Anda di halaman 1dari 20

REFERAT Euthanasia: Tinjauan dari Segi Medis, Etis, dan Moral

Disusun untuk memenuhi nilai midtest mata kuliah Etika Hukum Kedokteran dan HAM

Oleh: Soraya Febriananda I1A010040

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN 2011

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai negara berkembang tidakl dapat menghindari adanya kemajuan dan perkembangan di bbidang kedokteran khususnya dan bidang teknologi pada umumnya. Dengan perkembangan diagnosa suatu penyakit dapat lebih sempurna dilakukan dan pengobatan penyakitpun dapat berlangsung dengan cepat. Dengan peralatan, rasa sakit si pasien diharapkan dapat diperingan agar kehidupan seseorang dapat diperpanjang dengan jangka tertentu dengan respirator. Perkembangan teknologi dibidang medis ini dengan harapanj agar dokter diberi kesempatan untuk mengobati pasien sebagai upaya bagi si pasien untuk sembuh menjadi lebih besar, namun ada kalanya menimbulkan kesulitan di kalangan dokter itu sendiri seperti penggunaan alat respirator yang dipasang untuk menolong pasien, dimana jantung pasien berdenyut namun otaknya tidak berfungsi dengan baik. Selain kasus di atas banyak lagi masalah yang dihadapi dokter dalam mengobati pasien, seperti halnya pasien yang tidak mungkin lagi diharapkan sembuh atau hidup sehat karena belum ditemukan obatnya, sehingga pasien merasakan sakit terus menerus, dalam hal ini apakah dokter harus menghilangkan nyawa pasien atau euthanasia dengan teknik yang ada atau membiarkan pasien begitu saja atau menyuruh pulang kembali ketengah keluarganya. Menyadari hal itu kewajiban dokter adalah menghormati dan melindungi setiap insan dengan menjalankan tugasnya semata-mata untuk menyembuhkan dan mengurangi penderitaan pasien dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan berdasarkan sumpah jabatan dan kode etik kedokteran.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. Seputar Euthanasia Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian ke dalam tiga jenis, yaitu [1]: 1. 2. 3. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah. Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar. Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan

pertolongan dokter. Dalam tulisan ini, kita akan berbicara mengenai euthanasia saja. Pertama-tama perlu diklarifikasi arti kata euthanasia itu sendiri. Euthanasia bukanlah pengertian yang jelas dan baku, sebab di balik istilah yang sama ternyata ada pengertian yang berbeda. Perbedaan pengertian ini terjadi dalam perj WS alanan sejarah. Harus diakui bahwa terkadang terjadi perbedaan persepsi dari kalangan ahli, moralis, medis dengan pihak Gereja sendiri. Setidaknya dengan penelusuran arti euthanasia, kita semakin mampu menangkap apa itu euthanasia . 2.1. Arti Kata euthanasia terdiri dari dua kata dari bahasa Yunani eu (baik) dan thnatos (kematian). Jadi secara harafiah euthanasia berarti mati yang layak atau mati yang baik (good death) atau kematian yang lembut. Beberapa kata lain yang berdasar pada gabungan dua kata tersebut misalnya: Euthanatio: aku menjalani kematian yang layak, atau euthanatos (kata sifat) yang berarti mati dengan mudah, mati dengan baik atau kematian yang baik[2]. Secara etimologis, euthanasia di zaman kuno berarti kematian yang tenang tanpa penderitaan yang hebat. Dalam arti aslinya

(Yunani) kata ini lebih berpusat pada cara seseorang mati yakni dengan hati yang tenang dan damai, namun bukan pada percepatan kematian. Dewasa ini orang menilai euthanasia terarah pada campur tangan ilmu kedokteran yang meringankan penderitaan orang sakit atau orang yang berada di sakratul maut. Kadang-kadang proses meringankan penderitaan ini disertai dengan bahaya mengakhiri hidup sebelum waktunya. Dalam arti yang lebih sempit, euthanasia dipahami sebagai mercy killing, membunuh karena belas kasihan, entah untuk mengurangi penderitaan, entah terhadap anak cacat, orang sakit jiwa, atau orang sakit tak tersembuhkan. Tindakan itu dilakukan agar janganlah hidup yang dianggap tidak bahagia itu diperpanjang dan menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat. Akhir-akhir ini banyak terdengar sebutan lain lagi: assisted suicide atau bunuh diri yang dibantu dokter. Maksudnya adalah dokter membantu pasien terminal untuk membunuh dirinya jika ia memilih mengakhiri penderitaannya. Hal ini biasanya dilakukan dengan menulis resep untuk obat yang mematikan dalam dosis besar. Perbedaan dengan euthanasia adalah bahwa pasien terminal membunuh dirinya sendiri, ia tidak dibunuh oleh dokternya. Karena alasan itu, secara psikologis bunuh diri dengan bantuan seperti itu barangkali tidak membebani hati nurani profesi medis daripada euthanasia langsung, tetapi secara etis tidak ada banyak perbedaan. 2.2. Sejarah Euthanasia Sebenarnya, persoalan euthanasia bukanlah hal yang baru. Sepanjang sejarah manusia, euthanasia sudah diperdebatkan dan dipraktekkan. Pada jaman sekarang disebutkan bahwa : Dewasa ini, baik di negara-negara Eropa, Amerika Utara maupun Indonesia, perdebatan etis, moral, dan teologis tentang euthanasia semakin marak. Persoalan legalisasi euthanasia pun menjadi tuntutan umum, bahkan euthanasia sudah dilegalkan di Belanda dan Luxemburg. Sementara itu, praktek euthanasia sendiri pun

diyakini sudah banyak dilakukan, juga di Indonesia, meskipun secara legal hal itu dilarang. 2.3. Macam-macam Euthanasia Sebelum kita meninjau persoalan medis, etis, dan teologis, kita perlu mengerti dulu berbagai macam euthanasia. Ada berbagai macam euthanasia[3]: 2.3.1. Dari Sudut Cara/Bentuk Dari sudut cara atau bentuk, euthanasia dapat dibedakan dalam tiga hal: a. Euthanasia aktif, artinya mengambil keputusan untuk melaksanakan dengan

tujuan menghentikan kehidupan. Tindakan ini secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, melakukan injeksi dengan obat tertentu agar pasien terminal meninggal. b. Euthanasia pasif, artinya memutuskan untuk tidak mengambil tindakan atau tidak

melakukan terapi. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup kepada pasien. Misalnya, terapi dihentikan atau tidak dilanjutkan karena tidak ada biaya, tidak ada alat ataupun terapi tidak berguna lagi. Pokoknya menghentikan terapi yang telah dimulai dan sedang berlangsung. c. Auto-euthanasia, artinya seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar

untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan. 2.3.2. Dari Sudut Maksud (Voluntarium) Dari sudut maksud, euthanasia dapat dibedakan:

a.

Euthanasia langsung (direct), artinya tujuan tindakan diarahkan langsung pada

kematian. b. Euthanasia tidak langsung (indirect), artinya tujuan tindakan tidak langsung

untuk kematian tetapi untuk maksud lain misalnya meringankan penderitaan. 2.3.3. Dari Sudut Otonomi Penderita [4] Dari sudut otonomi penderita euthanasia dapat dilihat dalam tiga jenis: a. Penderita sadar dan dapat menyatakan kehendak atau tak sadar dan tidak dapat

menyatakan kehendak (incompetent). b. Penderita tidak sadar tetapi pernah menyatakan kehendak dan diwakili oleh orang

lain (transmitted judgement). c. Penderita tidak sadar tetapi kehendaknya diduga oleh orang lain (substituted

judgement). 2.3.4. Dari Sudut Motif dan Prakarsa [5] Dari sudut motif dan prakarsa, euthanasia dibedakan menjadi dua: a. lain. b. Prakarsa dari pihak luar; artinya orang lain yang meminta agar seorang pasien Prakarsa dari penderita sendiri, artinya penderita sendiri yang meminta agar

hidupnya dihentikan entah karena penyakit yang tak tersembuhkan atau karena sebab

dihentikan kehidupannya karena berbagai sebab. Pihak lain itu misalnya keluarganya dengan motivasi untuk menghentikan beban atau belas kasih. Bisa juga, prakarsa itu datang dari pemerintah karena ideologi tertentu atau kepentingan yang lain. 2.4. Beberapa Aspek Euthanasia [6] 2.4.1. Aspek Hukum

Undang undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal-pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana. Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia antara lain 338, 340, 344, 345, dan 359. Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara lain pasal 1313, 1314, 1315, dan 1319 KUH Perdata[11]. Secara formal tindakan euthanasia di Indonesia belum memiliki dasar hukum sehingga selalu terbuka kemungkinan terjadinya penuntutan hukum terhadap euthanasia yang dilakukan. 2.4.2. Aspek Hak Asasi Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat. 2.4.3. Aspek Ilmu Pengetahuan

Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana. 2.4.4. Aspek Agama Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorang pun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ahli-ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat, dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis pun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal-hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal-hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia

merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya. 2.5. Cara-cara Euthanasia Tindakan euthanasia dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni: a. Langsung dan sukarela: memberi jalan kematian dengan cara yang dipilih

pasien. Tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri. b. Sukarela tetapi tidak langsung: pasien diberitahu bahwa harapan untuk hidup

kecil sekali sehingga pasien ini berusaha agar ada orang lain yang dapat mengakhiri penderitaan dan hidupnya. c. Langsung tetapi tidak sukarela: dilakukan tanpa sepengetahuan pasien,

misalnya dengan memberikan dosis letal pada anak yang lahir cacat. d. Tidak langsung dan tidak sukarela: merupakan tindakan euthanasia pasif yang

dianggap paling mendekati moral. 3. Pandangan tentang Euthanasia di Beberapa Negara 3.1. Hukum Euthanasia di Beberapa Negara Beberapa negara sudah mengatur hukum euthanasia secara tegas. Beberapa contoh yang dapat disebutkan antara lain: Belanda. Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang

mengizinkan euthanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya. Dalam karangan berjudul The Slippery Slope of Dutch Euthanasia dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan

euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. Australia. Negara bagian Australia, Northern Territory, mengizinkan euthanasia

dan bunuh diri dengan bantuan orang lain meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut Right of the terminally ill bill (UU tentang Hak Pasien Terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia sehingga harus ditarik kembali. Di negara bagian yang lain, euthanasia adalah tindakan ilegal dan melawan hukum. Amerika. Euthanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di

Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon. UU euthanasia ditetapkan pada tahun 1997 tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri dengan bantuan syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat: usia minimal 18 tahun, kemungkinan hidup tinggal 6 bulan, harus mengajukan secara tertulis sebanyak 3 kali dan 2 kali secara lisan dengan saksi. Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam gangguan mental. Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Polling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya euthanasia. Indonesia. Berdasarkan hukum di Indonesia, euthanasia adalah sesuatu

perbuatan yang melawan hukum, melawan Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana: Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun, dan pasal 345, Barangsiapa sengaja mendorong orang

lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri. India. Di India euthanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan

mengenai larangan euthanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus euthanasia sukarela di mana si pasien sendirilah yang menginginkan kematian di mana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan euthanasia tersebut (bantuan euthanasia). Pada kasus euthanasia secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun euthanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92 IPC. China. Di China, euthanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum.

Euthanasia diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, di mana seorang yang bernama Wang Mingcheng meminta seorang dokter untuk melakukan euthanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkap juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme Peoples Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya euthanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan. 4. Masalah Euthanasia [7] Persoalan euthanasia bukanlah persoalan yang berdiri sendiri. Ada banyak soal di balik euthanasia yang amat mempengaruhi pilihan dan tidakan untuk melakukan atau tidak melakukan euthanasia. Masalah-masalah tersebut adalah:

4.1. Kekaburan Batas Antara Kematian Kehidupan serta Kemajuan Iptek Kedokteran Dalam perjalanan sejarah, ada banyak perubahan untuk menentukan apakah seorang dapat dinyatakan mati atau tidak. Definisi kematian tetap sama yaitu berhentinya secara irreversible seluruh fungsi pengaturan manusia sebagai organisme secara keseluruhan baik mental maupun fisik. Namun kriteria kematian seseorang sendiri berubah seturut perkembangan ilmu pengetahuan dan kedokteran. Jaman modern mencatat bahwa kriteria kematian telah berubah dari cardiac-respiratory (berhentinya denyut jantung dan pernafasan) menjadi kriteria neurologis yaitu kematian seluruh otak yakni batang otak dan otak besar. Dalam perkembangan sejarah, kapan orang dikatakan mati merupakan masalah serius dan menimbulkan banyak perdebatan. Pada abad XVIII kekhawatiran akan nasib orang mati suri yang terlanjur dikubur dipecahkan dengan memasang sistem pembebasan dari peti mati, misalnya: tali untuk membunyikan bel. Atau orang yang baru mati dijaga kalau-kalau memberi tandatanda kehidupan. Munculnya aneka macam alat kedokteran seperti stetoskop (abad XIX) membantu para dokter untuk mendengarkan denyut jantung dengan lebih jelas sehingga lebih bisa memastikan apakah seseorang sudah mati atau belum. Pada abad XX ditemukan Electrocardiogram (ECG) yang merupakan sarana teknis yang lebih cermat untuk memeriksa kegiatan jantung. Sekarang ada alat yang lebih canggih lagi, Electroencefalogram (EEG) sehingga dokter dapat memantau kegiatan elektris dalam otak, misalnya interaksi antara fungsi-fungsi otak, jantung dan paru-paru. Permasalahan kekaburan kematian manusia tidak hanya berhenti pada cara penentuan kematian seseorang melainkan juga semakin dikaburkan dengan kemajuan teknologi kedokteran. Beberapa fungsi vital organ manusia dapat didukung oleh teknologi baru, sehingga orang yang secara klinis mati dapat dihidupkan kembali dengan saranasarana artifisial. Kesepakatan mengenai kematian seseorang akan menentukan sikap dan tindakan yang sama.

Di satu sisi, kemajuan teknologi kedokteran disambut dengan gembira, tapi di sisi lain menimbulkan kekuatiran dan ketakutan baru. Kemajuan itu adalah berkat bagi manusia untuk memulihkan kesehatan sekaligus kutuk karena usaha melanjutkan kehidupan berarti juga memperpanjang penderitaan dan ketidakpastian. 4.2. Kewajiban Memelihara hidup [8] Permasalahan euthanasia berkait erat dengan kewajiban memelihara hidup. Misalnya saja sumpah Hipokrates mengandung dua gagasan yaitu: kesediaan menolong penderita dan menolak membantu orang untuk bunuh diri. Dua gagasan sumpah ini dimasukkan ke dalam aneka kode etik kedokteran dewasa ini. Sumpah ini membantu para tenaga medis untuk menghadapi situasi dan masalah baru karena kemungkinan penundaan saat kematian yang bahkan menjadi kabur dengan teknologi canggih. 4.3. Otonomi Penderita Euthanasia juga berhadapan dengan gagasan tentang otonomi manusia (penderita). Keyakinan akan martabat pribadi manusia sebagai subjek pengemban hak asasi makin meningkat, justru dalam berhadapan dengan kemungkinan-kemungkinan baru yang disediakan ilmu dan teknologi kedokteran canggih. Berkaitan dengan otonomi manusia setidaknya menyangkut dua hal yaitu: hak atas privacy dan hak untuk menolak penanganan serta hak untuk mati. Di sini ada pergeseran arti. Semula hak untuk mati berarti hak asasi untuk menolak penanganan (basic right to refuse treatment). Namun dewasa ini hak untuk mati berarti hak untuk menolak penanganan yang menyelamatkan hidup (the right to refuse life-saving treatment). Gagasan ini timbul sehubungan dengan penolakan transfusi darah karena alasan keagamaan oleh penganut sekte Saksi Yehovah, meskipun transfusi darah termasuk sarana biasa atau proporsional dalam moral tradisional. Hak untuk menolak penanganan yang memperpanjang proses meninggal (the right to refuse death-prolonging treatment) juga berarti hak agar penanganan demikian itu dihentikan atas permintaan penderita atau keluarganya.

Hak untuk mati tumbuh dari gabungan antara hak untuk menolak penanganan yang menyelamatkan hidup berdasarkan kebebasan agama dan hak untuk menolak penanganan yang menunda kematian seseorang berdasarkan hak privacy. Perkembangan menjadi hak untuk mati dapat dipahami sejauh dalam konteks konkret menolak life-saving treatment dan menolak death-prolonging treatment atau lifesupport system berarti kematian. 5. Pro dan Kontra Euthanasia Masalah euthanasia menimbulkan pro dan kontra. Ada sebagian orang yang menyetujui euthanasia ini. Sebagian pihak lain menolaknya. Dalam hal ini tampak adanya batasan karena adanya sesuatu yang mutlak berasal dari Tuhan dan batasan karena adanya hak asasi manusia. Pembicaraan mengenai euthanasia tidak akan memperoleh suatu kesatuan pendapat etis sepanjang masa. Secara sederhana, perdebatan euthanasia dapat diringkas sbb: atas nama perhormatan terhadap otonomi manusia, manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang tidak berguna. 5.1. Pro Euthanasia Kelompok ini menyatakan bahwa tindakan euthanasia dilakukan dengan persetujuan, dengan tujuan utama menghentikan penderitaan pasien. Salah satu prinsip yang menjadi pedoman kelompk ini adalah pendapat bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Jadi, tujuan utamanya adalah meringankan penderitaan pasien. Argumen yang paling sering digunakan adalah argumen atas dasar belas kasihan terhadap mereka yang menderita sakit berat dan secara medis tidak mempunyai harapan untuk pulih. Argumen pokok mereka adalah pemahaman bahwa kematian menjadi jalan yang dipilih demi menghindari rasa sakit yang luar biasa dan penderitaan tanpa harapan si pasien. Argumen kedua adalah perasaan hormat atau agung terhadap manusia yang ada hubungannya dengan suatu pilihan yang bebas

sebagai hak asasi. Setiap orang memiliki hak asasi. Di dalamnya termasuk hak untuk hidup maupun hak untuk mati. 5.2. Kontra Euthanasia Setiap orang menerima prinsip nilai hidup manusia. Orang-orang tidak beragama pun, yang tidak menerima argumen teologis mengenai kesucian hidup, setuju bahwa hidup manusia itu sangat berharga dan harus dilindungi. Mereka setuju bahwa membunuh orang adalah tindakan yang salah. Bagi mereka, euthanasia adalah suatu pembunuhan yang terselubung. Bagi orang beragama, euthanasia merupakan tindakan immoral dan bertentangan dengan kehendak Tuhan. Mereka berpendapat bahwa hidup adalah semata-mata diberikan oleh Tuhan sendiri sehingga tidak ada seorang pun atau institusi manapun yang berhak mencabutnya, bagaimanapun keadaan penderita tersebut. Dikatakan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak memiliki hak untuk mati. Penolakan euthanasia ini berkaitan erat dengan penolakan abortus atas dasar argumen kesucian hidup. Karena kehidupan itu sendiri berharga, maka hidup manusia tidak pernah boleh diakhiri dalam keadaan apa pun juga. Banyak orang menolak euthanasia langsung atau aktif karena takut akan menginjak lereng licin (the slippery slope). Jika kita boleh membunuh orang yang sedang dalam proses meninggal dunia atau pasien koma yang irreversible maka bisa jadi kita akan memperluas pengertian dan mulai membunuh bayi yang baru lahir, mereka yang sakit jiwa, anak cacat mental, orang yang tidak produktif atau secara sosial tidak diinginkan. Begitu batas-batas untuk membunuh diperluas, tidak ada lagi orang yang aman. 6. Tinjauan Kedokteran [9] Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti, yaitu: a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat

yang beriman dengan nama Allah di bibir.

b.

Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan

memberikan obat penenang. c. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang yang sakit dengan sengaja atas

permintaan pasien sendiri dan keluarganya. Dari pengertian pengertian di atas maka euthanasia mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. b. pasien. c. d. e. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup

Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-jelas menolaknya, Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya. Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia. Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati

walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu. Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan perawatan medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Apabila suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi, dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis. 7. Tinjauan Filosofis-Etis [10] Dari segi filosofis, persoalan euthanasia berhubungan erat dengan pandangan otonomi dan kebebasan manusia di mana manusia ingin menguasai dirinya sendiri secara penuh sehingga dapat menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia akan mati (hak untuk mati). Perdebatan mengenai euthanasia dapat diringkas sebagai berikut: atas nama penghormatan terhadap otonomi manusia, manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang tidak berguna. Banyak pakar etika menolak euthanasia dan assisted

suicide. Salah satu argumentasinya menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita mengizinkan pengecualian atas larangan membunuh, sebentar lagi cara ini bisa dipakai juga terhadap orang cacat, orang berusia lanjut, atau orang lain yang dianggap tidak berguna lagi. Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi yang banyak dipakai adalah hak pasien terminal: the right to die. Menurut mereka, jika pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya segera diakhiri. Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan hanya sekedar mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan kematian yang baik, tanpa penderitaan yang tidak perlu. Euthanasia pasif, dalam arti tertentu, masih diperkenankan dengan catatan bukan kematian yang dikehendaki melainkan penghentian penanganan medis yang membebani. Apa pun bentuk motivasinya, euthanasia yang dikehendaki merupakan suatu pembunuhan. 9. Pandangan mengenai hidup

Euthanasia pada dasarnya berkaitan dengan hidup itu sendiri. Pandangan tentang hidup itu sendiri amat menentukan sikap dan pilihan atas euthanasia. Yang dibahas di sini adalah pandangan hidup secara etis dan teologis 9.1.1. Hidup sebagai nilai asasi yang sangat tinggi. Dari sekian banyak nilai, kiranya jelas bahwa hidup merupakan nilai dasar. Tanpa hidup banyak nilai lainnya menjadi tidak atau kurang berarti. Karena itu, hidup juga merupakan nilai yang sangat tinggi, bahkan dalam arti tertentu juga nilai tertinggi di antara nilai-nilai dunia fana. Martabat hidup manusia tidak berubah meskipun ia berada dalam status vegetatif (PVS=Persistent Vegetative Status). Hidup manusia adalah dasar dari segala sesuatu. Tanpa hidup, manusia tidak punya apapun, termasuk hak-haknya. Karena itu, hidup manusia adalah hak dasar dan sumber segala kebaikan. Martabat manusia tidak berubah meskipun dia dalam keadaan koma. Ia tetap manusia

yang bermartabat. Dia bukan vegetatif=tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, ia tetap harus dihormati. 9.1.2. Hidup sebagai hak asasi dan nilai yang harus dilindungi Karena hidup merupakan anugerah dengan nilai asasi dan sangat tinggi, maka hidup merupakan hak asasi manusia dan karenanya juga harus dilindungi terhadap segala hal yang mengancamnya. 10. Penutup Sampai saat ini, euthanasia masih menjadi perdebatan dalam hidup umat manusia. Ada yang bersikap pro dan ada yang bersikap kontra terhadap euthanasia. Beberapa negara bahkan sudah melegalkan dan mengatur praktek euthanasia. Dalam profesi dokter sendiri sudah mengatur undang-undang tentang hak hidup seseorang. Euthanasia merupakan perlawanan terhadap martabat pribadi manusia dan hormat kepada tuhan yang memberi kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA 1. Bertens, K., Perspektif Etika: Esai-esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta:

Kanisius, 2001. 2. Bertens, K., Sketsa-sketsa Moral: 50 Esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta:

Kanisius, 1994. 3. Go, Piet, Euthanasia: Beberapa Soal Etis Akhir Hidup menurut Gereja Katolik,

Malang: Dioma, 1989. 4. Holderegger, A., Il Suicidio, Assisi: Citadella, 1979, 436, sebagaimana dikutip

oleh Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, 144. 5. 1980. 6. Samil, Ratna Suprapti, Etika Kedokteran Indonesia, Jakarta: Fakultas James Rachels, Euthanasia, dalam Tom Regan (ed.), Matters of Life and

Death: New Introductory Essays in moral Philosophy, New York: Random House,

Kedokteran Universitas Indonesia, 1994. 7. Kusmaryanto, CB., Moral Hidup, Diktat Kuliah Fakultas Teologi USD,

Yogyakarta. 8. Peschke, Karl-Heinz, Etika Kristiani Jilid III: Kewajiban Moral dalam Hidup

Pribadi, Maumere: Penerbit Ledalero, 2003. 9. 2005Shannon, Thomas A., Pengantar Bioetika, Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 1995. 10. Kubler-Ross, Lima Tahap Proses Terminal, Seri Pastoral 330 No 11,

Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta, 2001.

Anda mungkin juga menyukai