safranin
- Mikropipet - Kristal violet
- Oven - Lugol
- Laktodensimeter - Spuit
- Reagen IPB 1 - Rak tabung reaksi

 METODE
o UJI ORGANOLEPTIK DAN UJI KESEGARAN SUSU
 Dimasukan 3 ml sampel susu ke dalam tabung reaksi, kemudian diamati
warna susu, bau, rasa, konsistensi.
 Selanjutnya panaskan susu tersebut sampai mendidih dan dilakukan lagi uji
bau dan uji rasa dari susu

2
 Dilakukan uji didih dengan memasukan 3 ml sampel susu lalu dididihkan
kemudian dinginkan lalu amati adanya endapan, gumpalan ataupun butiran-
butiran halus pada dinding tabung
 Dilakukan uji alkohol dengan mencampurkan 3 ml sampel susu dan 3 ml
alkohol, kemudian amati terbentuknya presipitasi di dinding tabung
 Dilakukan uji derajat keasaman dengan mengambil sampel susu lalu
dicelupkan kertas pH lalu dibaca nilai pH
o PENGUJIAN MIKROBIOLOGI SUSU
 Uji Cemaran Staphylococcus Pada Susu Segar
 Preparasi media Manitol Salt Agar (108 gr/ 1000 ml)
108 gr/1000 ml x 40 ml = 4,32
 Media dihomogenkan dengan 40 ml aquades, dimasak lalu disterilisasi
menggunakan autoclave
 Penanaman pada media MSA dilakukan dengan memasukan 0.1 ml susu ke
dalam cawan petri steril lalu disebar menggunakan batang L diseluruh
permukaan media
 Media diinkubasi pada suhu 37 °C
 Setelah diinkubasi, diambil bakteri dari koloni terpisah untuk dilakukan
pewarnaan gram
o PEMERIKSAAN MASTITIS SUBKLINIS
 Metode Breed
 Disiapkan objek glass yang dilapisi alumunium foild berukuran 1x1 cm
 Ditetes 0,1 ml sampel susu, dikeringkan lalu direndam pada alkohol 96%
dibiarkan selama 2 menit
 Ditetesi metilen blue loffler, dikeringkan kemudian biarkan selama 1 menit
 Diamati di bawah mikroskop dan dihitung jumlah sel somatis dengan melihat
20 lapang pandang lalu hasil dijumlah dan diratakan kemudian di kali dengan
400.000
 Metode Whiteside test
 Objek glass disiapkan lalu tetesi sampel susu sebanyak 5 tetes

3
 Ditetesi NaOH 1 tetes lalu homogenkan menggunakan tusuk gigi
 Dilihat adanya benang-benang halus dan masa yang mengental ketika susu
dan NaOH dicampurkan. Jika terbentuk benang-benang halus atau ada masa
yang mengental maka positif mastitis. Pengamatan dilakukan jangan lebih
dari 30 detik setelah ke dua bahan dicampurkan
 Metode IPB 1
 Dimasukkan 5 ml sampel susu ke dalam paddle kemudian tambahkan 5 ml
reagen IPB 1, homogenkan dan lihat hasil. Jika hasil +1 sedikit lendir, +2
cukup lendir, +3 banyak lendir dan +4 sangat kental
 Adanya lendir (+) mastitis
 Jika positif maka akan terbentuk kekentalan susu karena reagen IPB-1 bekerja
pada DNA inti sel somatis sehingga terbentuk massa seperti gelatin.
Pengamatan dilakukan jangan lebih dari 30 detik setelah ke dua bahan
dicampurkan.
o PENGUJIAN RESIDU ANTIBIOTIK DALAM SUSU
 Koloni dari biakan murni bakteri patogen dimasukkan ke dalam cawan petri
steril sebanyak 1 ml lalu ditambahkan 15-20 ml media Nutrien Agar kemudian
dihomogenkan dengan memutar cawan membentuk angka 8
 Diinkubasi pada suhu ruangan hingga media memadat
 Plate dibagi menjadi 3 bagian lalu diletakan masing-masing 1 cakram pada
setiap bagian media (2 cakram blank dan 1 cakram antibiotik)
 Sebanyak 0,01 ml sampel susu kambing segar (sampel), 0,01 ml aquades
(kontrol -), dan cakram antibiotik (kontrol +), cawan lalu diinkubasi pada suhu
37 °C
o PENGUJIAN PEMALSUAN SUSU
 Penambahan Santan dan Air
 Diambil 50 ml susu dicampurkan dengan santan 50 ml dimasukkan dalam gelas
ukur
 Diambil 50 ml susu dicampurkan dengan air 50 ml dimasukkan dalam gelas
ukur

4
 Laktodensimeter dimasukkan dalam gelas ukur kemudian diamati
 Ambil satu tetes, letakan pada objek glass dan diamati di bawah mikroskop

2.2. PENGUJIAN TELUR

 MATERI

- Telur - Spidol
- Candler - Pengukur kantung hawa
- Aquades - Gelas ukur
- Garam - Timbangan digital
- Alkohol 70% - Jangka sorong
- Tusuk gigi - Penggaris/mistar

 METODE
o PENGUJIAN KUALITAS TELUR UTUH

 Dilakukan pengamatan bentuk telur, warna, permukaan kerabang dan


kebersihan kerabang.
 Dilakukan pengukuran tinggi dan diameter kantung hawa dengan
menggunakan kertas ukur diameter dan tinggi (cm) kantung hawa (Panduan
Laboratorium Kesmavet FKH IPB)
 Dilakukan peneropongan telur menggunakan candler untuk mengukur tinggi
dan diameter kantung hawa serta kelainan pada kerabang.
o PENGUJIAN KUALITAS TELUR SETELAH DIBUKA

 Membersihkan kerabang telur dengan alkohol 70%, kemudian membuka


kerabang dan mengeluarkan putih dan kunng telur
 Dilakukan pemeriksaan organoleptik untuk pengamatan kebersihan,
kekentalan dan bentuk dari putih dan kuning telur
 Dilakukan perendaman telur dalam larutan garam (garam 10 gram kemudian
tambahkan air sampai seberat 100 gram)

5
a
 Dilakukan pengukuran tinggi dan diameter kuning telur dengan rumus (a=
b
tinggi kuning telur, b=diameter kuning telur)
a
 Dilakukan pengukuran tinggi dan diameter albumin dengan rumus (a=
b
tinggi albumin, b=diameter rata-rata (b1+b2/2) dari albumin)
 Dilakukan perhitungan Haugh Unit dengan menggunakan rumus 100 log (H
+7,57-1,7W0,37) (H= tinggi albumin, W= bobot telur).

2.3. PEMERIKSAAN DAGING SAPI

 MATERI

- Cawan petri - Daging segar


- pH meter - Kantung plastik
- Aquades - Gelas ukur
- Gunting - Tabung reaksi
- Timbangan digital - Panci
- Benang - Bunsen
- Malachite green - Kertas saring
- Pipet - Gunting
- Corong - Erlenmeyer
- Reagen eber - Sumbat karet yang dilengkapi lidi
- Pinset - H2O2 3%
- Plastik - Media : BPW, PCA, VRBA

 METODE
o PENGUJIAN SENSORIK DAGING SAPI
 Uji warna

Daging diletakan pada cawan petri, diamati warna daging normal untuk
daging ayam warna putih pucat, daging babi warna merah muda, dan daging
sapi warna merah terang.

6
 Uji bau

Daging diletakan pada cawan petri, dibaui bau dari daging yaitu bau khas
daging sedangkan jika berbau amis atau asam daging sudah mulai rusak.

 Uji konsistensi

Daging diletakan pada cawan petri, ditekan-tekan jika konsistensi kenyal


daging masih baik sedangkan jika konsistensi lembek atau keras daging sudah
mulai rusak.

o PENGUJIAN pH DAGING SAPI


 Daging dipotong kecil-kecil, letakan pada cawan petri ditambahkan aquades
 Diletakan kertas pH sampai warna berubah
 Kertas pH diambil dan diletakan pada parameter pH untuk menentukan pH
daging
o PEMERIKSAAN DAYA IKAT AIR
 Pemeriksaan Drip Loss
 Ditimbang daging 5 gram, dengan menggunakan benang daging digantung
dan dimasukan kedalam kantung plastik (daging tidak bersentuhan dengan
sisi dalam plastik)
 Daging tersebut digantung dalam lemari es dengan suhu 7 ºC selama 48
jam
 Setelah 48 jam daging dikeluarkan dan dikeringkan menggunakan tissue
secara perlahan-lahan (jangan ditekan) kemudian daging ditimbang
 Dihitung drip loss dengan rumus
a−b
 Drip loss (%) = x 100 % (a=Berat awal, b=Berat akhir)
a
 Pemeriksaan Cooking Loss

7
 Ditimbang daging 70-100 gram, masukan kedalam kantung dan hilangkan
udara di dalam plastik
 Dipanaskan air (75 ºC) kantong plastik berisi daging dimasukan dalam air
panas dan didiamkan selama 50 menit
 Setelah 50 menit diangkat dan kantong plastic berisi daging dialirkan air
selama 40 menit
 Daging dikeluarkan dan dikeringkan menggunakan tissue secara perlahan-
lahan (jangan ditekan) kemudian daging ditimbang
a−b
 Cooking loss (%) = x 100 % (a=Berat awal, b=Berat akhir)
a

o PEMERIKSAAN KESEMPURNAAN PENGELUARAN DARAH DAGING


SAPI
 Buatlah ekstrak daging : potonglah 6 gram daging kecil-kecil dan
masukkan ke dalam aquades dalam erlenmeyer. Diamkan selama 15 menit.
 Saringlah ekstrak tersebut, kemudian ambil 0,7 ml filtrat dan masukkan ke
dalam tabung reaksi
 Teteskan ke dalam tabung reaksi satu tetes larutan malachite green dan
satu tetes larutan H2O2 3%
 Diamkan selama 20 menit dan kemudian baca hasilnya
o PEMERIKSAAN AWAL PEMBUSUKAN DAGING SAPI
 Menggunakan Uji Eber
 Potong daging sebesar kacang tanah. Tusukan daging tersebut pada lidi
dari sumbat tabung
 Tuangkan reagen eber ke dalam tabung reaksi
 Masukkan daging secara perlahan dan sesegera mungkin ke dalam tabung
reaksi
 Amati segera reaksi yang terjadi di sekitar daging
 Reaksi Positif : Jika terbentuk awan putih disekitar daging
 Reaksi Negatif: Tidak terbentuk awan putih

8
 PENGUJIAN MIKROBIOLOGI DAGING SAPI
 Dilakukan persiapan contoh sampel yang akan diuji, dipotong kecil-kecil
secara aseptik menggunakan gunting dan dan pinset
 Dilakukan penimbangan daging ditambah larutan Buffered Peptone Water
selanjutnya dihomogenkan (menjadi 10-1)
 Diencerkan dengan pengenceran kelipatan 10 sehingga terbentuk suatu
deret enceran , 10-2 sampai 10-9 (dilakukan dengan pipet steril)
 Diambil 1 ml dari pengenceran 10-7, 10-8 dan 10-9 masukan kedalam 3
cawan petri yang berbeda
 Tambahkan 15-20 ml Plate Count Agar, lalu dihomogenkan secara
perlahan (perhatikan cairan agar jangan keluar dari cawan petri)
 Setelah media agar memadat diinkubasi pada suhu 37o C selam 24-48 jam.
 Pilih cawan petri yang jumlah angka koloninya 25-250
 Dilakukan perhitungan rata-rata yang merupakan jumlah kuman per gram
(CFU/gram)
 PENGUJIAN Violet Red Bile Agar (VRBA)
 Dilakukan persiapan contoh sampel yang akan diuji, dipotong kecil-kecil
secara aseptik menggunakan gunting dan pinset.
 Dilakukan penimbangan daging ditambah larutan BPW selanjutnya
dihomogenkan
 Diencerkan dengan pengenceran kelipatan sepuluh sehingga terbentuk
suatu deret enceran 10-1(dilakukan dengan pipet steril).
 Dilakukan penimbangan media VRBA lalu dimasukkan ke dalam tabung
durham, tambahkan aquades dan media dimasak. Media yang telah
dimasak didinginkan
 Ambil 1 ml dari larutan pengencer  10-6, 10-7, 10-8 dimasukan ke dalam
cawan petri dan tambahkan media VRBA yang telah dingin tersebut
sampai 20 ml. Diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24-48 jam.

9
2.4. KARANTINA BANDARA

 Melakukan Wawancara Dengan Petugas Karantina Hewan

Wawancara terhadap pegawai karantina hewan bandara mengenai tindakan–tindakan


yang dilakukan untuk mengetahui proses administrasi, regulasi dan kegiatan rutin yang
dilakukan di karantina bandara yang mencakup 8p.

 Pemeriksaan Barang Bawaan:


1. Petugas karantina dan mahasiswa koas mendatangi tempat pemeriksaan yaitu bandara
Eltari Kupang
2. Dilakukan pemeriksaan berkas-berkas pengiriman
3. Selanjutnya dilakukan kesesuaian berkas dengan barang bawaan berupa media pembawa
(hewan, produk asal hewan, hasil produk asal hewan dan benda lain) dengan tujuan untuk
menghindari adanya penyeludupan dan memastikan kualitas produk

2.5. KARANTINA PERTANIAN KELAS 1 KUPANG

 Melakukan Wawancara dengan Petugas Karantina Hewan


Wawancara terhadap pegawai karantina hewan mengenai tindakan – tindakan
yang dilakukan di Balai Karantina Pertanian kelas 1 Kupang

 Pengambilan Darah Sapi :


1. Siapkan alat dan bahan : jarum, holder, tabung vacum, spuite, gloves
2. Sapi yang diambil darahnya direstrain terlebih dahulu
3. Dilakukan pembendungan diarea cervicalis
4. Setelah vena jugularis terlihat maka jarum ditusukan kemudian ditampung menggunakan
tabung vacuum sebanyak 3-4 ml darah
5. Tabung lalu diberi label sesuai kode sapi

10
 Pemeriksaan Rose Bengal Tes (RBT) :
1. Siapkan alat dan bahan yang dibutuhkan
2. Diambil sampel serum menggunakan mikropipet dan ditetesi pada papan poselen
3. Ditetsi antigen brucella diatas sampel serum
4. Kemudian homogenkan menggunakan tusuk gigi
5. Papan porselen lalu digoyangkan selama 4 menit
6. Diamati hasil yang diperoleh yaitu terbentuknya aglutinasi atau tidak

2.6. STASIUN KARANTINA IKAN KELAS 1 KUPANG PENJAMINAN MUTU DAN


KEAMANAN HASIL IKAN

 Melakukan Wawancara Dengan Petugas Karantina Ikan


Melakukan wawancara dengan petugas karantina ikan untuk mengetahui prosedur
Tindakan Karantina Ikan untuk Pemasukan dan Pengeluaran Media Pembawa HPI/HPIK
dan mekanisme pengelolahan dan pengujian sampel.
 Pengujian Mikrobiologi
 Dilakukan persiapan contoh sampel yang akan diuji.
 Diambil sampel yang akan diuji ditambah larutan Butterfield Phosphate (BFP)
selanjutnya dihomogenkan menggunakan stomacher (menjadi 10-1)
 Diencerkan dengan pengenceran kelipatan 10 sehingga terbentuk suatu deret
enceran , 10-2 sampai 10-6 (dilakukan dengan pipet steril)
 Diambil 1 ml dari pengenceran 10-4, 10-5 dan 10-6 masukan kedalam 3 cawan petri
yang berbeda
 Tambahkan 15-20 ml Plate Count Agar (PCA), lalu dihomogenkan secara perlahan
(perhatikan cairan agar jangan keluar dari cawan petri)
 Setelah media agar memadat diinkubasi pada suhu 37o C selam 24-48 jam.
 Pilih cawan petri yang jumlah angka koloninya 25-250
 Dilakukan perhitungan rata-rata yang merupakan jumlah kuman per gram
(CFU/gram)

2.7. DINAS PERTANIAN KOTA KUPANG DAN UPTD KESMAVET

11
 Melakukan Wawancara
Wawancara di lakukan di kantor maupun di lapangan dengan drh atau petugas
yang berdinas untuk mengetahui proses administrasi, regulasi dan kegiatan rutin yang
dilakukan. Selain itu, wawancara juga dilakukan dengan para peternak yang mengikuti
kegiatan pelayanan dari dinas.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Lokasi Pengambilan Sampel Susu Kambing


Lokasi pengambilan sampel susu di peternakan rakyat, Desa Noelbaki,
Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Pemeriksaan sampel susu dilakukan di
Laboratorium Kesmavet FKH Undana. Sebelum pengambilan sampel perlu untuk
melakukan observasi higiene dan sanitasi pada
peternakan tersebut guna untuk menjadi tolak ukur dalam menentukan kualitas dan
kuantitas dari susu kambing yang dihasilkan. Hasil observasi higiene dan sanitasi pada
peternakan tersebut adalah sebagai berikut:

 Bangunan : 1 kandang
 Lokasi : Pemeliharaan dilakukan di sekitar pekarangan rumah
 Sumber air : Sumur
 Pakan : Lamtoro dan gamal
 Pekerja/karyawan : higiene personal rendah
 Sistem Pemeriksaan kesehatan rutin : Tidak dilakukan

12
Gambar 1. Observasi peternakan rakyat desa Noelbaki

3.1.1. Pemeriksaan Fisiologis Ternak Kambing


 Signalemen :
Ras : Lokal (Kambing kacang)
Jenis kelamin : Betina
Umur : 3 tahun
Warna : Hitam-putih
 Fisiologi
Suhu : 39,5oC (38,5 oC-40 oC)
Pulsus : 84 kali/menit (70-135 kali/menit)
Respirasi : 34 kali/menit (26-54 kali/menit) (Rosita dkk., 2015)
Umur laktasi : 3 minggu
Kondisi ambing: Sehat

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Organoleptik Susu

NO PENGUJIAN ORGANOLEPTIK SUSU SUSU SEGAR

1. Warna Putih √

Putih kekuningan

Putih kecokelatan(cream)

13
Putih kebiruan

2. Bau Sebelum dimasak Sesudah dimasak

Khas susu √

Sekitar lingkungan

+ bahan tambahan

Khas + bahan tambahan

Khas + bau lingkungan √

3. Rasa Khas susu - √

Tawar

Khas + bahan tambahan

4. Konsistensi Butiran susu menempel √


di dinding dan turun
cepat
Butiran menempel di
dinding + lendir sedikit
Banyak butiran susu di
dinding dan banyak
lender

Susu merupakan bahan makanan yang mangandung komposisi seimbang dan


mengandung semua zat yang diperlukan oleh tubuh seperti protein, lemak, karbohidrat,
mineral dan vitamin. Nilai gizinya yang tinggi juga menyebabkan susu menjadi media
pembawa yang sangat cocok bagi mikroorganisme untuk pertumbuhan dan
perkembangannya sehingga dalam waktu yang sangat singkat susu menjadi tidak aman
untuk dikonsumsi bila tidak ditangani dengan benar akibat mengalami perubahan rasa,
warna, bau dan konsistensi. Warna susu normal, putih kekuningan (Buckle et al., 1987).

14
Warna putih disebabkan karena kandungan kasein dan kalsium fosfat yang merupakan
dispersi koloid sehingga tidak tembus cahaya, sedangkan warna kekuningan disebabkan
oleh kandungan lemak dalam susu, terutama dipengaruhi oleh zat-zat terlarut dalam
lemak seperti karoten yang berasal dari pakan ternak (Buckle et al., 1987). Pada
pengujian organoleptik, warna susu yang tampak adalah putih. Warna susu dapat
berubah, hal ini tergantung dari bangsa ternak, jenis pakan, jumlah lemak, bahan padat
dan bahan pembentuk warna. Warna air susu berkisar dari putih kebiruan hingga kuning
keemasan dan warna susu normal pada kambing adalah putih.

Bau aromatis khas susu disebabkan oleh adanya perombakan protein menjadi
asam-asam amino. Selain itu, sebelum dimasak, susu memiliki bau lingkungan. Bau ini
disebabkan karena adanya sifat lemak air susu yang mudah menyerap bau disekitarnya.
Susu mempunyai rasa normal (khas), agak sedikit manis karena terdapat kandungan
laktosa (Buckle et al., 1987) yang merupakan satu-satunya karbohidrat yang terkandung
dalam susu. Laktosa adalah disakarida yang tersusun dari 1 molekul glukosa dan 1
molekul galaktosa. Pengujian rasa dilakukan dengan memanaskan susu, dan jika laktosa
dalam susu mengalami pemansan akan menjadi laktulosa yang mudah larut, dengan rasa
tinkat kemanisan 1/2 - 1/6 kali glukosa. Perubahan rasa dan aroma terjadi pada
penyimpanan lebih dari 21 jam, hal ini disebabkan oleh bertambahnya jumlah kuman
susu dengan bertambahnya masa simpan (Abubakar et al.,2001).

3.1.2. Pengujian Kesegaran Susu


Tabel 2. Hasil Pengujian Kesegaran Susu

No Uji kesegaran susu Susu segar

1. Uji didih Tidak ada gumpalan √

Ada gumpalan kecil

Gumpalan banyak

15
2. Uji alkohol Terbetuk presipitasi √

Tidak terbentuk presipitasi

3. Uji pH <7,0

=7,0 √

>7,0

 Uji didih
Pada uji didih, tidak terjadi gumpalan dan ini menunjukan bahwa susu
tersebut dalam keadaan murni tanpa adanya zat-zat tambahan dan tidak bersifat
asam. Susu yang tidak baik (misalnya susu asam) akan pecah atau menggumpal
bila dimasak sampai mendidih karena kestabilan kaseinnya berkurang.
Koagulasi kasein (kandungan kasein di dalam protein susu 80%) umumnya
menyebabkan pecahnya susu. Koagulasi larutan tersebut terutama disebabkan
oleh keasaman dan suhu tinggi.
 Uji alkohol

Pada uji alkohol, terdapat adanya presipitasi sehingga bisa dikatakan susu
tersebut memiliki kualitas yang kurang baik. Hal ini bisa dikaitkan dengan pola
pemeliharaan, sanitasi lingkungan dan higiene personal dari peternak. Pada air
susu murni, partikel-partikel casein terikat dengan garam-garam Ca dan Mg dan
terdapat dalam keadaan stabil. Partikel-partikel ini diselubungi oleh micelle casein
phosphate yang terdapat dalam larutan koloidal. Makin kuat pengikatan casein
dengan garam-garam Ca dan Mg ini, maka alkohol masih belum mampu untuk
mendehidrasi micelle casein phosphate atau uji alkohol memberikan hasil yang

16
negative. Pada air susu asam, keasaman akan mempengaruhi kestabilan dari
micelle, sehingga garam-garam Ca dan Mg akan melepaskan diri dari ikatannya
secara pelan-pelan dan masuk kedalam larutan. Pelepasan garam-garam ini
menyebabkan pengikatan air berkurang, sehingga jika diberi alkohol akan
mendehirasi micell casein phosphate dan terjadi presipitasi dari casein atau uji
alkohol memberikan hasil yang positif.

 Uji pH
Presentase asam dalam susu dapat digunakan sebagai indikator umur dan
penanganan susu. Pengukuran nilai pH dilakukan dengan menggunakan pH meter
dan menunjukan hasil =7. Umumnya susu segar memiliki pH= 6,30-6,75 (SNI 01-
3141-1998). Bila pH susu >6,7 biasanya diartikan terkena mastitis dan bila pH <6
menunjukan adanya kolostrum ataupun pembentukkan bakteri (Sulmiyati, 2016).
Sehingga bisa dikatakan bahwa kambing tersebut mengalami mastitis.

A B C

Gambar 2. Pengujian Kesegaran (A): uji didih, (B): uji alkohol, (C): Uji pH

3.1.3. PENGUJIAN MIKROBIOLOGI SUSU


Tabel 3 Hasil Pengujian Mikrobiologi Susu
JENIS SUSU MEDIA KOLONI INTERPRETASI HASIL

17
Susu MSA Koloni yang Staphylococcus aureus pada media
kambing tumbuh berwarna (MSA) akan terlihat sebagai
segar kuning, halus, pertumbuhan koloni berwarna kuning
cembung dan dikelilingi zona kuning keemasan
berkilau karena kemampuan memfermentasi
manitol.
.

Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri penyebab mastitis klinis maupun
subklinis pada kambing. Batas maksimal koloni Staphylococcus sp berdasarkan SNI
adalah 1 x 102. Hasil yang dapat diamati pada media MSA hanya untuk identifikasi
bakteri Staphylococcus sp tanpa dapat mengetahui jumlah koloninya. Identifikasi lebih
lanjut dilakukan dengan pewarnaan gram (Gambar 3B).

A B

Gambar 3. A=Media MSA, B= Pewarnaan Gram Bakteri Staphylococcus aureus(Gram +)

3.1.4. PEMERIKSAN MASTITIS SUB KLINIS

Pemeriksaan mastitits sub klinis dilakukan dengan menggunakan tiga metode


diantaranya adalah metode whiteside, metode IPB 1 dan metode breed. Prinsip pengujian

18
mastitis subklinis menggunakan metode whiteside adalah NaOH yang diberikan akan
menurunkan tegangan permukaan inti sel somatis dan akan bereaksi dengan DNA
membentuk benang-benang halus sampai titik-titik endapan di dasar gelas objek. Pada
pengujian ini tidak terbentuk benang-benang halus atau bisa dikatakan hasilnya negatif.
Selanjutnya dilakukan pengujian kedua yaitu, pengujian menggunakan metode IPB 1.
Hasil yang didapat berbeda dengan metode whiteside dan menunjukan hasil positif
mastitis (+1). Hal ini ditandai dengan terbentuknya lendir ketika susu ditambahkan
reagen IPB 1. Pereaksi IPB 1 akan bereaksi dengan DNA dari inti sel somatis, sehingga
terbentuk masa kental seperti gelatin. Hasil yang sama juga diperoleh ketika dilakukan
pengujian menggunakan metode breed. Pada pengujian metode breed ditemukannya sel-
sel somatis seperti neutrofil, limfosit, monosit dan runtuhan sel epitel. Hasil uji mastitis
metode breed adalah, 152 sel somatis dalam 20 lapang pandang (152/20 x 400.000 =
3.040.000) dan dapat dikatakan positif (+) mastitis subklinis. Mastitis subklinis tidak
menunjukan gejala klinis namun dapat dideteksi pada jumlah sel somatik yang lebih
tinggi dari biasanya. Kambing menderita mastitis subklinis jumlah sel somatik (JSS)
> 1.000.000 sel/ml (McDougal et al., 2002).

Kejadian mastitis subklinis pada kambing tersebut bisa dikaitkan dengan adanya
infeksi dari bakteri gram postif seperti S. aureus. Penelitian yang dilakukan oleh Hall dan
Rycroft (2007) sebanyak 40% S. aureus berhasil diisolasi dari kasus mastitis klinis dan
subklinis pada kambing di negara Inggris. Selain itu, pada pemeriksaan kesegaran susu,
nilai pH lebih tinggi dari kisaran normal (6,3-6,7) yaitu 7. Perubahan pH dan kandungan
elektrolit dalam susu dapat digunakan untuk mendiagnosis mastitis subklinis
(Surdawanto dan Sudarnika, 2008). Pada umumnya pH normal susu segar berkisar 6,3-
6,75, sedangkan pH susu dari penderita mastitis subklinis diatas 6,75 kecuali apabila
ditemukannya S. agalctiae yang menyebabkan pH susu sedikit turun.

19
A B C

Gambar 4. A= Whiteside, B= IPB 1, C= Breed.

3.1.5. PEMERIKSAN RESIDU ANTIBIOTIK PADA SUSU

Hasil pemeriksaan menunujukan bahwa tidak terdapatnya residu antibiotik pada


susu segar tersebut yang ditandai dengan tidak terbentuknya zona bening disekitar
sampel. Susu segar harus memenuhi persyaratan mutu agar dapat dikonsumsi dengan
aman dan dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pengolahan selanjutnya. Salah
satu persyaratan mutu susu segar sebagaimana tertuang dalam SNI 3141.1:2011 yaitu
bahwa dalam kandungan susu tidak boleh terdapat residu antibiotik. Keberadaan
residu antibiotik dalam air susu dapat terjadi karena pengobatan ternak penghasil susu
menggunakan antibiotika. Terapi antibiotik seringkali menjadi pilihan dalam
penanganan atau pengobatan jenis penyakit yang disebabkan karena bakteri.
Perlakuan pengobatan pada ternak penghasil susu yang menggunakan antibiotik
memungkinkan adanya residu antibiotik pada ternak dimana konsentrasi residu
antibiotik tergantung dari jumlah dosis pengobatan.

3.1.6. PENGUJIAN PEMALSUAN SUSU

Pemalsuan susu dengan mencampur susu dengan bahan lain dan cemaran
yang dapat mengkontaminasi susu menyebabkan perlu adanya dilakukan pengujian
pemalsuan susu. Namun pada pengujian tidak diperoleh adanya bahan lain yang
ditambahkan dalam susu. Hasil tersebut diketahui dari Berat Jenis (BJ) susu yang

20
masih dalam kisaran normal SNI 03-3141-1988 =1.0280. Seringkali bahan yang
digunakan dalam pemlasuan susu adalah air dan santan. Apabila susu segar
ditambahkan air maka BJ dari susu akan lebih rendah dari kisaran normal karena BJ
susu dipengaruhi oleh BJ air (1,00). Sedangkan, apabila susu ditambahkan dengan
santan maka BJ susu akan lebih tinggi dari kisaran normal dan akan berbau seperti
santan kelapa dan sedikit amis.

3.2. PEMERIKSAAN TELUR

Tabel 4. Pengukuran Berat Dan Pemeriksaan Organoleptik Telur Utuh

NO JENIS TELUR GAMBAR HASIL


PEMERIKSAAN
1. TELUR AYAM RAS(A) Berat : 59,9
gr
Warna :
coklat terang
Bentuk : oval
Kelicinan : kasar
Kebersihan :
bersih
Keutuhan : utuh
Ukuran kantung
hawa : 0,8 mm
Kerusakan kerabang
: tidak ada
2. TELUR AYAM RAS (B) Berat : 56,3
gr (sedang)
Warna :
coklat
Bentuk : oval

21
Kelicinan : licin
Kebersihan : bersih
Keutuhan : utuh
Ukuran kantung
hawa : 0,5 mm
Kerusakan
kerabang : ada

3. TELUR AYAM KAMPUNG (C) Berat : 35,6


gr (kecil)
Warna : putih
Bentuk : oval
Kelicinan : licin
Kebersihan : bersih
Keutuhan : utuh
Ukuran kantung
hawa : 0,3 mm
Kerusakan kerabang
: tidak ada

4. TELUR AYAM KAMPUNG (D) Berat : 35,1


gr (kecil)
Warna : putih
Bentuk : oval
Kelicinan : licin
Kebersihan : kotor
Keutuhan : utuh
Ukuran kantung
hawa : 0,4 mm
Kerusakan kerabang
: pori-pori lebih

22
besar
 

5. TELUR BEBEK (E) Berat : 68,8


gr
Warna :
coklat
Bentuk : oval
Kelicinan : licin
Kebersihan : kotor
Keutuhan : utuh
Ukuran kantung
hawa : 0,5 mm
Kerusakan kerabang
: tidak ada
6. TELUR BEBEK (F) Berat : 69,9
gr
Warna : putih
Bentuk : oval
Kelicinan : licin
Kebersihan :
bersih
Keutuhan : utuh
Ukuran kantung
hawa : 0,5 mm
Kerusakan kerabang
: tidak ada

Tabel 5. Pemeriksaan Organoleptik Setelah dibuka

NO JENIS TELUR GAMBAR HASIL

23
PEMERIKSAAN
1 TELUR AYAM RAS (A) Kebersihan :
bersih
Kekentalan :
kental
Bau (aroma) :
khas telur
Indeks kuning
telur : 0,36 mm
Indeks albumin
: 0,075
Haugh unit
: 76,65 (AA)

2 TELUR AYAM RAS (B) Kebersihan :


bersih
Kekentalan :
kental
Bau (aroma) :
khas telur
Indeks kuning
telur : 0,34 mm
Indeks albumin
: 0,056 MM
Haugh unit
: 70,04 (A)

24
Kebersihan :
3 TELUR AYAM KAMPUNG bersih
(C) Kekentalan :
encer
Bau (aroma) :
busuk
Indeks kuning
telur : 0,018 mm
Indeks albumin
: 0,008 mm
Haugh unit
: 50,44 (B)

4 TELUR AYAM KAMPUNG Kebersihan :


(D) ada bercak
darah
Kekentalan :
encer
Bau (aroma) :
busuk
Indeks kuning
telur : 0,021 mm
Indeks albumin
: 0,038 mm
Haugh unit
: 62,61 (A)

5 TELUR BEBEK (E) Kebersihan :


bersih
Kekentalan :
kental

25
Bau (aroma) :
khas telur
Indeks kuning
telur : 0,38 mm
Indeks albumin
: 0,086 mm
Haugh unit
: 64,68 (A)

6 TELUR BEBEK (F) Kebersihan :


bersih
Kekentalan :
kental
Bau (aroma) :
khas telur
Indeks kuning
telur : 0,18 mm
Indeks albumin
: 0,049 mm
Haugh unit
: 52,98 (B)

Tabel 6. Perendaman Dengan Air Garam

NO TELUR TENGGELAM TIDAK TENGGELAM


1 TELUR AYAM RAS (A) √
2 TELUR AYAM RAS (B) √
3 TELUR AYAM KAMPUNG (C) √
4 TELUR AYAM KAMPUNG (D) √

26
5 TELUR BEBEK (E) √
6 TELUR BEBEK (F) √

Dalam praktikum ini hanya dilakukan pemeriksaan fisik telur tanpa pemeriksaan
mikrobiologi telur. Pemeriksaan fisik telur dibagi menjadi dua yaitu, pemeriksaan telur utuh dan
pemeriksaan telur setelah dibuka. Pemeriksaan dilakukan secara organoleptik untuk melihat
keutuhan, bentuk, warna, kelicinan, kebersihan kerabang, tinggi dan diameter dari putih telur
(albumin) dan kuning telur (egg yolk) dengan menggunakan panca indra.

Telur merupakan bahan pangan dengan struktur fisik yang khas dan tersusun atas 3 bagian
yaitu, kerabang, kantung udara dan isi yang terdiri dari kuning dan putih telur. Komposisi telur
secara fisik terdiri dari 10% kerabang, 60% putih telur dan 30% kuning telur. Terdapat 4 lapisan
putih telur, yaitu bagian luar cairan (lapisan tipis), bagian viscous cairan (lapisan tebal), bagian
dalam cairan (lapisan tipis) dan bagian lapisan kecil padat mengelilingi membran vitelin kuning
telur disebut Chalaza untuk mempertahankan posisi yolk (Sarwono, 2001). Standar mutu telur
perlu diterapkan dalam pemasaran telur untuk memudahkan konsumen dalam menentukan
pilihan sehingga dapat memberikan kepuasan dan kepastian mutu untuk konsumen. Berdasarkan
SNI 01-3926-2006 telur yang dikonsumsi tidak mengalami proses pendinginan dan tidak
mengalami penanganan pengawetan serta tidak menunjukan tanda-tanda pertumbuhan embrio
yang jelas, kuning telur belum tercampur dengan putih telur, telur utuh dan bersih. Pada
pemeriksaan organoleptik, yaitu pemeriksaan fisik telur yang meliputi pemeriksaan telur utuh
dan pemeriksaan setelah dibuka maka dapat diambil kesimpulan bahwa telur A dan B aman
untuk dikonsumsi, telur C dan D tidak aman untuk dikonsumsi sedangkan untuk telur E dan F
belum bisa dikatakan aman untuk dikonsumsi karena pada perendaman dengan air garam telur
tenggelam yang menandakan bahwa penyimpanan telur tersebut sudah lama. Pori-pori kerabang
telur akan semakin besar sejalan dengan lamanya penyimpanan. Pori-pori yang besar akan
mengakibatkan bakteri lebih mudah masuk ke dalam telur sehingga menurunkan kualits dari
telur tersebut. Oleh karena itu, perlu untuk dilakukan pemeriksaan mikrobiologi telur agar bisa
memastikan kualitas dari sebuah telur.

3.3. PEMERIKSAAN DAGING SAPI


3.3.1. Hasil Pemeriksaan Organoleptik Warna, Bau, Konsistensi dan pH Daging Sapi

27
Sampel daging sapi diperoleh dari tiga lokasi yang berbeda yaitu di pasar Oeba
(Daging A), pasar Impres (Daging B) dan toko daging Aldia (Daging C). Penanganan dalam
penjualan daging dari ketiga tempat tersebut pun berbeda. Pengamatan yang dilakukan
selama observasi yaitu pada pasar Oeba dan pasar Impres adalah kurang baik. Daging sapi
yang dijual disimpan diatas meja tanpa ditutup menggunakan plastik sehingga terdapat lalat
di sekitar daging. Sanitasi lingkungan sekitar area penjualan juga terlihat buruk ditambah
dengan higiene personal yang tidak mendukung kebersihan dari daging. Sedangkan daging
yang dijual di toko Aldia ditutup menggunakan plastik steril dan disimpan di dalam
refrigerator.

Tabel 7. Hasil Pemeriksaan Organoleptik

Parameter Daging A Daging B Daging C


Warna Merah Merah Pucat
Bau Khas Khas Khas
Konsistensi Kenyal Kenyal Kenyal
pH 6 7 5
Daging A = Pasar Oeba, Daging B= Pasar Impres, Daging C= Toko Aldia

Pada pemeriksaan organoleptik warna daging diperoleh merah (daging A dan B) dan
pucat (daging C). Faktor yang mempengaruhi warna daging adalah pakan, spesies, bangsa,
umur, jenis kelamin, tingkat stres (tingkat aktivitas dan tipe otot) pH dan oksigen (Soeparno,
2005). Faktor-faktor ini juga dapat menjadi penentu utama warna daging, yaitu konsentrasi
pigmen dan kadar mioglobin. Menurut SNI 3932:2008 Mutu karkas Daging Sapi, kondisi
fisik daging sapi yang termasuk kategori baik, memiliki warna daging merah terang dan
warna lemak putih. Kandungan pigmen dalam daging sapi muda lebih rendah sehingga
warna daging lebih pucat. Pada umumya makin bertambah umur ternak sapi, konsentrasi
mioglobin makin meningkat walaupun tidak konstan. Bertambahnya tingkat kedewasaan
pada sapi akan menyebabkan perubahan warna daging dari merah muda menjadi merah gelap
(Aberle et al., 2001). Konsistensi dan bau masuk dalam kriteria normal daging sapi secara
fisik. Sedangkan nilai pH daging sapi normal yang baru dipotong berkisar antara 7-7,2 (pH

28
netral) dan akan terus menurun selama 24 jam. Penurunan nilai pH akan terjadi setelah
hewan ternak sapi disembelih (post mortem) yaitu pada saat jantung berhenti memompa
darah, sehingga jaringan otot dan jaringan lainnya tidak lagi mendapat pasokan darah,
akibatnya akan terjadi proses biokimiawi yang kompleks (glikolisis anaerob) pada jaringan-
jaringan tersebut dan selanjutnya asam laktat yang dihasilkan akan terakumulasi di dalam
jaringan. Asam laktat inilah yang akan mengakibatkan penurunan nilai pH jaringan otot. Ada
2 faktor yang mempengaruhi nilai pH daging, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik
antara lain adalah spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas diantara ternak sedangkan
faktor ekstrinsik antara lain adalah temperatur lingkungan, perlakuan adanya bahan tambahan
dan tingkat stres sebelum hewan dipotong dan saat hewan akan dipotong. Dari keseluruhan
sampel daging yang diperoleh, ketiganya memenuhi kriteria baik.

3.3.2. PEMERIKSAAN KUALITAS DAGING SAPI DARI DAYA IKAT AIR

Pemeriksaan daya ikat air dapat dilakukan dengan metode dry loss dan cooking loss. Dry
loss merupakan cairan (eksudat) yang keluar dari daging tanpa aplikasi atau penerapan
tekanan dari luar. Prinsipnya adalah air bebas (free water) akan dilepaskan dari protein otot
sejalan dengan penurunan pH. Jika daya ikat air meningkat maka dry loss menurun, demikian
sebaliknya. Sedangkan cooking loss adalah berat yang hilang akibat pemasakan. Prinsipnya,
selama pemanasan, protein daging akan terdenaturasi dan susunan selulernya akan rusak. Hal
tersebut akan mempengaruhi daya ikat air dalam daging. Air dari daging akan keluar selama
pemanasan. Jika daya ikat air tinggi, maka cooking loss semakin rendah, begitu sebaliknya.
Kisaran normal cooking loss untuk daging adalah berkisar antara 15-40% (Lawrie, 2003).

Tabel 8. Hasil Pemeriksaan Daya Ikat Air Daging Sapi

Jenis Sampel Berat awal (gr) Berat akhir (gr) Presentase (%)
pemeriksaan

Dry loss Daging sapi A 5,1 4,7 7,8%

Daging sapi B 4,9 4,5 8%

Daging sapi C 4,8 4,6 4%

29
Cooking loss Daging sapi A 49,1 29%

Daging sapi B 70 59,2 15,4%

Daging sapi C 51,5 26%

3.3.3. PEMERIKSAAN PENGELUARAN DARAH SEMPURNA DAN AWAL


PEMBUSUKAN DAGING SAPI

Prinsip dasar hewan yang dipotong dengan tidak sempurna akan dijumpai banyak
hemoglobin (Hb) dalam daging. Pada pengujian pengeluaran darah sempurna ditambahkan
H2O2 dan malachite green. Hemoglobin (Hb) akan mengikat O2 (dari H2O2) sehingga
malachite green tidak dioksidasi (tetap berwarna hijau). Sebaliknya, jika tidak ada
Hemoglobin (Hb), maka O2 (dari H2O2) akan mengoksidasi malachite green menjadi warna
biru. Pengeluaran darah yang tidak sempurna mengakibatkan daging cepat membusuk serta
mempengaruhi proses selanjutnya. Pengeluaran darah yang efektif hanya dapat dikeluarkan
50% nya saja dari jumlah total darah (Lawrie, 1995).

Pengujian awal pembusukan dilakukan menggunakan uji eber. Prinsip dasar


pengujian ini adalah gas Nh3 yang dihasilkan pada awal proses pembusukan daging akan
bereaksi dengan HCl yang ditambahkan dan membentuk senyawa NH4Cl (gas) yang terlihat
seperti awan putih pada dinding tabung (Prawesthrini dkk, 2009). Hasil diperoleh adalah
tidak terdapat awan putih pada ketiga dinding tabung reaksi.

3.3.4. PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI DAGING SAPI

Kualitas mikrobiologik pangan dipengaruhi oleh mikroorganisme awal, kondisi


pengolahan dan pencemaran setelah pengolahan. Jumlah dan jenis mikroorganisme
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti:

1. Lingkungan umum tempat pangan tersebut diperoleh

2. Kualitas mikrobiologik bahan baku/segar

30
3. Kondisi sanitasi tempat penanganan, pengolahan dan penyajian

4. Kondisi pengemasan, penyimpanan pangan dan produk olahannya.

Tabel 9. Pemeriksaan Total Plate Count (TPC) Pada Daging Sapi

Keterangan: Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI)
NO 3932:2008
#Pengenceran 107

Tabel 10. Pemeriksaan Koliform Pada Media Violet Red Bile Agar (VRBA)

Keterangan: Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI)
NO 3932:2008
#Pengenceran 107

31
Cemaran mikroba pada daging sapi A, B dan C, diketahui telah melewati ambang
batas maksimum menurut SNI 3932:2008 dalam perhitungan Total plate Count (TPC).
Selanjutnya setelah dilakukan pemeriksaan Koliform menggunakan media VRBA
diketahui bahwa ketiga daging tersebut juga telah melewati ambang batas maksimum
menurut SNI 3932:2008 yaitu 1x101 Cfu/gram. Hal tersebut membuktikan bahwa daging
sapi tersebut telah terkontaminasi bakteri dimulai dari proses pemotongan sampai
dihasilkan karkas di meja jualan. Hasil ini menandakan ketiga bahwa daging sapi tersebut
tidak aman untuk dikonsumsi.

3.4. KARANTINA BANDARA


 Proses Administrasi, Regulasi dan Kegiatan Rutin Yang Dilakukan Di Karantina
Bandara

Karantina adalah tempat pengasingan dan/atau tindakan sebagai upaya


pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit atau organisme pengganggu dari
luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam
wilayah negara Republik Indonesia (UU RI No. 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan,
Ikan dan Tumbuhan). Dasar regulasi yang mengatur tindakan karantina hewan adalah
sebagai berikut :

1. UU RI No. 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan


2. PP RI No. 82 tahun 2000 tentang Karantina Hewan
3. PP RI No. 35 tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Berlaku pada Kementerian Pertanian

 Ruang lingkup pengaturan tentang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan meliputi
(UU RI No. 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan):

1. Persyaratan karantina
 Dilengkapi sertifikat kesehatan dari daerah atau negara asal

32
 Melalui tempat pemasukan dan pengeluaran yang telah ditetapkan
 Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat pemasukan dan
pengeluaran

2. Tindakan karantina
Tindakan karantina berpedoman pada 8p, yaitu:
a) Pemeriksaan
Pemeriksaan merupakan langkah pertama yang dilakukan petugas karantina untuk
mengetahui kelengkapan kebenaran isi dokumen dan mendeteksi hama penyakit
hewan karantina, status kesehatan (KH-11) dan sanitasi pembawa (KH-12) atau
kelayakan sarana prasarana karantina dan alat angkut.
b) Pengasingan
Dilakukan terhadap sebagian besar atau seluruh media pembawa (hewan, produk asal
hewan, hasil produk asal hewan dan benda lain) untuk diadakan pemeriksaan,
pengamatan dan perlakuan, dengan tujuan mencegah kemungkinan penularan hama
penyakit hewan. Lamanya waktu pengasingan sebagaimana dipergunakan sebagai
dasar penetapan masa karantina (terhitung sejak media pembawa diserahkan oleh
pemilik).
c) Pengamatan
Pengamatan dilkukan untuk mendeteksi lebih lanjut hama penyakit hewn karantina
dengan cara mengamati timbulnya gejala hama penyakit hewan karantina pada media
pembawa selama diasingkan.
d) Perlakuan
Perlakuan merupakan tindakan yang dilakukan oleh dokter hewan atau petugas medis
karantina yang diberikan tugas untuk membebaskan dan mensucihamakan media
pembwa dari hama penyakit hewan karantina atau tindakan lain yang bersifat
preventif, kuratif dan promotif
e) Penahanan

33
Penahanan dilakukan apabila media pembawa belum memenuhi persyaratan
karantina.
f) Penolakan
Penolakan dilakukan apabila media pembawa tersebut setelah dilakukan perlakuan,
tetap tidak bisa disembuhkan atau karena tidak melengkapi dokumen dalam jangka
waktu yang telah ditetapkan

g) Pemusnahan
Pemusnahan dilakukan terhadap media pembawa tersebut rusak, busuk atau dilarang
pemasukannya atau bisa juga karena setelah diberi perlakuan dan penolakan, media
pembawa tersebut tidak dapat disembuhkan atau tidak diambil oleh pemilik dalam
masa waktu yang telah ditetapkan oleh karantina.
h) Pembebasan
Tindakan pembebasan diberikan apabila media pembawa tersebut sudah memenuhi
semua persyaratan yang diberikan oleh karantina.

Ketika pengguna jasa ingin menggunakan jasa karantina maka pertama kali
dokumen yang harus diisi adalah KH 1 yang merupakan berita acara serah terima
media pembawa HPHK, dan dokumen karantina kepada petugas karantina di tempat
pemasukan dan/atau tempat pengeluaran. Setelah itu, Kasie Karantina Hewan atas
nama Kepala Balai menerbitkan Surat Tugas (KH-2) yang ditujukan kepada petugas
fungsional yaitu medik veteriner atau paramedik veteriner untuk melakukan tindakan
pemeriksaan. Setelah dilakukan tindakan pemeriksaan, medik dan paramedik
veteriner akan melaporkan hasil pemeriksaannya dalam bentuk KH 3. Apabila media
pembawa dinyatakan baik maka akan dikeluarkan KH 6 (persetujuan muat)
sedangkan apabila media pembawa dinyatakan tidak baik atau tidak memenuhi
persyaratan maka akan dikeluarkan KH 8 (surat perintah penahanan & berita acara).
Pada saat penahanan maka pejabat fungsional yaitu medik dan paramedik veteriner
akan melakukan tindakan karantina berupa perlakuan, dan apabila media pembawa
tersebut tidak sembuh atau tidak memenuhi persyaratan maka akan dikeluarkan KH
9. Setelah melewati batas waktu yang ditetapkan oleh karantina maka akan diberikan

34
KH 10. KH 11/12/13, akan diberikan apabila media pembawa tersebut telah disetujui
untuk dimuat. Tahap terakhir adalah pemberian sertifikat pelepasan karantina hewan
dalam bentuk KH 14.

 Dokumen karantina menurut Permentan RI No. 17 Tahun 2017


 KH-1 : berita acara serah terima media pembawa HPHK, dan dokumen karantina
kepada petugas karantina di tempat pemasukan dan/atautempat pengeluaran.
 KH-2 : surat penugasan
 KH-3 : laporan pelaksanaan tindakan karantina hewan
 KH-4 : penolakan bongkar
 KH-5 : persetujuan bongkar
 KH-6 : persetujuan muat
 KH-7 : surat perintah masuk instalasi karantina hewan
 KH-8 : (a). surat perintah penahanan; (b). Berita acara penahanan
 KH-9 : (a). Surat perintah penolakan; (b). Berita acara penolakan
 KH-10 : (a). Surat perintah pemusnahan; (b). Berita acata pemusnahan
 KH-11 : Sertifikat kesehatan hewan
 KH-12 : Sertifikat sanitasi produk hewan
 KH-13 : Surat keterangan untuk benda lain
 KH-14: Sertifikat pelepasan karantina hewan

3. Kawasan karantina

Kawasan karantina adalah suatu kawasan yang semula diketahui bebas dari hama
dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme
pengganggu tumbuhan karantina dan jika ditemukan atau terdapat petunjuk terjadinya
serangan suatu hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina,
atau organisme pengganggu tumbuhan karantina maka Pemerintah dapat menetapkan
kawasan yang bersangkutan untuk sementara waktu sebagai kawasan karantina

4. Jenis hama dan penyakit, organisme pengganggu, dan media pembawa

35
 Penyakit hewan karantina golongan 1 dan golongan 2 (PP RI No. 82 tahun 2000 tentang
Karantina Hewan)
 Golongan 1 : penyakit hewan karantina yang mempunyai sifat dan potensi penyebaran
penyakit yang serius dan cepat, belum diketahui cara penanganannya, belum terdapat di
suatu area atau wilayah negara Republik Indonesia.
 Golongan 2 : penyakit hewan karantina yang potensi penyebarannya berhubungan erat
dengan lalu lintas media pembawa, sudah diketahui carapenanganannya dan telah
dinyatakan ada di suatu area atau wilayahnegara Republik Indonesia.

Pada saat kegiatan Koasistensi di karantina bandara, petugas karantina dan


mahasiswa koas mendatangi tempat pemeriksaan yaitu bandara Eltari Kupang untuk
melakukan tindakan karantina meliputi 8p. Kegiatan yang dilakukan yaitu melakukan
pemeriksaan kesesuaian dokumen dengan media pembawa berupa DOC, ayam bangkok,
dan burung pipit.

3.5. BALAI BESAR KARANTINA PERTANIAN KELAS 1 KUPANG

Tindakan-tindakan yang dilakukan di Balai Karantina Pertanian kelas 1 Kupang


sama dengan yang dilakukan di Karantina bandara karena umumnya Karantina di seluruh
Indonesia dibawah pengayoman Menteri Pertanian RI dan diatur menggunakan regulasi
yang sama yaitu PERMENTAN NO. 17 Tahun 2017. Hal lain yang dilakukan selama
kegiatan Koasistensi di Karantina Pertanian kelas 1 Kupang adalah pengambilan darah
sapi. Pengambilan darah bertujuan untuk melakukan pemeriksaan Brucellosis. Daerah
tujuan pengiriman Kalimantan, merupakan daerah dengan status bebas Brucellosis
sehingga perlu dilakukan 100% pengambilan sampel, sedangkan untuk daerah lain seperti
jakarta hanya berdasarkan sampling. Setelah pengambilan darah, maka akan langsung
diperiksa di Laboraturium yang ada di Karantina menggunakan uji RBT. Apabila
hasilnya menunjukkan negatif maka hewan bisa diberangkatkan, sedangkan apabila
hasilnya positif maka akan dilakukan penolakan dari Karantina.

3.6. STASIUN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN


HASIL PERIKANAN

36
 Dasar Regulasi yang mengatur :
 PP RI No. 15 tahun 2002 tentang Karantina Ikan
 PP RI No. 75 tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan

 Prosedur Tindakan Karantina Ikan untuk Pemasukan dan Pengeluaran Media


Pembawa HPI/HPIK dan mekanisme pengelolahan dan pengujian sampel.
Tindakan SOP yang dilakukan di Karantina Ikan sama halnya dengan tindakan-tindakan
yang dilakukan di Karantina Bandara dan Karantina Pertanian Kelas 1 Kupang. Yang
membedakan adalah karantina ikan di bawah pengayoman Menteri Kelautan dan
Perikanan.

 Tindakan Laboratorium
Pengujian sampel ikan menggunakan media Plate Count Agar (PCA) merupakan
tindakan laboratorium yang dilakukan selama melakukan kegiatan koasistensi. Hal ini
dikarenakan waktu Koasistensi yang cukup minim yaitu 1 hari di Karantina Ikan. Setelah
penanaman bakteri pada media PCA maka di inkubasi pada inkubator selama 24-48 jam.

3.7. DINAS PERTANIAN KOTA KUPANG DAN UPTD KESMAVET


 Susunan struktural dinas yang langsung membawahi bidang kesehatan hewan (peraturan
walikota kupang no. 53 tahun 2016)

37
 Mekanisme Pelaksanaan Program Surveilence Penyakit
a) Pengambilan Sampel : sampel yang diambil dalam pelaksaan surveilence adalah sampel
darah (Hog Cholera, Septicaemia Epizootica, Newcastle disease) dan sampel feses untuk
pemeriksaan telur cacing.
b) Koleksi Sampel : disesuaikan dengan jenis hewan serta jenis penyakit yang ingin
dikonfirmasi dari sampel tersebut, diantaranya :
• Babi : pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan infeksi hog cholera serta
pengukuran titer antibodi hog cholera pasca vaksinasi
• Sapi : pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan infeksi Septicaemia Epizootica serta
pengukuran titer antibodi pasca vaksinasi
• Ayam : pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan titer antibodi pasca vaksinasi ND.
c) Pengkodean sampel
Pengkodean sampel dilakukan untuk memberikan identitas pada sampel yang
telah dikoleksi untuk selanjutnya diperiksa di laboraturium.

38
d) Pengemasan sampel
e) Sampel yang telah dikoleksi biasanya langsung dikirimkan ke laboratorium UPT
Veteriner untuk diperiksa

 Mekanisme pelaksanaan program penanggulangan wabah penyakit hewan dan


program vaksinasi rutin untuk berbagai penyakit

 Standar Operasional Prosedur (SOP) Vaksinasi rutin dan administrasi tentang program
penanggulangan wabah penyakit di Dinas Pertanian Kota Kupang sesuai dengan
Peraturan Daerah Kota Kupang No. 17 Tahun 2002 tentang pelayanan Kesehatan Hewan
adalah sebagai berikut :

1. Pemohon melapor ke Dinas atau Pemohon melapor ke Puskeswan secara lisan/tertulis.

2. Poskeswan melapor ke Dinas secara lisan/tertulis.

3. Pemohon diarahkan ke Bidang Veteriner.

4. Bidang Veteriner Sub bidang Keswan akan melakukan pencatatan laporan kasus
penyakit atau permintaan pelayanan kesehatan hewan

5. Petugas dari bidang Veteriner Sub bidang Keswan akan melaksanakan pelayanan sesuai
laporan kasus di lapangan atau permintaan pelayanan

6. Pemohon membayar biaya pelayanan sesuai PERDA No. 17 Tahun 2002 yang
dilampirkan dalam bentuk kwitansi pembayaran.

 Mekanisme administrasi perijinan pengiriman dan pemasukan hewan dan produk


asal hewan dari wilayah Kota Kupang ke luar Kota Kupang ataupun sebaliknya

39
 SK Walikota Kupang No. 16/KEP/HK/2008 tentang Ijin Pemasukan dan Pengeluaran
Ternak, Pakan Ternak, Hasil Ternak serta hasil ikutannya. Uraian kegiatan/alur yang akan
dilalui adalah sebagai berikut :

1) Pengajuan permohonan kepada Kepala Dinas dengan kelengkapan surat permohonan dan
fotokopi KTP.

2) Kepala Dinas mendisposisikan permohonan ke Bidang Veteriner dengan pas foto

3) a). Kepala Bidang Veteriner mendisposisikan ke Sub bidang P2HP yang menangani :

 Rekomendasi Pemasukan dan Pengeluaran Produk Hewan (Telur, Daging, Susu, Kulit,
Tulang, Tanduk)

 Surat Keterangan Kelayakan Pengolahan (SKKP/SKP) Bidang Peternakan

b). Kepala Bidang Veteriner mendisposisikan ke Sub bidang kesehatan hewan yang
menangani :

 Mengurus surat ijin pemasukan dan pengeluaran ternak. Perlu dilengkapi dengan daftar
distribusi DOC, SKS dari daerah asal dan buku vaksin khusus anjing dan kucing.

4) a). Melakukan identifikasi dan Pemeriksaan Produk asal hewan sesuai syarat teknis oleh
Sub bidang P2HP.

b). Dilakukan penanganan sertifikat sehat oleh Sub bidang Keswan sesuai dengan
permohonan yang diajukan. Hasilnya dalam bentuk analisa kelayakan

5) Proses Surat Keterangan /ijin/Rekomendasi sesuai permohonan oleh Sub bidang P2HP
dan Sub bidang Keswan

6) Penyerahan Surat Keterangan /ijin/Rekomendasi kepada pemohon.

7) Penyelesaian administrasi sesuai PERWALI No. 61/KEP/HK / 2008 ke Bendahara


penerima/penyetor.

 Mekanisme Pengurusan IJIN USAHA DEPO DAGING, KIOS DAGING, TPH,


RPU DAN PENJUAL DAGING KELILING Depo Obat,oko Obat, Praktik Dokter

40
Hewan, , Klinik Hewan Dan Lab. Keswan Sesuai Dengan Perda No 16 Tahun 2002
Mengenai Ijin Usaha Sarana Kesehatan Hewan)

1) Pemohon mengajukan permohonan ke Kepala Dinas

2) Kepala Dinas mendisposisikan permohonan ke Bidang Veteriner perlu dilengkapi


dengan Fotocopy KTP

3) a). Kepala Bidang Veteriner mendisposisikan ke seksi Kesehatan Hewan yang


menangani :

 Depo Obat.

 Toko Obat.

 Praktik Dokter Hewan,.

 Klinik Hewan dan Lab. Keswan

 Dilengkapi dengan :Pas Foto, Dokter Hewan Pengawas, Dokumen Perusahaan.

b). Kepala Bidang Veteriner mendisposisikan ke seksi Kesmavet yang menangani :

 Depo Daging,

 Kios Daging.

 TPH, RPU dan Penjual Daging Keliling

 Dilengkapi dengan : Pas Foto, Dokter Hewan Pengawas , Dokumen Perusahaan

4) Petugas dari bidang Veteriner Sub bidang Keswan dan Sub bidang Kesmavet melakukan
identifikasi tempat usaha persyaratan sesuai permohonan.

5) Proses sertifikat / ijin sesuai permohonan oleh Sub bidang Keswan dan Sub bidang
Kesmavet

6) Penyerahan sertifikat / ijin kepada pemohon

41
7) Penyelesaian administrasi sesuai PERDA No. 16 tahun 2002 ke bendahara penyetor.

Gambar 5. Pemeriksaan kelayakan tempat penjualan daging di Kota Kupang

Gambar 6. Pelayanan kesehatan hewan (pemberian vitamin)

3.7.1. RUMAH POTONG HEWAN (RPH)

42
Undang- undang No. 18 Tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan
hewan RPH mengamanatkan bahwa setiap Kabupaten/Kota harus mempunyai RPH
yang memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan oleh menteri pertanian.

Keputusan Menteri Pertanian No. 13 Tahun 2010 ttg persyaratan Rumah Potong
Hewan ruminansia dan unit penanganan daging (meat cutting plan). Menurut
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
13/Permentan/OT.140/1/2010 BAB 1 pasal 1 Rumah Potong Hewan adalah suatu
bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang
digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum.

 SOP di RPH Oeba Kota Kupang, UPTD KESMAVET Dinas Pertanian Kota
Kupang
1. Pemasukan ternak beserta Surat mutasi ternak, pemeriksaan kelengkapan
administrasi Kasubag Tata Usaha, diketahui kepala UPT Kesmavet oleh pemohon
yang dilengkapi dengan Fotocopy KTP.
2. Pengistirahatan ternak (1x24 jam) dan pencatatan ternak masuk.
3. Pemeriksaan ternak sebelum dipotong (antemortem) oleh dokter hewan
4. Penyelesaian pembayaran dilakukan setelah pemeriksaan oleh juru pungut
5. Juru pungut melakukan penyetoran kepada bendahara penerima
6. Pemotongan ternak oleh juru sembelih
7. Pemeriksaan ternak setelah dipotong (postmortem) oleh dokter hewan.
8. Penerimaan produk

Pemotongan adalah kegiatan untuk menghasilkan daging hewan yang terdiri


dari pemeriksaan ante-mortem, penyembelihan, penyelesaian penyembelihan, dan
pemeriksaan post-mortem. Pemeriksaan antemortem secara umum mencakup keadaaan
gizi, sikap jalan, pandangan, kulit, organ pencernaan, organ pernapasan, sirkulasi
darah, dan selaput lendir. Ternak diperiksa pada Pukul 10.00-14.00 WITA.
Pemeriksaan yang dilakukan yaitu Memeriksa mukosa dari hidung (kering/lembab),
mata (pucat/tidak pucat/terdapat parasit cacing). Memeriksa status reproduksi ternak
(bunting/tidak bunting) dan Pemeriksaan gigi untuk menentukan umur sapi. Undang-

43
Undang No, 41 Tahun 2014 pasal 18 ayat 4 tentang kesehatan peternak dan kesehatan
hewan yaitu “setiap orang dilarang menyembelih ternak ruminansia kecil/besar yang
merupakan betina produktif”.

Hasil pemeriksaan antemortem pada sapi dan babi kebanyakan dalam keadaan
sehat dan tidak menunjukkan gejala klinis penyakit zoonosis tetapi ada beberapa yang
ditemukannya cacing thaelazia pada mata, luka pada bagian kepala dan abdomen, tidak
mampu untuk berdiri dan mengalami kepincangan. Adapun pada kondisi ini, ternak
sapi dan babi masih dapat dipotong yang didukung oleh Kartasudjana (2011)
menyatakan bagi ternak yang patah tulang atau tidak mampu berdiri dapat dilakukan
pemotongan darurat sedangkan bagi ternak-ternak yang menunjukkan gejala klinis
penyakit harus dibawah pengawasan, pemeriksaan dan penilaian dokter hewan terhadap
kelayakan untuk dipotong.

Pemeriksaan postmortem dilakukan pada pukul 02.00-06.00 WITA.


Pemeriksaan postmortem meliputi, organ hati, limpa, paru-paru, jantung, usus, dan
lidah. Hasil pemeriksaan postmortem tidak menunjukkan adanya kelainan ataupun
adanya parasit cacing.

A B C

Gambar 7. A= Pemeriksaan Kebuntingan, B= Pemeriksaan suhu, C= Pemeriksaan umur


sapi

44
Tabel. 11 Syarat Pemotongan Hewan

45
A B C

Gambar 8. A= pemeriksaan organ jantung, B= limpa, C= Paru-paru

 Kendala yang dijumpai di RPH

 Antemortem :

1. tidak adanya petugas yang melarang agar ternak sapi betina produktif jangan dipotong.

2. Tidak diijinkan untuk melakukan pemeriksaan kebuntingan oleh pengguna jasa.

3. Betina bunting masih dipotong

4. Hewan ada yang tidak diistirahatkan 24 jam.

 Postmortem :

1. Organ tidak bisa disayat.

2. Tidak semua organ diperoleh untuk diperiksa.

3. Setelah dipotong daging dibiarkan/ditumpuk dilantai yang kotor.

4. Penggunaan sumber air yang tidak bersih.

5. Tidak dilakukan pemeriksaan post mortem oleh dokter hewan.

46
 Persyaratan teknis Rumah Potong Hewan (RPH)

Proses pembangunan RPH juga harus memenuhi syarat-syarat yg telah dijelaskan


pemerintah dalam Peratuan Menteri Pertanian RI Nomor 13/Permentan/Ot.140/1/2010
Tentang Persyaratan Rumah Pemotongan Hewan Ruminansia Dan Unit Penanganan
Daging, hal itu dapat dijelaskan dalm pasal 5,6,7,8, dan 9.

Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat 1 meliputi :

1. Lokasi

2. Sarana pendukung

3. Kontruksi dasar dan desain bangunan

4. Peralatan.

Tabel 12. Persyaratan Lokasi Rumah Potong Hewan (RPH)

Persyaratan Lokasi (Pasal 6) RPH Oeba


Tidak berada di daerah rawan banjir, tercemar RPH Oeba berada di daerah Rawan Tsunami
asap, bau debu dan kontaminan lainnya
Tidak menimbulkan gangguan dan pencemaran Menimbulkan gangguan dan pencemaran
lingkungan lingkungan karena lokasi berdekatan dengan
rumah warga
Letaknya lebih rendah dari pemukiman Tidak
Mempunyai akses air bersih yang cukup untuk Akses air bersih yang buruk untuk
pelaksanaan pemotongan hewan dan kegiatan pelaksanaan pemotongan hewan, sanitasi
pembersihan serta desinfeksi airnya buruk serta kegiatanpembersihan
menggunnakan desinfeksi tidak diterapkan
Tidak berada di industri logam dan kimia √
Mempunyai lahan yang cukup untuk Tidak cukup

47
pengembangan RPH
Terpisah secara fisik daei lokasi kompleks RPH Terpisah secara fisik tetapi celah berupa pintu
babi atau dibatasi dengan pagar tembok dengan
tinggi minimal 3 meter untuk mencegah lalu
lintas orang alat dan produk antar rumah
potong

Tabel 13. Persyaratan Sarana Rumah Potong Hewan (RPH)

Persyaratan Sarana Pendukung (Pasal 7) RPH Oeba


Akses jalan baik menuju RPH yang dapat Akses jalan sudah baik, tetapi jalan masuk
dilalui kendaran pengangkut hewan potong kendaraan dan keluarnya karkas masih sama
dan daging
Sumber air yang memenuhi persyaratan baku Sumber air menggunakan mata air di dekat RPH
mutu air bersih dalam jumlah cukup paling dengan tingkat sanitasi yang buruk
kurang 1000 liter/ekor/hari
Sumber tenaga listrik yang cukup dan Sumber tenaga listrik baik
tersedia terus menerus
Fasilitas penanganan limbah padat dan cair Digabung dalam kolam penampungan

Tabel 14. Persyaratan Tata Letak, Desain dan Kontruksi Rumah Potong Hewan (RPH)

Persyaratan Tata Letak, Desain dan RPH Oeba


Kontruksi (Pasal 8)
Bangunan utama Ada bangunan namun tidak layak untuk
digunakan lagi
Ares penurunan hewan (unloading), kandang Area penurunan ada dan kandang penampungan
penampungan sapi/kandang istirahat yang berair dan tidak memiliki pembatas
sehingga sapi berdesak-desakan
kandang penampungan sapi/kandang istirahat Digabung dengan sapi lainnya
khusus ruminansia
Kandang isolasi Tidak ada

48
Ruang pelayuan berpendingin Tidak ada
Ares pemuatan karkas/daging Tidak ada
Kantor administrasi dan kantor dokter hewan Kantor adminstrasi dan kantor dokter hewan
digabung
Kantin dan mushola Kantin da tetapi mushola tidak ada
Ruang istirahat karyawan dan tempat Digabung dengan kantor administrasi dan kantor
penyimpanan barang pribadi (locker)/ ruang dokter hewan
ganti pakaian.
Kamar mandi dan WC Ada tetapi kondisinya tidak layak dgunakan
Fasilitas pemusnahan bangkai dan atau Tidak ada
produk yang tidak dapat dimanfaatkan
Sarana penanganan limbah dan rumah jaga Hanya dibuat semacam kolam, dan saluran
pembuangannya menuju ke laut

 Tipe-Tipe RPH

1) Tipe D yaitu rumah potong hewan yang ada di kecamatan dan produk hasil potongannya
hanya boleh beredar di daerah tersebut
2) Tipe C yaitu rumah potong yang telah memenuhi persyaratan ruangan dan jumlah ternak
yang disembelih berkisar antara 5-15 ekor sapi dan produk hasil potongannyadapat
dikonsumsi dan diedarkan dalam wilayah Kabupaten.
3) Tipe B, rumah potong yang telah memenuhi persyaratan di atas rumah potong hewan tipe
C, ditambah telah mempunyai ruangan pendingin dan mempunyai armada pengangkatan
daging dingin/beku (refrigerator truck). Produk pemotongan RPH dapat diedarkan
antarpropinsi dalam negara.
4) Tipe A, yaitu rumah potong hewan telah memenuhi persyaratan tipe B ditambah dengan
tersedianya laboraturium dan tenaga ahli yang dapat merekomendasikan bahwa daging
yang dihasilkan bebas dari residu, antibiotik, hormon, logam berat, insektisida dan residu

49
bahan-bahan radiasi ataupun radioaktif lainnya. Daging yang dihasilkan RPH tipe A
dapat dikirim atau beredar anttar negara (ekspor).

BAB IV
PENUTUP

4.1. KESIMPULAN

Selama proses kegiatan Koasistensi yang berlangsung enam minggu, kompetensi-

kompetensi yang ingin dicapai di enam tempat berbeda yaitu, di Laboratorium Kesehatan

Masyarakat Veteriner FKH Undana, Stasiun Karantina Bandara Eltari, Balai Besar Karantina

Pertanian Kelas 1 Kupang, Stasiun Karantina Ikan Kelas 1 Kupang Penjaminan Mutu dan

Keamanan Hasil Ikan dan Dinas Pertanian oleh praktikan telah dicapai. Kompetensi berupa

menganalisa dan mengevaluasi setiap kegiatan dalam proses pembelajaran akan sangat

50
berguna ketika menjadi dokter hewan nanti. Kesempatan seperti ini sangatlah berguna dalam

dunia kedokteran hewan karena praktikan bisa membandingkan apa yang ada di teori dan

yang terjadi di lapangan. Begitupun sebaliknya, apa yang tidak ada di teori bisa praktikan

temui di lapangan. Kolaborasi semua pihak yang terlibat di dalam dunia kesehatan hewan

maupun manusia sangat diperlukan baik itu dalam tindakan pencegahan, pengendalian dan

pengobatan penyakit penyakit yang bersifat zoonosis.

DAFTAR PUSTAKA

Aberle, H.B., Forrest, J.C., Hendrick, E.D., Judge, M.D. and Merkel, R.A. 2001. Principle of
meat Science. 4th edit. Kenda/Hunt Publishing. Lowa.

Abubakar, Budi. A Dan Harsono, A. 1998. Pengaruh Suhu Dan Macam Suhu Terhadap mutu
Yoghurt Selama Penyimpanan. Hal 755-760. Dalam Prosiding Seminar Nasional
Peternakan Dan Veteriner. Bogor

Buckle. K.A, Edwards. R. A, Fleet. G. H, Wootton. M. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.

Hall S. M, Rycroft. A.N, 2007. Causative Organisms And Somatic Cell Counts In Subclinical
Intramammary Infections In Milking Goats In The UK. Vet. Record. 160:19-22

Mcdougal S, Penkey W, Delaney C, Barlow J, Patricia A.M Scrton D. 2002. Prevelence And
Incidence Of Subclinical Mastitis In Goats And Dairy Ewes In Vermont USA. Small
Rumin E. 46;115-121

51
Lawrie, R.A 1991. Meat Science 4th ed. Pergamon Press, Oxford

Lawrie, R.A 1995. Ilmu Daging. Edisi ke 5. Terjemahan Aminudin Parakasi. UI Press. Jakarta.

Prawesthrini, S., Siswanto, H.P, Estoepangestie, A.T.S., Effendi, M.H., Harijani, N., de Vries,
G.C., Budiarto, dan Sabdoningrum, E.K. 2009. Analisa Kualitas Susu, Daging dan Telur.
Cetakan ke 5. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala

Sarwono, B. 2001. Pengawetan dan Pemanfaatan Telur. Penebar Swadaya. Jakarta

SNI. 1998. Metode pengujian susu segar. SNI 03-3141-1988. Badan Standarisasi Nasional.
Jakarta.

SNI. 2011. Metode pengujian susu segar. SNI 314.1:2011 Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

SNI. 2006. Metode pengujian telur. SNI 01-3926-2006. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

SNI. 2008. Metode pengujian telur. SNI 3932:2008. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Sudarwanto, M. dan Sudarmika, E. 2008. Hubungan Antara pH Susu dengan Jumlah Sel Somatik
Sebagai Parameter Mastitis Subklinik. Media Peternakan. Hal. 107-113

Sulmiyati, Ali. N, Marsudi. 2016. Kajian Kualitas Susu Kambing Peranakan Ettawa Dengan
Metode Pastreurisasi Yang Berbeda. JITPP Vol 4:3

52

Anda mungkin juga menyukai