Anda di halaman 1dari 2

GERAKAN EKONOMI HIJAU: PEMBERDAYAAN PESANTREN DAN BONUS DEMOGRAFI

Tahun 2022, bonus demografi Indonesia mencapai 69%. Di tahun 2045 meningkat menjadi 70
persen. Setiap pertambahan tahun, bonus demografi itu semakin bertambah. Diikuti dengan
penduduknya. Jadi bisa disimpulkan, Indonesia adalah negara yang tidak kekurangan stok
pemuda produktif.

Secara harfiah, produktif bisa diartikan sebagai subjek yang menghasilkan. Lebih sederhananya
mereka berkarya. Menciptakan, membangun, melahirkan karya-karya yang transformatif. Sama
seperti produsen, ia bisa menghasilkan sendiri. Dari pikirannya, tangannya, dan usahanya.

Namun, jika dibandingkan dulu dengan sekarang, produktifitas pemuda sekarang lebih
beragam. Banyak wadah, dimensi yang membantu mereka berkarya. Ditambah lagi akibat
cepatnya arus teknologi, membuat mereka harus cepat tanggap menerima hal-hal baru.

Dengan adanya surplus demografi tersebut, tentu ada sisi baik dan buruknya. Baiknya bila
mereka dimanfaatkan, diberdayakan, dan dipergunakan sesuai keahlian mereka. Buruknya bila
tidak semua dari mereka punya keterampilan. Kemudian mereka yang punya keterampilan,
malah tidak diberdayakan.

Memberdayakan Demografi

Maka, sebelum berbicara soal demografi, alangkah baiknya memastikan terlebih dahulu bahwa
mereka terampil di bidangnya masing-masing. Kalau tidak, namanya bukan surplus, tapi
kemerosotan.

Sebab, masa depan bangsa ada di tangan para pemuda. Makanya, cara mudah menghancurkan
suatu bangsa adalah dengan menghancurkan pemudanya dulu. Entah dari pendidikan atau dari
kebudayaannya.

Pondasi gerakan ekonomi hijau ini ada di tangan mereka, para pemuda. Apalagi para pemuda
Nahdliyin merupakan pemuda yang kompleks. Dari segi etika, ilmu, dan spiritualisnya sudah
kokoh tak tertandingi. Mayoritas mereka mendapatkan itu semua sejak kecil, baik dari
pendidikan formal, non formal seperti pesantren, atau informal keluarganya.

Kalau kita berbicara gerakan, tentu ada masa yang harus digerakkan. Bukan gerakan kalau tidak
ada objek yang digerakkan. Dan salah satu objek gerakan dari ekonomi ini ada di mereka.
Sebenarnya mereka tidak hanya digerakkan, tetapi juga menggerakkan. Bila mengacu pada asas
kebermanfaatan, tidak mungkin mereka bergerak sendiri, melainkan juga menggerakkan
lingkungannya.

Memberdayakan Pondok Pesantren

Tahun 2021, Pemprov Jatim mencanangkan program OPOP (One Pesantren One Product).
Program tersebut bertujuan untuk melatih kemandirian ekonomi pesantren. Sudah saatnya
pesantren berdaya. Jika melihat dari sejarah pergerakan ekonomi di Indonesia, maka kita tidak
boleh melupakan konstribusi pesantren untuk itu.

Di acara itu, masing-masing pondok pesantren saling memamerkan produk karyanya. Bisa
berupa olahan makanan atau jasa. Bahkan bisa merambah ke hal lain, seperti perikanan,
peternakan, properti, dan masih banyak lagi.

Di tahun itu, Pemprov Jatim menarget peserta sebanyak 550 peserta. Tahun 2022, 750 peserta.
Kemudian tahun 2023-2024, sebanyak 1000 peserta. Itu contoh kecil gerakan ekonomi hijau di
pondok pesantren. Andai jika itu dikerjakan dan dikembangkan dengan serius, maka
dampaknya akan sangat terlihat.

Maksud lain dari program OPOP itu bukan hanya memberdayakan pesantren, tetapi juga
memberdayakan santri di dalamnya. Sehingga ketika keluar, lulus menjadi alumni, mereka
punya bekal keterampilan berwirausaha.

Sekarang, selain marak boarding school, marak juga sekolah-sekolah pesantren atau berasrama
berbasis enterpreneur.

Di Jawa Barat saja, tahun 2022, pada transaksi temu bisnis dan pameran produk OPOP capai
42,1 Miliar. Itu nominal yang sangat fantastis. Jika masing-masing pondok pesantren sanggup
mengembangkan itu, alangkah besarnya perputaran ekonomi di lingkaran mereka.

Jadi pemberdayaan ekonomi hijau bisa dimulai dari komunal-komunal yang menciptakan
komoditas tersendiri. Misalnya pesantren tadi, mereka sudah punya pasar sendiri. Sehingga
bisa digunakan media pembelajaran ekonomi.

Selain itu, yang tidak kalah penting lagi adalah mengeksistensikan produk. Mengenalkan kepada
masyarakat umum, karena meski pondok pesantren sekarang ada di mana-mana, tetapi
presepsi orang masih sama, yaitu hanya sebagai sarana tempat belajar agama,

Anda mungkin juga menyukai