Lap Kesmavet Dinas DLL
Lap Kesmavet Dinas DLL
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Mengetahui, Menyetujui,
Koordinator Ketua Program Studi Pendidikan Profesi
Dokter Hewan
(Dr. drh. Annytha I.R. Detha, M.Si) (drh. Cynthia Dewi Gaina, M.Trop.V.Sc)
NIP. 19810816 200801 2 013 NIP. 19860605 200912 2 005
1
BIODATA MAHASISWA
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang atas rahmat
dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Koasistensi Kesehatan
Masyarakat Veteriner dengan baik.
Laporan Koasitensi Kesehatan Masyarakat Veteriner merupakan salah satu
persyaratan wajib pada Profesi Pendidikan Dokter Hewan UNDANA. Laporan ini
disusun sebagai hasil kegiatan yang telah dilaksanakan selama 6 minggu di Fakultas
Kedokteran Hewan Undana, Balai Karantina Pertanian Kelas 1 Kupang, Stasiun Karantina
Ikan Pengendalian Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas 1 Kupang, Dinas Pertanian
Peternakan Perkebunan Dan Kehutanan Kota Kupang dan Rumah Potong Hewan Oeba.
Dengan selesainya laporan ini, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang terlibat dalam penyusunan laporan ini:
1. Dr. drh. Annytha I.R. Detha, M.Si, drh. Diana A. Wuri, M.Si dan Dr. drh. Nino H.G.
Kallau, M.Sc selaku dosen pembimbing
2. Kepala Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan dan staff yang telah membantu
penulis melaksanakan kegiatan koasistensi Kesmavet di laboratorium
3. Kepala Balai Karantina Pertanian Kelas 1 Kupang dan staff yang telah membimbing
dan membantu penulis melaksanakan kegiatan koasistensi Kesmavet
4. Kepala Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
Kelas 1 Kupang dan staff yang membimbing dan membantu penulis melaksanakan
kegiatan koasistensi Kesmavet
5. Kepala Dinas Peternakan Perkebunan dan Kehutanan Kota Kupang, khususnya
bidang Kesmavet dan Rumah Potong Hewan Oeba beserta staff yang membimbing
dan membantu penulis selama melaksanakan koasistensi Kesmavet
6. Teman-teman kelompok Koas F1 yang berkenan saling membantu selama kegiatan
berlangsung
Demikian laporan ini dibuat agar dapat bermanfaat bagi semua pihak.
3
DAFTAR ISI
4
Mekanisme pembuatan izin praktek dokter hewan dan
mendirikan depo obat hewan ........................................................... 26
5
BAB I
PENDAHULUAN
Jaminan keamanan pangan dapat diartikan sebagai jaminan bahwa pangan atau bahan
pangan tersebut bila dipersiapkan dan dikonsumsi secara benar tidak akan membahayakan
kesehatan manusia. Produk peternakan seperti daging, telur dan susu mempunyai nilai gizi
yang sangat tinggi. Kandungan gizi yang tinggi tersebut membuat daging, telur dan susu
menjadi media yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme, baik
mikroorganisme yang menyebabkan kerusakan pada daging, telur dan susu maupun yang
menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia yang mengonsumsi produk ternak tersebut.
Selain penjaminan terhadap bahan pangan konsumsi, juga diperlukan pencegahan dan
penanggulangan penyakit-penyakit zoonosis. Dalam mewujudkan hal ini diperlukan juga
adanya integrasi antar ruang lingkup ilmu dan instansi-instansi yang bergerak di bidang
kesehatan untuk bersama-sama melancarkan penyelenggaraan kesmavet.
Hal inilah yang mendasari pentingnya pengetahuan mengenai prosedur laboratorik untuk
pengujian kualitas bahan pangan, identifikasi dan deteksi penyakit, serta prosedur-prosedur
dan mekanisme dalam pencegahan dan penanggulangan bahaya penyakit hewan, khususnya
penyakit zoonosis yang dilakukan oleh instansi-instansi pemerintah.
1.2 Tujuan
Tujuan dilakukannya koasistensi kesmavet ini adalah :
1. Mengetahui prosedur administrasi dan tindakan karantina hewan di instalasi bandara
dan instalasi pelabuhan
6
2. Mengetahui uji laboratorium yang digunakan dalam diagnosa penyakit hewan
karantina
3. Mengetahui mekanisme pelaksanaan program surveilance penyakit oleh Dinas Pertanian
Peternakan Perkebunan dan Kehutanan Kota Kupang
4. Mengetahui mekanisme pelaksanaan program penanggulangan wabah penyakit hewan
oleh Dinas Pertanian Peternakan Perkebunan dan Kehutanan Kota Kupang
5. Mengetahui mekanisme penerapan program vaksinasi rutin untuk berbagai penyakit oleh
Dinas Pertanian Peternakan Perkebunan dan Kehutanan Kota Kupang
6. Mengetahui mekanisme pembuatan surat ijin untuk pengiriman hewan dan produk asal
hewan dari dalam/luar wilayah Kota Kupang dan mekanisme pembuatan Ijin Praktek
Dokter Hewan dan Ijin Mendirikan Depo Obat Hewan
7. Mampu melakukan pemeriksaan antemortem dan postmortem ternak sapi dan babi
8. Mampu menilai kelayakan desain rumah potong hewan
9. Mampu menilai penerapan kesejahteraan hewan di rumah potong hewan
10. Mengetahui prosedur administrasi dan tindakan karantika ikan dan produk ikan
11. Mengetahui metode dan prosedur diagnostik penyakit pada ikan dan produk perikanan
7
BAB II
1. Instalasi Bandara
Waktu dan Lokasi :
Waktu : 03-04 Desember 2018
Lokasi : Kargo dan Kantor Karantina Hewan Instalasi Bandar Udara Eltari Kupang
Prosedur yang dilakukan :
Pemeriksaan ayam DOC layer dan broiler asal Jawa Timur di Kargo Bandara
yang meliputi pemeriksaan dokumen dan pemeriksaan fisik ayam diikuti dengan
tindakan pembebasan.
2. Instalasi Pelabuhan
Waktu dan Lokasi :
Waktu : 10-14 Desember 2018
Lokasi : Instalasi Karantina Pertanian Kelas 1 Tenau
Prosedur yang dilakukan :
Melakukan diskusi mengenai tugas, fungsi, prosedur administrasi dan tindakan
karantina hewan.
3. Instalasi Laboratorium
Waktu dan Lokasi :
Waktu : 10-14 Desember 2018
Lokasi : Laboratorium Karantina Pertanian Kelas 1 Kupang
Prosedur pengujian produk asal hewan (Uji TPC)
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan antara lain : cawan petri, gelas ukur, corong, tabung reaksi,
mikropipet 1 ml, tabung durham, timbangan digital, oven incubator, autoclave, dan
kompor.
Bahan yang digunakan antara lain : media Buffered Peptone Water (BPW), media
Plate Count Agar (PCA), aquades dan sampel produk asal hewan.
Metode Pengujian
Pembuatan Media BPW :
Media ditimbang sebanyak 1,6 gram menggunakan timbangan digital
Media dilarutkan ke dalam 80 ml akuades
Media dimasak hingga media homogen dan berwarna jernih
Media disterilkan dengan menggunakan autoclave
Pembuatan Media PCA :
Media ditimbang sebanyak 3,6 gram menggunakan timbangan digital
Media dilarutkan ke dalam 160 ml akuades
Media dimasak hingga media homogen dan berwarna jernih
Media disterilkan dengan menggunakan autoclave
Penanaman pada Media :
8
Sebanyak 1 ml filtrate masing-masing daging dimasukkan ke dalam tabung reaksi
berisi 9 ml media BPW lalu dihomogenkan untuk diperoleh pengenceran 10-1 dan
dilakukan pengenceran hingga 10-6.
Suspensi sebanyak 1 ml dari pengenceran 10-5 dan 10-6 dimasukkan ke dalam
cawan petri steril
Sebanyak 15-20 ml media PCA ditambahkan ke dalam cawan petri lalu
dihomogenkan dengan memutar cawan petri membentuk angka delapan.
Cawan petri didiamkan hingga media memadat lalu diinkubasikan pada oven
dengan suhu 37 oC selama 24 jam
Prosedur pengujian RBT :
Darah sapi diambil melalui vena jugularis lalu didiamkan dan dilakukan
koleksi serum. Sebanyak 25 µl serum dicampurkan dengan 25 µl antigen brucella lalu
digoyangkan secara manual selama 4 menit dan diamati hasil reaksi yang terlihat.
9
- Wawancara dengan dokter hewan Dinas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
tujuan pelaksanaan koasistensi di Dinas.
10
BAB III
URAIAN PELAKSANAAN KEGIATAN
Pemeriksaan
16
b. Tindakan karantina untuk pemasukan media pembawa HPIK
17
Hama dan Penyakit Ikan Karantina (HPIK) terdiri dari HPIK golongan I dan golongan
II. Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan I adalah semua Hama dan Penyakit Ikan
Karantina yang tidak dapat disucihamakan atau disembuhkan dari Media Pembawanya
karena teknologi perlakuannya belum dikuasai. Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan
II adalah semua Hama dan Penyakit Ikan Karantina yang dapat disucihamakan dan/atau
disembuhkan dari Media Pembawanya karena teknologi perlakuannya sudah dikuasai. Media
Pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina yang selanjutnya disebut Media Pembawa
adalah ikan dan/atau Benda Lain yang dapat membawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina.
Ikan adalah semua biota perairan yang sebagian atau seluruh daur hidupnya berada di dalam
air, dalam keadaan hidup atau mati, termasuk bagian-bagiannya. Benda Lain adalah Media
Pembawa selain ikan yang mempunyai potensi penyebaran Hama dan Penyakit Ikan
Karantina.
iTindakan karantina ikan melputi :
1. Pemeriksaan Kelengkapan dan Keabsahan Dokumen
Pemeriksaan kelangkapan dan keabsahan dokumen dilakukan terhadap PPK yang sudah
dilengkapi dengan dokumen karantina dan dokumen persyaratan lainnya.
2. Analisis Media Pembawa
Kegiatan analisa dilakukan untuk mengetahui tingkat risiko terhadap pemasukan media
pembawa yang akan dimasukkan ke dalam wilayah RI, dengan hasil berupa:
a. media pembawa dengan tingkat risiko rendah;
b. media pembawa dengan tingkat risiko tinggi; atau
c. media pembawa yang dilarang pemasukannya ke dalam wilayah Negara Republik
Indonesia.
3. Pemeriksaan Kebenaran Isi Dokumen
Pemeriksaan kebenaran isi dokumen dilakukan untuk mengetahui kesesuaian isi (jenis,
jumlah dan/atau ukuran) media pembawa dengan dokumen yang menyertainya.
4. Pemeriksaan Klinis/Organoleptik
Pemeriksaan klinis/organoleptik dilakukan untuk mengetahui ada/tidaknya HPIK maupun
mutu media pembawa yang didasarkan pada pengamatan gejala/perubahan abnormalitas
secara visual maupun karakteristik fisik (warna dan tekstur), serta bio-kimia (bau,
kontaminan/tercemar dan rasa) melalui alat penginderaan manusia.
5. Penahanan Media Pembawa
18
Tindakan penahanan untuk menahan media pembawa yang akan dimasukkan ke dalam
wilayah Negara Republik Indonesia, dilakukan apabila media pembawa tidak memenuhi
persyaratan dan kelengkapan dokumen karantina. Terhadap media pembawa yang ditahan,
pemilik/kuasa pemilik media pembawa diberikan waktu untuk melengkapi persyaratan.
Tindakan karantina penahanan terhadap media pembawa dilakukan di zona karantina
pelabuhan laut.
6. Penolakan Media Pembawa
Tindakan penolakan dikenakan terhadap media pembawa yang dimasukkan ke dalam
wilayah Negara Republik Indonesia, apabila:
a. Ditemukan ketidaksesuaian antara isi dokumen dengan fisik.
b. Media pembawa berasal dari negara, daerah, atau tempat yang pemasukannya
dilarang; berasal dari atau transit di negara, daerah, atau tempat sedang berjangkit
HPIK yang dapat ditularkan melalui media pembawa tersebut atau termasuk yang
pemasukannya dilarang.
c. Berdasarkan hasil pemeriksaan secara laboratorium ternyata ditemukan agen penyakit
ikan karantina atau terkontaminasi bahan berbahaya yang melebihi batas maksimum.
d. Agen Penyakit yang ditemukan pada media pembawa tidak memungkinkan diberikan
perlakuan untuk menghilangkan bahaya yang dapat ditimbulkan.
e. Pemilik media pembawa tidak dapat melengkapi dokumen yang dipersyaratkan sesuai
batas waktu yang ditentukan.
7. Pemusnahan Media Pembawa
Tindakan pemusnahan dilakukan untuk memusnahkan media pembawa sebagai tindak
lanjut dari tindakan karantina sebelumnya, apabila :
a. Media pembawa tidak segera dibawa keluar dari wilayah tempat pemasukan dalam
batas waktu yang ditentukan.
b. Pemilik/kuasa pemilik media pembawa tidak bersedia/sanggup untuk melakukan
pengeluaran dari wilayah tempat pemasukan.
c. Ditemukan agen penyakit ikan atau bahan berbahaya yang melebihi batas
maksimum yang ditetapkan.
8. Pembebasan Media Pembawa
Tindakan pembebasan dilakukan terhadap media pembawa setelah dikenakan tindakan
karantina sebelumnya dengan mengijinkan media pembawa untuk dimasukkan ke dalam
19
wilayah Negara Republik Indonesia melalui tempat-tempat pemasukan yang telah
ditetapkan, apabila:
a. Pemilik/kuasa pemilik telah memenuhi seluruh persyaratan yang ditetapkan;
b. Hasil pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan adanya HPIK atau bahan
berbahaya yang melebihi batas maksimum yang ditetapkan.
c. Pemilik/kuasa pemilik telah menyelesaikan pembayaran jasa karantina.
20
dalam penyediaan pangan hewani, meningkatnya ketersediaan protein hewani asal ternak dan
tersedianya daging sapi, babi domestic sebesar minimal 90% dari total kebutuhan wilayah
Kota Kupang. Secara lebih rinci sasaran kegiatan bidang peternakan adalah:
a) Tercapainya peningkatan produksi ternak dengan pendayagunaan sumber daya local
b) Tercapainya peningkatan produksi pakan ternak dengan pendayagunaan sumber daya
local
c) Terkendalinya dan tertanggulanginya penyakit hewan menular strategis dan penyakit
zoonosis
d) Terjaminnya pangan hewan yang ASUH dan pemenuhan persyaratan pruduk hewan
non pangan
e) Terjaminnya dukungan manajemen dan teknis
f) Penerbitan kebijakan dan NSPK di bidang perbibitan, budidaya ternak, pakan ternak,
pelayanan kesehatan hewan, pelayanan kesmavet dan pasca panen, serta pelayanan
public
g) Tercapainya peningkatan kuantitas dan kualitas bibit dengan mengoptimalkan sumber
daya local
21
2. Mekanisme Pelaksanaan Program Surveilance Penyakit
Pelaksanaan program surveillance penyakit dilakukan mulai dari pengambilan dan
koleksi sampel, pengkodean sampel, pengemasan dan pengiriman sampel untuk pemeriksaan
yang dilakukan di luar Kota Kupang. Pengambilan dan koleksi sampel meliputi sampel darah
untuk evaluasi keberhasilan vaksinasi dan sampel feses untuk identifikasi parasit
gastrointestinal. Pengkodean sampel dilakukan pada tabung sampel yang dilakukan hanya
dengan pemberian nomor, data lain yang berkaitan dengan sampel diisi pada formulir yang
disediakan. Pengemasan sampel dilakukan sesuai dengan jenis sampel yang diambil. Untuk
sampel darah, dimasukkan ke dalam tabung venoject tanpa antikoagualan untuk dipisahkan
darah dan serumnya sehingga dapat dilakukan pengujian titer antibodi post vaksinasi,
sedangkan untuk sampel feses dikemas dengan penambahan formalin apabila pemeriksaan
tidak segera dilakukan. Pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium UPT Veteriner Dinas
Peternakan Provinsi NTT, namun juga dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner
Denpasar untuk jenis pemeriksaan yang belum tersedia di Laboratorium UPT Veteriner.
22
Hog cholera merupakan penyakit pada babi yang disebabkan oleh virus dari genus
pestivirus. Penyakit ini ditandai dengan gejala demam tinggi, kejang dan adanya hemoragi
pada permukaan kulit, dan organ dalam tubuh babi seperti limpa, ginjal dan usus. Penyakit ini
sangat contagious pada ternak babi, namun tidak bersifat zoonosis. Hog cholera pada babi
bersifat akut sehingga memiliki tingkat mortilitas yang sangat tinggi dan menyebabkan
kerugian pada peternak. Hal ini menjadikan vaksinasi hog cholera menjadi salah satu
program penting dan diutamakan dalam pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan wabah
oleh Dinas Pertanian Peternakan Perkebunan dan Kehutanan Kota Kupang.
b) Septicaemia Epizootica (SE)
Septicaemia Epizootica disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida. Penyakit ini
disebut juga penyakit ngorok dan tidak bersifat zoonosis, namun sangat patogen pada ternak
ruminansia terutama sapi dan kerbau. Gejala klinis dari penyakit ini adalah demam, gangguan
pernapasan sehingga ternak akan mengeluarkan suara pernapasan seperti ngorok, adanya
discharge dari hidung, penurunan aktivitas dan nafsu makan, serta pada kasus akut dapat
menyebabkan kematian mendadak. Penyakit ini sering terjadi di wilayah Kupang khususnya
pada saat pergantian musim. Vaksinasi merupakan salah satu cara pencegahan yang paling
penting sehingga menjadi prioritas dalam program penanggulangan wabah dan surveillance
penyakit oleh Dinas Pertanian Peternakan Perkebunan dan Kehutanan Kota Kupang.
c) Newcastle Disease
Penyakit Newcastle Disease (ND) yang dikenal juga dengan tetelo merupakan
penyakit infeksi viral pada ayam yang disebabkan oleh paramyxovirus. Penyakit ini sangat
contagious pada ayam dan menyebabkan mortilitas tinggi pada ayam. Gejala klinis pada
ayam meliputi adanya discharge dari hidung, ngorok, kelemahan dan gejala paling khas
adalah tortikolis atau leher terpelintir.
d) Colibasilosis
Colibasilosis merupakan salah satu penyakit bacterial dan bersifat zoonosis yang
disebabkan oleh bakteri E. coli. Penyakit ini sering menyerang babi, terutama anak babi
dengan umur di bawah 6 bulan. Gejala klinis yang ditimbulkan adalah kelemahan, penurunan
nafsu makan dan diare. Pengobatan kasus colibasilosis yang biasanya dilakukan adalah
dengan pemberian antibiotic preparat sulfa.
23
4. Mekanisme Pelaksanaan Program Vaksinasi Rutin Dan Penanggulangan Wabah
Penyakit Hewan
24
dilakukan evaluasi keberhasilan vaksinasi dengan pengambilan serum ternak untuk dilakukan
pemeriksaan titer antibody 1 minggu pasca vaksinasi.
Pelayanan kesehatan hewan lainnya seperti pengobatan ternak maupun hewan
kesayangan juga dapat dilakukan dengan house calling dan petugas akan langsung turun ke
lapangan untuk melakukan pelayanan kesehatan. Pelayanan house calling yang paling sering
dilakukan adanya pemeriksaan klinis hewan, vaksinasi dan pengobatan hewan kesayangan,
pengobatan ternak babi khususnya kasus colibasilosis pada anak babi dan pemberian obat
cacing.
5. Mekanisme Pembuatan Surat Ijin Untuk Pengiriman Hewan Dan Produk Asal
Hewan Dari Dalam/Luar Wilayah Kota Kupang
Mekanisme administrasi perijinan pengiriman hewan dan produk asal hewan dari
wilayah kota kupang ke luar kota kupang serta mekanisme administrasi perijinan pemasukan
hewan dan produk asal hewan dari luar kota kupang ke wilayah Kota Kupang dilakukan
dengan mengacu pada SK Walikota Kupang No.61/KEP/HK/2008 tentang Ijin Pemasukan
dan Pengeluaran Ternak, Pakan Ternak, Hasil Ternak serta Hasil Ikutannya. Tahapan
administrasi perijinan antara lain :
Pengajuan permohonan kepada Kepala Dinas dengan kelengkapan surat permohonan
dan fotokopi KTP.
Kepala Dinas mendisposisikan permohonan ke Bidang Veteriner. Perlu dilengkap
dengan pas foto
25
Kepala Bidang Veteriner mendisposisikan ke Seksi Usaha dan Pengembangan Ternak
dan Produksi apabila mengurus ijin pemasukan atau pengeluaran pakan ternak, hasil
ternak serta hasil ikutannya. Perlu dilengkapi dengan SKK dari UPTD Kesmavet Kota
Kupang.
Kepala Bidang Veteriner mendisposisikan ke Seksi Kesehatan Hewan apabila
mengurus ijin pemasukan atau pengeluaran ternak. Perlu dilengkapi dengan daftar
distribusi DOC, SKS dari daerah asal dan buku vaksin khusus kucing dan anjing.
Dilakukan pelayanan Sertifikat Sehat oleh Seksi Kesehatan Hewan sesuai dengan
permohonan yang diajukan.
Penandatanganan Sertifikat kesehatan oleh dokter hewan yang berwenang.
Pemrosesan sertifikat/ijin sesuai permohonan oleh Seksi Kesehatan Hewan.
Penyerahan sertifikat/ijin kepada pemohon.
Penyelesaian administrasi sesuai SK Walikota Kupang No.61/KEP/HK/2008 ke
bendahara penerima/penyetor.
6. Mekanisme Pembuatan Ijin Praktek Dokter Hewan dan Ijin Mendirikan Depo Obat
Hewan
Mekanisme pengurusan Nomor Kontrol Veteriner, ijin praktek dokter hewan dan ijin
mendirikan depo obat hewan dilakukan dengan mengacu pada Perda Kota Kupang No.16
Tahun 2002 tentang Ijin Usaha Sarana Kesehatan Hewan. Alur atau mekanisme yang harus
dilalui antara lain :
26
Pengajuan permohonan kepada Kepala Dinas
Kepala Dinas mendisposisikan permohonan ke Bidang Veteriner. Perlu dilengkap
dengan fotokopi KTP
Kepala Bidang Veteriner mendisposisikan ke seksi Kesehatan hewan yang menangani
depo obat hewan, toko obat hewan, praktik dokter hewan, klinik hewan dan
laboratorium keswan.
Petugas dari Bidang Veteriner Seksi Kesehatan Hewan melakukan identifikasitempat
usaha dan persyaratan sesuai permohonan.
Pemrosesan sertifikat/ijin sesuai permohonan oleh Seksi Kesehatan Hewan.
Penyerahan sertifikat/ijin kepada pemohon.
Penyelesaian administrasi sesuai Perda No.16 tahun 2002 ke bendahara
penerima/penyetor.
1. Aspek Teknis
a. RPH sebagai tempat dilaksanakan pemotongan hewan secara benar sesuai standar
teknis
b. RPH sebagai tempat pem antemortem dan postmortem untuk mencegah penularan
penyakit termasuk zoonosis
c. RPH bagian surveilans dengan mengidentifikasi penyakit hewan menular yang terjadi
untuk dipantau dan penulusuran balik ke daerah asal yang dilakukan melalui
penelitian dan/atau penyidikan lebih lanjut
d. RPH sebagai tempat seleksi dalam pengendalian pemotongan ternak sapi/kerbau
betina yang masih produktif.
2. Aspek Sosial
RPH sebagai sarana pelayanan kepada masyarakat dalam penyediaan daging yang aman
dan layak dikonsumsi serta halal bagi ternak yang dipersyaratkan.
27
3. Aspek Regulasi dan Standar
Regulasi RPH telah diatur dalam UU No.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan, UU No.18/2012 tentang Pangan, PP No.95/2012 tentang Kesehatan Masyarakat
Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, Kepmentan No.557/Kpts/TN.520/9/1897 tentang
Syarat-syarat Rumah Potong Unggas dan Usaha Pemotongan Unggas, Kepmentan
No.295/Kpts/TN.520/9/1987 tentang PemotonganBabi dan Penanganan Daging Babi, serta
Hasil Ikutannya, Kepmentan No.413/Kpts/TN.310/9/1992 tentang Pemotongan Unggas dan
Penanganan Daging Unggas dan Hjasil Ikutannya, dan No.306/Kpts/TN.330/4/1994 tentang
Pedoman Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging Unggas serta hasil ikutannya,
Kepmentan No.557/Kpts/TN.520/9/1987 tentang Syarat Rumah Potong Hewan dan Usaha
Pemotongan Hewan dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/Permentan/OT.140/1/2010
Tahun 2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan
Daging dan beberapa standar terkait daging, yaitu:
a. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999 mengenai Rumah Potong Hewan;
b. Standar Nasional Indonesia No.01-3523-1994 Persyaratan Sapi Potong.
c. Standar Nasional Indonesia No.3932:2008 Mutu Karkas dan Daging Sapi
d. Standar Nasional Indonesia No.4230:2009 Mutu Karkas Daging Ayam
e. Standar Nasional Indonesia No.3925:2008 Mutu Karkas dan Daging Kambing/Domba
f. Standar Nasional Indonesia No.01-2734-1992 Ternak Babi Siap Potong
g. Standar Nasional Indonesia No.01-3141-1998 Susu Segar
h. Standar Nasional Indonesia No.01-4277-1996 Telur Asin
i. Standar Nasional Indonesia No.3926:2008 Telur Ayam Konsumsi
j. Standar Nasional Indonesia No.06-2736-1992 Kulit Sapi Mentah Basah.
k. Standar Nasional Indonesia No.01-2908-1992 Dendeng Sapi
l. Standar Nasional Indonesia No.01-4852-1999 Sistem Analisa Bahaya dan
Pengendalian Titik Kritis (HACCP) serta Pedoman Penerapannya.
m. Standar Nasional Indonesia SNI-19-14001-2005 Sistem manajemen lingkungan -
Persyaratan dan panduan penggunaan.
n. Standar Nasional Indonesia ISO 22000:2009 Sistem Manajemen Keamanan Pangan
dan Persyaratan Untuk Organisasi Dalam Rantai Pangan.
o. Standar Nasional Indonesia 503-2000 Prosedur pengambilan, penanganan dan
pengiriman contoh
30
Seluruh perlengkapan pendukung dan penunjang di RPH harus terbuat dari
bahan tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta mudah dirawat
harus dilengkapi dengan railing system dan alat penggantung karkas yang didesain
khusus serta disesuaikan dengan alur proses, sarana untuk mencuci tangan didisain
khusus (tangan tidak menyentuh kran) setelah mencuci tangan, dilengkapi dengan
sabun dan pengering tangan dan tempat sampah.
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat dikatakan RPH Kota Kupang belum memenuhi
persyaratan bangunan, sarana dan prasarana serta peralatan sesuai dengan yang distandarkan.
Hal ini dapat dilihat dari bentuk dan bangunan RPH serta kapasitas tampung ternak yang
belum memadai dimana tempat pemotongan sering juga digunakan sebagai kandang
penampungan dan kandang istirahat, sistem penurunan ternak, sistem penggiringan ternak ke
tempat pemotongan, sarana pengelolaan daging, alat angkut daging dan sarana higiene dan
sanitasi yang belum terpenuhi dengan baik.
PEMERIKSAAN ANTEMORTEM
Pemeriksaan antermortem adalah pemeriksaan kesehatan hewan sebelum hewan
dipotong. Tujuan pemeriksaan antemortem adalah untuk memastikan hewan yang berada
dalam keadaan cukup istirahat, menghindari pemotongan hewan yang sakit (penyakit hewan
menular, zoonosis), mencegah kemungkinan terjadinya kontaminasi pada tempat
pemotongan, alat dan pegawai/pekerja, sebagai bahan informasi bagi keperluan pemeriksaan
postmortem dan untuk mengawasi penyakit-penyakit tertentu yang harus dilaporkan.
Pemeriksaan ini maksimal dilakukan 24 jam sebelum pemotongan. Hewan yang akan
dipotong haruus diistirahatkan terlebih dahulu selama paling minimal 12 jam.
Prinsip pemeriksaan antemortem adalah pengamatan (inspeksi) dan perabaan (palpasi),
terhadap status gizi dan keaktifan ternak yang dilihat dari sikap berdiri dan bergerak dari
segala arah, kondisi lubang kumlah (hidung, mulut, mata, telinga, anus dan vulva), kondisi
mukosa (hidung, mulut, mata, vagina), kondisi kulit dan bulu (kekusaman dan kebersihan),
pemeriksaan limfoglandulan (lg. submaxillaris, prescapularis dan inguinalis), suhu tubuh,
denyut nadi atau pulsus, frekuensi pernapasan serta ada tidaknya cacat fisik baik akibat
genetik, penyakit tertentu maupun cacat saat pengangkutan dan transportasi. Pada
pemeriksaan antemortem juga perlu dilakukan identifikasi terhadap jenis kelamin, usia dan
status reproduksi ternak. Hal ini untuk mencegah pemotongan ternak betina produktif
maupun pemotongan betina bunting.
31
Pemeriksaan antemortem harus dilakukan dalam cahaya yang cukup terang dan ternak
diperiksa secara berkelompok atau individual pada saat istirahat atau bergerak. Beberapa
abnormalitas yang harus diteliti pada saat pemeriksaan antemortem yaitu:
1. Abnormalitas pernafasan.
Dilakukan melalui pemeriksaan frekquesi pernafasan/respirasi, juga diamati pola cara
bernafas, yang membedakan antara hewan sehat dan sakit. Bila ada dugaan ternak sakit
harus segera dipisahkan dari ternak yang sehat.
2. Abnormalitas perilaku.
Pengamatan perilaku meliputi gejala antara lain yang mungkin timbul yaitu:
a. Ketika berjalan saat keliling apa menampakkan jalan pincang atau postur ketika
berjalan terlihat abnormal;
b. Ada tidaknya pola menekan-nekan kepalanya ke dinding;
c. Ada tidaknya perilaku sangat agresif;
d. Apakah terlihat dungu dan ekspresi mata yang liar;
e. Ada tidaknya gangguan rasa.
Hal ini juga dapat ditunjukkan ada perdarahan tanpa gejala komplikasi ataupun dengan
komplikasi atau ada terjadi gejala proses keracunan.
3. Abnormal kepincangan
Abnormal kepincangan sangat berhubungan dengan rasa sakit pada kaki, dada, abdomen
atau indikasi gangguan syaraf.
4. Abnormalitas bentuk tubuh (posture)
Diamati melalui bentuk abdomen atau pada saat akan berdiri melalui cara ternak
mengangkat kepala atau mengangkat kaki atau ternak mungkin tiduran dengan kepala
terkulai kesisi. Ketika ternak tidak mampu mengangkat tubuhnya bangun
(ambruk/downer) yang harus dilakukan perlu perhatian khusus untuk mencegah
penderitaan berkepanjangan.
5. Abnormalitas pada susunan tubuh (conformasi).
Abnormal susunan tubuh (conformasi) dapat diartikan sebagai berikut:
a. Terlihat bengkak (abses) pada tubuh yang umumnya diderita ternak babi;
b. Pembengkakan persendian;
c. Pembengkakan tali pusar, hernia atau omphalophlebitis.
d. Pembengkakan ambing karena mastitis;
e. Pembengkanan rahang;
32
f. Pembengakan abdomen (bloated abdomen).
6. Abnormal leleran atau cairan yang keluar dari tubuh ternak.
Beberapa contoh abnormal leleran atau yang keluar dari tubuh ternak adalah:
a. Leleran hidung, cairan ludah berlebihan dari mulut, atau cairan berlebihan setelah
melahirkan lubang kelamin;
b. Keluar cairan berlebihan dari vulva atau usus;
c. Adanya penonjolan rectum (prolap rectum) atau uterus;
d. Adanya penonjolan dari vagina (prolapsus uterus);
e. Adanya penonjolan mata dan diare berdarah.
7. Abnormal warna
Abnormal warna seperti adanya peradangan pada mata, radang pada kulit, kebiruan pada
kulit atau ambing (adanya gangrene). Abnormal warna dapat menunjukkan status
penyakit akut atau kronis.
8. Abnormal bau
Abnormal bau sulit diketahui apabila tidak diamati secara rutin selama pemeriksaan
antemortem. Bau yang berkembang dari abses, atau bau yang berasal dari pengobatan,
dan bau khas dari pakan yang dikonsumsi atau bau acetone pada kasus ketosis harus
dibedakan.
Pemeriksaan antemortem yang dilakukan di RPH Dinas Peternakan Kota Kupang
umumnya hanya dilakukan dengan pendataan jenis kelamin saja, tanpa dilakukan inspeksi
dan palpasi terhadap status kesehatan ternak. Pemeriksaan fisik seperti pengukuran suhu,
frekuensi pulsus dan pernafasan dilakukan hanya apabila terdapat ternak yang menunjukkan
gejala klinis seperti muntah maupun diare. Pemeriksaan pada ternak tidak dilakukan setiap
hari, melainkan hanya pada hari Rabu dan Kamis yang merupakan hari pasar ternak,
sedangkan ternak babi tidak dilakukan pemeriksaan sama sekali.
Pemeriksaan antemortem dilakukan terhadap 137 ekor sapi dan 30 ekor babi. Hasil
pemeriksaan menunjukkan sebagian besar ternak baik sapi maupun babi yang dipotong
adalah ternak betina dan masih dalam usia produktif. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap
keberadaan cacat fisik pada ternak. Cacat fisik yang ditemukan pada ternak umumnya
disebabkan akibat perlakuan sebelum dan pada saat pengangkutan. Cacat fisik yang
ditemukan pada ternak sapi antara lain : adanya luka dan perdarahan pada bagian kaki dan
wajah, adanya peradangan yang mengakibatkan ternak kesulitan berjalan, kelumpuhan
sehingga ternak tidak dapat berdiri dan menopang tubuhnya, ketiadaan kuku dan katarak
33
yang disertai proptosis. Sedangkan pada ternak babi, cacat fisik yang ditemukan umumnya
berupa peradangan dan luka pada kaki akibat pengikatan kaki yang terlalu kuat dan perlakuan
pada saat pengangkutan dan penurunan ternak yang cukup kasar. Berdasarkan hasil
pemeriksaan ini (dengan mengabaikan pemeriksaan fisik), dimana ternak umumnya tidak
menunjukkan gejala penyakit sistemik dan hanya mengalami kecacatan dan abnormalitas
postus tubuh maka keputusan yang dapat diambil adalah ternak boleh dipotong dan ternak
harus segera dipotong untuk ternak yang mengalami kelumpuhan dan cacat pada kaki yang
menyebabkan ternak kesulitan menopang beban tubuhnya.
Ternak sebelum pemotongan diistirahatkan pada kandang yang tersedia.
Pengistirahatan ternak sapi umumnya dilakukan 12-144 jam sesuai dengan waktu
pemotongan ternak, karena kedatangan ternak di RPH hanya terjadi pada hari rabu dan
kamis. Ternak yang menunjukkan gejala sakit dan memiliki cacat fisik umumnya disembelih
terlebih dahulu. Pada beberapa kali pemeriksaan, sering ditemukan ternak dipotong tanpa
diistirahatkan terlebih dahulu. Pemilik membawa ternak pada dini hari saat pemotongan
berlangsung sehingga ternak langsung dipotong. Tidak jarang juga ditemukan ternak yang
telah mati tetap dibawa ke RPH bersama-sama dengan ternak yang hidup. Ternak yang telah
mati sebelum tiba di RPH langsung dibuka bangkainya, dicuci dengan air dan diletakkan es
batu lalu dibiarkan hingga dini hari sehingga karkas dari sapi yang mati dicampurkan dengan
karkas sapi yang baru dipotong. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip ASUH yang
seharusnya diterapkan dalam proses pemotongan hewan dan pengolahan karkas. Kejadian
seperti ini sangat membahayakan masyarakat konsumen karena berpotensi menyebabkan
foodborne zoonosis disease.
PEMERIKSAAN POSTMORTEM
Pemeriksaan postmortem adalah pemeriksaan terhadap karkas dan jeroan setelah
pemotongan ternak. Tujuan pemeriksaan postmortem adalah untuk meneguhkan diagnosa
antemortem, mendeteksi dan mengeliminasi kelainan-kelainan pada daging agar daging
tersebut aman dan layak dikonsumsi, menjamin pemotongan yang baik dan benar, halal serta
higienis dan memeriksa kualitas daging sebelum didistribusikan ke pasar. Pemeriksaan
postmortem umumnya dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan incise bila diperlukan.
Pemeriksaan postmortem dilakukan pada masing-masing 30 ekor ternak sapi dan babi.
Pemeriksaan dilakukan dengan pemeriksaan kepala, paru-paru, hati, jantung, limpa dan otot.
Pemeriksaan dilakukan untuk melihat ada tidaknya perubahan morfologi, struktur dan
34
keberadaan cacing maupun bentuk kista cacing. Pada pemeriksaan yang dilakukan baik pada
ternak sapi maupun babi ditemukan beberapa keadaan patologis yang dapat dilihat pada
gambar di bawah.
Hasil Pemeriksaan Postmortem
a. Pemeriksaan Kepala
Pemeriksaan pada daerah kepala meliputi pemeriksaan lidah dan otot masseter.
Pemeriksaan pada lidah bertujuan untuk mengetahui adanya nodul-nodul yang biasanya
ditemukan pada kasus actinomycosis maupun lesi patologis lain seperti adanya hemoragi,
sedangkan pemeriksaan otot masseter bertujuan untuk mengetahui keberadaan kista
sistiserkus ovis pada sapi dan sistiserkus selulosa pada babi. Hasil pemeriksaan menunjukkan
tidak ditemukan adanya perubahan patologis baik pada ternak sapi maupun babi.
b. Pemeriksaan Otot
Pemeriksaan otot atau karkas bertujuan untuk melihat warna karkas, ada tidaknya
pembengkakan dan kista cacing. Beberapa otot seperti otot masseter, otot intercostae dan otot
diafragma merupakan organ predileksi dari larva cacing taenia atau sistiserkus. Adanya
pembengkakan pada karkas baik lokal maupun menyeluruh sangat tidak disukai. Hal ini
terjadi karena ternak terserang penyakit helminthiasis dan trypanosomyasis. Perubahan pada
warna karkas dapat disebabkan karena pengeluaran darah yang tidak sempurna. Hasil
pemeriksaan menunjukkan tidak ditemukan adanya perubahan patologis baik pada warna,
struktur maupun morfologi otot. Otot atau karkas berwarna merah kecoklatan tanpa adanya
nodul ataupun kista.
c. Pemeriksaan Hati
Pemeriksaan hati bertujuan untuk mengetahui adanya infeksi parasite cacing, peradangan,
neoplasia maupun perubahan patologis lainnya. Hati normalnya berwarna coklat dengan
permukaan licin dan halus, tepian rata dan konsistensi kenyal. Hati merupakan salah satu
organ predileksi cacing, seperti taenia sp. sehingga dapat ditemukan bentuk kista pada
permukaan hati. Hasil pemeriksaan hati sapi maupun babi umumnya menunjukkan keadaan
normal, namun pada beberapa pemeriksaan ditemukan adanya hemoragi pada parenkim hati.
Kondisi hemoragi ini dapat disebabkan akibat adanya penyakit maupun akibat cara
pemotongan yang kurang baik. Pada salah satu sampel hati sapi ditemukan adanya fokal
fibrosis pada permukaan parenkim tanpa adanya perubahan patologis lainnya, sehingga hati
hanya diafkir sebagian yang terdapat kista. Sedangkan pada salah satu hati babi ditemukan
35
adanya multifocal fibrosis yang juga terdapat perubahan warna hati menjadi ungu kebiruan
yang menandakan adanya infeksi berat sehingga keseluruhan hati diafkir. Salah satu organ
hati sapi yang diperiksa juga menunjukkan adanya bercak-bercak berwarna putih yang saat
diincisi tidak terdapat perubahan pada daerah medial hati, sehingga organ tidak perlu diafkir.
d. Pemeriksaan Limpa
Limpa normal berbentuk oval memanjang, gepeng, bewarna biru keabuan dengan
konsistensi lunak. Pemeriksaan limpa biasanya dilakukan terutama untuk deteksi kejadian
antraks, dimana antraks menciri dengan pembesaran limpa (splenomegali) dan warna
kehitaman. Pada pemeriksaan limpa, umumnya limpa normal dan tidak mengalami perubahan
patologis, namun pada beberapa pemeriksaan ditemukan adanya multifocal hemoragi dan
hemoragi pteki pada limpa. Kondisi ini sebenarnya bukan merupakan kondisi patologis
karena limpa merupakan salah satu organ tempat pembongkaran sel darah merah sehingga
sering ditemukan dalam keadaan berdarah (Dirjen Kesmavet, 2012).
a. Bebas dari haus dan lapar (Freedom from hunger and thirst)
Ternak harus diperlakukan dengan baik yaitu dengan menyiapkan air minum segar dan
pakan sebelum disembelih guna mempertahankan kesehatan dan kebugaran ternak
setelah menempuh perjalanan dari tempat asal ke tempat pemotongan.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di RPH, prinsip ini belum diterapkan
secara baik, dimana ternak yang diistirahatkan biasanya tidak diberi makan dan minum
kecuali jika disediakan dan diberikan oleh pemilik. Terutama pada ternak babi, babi yang
diikat tidak pernah diberi makan selama istirahat dan diikat dengan tali yang pendek
sehingga babi tidak bisa mengakses air yang berada dekat kandang istirahat.
36
b. Bebas dari ketidaknyamanan fisik
Ternak yang akan disembelih disediakan tempat perlindungan dan peristirahatan agar
cukup tenaga ketika akan disembelih dan tidak stress akibat cekaman panas maupun
hujan.
Prinsip ini belum diterapkan di RPH Kota Kupang. Kandang istirahat yang disediakan
memiliki lantai yang tidak tertutup sempurna sehingga sewaktu-waktu dapat melukai
ternak. Selain itu sapi-sapi yang mengalami cacat fisik seperti lumpuh diikat di luar
kandang istirahat sehingga terkena hujan dan juga cekaman panas. Sapi-sapi yang diikat
dalam kandang pun terlalu banyak sehingga membatasi gerakan ternak, bahkan beberapa
ekor sapi terinjak oleh sapi yang lain.
c. Bebas sakit, terluka dan penyakit (Freedom pain, injury and diseases)
Ternak yang akan disembelih harus bebas dari rasa sakit, terluka dan penyakit sehingga
menghasilkan daging yang sehat. Berdasarkan pengamatan di RPH, ternak cenderung
merasakan sakit akibat perlakuan saat penurunan ternak dari mobil angkut, saat menuju
tempat pemotongan dan saat penyembelihan. Ternak yang diturunkan dari mobil angkut,
ditarik paksa dengan menggunakan tali dan seringkali meninggalkan luka pada daerah
sekitar leher dan wajah. Selain itu, pada RPH babi, ternak babi ditarik secara kasar
menggunakan tali dan seringkali menyebabkan babi jatuh ke dalam selokan air. Sebelum
dilakukan pemotongan, seharusnya ternak dipingsankan terlebih dahulu untuk
mengurangi rasa sakit saat pemotongan, namun pemingsanan tidak dilakukan. Setelah
ternak ditikam dengan pisau, tidak dipastikan apakah ternak sudah benar-benar mati,
sehingga sering ditemukan ternak sapi yang kesakitan saat disiram dengan air dan ternak
babi yang menggeliat kesakitan akibat penyiraman dengan air panas yang digunakan
untuk membersihkan permukaan tubuh babi.
d. Bebas dari rasa ketakutan dan stress (Freedom from fear and distress)
Ternak konsumsi dicegah dari rasa ketakutan akibat ruda paksa dan perlakuan
penyiksaan pemotongan ketika tidak menggunakan pisau tajam. Berdasarkan hasil
pengamatan, hamper semua ternak sebelum dipotong mengalami stres dan rasa takut. Hal
ini dilihat dari cara menggiring ternak menuju ruang pemotongan yang dilakukan dengan
kasar sehingga ternak sering melawan dan memberontak. Selain itu, ternak lain yang
belum dipotong dibiarkan melihat proses pemotongan yang menyebabkan ternak stres.
37
BAB IV
PENUTUP
1. Evaluasi terhadap higiene dan kualitas bahan pangan asal hewan perlu dilakukan untuk
menjamin keamanan dan kesehatan bahan pangan yang dikonsumsi. Pemeriksaan dapat
dilakukan secara sederhana dengan uji organoleptik maupun uji laboratoris.
2. Karantina hewan dan karantina ikan merupakan lembaga yang berperan dalam mencegah
keluar/masuknya penyakit hewan atau penyakit karantina ikan ke dalam maupun ke luar
wilayah Indonesia maupun antararea dalam negara Indonesia. Dalam melaksanakan
fungsinya, karantina diberi wewenang untuk melakukan 8 tindakan karantina yang
meliputi pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan,
pemusnahan dan pembebasan.
3. Dinas Pertanian Peternakan Perkebunan dan Kehutanan Kota Kupang merupakan salah
satu lembaga yang berperan dalam melakukan tugas surveilance penyakit, pelayanan
kesehatan hewan, tindakan pencegahan dan penanggulangan wabah, dan pengurusan
administrasi ijin pengeluaran dan pemasukan produk hewan, ijin mendirikan sarana
kesehatan hewan dan ijin pemasaran produk yang berkaitan dengan hewan.
38
DAFTAR PUSTAKA
Alvarado, C. and S. McKee. 2007. Marination To Improve Functional Properties And Safety
Of Poultry Meat. J. Appl. Poult. Res. 16:113- 120.
Anonim. 2009. Haugh Unit Pada Telur ayam Ras dan Telur Puyuh.
http://www.Trobos.com/show_artikel.php/. Diakses 18 Desember 2017
Antony, S. 2010. Analisa Kandungan Formalin Pada Ikan Asin Dengan Metoda
Spektrofotometri Di Kecamatan Tampan Pekanbaru. Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru
Balia, Rostita., Harlia, Ellin., Suryanto, Denny. 2011. Deteksi Coliform Pada Daging Sapi
Giling Spesial yang Dijual di Hipermarket Bandung. Pustaka.unpad.ac.id.
Bell C, Kyriakides A. 2002. Salmonella a Partical Approach to the Organism and Its Control
in Food. Iowa: Blackwell Sci.
Bhunia AK. 2008. Foodborne Microbial Pathogens: Mechanisms and Pathogenesis. New
York: Springer
Brands DA. 2006. Deadly Diseases and Epidemics: Salmonella. Philadelphia: Chelsea House
Pub.
Burke, R. M., dan F. J. Monahan.,2003. The tenderization of shin beef using a citrus juice
marinade. Meat Sci., 63:161-168.
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleedrds, dan M. Wooton. 2007. Ilmu Pangan.
Terjemahan Hari Purnomo dan Adiono. UI Press. Jakarta
BUCKLE, K.A., R.A. EDWARD, G.H. FLEET dan M. WOOTTON, 1987. Ilmu Pangan.
Universitas Indonesia Press, Jakarta (diterjemahkan oleh H. Purnomo dan Adiono).
Abustam, E dan H.M. Ali. 2010. Bahan Ajar Ilmu dan Teknologi Daging. Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar.
Detha, Annytha.I.R., Wuri D.A dam Kallau N.H.G. 2015. Buku panduan koasistensi
laboratorium kesehatan masyarakat veteriner. Pendidikan Profesi Dokter Hewan
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana. Kupang-NTT.
Harmoni, D. 2006. Seluk Beluk Formalin. www.hd.co.id
Humphrey T. 2006. Public health aspects of Salmonella enteric in food production. Dalam
Mastroeni P, Maskell D, editor, Salmonella Infections, Clinical, Immunological and
Molecular Aspects. Cambridge: Cambridge University Pr. Hlm 89-116
Lawrie RA, Ledward DA. 2006. Lawrie’s Meat Science. Cambridge: Woodhead Pub.
39
Lubis, H.A., I Gusti K.S, dan Mas D.R. 2012. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan telur
ayam kampung terhadap jumlah Eschericia Coli. Indonesia Medicus Veterinus.1
(1):144-159.
Marlina, E.T., R.L. Balia, dan Y.A Hidayat. 2012. Uji organoleptik daging ayam yang diberi
ransum yang mengandung lumpur susu terfermentasi oleh Aspergillus niger. Jurnal
Ilmu Ternak, 12(1):20-23.
Munday, B.L., Nakai, T. 1997. Special topic review: Nodaviruses as pathogens in larval and
juvenile marine finfish. World Journal of Microbiology and Biotechnology 13, 375–
381
Neta AVC, Mol JPS, Xavier MN, Paixao, TA, Lage AP, Santos RL. 2010. Pathogenesis of
bovine brucellosis. J Vet. 184:146-155
Pui, C.F., Wong W, Chai L.C, Tunung R, Jeyaletchumi P, Noor H.M.S, Ubong, A,
Farinazleen M.G, Cheah Y.K, Son R. 2011. Salmonella: A foodborne pathogen. Int
Food Res J. 18:465-473.
Romanoff, A.L. and A. J. Romanoff. 1963, The Avian Eggs, John Wiley and Sons, Inc., New
York
Standar Nasional Indonesia (SNI) No: 01-6366-2000. Batas Maksimum Residu Mikroba dan
Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Standar Nasional
Indonesia.
Sudrajat, G. 2007. Sifat fisik dan organoleptik bakso daging sapi dan daging kerbau dengan
penambahan karagenan dan khitosan. Fakultas Peternakan: Institut Pertanian Bogor.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Soeparno, 2009. Ilmu dan teknologi daging. Yogyakarta:Penerbit Gadjah Mada University
Press.
Sunarlim, R dan Usmiati, S. 2009. Karakteristik Daging Kambing dengan Perendaman Enzim
Papain (The Characteristic Of Goat Meat Soaked In Papain). Seminar Nasional
40
Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian. Bogor.
Syam, S.Y, 2009. Pengaruh Pengemasan dan Lama Maturasi Terhadap pH, Daya Ikat Air dan
Susut Masak Daging Sapi Bali. Skripsi Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan
Yuwanto, T. 2010, Telur dan Kualitas Telur. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
41