Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kematian bayi dan balita merupakan salah satu parameter derajat kesehatan
suatu negara. Sebagian besar penyebab kematian bayi dan balita dapat dicegah
dengan teknologi sederhana di tingkat pelayanan dasar, salah satunya adalah dengan
menerapkan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ditingkat pelayanan dasar.
Bank Dunia, 1993 melaporkan bahwa MTBS merupakan intervensi yang cost effective
untuk mengatasi masalah kematian bayi dan balita yang disebabkan oleh infeksi
Pernafasan Akut (ISPA), Diare, Campak, Malaria, Kurang Gizi dan yang sering
merupakan kombinasi dari keadaan tersebut.
Puskesmas Kayen merupakan fasilitas pelayanan tingkat pertama yang
menyediakan pelayanan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di wilayah kerja
Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang. Untuk itu penyelenggaraan MTBS harus
sejalan dengan visi dan Misi Puskesmas.

B. Tujuan
Pedoman ini dimaksudkan agar tersedianya panduan bagi pegawai puskesmas
dan tim di poli MTBS puskesmas Kayen dalam melaksanakan pelayanan rawat jalan.

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pedoman ini meliputi pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS) rawat jalan pada seluruh Balita Sakit di wilayah kerja puskesmas Kayen.

D. Batasan Operasional
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Interited Management of
Childhood Illness (IMCI) merupakan suatu pendekatan yang terintegrasi atau terpadu
dalam tatalaksana balita sakit dengan fokus pada kesehatan anak usia 2 – 59 bulan
(balita) secara menyeluruh. MTBS bukan merupakan suatu program kesehatan tetapi
suatu pendekatan atau cara penatalaksanaan balita sakit. Konsep pendekatan MTBS
yang pertama kali diperkenalkan oleh organisasi kesehatan dunia WHO (World
Health Organizations) merupakan suatu bentuk strategi upaya pelayanan kesehatan
yang ditujukan untuk menurunkan angka kematian, kesakitan dan kecacatan bayi dan
balita di negara-negara berkembang.
Derajat kesehatan merupakan pencerminan kesehatan perorangan, kelompok,
maupun masyarakat yang digambarkan dengan umur harapan hidup, morbiditas dan
mortalitas dan status gizi masyarakat. Sehat dapat mencakup pengertian yang luas.
Yakni bukan saja bebas dari penyakit tetapi juga tercapai keadaan kesehatan baik
fisik, mental dan sosial.

1
Ada tiga komponen dalam penerapan strategi MTBS yaitu :

1. Komponen I: meningkatakan keterampilan petugas kesehatan dalam


tatalaksana kasus balita sakit (dokter, perawat, bidan, petugas kesehatan).
2. Komponen II: memperbaiki sistem kesehatan agar penanganan penyakit
pada balita lebih efektif.
3. Komponen III: memperbaiki praktek keluarga dan masyarakat dalam
perawatan di rumah dan upaya pencarian pertolongan kasus balita sakit
(meningkatakan pemberdayaan keluarga dan masyarakat, yang dikenal
sebagai Manajemen Terpadu Balita Sakit berbasis masyarakat).

E. Landasan Hukum
Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 menekankan pentingnya
upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Hal ini terlihat dengan adanya pesan
agar tenaga kesehatan melakukan fungsinya secara profesional sesuai dengan
standar dan pedoman. Kebutuhan untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan di
Indonesia, paling tidak dipengaruhi oleh tiga perubahan besar yang memberikan
tantangan dan peluang. Perubahan itu meliputi sumberdaya yang terbatas, adanya
kebijakan desentralisasi dan berkembangnya kesadaran akan pentingnya mutu dalam
pelayanan kesehatan (Depkes, 2003:17).

2
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia


Tenaga kesehatan unit rawat jalan di fasilitas kesehatan tingkat dasar yaitu
paramedis (perawat, bidan puskesmas) serta Dokter Puskesmas.
B. Distribusi Ketenagaan
Distribusi ketenagaan di Puskesmas Kayen untuk program MTBS pada tahun 2023
dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.
NAMA JABATAN PENDIDIKAN TERAKHIR KETERANGAN
Perawat Ahli Ners 2 Orang
Bidan D III Kebidanan 2 Orang
Bidan D IV Kebidanan 1 Orang
Dokter Konsulen Profesi Dokter 2 Orang

C. Jadwal Pelayanan
Jadwal pelayanan poli MTBS Puskesmas Kayen dilakukan pada setiap hari
kerja, yaitu Senin-Kamis (07.30-15.30) dan Jumat (07.30-14.15), Sabtu (07.30-14.00).

3
BAB III
STANDAR FASILITAS

A. Denah Ruangan
Berdasarkan Buku Pedoman Standar Pelayanan Kesehatan MTBS Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, standar ukuran ruangan poli MTBS puskesmas
sebesar 3m x 4 m. Ukuran ruang MTBS di Puskesmas Kayen belum sesuai standar
ukuran namun fungsinya berjalan dengan baik. Koordinasi pelaksanaan kegiatan
MTBS dilakukan oleh penanggung jawab MTBS yang menempati ruang poli MTBS di
gedung puskesmas Kayen yang terletak di sebelah ruang KIA.

4
B. STANDAR FASILITAS
- Buku panduan MTBS Modul 1 – 7
- Algoritma/Buku Bagan MTBS
- Panduan Tatalaksana MTBS?
- Formulir MTBS
- Buku Register
- Stetoscop
- Thermometer
- Timer
- Timbangan Dewasa
- Timbangan Bayi
- Pengukur panjang Bayi
- Pengukur tinggi badan

5
BAB IV
TATALAKSANA PELAYANAN

Seorang balita sakit dapat ditangani dengan pendekatan MTBS oleh petugas
kesehatan yang telah dilatih. Petugas memakai tool yang disebut Algoritma MTBS
untuk melakukan penilaian/pemeriksaan dengan cara menanyakan kepada orang
tua/wali, apa saja keluhan-keluhan/masalah anak kemudian memeriksa dengan cara
lihat dan dengar atau lihat dan raba. Setelah itu petugas akan mengklasifikasikan
semua gejala berdasarkan hasil tanya-jawab dan pemeriksaan. Berdasarkan hasil
klasifikasi penyakit, petugas akan menetukan tindakan/pengobtan, misalnya anak
dengan klasifikasi Pneumonia Berat atau Penyakit sangat Berat akan di rujuk ke
Dokter Puskesmas.
Contoh begitu sistematis dan terintegrasinya pendekatan MTBS, ketika anak
sakit datang berobat, petugas kesehatan akan menanyakan kepada orang tua/wali
secara berurutan, mulai dengan memeriksa tanda-tanda bahaya umum seperti:
a. Apakah anak bisa minum/menyusu?
b. Apakah anak selalu memuntahkan semuanya?
c. Apakah anak menderita kejang?
d. Petugas akan melihat/memeriksa apakah anak tampak letargis/tidak sadar?
Setelah itu petugas kesehastan akan menanyakan keluhan utama, antara lain:
a. Apakah anak menderita batuk atau sukar bernafas?
b. Apakah anak menderita diare?
c. Apakah anak demam?
d. Apakah anak mempunyai masalah telinga?
e. Memeriksa status gizi.
f. Memeriksa anemia.
g. Memeriksa status imunisasi.
h. Memeriksa status pemberian Vitamin A.
i. Menilai masalah/keluhan-keluhan lain.

Berdasarkan hasil penilaian hal-hal tersebut di atas, petugas akan


mengkasifikasi keluhan/penyakit anak, setelah itu petugas melakukan klasifikasi dan
tindakan/ pengobatan yang telah ditetapkan dalam penilaian/klasifikasi.
Tindakan yang dilakukan berupa:
a. Mengajari ibu cara pemberian obat oral di rumah.
b. Mengajari ibu cara mengobati infeksi lokal di rumah.
c. Menjelaskan kepada ibu tentang aturan-aturan perawatan anak sakit di
rumah misalnya aturan penanganan diare di rumah.
d. Memberikan konseling bagi ibu,misainya: anjuran pemberian makanan
selama anak sakit maupun dalam keadaan sehat.
e. Menasehati ibu kapan harus kembali kepada petugas kesehatan.
f. Dan lain-lain.

6
Perlu diketahui, untuk bayi yang berusia s/d 2 bulan, dipakai penilaian dan
klasifikasi bagi Bayi Muda (0 – 2 bulan) memakai algoritma Manajemen Terpadu Bayi
Muda (MTBM) yang merupakan bagian dari MTBS Penilaian dan Klasifikasi Bayi.
Pemeriksaan dan tindakan secara lengkap tentunya tidak akan diuraikan disini
karena terlalu panjang. Sebagai gambaran untuk penilaian dan tindakan/pengobatan
bagi setiap balita sakit, pendekatan MTBS memakai 1 set. Bagan Dinding yang
ditempelkan di tembok ruang pemeriksaan MTBS di Puskesmas dan formulir
pencatatan baik bagi bayi muda (0 – 2 bulan) maupun balita (2 bulan – 5 tahun).
Sedangkan untuk petugas, diperlukan paket buku yang terdiri dari 7 buku Modul, 1
buku foto, 1 buku bagan, 1 set bagan dinding.
Dinas kesehatan perlu memonitor secara berkala apakah Puskesmas di wilayah
kerjanya menerapkan MTBS. Bila belum menerapkan, mungkin tenaga Kesehatan
yang bertugas perlu pelatihan atau update MTBS. Untuk itu perlu merencanakan
kegiatan Pelatihan MTBS dengan jadwal seperti dipersyaratkan.

7
BAB V
LOGISTIK
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum menerapkan MTBS adalah
persiapan obat, alat, formulir MTBS dan buku KIA.
Persiapan logistik ini perlu direncanakan karena bila tidak disiapkan dengan baik
akan mengganggu kelancaran penerapan MTBS.
a) PERSIAPAN OBAT DAN ALAT
Sebelum memulai penerapan MTBS harus dilakukan penilaian dan pengamatan
terhadap persediaan obat di puskesmas. Secara umum, obat-obat yang digunakan
dalam MTBS telah masuk dalam daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dan Laporan
Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) yang digunakan di Puskesmas.
Obat-obat yang diperlukan adalah :
1. Kotrimektazol tablet dewasa
2. Sirup Kotrimoktazol
3. Sirup Amoksisilin
4. Tablet Amoksisilin
5. Tablet Metronidazol
6. Tablet Paracetamol
7. Tablet Albendasol
8. Tablet Pirantel Pamoat
9. Tablet Besi
10. Diazepam Perektal
11. Tetrasiklin atau Kloramfenikol salep mata
12. Gentien Violet 1 %
13. Tablet Nistatin
14. Gliserin
15. Vitamin A 200.000 IU
16. Vitamin A 100.000 IU
17. Tablet Zinc
18. Aqua Bides untuk pelarut
19. Oralit 200cc
20. Povidone Iodine
Peralatan yang dipergunakan dalam penerapan MTBS adalah:
1. Timer ISPA atau arloji dengan jarum detik
2. Tensimeter dan manset anak
3. Gelas, sendok dan teko tempat air matang dan bersih (digunakan di pojok
oralit)
4. Timbangan bayi
5. Termometer

8
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

Yang dimaksud dengan keselamatan pasien (patien safety) adalah proses


dalam suatu fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan pasien yang lebih aman
termasuk didalamnya asesmen resiko, identifikasi resiko dan manajemen resiko
terhadap pasien, pelaporan dan analisis insiden. Kemampuan untuk belajar dan
menindak lanjuti insiden dan menerapkan solusi untuk mengurangi serta meminimalisir
timbulnya resiko.
Standar keselamatan pasien tersebut menurut Peraturan Menteri Kesehatan
Nomer 11 tahun 2017, dilaksanakan melalui pelaporan, menganalisa dan menetapkan
pemecahan ketepatan identifikasi pasien.
Yang dimaksud dengan insiden keselamatan pasien adalah kesalahan medis
(medical error), kejadian yang tidak diharapkan (adverse event) dan nyaris terjadi
(near miss).
Standar keselamatan pasien tentang Keselamatan Pasien meliputi:
1. Hak pasien
2. Mendidik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasidan
program peningkatan keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan meningkatkan keselamatan pasien
6. Mendidik staff tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci staff untuk mencapai keselamatan pasien
Selanjutnya Permenkes tersebut menjawab setiap sarana kesehatan
mengupayakan pemenuhan sarana keselamatan pasien yang meliputi:
1. Ketepatan identifikasi pasien
2. Meningkatkan komunikasi yang efektif
3. Meningkatkan keamanan obat yang perlu diwaspadai
4. Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi
5. Pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
6. Pengurangan resiko pasien jatuh
Dalam rangka menerapkan standar keselamatan pasien ada beberapa langkah
terdiri dari;
1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
2. Memimpin dan mendukung staff
3. Mengintegrasikan aktifitas pengelolaan risiko
4. Mengembangkan sistim pelaporan
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
7. Mencegah cidera melalui implementasi sistem keselamatan pasien

9
Melalui penerapan tujuh langkah tersebut diharapkan hak pasien untuk
memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar operasional
prosedur dan standar profesi, serta layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien
terhindar dari kerugian fisik dan materi.
Pelaporan insiden mencakup KTC, KNC dan KTD dilakukan setelah analisis
dan solusi. Pelaporan insiden tersebut bertujuan untuk menurunkan insiden dan
mengoreksi sistem dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien dan tidak
menyalahkan orang (non blaming).
Setiap insiden harus dilaporkan secara internal paling lambat 2x24 jam sesuai
format yang sudah ditentukan, kemudian dianalisa dan dilakukan pengkajian, serta
memberikan umpan balik (feedback) dan solusi. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)
harus dilaporkan secara tertulis.

10
BAB VII

KESELAMATAN KERJA

Keselamatan kerja merupakan salah satu faktor yang harus dilakukan selama
bekerja. Keselamatan kerja sangat bergantung pada jenis, bentuk, dan lingkungan
dimana pekerjaan itu dilaksanakan.
Tenaga kesehatan yang setiap hari melaksanakan pelayanan yang beresiko
tinggi terhadap penularan penyakit akibat pelayanan/tindakan yang diberikan kepada
pasien, maka dalam setiap melaksanakan pelayanan/tindakan kepada pasien
seharusnya petugas kesehatan memperhatikan PI (Pencegahan Infeksi), meliputi cuci
tangan, menggunakan APD (alat pelindung diri),pengelolaan alat bekas pakai,
pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah permukaan pengelolaan limbah
dan sanitasi ruangan. Guna mengantisipasi dampak negatif yang mungkin terjadi di
lingkungan kerja

11
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

a) PENGERTIAN
Pengendalian mutu merupakan suatu upaya yang dilaksanakan secara
berkesinambungan, sistematis dan objektif dalam memantau dan menilai barang, jasa
maupun pelayanan yang dihasilkan perusahaan atau institusi dibandingkan dengan
standar yang ditetapkan serta menyelesaikan masalah yang ditemukan dengan tujuan
untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu.

b) TUJUAN
Tujuan pengendalian mutu meliputi dua tahap yaitu tujuan antara dan tujuan
akhir. Tujuan antara pengendalian mutu adalah agar dapat diketahui mutu barang,jasa
maupun pelayanan yang dihasilkan.Tujuan akhir yaitu untuk dapat meningkatkan mutu
barang,jasa maupun pelayanan yang dihasilkan.
Pengendalian mutu penting dilakukan karena dapat meningkatkan indeks
kepuasan mutu (Quality Satisfaction Index),produktifitas dan efisiensi serta semangat
karyawan.
Pada masa ini mutu pelayanan menjadi tanggung jawab setiap orang dalam
institusi dari tingkat pemberi layanan sampai tingkat pimpinan,sejak
pelayanan,pengawasan dan evaluasi,tidak terbatas pada kepentingan institusi,tetapi
merupakan kebutuhan dan kepuasan pelanggan atau pasien.

12
BAB IX
PENUTUP

Buku pedoman ini diharapkan dapat memberikan panduan bagi tenaga


kesehatan khususnya pada puskesmas Ngemplak Simongan yang melaksanakan
kegiatan pelayanan MTBS.
Kemajuan di bidang teknologi dan partisipasi masyarakat dalam
mengembangkan kegiatan pelayanan MTBS akan memberikan dorongan secara
signifikan terhadap pengembangan program sekaligus penyempurnaan pedoman ini.

13

Anda mungkin juga menyukai