Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

SEWA MENYEWA

DOSEN PENGAMPU
FAISAL HAKIM, M.Pd.I

DISUSUN OLEH:
1. Nuzulul Arifin
2. Muhammad Alhamid
3. Abdul Aziz

FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS AL-FALAH AS-SUNNIYAH
KENCONG – JEMBER
2023

i
DAFTAR ISI

JUDUL .......................................................................................................................i
DAFTAR ISI ..............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG ..........................................................................1
1.2. RUMUSAN MASALAH ......................................................................1
1.3. TUJUAN ...............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. PENGERTIAN SEWA MENYEWA.....................................................3
2.2. DASAR HUKUM IJARAH ...................................................................5
2.3. SYARAT DAN RUKUN IJARAH ........................................................6
2.4. MACAM-MACAM IJARAH ................................................................10
2.5. HAK DAN KEWAJIBAN YANG MELAKUKAN IJARAH...............10
BAB III PENUTUP
3.1. KESIMPULAN ......................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Muamalah merupakan satu bagian dari syariat Islam yang mengatur
kehidupan manusia dalam hubungan dengan manusia lainnya. Kata muamalah sendiri
menggambarkan suatu aktivitas seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi
kebutuhan masing-masing. Telah terjadi sunnatullah bahwa manusia bermasyarakat
saling tunjang menunjang, topang menopang, dan tolong menolong antar satu dengan
yang lainnya. Sebagai makhluk yang tidak dapat hidup sendiri, manusia menerima
dan membiarkan andil nya kepada orang lain. Saling bermuamalah untuk memenuhi
hajat hidup dan mencapai kemaslahatan dalam hidupnya (Ya‟kub, H. dalam Purnama,
H.J. 2019).
Kata ijarah secara bahasa berarti al-ajru, yaitu imbalan terhadap suatu
pekerjaan (aljazau „alal „amal) dan pahala (tsawab). Dalam bentuk lain, kata ijarah
juga bisa dikatakan sebagai nama bagi al-ujrah yang berarti upah atau sewa. Selain itu
arti kebahasaan lain dari al-ajru tersebut adalah ganti (al-„iwadh) (Jamil, F. 2012).
Ijarah didasarkan dengan adanya pengalihan hak manfaat, dengan syarat barang yang
diambil manfaaatnya harus jelas, jangka waktu harus dapat diketahui dan tertulis
yang diketahui oleh kedua belah pihak (penyewa dan pemilik sewa), pekerjaan dan
manfaatnya harus diketahui, (jenis jumlah dan sifat serta sanggup menyerahkannya,
dan manfaat yang disewakan adalah manfaat yang bernilai).

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Apakah pengertian ijarah (sewa menyewa)?

1
2. Apakah dasar hukum ijarah?
3. Bagaimana syarat dan rukun ijarah?
4. Apakah macam-macam ijarah?
5. Bagaimana hak dan kewajiban para pihak yang melakukan ijarah?

1.3. Tujuan Makalah


Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui definisi ijarah.
2. Untuk mengetahui dasar hukum ijarah.
3. Untuk mengetahui tentang syarat dan rukun ijarah.
4. Untuk mengetahui tentang macam-macam ijarah.
5. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak yang melakukan ijarah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Ijarah (Sewa Menyewa)


Di dalam kitab fikih kegiatan muamalah merupakan kegiatan yang dilakukan
oleh seseorang dengan orang lain, baik yang bersifat tabarru' (saling tolong-menolong
tanpa mengharap balasan kecuali dari Allah SWT), maupun yang bersifat tijarah
(transaksi dengan tujuan mencari keuntungan (Mannan, A. 2014).
Menurut bahasa kata ijarah berasal dari kata “al-ajru”yang berarti “al-iwadu”
(ganti) dan oleh sebab itu “ath-thawab” atau (pahala) dinamakan ajru (upah). Menurut
(Sabiq, S. 1990) dalam Fikih Sunnah, al Ijarah berasal dari kata al ajru yang berarti al
iwadh (ganti/kompensasi). Ijarah dapat didefinisikan sebagai akad pemindahan hak
guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa, dalam waktu tertentu dengan pembayaran
upah sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu
sendiri. Jadi ijarah dimaksudkan untuk mengambil manfaat atas suatu barang atau
jasa (mempekerjakan seseorang) dengan jalan penggantian (membayar sewa atau
upah) sejumlah tertentu. Menurut M. A. Tihami, ijarah (sewa-menyewa) ialah akad
(perjanjian) yang berkenaan dengan kemanfaatan (mengambil manfaat sesuatu)
tertentu, sehingga sesuatu itu ilegal untuk diambil manfaatnya, dengan memberikan
pembayaran (sewa) tertentu.
Salah satu bentuk akad muamalah yang sering dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari adalah akad ijarah (sewa-menyewa). Sewa menyewa merupakan menjual
manfaat yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain dengan menggunakan
ketentuan syariat Islam. Transaksi ijārah dilandasi dengan adanya perpindahan
manfaat (hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak milik) (Karim, A. 2006).
Menurut Syaikh Syihab Al-Din dan Syaikh Umairah bahwa yang dimaksud
dengan ijārah adalah “Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk

3
memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu (Suhedi, H.
2016). Sedangkan menurut (Pasal 20 ayat 9), Kompilasi Hukum ekonomi Syariah,
ijārah adalah sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran.
Menurut (Anshori, A.G. 2006) melalui perjanjian pihak penyewa dapat
menikmati manfaat barang yang ia sewa, sedangkan pihak yang menyewakan berhak
atas imbalan atau uang sewa. Dan jangka waktu yang ditentukan dalam sewa-
menyewa tersebut biasanya disebutkan di dalam akad (ijab dan qabul) yang
terkandung di dalam rukun dan syarat sewamenyewa (ijārah). Sewa-menyewa yang
bisa dilakukan oleh masyarakat bermacam-macam seperti benda tetap (uqar) atau
benda bergerak (manqul) misalnya: sewa-menyewa rumah, kendaraan (motor atau
mobil), kios, lahan pertanian dan lain-lain.
Ijarah bisa juga diartikan suatu balasan atau imbalan yang diberikan sebagai
upah sesuatu pekerjaan. Sewa menyewa bararti suatu perjanjian tentang pemakaian
dan pemungutan hasil suatu benda, binatang atau tenaga manusia, misalnya menyewa
rumah untuk tempat tinggal, menyewa kerbau untuk membajak sawah, menyewa
tenaga manusia untuk mengangkut barang dan sebagainya (Jafri, S. 2008).
Dalam arti luas, ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat
sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Jika diterjemahkan
kedalam Bahasa Indonesia berarti sewa-menyewa dan upah mengupah. Sewa
menyewa dalah menjual manfaat sedangkan upah mengupah menjual tenaga dan
kekuatan. Dengan istilah lain dapat pula disebutkan bahwa ijārah adalah salah satu
akad yang berisi pengambilan manfaat sesuatu dengan jalan penggantian (Karim, H.
dalam Purnama, H.J. 2019).
Sedangkan dalam ijarah batas waktu penyewaan harus jelas yaitu waktu
minimal atau maksimal dari penyewaan barang atau jasa (Rianti, D. 2018). dalam
syarat ijārah upah atau alat pembayaran harus jelas dan diketahui nilainya dan bila
objek sewa hilang, mati atau sakit belum ditentukan dalam perjanjian awal, hasilnya

4
apabila objek hilang, mati atau sakit maka tanggung jawab dilimpahkan kepada
penyewa (Cahyono, A.P. 2017).

2.2. Dasar Hukum Ijarah


Jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Qur‟an,
As-Sunnah dan ijma yaitu:
1. Al-Qur‟an
Firman Allah dalam surat Az-Zukhruf ayat 32:
َ َّ ِّ َ
‫ض د َر َج ٰ ٍت ل َيت ِخذ‬ ْ َ َ ْ َ ْ ُ َ ْ َ َ ْ َ َ َ َ ْ ُّ ٰ َ َ ْ ِ ْ ُ َ َ َّ ُ َ ْ َ َ ْ َ َ ُ ْ َ َ ِّ َ َ َ ْ َ َ ُ ْ َ ْ ُ َ
ٍ ‫أهم يق ِسمون رحمت ربك ۚ نحن قسمنا بينهم م ِعيشتهم ِف ٱلحيو ِة ٱلدنيا ۚ ورفعنا بعضهم فوق بع‬
َ َ َ ُ ْ ً ُ
‫َب ْعض ُهم َب ْعضا ُسخ ِر ًّيا ۗ َو َر ْح َمت َ ِّربك خ ْْ ٌي ِّم َّما َي ْج َم ُعون‬

Artinya: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah


menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan
Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan
rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
2. As- Sunnah
Nabi Shallallahu‟alaihi Wassalam bersabda:

‫ع َرقُه‬ َّ ‫ير أ َ ْج َرهُ قَ ْب َل أ َ ْن يَ ِج‬


َ ‫ف‬ ُ ‫أ َ ْع‬
َ ‫طوا األ َ ِج‬
Artinya: “Berikanlah pekerja upahnya sebelum keringatnya kering” (HR. Ibn
Majah).

Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya
pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji
setiap bulan. Al Munawi berkata, “Diharamkan menunda pemberian gaji padahal
mampu menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum
keringat si pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya

5
memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau
keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering (Faidhul Qodir. 1: 718).
3. Ijma‟
Ulama‟ pada zaman sahabat telah sepakat akan kebolehan akad ijarah, hal ini
didasari pada kebutuhan masyarakat akan jasa-jasa tertentu seperti halnya
kebutuhan akan barang-barang. Ketika akad jual beli diperbolehkan, maka terdapat
suatu kewajiban untuk membolehkan akad ijarah atas manfaat/jasa. Karena pada
hakikatnya, akad ijarah juga merupakan akad jual beli namun pada objeknya
manfaat/jasa. Adanya ijma; akan memperkuat keabsahan akad ijarah (Djuwaini, D.
2008)

2.3. Syarat dan Rukun Ijarah


Menurut Hanafiyah rukun ijarah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua belah
pihak yang bertransaksi. Adapun menurut jumhur ulama rukun ijarah ada empat
antara lain:
1. Aqid (kedua orang yang bertransaksi)
2. Sighah akad (ijab dan qabul)
3. Ujrah (upah atau sewa)
4. Manfaat sewa (Karim, H:34)
Dalam kitab dijelaskan rukun ijarah ada enam yaitu:
1. Penyewa (musta‟jir)
2. Pemberi sewa (mu‟ajjir)
3. Objek sewa (ma‟jur)
4. Harga sewa (ujrah)
5. Manfaat
6. Ijab qabul (sighah) (Zulkifli, S. 2003).

6
Sebagai bentuk transaksi, maka ijarah dianggap sah namun harus memenuhi
rukun diatas, disamping itu harus memenuhi syarat-syaratnya. Adapun syarat-syarat
dalam akad ijarah antara lain:
1. Syarat terjadinya akad: syarat yang berkaitan dengan pelaku akad menurut ulama
Syafi‟iyah dan Hanabilah, disyaratkan telah baligh dan berakal (Haroen, N. 2007).
Oleh sebab itu, apabila orang yang belum baligh atau tidak berakal, seperti anak
kecil dan orang gila, menyewakan harta mereka atau diri mereka (sebagai buruh),
menurut mereka ijarahnya tidak sah.
2. Syarat berlangsungnya akad: syarat berlakunya akad ijarah adalah adanya hak
kepemilikan atau kekuasaan (al-wilayah). Akad ijarah yang dilakukan oleh
seorang fudhuli (orang yang membelanjakan harta orang lain tanpa izinnya) adalah
tidak sah karena tidak ada kepemilikan atau hak kuasa (Az-zuhaili. 3:807).
3. Syarat sah nya akad: syarat sah ijarah berkaitan dengan pelaku akad, objek akad,
tempat, upah, dan akad itu sendiri. Diantaranya syarat sah akad ijarah adalah
sebagai berikut:
1). Kerelaan kedua belah pihak (An-taradin): artinya kedua belah pihak berbuat
atas kemauan sendiri. Sebaliknya, tidak dibenarkan melakukan upah mengupah
atau sewa-menyewa karena paksaan oleh salah satu pihak ataupun dari pihak lain.
Hal ini berdasarkan kepada firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 29 yang
berbunyi:

َ َّ َّ ُ ُ َ ۟ ُُ َْ َ ُ َ َ ً َ ُ َ َ َٰٓ َّ ْ ُ َ ُ َ َ ۟ َُُْ َ ۟ ُ َ ‫َي َٰٰٓ َأ ُّي َها َّٱلذ‬


‫اض ِّمنك ْم ۚ َوَل تقتل َٰٓوا أنف َسك ْم ۚ ِإن ٱَّلل‬
ٍ ‫ين َء َامنوا َل تأ كل َٰٓوا أ ْم َ ٰو لكم َب ْينكم ِبٱل َب ٰ ِط ِل ِإَّل أن تكون ِت َج ٰ َرة عن ت َر‬ ِ
‫يما‬ً ‫ان ب ُك ْم َرح‬
َ َ
‫ك‬
ِ ِ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di antara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

7
2). Hendaknya objek akad (yaitu manfaat) diketahui sifatnya guna menghindari
perselisihan: Apabila manfaat yang akan menjadi objek akad ijārah itu tidak jelas,
maka akadnya tidak sah (Haroen, N. 2007). Kejelasan manfaat dilakukan dengan
menjelaskan jenis manfaatnya, dan berapa lama manfaat di tangan penyewa.
3). Hendaknya objek akad dapat diserahkan baik secara nyata (hakiki) maupun
syara‟: Menurut kesepakatan fuqaha, akad ijarah tidak dibolehkan terhadap
sesuatu yang tidak dapat diserahkan, baik secara nyata (hakiki), seperti
menyewakan onta yang lepas dan orang bisu untuk bicara, maupun secara syara‟,
seperti menyewakan wanita haid untuk membersihkan masjid, seorang dokter
untuk mencabut gigi yang masih sehat, seorang sihir untuk mengajarkan sihir
4). Hendaknya manfaat yang dijadikan objek ijarah dibolehkan secara syara‟:
Hendaknya manfaat yang dijadikan objek ijarah dibolehkan secara syara‟. Sebagai
contohnya, menyewa kitab untuk ditelaah, dibaca, dan disadur, menyewa
apartemen untuk ditempati, menyewa jaring untuk berburu, dan sebagainya.
5). Syarat-syarat upah (ujrah): upah harus berbentuk harta dengan nilai jelas,
konkret atau dengan menyebutkan kriteria-kriterianya. Karena sewa merupakan
pembayaran atas nilai manfaat, berarti nilai tersebut disyaratkan syarat harus
diketahui dengan jelas.
4. Syarat mengikatnya akad
1). Terbebasnya barang yang disewakan dari cacat yang merusak pemanfaatannya.
Benda yang disewakan harus terhindar dari cacat (aib) yang menyebabkan
terhalangnya pemanfaatan atas benda yang disewa itu. Apabila terdapat suatu
cacat (aib), maka penyewa (musta’jir) boleh memilih antara meneruskan ijarah
dengan pengurangan uang sewa dan membatalkannya. Contohnya: Sebagian
rumah yang akan disewa runtuh, kendaraan yang dicarter rusak atau mogok.
Apabila rumah yang disewa itu hancur seluruhnya maka akad ijarah jelas harus

8
fasakh (batal), karena ma‟qud „alaih (rusak total), dan hal itu menyebabkan
fasahknya akad.
2). Tidak terjadi alasan yang membolehkan memfasakh (membatalkan) ijarah.
Seperti jika terjadi sesuatu terhadap salah satu pihak atau barang yang disewakan,
maka setiap pihak boleh memfasakh (membatalkan) akad. Adapun 3 jenis yang
dapat mewajibkan membatalkan akad yaitu (Az-Zuhaili. 383:1): yang pertama,
udzur dari pihak penyewa, misalnya, jika penyewa bangkrut atau beralih dari
pekerjaan tertentu menjadi petani, atau dari petani menjadi pedagang, atau dari
satu profesi ke profesi lain. Kedua yaitu udzur dari pihak yang menyewakan,
misalnya, jika yang menyewakan tertimpa utang yang sangat besar dan tidak dapat
melunasinya kecuali dengan menjual barang yang ia sewakan dan membayarnya
dengan harganya. Ketiga, Udzur dalam fisik barang atau sesuatu yang disewakan,
contoh yang pertama, seperti jika seorang menyewa kamar mandi di sebuah
kampung untuk ia bisniskan selama waktu tertentu, kemudian ternyata penduduk
kampung itu pergi (hijrah) maka ia tidak wajib membayar upah pada pemiliknya.
Contoh yang kedua, menyewa petugas untuk bekerja kemudian dia dilarang
bekerja oleh undang-undang.
5. Pembatalan dan berakhirnya ijarah
Menurut al-Kasani dalam kitab al-Bada‟iu ash-shana‟iu (Ghazaly, dkk. 284)
menyatakan bahwa akad ijarah berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
1). Tenggang waktu yang disepakati dalam akad sudah berakhir. Apabila yang
disewakan tanah pertanian, rumah, pertokoan, tanah perkebunan, maka semua
barang sewaan tersebut dalam harus dikembalikan kepada pemiliknya, dan
apabila yang disewa itu jasa sesorang, maka ia segera dibayar upahnya.
2). Objek ijarah hilang atau musnah.
3). Apabila ada uzhur dari salah satu pihak.
2.4. Macam-Macam Ijarah

9
Ada dua jenis ijarah dalam hukum islam (Rozalinda. 2016)
1. Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa atau pekerjaan: Yaitu
mempekerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang
disewa. Pada ijarah ini seseorang mempekerjakan untuk melakukan suatu
pekerjaan, dan hukumnya boleh apabila jenis pekerjaannya jelas dan tidak
mengandung unsur tipuan. Seperti tukang jahit, tukang dan kuli bangunan,
dll.
2. Ijarah yang berhubungan dengan sewa asset atau properti: Yaitu
memindahkan hak untuk memakai dari asset tertentu kepada orang lain
dengan imbalan biaya sewa (Ascara. 2008:99). Pada ijarah ini benda atau
barang yang disewakan harus memiliki manfaat. Misalnya sewa-menyewa
rumah, tanah pertanian, kendaraan, pakaian, perhiasan, lahan kosong yang
dibangun pertokoan dan sebagainya. Dalam ijarah ini tidak dibolehkan
menjadikan objeknya sebagai tempat yang dimanfaatkan untuk kepentingan
yang dilarang agama.

2.5. Hak dan Kewajiban Pihak yang Melakukan Ijarah


Perjanjian atau akad, termasuk akad ijarah mempunyai hak dan kewajiban para
pihak yang membuatnya. Hak dan kewajiban pihak pemilik objek perjanjian sewa-
menyewa atau pihak yang menyewakan antara lain:
1. Hak dan kewajiban pihak pemilik objek perjanjian sewa menyewa atau pihak
yang menyewakan (Basyir, A.A 2000:51):
a. wajib menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa.
b. memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga barang itu
dapat dipakai untuk keperluan yangh dimaksud.
c. memberikan penyewa kenikmatan atau manfaat atas barang yang disewakan
selama waktu berlangsungnya sewa-menyewa.

10
d. menanggung si penyewa terhadap semua cacat dari barang yang disewakan.
e. ia berhak atas uang sewa yang besarnya sesuai dengan yang telah
diperjanjikan.
f. menerima kembali barang objek perjanjian di akhir ijarah.
2. Hak dan kewajiban pihak penyewa
a. Ia wajib memakai barang yang disewa sesuai dengan tujuan yang diberikan
pada barang itu menurut perjanjian sewanya.
b. Membayar harga sewa pada waktu yang ditentukan.
c. berhak menerima manfaat dari barang yang disewanya.
d. Menerima ganti rugi, jika terdapat cacat pada barang yang disewa.
e. Tidak mendapatkan gangguan dari pihak lain selama memanfaatkan barang
yang disewa.

BAB III
KESIMPULAN

11
3.1. Kesimpulan
ijarah (sewa menyewa) yaitu suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu
dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Ijarah didasarkan dengan
adanya pengalihan hak manfaat, dengan syarat barang yang diambil manfaaatnya
harus jelas, jangka waktu harus dapat diketahui dan tertulis yang diketahui oleh kedua
belah pihak (penyewa dan pemilik sewa), pekerjaan dan manfaatnya harus diketahui,
(jenis jumlah dan sifat serta sanggup menyerahkannya, dan manfaat yang disewakan
adalah manfaat yang bernilai).
Syarat dan rukun ijarah yaitu aqid (kedua orang yang bertransaksi), sighah akad
(ijab dan qabul), ujrah (upah atau sewa), dan manfaat sewa itu sendiri. Macam-
macam ijarah ada dua, antara lain ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa atau
pekerjaan serta ijarah yang berhubungan dengan sewa asset atau properti.
Hak dan kewajiban pihak yang menyewakan yaitu wajib menyerahkan barang
yang disewakan kepada penyewa, memelihara barang yang disewakan, memberikan
penyewa kenikmatan atau manfaat atas barang yang disewakan selama waktu
berlangsungnya sewa-menyewa, menanggung si penyewa terhadap semua cacat dari
barang yang disewakan, ia berhak atas uang sewa yang besarnya sesuai dengan yang
telah diperjanjikan, menerima kembali barang objek perjanjian di akhir ijarah.
Hak dan kewajiban pihak penyewa yaitu wajib memakai barang yang disewa
sesuai dengan tujuan yang diberikan menurut perjanjian sewanya, membayar harga
sewa pada waktu yang ditentukan, berhak menerima manfaat dari barang yang
disewanya, menerima ganti rugi jika terdapat cacat pada barang yang disewa, tidak
mendapatkan gangguan dari pihak lain selama memanfaatkan barang yang disewa.

12
DAFTAR PUSTAKA

Anshori, A.G. 2006. “Pokok-Pokok Hukum Perjanjian di Indonesia”. Yogyakarta:


Citra Media.

Ascara. 2008. “Akad dan Produk Bank Syariah”. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Az-Zuhaili, W. 1998. “Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh”. Damaskus: Dar al-Fikr.

Basyir, A. A. 2004. “Azas-Azas Hukum Muamalah: Hukum Perdata Islam”.


Yogyakarta: UII Press Yogyakarta.

Cahyono, A.P. 2017. ”Tinjauan Fiqih Muamalah terhadap Praktik Sewa Ayam Babon
di Desa Putat Kecamatan Geger Kabupaten Madiun". Skripsi. Ponorogo: IAIN
Ponorogo.

Djuwaini, D. 2008. “Pengantar Fiqh Muamalah”. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Ghazaly dkk. 2010. “Fiqih Muamalat”. Jakarta: Prenada Media Group.

Haroen, N. 2007. “Fiqih Muamalah”. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Jafri, S. 2008. “Fiqih Muamalah”. Jakarta: Pustaka Press.

Jamil, F. 2012. “Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga


Keuangan Syariah” .Jakarta: Sinar Grafika.

Karim, A. 2006. “Analisis Fiqih dan Keuangan”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Karim, H. 1997. “ Fiqih Muamalah”. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Manan, A. 2014. “Hukum Ekonomi Syariah”. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

1
Rianti, D. 2018. “Tinjauan Hukum Islam terhadap Sewa Menyewa Pohon Mangga di
Desa Ngendut Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo,” Skrisi Ponorogo: IAIN
Ponorogo.

Rozalinda. 2016. “Fikih Ekonomi Syariah”. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sabiq, S. 1990. “Fiqhu Sunnah, Juz IV”. Kairo: Darul „ilmu.

Suhendi, H. 2016. “Fiqh Muamalah”. Jakarta: Rajawali Pers.

Ya‟kub, H. 1992. “Kode Etik Dagang Menurut Islam II”. Bandung: CV. Diponegoro.

Zulkifli, S. 2003. “Panduan Praktisi Transaksi Perbankan Syariah”. Jakarta: Zikrul


Hakim.

Anda mungkin juga menyukai