Anda di halaman 1dari 2

GERAKAN EKONOMI HIJAU

Sepintas kalau melihat judul di atas, mirip seperti gerakan ekonomi berbasis lingkungan.
Artinya gerakan ekonomi yang masih memperdulikan kelestarian ekologi atau alam. Memang
ada banyak kemiripan, tetapi secara substansi berbeda. Hijau dalam hal ini bukan makna
sebenarnya, melainkan simbol.

Hijau dapat diartikan banyak hal. Bergantung siapa yang mengartikan. Asal jangan terlalu
jauh dengan apa saja yang berwarna hijau. Secara etimologi, Konsep Gerakan Hijau yang
diusung kali ini sejatinya berasal dari konsep lama. Namun jarang disadari, tetapi sering
dilakukan.

Ibarat primordial, konsep gerakan ini menurut saya sangatlah primordial. Bukan
terbelakang, tetapi mengambil dari tradisi lama, kemudian ditransformasikan ke hal baru.
Bagusnya lagi yang berbau primordial ini tidak punah, vakum, bahkan biasanya hal yang bersifat
lama sering diabaikan, budaya-budaya lama sering ditinggal. Kemudian mereka mengisi dengan
konsep-konsep baru yang konon katanya relevan, tetapi unsur nilainya bisa dibandingkan.

Kesadaran

Ini merupakan gerakan ekonomi akar rumput yang bisa disematkan ke para anggota
Nahdlatul Ulama di desa-desa dan kampung. Warna hijau sebenarnya identik dengan segala ke-
NU-an. Sehingga gerakan ekonomi hijau merupakan gerakan ekonominya orang NU. Mengingat
kembali waktu Pandemi Covid-19 kemarin. Istilahnya gerakan ekonomi akar rumput ini sangat
membantu masyarakat yang kesusahan. Di saat semua usaha mengalami penurunan, di saat itu
juga warga berbondong-bondong berusaha membantu saudara sekitarnya.

Apalagi saat itu ada kebijakan bernama PSBB. Orang tidak boleh makan di warung lama-
lama. Diusahakan jangan keluar rumah. Kalaupun keluar, mending keluar seperlunya. Dari
fenomen itu, muncul tagline "Warga Bantu Warga". Tagline itu hasil dari gerakan ekonomi akar
rumput tadi.

Sama halnya bila gerakan ekonomi hijau berbasis Nahdliyyin ini benar-benar digerakkan.
Dimulai dari menghilangkan mindset orang kampung selalu miskin. Orang kampung selalu
direndahkan. Orang kampung pikirannya kurang terbuka. Saya melihat di perkembangan zaman
serba cepat ini, apa saja bisa berubah. Yang awalnya dirasa tidak mungkin berubah, nyatanya
pelan-pelan bisa berubah.

Justru sumber daya ekonomi di Indonesia, hampir semuanya berasal dari desa. Kota-kota
besar, tanpa desa, mereka tidak bisa apa-apa. Semuanya, dari hasil laut sampai darat, barang
primernya berasal dari desa. Hanya saja, kadang dalam prosesnya, transaksi ekonominya, kita
tidak tahu seperti apa teknis barang dari produsen hingga sampai ke konsumen. Kita sering
terlena. Terlalu fokus pada uang. Tanpa belajar bagaimana siklus perputaran ekonomi di darat,
di laut, dan di sektor-sektor ekonomi lain yang menghasilkan.
Sudah bukan jadi rahasia umum lagi bahwa warga Nahdliyyin adalah warga-warga yang
berada pada garis ekonomi menengah ke bawah. Meski ada yang menengah ke atas, tetapi
tidak banyak. Hanya beberapa saja.

Berani Memulai

Pemberdayaan yang tepat seharusnya berada pada pemberdayaan warga Nahdliyyin di


wilayah ekonomi ke bawah. Mereka ada di kampung-kampung, hidup berkecukupan, makan
seadanya, yang penting mereka bisa tahlil, selawat, kumpul, dan guyub rukun.

Meski begitu, mereka tidak bisa diremehkan begitu saja. Komoditas ekonomi mereka
tinggi. Yang di pinggir laut, pemanfaatan berbasis produksi laut bisa dilakukan. Ditambah dari
sumber daya alam seperti kelapa dan sebagainya. Itu juga bisa dimaksimalkan. Begitupun yang
di pedesaan. Mayoritas mereka puny tambak. Hasil tambaknya bisa dimanfaatkan dan dikelola
sistem jual belinya dengan rapi.

Komoditas-komoditas semacam itu butuh pengorganisasian supaya pemaksimalan dalam


penjualan bisa efektif. Paling sederhana, misalkan dibentuk satu koperasi. Barang yang dijual
berasal produk-produk hasil bumi mereka. Sama seperti koperasi Copertie Kaoem Moeslimin
(CKM) di Pancar Keling yang didirikan KH. Abdul Halim tahun 1929.

Dulu, koperasi tersebut memiliki konsep berjualan barang-barang kebutuhan sehari-hari,


seperti sembako, barang kebutuhan pokok yang cepat habis. Jadi barang-barang produksi
warga sekitar dimanfaatkan agar mereka tahu di mana barang mereka dijual, dan terjual
dengan harga berapa.

Uniknya, setelah satu koperasi itu muncul. Baru mulai bermunculan koperasi-koperasi NU
lain yang cara kerjanya hampi sama. Kadang pemberdayaan ekonomi itu tidak selalu berhasil.
Butuh ketelatenan dan kerja panjang. Hasilnya tidak instan. Butuh waktu dan kesabaran yang
cukup.

Saya yakin, bila hasil bumi dari para warga Nahdliyin di darat atau di air bisa
dimaksimalkan dan dikelola baik, maka ekonomi Nahdliyin juga akan baik. Tetapi memang
butuh orang berani untuk memulai. Sama seperti KH. Abdul Halim, dulunya ia yang menginisiasi
membuat koperasi, lalu tumbuh banyak. Sekarang butuh orang begitu. Dengan berani
membuka, semoga perlahan bisa membuka jalan rezeki yang lain.

Anda mungkin juga menyukai