Anda di halaman 1dari 2

Spritual Dalam Gerakan Ekonomi

Pada dasarnya diri kita ini penuh dengan untaian doa. Dari kepala sampai ujung kaki, semua
berasal dari doa-doa. Kehadiran kita di dunia juga karena doa. Kelahiran kita dari rahim ibu
juga di dorong oleh ribuan bahkan jutaan doa. Semua hal baik, asalnya dari doa. Asal
muasalnya tetap kepada sang pencipta, yaitu Allah Swt.
Sepanjang waktu, doa itu tidak pernah lepas. Ia garis tak terputus. Meski doa sering
dirapalkan hanya ketika beribadah, tetapi di sepanjang mata terbuka, kita masih berharap.
Harapan itulah substansinya sama dengan doa.
Kadang, ketika kita tidak bisa berbuat apa-apa. Mentok tidak tahu mau ke mana. Satu-satu
jalan yang bisa dilakukan hanyalah doa. Seutas harapan yang disandarkan. Seketika mampu
membuat tenang. Ia berupa keyakinan, kepercayaan, dan kesungguh-sungguhan.
Dalam kultur Nahdliyin dan semua gerakannya, wajib dilandasi dengan doa. Tidak ada satu
gerakan pun yang tidak didasari doa. Makanya di Jawa ada namanya dungo-dinungo, artinya
saling mendoakan dalam kebaikan. Hal-hal positif jika ditularkan, efek positif itu akan
kembali ke orang yang menularkan.
Orang dulu, kalau mau apa-apa, selain usaha, satu hal yang paling bisa diandalkan adalah
doa. Isinya tidak harus berbahasa Arab, bahasa apa saja, karena Allah yang menciptakan
bahasa. Jadi Ia tahu semua bahasa, bahkan bahasa hati yang tidak disampaikan, Ia tahu isinya.
Entah Bahasa Jawa, Bugis, Sunda, Madura, atau bahasa lain.
Makanya, kita sering menjumpai doa-doa unik pakai bahasa-bahasa tertentu atau bahasa
lokal, tetapi mereka percaya dan berkat kepercayaan itu, banyak doa yang terbukti
dikabulkan. Buktinya hari ini doa-doa itu masih berlaku di masyarakat.
Masih soal doa. Di kalangan Nahdliyin, doa adalah ujung tombak dari segala sesuatu. Saya
paling takjub kala itu ketika mendengar cerita bagaimana Mbah Hasyim, pendiri NU saat
merespon Pancasila sebagai dasar negara.
Sebagai ulama' yang dihormati, keputusan Mbah Hasyaim saat itu ditunggu-tunggu. Namun
Ia tidak begitu saja menjawab, apalagi menerima. Ia melakukan tirakat, berdoa, berharap agar
mendapat petunjuk dari Allah Swt.
Ia melakukan tirakat puasa tiga hari. Selama puasa, ia meng-khatam-kan Al-Qur’an dan
membaca Al-Fatihah. Setiap membaca Al-Fatihah dan sampai pada ayat iya kana’ budu
waiya kanasta’in, ia mengulanginya hingga 350.000 kali. Kemudian, setelah puasa tiga hari,
ia melakukan shalat istikharah dua rakaat. Rakaat pertama membaca Surat At-Taubah
sebanyak 41 kali, rakaat kedua membaca Surat Al-Kahfi juga sebanyak 41 kali. Kemudian
beliau istirahat tidur. Sebelum tidur membaca ayat terkahir dari Surat Al-Kahfi sebanyak 11
kali.
Di pagi harinya, anaknya, KH. Wachid Hasyim dipanggil, kemudian ia bilang kalau
menyetujui Pancasila sebagai dasar negara. Artinya, kehadiran Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia, Mbah Hasyim menggunakan kekuatan doanya supaya ia mendapat jawaban
sekaligus petunjuk.
Belum lagi dengan para Kiai yang lain. Kisah bambu runcing yang begitu sakti hanya dengan
doa. Berkat bambu itu, para pejuang juga merasa yakin dan percaya bahwa sebilah bambu itu
bukan hanya sekadar bambu biasa. Di dalamnya memiliki kekuatan karena sudah didoakan.
Sebenarnya tradisi doa semacam ini tidak ada patokan durasi waktunya. Karena sepanjang
waktu berjalan, doa akan terus ada. Bahkan di sepanjang perkembangannya, tidak jarang doa-
doa orang dulu, sekarang bisa dijadikan sebagai fungsi lain, misalnya penyembuhan.
Kuncinya satu, harus yakin ini benar-benar dari Allah. Allah yang mewujudkan.
Hadirnya gerakan ekonomi hijau juga diawali dari usaha dan kerja keras. Namun
pelanggengannya tentu harus dengan doa dan wirid-wirid yang sering diamalkan warga
Nahdliyin. Analoginya, dari doa tersebut, suatu gerakan akan dijaga, dibentengi, dilancarkan,
dan dimudahkan oleh Allah Swt.

Anda mungkin juga menyukai