Laporan Koasistensi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Laporan Koasistensi Kesehatan Masyarakat Veteriner
PENDAHULUAN
1.2. TUJUAN
Tujuan dilakukan semua kegiatan ini adalah untuk mencapai kompetensi berupa
pencegahan penyakit, perlindungan kehidupan dan peningkatan kesejahteraan manusia. Hal
yang sama juga bisa menjadi bekal sebagai dokter hewan di masa mendatang.
1
BAB II
MATERI DAN METODE
MATERI
METODE
o UJI ORGANOLEPTIK DAN UJI KESEGARAN SUSU
Dimasukan 3 ml sampel susu ke dalam tabung reaksi, kemudian diamati
warna susu, bau, rasa, konsistensi.
Selanjutnya panaskan susu tersebut sampai mendidih dan dilakukan lagi uji
bau dan uji rasa dari susu
2
Dilakukan uji didih dengan memasukan 3 ml sampel susu lalu dididihkan
kemudian dinginkan lalu amati adanya endapan, gumpalan ataupun butiran-
butiran halus pada dinding tabung
Dilakukan uji alkohol dengan mencampurkan 3 ml sampel susu dan 3 ml
alkohol, kemudian amati terbentuknya presipitasi di dinding tabung
Dilakukan uji derajat keasaman dengan mengambil sampel susu lalu
dicelupkan kertas pH lalu dibaca nilai pH
o PENGUJIAN MIKROBIOLOGI SUSU
Uji Cemaran Staphylococcus Pada Susu Segar
Preparasi media Manitol Salt Agar (108 gr/ 1000 ml)
108 gr/1000 ml x 40 ml = 4,32
Media dihomogenkan dengan 40 ml aquades, dimasak lalu disterilisasi
menggunakan autoclave
Penanaman pada media MSA dilakukan dengan memasukan 0.1 ml susu ke
dalam cawan petri steril lalu disebar menggunakan batang L diseluruh
permukaan media
Media diinkubasi pada suhu 37 °C
Setelah diinkubasi, diambil bakteri dari koloni terpisah untuk dilakukan
pewarnaan gram
o PEMERIKSAAN MASTITIS SUBKLINIS
Metode Breed
Disiapkan objek glass yang dilapisi alumunium foild berukuran 1x1 cm
Ditetes 0,1 ml sampel susu, dikeringkan lalu direndam pada alkohol 96%
dibiarkan selama 2 menit
Ditetesi metilen blue loffler, dikeringkan kemudian biarkan selama 1 menit
Diamati di bawah mikroskop dan dihitung jumlah sel somatis dengan melihat
20 lapang pandang lalu hasil dijumlah dan diratakan kemudian di kali dengan
400.000
Metode Whiteside test
Objek glass disiapkan lalu tetesi sampel susu sebanyak 5 tetes
3
Ditetesi NaOH 1 tetes lalu homogenkan menggunakan tusuk gigi
Dilihat adanya benang-benang halus dan masa yang mengental ketika susu
dan NaOH dicampurkan. Jika terbentuk benang-benang halus atau ada masa
yang mengental maka positif mastitis. Pengamatan dilakukan jangan lebih
dari 30 detik setelah ke dua bahan dicampurkan
Metode IPB 1
Dimasukkan 5 ml sampel susu ke dalam paddle kemudian tambahkan 5 ml
reagen IPB 1, homogenkan dan lihat hasil. Jika hasil +1 sedikit lendir, +2
cukup lendir, +3 banyak lendir dan +4 sangat kental
Adanya lendir (+) mastitis
Jika positif maka akan terbentuk kekentalan susu karena reagen IPB-1 bekerja
pada DNA inti sel somatis sehingga terbentuk massa seperti gelatin.
Pengamatan dilakukan jangan lebih dari 30 detik setelah ke dua bahan
dicampurkan.
o PENGUJIAN RESIDU ANTIBIOTIK DALAM SUSU
Koloni dari biakan murni bakteri patogen dimasukkan ke dalam cawan petri
steril sebanyak 1 ml lalu ditambahkan 15-20 ml media Nutrien Agar kemudian
dihomogenkan dengan memutar cawan membentuk angka 8
Diinkubasi pada suhu ruangan hingga media memadat
Plate dibagi menjadi 3 bagian lalu diletakan masing-masing 1 cakram pada
setiap bagian media (2 cakram blank dan 1 cakram antibiotik)
Sebanyak 0,01 ml sampel susu kambing segar (sampel), 0,01 ml aquades
(kontrol -), dan cakram antibiotik (kontrol +), cawan lalu diinkubasi pada suhu
37 °C
o PENGUJIAN PEMALSUAN SUSU
Penambahan Santan dan Air
Diambil 50 ml susu dicampurkan dengan santan 50 ml dimasukkan dalam gelas
ukur
Diambil 50 ml susu dicampurkan dengan air 50 ml dimasukkan dalam gelas
ukur
4
Laktodensimeter dimasukkan dalam gelas ukur kemudian diamati
Ambil satu tetes, letakan pada objek glass dan diamati di bawah mikroskop
MATERI
- Telur - Spidol
- Candler - Pengukur kantung hawa
- Aquades - Gelas ukur
- Garam - Timbangan digital
- Alkohol 70% - Jangka sorong
- Tusuk gigi - Penggaris/mistar
METODE
o PENGUJIAN KUALITAS TELUR UTUH
5
a
Dilakukan pengukuran tinggi dan diameter kuning telur dengan rumus (a=
b
tinggi kuning telur, b=diameter kuning telur)
a
Dilakukan pengukuran tinggi dan diameter albumin dengan rumus (a=
b
tinggi albumin, b=diameter rata-rata (b1+b2/2) dari albumin)
Dilakukan perhitungan Haugh Unit dengan menggunakan rumus 100 log (H
+7,57-1,7W0,37) (H= tinggi albumin, W= bobot telur).
MATERI
METODE
o PENGUJIAN SENSORIK DAGING SAPI
Uji warna
Daging diletakan pada cawan petri, diamati warna daging normal untuk
daging ayam warna putih pucat, daging babi warna merah muda, dan daging
sapi warna merah terang.
6
Uji bau
Daging diletakan pada cawan petri, dibaui bau dari daging yaitu bau khas
daging sedangkan jika berbau amis atau asam daging sudah mulai rusak.
Uji konsistensi
7
Ditimbang daging 70-100 gram, masukan kedalam kantung dan hilangkan
udara di dalam plastik
Dipanaskan air (75 ºC) kantong plastik berisi daging dimasukan dalam air
panas dan didiamkan selama 50 menit
Setelah 50 menit diangkat dan kantong plastic berisi daging dialirkan air
selama 40 menit
Daging dikeluarkan dan dikeringkan menggunakan tissue secara perlahan-
lahan (jangan ditekan) kemudian daging ditimbang
a−b
Cooking loss (%) = x 100 % (a=Berat awal, b=Berat akhir)
a
8
PENGUJIAN MIKROBIOLOGI DAGING SAPI
Dilakukan persiapan contoh sampel yang akan diuji, dipotong kecil-kecil
secara aseptik menggunakan gunting dan dan pinset
Dilakukan penimbangan daging ditambah larutan Buffered Peptone Water
selanjutnya dihomogenkan (menjadi 10-1)
Diencerkan dengan pengenceran kelipatan 10 sehingga terbentuk suatu
deret enceran , 10-2 sampai 10-9 (dilakukan dengan pipet steril)
Diambil 1 ml dari pengenceran 10-7, 10-8 dan 10-9 masukan kedalam 3
cawan petri yang berbeda
Tambahkan 15-20 ml Plate Count Agar, lalu dihomogenkan secara
perlahan (perhatikan cairan agar jangan keluar dari cawan petri)
Setelah media agar memadat diinkubasi pada suhu 37o C selam 24-48 jam.
Pilih cawan petri yang jumlah angka koloninya 25-250
Dilakukan perhitungan rata-rata yang merupakan jumlah kuman per gram
(CFU/gram)
PENGUJIAN Violet Red Bile Agar (VRBA)
Dilakukan persiapan contoh sampel yang akan diuji, dipotong kecil-kecil
secara aseptik menggunakan gunting dan pinset.
Dilakukan penimbangan daging ditambah larutan BPW selanjutnya
dihomogenkan
Diencerkan dengan pengenceran kelipatan sepuluh sehingga terbentuk
suatu deret enceran 10-1(dilakukan dengan pipet steril).
Dilakukan penimbangan media VRBA lalu dimasukkan ke dalam tabung
durham, tambahkan aquades dan media dimasak. Media yang telah
dimasak didinginkan
Ambil 1 ml dari larutan pengencer 10-6, 10-7, 10-8 dimasukan ke dalam
cawan petri dan tambahkan media VRBA yang telah dingin tersebut
sampai 20 ml. Diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24-48 jam.
9
2.4. KARANTINA BANDARA
10
Pemeriksaan Rose Bengal Tes (RBT) :
1. Siapkan alat dan bahan yang dibutuhkan
2. Diambil sampel serum menggunakan mikropipet dan ditetesi pada papan poselen
3. Ditetsi antigen brucella diatas sampel serum
4. Kemudian homogenkan menggunakan tusuk gigi
5. Papan porselen lalu digoyangkan selama 4 menit
6. Diamati hasil yang diperoleh yaitu terbentuknya aglutinasi atau tidak
11
Melakukan Wawancara
Wawancara di lakukan di kantor maupun di lapangan dengan drh atau petugas
yang berdinas untuk mengetahui proses administrasi, regulasi dan kegiatan rutin yang
dilakukan. Selain itu, wawancara juga dilakukan dengan para peternak yang mengikuti
kegiatan pelayanan dari dinas.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bangunan : 1 kandang
Lokasi : Pemeliharaan dilakukan di sekitar pekarangan rumah
Sumber air : Sumur
Pakan : Lamtoro dan gamal
Pekerja/karyawan : higiene personal rendah
Sistem Pemeriksaan kesehatan rutin : Tidak dilakukan
12
Gambar 1. Observasi peternakan rakyat desa Noelbaki
1. Warna Putih √
Putih kekuningan
Putih kecokelatan(cream)
13
Putih kebiruan
Khas susu √
Sekitar lingkungan
+ bahan tambahan
Tawar
14
Warna putih disebabkan karena kandungan kasein dan kalsium fosfat yang merupakan
dispersi koloid sehingga tidak tembus cahaya, sedangkan warna kekuningan disebabkan
oleh kandungan lemak dalam susu, terutama dipengaruhi oleh zat-zat terlarut dalam
lemak seperti karoten yang berasal dari pakan ternak (Buckle et al., 1987). Pada
pengujian organoleptik, warna susu yang tampak adalah putih. Warna susu dapat
berubah, hal ini tergantung dari bangsa ternak, jenis pakan, jumlah lemak, bahan padat
dan bahan pembentuk warna. Warna air susu berkisar dari putih kebiruan hingga kuning
keemasan dan warna susu normal pada kambing adalah putih.
Bau aromatis khas susu disebabkan oleh adanya perombakan protein menjadi
asam-asam amino. Selain itu, sebelum dimasak, susu memiliki bau lingkungan. Bau ini
disebabkan karena adanya sifat lemak air susu yang mudah menyerap bau disekitarnya.
Susu mempunyai rasa normal (khas), agak sedikit manis karena terdapat kandungan
laktosa (Buckle et al., 1987) yang merupakan satu-satunya karbohidrat yang terkandung
dalam susu. Laktosa adalah disakarida yang tersusun dari 1 molekul glukosa dan 1
molekul galaktosa. Pengujian rasa dilakukan dengan memanaskan susu, dan jika laktosa
dalam susu mengalami pemansan akan menjadi laktulosa yang mudah larut, dengan rasa
tinkat kemanisan 1/2 - 1/6 kali glukosa. Perubahan rasa dan aroma terjadi pada
penyimpanan lebih dari 21 jam, hal ini disebabkan oleh bertambahnya jumlah kuman
susu dengan bertambahnya masa simpan (Abubakar et al.,2001).
Gumpalan banyak
15
2. Uji alkohol Terbetuk presipitasi √
3. Uji pH <7,0
=7,0 √
>7,0
Uji didih
Pada uji didih, tidak terjadi gumpalan dan ini menunjukan bahwa susu
tersebut dalam keadaan murni tanpa adanya zat-zat tambahan dan tidak bersifat
asam. Susu yang tidak baik (misalnya susu asam) akan pecah atau menggumpal
bila dimasak sampai mendidih karena kestabilan kaseinnya berkurang.
Koagulasi kasein (kandungan kasein di dalam protein susu 80%) umumnya
menyebabkan pecahnya susu. Koagulasi larutan tersebut terutama disebabkan
oleh keasaman dan suhu tinggi.
Uji alkohol
Pada uji alkohol, terdapat adanya presipitasi sehingga bisa dikatakan susu
tersebut memiliki kualitas yang kurang baik. Hal ini bisa dikaitkan dengan pola
pemeliharaan, sanitasi lingkungan dan higiene personal dari peternak. Pada air
susu murni, partikel-partikel casein terikat dengan garam-garam Ca dan Mg dan
terdapat dalam keadaan stabil. Partikel-partikel ini diselubungi oleh micelle casein
phosphate yang terdapat dalam larutan koloidal. Makin kuat pengikatan casein
dengan garam-garam Ca dan Mg ini, maka alkohol masih belum mampu untuk
mendehidrasi micelle casein phosphate atau uji alkohol memberikan hasil yang
16
negative. Pada air susu asam, keasaman akan mempengaruhi kestabilan dari
micelle, sehingga garam-garam Ca dan Mg akan melepaskan diri dari ikatannya
secara pelan-pelan dan masuk kedalam larutan. Pelepasan garam-garam ini
menyebabkan pengikatan air berkurang, sehingga jika diberi alkohol akan
mendehirasi micell casein phosphate dan terjadi presipitasi dari casein atau uji
alkohol memberikan hasil yang positif.
Uji pH
Presentase asam dalam susu dapat digunakan sebagai indikator umur dan
penanganan susu. Pengukuran nilai pH dilakukan dengan menggunakan pH meter
dan menunjukan hasil =7. Umumnya susu segar memiliki pH= 6,30-6,75 (SNI 01-
3141-1998). Bila pH susu >6,7 biasanya diartikan terkena mastitis dan bila pH <6
menunjukan adanya kolostrum ataupun pembentukkan bakteri (Sulmiyati, 2016).
Sehingga bisa dikatakan bahwa kambing tersebut mengalami mastitis.
A B C
Gambar 2. Pengujian Kesegaran (A): uji didih, (B): uji alkohol, (C): Uji pH
17
Susu MSA Koloni yang Staphylococcus aureus pada media
kambing tumbuh berwarna (MSA) akan terlihat sebagai
segar kuning, halus, pertumbuhan koloni berwarna kuning
cembung dan dikelilingi zona kuning keemasan
berkilau karena kemampuan memfermentasi
manitol.
.
Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri penyebab mastitis klinis maupun
subklinis pada kambing. Batas maksimal koloni Staphylococcus sp berdasarkan SNI
adalah 1 x 102. Hasil yang dapat diamati pada media MSA hanya untuk identifikasi
bakteri Staphylococcus sp tanpa dapat mengetahui jumlah koloninya. Identifikasi lebih
lanjut dilakukan dengan pewarnaan gram (Gambar 3B).
A B
18
mastitis subklinis menggunakan metode whiteside adalah NaOH yang diberikan akan
menurunkan tegangan permukaan inti sel somatis dan akan bereaksi dengan DNA
membentuk benang-benang halus sampai titik-titik endapan di dasar gelas objek. Pada
pengujian ini tidak terbentuk benang-benang halus atau bisa dikatakan hasilnya negatif.
Selanjutnya dilakukan pengujian kedua yaitu, pengujian menggunakan metode IPB 1.
Hasil yang didapat berbeda dengan metode whiteside dan menunjukan hasil positif
mastitis (+1). Hal ini ditandai dengan terbentuknya lendir ketika susu ditambahkan
reagen IPB 1. Pereaksi IPB 1 akan bereaksi dengan DNA dari inti sel somatis, sehingga
terbentuk masa kental seperti gelatin. Hasil yang sama juga diperoleh ketika dilakukan
pengujian menggunakan metode breed. Pada pengujian metode breed ditemukannya sel-
sel somatis seperti neutrofil, limfosit, monosit dan runtuhan sel epitel. Hasil uji mastitis
metode breed adalah, 152 sel somatis dalam 20 lapang pandang (152/20 x 400.000 =
3.040.000) dan dapat dikatakan positif (+) mastitis subklinis. Mastitis subklinis tidak
menunjukan gejala klinis namun dapat dideteksi pada jumlah sel somatik yang lebih
tinggi dari biasanya. Kambing menderita mastitis subklinis jumlah sel somatik (JSS)
> 1.000.000 sel/ml (McDougal et al., 2002).
Kejadian mastitis subklinis pada kambing tersebut bisa dikaitkan dengan adanya
infeksi dari bakteri gram postif seperti S. aureus. Penelitian yang dilakukan oleh Hall dan
Rycroft (2007) sebanyak 40% S. aureus berhasil diisolasi dari kasus mastitis klinis dan
subklinis pada kambing di negara Inggris. Selain itu, pada pemeriksaan kesegaran susu,
nilai pH lebih tinggi dari kisaran normal (6,3-6,7) yaitu 7. Perubahan pH dan kandungan
elektrolit dalam susu dapat digunakan untuk mendiagnosis mastitis subklinis
(Surdawanto dan Sudarnika, 2008). Pada umumnya pH normal susu segar berkisar 6,3-
6,75, sedangkan pH susu dari penderita mastitis subklinis diatas 6,75 kecuali apabila
ditemukannya S. agalctiae yang menyebabkan pH susu sedikit turun.
19
A B C
Pemalsuan susu dengan mencampur susu dengan bahan lain dan cemaran
yang dapat mengkontaminasi susu menyebabkan perlu adanya dilakukan pengujian
pemalsuan susu. Namun pada pengujian tidak diperoleh adanya bahan lain yang
ditambahkan dalam susu. Hasil tersebut diketahui dari Berat Jenis (BJ) susu yang
20
masih dalam kisaran normal SNI 03-3141-1988 =1.0280. Seringkali bahan yang
digunakan dalam pemlasuan susu adalah air dan santan. Apabila susu segar
ditambahkan air maka BJ dari susu akan lebih rendah dari kisaran normal karena BJ
susu dipengaruhi oleh BJ air (1,00). Sedangkan, apabila susu ditambahkan dengan
santan maka BJ susu akan lebih tinggi dari kisaran normal dan akan berbau seperti
santan kelapa dan sedikit amis.
21
Kelicinan : licin
Kebersihan : bersih
Keutuhan : utuh
Ukuran kantung
hawa : 0,5 mm
Kerusakan
kerabang : ada
22
besar
23
PEMERIKSAAN
1 TELUR AYAM RAS (A) Kebersihan :
bersih
Kekentalan :
kental
Bau (aroma) :
khas telur
Indeks kuning
telur : 0,36 mm
Indeks albumin
: 0,075
Haugh unit
: 76,65 (AA)
24
Kebersihan :
3 TELUR AYAM KAMPUNG bersih
(C) Kekentalan :
encer
Bau (aroma) :
busuk
Indeks kuning
telur : 0,018 mm
Indeks albumin
: 0,008 mm
Haugh unit
: 50,44 (B)
25
Bau (aroma) :
khas telur
Indeks kuning
telur : 0,38 mm
Indeks albumin
: 0,086 mm
Haugh unit
: 64,68 (A)
26
5 TELUR BEBEK (E) √
6 TELUR BEBEK (F) √
Dalam praktikum ini hanya dilakukan pemeriksaan fisik telur tanpa pemeriksaan
mikrobiologi telur. Pemeriksaan fisik telur dibagi menjadi dua yaitu, pemeriksaan telur utuh dan
pemeriksaan telur setelah dibuka. Pemeriksaan dilakukan secara organoleptik untuk melihat
keutuhan, bentuk, warna, kelicinan, kebersihan kerabang, tinggi dan diameter dari putih telur
(albumin) dan kuning telur (egg yolk) dengan menggunakan panca indra.
Telur merupakan bahan pangan dengan struktur fisik yang khas dan tersusun atas 3 bagian
yaitu, kerabang, kantung udara dan isi yang terdiri dari kuning dan putih telur. Komposisi telur
secara fisik terdiri dari 10% kerabang, 60% putih telur dan 30% kuning telur. Terdapat 4 lapisan
putih telur, yaitu bagian luar cairan (lapisan tipis), bagian viscous cairan (lapisan tebal), bagian
dalam cairan (lapisan tipis) dan bagian lapisan kecil padat mengelilingi membran vitelin kuning
telur disebut Chalaza untuk mempertahankan posisi yolk (Sarwono, 2001). Standar mutu telur
perlu diterapkan dalam pemasaran telur untuk memudahkan konsumen dalam menentukan
pilihan sehingga dapat memberikan kepuasan dan kepastian mutu untuk konsumen. Berdasarkan
SNI 01-3926-2006 telur yang dikonsumsi tidak mengalami proses pendinginan dan tidak
mengalami penanganan pengawetan serta tidak menunjukan tanda-tanda pertumbuhan embrio
yang jelas, kuning telur belum tercampur dengan putih telur, telur utuh dan bersih. Pada
pemeriksaan organoleptik, yaitu pemeriksaan fisik telur yang meliputi pemeriksaan telur utuh
dan pemeriksaan setelah dibuka maka dapat diambil kesimpulan bahwa telur A dan B aman
untuk dikonsumsi, telur C dan D tidak aman untuk dikonsumsi sedangkan untuk telur E dan F
belum bisa dikatakan aman untuk dikonsumsi karena pada perendaman dengan air garam telur
tenggelam yang menandakan bahwa penyimpanan telur tersebut sudah lama. Pori-pori kerabang
telur akan semakin besar sejalan dengan lamanya penyimpanan. Pori-pori yang besar akan
mengakibatkan bakteri lebih mudah masuk ke dalam telur sehingga menurunkan kualits dari
telur tersebut. Oleh karena itu, perlu untuk dilakukan pemeriksaan mikrobiologi telur agar bisa
memastikan kualitas dari sebuah telur.
27
Sampel daging sapi diperoleh dari tiga lokasi yang berbeda yaitu di pasar Oeba
(Daging A), pasar Impres (Daging B) dan toko daging Aldia (Daging C). Penanganan dalam
penjualan daging dari ketiga tempat tersebut pun berbeda. Pengamatan yang dilakukan
selama observasi yaitu pada pasar Oeba dan pasar Impres adalah kurang baik. Daging sapi
yang dijual disimpan diatas meja tanpa ditutup menggunakan plastik sehingga terdapat lalat
di sekitar daging. Sanitasi lingkungan sekitar area penjualan juga terlihat buruk ditambah
dengan higiene personal yang tidak mendukung kebersihan dari daging. Sedangkan daging
yang dijual di toko Aldia ditutup menggunakan plastik steril dan disimpan di dalam
refrigerator.
Pada pemeriksaan organoleptik warna daging diperoleh merah (daging A dan B) dan
pucat (daging C). Faktor yang mempengaruhi warna daging adalah pakan, spesies, bangsa,
umur, jenis kelamin, tingkat stres (tingkat aktivitas dan tipe otot) pH dan oksigen (Soeparno,
2005). Faktor-faktor ini juga dapat menjadi penentu utama warna daging, yaitu konsentrasi
pigmen dan kadar mioglobin. Menurut SNI 3932:2008 Mutu karkas Daging Sapi, kondisi
fisik daging sapi yang termasuk kategori baik, memiliki warna daging merah terang dan
warna lemak putih. Kandungan pigmen dalam daging sapi muda lebih rendah sehingga
warna daging lebih pucat. Pada umumya makin bertambah umur ternak sapi, konsentrasi
mioglobin makin meningkat walaupun tidak konstan. Bertambahnya tingkat kedewasaan
pada sapi akan menyebabkan perubahan warna daging dari merah muda menjadi merah gelap
(Aberle et al., 2001). Konsistensi dan bau masuk dalam kriteria normal daging sapi secara
fisik. Sedangkan nilai pH daging sapi normal yang baru dipotong berkisar antara 7-7,2 (pH
28
netral) dan akan terus menurun selama 24 jam. Penurunan nilai pH akan terjadi setelah
hewan ternak sapi disembelih (post mortem) yaitu pada saat jantung berhenti memompa
darah, sehingga jaringan otot dan jaringan lainnya tidak lagi mendapat pasokan darah,
akibatnya akan terjadi proses biokimiawi yang kompleks (glikolisis anaerob) pada jaringan-
jaringan tersebut dan selanjutnya asam laktat yang dihasilkan akan terakumulasi di dalam
jaringan. Asam laktat inilah yang akan mengakibatkan penurunan nilai pH jaringan otot. Ada
2 faktor yang mempengaruhi nilai pH daging, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik
antara lain adalah spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas diantara ternak sedangkan
faktor ekstrinsik antara lain adalah temperatur lingkungan, perlakuan adanya bahan tambahan
dan tingkat stres sebelum hewan dipotong dan saat hewan akan dipotong. Dari keseluruhan
sampel daging yang diperoleh, ketiganya memenuhi kriteria baik.
Pemeriksaan daya ikat air dapat dilakukan dengan metode dry loss dan cooking loss. Dry
loss merupakan cairan (eksudat) yang keluar dari daging tanpa aplikasi atau penerapan
tekanan dari luar. Prinsipnya adalah air bebas (free water) akan dilepaskan dari protein otot
sejalan dengan penurunan pH. Jika daya ikat air meningkat maka dry loss menurun, demikian
sebaliknya. Sedangkan cooking loss adalah berat yang hilang akibat pemasakan. Prinsipnya,
selama pemanasan, protein daging akan terdenaturasi dan susunan selulernya akan rusak. Hal
tersebut akan mempengaruhi daya ikat air dalam daging. Air dari daging akan keluar selama
pemanasan. Jika daya ikat air tinggi, maka cooking loss semakin rendah, begitu sebaliknya.
Kisaran normal cooking loss untuk daging adalah berkisar antara 15-40% (Lawrie, 2003).
Jenis Sampel Berat awal (gr) Berat akhir (gr) Presentase (%)
pemeriksaan
29
Cooking loss Daging sapi A 49,1 29%
Prinsip dasar hewan yang dipotong dengan tidak sempurna akan dijumpai banyak
hemoglobin (Hb) dalam daging. Pada pengujian pengeluaran darah sempurna ditambahkan
H2O2 dan malachite green. Hemoglobin (Hb) akan mengikat O2 (dari H2O2) sehingga
malachite green tidak dioksidasi (tetap berwarna hijau). Sebaliknya, jika tidak ada
Hemoglobin (Hb), maka O2 (dari H2O2) akan mengoksidasi malachite green menjadi warna
biru. Pengeluaran darah yang tidak sempurna mengakibatkan daging cepat membusuk serta
mempengaruhi proses selanjutnya. Pengeluaran darah yang efektif hanya dapat dikeluarkan
50% nya saja dari jumlah total darah (Lawrie, 1995).
30
3. Kondisi sanitasi tempat penanganan, pengolahan dan penyajian
Keterangan: Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI)
NO 3932:2008
#Pengenceran 107
Tabel 10. Pemeriksaan Koliform Pada Media Violet Red Bile Agar (VRBA)
Keterangan: Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI)
NO 3932:2008
#Pengenceran 107
31
Cemaran mikroba pada daging sapi A, B dan C, diketahui telah melewati ambang
batas maksimum menurut SNI 3932:2008 dalam perhitungan Total plate Count (TPC).
Selanjutnya setelah dilakukan pemeriksaan Koliform menggunakan media VRBA
diketahui bahwa ketiga daging tersebut juga telah melewati ambang batas maksimum
menurut SNI 3932:2008 yaitu 1x101 Cfu/gram. Hal tersebut membuktikan bahwa daging
sapi tersebut telah terkontaminasi bakteri dimulai dari proses pemotongan sampai
dihasilkan karkas di meja jualan. Hasil ini menandakan ketiga bahwa daging sapi tersebut
tidak aman untuk dikonsumsi.
Ruang lingkup pengaturan tentang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan meliputi
(UU RI No. 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan):
1. Persyaratan karantina
Dilengkapi sertifikat kesehatan dari daerah atau negara asal
32
Melalui tempat pemasukan dan pengeluaran yang telah ditetapkan
Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat pemasukan dan
pengeluaran
2. Tindakan karantina
Tindakan karantina berpedoman pada 8p, yaitu:
a) Pemeriksaan
Pemeriksaan merupakan langkah pertama yang dilakukan petugas karantina untuk
mengetahui kelengkapan kebenaran isi dokumen dan mendeteksi hama penyakit
hewan karantina, status kesehatan (KH-11) dan sanitasi pembawa (KH-12) atau
kelayakan sarana prasarana karantina dan alat angkut.
b) Pengasingan
Dilakukan terhadap sebagian besar atau seluruh media pembawa (hewan, produk asal
hewan, hasil produk asal hewan dan benda lain) untuk diadakan pemeriksaan,
pengamatan dan perlakuan, dengan tujuan mencegah kemungkinan penularan hama
penyakit hewan. Lamanya waktu pengasingan sebagaimana dipergunakan sebagai
dasar penetapan masa karantina (terhitung sejak media pembawa diserahkan oleh
pemilik).
c) Pengamatan
Pengamatan dilkukan untuk mendeteksi lebih lanjut hama penyakit hewn karantina
dengan cara mengamati timbulnya gejala hama penyakit hewan karantina pada media
pembawa selama diasingkan.
d) Perlakuan
Perlakuan merupakan tindakan yang dilakukan oleh dokter hewan atau petugas medis
karantina yang diberikan tugas untuk membebaskan dan mensucihamakan media
pembwa dari hama penyakit hewan karantina atau tindakan lain yang bersifat
preventif, kuratif dan promotif
e) Penahanan
33
Penahanan dilakukan apabila media pembawa belum memenuhi persyaratan
karantina.
f) Penolakan
Penolakan dilakukan apabila media pembawa tersebut setelah dilakukan perlakuan,
tetap tidak bisa disembuhkan atau karena tidak melengkapi dokumen dalam jangka
waktu yang telah ditetapkan
g) Pemusnahan
Pemusnahan dilakukan terhadap media pembawa tersebut rusak, busuk atau dilarang
pemasukannya atau bisa juga karena setelah diberi perlakuan dan penolakan, media
pembawa tersebut tidak dapat disembuhkan atau tidak diambil oleh pemilik dalam
masa waktu yang telah ditetapkan oleh karantina.
h) Pembebasan
Tindakan pembebasan diberikan apabila media pembawa tersebut sudah memenuhi
semua persyaratan yang diberikan oleh karantina.
Ketika pengguna jasa ingin menggunakan jasa karantina maka pertama kali
dokumen yang harus diisi adalah KH 1 yang merupakan berita acara serah terima
media pembawa HPHK, dan dokumen karantina kepada petugas karantina di tempat
pemasukan dan/atau tempat pengeluaran. Setelah itu, Kasie Karantina Hewan atas
nama Kepala Balai menerbitkan Surat Tugas (KH-2) yang ditujukan kepada petugas
fungsional yaitu medik veteriner atau paramedik veteriner untuk melakukan tindakan
pemeriksaan. Setelah dilakukan tindakan pemeriksaan, medik dan paramedik
veteriner akan melaporkan hasil pemeriksaannya dalam bentuk KH 3. Apabila media
pembawa dinyatakan baik maka akan dikeluarkan KH 6 (persetujuan muat)
sedangkan apabila media pembawa dinyatakan tidak baik atau tidak memenuhi
persyaratan maka akan dikeluarkan KH 8 (surat perintah penahanan & berita acara).
Pada saat penahanan maka pejabat fungsional yaitu medik dan paramedik veteriner
akan melakukan tindakan karantina berupa perlakuan, dan apabila media pembawa
tersebut tidak sembuh atau tidak memenuhi persyaratan maka akan dikeluarkan KH
9. Setelah melewati batas waktu yang ditetapkan oleh karantina maka akan diberikan
34
KH 10. KH 11/12/13, akan diberikan apabila media pembawa tersebut telah disetujui
untuk dimuat. Tahap terakhir adalah pemberian sertifikat pelepasan karantina hewan
dalam bentuk KH 14.
3. Kawasan karantina
Kawasan karantina adalah suatu kawasan yang semula diketahui bebas dari hama
dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme
pengganggu tumbuhan karantina dan jika ditemukan atau terdapat petunjuk terjadinya
serangan suatu hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina,
atau organisme pengganggu tumbuhan karantina maka Pemerintah dapat menetapkan
kawasan yang bersangkutan untuk sementara waktu sebagai kawasan karantina
35
Penyakit hewan karantina golongan 1 dan golongan 2 (PP RI No. 82 tahun 2000 tentang
Karantina Hewan)
Golongan 1 : penyakit hewan karantina yang mempunyai sifat dan potensi penyebaran
penyakit yang serius dan cepat, belum diketahui cara penanganannya, belum terdapat di
suatu area atau wilayah negara Republik Indonesia.
Golongan 2 : penyakit hewan karantina yang potensi penyebarannya berhubungan erat
dengan lalu lintas media pembawa, sudah diketahui carapenanganannya dan telah
dinyatakan ada di suatu area atau wilayahnegara Republik Indonesia.
36
Dasar Regulasi yang mengatur :
PP RI No. 15 tahun 2002 tentang Karantina Ikan
PP RI No. 75 tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan
Tindakan Laboratorium
Pengujian sampel ikan menggunakan media Plate Count Agar (PCA) merupakan
tindakan laboratorium yang dilakukan selama melakukan kegiatan koasistensi. Hal ini
dikarenakan waktu Koasistensi yang cukup minim yaitu 1 hari di Karantina Ikan. Setelah
penanaman bakteri pada media PCA maka di inkubasi pada inkubator selama 24-48 jam.
37
Mekanisme Pelaksanaan Program Surveilence Penyakit
a) Pengambilan Sampel : sampel yang diambil dalam pelaksaan surveilence adalah sampel
darah (Hog Cholera, Septicaemia Epizootica, Newcastle disease) dan sampel feses untuk
pemeriksaan telur cacing.
b) Koleksi Sampel : disesuaikan dengan jenis hewan serta jenis penyakit yang ingin
dikonfirmasi dari sampel tersebut, diantaranya :
• Babi : pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan infeksi hog cholera serta
pengukuran titer antibodi hog cholera pasca vaksinasi
• Sapi : pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan infeksi Septicaemia Epizootica serta
pengukuran titer antibodi pasca vaksinasi
• Ayam : pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan titer antibodi pasca vaksinasi ND.
c) Pengkodean sampel
Pengkodean sampel dilakukan untuk memberikan identitas pada sampel yang
telah dikoleksi untuk selanjutnya diperiksa di laboraturium.
38
d) Pengemasan sampel
e) Sampel yang telah dikoleksi biasanya langsung dikirimkan ke laboratorium UPT
Veteriner untuk diperiksa
Standar Operasional Prosedur (SOP) Vaksinasi rutin dan administrasi tentang program
penanggulangan wabah penyakit di Dinas Pertanian Kota Kupang sesuai dengan
Peraturan Daerah Kota Kupang No. 17 Tahun 2002 tentang pelayanan Kesehatan Hewan
adalah sebagai berikut :
4. Bidang Veteriner Sub bidang Keswan akan melakukan pencatatan laporan kasus
penyakit atau permintaan pelayanan kesehatan hewan
5. Petugas dari bidang Veteriner Sub bidang Keswan akan melaksanakan pelayanan sesuai
laporan kasus di lapangan atau permintaan pelayanan
6. Pemohon membayar biaya pelayanan sesuai PERDA No. 17 Tahun 2002 yang
dilampirkan dalam bentuk kwitansi pembayaran.
39
SK Walikota Kupang No. 16/KEP/HK/2008 tentang Ijin Pemasukan dan Pengeluaran
Ternak, Pakan Ternak, Hasil Ternak serta hasil ikutannya. Uraian kegiatan/alur yang akan
dilalui adalah sebagai berikut :
1) Pengajuan permohonan kepada Kepala Dinas dengan kelengkapan surat permohonan dan
fotokopi KTP.
3) a). Kepala Bidang Veteriner mendisposisikan ke Sub bidang P2HP yang menangani :
Rekomendasi Pemasukan dan Pengeluaran Produk Hewan (Telur, Daging, Susu, Kulit,
Tulang, Tanduk)
b). Kepala Bidang Veteriner mendisposisikan ke Sub bidang kesehatan hewan yang
menangani :
Mengurus surat ijin pemasukan dan pengeluaran ternak. Perlu dilengkapi dengan daftar
distribusi DOC, SKS dari daerah asal dan buku vaksin khusus anjing dan kucing.
4) a). Melakukan identifikasi dan Pemeriksaan Produk asal hewan sesuai syarat teknis oleh
Sub bidang P2HP.
b). Dilakukan penanganan sertifikat sehat oleh Sub bidang Keswan sesuai dengan
permohonan yang diajukan. Hasilnya dalam bentuk analisa kelayakan
5) Proses Surat Keterangan /ijin/Rekomendasi sesuai permohonan oleh Sub bidang P2HP
dan Sub bidang Keswan
40
Hewan, , Klinik Hewan Dan Lab. Keswan Sesuai Dengan Perda No 16 Tahun 2002
Mengenai Ijin Usaha Sarana Kesehatan Hewan)
Depo Obat.
Toko Obat.
Depo Daging,
Kios Daging.
4) Petugas dari bidang Veteriner Sub bidang Keswan dan Sub bidang Kesmavet melakukan
identifikasi tempat usaha persyaratan sesuai permohonan.
5) Proses sertifikat / ijin sesuai permohonan oleh Sub bidang Keswan dan Sub bidang
Kesmavet
41
7) Penyelesaian administrasi sesuai PERDA No. 16 tahun 2002 ke bendahara penyetor.
42
Undang- undang No. 18 Tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan
hewan RPH mengamanatkan bahwa setiap Kabupaten/Kota harus mempunyai RPH
yang memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan oleh menteri pertanian.
Keputusan Menteri Pertanian No. 13 Tahun 2010 ttg persyaratan Rumah Potong
Hewan ruminansia dan unit penanganan daging (meat cutting plan). Menurut
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
13/Permentan/OT.140/1/2010 BAB 1 pasal 1 Rumah Potong Hewan adalah suatu
bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang
digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum.
SOP di RPH Oeba Kota Kupang, UPTD KESMAVET Dinas Pertanian Kota
Kupang
1. Pemasukan ternak beserta Surat mutasi ternak, pemeriksaan kelengkapan
administrasi Kasubag Tata Usaha, diketahui kepala UPT Kesmavet oleh pemohon
yang dilengkapi dengan Fotocopy KTP.
2. Pengistirahatan ternak (1x24 jam) dan pencatatan ternak masuk.
3. Pemeriksaan ternak sebelum dipotong (antemortem) oleh dokter hewan
4. Penyelesaian pembayaran dilakukan setelah pemeriksaan oleh juru pungut
5. Juru pungut melakukan penyetoran kepada bendahara penerima
6. Pemotongan ternak oleh juru sembelih
7. Pemeriksaan ternak setelah dipotong (postmortem) oleh dokter hewan.
8. Penerimaan produk
43
Undang No, 41 Tahun 2014 pasal 18 ayat 4 tentang kesehatan peternak dan kesehatan
hewan yaitu “setiap orang dilarang menyembelih ternak ruminansia kecil/besar yang
merupakan betina produktif”.
Hasil pemeriksaan antemortem pada sapi dan babi kebanyakan dalam keadaan
sehat dan tidak menunjukkan gejala klinis penyakit zoonosis tetapi ada beberapa yang
ditemukannya cacing thaelazia pada mata, luka pada bagian kepala dan abdomen, tidak
mampu untuk berdiri dan mengalami kepincangan. Adapun pada kondisi ini, ternak
sapi dan babi masih dapat dipotong yang didukung oleh Kartasudjana (2011)
menyatakan bagi ternak yang patah tulang atau tidak mampu berdiri dapat dilakukan
pemotongan darurat sedangkan bagi ternak-ternak yang menunjukkan gejala klinis
penyakit harus dibawah pengawasan, pemeriksaan dan penilaian dokter hewan terhadap
kelayakan untuk dipotong.
A B C
44
Tabel. 11 Syarat Pemotongan Hewan
45
A B C
Antemortem :
1. tidak adanya petugas yang melarang agar ternak sapi betina produktif jangan dipotong.
Postmortem :
46
Persyaratan teknis Rumah Potong Hewan (RPH)
1. Lokasi
2. Sarana pendukung
4. Peralatan.
47
pengembangan RPH
Terpisah secara fisik daei lokasi kompleks RPH Terpisah secara fisik tetapi celah berupa pintu
babi atau dibatasi dengan pagar tembok dengan
tinggi minimal 3 meter untuk mencegah lalu
lintas orang alat dan produk antar rumah
potong
Tabel 14. Persyaratan Tata Letak, Desain dan Kontruksi Rumah Potong Hewan (RPH)
48
Ruang pelayuan berpendingin Tidak ada
Ares pemuatan karkas/daging Tidak ada
Kantor administrasi dan kantor dokter hewan Kantor adminstrasi dan kantor dokter hewan
digabung
Kantin dan mushola Kantin da tetapi mushola tidak ada
Ruang istirahat karyawan dan tempat Digabung dengan kantor administrasi dan kantor
penyimpanan barang pribadi (locker)/ ruang dokter hewan
ganti pakaian.
Kamar mandi dan WC Ada tetapi kondisinya tidak layak dgunakan
Fasilitas pemusnahan bangkai dan atau Tidak ada
produk yang tidak dapat dimanfaatkan
Sarana penanganan limbah dan rumah jaga Hanya dibuat semacam kolam, dan saluran
pembuangannya menuju ke laut
Tipe-Tipe RPH
1) Tipe D yaitu rumah potong hewan yang ada di kecamatan dan produk hasil potongannya
hanya boleh beredar di daerah tersebut
2) Tipe C yaitu rumah potong yang telah memenuhi persyaratan ruangan dan jumlah ternak
yang disembelih berkisar antara 5-15 ekor sapi dan produk hasil potongannyadapat
dikonsumsi dan diedarkan dalam wilayah Kabupaten.
3) Tipe B, rumah potong yang telah memenuhi persyaratan di atas rumah potong hewan tipe
C, ditambah telah mempunyai ruangan pendingin dan mempunyai armada pengangkatan
daging dingin/beku (refrigerator truck). Produk pemotongan RPH dapat diedarkan
antarpropinsi dalam negara.
4) Tipe A, yaitu rumah potong hewan telah memenuhi persyaratan tipe B ditambah dengan
tersedianya laboraturium dan tenaga ahli yang dapat merekomendasikan bahwa daging
yang dihasilkan bebas dari residu, antibiotik, hormon, logam berat, insektisida dan residu
49
bahan-bahan radiasi ataupun radioaktif lainnya. Daging yang dihasilkan RPH tipe A
dapat dikirim atau beredar anttar negara (ekspor).
BAB IV
PENUTUP
4.1. KESIMPULAN
kompetensi yang ingin dicapai di enam tempat berbeda yaitu, di Laboratorium Kesehatan
Masyarakat Veteriner FKH Undana, Stasiun Karantina Bandara Eltari, Balai Besar Karantina
Pertanian Kelas 1 Kupang, Stasiun Karantina Ikan Kelas 1 Kupang Penjaminan Mutu dan
Keamanan Hasil Ikan dan Dinas Pertanian oleh praktikan telah dicapai. Kompetensi berupa
menganalisa dan mengevaluasi setiap kegiatan dalam proses pembelajaran akan sangat
50
berguna ketika menjadi dokter hewan nanti. Kesempatan seperti ini sangatlah berguna dalam
dunia kedokteran hewan karena praktikan bisa membandingkan apa yang ada di teori dan
yang terjadi di lapangan. Begitupun sebaliknya, apa yang tidak ada di teori bisa praktikan
temui di lapangan. Kolaborasi semua pihak yang terlibat di dalam dunia kesehatan hewan
maupun manusia sangat diperlukan baik itu dalam tindakan pencegahan, pengendalian dan
DAFTAR PUSTAKA
Aberle, H.B., Forrest, J.C., Hendrick, E.D., Judge, M.D. and Merkel, R.A. 2001. Principle of
meat Science. 4th edit. Kenda/Hunt Publishing. Lowa.
Abubakar, Budi. A Dan Harsono, A. 1998. Pengaruh Suhu Dan Macam Suhu Terhadap mutu
Yoghurt Selama Penyimpanan. Hal 755-760. Dalam Prosiding Seminar Nasional
Peternakan Dan Veteriner. Bogor
Buckle. K.A, Edwards. R. A, Fleet. G. H, Wootton. M. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Hall S. M, Rycroft. A.N, 2007. Causative Organisms And Somatic Cell Counts In Subclinical
Intramammary Infections In Milking Goats In The UK. Vet. Record. 160:19-22
Mcdougal S, Penkey W, Delaney C, Barlow J, Patricia A.M Scrton D. 2002. Prevelence And
Incidence Of Subclinical Mastitis In Goats And Dairy Ewes In Vermont USA. Small
Rumin E. 46;115-121
51
Lawrie, R.A 1991. Meat Science 4th ed. Pergamon Press, Oxford
Lawrie, R.A 1995. Ilmu Daging. Edisi ke 5. Terjemahan Aminudin Parakasi. UI Press. Jakarta.
Prawesthrini, S., Siswanto, H.P, Estoepangestie, A.T.S., Effendi, M.H., Harijani, N., de Vries,
G.C., Budiarto, dan Sabdoningrum, E.K. 2009. Analisa Kualitas Susu, Daging dan Telur.
Cetakan ke 5. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala
SNI. 1998. Metode pengujian susu segar. SNI 03-3141-1988. Badan Standarisasi Nasional.
Jakarta.
SNI. 2011. Metode pengujian susu segar. SNI 314.1:2011 Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
SNI. 2006. Metode pengujian telur. SNI 01-3926-2006. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
SNI. 2008. Metode pengujian telur. SNI 3932:2008. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Sudarwanto, M. dan Sudarmika, E. 2008. Hubungan Antara pH Susu dengan Jumlah Sel Somatik
Sebagai Parameter Mastitis Subklinik. Media Peternakan. Hal. 107-113
Sulmiyati, Ali. N, Marsudi. 2016. Kajian Kualitas Susu Kambing Peranakan Ettawa Dengan
Metode Pastreurisasi Yang Berbeda. JITPP Vol 4:3
52