Anda di halaman 1dari 344

PROLOG

Haruskah aku berpura-pura bahwa tidak ada yang


terjadi?
Seolah-olah kita tidak mengenal satu sama lain dan
membiarkanmu pergi?
Apakah salah jika aku mulai merindukanmu?
Apakah salah jika aku merindukan kamu?
Apa yang harus kulakukan jika tidak dapat
menahannya?
Ada kata-kata yang belum bisa kukatakan.
Kata yang tidak bisa kukatakan karena aku sangat
berterimakasih.
Kata yang tidak bisa kukatakan karena aku meminta
maaf..

Apa yang harus kulakukan jika aku mulai


kehilanganmu?
Apa yang harus kulakukan jika aku ingin memelukmu?
Apa yang harus kulakukan jika aku tidak dapat
menahanmu?
Ada kata-kata yang belum bisa kukatakan..
Kata-kata yang tetap di hatiku,
Kata-kata yang kutelan ribuan kali bahwa aku jatuh
cinta padamu, Revan.
1. Revan Prayoga

"Vel, liat tuh Revan berduaan mulu sama Saras."

Dengan senyuman tipis, Velma menutup buku


fisikanya, "Bebas dia mau deket sama siapa aja."

Alsa mendelik mendengarnya, "Gak bisa gitu dong, lo


sama Revan kan pacaran gak enak kalo diliat-"

"Kenapa pusing?"

"Iya! Lain kali gue diem. Udah gue peduliin tetep aja
hati lo keras, dasar beku lebih beku dari es batu!"

Alsa beranjak pergi meninggalkan Velma sendirian


yang tengah mencerna omongan dari satu-satunya
orang yang peduli padanya di kelas ini. Velma
memang tidak suka bergaul dengan siapapun, di
kelas ini pun dirinya tidak mempunyai teman, setiap
ada yang ingin berteman dengannya, Velma selalu
menutup diri.

Satu hal yang membuat Velma seperti ini, karena


dirinya dari kalangan bawah. Minder, dan selalu
merasa tidak pantas jika dibandingkan dengan
mereka yang selalu membawa mobil mewah atau
apapun itu. Tapi Velma tau, dirinya sangat harus
bersyukur karena dia bisa sekolah disini, di SMA
paling favorit di Jakarta.

Apalagi dengan secara tiba-tiba Revan


Prayoga most wanted sekolah ini yang terkenal
dengan kesempurnaannya, kelihaiannya bermain
basket, alat musik dan banyak lagi itu menembaknya,
memang terdengar sangat aneh dan mengejutkan
bahkan sempat membuat geger sekolah, bahkan
pernah ada teror yang menimpanya dari fans-fans
fanatik yang baperan tanpa tau bagaimana
perasaannya.

Waktu itu…
Flashback on

Velma berjalan sambil mendekap beberapa buku


didadanya, berjalan menyusuri koridor sendirian.
Loker sebentar lagi sampai tetapi seseorang
menghalangi jalannya, Velma berdecak pelan lalu
menatap cowok jangkung dihadapannya ini.

"Gue mau lo jadi pacar gue."

Mata Velma langsung membulat sempurna


mendengar penuturan gila dari cowok dihadapannya
ini, sambil menautkan alisnya Velma berdecih,
"Apaan sih."

Cowok yang dikenal dengan kelihaiannya bermain


alat musik itu langsung mencekal pergelangan
tangannya yang membuat buku-buku dalam
dekapannya berjatuhan, Velma melotot dibuatnya.

"Gue suka sama lo! Kalo lo berani nolak gue, hidup lo


di sekolah ini gak akan tenang."

Velma menatap Revan dengan tatapan sulit diartikan


sedangkan Revan dengan wajah seriusnya, "Gue gak
pernah nyangka cowok kayak lo bisa berlaku kayak
gini, gila!"
"Gue juga gak nyangka kalo gue tertarik sama lo."

Velma bungkam lalu melepaskan tangan Revan


kasar dan langsung memunguti buku-bukunya di
lantai, Revan mendengus buku milik Velma ia injak,
"Kalo lo berani nolak gue, gue jamin lo keluar dari
sekolah ini. Lo dapet beasiswa kan disini? Dan lo
pasti tau lah gue siapa disini."

Sambil berdecih Velma berdiri dan langsung menatap


Revan tajam, "Oke, asal jangan pernah lo cabut
beasiswa gue."

"No problem." Revan tersenyum tipis lalu


membungkuk mengambil buku milik Velma yang tadi
ia injak dan menyerahkannya, Velma yang mulai
tersulut emosi langsung mengambilnya dan pergi dari
hadapan Revan sambil mengumpat.

Sampai di loker, Velma menyandarkan tubuhnya


sambil memegang keningnya yang berdenyut-denyut.
"Cobaan apa lagi Tuhan."

Flashback off

Begitulah Revan, semaunya dan kejadian itu enggak


akan pernah Velma lupakan seumur hidup! Walaupun
jujur saja Velma mulai merasakan kenyamanan jika
berada dekat Revan, dan saat mendengar gosip
Revan dekat Saras pun sempat membuat hatinya
ngilu, sempat.

Guru tidak masuk membuatnya gerah, apalagi tidak


ada yang harus di kerjakannya. Buku paket sudah ia
baca, pokoknya apapun sudah ia baca, sejenak ia
berfikir apa yang harus ia lakukan.

Seketika jarinya ia jentikan, "Lebih baik gue ke perpus!


Ide bagus!" Senyum konyolnya tersungging di
wajahnya yang membuat siapapun dapat menyadari
kecantikannya. Sambil membawa satu buku catatan
dan bolpoin, Velma bergegas keluar kelas.

Tepat di pintu kelas, Rojak dan teman-temannya


yang selalu menjaga disana langsung menghalangi
jalan ketika ia hendak keluar, "Gue mau ke perpus."

"Goceng!" Rojak memalaknya, membuat Velma


berkacak pinggang. "Gue cuma mau ke perpus,
minggir."

"Bos udah deh, lepasin aja dia pacarnya Revan."

Rojak yang mendengar bisikan Bono hanya


mengedikan bahunya, "Gue gak takut, si Revan kan
lagi sama Saras tadi gue liat. Kayaknya lo udah putus
deh sama dia yakan?"

Kok malah ngegosip kayak gini sih? Velma


mendengus tidak menjawab pertanyaan Rojak.

"Minggir." Sekali lagi dirinya mencoba


menyingkirkan Rojak dan keempat temannya tetapi
tetap saja tidak ada tanda-tanda mereka akan
memberikan jalan untuknya, seisi kelas hanya diam
menonton tidak ada yang mau membantunya, hanya
Alsa yang terlihat ingin membantu tetapi tetap saja
diam di tempat.
"Lo ngaku dulu, lo apain si Revan sampe bisa jadi
pacar lo? Setau gue lo kan cewek miskin."

"Kan udah di putusin bos, palingan si Revan cuma


mau mainin dia aja, atau paling tidak dia dibayar."

"Iya bener, kayaknya udah putus bos gue liat


kemaren Revan sama Saras baru keluar dari tempat
karaoke gitu deh."

Pernyataan-pernyataan menyakitkan dari mereka


membuat mata Velma memanas, pikiran-pikiran
negatif tentang Revan memenuhi otaknya "cowok
brengsek!" desisnya, tepat sebelum dirinya
mengurungkan niat untuk pergi ke perpus.

BUGH

Suara pukulan keras membuat Velma menutup


mulutnya, Rojak terkapar dengan mulutnya yang
mulai mengeluarkan darah pertanda pukulan itu
sangat keras.

Di balik pintu munculah Revan dengan rahangnya


yang mengeras dan tangannya yang terkepal, "Kalian
pikir gue gak denger hah?" Nafasnya sangat tidak
teratur membuat siapapun yang melihatnya ngeri.

"Gimana sih, katanya Revan lagi sama Saras." Bisik


salah satu teman Rojak sambil meringis. "Gue juga
gak tau."

Rojak bangkit sambil memegang ujung bibirnya, "Lo


aja brengsek. Mainan lo murahan, gue liat lo emang
lagi deket sama Saras kan? Udahlah Van, kasihan
nih cewek. Hidupnya udah kelewat menderita
ditambah sama lo!"

BUGH

Satu hantaman keras kembali mengenai wajah milik


Rojak ditambah pukulan Revan yang membabi buta,
siapapun tidak berani menghentikan aksi Revan.
Siapa sih yang berani? Revan kan anak pemilik
sekolah disini, ia disegani para guru, apalagi
muridnya.

Sedangkan Velma yang muak dengan semuanya


langsung bergegas keluar dari area yang dibencinya.
Melihat Velma keluar, Revan langsung menunjuk
semua yang ada di kelas ini, "Jangan sampe ada
yang berani apa-apain Velma kalo gak mau
berurusan sama gue."

Seluruh siswa dikelas maupun seluruh sekolah yang


menyaksikan ini hanya bungkam, terlihat Saras yang
menghentakan kakinya lalu menjauh dari kerumunan.

Setelah mengancam, Revan pun mengejar Velma


yang entah kemana. Dia coba mencari ke
perpustakaan tapi hasilnya nihil, tangannya yang ia
kepal langsung ia layangkan pada tembok di
hadapannya "Sialan!"

őőő

Ddyulian
2. Penyampaian Rasa

VELMA menggerutu, kenapa dirinya bisa terlibat


dengan laki-laki macam Revan sih? Hidupnya
semakin sulit. Apa dia tidak tau bahwa dirinya sudah
terlalu sulit untuk sekolah disini apalagi dengan anak-
anak nya yang sangat menjunjung tinggi kekayaan.
Di tambah Revan yang selama dua bulan ini berhasil
memporak-porandakan hatinya. Memang tampan,
tapi bagaimanapun juga... Revan hanya mampu
menambah beban dikehidupannya.

Tanpa disadari setetes air mata yang menurutnya


hina menetes dari matanya, Velma langsung
mengusapnya dan memukuli dadanya yang terasa
sesak.

"Cowok brengsek! Gara-gara lo gue jadi makin


menderita tau gak! Gue benciiii banget sama lo,
Revaaan!" Jeritan Velma tentu tidak akan terdengar
siapapun karena dirinya sedang berada
di rooftop dimana tidak akan ada seorang pun yang
dapat menganggunya, tempat ini adalah
tempat favorite dirinya sejak memasuki kelas dua,
tempat yang damai dan menenangkan.

Tes.. Tes..

Sesuatu menetes dari hidungnya, cairan berwarna


merah yang akhir-akhir ini selalu membuatnya kesal
sendiri. Untung disana ada air kran yang bisa dia
gunakan untuk membersihkan darah yang terus
mengalir dari hidungnya ini.
"Cowok brengsek bisanya ngancem, tapi gue bener-
bener nyaman." Ucapnya lemah sambil terus
membersihkan hidungnya yang mengeluarkan
banyak darah itu.

"Gue bego kenapa gue sampe bisa baper sama


cowok brengsek. Gue bego, gue bego!" Cicitnya lirih,
setelah merasa darahnya tidak keluar lagi, Velma
mematikan air kran itu dan mencari tempat kering
untuk duduk dan menenangkan dirinya. Di lihatnya
jam tangan waktu pelajaran sudah berakhir membuat
Velma menghembuskan nafas lega.

Skreet... Brak

Matanya melotot mendengar sebuah suara, tiga


tahun lamanya dia disini setaunya tidak ada yang
biasa ke tempat ini selain dirinya yang memang
kurang bergaul dengan orang lain, tiba-tiba munculah
seorang laki-laki dari balik tembok pintu membuat
Velma mengerjapkan matanya.

"Lo siapa?" Tanyanya yang malah membuat Velma


merinding, jangan-jangan ini orang suruhan Revan
yang akan sengaja membunuhnya, membuatnya
loncat dari gedung ini.

"Kenalin, gue Dhirga anak baru kelas sebelas." ucap


laki-laki itu lagi sambil membersihkan bajunya yang
terkena debu, Velma hanya mampu diam tidak
memperdulikan keberadaan laki-laki tersebut tetapi
matanya terus memandangnya.

"Lo masih kelas sepuluh ya? Pantesan malu-malu


gitu. Gue di sekolah lama emang suka
di rooftop kayak gini cuman gue gak
nyangka rooftop disekolah ini jelek banget."

Velma menggigit bibir bawahnya, "Lo bukan suruhan


Revan kan?"

Dhirga mengernyitkan alisnya mendengar nama itu


disebutkan, "Revan?"

Velma memejamkan matanya sebelum ingin turun,


dia tidak ingin mati sekarang. Dhirga yang melihat
tindakan aneh itu langsung mengernyit heran.

"Mau kemana?" Dhirga mencekal pergelangan


tangan Velma yang membuatnya bergetar. "Lepasin,
gue tau lo suruhan Revan kan? Please lo jangan-"

"Suruhan Revan apanya? Gue emang kenal dia, tapi


gue aja belum sempet ketemu. Dia kan kelas dua
belas, gue disini aja baru satu hari." Velma
melepaskan cekalan tangannya lalu menatap Dhirga
dengan tatapan memicing.

"Oh, yaudah gue tetep mau turun mau pulang."

"Bentar dong lo belum perkenalan, nama lo siapa?"


Dhirga tersenyum sedangkan Velma memasang
wajah datar "Velma."

Setelah itu, Velma langsung meninggalkan Dhirga


yang tengah tersenyum sambil memegangi dadanya
"Velma seindah wajahnya yang mampu mendebarkan
jantungku, uuu."
Dengan cepat ocehan itu terhenti ketika secara tiba-
tiba matanya menangkap sesuatu, banyak darah
disana, darah itu terlihat masih basah dan baru yang
membuat Dhirga bergidik ngeri, "Selain jelek ternyata
sekolah milik om Darma juga banyak hal berbau
mistis, ih."

őőő

Revan terus-terusan menendang bola ke arah


gawang, dirinya melampiaskan kemarahannya disini.
Dia tidak terima gadisnya-Velma di hina seperti itu
bahkan di kompor-kompori bahwa dirinya tengah
mendekati Saras padahal Saras cuma partnernya
untuk kerja kelompok nanti, dan semuanya juga tau
kalau Saras hanya teman masa kecilnya.

DUAGH DUG DUG

Suara bola memantul yang tidak masuk kearah


gawang menutup aksi Revan kali ini, di pinggir sana
terlihat Lingga tengah mengusap kepalanya yang
pusing melihat kelakuan Revan.

Lingga mendekati Revan yang kini terduduk dengan


nafasnya yang tersenggal-senggal "Udah lah, Velma
gak akan kenapa-napa percaya deh sama gue."

Revan melirik sahabatnya itu lalu menunduk


mengambil minum dan mengucurkannya pada
wajahnya yang panas "Sialan si Rojak."

"Gue juga yakin, Rojak bakalan jera setelah ini,


sekarang kita pulang. Lo harus bisa ngendaliin emosi
lo sendiri bro." Lingga menepuk bahunya pelan
membuat Revan mulai tenang dan mengatur
nafasnya, Lingga beranjak dari tempat duduknya
untuk pulang disusul oleh Revan.

"Van, liat itu Velma!" Lingga menunjuk kearah


kanannya dan terlihat Velma yang tengah menunduk
sambil mengandeng tasnya. Tanpa menunggu apa-
apa lagi Revan langsung menghampirinya dengan
keringat bercucuran.

Velma yang sedari tadi melamun berjenggit kaget


ketika tangannya di tarik oleh sesuatu yang dingin,
matanya membulat ketika melihat Revan dengan
keringat bercucuran menatapnya tajam.

"Lo kemana tadi? Gue cariin kemana-mana!" Velma


menatap cowok dihadapannya dengan tatapan
menyakitkan bagi Revan.

"Bukan urusan lo." Ucapnya dingin menambah


sebuah goresan lagi dalam hati Revan, Revan
mendengus lalu menatap Velma lekat-lekat.

"Lo gak papa kan?" Velma menggeleng lalu


melepaskan cekalan tangan Revan kasar, "Udah ya?
Gue mau pulang."

"Gue anterin, lo gak bisa nolak." Revan menarik


tangan Velma untuk mengikutinya, sambil
mendengus pelan Velma mengikuti langkah Revan.

Di belakang sana, Lingga hanya bisa menggeleng-


gelengkan kepalanya melihat tindakan Revan yang
sangat disayangkan, Revan tidak bisa menyampaikan
rasa dengan baik. Tapi, apa boleh buat? Revan
memang seperti itu, dibalik kelakuannya yang angkuh
tersimpan rasa yang sangat besar untuk Velma.
Hanya caranya saja yang salah, Lingga percaya itu.

őőő

Ddyulian
3. Dhirga Richard

DENGAN senyuman khasnya Dhirga bersiul sambil


memainkan kunci mobil pada tangan kirinya, dia
senang baru sehari sudah mendapatkan cewek yang
tidak pernah dia dapatkan di sekolahnya dulu.

Walaupun memang sekolah ini sedikit tidak terurus


dan mistis, tetapi mempunyai kelebihan dalam bidang
cewek rupanya, Dhirga menggeleng-gelengkan
kepalanya sambil menikmati siulan tidak tentu nada
yang ia ciptakan sendiri.

Karena disekolah ini milik sendiri, Dhirga


memberanikan diri membawa mobil lagian banyak
juga yang membawa mobil pikirnya walaupun dirinya
tau itu rata-rata milik kelas tiga tetapi tidak terlalu
diperdulikan. Sambil terus bersiul Dhirga
memarkirkan mobilnya untuk keluar dari sekolah ini.

"You are my moodboster.." Cicitnya tidak nyambung,


tiba-tiba tangannya memegang perutnya yang terasa
lapar.

"Duh laper, nasi padang enak nih kayaknya." Dirinya


memang tidak sempat makan tadi karena banyak
urusan yang harus ia selesaikan tentang
kepindahannya.

Melihat sebuah restoran di pinggir jalan yang terlihat


lumayan ramai membuat dirinya mengurungkan
niatnya untuk pergi ke warung nasi padang, Dhirga
malah membelokan setir mobilnya kearah restoran
tersebut dan berniat mampir untuk mengisi perutnya
sebentar.
Dhirga duduk santai di pinggir kaca agar dapat
melihat mobil berwarna putihnya itu, "siapa tau ada
maling ntar? Lagian gak ada tukang parkir kan lebih
baik mencegah." Dhirga tersenyum geli mendengar
pendapat hatinya.

Terdengar suara bentakan keras dari arah belakang


membuat Dhirga mengernyitkan alis, mungkin
sebagian tidak mendengar karena riuh. Tetapi dirinya
tidak terlalu memperdulikan hal itu, beberapa saat
kemudian datang seorang pelayan sambil menunduk.
Wajahnya sangat familiar di mata Dhirga.

Terbukti saat pelayan itu melihatnya langsung melotot


kaget, lalu sedetik kemudian bersikap normal kembali
"S-ssilahkan mau pesan apa."

"Lo Velma kan? Yaampun ternyata kita berjodoh."


Dhirga nyengir kuda sambil melihat Velma dengan
tatapan takjub "Mau pesen apa mas?"

Seketika matanya membulat mendengar penuturan


cewek ini, sambil melirik kesal Dhirga menyandarkan
bahunya pada kursi restoran tersebut "Mas apa?
Mas-Masih muda?" Velma mendengus pelan sambil
mengusap dadanya pelan menyabarkan hatinya.

"Dhirga mau pesen apa?" Dhirga nyengir lagi "Mau


pesen, apa ya? Menu yang spesial hari ini apa?

"Menu spesial hari ini ada ayam penyet sambal ijo,


soto betawi sama pempek kulit, masih banyak menu
lain. Mau apa?"

"Lo cantik."
Velma memutarkan bola matanya sambil mengusap
keningnya, "Jadi mau pesen apa?"

"E-eh, itu. Mau pesen ayam penyet deh tambah nasi


ya!"

Velma mengangguk tanpa basa-basi lagi dirinya pergi


meninggalkan Dhirga yang sepertinya ingin
membicarakan sesuatu, Dhirga sudah ia catat
kedalam buku orang-orang yang harus ia hindari.

Sementara Dhirga mendengus, walaupun begitu


dirinya tersenyum senang dan berniat akan sering-
sering menghabiskan waktu disini agar bisa lebih
dekat dengan seorang Velma.

őőő

Hari ini termasuk hari yang hancur bagi Velma


dalam kalendernya, dirinya selalu menandai hari-hari
yang menurutnya senang dan sedih karena jika ia
sukses nanti ia pasti akan mengenangnya. Bukan
ingin berbalik ke masa lalu, hanya ingin
mengingatnya sebagai pelajaran mungkin.

Setelah siang tadi di ganggu terus dengan


kehadiran Dhirga di restoran tempatnya ia bekerja,
Velma merasakan penat yang luar biasa. Penat yang
akhir-akhir ini menyerangnya, ia tidak berani
memeriksakan diri ke dokter bukan tidak berani saja
tetapi biayanya pun tidak disanggupinya, takut mahal.
Terlebih Ibunya hanya seorang tukang jahit yang
mempunyai pendapatan cukup bahkan kadang
kurang untuk menghidupinya, Ayahnya menghilang
entah kemana setiap kali dirinya menanyakan perihal
ayahnya ibu selalu mengalihkan pembicaraan.

Velma anak tunggal, jadi dia sering melakukan


sesuatu sendirian. Karena menurut Velma
Kesendirian mengajarinya agar tidak mudah
bersandar pada bahu orang lain ketika bahunya
cukup kuat memikul segalanya, jangan bergantung
kepada sesuatu yang tidak kekal karena itu
menyakitkan.

Ia pernah menunggu, bahkan menanti dengan


penuh harapan tetapi penantian itu hanya membuang
waktu berharganya saja. Velma menghembuskan
nafas beratnya sambil berguling menatap langit-langit
kamarnya.

Revan. Tiba-tiba cowok itu tergambar jelas disana


membuat Velma mendengus kenapa dimana-mana
ada dia sih? Ah tidak beres.

Drrt.. Drrt..

Velma kemudian meraih ponselnya yang sederhana,


dengan itu sebuah pesan tiba-tiba masuk membuat
Velma mengernyitkan alisnya.

Mari kita lihat siapa yang tumben banget ngesmsnya


seperti ini, dan ternyata seperti yang ia duga... Dari
operator tercinta.

Isinya bahkan membuat Velma memutarkan kedua


bola matanya, apaan sih?
Info togel ! ingin shio dari angka jitu nomor ghoib
di jamin 100% tembus (jika berminat hub:
08222435421)

Velma memegangi kepalanya, ada-ada saja si?


Setelah menggerutu tidak jelas, dirinya mencoba
memejamkan mata untuk tidur.

1 menit...
5 menit...
30 menit...

Matanya terbuka kembali, tidak bisa tidur! Diliriknya


jam yang menunjukan pukul sebelas malam membuat
Velma mendengus sambil menutupi seluruh tubuhnya
dengan selimut.

"Tidur dong, besok sekolah." Lirihnya pelan, Velma


merasa sangat lelah apalagi tadi sempat dibentak
oleh pemilik restoran tempatnya ia bekerja karena
dirinya telat, untung Revan sudah berlalu, kalau tidak
sudah mencari keributan lagi mungkin.

Hidup memang mengejutkan, sampai kapan dirinya


kuat menghadapi dongeng ini? Velma
menghembuskan nafas beratnya lalu mencoba
kembali untuk tidur.

őőő

Ddyulian
4. Telat!

SAMBIL terus berlari dirinya melihat jam tangannya


yang menunjukan pukul tujuh lebih tiga menit, berarti
dua menit lagi gerbang akan ditutup! Sengaja gadis
ini memilih pergi sekolah dengan berlari karena jam
segini angkot tidak akan sampai dengan waktu yang
diinginkan. Velma pun mengerahkan seluruh
tenaganya untuk mencapai sekolah yang sudah
terlihat di depan matanya.

"Hssh.. Pak! Tunggu pak jangan ditutup dulu!" Jerit


Velma ketika pak Eza dengan mudahnya menutup
gerbang tanpa memperdulikan jeritannya, Velma
memejamkan matanya lalu berjongkok untuk
mengatur nafasnya. Jika sudah seperti ini bagaimana
lagi? Pak Eza terkenal dengan pak satpam paling
tegas sekaligus kejam disekolahnya, Velma
mengusap keringat yang ada di pelipisnya.

Kreet

Terdengar suara gerbang dibuka membuat Velma


pangsung berdiri, dan disana ada Revan yang tengah
berdiri sambil menatapnya tajam. Walaupun begitu
Velma tersenyum senang lalu berjalan untuk masuk
ke dalam "Makasi ya pak?"

"Belajar yang bener, jangan telat lagi." Sambil


mengacungkan jempol, nafasnya terus-terusan
berderu dengan cepat, membuat Velma tidak bisa
berkata apa-apa lagi.

Disana ada Revan yang terlihat khawatir, "Lo


kenapa bisa telat?" Ujarnya santai membuat Velma
ingin berteriak "Gara-gara elo gue telat! mikirin
elo!" Jeritnya dalam hati yang tidak mungkin ia
suarakan karena menghadapi Revan.

Velma menggeleng pelan "Gak papa kok, gue mau


ke kelas ya? Takut udah ada guru, oh iya makasih
udah bantuin gue." Velma kembali berlari untuk
mencapai kelasnya membuat Revan hanya bisa
memandanginya.

őőő

Dhirga sedari tadi memandangi kejadian itu, di


benaknya ada banyak pertanyaan mengenai Revan
dengan Velma? Apa mereka ada hubungan? Dhirga
terus memandangi Velma yang masuk ke area kelas
dua belas. Matanya membulat sempurna berarti
Velma kelas dua belas selama ini? Dirinya
memegangi belakang kepalanya sambil berpikir keras.

"Ros! Rosi woy." Dhirga memanggil salah satu


teman sekelasnya yang dia lihat selalu dikelabang
dua dan menurut Rafli paling suka ngegosip
dikelasnya itu, Rosi terlihat bingung lalu
menghampirinya "Ada apa?"

"Lo kenal Velma enggak?" pertanyaannya malah


membuat kening Rosi berkerut, Dhirga mengusap
wajahnya pelan "Udah deh, jawab aja."

"Velmasya Armadetta?" Jawabnya yang membuat


Dhirga memutarkan kedua bola matanya "Hooh kali,
gue gak terlalu tau."
"Hmm... Setau gue sih, nama Velma emang cuma
itu aja. Biar gue jelasin ya, Velmasya Armadetta.
Kelas 12. Dapet beasiswa. Terbelakang, sorry
sorry maksud gue dari kalangan bawah." Rosi
menghela nafas sebentar membuat Dhirga
menatapnya.

"Nah, yang ini yang paling hot! Velma berstatus


sebagai pacar dadakan Revan yang gantengnya uh,
gue aja sampe bingung tiba-tiba beredar kabar kalo
Revan pacaran sama Velma." Lanjutnya yang sempat
membuat Dhirga lemas.

"Pantes aja pas gue temuin dia di rooftop nanyain


Revan. Sampe ketakutan gitu." Dhirga manggut-
manggut sambil mengusap dagunya.

"Emang kenapa nanyain dia?" Rosi melipat


tangannya di dada membuat Dhirga nyengir.

"Ah, enggak papa."

"Jangan ganggu dia deh, Rojak aja sampe babak


belur gara-gara ngeganggu Velma." Dhirga
mengerjapkan matanya ketika mendengar penuturan
terakhir gadis yang malah pergi menuju gerombolan
cewek dikelasnya untuk kembali bergosip ria
menunggu guru. Dhirga tersenyum miris, "Ternyata lo
masih sama ya, Van."

őőő

Velma menghembuskan nafas lega ketika guru


belum ada di kelasnya, waktu dia datang seluruh
mata tertuju padanya. Apalagi Rojak yang di sebelah
matanya membiru membuat Velma bergidik ngeri,
tetapi Velma hanya menunduk lalu duduk di belakang
sendirian berhubung di kelas muridnya ganjil dan
tidak ada yang mau duduk dengannya.

Sesampainya di meja, Velma menjatuhkan


wajahnya lalu sejenak memejamkan matanya. Dia
memang berusaha cuek dan pura-pura buta atau tuli
hanya untuk memelihara hatinya agar tidak terluka,
melihat keadaan kelas yang seperti ini tentu saja
bukan hal yang mudah tetapi dirinya sering berpikir
mungkin memang dia pantas mendapatkannya,
sekolah disini merupakan pilihan sekaligus impiannya
dari dulu. Sabar Velma, tinggal beberapa bulan
lagi, batinnya menenangkan.

Tuk..tuk.. Suara sepatu membuatnya langsung


menormalkan posisi duduknya untuk tegak siap
menerima pelajaran, dan ternyata benar disana
sudah ada bu Dewi selaku guru fisika sekaligus wali
kelasnya siap mengajar. Tanpa basa-basi lagi bu
Dewi menerangkan pelajarannya.

Velma mendengus, hukum kekekalan energi, impuls


dan momentum. Sungguh sudah di luar kepalanya ini
kan pernah di ajarkan waktu kelas 10 bagi murid
berprestasi macam Velma memang seperti ini jika
pelajaran yang memang sudah dikuasainya di ajarkan
lagi, bosan jenuh dan membuatnya mengantuk.

"Coba Resta ke depan kerjakan soal nomor empat."


ucap bu Dewi membuat kelas hening seketika, Resta
yang dikenal murid paling pintar dalam bidang
bahasa inggris kelihatan menggigit bibirnya dan mau
tidak mau maju ke depan untuk mengisi soal.
Velma hanya memandang itu dengan tatapan
kosong, sungguh kantuk melandanya saat ini apalagi
dirinya baru bisa tertidur pukul dua dini hari.

"Ma-maaf bu, saya tidak mengerti." Suara bergetar


milik Resta membuat Velma memfokuskan dirinya
kepada soal di depan.

"Makannya perhatikan yah!" Bu Dewi berucap santai


tapi tegas membuat siapapun disini merasa ikut deg-
degan kecuali Velma yang terlihat santai, "Duduk,
Velma coba kamu yang kerjain."

Seluruh mata memandangnya, Velma


mengerjapkan matanya lalu beranjak berdiri menuju
papan tulis. Bu Dewi tersenyum ketika dirinya bisa
mengerjakan soal tersebut dengan lancar membuat
sebagian murid iri melihatnya, apalagi Resta yang
merasa di permalukan.

"Bagus! kamu memang berprestasi, duduk." Velma


tersenyum lalu kembali ke tempat duduknya, Resta
berdecih sambil mendesiskan sesuatu ketika dirinya
lewat "So banget sih." yang membuat Velma
memejamkan matanya lagi lelah dengan semua ini,
kenapa sih? Kenapa mereka sangat tidak bisa
menerima keadaannya.

Mohon tanyakan pada rumput yang bergoyang!


Tetapi menyesatkan.

krik..krik

őő
5. Cemburu, Tak Mengerti

ISTIRAHAT pertama biasanya dia gunakan untuk


pergi ke perpustakaan, sekedar baca-baca atau tidur
sebentar. Tetapi akhir-akhir ini jarang dia gunakan
seperti itu karena satu alasan, Revan.

Velma berjalan sendirian menuju perpustakaan


sambil menunduk, ia berharap kali ini tidak ada
penghalang, banyak yang memperhatikannya entah
karena apa tetapi dirinya sudah biasa memang
seperti ini semenjak beredar kabar bahwa dirinya dan
seorang Revan menjalin hubungan.

BUGH

"Ah.." Velma terjatuh karena bertubrukan dengan


seseorang, tapi dirinya yakin kalau orang itu memang
sengaja melakukannya. Velma berdiri sambil meringis,
bokongnya terasa sakit.

"Aduh, maaf ya. Gue gak sengaja." Ujar yang


menabraknya sengit sambil melirik sinis, Velma
hanya terdiam dia--yang menabraknya adalah Saras.
Orang yang akhir-akhir ini di kabarkan dekat dengan
Revan.

Saras terlihat menyunggingkan senyuman sinisnya


sebelum berlalu, Velma tambah bingung setaunya dia
tidak pernah berurusan dengan Saras, mungkin
karena Revan. Terlebih Saras adalah perempuan
populer disini, lihat saja rambutnya sedikit berwarna
ungu gelap ditambah penampilannya yang wah sekali,
wajar memang kalau Revan... Ah tidak
dirinya 'sedikit' tidak rela mengatakannya.
Velma mendengus pelan lalu melanjutkan jalannya
menuju perpustakaan sambil terus menunduk sampai
kepalanya menabrak sesuatu yang keras lagi.

"Awhs,.." Velma mengusap keningnya yang tertutup


poni rambutnya sambil melirik siapa yang di
tabraknya.

"Hai, KAK Velma." Dhirga menyapanya dengan


menekankan kata KAK sambil tersenyum manis lalu
menyandarkan satu tangannya pada tembok,
"Kenapa lo gak bilang kalau lo itu kelas dua belas?"

Velma mendengus "Bukan urusan lo ya, sorry gue


mau ke perpus." Dhirga langsung mengikutinya
membuat Velma memutarkan kedua bola matanya
kesal. Tiap mau ke perpus pun susah banget.

"Velma!" Terdengar suara seseorang dari belakang


membuat keduanya berbalik, disana ada Revan
dengan wajah masamnya lalu menghampiri keduanya.

"Hai Revan." Sapa Dhirga dengan penuh penekanan


membuat Velma bingung, Revan hanya meliriknya
sekilas lalu menarik pergelangan tangan Velma dan
menyuruhnya untuk mengikutinya.

"Jangan keras-keras Van, dia perempuan." Velma


menggigit bibir bawahnya ketika mencium bau-bau
perkelahian nantinya "Diem. Lo adik kelas gue."

Dhirga tertawa meremehkan lalu mengedikan


bahunya sambil terus menatap Velma dan Revan
yang menjauh dari pandangannya.
Revan berdecak, hatinya tidak karuan melihat
Velma ngobrol sangat dekat dengan Dhirga yang
notabene-nya sebagai rival dia sendiri. Velma hanya
terus menunduk sambil mengikuti langkah Revan di
belakang.

"Lo ngobrol apa aja sama Dhirga?" Velma


mendengus "Gue gak ngobrol apa-apa." giliran Revan
yang terlihat tidak puas akan jawabannya.

"Jauhin Dhirga." ucapnya dingin yang membuat


Velma membulatkan matanya "Kenapa?"

"Jangan banyak omong!" Velma menelan ludahnya


ketika mendengar Revan yang sedikit membentaknya,
sama sekali tidak dapat ditahan lagi, "Maksud gue --"

Velma memejamkan matanya sekilas lalu menatap


tajam kepada Revan "Kenapa? Harus ada alasan!
Gue aja gak pernah larang-larang elo buat deket
sama siapa aja."

Revan mengusap wajahnya pelan "Gue? Siapa


yang deket sama gue!?"

"Ngaca Revan! Lo deket sama cewek manapun


bahkan bersikap lemah lembut sama mereka, siapa?
Sila. Angel. Gita. Resta. bahkan Saras! Siapa
mereka?"

"Astaga, itu temen gue." Revan menjawab datar


sambil menatap Velma yang terlihat semakin tersulut
emosinya.
"Ya terus gue sama Dhirga apa kalo bukan temen?
Adik kelas? Atau bahkan lo pikir gue sama dia
pacaran? Gue gak sejahat itu, Van."

Revan menghela nafasnya "Lo pura-pura bego?


Dhirga kayak yang suka sama lo."

Velma sama sekali tidak habis pikir dengan cowok


dihadapannya ini, benar-benar tidak peka. "Lo yang
selama ini pura-pura bego! Tanpa sadar lo ngasih
harapan sama cewek-cewek yang deket sama lo itu
dan otomatis lo nyakitin perasaan mereka sampai
akhirnya mereka punya dendam yang dilampiasinnya
ke gue yang tiba-tiba lo pilih untuk jadi pacar lo!"

"Gue yang tau! Mereka hanya temen gue Velma,


gue minta lo percaya itu. Dan Dhirga, siapa tau lo
nantinya-"

"Lo tau darimana sih? Jangan berlaga seolah-olah lo


itu Tuhan. Lo enggak tau apa-apa Revan."

Jawaban Velma membuatnya terdiam, untung disini


lumayan sepi. Tanpa mereka tau Dhirga mendengar
semuanya sambil menyeringai memikirkan sesuatu
yang tidak seharusnya dipikirkan.

"Gue pergi dulu."

Revan terdiam menatap kepergian Velma sambil


menghembuskan nafas kasar, sungguh dirinya tidak
bermaksud seperti ini. Menyakitinya atau apalah itu
hanya saja dirinya ingin Velma mengerti perasaannya.
őőő

Saras yang tengah berkumpul bersama gengs


langsung merapikan ikatan rambutnya ketika melihat
Revan masuk ke dalam kelas sekalian dengan
merapikan tataan penampilannya agar terlihat
sempurna.

"Heh, gue udah cantik belum?" Saras mengulum


bibirnya untuk sedikit merapikan lipgloss yang ia
oleskan tadi.

"Sempurna Sar." Ucap Riska salah satu gengs nya


yang diiringi acungan jempol yang lain.

"Gue tau kok, cuma mastiin aja." Saras tersenyum


lalu berdiri untuk menghampiri Revan dengan
anggunnya.

"Hai?" Saras tersenyum manis sambil mendekati


Revan yang terlihat sedang menatap kedepan
dengan tatapan yang kosong, Revan hanya
membalas sapaannya dengan senyuman tipis.

"Sar, gue mau nanya sesuatu sama lo."

Saras meneguk ludahnya, secepat ini Revan akan


menembaknya? Ah dirinya yakin, Revan akan
menembaknya. Buru-buru dirinya merapikan
rambutnya.

Saras kembali tersenyum malu lalu mengangguk


"Boleh kok, boleh."
Revan tersenyum senang mendengarnya, dirinya
sangat-sangat ingin menanyakan perihal ini.

"Lo.. suka sama gue?" Mata Saras membulat


dengan sempurna, pipinya merona. Revan tiba-tiba
menanyakan ini membuatnya melayang seketika.

Sambil mengulum bibirnya Saras menatap Revan


malu "Y-ya.. tergantung sih, kenapa?"

Revan mengerutkan keningnya "Tergantung


apanya?"

"Tergantung elonya suka apa enggak." Jual mahal


dikitlah, tapi Saras mengernyitkan dahinya ketika satu
cengiran ia dapatkan dari Revan, jantungnya
berdetak tidak karuan lalu terlihat Revan menepuk
bahunya pelan dari raut wajahnya dia kelihatan
sangat senang.

"Gue gak suka sama lo, berarti lo gak suka sama


gue! Makasih ya udah mau jujur. Gue perlu mastiin ini
soalnya Velma nyangkanya lo suka sama gue."

Seketika terdengar suara yang retak dari hatinya,


Saras mengerjapkan matanya lalu memandang tubuh
Revan yang mulai menjauh membuatnya
menggertakan bibirnya "Cowok brengsek! Untung
ganteng!!" desisnya lalu keluar dengan wajah
kesalnya dan langsung menghampiri para gengs
yang sedari tadi memperhatikannya dengan tatapan
kasihan.

őőő
6. Rencana Jahat

SEJAK tadi matanya terus ia kerjapkan beberapa


kali, selain karena mata pelajarannya sekarang
sejarah Velma juga merasakan pusing yang luar
biasa. Entah apa penyakitnya yang jelas akhir-akhir
ini dirinya sering merasakan mudah lelah, keringat
dingin atau mimisan.

Velma melirik jam di dinding dan wajahnya langsung


sumringah sepuluh menit lagi bel akan berbunyi,
sambil melirik pak Yusuf selaku guru sejarah yang
menurut cewek-cewek genit di sekolahnya ini guru
paling ganteng dan memang guru pria termuda di
sekolahnya. Dengan mempunyai kulit berwarna putih,
mata bulat, bibir tipis, hidung yang mancung dan satu
yang menjadi ciri khasnya. Rambutnya selalu ia
kuncir di belahan rambut paling depannya saja agar
terlihat rapih, tetapi sangat di sayangkan dia seorang
guru sejarah. Kenapa enggak guru olahraga atau
kimia? denger-denger sih waktu SMA nya dia jurusan
kimia analis.

Eh? Velma menggeleng-gelengkan kepalanya pelan,


kenapa dirinya jadi mikirin pak Yusuf sih!? Lagian
bagi dirinya om-om atau yang lebih tua darinya sama
sekali tidak menarik. Baru saja dirinya ingin beranjak
menormalkan posisi duduknya bel pulang berbunyi
membuatnya tersenyum senang.

"Yah, pak padahal kita-kita masih mau belajar sama


bapak." Resta mengedipkan matanya pada pak Yusuf
yang malah tertawa nyaring.

"Modus pak! Resta kan paling anti pelajaran


sejarah." Timpal Rojak yang membuat Resta
cemberut dan murid-murid di kelas tertawa terkecuali
dirinya yang malah menguap bosan.

"Velma, kenapa? Sudah gak tahan mau pulang ya?"


Velma mengerjapkan matanya lalu tersenyum sopan
sambil menggeleng pelan, Resta hanya berdecih
sambil memutarkan kedua bola matanya terlebih
melihat pak Yusuf tersenyum lebar karena seorang
Velma yang menurutnya tidak ada apa-apanya sama
sekali.

"Ya sudah, sampai ketemu nanti hari sabtu. Rojak,


Ali jangan lupa hapalin sejarah Perang Diponegoro!"

"Siap bapak ganteng, santai aja sama kitamah


santai." Ujarnya yang membuat pak Yusuf
menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Assalamu'alaikum."

Seluruh murid dikelasnya berteriak riuh ketika


melihat pak Yusuf mulai menjauhi kelas mereka.

"Dasar, modus!" Teriak Rojak yang membuat Resta


melotot "Heh! Serah gue kali, basa-basi."

"Basa-basi beo burung perkutut! Kayak yang gak tau


aja gue."

"Apaan si! Lo cemburu ya sama gue!"

Velma nenghela nafas pelan kemudian menunduk


dan beranjak keluar dari kelasnya ini, kelasnya itu
memang ramai terlebih ada Rojak dan gengs yang
akan selalu membuat keributan. Tetapi bagi Velma,
kelas ini menyesakan karena Velma-nya dulu yang
humoris dan banyak omong harus dia buang jauh-
jauh karena ini sudah berbeda, bahkan sangat
berbeda keadaannya.

BUG

"Ampun deh!" Desisnya sambil rada mencak-


mencak, hari ini hari bertubrukan nasional kali. Velma
sama sekali tidak mengerti mungkin bertubrukan
akan dia bawa sebagai hobby barunya.

"Udah pulang?" Velma mendongkak, disana terlihat


Dhirga yang tengah nyengir kearahnya.

"Lo ngapain sih ngehadangin jalan kayak gitu?


Ngapain juga di depan kelas gue?" Jika sudah seperti
ini Velma akan sedikit cerewet.

"Maaf deh! Gue kan nungguin lo."

Velma mendelik sambil menghembuskan nafas


kasar, "Gak ada kerjaan."

Mendengar penuturan gadisnya itu, Dhirga


cemberut lucu sambil memasukan tangannya ke saku
celana "Pulang bareng yuk? Gue anterin."

Dhirga meliriknya tepat saat Velma memalingkan


wajah, alhasil pandangan mereka bertemu.

"Lo cari mati!" Desis Velma penuh penekanan lalu


berjalan menjauhi cowok naif itu.
"Siapa yang nyari mati sih? Orang mati mah paling
deket sama kita di dunia ini." Ucap Dhirga yang sama
sekali tidak di dengar olehnya, Dhirga kemudian
mengejarnya sambil tebar pesona kepada kakak
kelas yang membuat Velma meringis sepanjang jalan
di koridor.

"Mending lo jauh-jauh sana, daripada lo dapet


musibah dapet masalah." Dhirga tetap tidak
mendengarkannya dirinya tidak takut kepada Revan,
sedangkan Velma menghela nafasnya pelan.
Hidupnya memang penuh gangguan.

"Revan lagi latihan di stadion, gue gak akan punya


masalah selagi dia enggak ada."

Velma mendelik tak habis pikir "Lo enggak liat?


Banyak pasang mata yang ngeliatin kita saat ini, dan
mereka kemungkinan ngasih tau ini atau lebih
parahnya dijadiin bahan gosip. Emang lo mau baru
sekolah udah jadi gosip anak-anak?"

Dhirga mengerjapkan matanya. Baginya ini Velma


yang luar biasa, biasanyakan ngomong irit. "Lo takut
banget ya sama Revan? Lo sayang sama dia?"

Hening, hanya langkah kaki mereka yang terdengar.


Velma bungkam ditanya seperti itu dan Dhirga
menunggu jawaban Velma dengan sabar, apaan sih
Dhirga.

"Gak usah di jawab deh, mending kita cepetan ke


tempat kerja lo. Daripada telat? Kena marah lagi."
Dhirga menarik lengan Velma yang terlihat pasrah
dengan apapun yang terjadi nantinya, yang jelas
Velma udah berusaha ngejauh kan? Yang penting
udah usaha! Nah.

őőő

Resta menatap tajam ke arah Velma yang kian


menjauh, bibirnya menyunggingkan seringaian.
Dirinya memang sangat tidak suka ada gosip
menyebar bahwa Velma pacaran dengan Revan,
mantan gebetannya. Apalagi Velma tidak ada apa-
apanya dibanding dia, hanya lebih pintar. Itu juga
wajar, kan karena beasiswa untuk yang tidak mampu
dan harus pinter.

Jika Revan dengan Saras, ya wajarlah dirinya


memaklumi karena Saras memang cantik dan
multitalenta. Resta menghembuskan nafas pelan,
dirinya sudah menahan segala gejolak yang ada
dihatinya tetapi pas tadi pelajaran fisika dirinya benar-
benar jengkel dan lagi pak Yusuf malah
lebih respect terhadap gadis kampung itu. Velma
tidak pantas mendapati itu semua!

"Res, ayo pulang mau sampe kapan berdiri sambil


mandangin tas? Jones ya jones aja kali." Resta
mengejapkan matanya lalu nyengir tidak waras pada
dua orang cewek yang tengah menatapnya di pintu.
Wina dan Alsa.

"Lo kenapa sih?" Alsa melipat tangannya di dada


melihat Resta tumben-tumbenan ngelamun, setaunya
dia sudah hampir sempurna mempunyai segalanya
dan hampir menyaingi Saras disini.
"Ah, gini gue punya sesuatu!" Serunya lalu
menghampiri mereka berdua dengan cengiran yang
tadi.

"Menurut kalian Velma itu virus bukan sih?


Maksudin gini, kita komporin orang-orang kalo Velma
itu gak pantes ada disini! Atau kita mata-matai dia
gitu permaluin, gue enek banget di kelas guru-guru
pada Velma lagi-Velma lagi. Terus juga dari dulu lo
pengen juara satu kan Als?"

Wina terlihat sedang berfikir sedangkan Alsa


menggigit bibir bawahnya, sangat tidak setuju dengan
sesuatu dari Resta ini, bagaimana pun juga dirinya
ingin mendapat predikat ranking satu dengan cara
suci atau baik-baik, lagian Alsa akui kalau Velma
memang pintar.

"Tapi Res, kalo sampe ketahuan pihak sekolah kita


bisa dapet masalah." Wina mengangguk menyetujui
pendapat Alsa.

Resta tersenyum sinis, "Yaampun tenang aja kali,


gue bisa atur semuanya." Tangannya ia jentikan
membuat Wina mengangguk pelan sementara Alsa
meneguk ludahnya, Alsa paling anti pembullyingan.
Terlebih kepada seorang Velma yang dimatanya
sudah sangat kesulitan.

"Alsa, lo gimana? kok diem aja, atau jangan-jangan


lo gak setuju sama gue!?"

őőő

Ddyulian
7. Kejutan Dan Kebahagiaan

TIDAK ada yang berharap jika tidak ada yang


memberinya harapan, kita berharap karena kita
percaya Tuhan itu ada. Tidak perlu jauh-jauh karena
harapan juga bisa timbul karena seseorang,
seseorang yang memberikan arti dalam hidup kita
dan akhirnya kita terlalu terbiasa, berharap jika
seseorang itu melakukannya setiap hari, bahkan
selamanya tanpa tau perasaan manusia dapat
berubah kapanpun dan dimanapun.

Velma menghembuskan nafasnya ketika sampai di


restoran tempatnya ia bekerja tetapi agak berbeda
dari biasanya terlihat sangat ramai sekarang, Dhirga
tersenyum manis kearahnya yang malah dibalas
dengan tatapan masam.

"Makasih." Setelah mengucapkan itu, Velma


beranjak keluar dari mobil Dhirga sambil menunduk
yang merupakan kebiasaannya.

Dhirga yang melihatnya hanya mampu menggeleng-


gelengkan kepalanya, dia mengerti kalau saat ini
gadis itu tidak mau diganggu. Padahal dirinya sangat
ingin menemani gadis itu, hanya dengan
memandangi Velma sampai masuk ke restoran agar
baik-baik saja, Dhirga langsung memarkirkan
mobilnya kembali untuk pulang.

Sambil bernafas lega, Velma mengusap dadanya


karena Dhirga tidak mengikutinya lagi. Velma
kemudian masuk ruang ganti untuk mengganti
pakaiannya menjadi seorang pelayan, tetapi di
tengah perjalanan dirinya melihat pak Yosep selaku
bosnya sedang berdebat dengan seseorang.
"Gimana sih? kemana band nya belum datang
juga!?" Ucapnya dengan emosi.

"Maaf pak, sepertinya bakalan telat."

"Gimana kamu ini? Ngurus begituan aja tidak becus!


Acara akan di mulai beberapa menit lagi."

Velma mengernyitkan alisnya, mengingat-ngingat


apa yang akan terjadi? Setaunya restoran ini tidak
mengadakan band, OH!? Velma menjentikkan jarinya
lalu berjalan mendekati dua pria yang ada disana.

"Permisi, pak? S-saya bisa nyanyi gantiin band nya


itu sementara." Velma terlihat menggigit bibir
bawahnya.

Pak Yosep tertawa ringan "Kalo nyanyi saya juga


bisa, masalahnya suara kamu! Bagus apa enggak!"

"Saya pernah juara satu nyanyi solo tingkat provinsi


waktu sd pak."

"Itu sd sekarang kamu kan sudah SMA! sudah


puber!" Pak Yosep memegang kepalanya pelan, Pria
satunya hanya memandangi Velma dari atas ke
bawah lalu melihat jam tangannya.

"Mepet pak! Udah gak papa cuma sementara ini,


percayakan semuanya pada gadis ini sambil berdo'a."
Velma mengerjapkan matanya.

"Ya sudah, sana cepet ganti baju! MONAA siapin


baju buat Velma sekarang!"
"Aduh pak, mepet ini gak papa lah pake baju itu juga
sementara pak sementara!" Pria itu menunjuk jam
tangan di lengannya, pak Yosep menghembuskan
nafas berat.

"Baiklah."

Setelah mendengar jawaban pak Yosep, Velma


langsung ditarik menuju suatu tempat dan benar saja
tepat di belakang restoran ada panggung mewah
dengan tulisan 'BERDIRINYA RESTORAN INI
UNTUK YANG KE 18TH' Terlihat seorang pembawa
acara perempuan yang Velma kenal bernama Devi itu
tengah berbicara bersama para pelanggan setia
Restoran Amora.

"Kamu nyanyi yang bener ya jangan janda bodong


atau sambalado, lihat pelanggannya rata-rata remaja
soalnya udah janji bakalan ada Band yang vokalisnya
ganteng-ganteng." Velma hanya menelan ludahnya
sambil mengangguk pelan.

"Sebagai persembahan dari kami, kami akan


menampilkan sebuah lagu untuk anda semua. Ini dia
Velmasya Armadetta." matanya langsung membulat
ketika namanya dipanggil untuk naik ke panggung,
Devi juga memelototinya agar cepat-cepat naik.

Seketika suasana jadi hening saat Velma naik ke


panggung, dengan gemetaran dirinya duduk di
sebuah kursi jangkung.

"Selamat siang semuanya, selamat mendengarkan."


Ucapnya lalu berbisik pada seorang pemain piano
dibelakangnya lalu mulai melantunkan sebuah lagu.
"I'd like to say we gave it a try.. I'd like to blame it all
on life.. Maybe we just weren't right, but that's a lie,
that's a lie.." Velma menghirup nafasnya pelan,
terlihat para pengunjung terbawa suasana membuat
Velma tambah percaya diri dan semangat
membawakan lagu kesukaannya ini.

"And we can deny it as much as we want.. But in


time our feelings will show.. 'Cause sooner or later,
we'll wonder why we gave up the truth is everyone
knows"

"Almost, almost is never enough so close to being in


love If I would have known that you wanted me,the
way I wanted you.." Sambil memejamkan matanya
terlintas bayangan Revan dalam pikirannya, ini
hampir seperti kisah mereka tetapi Velma
menggeleng pelan. Dirinya tidak seharusnya
berpikiran tentang Revan saat ini fokus!

"Then maybe we wouldn't be two worlds apart, but


right here in each other's arms and we almost, we
almost knew what love was.. but almost is never
enough."

Para penonton antusias memberikan tepuk tangan


untuknya, pria yang tadi berdebat dengan pak Yosep
terlihat bertepuk tangan paling meriah dan juga Devi
yang tidak menyangka dengan dirinya.

"LAGI ! LAGI ! LAGI !" Teriak orang-orang yang


disini membuat Velma tersipu, benar-benar tidak
menyangka akan seperti ini awalnya hanya niat untuk
membantu pak Yosep karena dirinya pun suka
bernyanyi.
"Mohon maaf, tetapi band yang kita tunggu-tunggu
sudah datang!" Devi tersenyum sambil
menghampirinya, "Tepuk tangan sekali lagi untuk
Velmaa."

Terdengar suara tepuk tangan yang meriah lagi,


Velma mengucapkan terimakasih sambil
mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru
disini takut ada yang melihatnya tadi jika ada pasti ia
akan mendapat masalah besar.

Dan... Matanya membulat sempurna ketika melihat


dua orang perempuan memakai baju seragam sama
sepertinya terlihat tengah merekam aksinya tadi. Saat
ingin cepat-cepat turun Velma terkesiap, dirinya
serasa dijatuhkan dari lantai atas dan ingin pingsan
sekarang juga ketika melihat di belakangnya tiga
orang yang wajahnya sangat familiar tengah
menatapnya.

"REVAN!?"

őőő

Ddyulian
-Spesial Part-

8. I'm Gonna Lose You

DENGAN memegang sebuah ponsel ditangannya,


Rosi terlihat telaten merekam aksi cewek yang
sedang bernyanyi di panggung itu. Dia yakin sekolah
akan geger nantinya kalau tahu suara emas Velma
yang selama ini hampir terlupakan.

"Oh my god, oh my god." Rosi merinding mendengar


suara Velma disana "Feb! Lo sepikiran kan kayak
gue?" Febi yang berstatus sebagai sahabat Rosi
hanya mengangguk antusias tanpa mengalihkan
pandangannya dari depan.

"Gue langsung upload ke instagram, youtube atau


facebook sekalian! Velma gue ngefans sama loo."
ucapnya lagi gregetan febi disampingnya hanya
mengikuti saja. Di sekolahnya memang adik kelas
atau kakak kelas tidak harus memakai embel-embel
kak karena semua dipandang karena kekayaan
walaupun dalam akademik terbilang sangat bagus.

"OMG! REVAAAN, LINGGAA, MEKAA!!!" teriaknya


kemudian yang dapat memekikan telinga siapapun
yang mendengarnya, terbukti sebagian penonton
melirik kearahnya memprotes suara cemprengnya itu.
Rosi hanya nyengir kuda sambil menggaruk
tengkuknya.

"Feb! Lihat itu band kitaa Hajuna's yaampun Revan


ganteng banget! Whoaa Revan ngenalin Velma, gila
gila gila tidak akan terlewatkan!" Rosi antusias bebek
tanpa melihat kearah Febi, kesal omongannya tidak
dijawab Rosi mengalihkan pandangannya dan saat
itu juga dirinya melotot kaget saat Febi terlihat tepar
karena suaranya, Rosi sampai lupa kalau Febi
memang seperti ini jika mendengar suaranya yang
menurutnya limited edition sedunia itu "Feb, Febi
bangun dong ck! Alay banget. Pura-pura gak kenal
aja kali ya? ah palingan nanti sadar sendiri, mending
liat the hajuna's... OMG! REVAN SAMA VELMA
DUET!"

őőő

Velma meneguk ludahnya ketika Revan


memandanginya dalam, dibelakangnya ada Meka
sebagai drummer dan Lingga sebagai gitaris, Revan?
Tentu saja sebagai Vokalis. Devi terlihat bingung
sambil menatapnya dengan tatapan bertanya-tanya.

"Silahkan para the Hajuna's band perkenalkan nama


kalian, Velma silahkan." Devi mengarahkan
tangannya ke arah tangga bermaksud dirinya agar
turun dari panggung. Saat Velma memutuskan
pandangannya dari Revan, cowok itu langsung
menariknya dan merangkulnya sambil tersenyum
membuat para penonton berjenggit kaget sampai ada
yang teriak sangat keras.

"Kita mau duet." Ucap Revan santai, Meka menabuh


drum nya sementara Lingga menggeleng-gelengkan
kepalanya, Lingga sama sekali tidak menyangka
Velma mempunyai suara sebagus itu. Memang
mereka tadi sempat melihat aksi panggung Velma
walaupun cuma sebentar.

"Du-duet? Okey silahkan." Devi yang terlihat kaget


mengerjapkan matanya, para penonton berteriak riuh
pasalnya the Hajuna's band ini memang sudah
lumayan terkenal di kalangan remaja,

"Tapi kenalan dulu, yakan guys?" perkataan Devi


disambut jeritan luar biasa dari para penonton. Velma
hanya menggigit bibir bawahnya.

"Dimulai darimana ya? Oke dari si ganteng pemain


gitar dulu." Devi menghampiri Lingga dengan genit
membuat penonton semakin riuh. "Hallo, Hajuniest!
gue Lingga Aryanda. Salam buat lo semua terutama
Lingling holic hello?" Lingga melambaikan tangannya.

"Halloo lingling lucu banget sih nama fansclubnya, oh


iya udah punya pacar belum?" Tanya Devi yang
mendapat sorakan dari para penonton "Kebetulan,
gue.. SWTBG, Single woles tapi banyak gebetan
haha"

Devi cemberut. "Udahlah kita ganti, ternyata dia


playboy guys." Lingga hanya tertawa renyah
menanggapinya.

"Hallo Hajuniest! Gue Meka Owel, santai oke? Kita


nyanyi seru-seruan bareng disini!" Devi ikutan
berteriak mengikuti para penonton yang makin
banyak berdatangan "Gue kebetulan, jomblo."
Sebelum dirinya bertanya sudah keburu di jawab oleh
Meka yang membuat Devi ikutan nyengir, Velma
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya lalu Revan
terlihat mendekat dan membisikan sesuatu.

"Like i'm gonna lose you, Meghan Trainor ft John


Legend?" Velma merasakan detak jantungnya yang
tak beraturan, sungguh diluar perkiraannya bahkan
dirinya tidak tahu kalau seorang Revan mempunyai
sebuah band ternama, dengan pelan Velma
menganggukkan kepalanya, lagunya itu salah satu
lagu kesukaannya yang sering di putarkan di
tempatnya ia bekerja, Revan terlihat tersenyum lalu
menjauhkan wajahnya dari Velma. Sungguh, dirinya
bersyukur bisa memiliki moment seperti ini.

"Nah bisik-bisik apaan ini?" Devi menghampiri


keduanya membuat mereka salah tingkah, "Ah
enggak." jawab Revan santai membuat para
penonton memujanya.

"Sekarang giliran vokalis kita, Revan silahkan


kenalin." Devi melihat Velma sambil menaik turunkan
alisnya membuatnya tidak mengerti.

"Hello, Hajuniest gue Revan Prayoga sebagai vokalis.


Tanpa kalian kita gak ada apa-apanya thanks buat
yang udah datang kesini buat ngerayain restoran
Amoria sekaligus nonton kami!" Terdengar sorak
sorai penuh kekaguman dari para penonton membuat
Revan menyunggingkan senyum tampannya.

"Nah gini guys, gue mau nanya lo sama Velma ada


apa nih?"

Seketika hening, Revan terlihat menggaruk


tengkuknya sementara Velma langsung menunduk
menyembunyikan rona merah pipinya, tiba-tiba
sebuah tangan menggenggamnya membuat Velma
mendongkak menatap mata indah milik Revan.

"Velma, pacar gue dan sekarang kita akan duet."


Mendengar jawaban Revan, penonton jadi heboh
sendiri ada yang berteriak tak kalah heboh ada juga
yang menyorakinya. Pasti ada yang pro dan kontra
tetapi Revan tidak peduli itu.

"OMG! Langgeng ya!" Devi menjabat tangan mereka,


membuat keduanya tersenyum malu. Velma
memejamkan matanya berniat menciptakan
ketenangan dalam hatinya.

"Aamiin." Teriak Lingga dan Meka bersamaan dengan


para penonton "Ya sudah, langsung saja ini dia
penampilan the Hajuna's band feat Velma!"

Setelah Devi mundur dan menontonnya dari belakang,


band langsung menyalakan musik diikuti oleh suara
Velma yang menenangkan hati.

"I found myself dreaming.. In silver and gold, like a


scene from a movie that every broken heart knows..
we were walking on moonlight and you pulled me
close, split second and you disappeared and then I
was all alone.."

Velma menunduk karena malu, baru kali ini dia


menyanyi lagi dan langsung duet dengan seorang
Revan "I woke up in tears with you by my side, A
breath of relief and I realized.. No, we're not promised
tomorrow"

"So I'm gonna love you, like I'm gonna lose you.. I'm
gonna hold you like I'm saying goodbye... wherever
we're standing, I won't take you for granted 'cause
we'll never know when, when we'll run out of time.. so
I'm gonna love you, like I'm gonna lose you.. I'm
gonna love you like I'm gonna lose.. you" Revan meraih
dagunya lalu menatapnya dalam membuat Velma menahan
nafasnya, penonton terlihat hening ada juga yang ikut
bernyanyi bahkan ada yang menjerit ketika melihat
perlakuan kecil dari Revan untuknya.

[Revan] "In the blink of an eye.. just a whisper of smoke,


You could lose everything the truth is you never
know." Velma mengerjapkan matanya ketika mendengar
suara Revan yang benar-benar indah, Revan tersenyum
lalu beralih menggenggam tangannya sambil terus
bernyanyi.

"So I'll kiss you longer baby any chance that I get.. I'll make
the most of the minutes and love with
no regrets."

Teriakan iri dari penonton tidak membuat Revan


menghentikan aksinya, malah lebih memperlihatkan
keromantisannya dengan Velma yang terlihat sangat kaget
dan tidak menyangka atas perlakuan dirinya "Let's take our
time, to say what we want. Use what we got before it's all
gone.. 'Cause no, we're not promised tomorrow."

[Revan & Velma] "So I'm gonna love you, like I'm gonna
lose you.. I'm gonna hold you like I'm saying goodbye...
wherever we're standing, I won't take you for granted 'cause
we'll never know when, when we'll run out of time.. so I'm
gonna love you, like I'm gonna lose you.. I'm gonna love
you like I'm gonna lose.. you."

"Aku akan mencintaimu seolah aku akan kehilanganmu,


Aku akan mendekapmu seolah aku berkata selamat
tinggal
Selamanya akan tetap begitu, Aku tak bisa
mengabaikanmu begitu saja"

őőő
9. Not Bad

TANGANNYA ia kepal, sambil menggertakan giginya


kesal Dhirga berjalan untuk menemui seseorang.
Dirinya tidak terima melihat video yang di perlihatkan
Rosi tadi, cemburu? tentu saja.

"Revan!"

BUGH

Dhirga langsung menerjang Revan tanpa ampun,


Revan yang tengah berjalan ke ruang musik terkaget
di buatnya "Apa-apaan lo?"

Dhirga terdiam tidak menjawab pertanyaan yang


dilontarkan oleh Revan dan tetap terus menerjangnya
membuat Lingga yang tengah bersamanya langsung
menarik Dhirga "Woy! Ada apaan si?"

"Lo bikin hidup Velma menderita!" Teriak Dhirga


membuat Revan tersenyum sinis "Gara-gara Velma?"

"Lo kayak gini cuma gara-gara cewek bro!" Lingga


menarik Dhirga yang wajahnya tak kalah kacaunya
ulah Revan, "Urus dia Lingga gue mau ambil gitar."

Revan mengusap darah yang ada di sebelah bibirnya


sambil berlalu meninggalkan Dhirga yang terlihat
sangat emosi, "Lo enggak bisa ngelawan Revan!
Sekalipun lo orang yang paling deket sama dia
sendiri, seharusnya lo lebih tau bagaimana sikap
Revan. Jangan kaget kalo setelah ini lo dapet
masalah, gue gak bisa nyegah." Tekan Lingga
membuat Dhirga terdiam.

őőő

Matanya ia edarkan ke seluruh penjuru koridor,


dirinya tidak ingin berpapasan dengan seseorang
yang membuatnya tidak tidur semalaman, karena
berhadapan dengan Revan membuat jantungnya
berdetak lebih keras belum lagi pipinya yang suka
memerah tanpa bisa dikontrol. Velma melotot ketika
melihat Revan tengah membawa gitar berjalan
berlawanan arah dengannya, Velma rasa kalau
Revan pasti melihatnya tadi, dengan sekejap kilat
Velma berbalik badan lalu melihat jam tangan yang
menunjukkan pukul tujuh pas, sambil menggigit bibir
bawahnya Velma menghirup nafas pelan dan
menguatkan hatinya untuk melewati Revan.

Velma langsung membalikkan badannya, matanya ia


kerjapkan ketika melihat sosok yang tadi sedang
membawa gitar disana mendadak tidak ada, dirinya
sedikit bingung kenapa Revan seperti tidak
mengenalinya? sambil memegangi dadanya Velma
menghembuskan nafas lega lalu berlarian menuju
kelasnya.

BUGH

"Awhs.." Velma meringis pelan ketika kakinya


tersandung sesuatu, padahal kelasnya tinggal
beberapa langkah lagi. Ceroboh! lututnya sangat
nyeri terbentur lantai "Sorry gue gak sengaja." Velma
mendongkak dan saat itu juga dirinya melihat Resta
yang tengah melipat tangannya di dada sambil
memasang muka yang menyebalkan.
Velma hanya mendengus lalu mencoba untuk berdiri
tapi kakinya luar biasa sakit, alhasil dirinya kembali
ambruk ke lantai membuat Resta tersenyum sinis
"Makannya jangan sok kuat, lo masih butuh bantuan
orang lain jangan ngerasa dengan diri lo sendiri, lo
bisa lakuin semuanya!"

Pernyataan Resta membuatnya bungkam, setelah itu


Resta berjalan menjauhi dirinya yang hanya bisa
diam walaupun banyak pasang mata yang melihatnya
tidak satupun yang berinisiatif ingin menolongnya.
Bukan itu alasan kenapa dia lebih nyaman merasa
sendiri tapi karena dia memang selalu merasa tidak
pantas jika disandingkan dengan siapapun di sini.
Restanya saja yang tidak mengerti dan merasakan.

Sebuah tangan kekar tiba-tiba menggendongnya


membuat Velma melotot kaget, dilihatnya Revan
tengah membawanya wajahnya yang membiru
dengan sejuta kebungkaman membuat dirinya
bingung "Lepasin, lo apa-apaan sih?" Revan hanya
meliriknya sekilas sambil tetap menggendongnya,
Velma hanya meringsut pasrah sambil memejamkan
matanya malu banyak orang yang melihatnya.

"Resta, gue mau ngomong sama lo nanti." Revan


melirik dingin ke siapapun yang tengah
memandanginya bersama Velma, "Van, gue mau di
bawa kemana?" Velma tambah bingung karena
kelasnya sudah terlewat beberapa langkah dari tadi,
"Diem." ucapnya yang membuat Velma diam sampai
tempat yang ditujunya, UKS.

"Ceroboh." Velma meringis saat Revan mengobati


lututnya yang tergores lantai tadi, sambil
memperhatikan Revan berbagai pertanyaan
berkecamuk dalam hatinya "Bagaimana bisa seorang
Revan seperti ini?"

"Apa dia tidak merasa malu punya pacar kayak


gue?" Velma menunduk mengalihkan pandangannya
ke arah lain, Revan yang sedari tadi
memperhatikannya hanya bisa diam menahan
amarahnya. Dia tidak suka gadisnya diperlakukan
seperti ini.

"Lo istirahat aja dulu." Velma menggeleng pelan


"Yaampun Van, gue cuma lecet di lutut doang-"

"Lo gak bisa nolak permintaan gue."

"Van, muka lo juga perlu gue obatin. Lo abis


berantem?"

Revan sama sekali tidak menganggapnya ada


apalagi menatapnya saat ini membuat Velma
kebingungan sendiri, kenapa mendadak pria itu
bersikap dingin setelah kemarin... ah, dasar Velma!
seharusnya dirinya tidak terlalu membawa perasaan
saat itu akhirnya kan jadi seperti ini, satu yang harus
Velma tau dari awal kalau dirinya tidak harus
melayang layang seperti orang kegirangan, takut
terhempas dan merasakan sakit yang luar biasa.
Dan... Terbukti, saat ini.

"Lo diem, istirahat gue kesini lagi." Setelah berkata


seperti itu Revan pergi meninggalkan sedikit goresan
dalam hatinya yang lumayan membuat sesak,
sesesak-sesaknya orang sesak.
Velma menyandarkan dadanya pada tembok yang
ada di pinggir tempat tidur uks, teganya Revan
meninggalkan dirinya sendirian disini. Eh memang
biasanya juga seperti itu kan? Aduh Velma berhenti
ngarepin Revan dia itu gak pantes buat lo! Velma
memegangi kepalanya yang sakit. Setelah beberapa
menit memandangi ruangan uks ini dirinya akan
mencoba tidur, semalaman juga dirinya kan tidak
tidur akibat Revan yang terus-terusan menghantui
pikirannya.

CKLEK

Matanya ia kerjapkan ketika melihat seseorang di


balik pintu yang tengah dituntun oleh seorang
perempuan, wajahnya sangat pucat dan banyak yang
membiru membuat Velma langsung turun melupakan
sakit di lututnya.

"Dhirga kenapa?"

"Dikeroyok kelas dua belas."

őőő

Revan mengulum bibirnya, dia tidak menyangka


orang-orang begitu membenci hubungannya dengan
Velma. Sambil memasukan tangannya ke dalam saku,
Revan berjalan menuju kelas Velma untuk meminta
izin.

"Selamat pagi." Ucapnya sopan ketika membuka


pintu kelas membuat seluruh penghuninya menahan
nafas, Alsa yang duduk di sebelah Resta hanya bisa
menatap cemas kearah Resta.
"Revan? ada apa?" Guru yang dikenal sebagai guru
paling tampan sesekolahan-pak Yusuf tersenyum
kearahnya.

"Velma izin pak, dia sakit." Pak Yusuf hanya


mengangguk-anggukan kepalanya "Saya juga izin
pak, mau ke Resta." Revan melirik Resta yang
tengah menulis dan dia tahu kalau Resta hanya
sedang pura-pura.

"Resta, silahkan." Pak Yusuf mengarahkan


tangannya ke arah pintu yang sedang dia pijak,
"Makasih pak sebelumnya."

"Sama-sama Revan, jangan lama-lama saya akan


menjelaskan materi takut Resta tidak bisa pas uts."
Revan hanya mengangguk dan saat itu juga Resta
muncul dengan wajah yang menyebalkan.

Sambil menutup pintu, Resta berjalan menjauhi kelas


diikuti oleh Revan yang terlihat kesal. "Ada apa!?"
Ucapnya sinis sambil melipat tangannya di dada
membuat Revan muak sendiri.

"Gue mau lo minta maaf." Matanya membulat


mendengar pernyataan dari mulut pria dihadapannya
ini, Resta tertawa sinis, "Gue gak salah! Gue lagi
diem dan dia nabrak gue, kenapa gue yang harus
minta maaf?"

"Bilang ke gue alasan lo benci sama Velma!" Resta


mengerjapkan matanya ketika mendengar Revan
sedikit membentaknya
"Lo." Revan terdiam mendengarnya, "Maksud lo
apa?" Resta memejamkan matanya. "Gue gak rela lo
jadian sama Velma! Lo lebih pantes sama Saras
dibanding dia." Tegasnya membuat Revan terkekeh
menyebalkan.

"Dengerin gue, lo hanya fans fanatik yang bisa-


bisanya ngatur hati bahkan hidup gue Rest. Asal lo
tau gue sayang sama Velma bukan sama Saras atau
lo! mending lo cepet-cepet hapus rencana jahat yang
udah disusun dalam otak lo buat ngancurin Velma
sebelum gue yang hancurin elo."

őóő

10. Alasan Terbesar

VELMA mencak-mencak sendiri melihat kelakuan


Dhirga saat ini, sepupuan tetapi sifatnya tetap sama
seperti Revan. Batu! Lihat saja, saat ini Dhirga tengah
duduk santai sambil menengadahkan kepalanya
keatas memang terlihat sangat mengenaskan. Sudah
beberapa lama dirinya berdiri menunggu apa yang
akan dipesan oleh cowok di hadapannya ini, ingin
pergi tetapi di tahan olehnya.

Semenjak di uks tadi pagi, dirinya memang sudah


menanyakan beberapa hal yang malah tidak di jawab
sama sekali oleh Dhirga membuat dirinya
kebingungan sendiri, Velma juga menanyakan
kepada perempuan yang mengantar Dhirga ke uks
kenapa bisa terjadi seperti ini tetapi Rosi memilih
untuk bungkam.
"Dhirga, lo kenapa si? gue mau kerja." Terlihat
Dhirga meliriknya sekilas lalu menghembuskan nafas
kasar "Gue pembeli dan setau gue pembeli itu raja."
Velma mendengus sambil mengusap dadanya, sabar.

"Gue harus berdiri di sini berapa jam lagi." Lirih


Velma memegangi kepalanya yang pusing akan
tingkah Dhirga yang biasanya ramah berubah drastis
menjadi dingin dan suka memaksa persis seperti
Revan, tetapi mungkin ini lebih parah.

Revan tadi izin untuk pulang duluan karena akan


manggung di salah satu cafe, membuat Dhirga
kembali berani memaksanya pulang bersama seperti
ini.

"Gue pesen, nasi dua porsi. rendang. nasi goreng.


ayam bakar. risoles keju. barbeque. ayam panggang.
air minum segalon."

Velma mengerjapkan matanya, sungguh di luar


dugaannya itukan makanan warteg semua kok,
Dhirga?

"Serius!? Lo yaampun Dhir-"

"Pesenin aja yaelah, cepet." Velma mendengus lalu


mencatatnya dengan sabar, hidup dikelilingi dua
orang yang bisa-bisa membuatnya gila dalam waktu
dekat ini.

"Oke tunggu." Velma menyerahkan sekertas lain


yang berisi pesanan Dhirga agar tidak ada kesalahan
sambil berlalu meninggalkanya yang malah meringsut
memandangi pemandangan diluar.
Semenjak beberapa minggu lalu untuk pertama
kalinya dan malah keterusan dirinya menjadikan
tempat ini sebagai tempat favoritnya, disamping
memudahkannya melihat mobil kesayangannya tetapi
juga untuk sekedar melihat cewek cakep, lumayan
karena dari luar mereka tidak bisa melihatnya.

Drrt..Drrt

Ponselnya menyala membuat Dhirga langsung


melihatnya, nama yang tertera dalam layar ponselnya
hampir membuat dirinya muntah saat itu juga, 'Rosi
selingkuhan Revan' , Dhirga mendesis sejak kapan
dirinya mempunyai kontak cewek aneh itu?

Rosi selingkuhan Revan : Buku biologi gue


kebawa gak sih sama lo?

Dhirga : Mending lo ke restoran amora sekarang,


temenin gue.

Rosi selingkuhan Revan : Otw.

Dhirga tersenyum, lumayan buat menemani dirinya


makan sebanyak itu. Memang seperti ini jika dirinya
sedang frustasi atau mempunyai banyak beban.

Velma yang sedari tadi memperhatikannya dari balik


kasir hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, di
dalam benaknya tersimpan banyak pertanyaan untuk
cowok itu, Devi yang sedang membaca pesanan
Dhirga melotot kaget "Ngapain dia pesen air
segalon!?" Pekiknya membuat Velma langsung
menggigit bibir bawahnya.
"Layanin aja, dia keluarga Prayoga." Devi
mendengus, "Iya tapi gue gak habis fikir sama dia
deh! kayak yang lagi patah hati, konyol." kemudian
Devi meninggalkannya yang semakin kebingungan.

"Dia minta kamu yang layaninnya ya?" Velma


terkesiap ketika melihat pak Yosep tiba-tiba ada
dihadapannya, setelah mencerna kata-kata yang
dilontarkan Yosep tadi dirinya hanya mengangguk
pelan, "Sabar ya? orang sabar pasti penyabar."

Velma mengusap wajahnya pelan, apaan sih si bapak


ini kayaknya mau ngelucu tapi sumpah garing banget!
Velma hanya tersenyum paksa lalu kembali
memikirkan hal yang tidak seharusnya di fikirkan.

őőő

Rosi membuka pintu restoran yang ramai itu dengan


cepat, lalu matanya ia edarkan untuk mencari
seseorang yang mengajaknya untuk kesini tadi.
Setelah beberapa saat berdiri seperti orang gila, Rosi
langsung sumringah ketika melihat Dhirga yang
sedang melamun di ujung sana.

Kakinya ia langkahkan dengan cepat, tangan satunya


ia gunakan untuk memegang pengait tas berwarna
hijau kesukaannya, Rosi meringis ketika melihat
keadaan Dhirga yang mengenaskan. Dirinya tau
kalau Dhirga sedang galau tingkat dewa pokoknya!
Dan ini saatnya dia harus menghiburnya, 'ada' ketika
Dhirga membutuhkan salah satu cara membantunya
juga kan?

BRAK
"Hoy!" Dhirga terkesiap kaget namun hanya sekilas
membuat Rosi mengerucutkan bibirnya "Dhirga, gue
baru tau cowok cool kayak lo bisa galau nyampe
kayak gini."

Dhirga meliriknya sekilas membuat Rosi memasang


wajah betenya "Gue udah kesini malah dicuekin"
Mendengar itu, Dhirga langsung menormalkan posisi
duduknya "Mending gak di kelabang."

"Ah? Cantikan gimana? gini ya? sebenernya sih mau


gue kelabang tapi berhubung memakan waktu cukup
lama gue urungin deh, takut lo kelamaan nunggu."
Dhirga menatap Rosi yang juga sedang menatapnya.

"Biasa aja, eh iya lumayan beda." jawaban yang


diberikan Dhirga tambah membuatnya kesal, ambigu!
"Uh dasar! udah deh, kalo lo beneran sayang sama
dia lo pasti ngerelain dia kok." Rosi kemudian duduk
di hadapan Dhirga yang terlihat tengah berfikir keras.

"Justru itu, Velma gak akan pernah bahagia sama


Revan."

Rosi melotot hendak memprotes sebelum Dhirga


melanjutkan perkataannya "Karena apa? Karena
keluarga Prayoga gak akan ngebiarin anak
kesayangannya jatuh cinta sama cewek seperti
Velma. Lo tau kan? Prayoga menjunjung tinggi
derajat apalagi kekayaan."

Hening, keduanya terlihat berfikir keras. Rosi benar-


benar tidak berfikir sejauh apa yang difikirkan oleh
Dhirga, pantas saja Dhirga frustasi berat.
"Dan gue tau, sekalinya Revan jatuh cinta dia gak
akan pernah sekalipun ngelepas cewek itu Ros,
sekeras apapun dia akan mempertahankan Velma."
Dhirga mengusap wajahnya pelan sebelum
melanjutkan perkataannya lagi "Tapi justru itu yang
akan membuat Velma makin jatuh, gue takut kalo
Velma akan jatuh sejatuh-jatuhnya tanpa bisa dia
kembali untuk bangkit lagi karena keluarga Prayoga
gak akan ngebiarin Velma baik-baik aja sebelum dia
pergi jauh dari kehidupan Revan."

"Terus? Lo juga keluarga Prayoga kan!? Kenapa lo


malah ngebuat hal yang sama kayak Revan? Lo
malah ngebuat Velma semakin menderita Dhirga!
Apa bedanya lo sama Revan!?"

Rosi benar-benar tidak habis fikir dengan pria


dihadapannya ini, sebelum Dhirga sempat membalas
perkataannya Velma datang dengan beberapa piring
di tangannya "Seru banget." Ucapnya diselingi
senyuman manis yang membuat Rosi ikut tersenyum
kikuk takut Velma mendengar pembicaraanya dengan
Dhirga tadi.

"Air segalon nya nanti, tunggu dulu." Velma melirik


sinis kearah Dhirga yang malah menutup wajahnya
menggunakan daftar menu.

"Air segalon!?" Cicit Rosi tidak percaya, Velma


mengedikkan bahunya "Iya, tadi Dhirga pesen air
segalon. Datengnya palingan lima menit lagi yaudah
gue ke belakang dulu." Rosi menatap punggung
Velma sambil menghembuskan nafas lega "Kayaknya
dia gak denger pembicaraan tadi."
Dhirga langsung duduk normal lagi "Syukur deh."
Ucapnya acuh, Rosi menatap semua makanan yang
ada di hadapannya "DHIRGA LO KENAPA PESEN
SEBANYAK INI!?" pekiknya.

"Makan aja! Rejeki!"

őőő

11. Ternyata Revan!

SIAPA bilang menjadi anak satu-satunya itu


menyenangkan? Bagi kebanyakan orang menjadi
anak tunggal memang sesuatu yang dibanggakan.
Entah karena mudah di kabulkan permintaannya atau
selalu merasa dinomer satukan oleh keluarganya
tetapi itu tidak berlaku bagi seorang Velma.

Velma merasakan banyak beban yang dipikulnya


sendirian, terlebih ayahnya yang menghilang hingga
saat ini benar-benar membuat hidupnya hanya dihiasi
ibunya seorang.

"Velma, gue pulang duluan ya? Udah di jemput. Lo


mau pulang bareng.. atau gimana?" Devi menggaruk
belakang tengkuknya tidak enak meninggalkan Velma
seorang diri di depan restoran, apalagi gerimis
mengguyur kota Jakarta malam ini.

"Iya sok, gimana mau bareng? Lo kan dijemput pake


motor" Velma terkikik melihat Devi yang malah
nyengir "Tapi yakin lo gapapa sendirian?"
"Gue bisa jaga diri kok Dev, udah sana kelamaan
nunggu tuh yang jemput." Devi tersenyum lalu
melambaikan tangannya dan mulai menjauh, Velma
sebenarnya berbohong kalau dirinya berani sendirian
disini. Walaupun dekat jalan raya tetapi tetap saja
kejahatan tidak bisa dihindari.

Velma melihat motor yang ditumpangi oleh Devi kian


menjauh, sambil memeluk dirinya sendiri Velma
menunggu taksi lewat. Dia kan tidak mempunyai
siapa-siapa disini selain ibunya yang berada dirumah,
Revan? Tidak. Tentu saja dirinya tidak mau
merepotkan siapapun yang berkaitan dengan
sekolahan.

Tiba-tiba lampu menyala menyilaukan penglihatannya,


Velma mengerjapkan matanya dan mulai bersikap
normal kembali ketika penglihatan kembali jelas. Lalu
dari balik mobil tersebut muncul seseorang yang
membuat Velma hampir pingsan saat itu juga.

Setelah seharian ini dia mengganggunya, sekarang?


Apalagii. Velma menghembuskan nafas kasar ketika
melihat cowok itu menghampirinya "Gue anter lo
balik." Ucapnya sambil memakaikan jaket kebahunya.

"Ap-ap.. tapi"

"Lo mau dibegal?" Velma melotot mendengarnya


"Emang sekarang musim begal?" Dhirga terlihat
menggaruk keningnya lalu berkacak pinggang, "cepet
masuk."

Velma mengangguk pelan, mungkin dirinya sudah


ditakdirkan hidup diantara pemaksa seperti ini. Dhirga
tersenyum sekilas sampai akhirnya melangkahkan
kakinya ke mobil untuk mengantar Velma pulang.

"Lain kali gak usah sungkan kalo minta gue jemput,


gue selalu ada buat lo." Velma menggigit bibir
bawahnya, merasakan kalau dirinya bukan Velma
yang seperti biasanya. Semenjak.. sudahlah

Dhirga menyalakan mesin mobilnya lalu melesat jauh


meninggalkan pekarangan restoran tersebut, Velma
menghirup nafas pelan ketika sakit kepalanya mulai
terasa. Akhir-akhir ini memang dirinya sudah jarang
mimisan tetapi sakit kepalanya ini yang makin parah.

"Lo kenapa?" Velma terkesiap lalu menggeleng pelan


sambil tersenyum tipis menyembunyikan sakit
kepalanya "Gapapa, oh iya lo dikeroyok kelas
duabelas kenapa? Ganjen si baru masuk udah kena
masalah." Dhirga meliriknya sinis.

"Udah biasa kan? di SMA ini emang punya seorang


masalah." Velma mengernyitkan keningnya tidak
mengerti "Lo enggak tau masalah sekolahan ini,
bahkan lo baru beberapa hari disini." Dhirga tertawa
sinis. "Rumah lo dimana?"

"Belok kiri warna abu-abu, rumah gue." Setelah


perkataan Velma, suasana hening. Masing-masing
sibuk dengan pikirannya

Tiba-tiba sebuah Line masuk membuat ponsel Dhirga


berbunyi, layarnya sangat jelas dimata Velma
membuatnya langsung melotot kaget.
"Kapan-kapan gue main ke rumah lo boleh?" Velma
tidak menggubris pertanyaan Dhirga dan malah
bersiap-siap untuk keluar dari mobil menyesakkan ini
karena sebentar lagi sampai ke rumahnya.

Dhirga yang merasa ganjil pertanyaannya tidak


dijawab oleh Velma hanya berdehem; kebiasaan laki-
laki jika salah tingkah. Setelah menemukan rumah
yang dituju Velma, Dhirga memberhentikan mobilnya
dan saat itu juga Velma langsung keluar sambil
berdesis yang mampu membuatnya mematung.

"Lain kali, lo gak usah nyembunyiin sesuatu dari gue


karena lambat laun itu akan kebongkar. Lo gak usah
ikut campur lagi urusan gue sama Revan, makasih."

Dhirga menatap jaket yang barusan gadis itu pakai


lalu beralih menatap punggung Velma yang kian
menjauh, benaknya dipenuhi pertanyaan seputar apa
yang diomongkan Velma tadi.

Bunyi yang berasal dari ponselnya membuyarkan


lamunannya, di layar ponselnya terdapat dua Line
dari seseorang yang sama.

ArisantyRositamblr : Hati lo udah sembuh? Muka


lo? tadi gue liat Revan lagi ngomong sama tiga
orang laki-laki yang abis gebukin lo disekolah!!

"Berarti tadi? Velma liat ini?" Dhirga memukul setir


mobilnya "Sialan!" sambil berdesis dan mengacak-
ngacak rambutnya frustasi.

őőő
Velma benar-benar tidak habis fikir dengan Revan,
berani sekali berbuat keji seperti itu hanya karena
dirinya. Velma sangat tidak suka jika ada yang
tersakiti karenanya, bagaimanapun juga dirinya
hanya seseorang yang mempunyai takdir bagus
sehingga bisa sekolah di SMA binusi itu, sangat tidak
pantas jika dirinya membuat kekacauan dan terlibat
masalah bersama siswa-siswi sana. Yang perlu
Velma lakukan hanyalah belajar, belajar, belajar di
sekolah itu bukan membuat masalah seperti ini.

"Revan sialan." Umpatnya sambil menyandarkan


bahunya pada pintu rumah, Velma menghapus air
mata yang keluar karena dadanya super sesak.
Setelah menghirup nafas dalam-dalam dan
menguatkan hatinya, Velma membuka knop pintu
pelan.

"Velma?"

"Ya ibu, Velma pulang." Velma menghampiri ibunya


yang tengah melipat beberapa baju diruang tengah
lalu menyalaminya "Kamu enggak kenapa-napa?
enggak kehujanan?" Bu Dea ibunya tersenyum
sambil mengusap kepalanya membuat Velma ikut
tersenyum tulus "Enggak bu."

"Syukurlah, sekarang kamu ganti baju terus makan ya?


Ibu udah nyiapin makanan buat kamu."

"Ibu udah makan belum? makan bareng Velma yuk?"


Ibunya menggeleng pelan "Ibu udah makan, tinggal
kamu aja cepet."
Velma mengangguk sumringah lalu berjalan kearah
kamarnya, dalam hatinya Velma sangat ingin
membahagiakan satu-satunya orang yang dia punya
di dunia ini. Tiba-tiba satu tetes cairan berwarna
merah keluar dari hidungnya membuat Velma
mendengus, selalu seperti ini.

őőő

Revan menggertakan giginya kesal, sudah beberapa


kali dirinya mencoba menghubungi Velma tetapi tidak
ada jawaban. Diliriknya jam yang menunjukan pukul
sembilan malam, dan dirinya baru selesai mengurusi
urusannya malam ini.

Sambil membawa handuk di bahunya, Revan turun


ke bawah untuk mengambil minum. Terlihat banyak
sekali pelayan yang mondar-mandir di rumahnya
tetapi ayah dan ibunya tidak ada, sudah tiga bulan
lamanya mereka meninggalkan rumah ini untuk
urusin bisnis.

"Kak Evan!"

Teriakan kecil milik satu-satunya orang yang ia miliki


di rumah ini, Ran. membuatnya menoleh, dilihatnya
Ran berlari-lari kecil menghampirinya sambil terus
menyunggingkan senyumannya.

"Kak Evan, Ran tadi dapet nilai seratus sama bu


Winda!" Ucapnya senang membuat Revan gemas
sendiri "Pelajaran apa?"

Ran menatapnya membuat Revan mengerutkan


keningnya "Nyanyi kak." Ucapnya lirih, Ran tiba-tiba
memegangi kepalanya membuat Revan semakin
gelagapan khawatir.

"Bi jusi!! Cepat panggil dokter kesini!" Revan


langsung berteriak ketika melihat Ran tambah lemas
di dekapannya "Ran tadi enggak minum obat ya?"

"Ran lupa, pas bu Winda pulang Ran malahan


bantuin bijus."

Revan memejamkan matanya dan langsung


membawa Ran ke kamar, beginilah jika mempunyai
orang tua yang sangat menjunjung tinggi kekayaan.
Sibuk mencari materi.
Laurani Prayoga, adiknya yang seharusnya duduk di
sekolah dasar kelas dua harus merasakan sakit yang
luar biasa, kemoterapi dan hanya bisa homeschooling
dengan bu Winda.

Beberapa saat kemudian, dokter pribadi keluarga


Prayoga datang dengan cepat dan langsung
memeriksa Ran. Revan yang melihatnya hanya
terdiam di sisi tempat tidur, khawatir.

"Cuma telat minum obat, selebihnya nanti harus lebih


diperhatikan lagi karena kemungkinan jika terjadi
terus-terusan seperti ini, dapat membahayakan Ran."

Revan mengangguk pelan lalu menghampiri Ran dan


langsung mengusap kepalanya "Maafin kak Evan,
Ran."

őőő
12. Tempat Bersandar

PONSELNYA dia genggam terus menerus, sambil


bersiul dirinya berjalan melewati beberapa bangku
kemudian langsung berhenti dan menaiki bangku
yang di tempati Resta di ujung sana.

"Res, ngapain ngeping gue waktu malem?" Resta


terkesiap sambil mengerjapkan matanya "Ngapain sih
lo baru dateng langsung duduk aja di bangku gue!"

Rojak terkekeh lalu mengangkat hpnya "Lo tau?"


Resta yang tidak mengerti hanya melipat kedua
tangannya lalu membuang muka "Apa? Hape gue
lebih bagus dari lo."

"Bukan itu, gue juga tau kali hape cewek-cewek


emang suka di hias-hias gajelas gitu, memori juga
penuh semua sama foto selfie yang diedit sama
beberapa macam filter apalagi yang dijelek-jelekin.
Kalo enggak gitu pasti penuh sama foto-foto artis
korea." Rojak berkata seolah-olah di dengarkan oleh
Resta, padahal jelas-jelas Resta mengacuhkannya
dari tadi.

"Tapi bukan itu sih, gue cuma mau nyampein


perasaan gue semalem saat lo ngeping." Rojak
nyengir sementara Resta mengusap keningnya "Nih
Res, orang lain kalo ngeping di bbm gue cuma
hapenya yang geter. Kalo elo yang ngeping jiwa raga
gue yang langsung gempa bumi!"

Resta melotot mendengarnya, apalagi suara tawa


teman-temannya langsung membahana membuat
rona merah menghiasi pipinya saat itu juga "Aduh si
Rojak baperan." Celetuk Alsa sambil ngakak
membuat Resta keki sendiri "Dengerin! Gue ngeping
cuma test soalnya bbm error, gak usah baper kali."
Setelah itu Resta bangkit berdiri meninggalkan kelas
yang malah semakin menertawainya.

"Yaah hape bagus bm kok suka error." Bono tertawa


"Kalo lo mau deketin Resta, ngaca deh Jak." Rojak
mendengus sambil mengusap tengkuknya kesal.

BRAK

Suara pintu terbuka keras langsung membuat


sekelas hening, disana tepatnya di ambang pintu
kelas ada Revan yang tengah menatap mereka
dengan tatapan teduh.

"Ada Velma?"

Saat itu juga seluruhnya langsung melirik ke bangku


di belakang tempat Velma biasanya duduk, hasilnya
bangku itu kosong membuat seisi kelas
baru ngeh jika Velma tidak hadir hari ini. Apalagi jam
sudah menunjukan pukul tujuh lebih sepuluh
pertanda tidak akan ada siswi yang masuk lagi, pintu
gerbang pun pasti sudah dikunci rapat-rapat.

"Gue ngomong sama kalian semua". Ujarnya dingin


membuat seisi kelas kembali gelagapan, seperti
bertemu dengan rentenir hutang paling mengerikan.

"Velma gak masuk." suara Alsa membuat banyak


orang yang bernafas lega, Revan yang
mendengarnya hanya menghembuskan nafas kasar
lalu tanpa pamit dan basa-basi sedikitpun langsung
melangkahkan kakinya menjauhi kelas Velma.

"Revan ganteng banget pagi ini, gue jadi melting


sendiri." Ucap salah satu siswi membuat Rojak yang
sedari tadi menahan nafas langsung menganga
"Ganteng ganteng tapi kelakuan mirip sama singa
padang pasir, mendingan gue."

"Yaampun Jak, lo mana ada. Suka malak? ceklis.


suka gombal? ceklis. suka apalagi? genit? jahil?"
Rojak melirik sinis Alsa yang tengah menghitung
kelakuan absurdnya memakai tangan membuat kelas
kembali ramai.

őőő

Sambil memainkan rambutnya yang tidak ia kuncir


kuda, Saras berjalan beriringan di koridor dengan
Riska disampingnya, yang lain tengah sibuk
mengerjakan tugas yang diberikan oleh bu Bunga
yang tidak masuk sementara dirinya seolah mencari
kesejukan. Dengan santainya berjalan bebas dengan
Riska yang selalu mengikuti kemauannya.

"Gue gak habis fikir Revan segitu tergila-gilanya


sama Velma." Saras melipat kedua tangannya didada
"Velma cantik, tapi jelas cantikan elo kemana-mana."
Riska mengangguk untuk meyakinkan Saras yang
malah memutarkan kedua bola matanya "Gue gak
suka lo atau siapapun yang ada di deket gue muji
orang yang udah gue tambahin ke daftar orang-orang
yang gue benci."
Riska nyengir "Maaf deh." Saras hanya mengedikan
bahunya "Kantin." Ucapnya sambil berjalan yang
diekori dengan senang hati oleh Riska.

Sesampainya di kantin, Saras menyeringai yang


membuat Riska langsung mengernyitkan alisnya.
Dengan cepat Saras menghampiri dua orang cewek
yang tengah duduk di meja kantin yang sepi.

BRAK

"Minggir! Ini tempat gue! Kenapa elo dengan


santainya duduk di sini?" Dua orang cewek itu
langsung terkesiap, satunya lagi malah ada yang
terdorong kebelakang "Maaf, gue gak tau." Jawab
salah satunya acuh membuat Saras melotot.

"Heh! Berani-berani nya lo sama kakak kelas! Lo


gak tau gue disini siapa!?"

"Saras itu tulang rusuknya Revan. Asal lo tau."


Celetuk Riska membuat cewek itu menahan tawa
"Ma-maaf kak, kita pergi."

"Ih apaan sih Feb!" Salah satu cewek itu menahan


temannya pergi yang membuat Saras teringat
sesuatu, "Oh lo kalo gak salah namanya Rosi kan?
yang udah berani-beraninya ngupload video Revan
ke sosmed?"

Rosi mengangguk sambil melipat tangannya didada,


Febi yang di sampingnya hanya menunduk takut
"Kenapa?" Saras menggertakan giginya kesal
"BERANI BANGET YA LO!"
Lingga yang kebetulan lewat mendengar keributan
langsung menengok ke sumber suara, dan saat itu
juga terlihat Saras yang hendak melayangkan
tangannya pada adik kelas membuat Lingga melotot
dan langsung berlari menghampirinya

"Kak Lingga!" jerit Febi ketika Lingga menahan


tangan Saras membuat pemiliknya berdecih "Lo gak
usah ikut campur!"

"Saras mending kita balik ke kelas, gak usah bikin


ribut." ucap Lingga santai sambil menatap Saras yang
terlihat kesal, Riska hanya terdiam tidak bisa berbuat
apa-apa.

"Lo ngapain di kantin pas masuk?" Tanya Lingga


kemudian kepada adik kelas dihadapannya "Gue-kita,
gue sama Febi kesiangan dan gak dibolehin masuk."
Rosi mengalihkan pandangannya, jika kesal dirinya
memang sering malas kalo diajak ngomong.

"Lingga! Itu bukannya mobil Revan!? Revan mau


kemana?" Jeritan Saras membuat semuanya
mengalihkan pandangan kearah mobil yang memang
sering Revan pakai ke sekolah, Lingga hanya
menghela nafas pelan melihatnya. Tangan Saras
yang masih dalam genggamannya langsung tertarik
membuat Lingga mengencangkan genggamannya.

"Mau kemana? jangan ikut campur urusan Revan,


dia lagi kacau sekarang."

őőő
Satu kata untuk hari ini, kacau. Bagi Revan ini
pertama kalinya dia mengalami keadaan sekacau ini.
Disaat dirinya membutuhkan seseorang untuk
bersandar tetapi sandaran itu seolah-olah tidak
menginginkannya, sangat menyakitkan.

Langsung saja dirinya mengambil kunci mobil dan


berniat untuk menemui Velma saat itu juga, Revan
berhenti di pos satpam hendak berbicara sesuatu
kepada pak Eza.

"Pak, kalau ada yang nyariin saya bilangin aja lagi


ada urusan penting." Pak Eza hanya mengangguk
pelan, walaupun ini masih jam pelajaran dan
siapapun tidak boleh keluar dari area sekolahan
tetapi itu tidak berlaku bagi seorang Revan.

Setelah itu, mobilnya ia langsung jalankan dengan


kecepatan diatas standar membuat pak Eza sedikit
jantungan "Nak Revan pelan-pelan!" Teriaknya yang
entah di dengarkan atau tidak oleh Revan.

Pikirannya hanya di penuhi oleh Velma saat ini,


dirinya sangat memerlukan gadis itu untuk
menenangkan hatinya juga pikirannya, walaupun
sering terjadi percekcokan diantara mereka tetapi
tidak dapat di pungkiri kalau dirinya bisa tenang jika
berada di dekat Velma, hanya Velma.

Beberapa saat kemudian, Revan sampai di rumah


berwarna abu-abu milik Velma. Tanpa basa-basi
Revan langsung turun dari mobil untuk menemui
gadisnya itu.

Toktoktok.. Toktoktok
Sungguh tidak sabaran, Velma yang tengah duduk di
depan televisi sambil menyumpal hidungnya
memakai tissue terkaget mendengar ada yang
mengetuk pintu "Velma bukain pintu, ibu lagi masak
sebentar."

"Iya bu." Ucapnya lalu turun dari sofa dan memakai


sendalnya, 'Siapa sih? lagi asik nonton drama korea
juga oh yang ngambil baju mungkin.' Velma
mengangguk-anggukan kepalanya menyetujui kata
hatinya itu.

CKLEK

"Vel,"

Matanya membulat sempurna ketika seseorang


langsung mendekapnya erat, parfumnya tercium
sangat jelas di hidungnya dan itu membuat Velma
mengerti siapa pelakunya, Revan.

Siapa yang berani seperti ini padanya selain Revan?


Seluruh adrenalin dalam tubuhnya seolah-olah
terhenti, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Hatinya
mencelos entah, sambil gemetaran dan menggigit
bibir bawahnya Velma mengusap pelan punggung
Revan

"Lo kenapa Revan?"

"Izinin gue meluk lo, sebentar aja. Sampe gue


ngerasa tenang."
Velma melirik kedalam rumah resah jika ibunya
melihatnya seperti ini, pasalnya ini adalah hal yang
pertama kali dalam hidupnya. Pacaran? Velma tidak
pernah. Apalagi sekedar menggenggam atau pelukan
dan Revan berhasil membuatnya merasakan apa
yang belum pernah dia rasakan seumur hidup.

Revan terlihat kacau, hancur dan lemah jika seperti


ini membuat Velma ikut merasakannya juga. Dirinya
tidak ingin menanyakan perihal apapun karena saat
ini Revan hanya memerlukan sandaran untuk beban
hidupnya dan Velma sanggup melakukannya.

"Velma, siap-pa yang.."

Matanya kembali melotot ketika ibunya tiba-tiba


muncul, pipinya memerah. Terlihat ibunya
mengerjapkan mata sambil mengulum bibirnya
membuat Velma tambah salah tingkah apalagi Revan
sama sekali tidak menyadari kehadiran ibunya, Velma
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil
mengedipkan matanya ke sosok ibunya yang terlihat
sedang menahan senyum.

Revan berhasil membuat Velma salah tingkah di


depan ibunya sendiri.

őőő

Ddyulian
13. Salah Tingkah

EKSPRESInya sungguh tidak mengenakan,


tangannya ia gunakan untuk menggaruk tengkuknya
yang tidak gatal. Terlihat Revan di sampingnya
tengah menyenderkan punggungnya ke sofa santai
membuat Velma mencuri-curi pandangannya terus
menerus.

Hening...

"Otak gue pasti sudah gila. Walaupun lo ada di


samping gue, gue tetap mikirin juga merindukan lo."

Velma mengerjapkan matanya, pipinya pasti merona.


Diliriknya Revan yang masih terpejam di sampingnya,
tanpa sadar sebuah senyuman manis tersungging di
bibirnya.

"Jika seseorang memberimu perhatian dan


kekhawatiran, itu adalah awal mula cinta, artinya dia
menyukaimu."

Velma meneguk ludahnya sendiri sambil menutup


wajahnya, ketika hening-heningnya dan drama korea
yang ditontonnya 'Arang and the Magistrate' tiba-tiba
seolah memberikan arahan atau lebih tepatnya
sindiran kepada dirinya dan Revan.. awkward
moment.

"Lo bahkan gak keliatan ngekhawatirin gue." Velma


terkesiap dan langsung melirik lagi Revan yang
sekarang terlihat sedang memikirkan sesuatu, sambil
mengibaskan tangannya Velma tersenyum kikuk "I-itu
cuma drama korea Van."
"Tapi kata-kata nya pas banget, gue rasa setelah ini
gue jadi k-pop." Revan kembali duduk normal
membuat Velma tambah memasang wajah aneh
"Idiw." desisnya lalu memainkan jarinya di sofa.

"Kok idiw?" Velma hanya menatap aneh pada pria


dihadapannya yang tengah menatapnya juga,
"Pokoknya gue harus nonton nih drama, siapa tau
banyak hikmah yang bisa diambil." Revan meneguk
air minum dihadapannya membuat Velma tambah
salah tingkah, seharusnya kan dia memarahi Revan
karena berani-beraninya bolos sekolah dan perihal
kemarin, di mobil Dhirga. Tetapi tidak bisa, hatinya
selalu menolak.

"Lo kenapa gak sekolah?"

"Sakit."

Hening kembali..

"Saat kau merasa simpati & khawatir dengan


seseorang, itu berarti dia sudah benar-benar ada
dihatimu."

Velma gelagapan 'Apa maksudnya sih? timingnya


pas banget.' dirinya menggerutu lalu cepat-cepat
mengambil remot untuk mematikan televisinya itu,
Revan yang melihatnya hanya terkekeh geli
"Dramanya dibagian ini enggak seru, sebentar lagi
juga udahan. Gue matiin aja ya."

"Lo khawatir gak sih sama gue?" Pertanyaannya


sukses membuat Velma mengerjapkan matanya,
Revan menatapnya penuh harap membuat Velma
tidak tega. Bagaimana mungkin dirinya bisa
mengatakan tidak, jika memang hatinya berkata iya?
Velma menggaruk tengkuknya.

"Nak Revan, makan bareng yuk? Ibu baru aja udah


masak." Kehadiran ibunya Velma membuat dirinya
bernafas lega, tetapi sesaat kemudian terasa cemas
lagi "Revan suka enggak ya makanan ibu? walaupun
selalu enak tapi kan bagi Revan mungkin berbeda,
apalagi ini cuma makanan biasa." Velma menggigit
bibirnya mendengar suara hatinya itu.

"Boleh bu, kebetulan berduaan bareng Velma


membuat perut Revan lapar." Revan nyengir yang
dibalas senyuman-eh tidak-tidak lebih terlihat seperti
sedang menahan tawa dari ibunya yang membuat
Velma meringis.

"Kalau begitu, yuk!" Ibu Dea menuntun Revan ke


meja makan yang di ekori oleh Velma dibelakangnya.

Perlu disadari kalau Velma membuat Revan harus


menunggu jawabannya.

őőő

Dhirga langsung menutup kupingnya ketika Rosi


bersama Febi memasuki kelas, kelas yang tadinya
hening. Sepi. Tentram. Damai. Tiba-tiba menjadi
ramai seperti ini karema kehadiran mereka, Dhirga
yang sedari tadi ingin berbicara langsung ngintil
mengikuti langkah Rosi yang terlihat kesal.

"APA!?" Semprot Rosi membuat Dhirga menelan


ludahnya sendiri, "Gu-gue cuma itu,.."
"Lo mau ngomelin gue gara-gara ngeline waktu
malem dan si Velma marah? Lo bisa gak sih tunda
dulu tuh omelan, gue capek dengerin omelan pak Eza
lah, pak Rizal lah, Febi lah yang nyalahin gue jadi
kesiangan. Terus pan rarungsing dikelas diketawain
teh, jadi gue ke kantin eh dikantin gue di omelin lagi
sama Saras! Cukup sabar gue Dhir..Dhir.."

Dhirga mengerjapkan matanya, melihat suasana


kelas yang dingin dan merasakan seluruh perhatian
tertuju padanya "Ah enggak kok gue cuma mau
ngasih minjem buku soalnya tadi kan nulis banyak
dan lo gak masuk." Sambil tersenyum kikuk Dhirga
menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal,
dalam hatinya bersorak sorai berhasil menghindar
dari terkaman singa ini terlihat Rosi mulai memasang
muka terharu, lebay.

"Ah? Makasih banget loh Dhir, lo emang baik deh


sedunia." Ucapnya sambil duduk di kursinya.

Dhirga tersenyum tipis "Saras tuh yang mana sih?"

"Saras itu orang yang gagal move on dari Revan!


Suka banget fashion, ikutan model. sok kepedean!
Ngaku-ngaku! Padahal jadian juga enggak." Rosi
menghela nafas dan kembali memasang wajah
normal walaupun sedikit masam lalu melanjutkan
perkataannya "Kayaknya Revan lagi banyak masalah
deh, tadi dia tiba-tiba pergi naik mobil."

Dhirga mengerutkan keningnya "Dia kenapa sih? Gue


mah suka aneh sama dia." Rosi menganggukan
kepalanya setuju "Gue aja fans nya kadang ngerasa
aneh, keluarga nya broken apa gimana si?"
Sambil mengalihkan pandangannya Dhirga menghela
nafas pelan "Lo fans nya seharusnya lo lebih tau
tentang dia." Rosi memasang muka tidak terima
"Ngaco lo! Elo kan sepupunya ya seharusnya elo lah
yang lebih tau!" Dhirga mengusap-usap telinganya
"Biasa aja kali ngomongnya!"

"Elo nya rese." Rosi berbalik badan membuat Dhirga


mengusap dagunya "Sensi banget lagi dapet tuh
ketenger." Desisnya membuat Rosi melotot "GUE
DENGER KALI DHIR!"

Rafli selaku ketua kelas yang baru saja masuk


langsung menutup kupingnya "Aduh Rosi, suara lo
kenceng banget sampe kedenger ke sana."

"ENAK AJAAAA!!!" Rosi berteriak sambil mencak-


mencak membuat seisi kelas serasa dilanda
guncangan yang sangat dahsyat, di balik wajahnya
yang kalem-kalem gimana gitu, Rosi mempunyai
kekuatan yang mengenaskan.

"Ampun deh ampun!" Dhirga meringis mendengarnya


sedangkan Rafli kembali keluar kelas menghindari
perselisihan, cih ketua kelas macam apa itu! Febi
yang tengah memainkan ponselnya sambil
mendengarkan musik hanya terkikik "Rasain lo berani
sama cewek pms ya kayak gitu." desisnya.

"WOI FEB! GUE JUGA DENGER!!"

őőő

Lingga berjalan santai di koridor, setelah berkata


serius tentang urusan nge-band nya Lingga berniat
untuk mencari tau kenapa Revan hari ini sangat
mengenaskan. Banyak siswa-siswi yang
memperhatikannya tidak sedikit juga yang memujinya
tetapi Lingga hanya melemparkan senyuman
manisnya.

Ketika melihat Alsa di depan sana, Lingga sedikit


ragu untuk menanyakan perihal Velma. Jika dengan
Resta pasti tidak akan berjalan lancar, terlebih Resta
sangat membenci Velma sama seperti Saras.

"Als,"

Alsa yang tengah membaca buku biologinya sambil


menyandarkan bahu ke tembok langsung menoleh
dan matanya membulat sempurna ketika melihat
siapa yang menyapanya, Lingga.

"Y-ya?" Alsa sedikit gugup, sambil menutup buku


biologinya dia memperbaiki posisinya saat ini "Bisa
bicara sebentar?" Lingga tau kalau saat ini Alsa
sedang gugup dam salting karena dirinya juga
merasakan hal yang sama seperti Alsa.

Setelah tujuh bulan yang lalu, dirinya memutuskan


hubungan bersama gadis ini. Lingga jadi jarang
berkomunikasi, menyapa pun enggan rasanya. Dan
mereka mempunyai alasan yang sama; hanya karena
satu hal, takut terjatuh lagi.

"Boleh," Alsa mengangguk diiringi senyuman tipisnya


membuat Lingga jadi melting sendiri. Mereka
akhirnya memutuskan berbicara di bawah pohon
dekat lapangan.
"Velma enggak masuk ya?" Lingga membuka
pembicaraan membuat Alsa mengerjapkan
matanya, 'Ternyata nanyain Velma' batinnya sambil
menganggukan kepalanya pelan.

"Lo kenal dia lebih deket engga sih? maksud gue gini..
Lo bisa bantuin gue? untuk sekedar kasih tau hal-hal
mengenai Velma ke gue." Alsa menghembuskan
nafas kasar tidak percaya, bukannya Velma pacarnya
Revan? Apa jangan-jangan Lingga mau nikung
Revan lagi, waduh gawat.

"Lo.. suka ya sama Velma?" Lingga terkekeh


mendengar penuturan dari gadis dihadapannya ini
"Tentu saja." jawaban Lingga membuat Alsa melotot
"Gue suka sama Velma, sebagai pacar dari sahabat
gue Revan. Enggak lebih."

Alsa menggembuskan nafas lega dibuatnya "Lo mah


kebiasaan mikir terlalu jauh." Tangan Lingga tiba-tiba
terangkat untuk mengacak-acak rambutnya membuat
Alsa merasakan kerinduan akan sosok Lingga
dihidupnya.

"Lo bisa bantuin gue?"

"Kayaknya bisa deh." Alsa mengangguk pelan


membuat Lingga tersenyum sumringah "Gue emang
gak salah pilih, apa yang gue suka dari lo dulu sampe
sekarang? lo selalu percaya sama hati lo sendiri dan
selalu ikuti kata hati lo, itu yang gue suka."

Entah apa yang seharusnya dirasakan Alsa, senang


atau sedih. Senang karena bisa merasakan
kenyamanan ini lagi walaupun di dasari oleh Velma,
atau sedih karena dirinya mulai terjatuh kedalam
lubang yang sama lagi, hal yang tidak seharusnya
Alsa rasakan.

őőő

14. Hanya Senyuman Kecil

ANGIN yang berhembus sama sekali tidak membuat


perasaan Dhirga kembali dingin, tetap saja panas.
Panas sekali ketika mendengar Revan bolos sekolah
demi Velma, pantas saja tadi si curut bilang Revan
pergi naik mobil. Ternyata itu mau ke rumah Velma,
sungguh resikonya besar jika keluarga Prayoga
terutama om Darma mengetahui putra yang paling di
banggakannya itu berlaku seperti ini.

"DHIRGA!" Seruan itu membuat Dhirga yang sedang


melamun di rooftop terperanjat, dari balik pintu
muncul Rosi dengan wajah serius membuatnya
mengerutkan dahi.

"Kenapa lo tau gue ada disini?" Rosi nyengir sambil


membenarkan rambutnya yang melayang-layang
karena angin "Gue ngikutin lo tadi, hehe." Dhirga
tambah mengerutkan keningnya.

"Gak penting pokoknya! yang penting ini Dhir, gue


selaku sahabat yang baik punya berita yang... yang
gitu deh." Dhirga memutarkan kedua bola matanya
sambil menyentil kening Rosi gemas "Lo kalo
ngomong suka gak di mengerti sama orang."
"Gue belum selesai ngomong kali!!" Rosi cemberut
membuat Dhirga meringis sambil menunggu
kelanjutan omongan gadis dihadapannya itu "Nanti
kalo gak salah minggu depan, kelas dua belas
ngadain camping! sekalian buat kenangan gitu."

Dhirga mematung, berarti sebentar lagi Velma.. lulus


dari sekolah ini? Rosi yang menatapnya terlihat
menghembuskan nafas pelan "Lo dari dulu emang
kalah cepet dari Revan, Dhir. Seharusnya lo sadar
itu."

"Gue tau, disini gue cuma bantuin Velma supaya


enggak terjatuh dalam masalah Prayoga."

"Tapi lo salah, lo jatuh cinta kan sama Velma? dan


itu letak permasalahannya. Lo malah makin bikin
Velma menderita, sayangnya elo gak pernah
dengerin omongan gue yang ini. Karena gue juga tau,
lo pasti sayang sama Velma tapi tetep aja rasa
sayang Revan lebih besar dari lo."

őőő

"Nak Revan bolos sekolah ya?" Ibu Dea menatap


Revan dengan seksama sementara yang di tatap
hanya cengengesan sambil menggaruk tengkuknya
yang tidak gatal.

"Soalnya Revan khawatir sama Velma bu, Revan


enggak biasanya kalo di sekolah gak ada Velma."
Revan nyengir membuat Velma mengusap kening
yang tertutup poninya itu.
"Ternyata anak ibu bisa buat laki-laki seperti ini ya?"
Ibu Dea terkekeh membuat Velma cemberut, "Emang
sebelumnya gimana sih bu?"

"Velma enggak pernah pacaran, setau ibu."


Senyumnya merekah, Revan langsung menghentikan
aksi makanya sebentar "Serius?"

Velma menggigit bibir bawahnya "Ibu malu-maluin


Velma banget huhu." batinnya bergemuruh membuat
Revan yang melihatnya tambah senang, ibu Dea
hanya tersenyum tipis.

"Revan juga enggak pernah pacaran."

"Bohong."

Ibu Dea mengerjapkan matanya ketika Revan dan


Velma saling bertatap setelah berbicara cepat seperti
itu, "Revan gak pernah pacaran!" Tandas Revan
sengit membuat Velma tidak terima. Bagaimana
mungkin seorang Revan belum pernah pacaran?

"Lo itu cinta pertama gue." Lanjut Revan sambil


melanjutkan makannya, ibu Dea menggeleng-
gelengkan kepalanya "Pantes aja nembaknya kayak
entut" batin Velma diselingi senyuman tipis.

Revan sesekali melihat gadis dihadapannya yang


tengah kembali makan, sungguh ini makanan paling
enak yang pernah dia cicipi. Setelah beberapa tahun
lamanya, sang Bunda tidak pernah lagi menyiapkan
makanan untuknya dan Ran karena urusan bisnis.
Akhirnya Revan bisa makan hasil dari tangan orang
yang dia sayangi, ibunya Velma.
"Ini apa sih bu? kok enak banget?" Setelah
beberapa saat hening Revan tiba-tiba menyerahkan
sesuatu yang ada di mangkok, membuat Velma
memandanginya "Itu sayur asam manis, enak kan?"
Ibunya tersenyum yang dijawab anggukan antusias
dari Revan.

"Jadi kalian pacaran? kenapa kamu enggak cerita


kalo punya pacar?" bu Dea menatap Velma yang
langsung melotot dan buru-buru minum "G-bb..Revan
itu-"

"Pacarnya Velma."

"Sahabatnya Velma."

Velma merutuki kebodohannya itu lalu melirik Revan


yang tengah menatapnya tajam lalu beralih menatap
bu Dea "Revan pacarnya Velma bu, masa ibu enggak
peka."

Bu Dea mengerjapkan matanya sambil menatap geli


kearah mereka yang terlihat sedang bisik-bisik
enggak jelas "Ibu sih gapapa Velma punya pacar,
apalagi yang ganteng terus baik sama Velma dan
ibu."

"Ibu bisa aja, tapi Revan sadar sih hehe." Velma


memutarkan kedua bola matanya, kenapa disini
Revan berubah 180derajat?

"Lo gak mau ngakuin gue ke ibu?" setelah itu Revan


langsung mendesis kearah Velma sambil
menyunggingkan senyumannya kepada bu Dea,
Velma hanya terdiam sambil memasang wajah
masam. Perasaannya mendadak tidak enak "Revan
tinggal dimana?"

"Ah, di sana bu deket perum halamda." Ibunya Dea


sedikit tercengang, berarti Revan orang
kaya? batinnya membuat Velma sedikit gelisah, takut
ibunya berkata sesuatu yang membuat Revan
berbohong.

"Nama ayah kamu siapa Rev? Siapa tau ibu kenal."


Velma melotot, kepalanya ia gelengkan berapa kali
sambil menatap ibunya yang malah biasa saja. "Da-"

Drrt... Drrt...

Revan refleks melihat ponselnya dan disana tertera


nama Ran sayang. Membuat Velma langsung
tercengang, Ran? siapa itu? apa jangan-jangan
pacar sebenarnya Revan? berbagai pertanyaan
hinggap di benaknya saat itu juga.

"Bu, saya ada urusan. Pulang dulu ya?"

"Gak bakal dimarahin gara-gara bolos?" bu Dea


langsung berdiri ketika melihat Revan mengambil
tasnya

"Tenang aja bu, Revan gak pernah bolos


sebelumnya. Jadi orang tua Revan pasti ngerti, lagian
gak akan diulangin lagi kok." Revan menyalami
ibunya yang mengangguk sementara Velma hanya
menunduk sambil tetap makan.

"Velma, gue pulang dulu."


"I-iya."

Setelah itu Revan langsung berbalik disusul Velma


yang mengikutinya dari belakang, sementara bu Dea
duduk kembali sambil terus tersenyum.

Velma membukakan pintu untuknya membuat


Revan tersenyum, "Jaga kesehatan ya?" Velma
mengangguk pelan.

Revan menghela nafasnya lalu berjalan menuju


mobil kesayangannya, Velma merasa ada yang
ganjal dihatinya. Ia sangat ingin berkata sesuatu
tetapi... gengsi.

"Revan!"

Tepat saat Revan ingin membuka pintu mobil,


Velma memanggilnya. Sambil menggigit bibir
bawahnya Velma tersenyum kikuk "Ma-makasih
banyak."

"Untuk apa?" Revan mengerutkan keningnya

"Untuk semuanya, hari ini. hati gue. semuanya."

Revan tersenyum kecil sambil mengalihkan


pandangannya membuat Velma menahan nafas,
walaupun hanya senyuman kecil tetapi sangat
menawan.

"Sama-sama. Yaudah gue pulang duluan." Velma


mengangguk disusul Revan yang masuk ke dalam
mobilnya dan langsung melesat jauh.
"Siap-siap terluka Vel, karena udah jatuhin hati lo
secara total ke Revan."

őőő

15. Matahari Dan Bulan

"Saya harap, nanti kapan-kapan Ran bisa terkontrol


lagi. Kasihan."

Revan menunduk, setelah berlarian sekuat tenaga


di koridor rumah sakit tadi sekarang ditambah dengan
kondisi Ran yang sangat buruk membuat raganya
merasakan hantaman yang sangat sakit.

"Jangan membuat Ran semakin terpuruk, jaga adik


kamu baik-baik." Dokter spesialis yang sedang
berbicara kepadanya terlihat memasang wajah
dengan ekspresi iba, "Saya sibuk, dan seharusnya
Bijus bisa lebih merhatiin Ran!"

"Jangan salahkan orang lain, kamu tau sikap Ran


kan? Dia keras kepala dan saya paling tau keluarga
Prayoga yang memang seperti itu semua,"
mendengar hal itu, Revan menghembuskan nafas
kasar sambil mengalihkan pandangannya.

"Di luar selalu terlihat terpandang padahal di


dalamnya sangat mengenaskan, terlalu
mementingkan kehidupan sehingga lupa pada
bidadari manis ini."

Dokter Farhan, dokter spesialis kanker satu-satunya


yang paling dipercayai untuk menangani Ran di
rumah sakit ini sekaligus sebagai ayahnya Saras.
Farhan terlihat menaikan satu alisnya sebelum
mengatakan sesuatu lagi, "Betul begitu Revan?"

"Ya. Revan tau itu tapi apa yang harus Revan lakuin?
Semuanya rumit om."

"Saya bisa mengaturnya, asalkan kamu bahagiain


anak kesayangan om. Saras." Matanya langsung
membulat mendengar pernyataan dari pria
dihadapannya ini, "Maksud om?"

"Asal kamu tau, Darma ayah kamu sudah banyak


berbicara tentang hubungan kalian, dan Saras juga
akhir-akhir ini selalu terlihat lesu, apakah kamu
menyakitinya?" Revan mengusap pelan wajahnya "Ini
sedang membicarakan perihal Ran, kenapa ujung-
ujungnya,.."

"Ini menyangkut Ran juga, saya bisa saja dengan


senantiasa membuat perjanjian dengan keluarga
Prayoga untuk menjodohkan kamu dengan Saras,
lalu Ran selamat di tangan saya."

"Tapi, saya kasih kamu kesempatan untuk benar-


benar tulus menyayangi Saras. Dia itu anak yang om
banggakan, bidadari om, anak satu-satunya dan
jangan sampai kamu menyakitinya."

"Om tau? Seorang dokter tidak seharusnya seperti


ini, dokter bukannya punya prinsip?" Revan
bersedekap dada sambil menatap tajam kearah
Dokter Farhan yang malah tersenyum tipis, "Semua
manusia itu sama. Wajar bila sesama manusia
mengkhianati manusia lainnya demi keuntungan
pribadi."

Farhan beranjak dari tempat duduknya sambil


memasukan tangannya ke dalam saku jas yang
dikenakannya. "Kamu tau? Kelak nanti jika kamu
menjadi ayah, apa yang akan kamu lakukan jika
berada di posisi saya? Membiarkan anaknya patah
hati?"

Lidahnya kelu, apa yang dikatakan bahkan dibalikan


dokter Farhan sangat susah dicerna oleh otaknya
saat ini, jalan pikirannya benar-benar buntu.

"Saya ingatkan sekali lagi, bahagiakan Saras."

őőő

Velma menggigit pelan bibirnya sambil mengusap


kening yang sedari tadi berdenyut nyeri. Tangannya
memegang ponsel yang ia sengaja dekatkan kepada
telinganya, menunggu seseorang mengangkat
teleponnya saat ini.

"Halo, pak! Mohon maaf saya tidak masuk. Sedang


tidak enak badan." Velma langsung menyahut ketika
mendengar nada sambung di ponselnya sambil
sedikit berbincang-bincang dengan pak Yosep
atasannya, setelah beberapa menit kemudian dia
memutuskan sambungannya.

Kepalanya kembali berdenyut nyeri, sangat nyeri.


Tubuhnya ia rebahkan di tempat tidur sederhana
miliknya, matanya ia luruskan ke atas. Sedikit
menerawang dengan keadaan Revan saat ini dan
Ran? Velma tidak terlalu memikirkan siapa wanita itu.

Jujur saja dirinya hanya mengetahui sedikit tentang


kehidupan Revan, dan itu juga hanya tentang Revan
adalah putra dari pemilik sekolah yang paling
dibanggakan sekaligus pria nomor satu di SMA Binusi
ini karena wajahnya yang tampan dan kharismanya
yang kuat.

Dan untuk sekarang, saat ini, yang Velma tau kalau


dirinya benar-benar jatuh cinta pada Revan tanpa
bisa memerdulikan risikonya yang tidak main-main.

Bisa saja dirinya dikeluarkan dari sekolah atau di


paksa untuk pergi jauh-jauh dari kehidupan Revan
dengan sogokan uang, tapi opsi pertama terlalu
nanggung walaupun keluarga Prayoga tidak
tanggung-tanggung. Sebentar lagi dirinya juga
melewati semester dua dan keluar dari SMA Binusi ini.

SMA yang mempertemukannya dengan pria angkuh


tetapi sangat menawan. Walaupun Revan nampak
kasar tapi sebetulnya ia sangat lembut jika dikenali
lebih dekat, Velma yang merasakannya sendiri.

Jika opsi kedua, mungkin ini yang lebih berpengaruh.


Menurut salah satu novel yang telah ia baca,
seseorang yang miskin sangat tidak pantas
bersanding dengan seseorang yang memiliki latar
belakang disegani. Tentu saja sekuat tenaga dirinya
akan menahan perasaannya, sadar pasti sadar tetapi
jika sudah waktunya dirinya pasti akan
memberitahukan kepada Revan.
Perasaan yang akhir-akhir ini membuat seolah-olah
Revan adalah hidupnya, semangatnya ataupun
apalah itu dan Velma tau ini artinya jatuh cinta, Jatuh.
Cinta.

Melihat bolpoin dan sebuah buku kecil di dekatnya


Velma langsung mengambilnya dan mulai
mencurahkan isi hatinya, walaupun menurut sebagian
orang menulis itu kuno dan lebih gaul di update-kan
agar semua orang bisa care terhadapnya tetapi
Velma bukan tipe seperti itu.

Velma lebih senang menulis, buku tidak akan


mengkhianatinya. Berbeda dengan Social
media yang bisa membuatnya malu sendiri
mengumbar-umbarkan kehidupannya yang seperti ini
ke orang lain.

Tanpa sadar matanya mulai memberat, sakit di


kepalanya semakin menjadi-jadi, saat ini juga dirinya
menutup buku kecil itu dan memilih untuk beristirahat.

Di samping itu, angin semilir dari arah jendela


membuka lembar demi lembar kertas di dalam buku
kecilnya, sampai angin itu berhenti dan membuat
buku itu seolah-olah membicarakan isinya.

"Apakah kita bisa bersatu? Kita


hanya seperti matahari dan bulan
yang tidak akan pernah bisa bersatu di langit yang
sama."

őőő
16. Egois Dan Ketertarikan

ADA yang mengatakan bahwa tidak ada alasan


untuk cinta. Itu semua bohong. Bagaimana bisa
seseorang mencintai tanpa alasan? Dhirga dapat
memberitahu kalian setidaknya 100 alasan mengapa
dirinya mencintai Velma. Suaranya. Sikapnya.
Hatinya. Tatapannya. Kecantikannya. Bayangannya...
Dhirga bahkan seperti orang yang bego. Pokoknya
dirinya suka segala sesuatu tentang seorang Velma.
Itulah alasannya.

Alasan yang dapat membuatnya senyum-senyum


sendirian, walaupun dirinya tau Velma kekasih
sepupunya sendiri tetapi cinta memang tidak bisa
kalian salahkan kan? Setau Dhirga cinta itu buta dan
tuli seperti lirik lagu milik
kembarannya (read:Alghazali).

Bagaimana tidak buta? Matanya jelas dapat melihat


bahwa Revan dan Velma adalah sepasang kekasih
jika dirinya tidak mempunyai perasaan apa-apa.
Namun, kenyataannya? matanya tidak bisa melihat
atau lebih tepatnya lagi tidak mampu melihat apapun
yang mereka jalani bersama.

Tuli. Mengenai tuli, kalian pasti pernah


merasakannya. Biar Dhirga kasih contoh yang pas,
setiap kali kalian ulangan teman kamu yang pintar
akan mendadak seperti orang yang tuli kan? Nah,
cinta juga seperti ini.

Jika seseorang merasa bahwa dirinya pintar, dia


senantiasa tidak menggunakan telinganya terhadap
hal-hal yang menurutnya tidak penting ketika ujian.
Dan jika seseorang merasa dirinya tertarik kepada
seseorang, dia senantiasa tidak menggunakan
telinganya terhadap hal-hal yang menurutnya tidak
penting ketika sedang jatuh cinta.

Dhirga mengacak-acak rambutnya pelan, pagi ini


hatinya sudah dilanda beberapa kegelisahan. Apalagi
semua kegelisahan itu terletak pada seorang gadis,
yaitu Velma.

Satu hari dirinya tidak bertemu dengan Velma


hampir saja membuat raganya melemas, apalagi
Dhirga sempat bertengkar terlebih dahulu perihal
Revan yang mengeroyoknya kemarin-kemarin.

Jam menunjukan pukul enam lewat lima belas menit,


Dhirga berniat untuk mencegat Velma di gerbang dan
berharap bahwa hari ini Velma sekolah.

Sambil berjalan, Dhirga merapikan letak celananya


yang sedikit kusut. Kelas masih terlihat sepi bahkan
dari tadi pagi dirinya belum melihat satu orang pun di
sekolah ini, tapi itu tidak membuat Dhirga
menghentikan niatnya untuk menghadang Velma.

"Lingsir wengi.. Sliramuuu.."

Dhirga menghentikan langkahnya ketika mendengar


lantunan salah satu lagu angker di kelas yang baru ia
lalui tadi, bulu kuduknya meremang. Jangan-jangan
itu hantu? hantu rooftop! Waktu pertama dirinya
sekolah kan di sana banyak darah segar. Kakinya
melemas apalagi di sekelilingnya benar-benar sepi.

"DUARRR!! HAHAHA."
Tiba-tiba di depannya sudah ada wanita gila ini yang
langsung tertawa terbahak-bahak, membuat Dhirga
melotot "Muka lo aneh banget gila!" Rosi menarik-
narik baju Dhirga sambil terus tertawa.

"Menurut lo ini lucu?"

Rosi mengangguk, "Lucu banget! muka elo nya."


Dhirga menaikkan satu alisnya sambil menyingkirkan
tangan Rosi yang masih menarik bajunya itu, "Gue
kayak gini gara-gara lagi ketemu hantu."

"Yaampun Dhir, tadi itu gue!" Rosi terkekeh


sementara Dhirga hanya menaikan bahunya acuh
sambil melanjutkan perjalanannya.

"Yaiya lo hantunya."

"Sialan." Rosi memasang wajah kesalnya lalu


berbalik arah untuk mengejar Dhirga, "Lo mau
kemana? tumben banget udah stand by."

"Bukannya gue yang harus nanya itu ke elo?"

"Rese banget sih? Gue mau lomba makannya pagi,


lo anak baru gak tau sih gue itu sebagai apa disini."
Sambil melirik sinis, Rosi berjalan mengikuti langkah
Dhirga.

"Lomba? Lo bisa apa sih?"

"Suara gue emas. Gue selalu jadi perwakilan dari


Binusi." Rosi berkata bangga membuat Dhirga hanya
memutarkan kedua bola matanya "Gue juga jago kali,
udah ah gue mau nungguin Velma."

Tanpa sadar keduanya sudah berada di gerbang,


terlihat pak Eza yang tengah membaca koran dengan
baju seragamnya yang rapi.

"Halo pak!" Dhirga tersenyum sambil melambaikan


tangannya sedangkan Rosi terlihat agak canggung,
rasa kesal karena waktu itu dirinya di ancam oleh
bapak ini pun dia ingat lagi.

"Heuy." Pak Eza hanya melambaikan tangannya


tanpa memandang kearah Dhirga, Rosi hanya
mendengus. Ingin ke kelas tidak berani karena
sendirian, dengan sedikit terpaksa dirinya mengikuti
pria ini menyandarkan tubuhnya pada gerbang yang
besar ini. Dilihatnya jam yang menunjukan pukul
setengah tujuh, pantas saja siswa-siswi mulai
memenuhi sekolah.

"Dhir, gue suka aneh deh sama hidup. Lo ngerasain


hal yang sama enggak sih kayak gue?"

"Enggak." Dengan acuh Dhirga hanya menjawab itu


sambil mengedarkan pandangannya kesegala arah,
"Hidup itu aneh. walaupun gue tau ini semua hanya
dongeng, hidup di dunia gak kekal kan?"

Dhirga mengusap wajahnya pelan, "Lo diem deh,


ngawur!"

"Ih, ogeh ulah?! Gue kan cuma sharing doang." Rosi


membetulkan rambutnya yang sedikit berantakan.
"Halo, Dhirga." mendengar suara itu Rosi langsung
memfokuskan kembali pandangannya, terlihat geng
kelas tiga dihadapannya yang tengah senyum-
senyum malu kearah Dhirga yang juga membalas
sapaan itu, "Hai."

Rosi hanya memasang wajah bete sambil melihat


kuku-kuku jarinya, mengalihkan pemandangan
memuakkan dihadapannya.

"Heh cewek! Biasa aja kali muka nya jangan di jelek-


jelekin." Celetukan salah satu dari mereka membuat
Rosi melotot, walaupun pandangannya kearah kuku
cantiknya itu tapi percaya deh kakak kelasnya itu
sedah ngajak ribut sekarang.

"Gue jelek juga asli, nah kalian cantik gara-


gara make up. Haha." Jangan ditanya seberapa
beraninya seorang Rosi ini.

"Kurang ajar!"

"Flo, udah deh kita berangkat pagi kan buat ngerjain


pr!"

"Ck! cabut."

Rosi hanya memeletkan lidahnya dibelakang setelah


melihat mereka berlalu, "Gue mah rada kurang
seneng sama sekolah ini, gara-gara.." ucapannya
terhenti ketika Dhirga tiba-tiba tidak ada di
sampingnya.
"Dhirga?" Rosi memutarkan badannya sambil
mengarahkan pandangannya ke segala arah, "Ck!
Parah, tega banget ninggalin gue."

Langkahnya langsung terayun ketika melihat Dhirga


sedang mengejar seorang cewek yang ia yakini
adalah seorang Velma. "Dhirga! Lo kok ninggalin gue
si!? Tadi gue dikeroyok fans lo ih."

"Bukan urusan gue! Gara-gara lo Velma jadi pergi!"


Sambil memelototkan matanya Rosi menghela nafas
pelan, "Kok gue? Kok nyalahin gue!"

Dhirga tidak memperdulikannya dan langsung


berlari kembali mengejar Velma, Rosi hanya terdiam
entah kenapa hatinya tiba-tiba ngilu.

Kring.. Kring, Kring

DUAGH

"AWHS, mata lo di dengkul ya!?" Sebuah sepeda


tiba-tiba menabraknya, alhasil tubuhnya terjatuh.
Hatinya ikut terjatuh juga melihat Dhirga yang seperti
itu ditambah sekarang ini membuat mood nya hancur.

"Sorry banget. Gue kira gak bakalan nabrak lo, lo


gak papa kan?" Rosi mengerjapkan matanya ketika
melihat Meka Owel sedang memohon maaf padanya,
sungguh membuatnya baper.

"E-e.. Enggak papa kok, gak papa gak sakit juga kak.
Gak papa." Sambil menggigit bibir bawahnya Rosi
berdiri lalu merapikan bajunya yang kusut.
"Yaudah, maaf sekali lagi ya? Gue duluan kalo gitu."
Setelah itu Meka langsung menaiki sepedanya dan
pergi menjauhi dirinya.

Rosi menghela nafas pelan sambil melirik kearah


Dhirga pergi, dia yakin jatuhnya tadi sangat keras dan
pasti terdengar oleh telinganya. Tetapi, mungkin
Dhirga tidak peduli. Padahal dirinya kan... Tidak
mungkin! Yaampun, Rosiiii.

Apa gue.. jatuh cinta sama Dhirga?


Enggak mungkin! Tapi kok disini sakit? Sakit sesakit-
sakitnya orang sakit.

Halah.

őőő

Ddyulian
17. Nomor Tujuh Belas

HARI ini memang terlihat berbeda, entah kenapa


Velma merasakan sesuatu yang kurang mengenakan
pada pagi ini. Semacam firasat, firasat yang
membuatnya merasakan kegelisahan seperti
sekarang.

Velma turun dari angkutan umum seperti biasanya


dan langsung menyerahkan uang berwarna kuning
kepada supir, setelah itu dia langsung berjalan
menuju gerbang sekolahan yang sangat terbuka lebar.

Saat itu juga, pandangannya langsung tertuju kearah


dua orang yang sedang berdiri di sana, mereka
terlihat sedang mengobrol dengan gerombolan Flo
yang sama seperti siswi lain, sok berkuasa. Entah
kenapa melihat kehadiran Dhirga pagi hari ini
membuat mood nya turun, sambil menghela nafas
pelan Velma langsung berjalan mencoba tidak
memperdulikan mereka.

"Velma, Vel!"

Baru beberapa langkah setelah melewati mereka,


suara nyaring milik Dhirga membuat langkahnya
terhenti sejenak.

"Gue mau ngomong sebentar aja." Pinta Dhirga tetapi


malah membuat Velma melanjutkan jalannya dengan
langkah yang semakin cepat.

"Velma!" Saat itu juga Dhirga langsung mengejarnya


dan menarik tangannya, "Vel."
"Apa?" Velma menghela nafas pelan sebelum
menatap bola mata milik Dhirga di hadapannya, "Gue
cuma mau minta maaf."

"Gue udah maafin," Kepalanya ia tundukan "Gue juga


minta sama lo, jangan deket-deket gue lagi."

"Kenapa?"

"Coba pikirin, lo deket sama gue walaupun cuma


sebatas kenal aja udah dikeroyok. Lo anak baru Dhir,
lo harus bisa jaga nama baik lo disini." Dhirga
berdehem sedikit, perkataan Velma memang benar
adanya. Benar jika ia memakai otak atau logika untuk
memikirkannya, tetapi apa kata si hati? Hatinya terus-
terusan menyanggah perkataan Velma maupun
otaknya.

"Gue gak peduli popularitas, seharusnya lo juga bisa


salahin Revan, kenapa cuma gue yang harus jauhin
lo?"

Deg.

Velma terdiam, hatinya bergetar mendengar


penuturan Dhirga. "Lagian gue denger-denger lo
sama Revan kan pacaran tanpa unsur yang jelas.
Apa lo yakin Revan beneran sayang? Kalian berdua
jadian cuma sebatas karena kasihan kan!?"

"Stop it! Kalo kedengeran Revan dia pasti marah dan


lo pasti bakalan dapet yang lebih parah lagi!"

"Lo sayang sama Revan atau sebatas kasihan?"


Hening sejenak.

"Dhirga! Lo kok ninggalin gue si!? Tadi gue dikeroyok


fans lo ih."

Keduanya menoleh ketika mendengar seseorang


memanggil nama Dhirga disana, Velma
memanfaatkan situasi ini dan langsung pergi
meninggalkan Dhirga bersama Rosi.

"Bukan urusan gue! Gara-gara lo Velma jadi pergi!"


Dhirga mengusap wajahnya pelan, terlihat Rosi yang
langsung memelototkan matanya "Kok gue? Kok
nyalahin gue!"

Dhirga hanya menghembuskan nafas pelan lalu


berjalan meninggalkan Rosi sendirian, bukan maksud
sebenarnya kalau saat ini dia menyakiti hati cewek
cantik itu. Hanya saja Dhirga paling benci jika ada
yang menghalangi urusannya, termasuk orang seperti
Revan sekalipun.

őőő

"Yaampun! Nomor duabelas!! Resta. Wina. Gue satu


tenda sama lo Win!" Resta melompat dan langsung
memeluk Wina yang sedang membaca mading berisi
nama-nama murid kelasnya yang tertera di kertas
hasil pengundian tenda untuk camping nanti, "Aduh
kenapa sih Res? emang gak bisa ya.., nih gue punya
tenda dan pas untuk bertiga. Kita ajak Alsa gimana?
Ntar deh gue ngomong sama bokap biar dibisain."

Resta terdiam lalu melirik Alsa yang sedang


tersenyum, "Als! Lo kebagian nomor berapa?"
Alsa mengerjapkan matanya lalu ikut
terdiam, 'Gue emang udah ngomong sama bunda sup
aya gue deket sama
dia. Sesuai dengan perjanjian gue sama Lingga temp
o
hari, dengan begini gue bisa deket lagi sama Lingga.
Soal Resta? lupain, gue gak peduli lagi.' Alsa
menganggukan kepalanya menyetujui apa yang
dikatakan hatinya saat ini.

"Kok malah manggut-manggut? Gue nanya bener ih!"


Resta menghentakan kakinya membuat Alsa meringis
pelan, "Tujuh belas. Gue kebagian sama orang ke
tujuh belas"

Resta melirik sinis Alsa lalu mencari pemilik nomor


tujuh belas itu di mading, dan saat jarinya berhenti
tepat di depan sebuah nama matanya langsung
melotot, "VELMASYA ARMADETTA? Kok bisa!?
Udah deh Als, mending sama gue aja yuk sama
Resta!" Wina dari arah belakang seolah-olah mewakili
perasaannya.

"Gak usah digituin juga Alsa pasti mohon-mohon


sama kita Win buat di satuin." Resta
tersenyum agak sinis sambil merangkul Alsa yang
malah menggigit bibir bawahnya, "Sorry, tapi
sebaiknya gue sama Velma aja deh? Di masa-masa
terakhir SMA ini kita coba jadi anak baik Res." Alsa
nyengir ambigu.

"Apaan sih Als? Lo nyembunyiin sesuatu dari gue


ya?" Resta memicingkan matanya.

Alsa berdehem lalu menggeleng pelan, "Y-ya


enggaklah! Oh yaudah ya gue nyari Velma dulu."
Kakinya ia langkahkan menuju kelas, disaat ramai
dengan acara camping seperti ini dirinya yakin kalau
Velma sama sekali tidak peduli.

"Gue gak nyangka Alsa kok berubah sih Res?" Wina


mengusap dagunya, "Gue yakin ini pasti udah di
susun sebelumnya." Resta menatap tajam kearah
Alsa yang kian menjauh.

"Emang iya. Semua ini emang udah disusun sama


Tuhan."

Resta hanya mengusap pelipisnya pelan lalu berbalik


arah untuk kembali melihat siapa lagi yang tertera di
nomor tujuh belas, "Alsa. Velma. Revan. Rojak.
Hah!?"

Tangannya ia naikan ke atas sedikit mencari nomer


duabelas, "Resta. Wina. Meka. Bono. Ihh liat Win gue
juga udah ngira ini pasti idenya Velma yang disetujui
sama Revan! Masa nanti gue hiking bareng elo, Bono
sama Meka!?"

Wina mengerjapkan matanya tidak mengerti "Tapi


masa iya sih? Velma kayaknya gak gitu deh."

"Yaampun Winaa, sekarang itu lagi musim ya orang


yang casingnya kalem, pinter, baik tapi dalemnya
kayak air bajigur! Keruh."

"Enak kok apalagi burcangijo."

"Lama-lama lo gue kurung juga di kandang ayam!"


őőő

Velma menghembuskan nafas pelan sambil melirik


kelas milik Revan disana, biasanya cowok itu udah
nangkring bersama band nya sambil memainkan gitar.
Tetapi sekarang nampak sepi.

Matanya langsung ia kerjapkan saat seseorang tiba-


tiba menghalangi jalannya, "Hai Velma."

"H-hai.. Lingga." Velma terlihat kaku dan dirinya


menyadari itu, Lingga hanya tersenyum kecil. "Lo cari
Revan ya?"

"Ah, eng-enggak kok." Velma mengibaskan


tangannya pelan, "Gue.. pergi dulu ya."

"Sebentar. Lo ikut camp kan?"

"Hah? Gue.. gue gak tau." Dirinya saja tidak tau berita
ini, tapi kemungkinan besar Velma tidak akan ikut.

"Lo gak tau mau ikut apa enggak atau gak tau
informasi ini?"

Velma menatap Lingga di hadapanya sambil


menggigit bibir bawahnya. "Gak tau informasinya."

"Udah gue duga." Terlihat Lingga mengusap dagunya


pelan sambil berkacak pinggang, "Lo satu regu
bareng Revan, dan gue yakin Revan akan maksa lo
buat ikut."
"O-oh? gitu ya." Velma hanya manggut-manggut.
"Tunggu.. gue sama Revan? anak itu!" Lingga
tersenyum kecil melihat reaksi Velma sekarang ini,
lucu memang seperti itu.

"Lo harus tau kalau Revan sayang banget sama lo."

"I-iya, yaudah gue duluan ya?" Lingga mengangguk di


susul senyuman tipis dari Velma yang langsung
melangkahkan kakinya.

"Selamat berjuang kembali kalian berdua."

őőő

18. Kesalah-Pahaman

REVAN mengelap keringatnya yang bercucuran pada


siang hari ini, tadi pagi memang dirinya tidak
mengikuti pelajaran pertama karena telat, tetapi itu
tidak masalah bagi Revan. Kakinya dengan lihai
menggiring bola ke arah gawang, di sela-sela hebat
dalam basket dirinya juga sangat hebat dalam sepak
bola, tidak heran jika perempuan memilih Revan
sebagai kriterianya karena memang cowok idaman.

"Revan! Over!" Teriak salah satu temannya membuat


kakinya segera menendang bola kearah yang di tuju.

Sambil berlari mengejar bola, Revan juga


mengomandokan klubnya untuk bersiap-siap
memberi terjangan kuat.
"GOOOL." Teriak seluruh murid yang menonton
membuat Revan dan teman-temannya
menghembuskan nafas lega karena pertandingan ini
kembali dimenangkan oleh klubnya.

"Lo hebat Rev, salut gue." Adrian menepuk bahunya,


"Gue tau." Revan tersenyum tipis sebelum peluit
dibunyikan pertanda pertandingan ini selesai, Adrian
hanya mengedikan bahu sambil nyengir lalu
meninggalkannya sendirian.

"Hai Van."

Seseorang menepuk bahunya lalu menyerahkan


sebotol minuman isotonik dingin kesukaannya, "Oh
ya, makasih." Revan menatap gadis itu sebentar
sebelum mengambil minuman isotonik itu dari
genggaman gadis di hadapannya ini.

"Lo hebat banget tadi." Saras tersenyum manis


membuat Revan juga ikut tersenyum kaku, Revan
sebenarnya takut jika dirinya dilihat oleh Velma
sekarang.

"Minum dulu, sini gue bukain."

"Gue-"

"Diem."

Anehnya Revan hanya terdiam seolah mengikuti


perintah dari Saras, terlihat gadis itu membuka
dengan susah payah membuat hatinya sedikit
terhenyuk.
"Gue bisa kok, udah biasa tapi kok ini susah sih!?"
Saras menggerutu sambil memasang wajah konyol
menurutnya.

"Jangan dipaksa." Tangannya langsung membantu


gadis itu membuka minumannya.

Terlihat romantis memang, siapapun pasti


berprasangka bahwa mereka romantis padahal
Revan hanya melakukan ini karena kasian dan satu
hal, tidak pernah dirinya merasakan jantung berdebar
atau semacamnya orang katakan sedang jatuh cinta
jika bersama Saras ini, karena memang hanya
bersama Velma jika merasakan itu semua.

Tanpa sadar di ujung lapangan, Velma meremas


botol minuman yang dipegangnya dengan perasaan
campur aduk. Jika seperti ini hatinya malah semakin
merasa kalau dirinya tidak pantas berdekatan dengan
sosok Revan yang memang sangat disegani.

"Buat gue ya? Haus nih." Seseorang dari arah


belakang langsung mengambil botol minuman yang
seharusnya untuk pria brengsek di tengah lapangan
itu.

"Ya, ambil aja." Velma langsung menarik nafas dan


dikeluarkan lagi sambil berjalan pergi meninggalkan
lapangan yang menyesakkan ini.

Dhirga yang memang sedari tadi memperhatikan


gadis ini hanya menghela nafas pelan lalu
mengejarnya, "Eh lo tau gak?"
"Nggak." Velma hanya melirik sekilas sambil tidak
berhenti dari jalannya.

"Jadi tadi tuh ada Batman nyamar jadi Superman,


terus dia nari poco-poco di halaman sekolah sambil
makan bubur kacang ijo. Abis gitu dateng lagi Iron
Man pake baju Robocop ikut-ikutan nari. Cuma ya
gitu, taulah bajunya dari besi semua. Jatoh- jatohnya
narinya kaya orang-orangan sawah diputer-puter."

Velma menghentikan langkahnya di susul Dhirga


yang berada di belakangnya, "Eh? Lucu kan? Itu sih
dari google."

Krik..krik.. Velma memutarkan kedua bola matanya


kesal. "Ngapain sih ngikutin terus?"

"Lo maafin gue?"

"Kalo gue maafin lo, lo bisa kan gak usah deketin gue
lagi?"

Dhirga mengerjapkan matanya lalu membuang muka


ke arah lain, "Lo kenapa sih? Gue kayak gini juga
gara-gara elo! Lo yang udah buat gue jatuh cinta Vel."

BUGH

"REVAN!!" Seketika Velma menjerit ketika melihat


Dhirga terjatuh akibat pukulan Revan yang tiba-tiba
itu.
"Berani-beraninya lo ngomong suka sama Velma!"
Revan kembali menerjang Dhirga yang mencoba
untuk melawannya, "Revan! Revan udah! UDAHH!!!"

Revan terlihat mulai menenangnkan dirinya, seluruh


siswa-siswi hanya melirik takut-takut. "Kenapa? Kalo
gue jatuh cinta sama dia terus salah? Bahkan gue
sendiripun gak tau kenapa bisa jatuh cinta sama dia!"

Velma memegangi kepalanya yang pusing sementara


Revan terlihat ingin menonjok Dhirga lagi, "Revan
berhenti! kalo lo gak mau berhenti gue gak akan mau
ngomong sama lo lagi!"

Nafasnya yang berderu membuat Revan semakin


terlihat marah, Velma pun tidak mengerti kenapa
Revan itu seperti ini padahal jelas-jelas dirinya yang
seharusnya marah karena Revan dengan Saras di
lapangan tadi, bahkan Revan menanggapinya.

"Jangan sentuh Velma, Velma hanya milik gue."


Dhirga berdecih, ini untuk kedua kali dirinya babak
belur karena seorang Velma dan Revan.

"Gue gak akan nyerah sebelum Velma ngomong


langsung ke gue kalo dia bener-bener ingin lo ada di
hidupnya." Velma langsung melotot ketika mendengar
penuturan pria yang sama brengseknya dengan
Revan, oh Tuhan apa tidak ada pria tampan yang
tidak membebani hidupnya.

Velma hanya menggigit bibir bawahnya ketika melihat


Revan menatapnya tajam dalam diam, sementara
Dhirga tersenyum sinis. "Lo seharusnya sadar kalau
Velm-"
"DIEM! Apa dengan cara lo nghakimin orang lain
kayak gini bisa dapetin orang yang lo sayang? Lo
terlalu egois Dhir! Walaupun lo ada dalam daftar
nama keluarga Prayoga yang termasuk pemilik
sekolah ini, lo juga harus bisa ngehargain kakak
kelas!" Velma menatap tajam Dhirga yang terlihat
tambah terluka, Revan menghela nafas pelan lalu
menggenggam tangannya untuk pergi meninggalkan
Dhirga sendirian.

"Van."

"Kenapa lo enggak bilang aja kalo lo emang punya


perasaan sama gue?" Velma melotot sambil menatap
Revan yang masih menatapnya tajam kemudian
mengerjapkan matanya, "Gue-Gue cuma.."

"Lo gamau ngomong gitu gara-gara lo mau ngejaga


perasaan dia? Lo jatuh cinta juga sama dia!?"

"Dengan kondisi hidup gue yang seperti ini,


bagaimana bisa gue dengan gampangnya nyatain
kalo sebenernya gue jatuh cinta sama lo?" Velma
menggigit bibir bawahnya, setelah menuturkan
kalimat itu hatinya serasa merdeka.

"Velma," Revan menggenggam tangannya sambil


menatapnya tajam, "Lo harus percaya sama gue kalo
semuanya akan baik-baik aja, selama lo jadi milik gue.
Jadiin gue sebagai pelindung lo."

Seolah tersihir dengan manik indah dihadapannya itu,


Velma menggigit bibir bawahnya dan menggeleng-
gelengkan kepalanya. "Bagaimana bisa Van,
bagaimana bisa."
"Lo cukup percaya sama gue. Itu kuncinya." Revan
menatap penuh kearah Velma yang semakin pucat,
apa dia menyakitinya? Apa gadisnya itu masih sakit?

"Gue janji akan selalu ada buat lo, Vel." Matanya


berkaca-kaca tetapi tiba-tiba rasa sakit menerjang
kepalanya, semuanya seakan berkunang-kunang dan
lemas sangat lemas dia rasakan.

"Velma, lo sakit? Kenapa gak ngomong kalo lo masih


sakit!"

BRAK

"VELMA!"

őőő

19. Arti tatapan itu,

SEKUAT tenaga Revan kerahkan untuk


menggendong Velma menuju ruangan medis
disekolahnya, atau sering kita sebut UKS
(Unit Kesehatan Sekolah). Tetapi tentu saja berbeda
karena disini terdapat fasilitas yang sangat memenuhi,
Revan sama sekali tidak mengerti ternyata Velma
bisa drop seperti ini, dan asal kalian tau setelah ini
Revan tidak akan pernah lagi mengizinkan gadisnya
ini bekerja paruh waktu.

"Velma, sadar. Lo kayak gini bikin gue inget waktu


dua tahun yang lalu pertama kalinya gue ngerasain
jatuh cinta sama lo."
Sambil terus berjalan tergopoh-gopoh menyusuri
koridor, akhirnya Revan dapat menemukan ruangan
itu. Disana terdapat juga Dhirga yang tengah di obati
oleh Alsa yang memang salah satu anggota tim
medis yang sedang piket.

"Ambulan sekolah mana?" Di baringkannya tubuh


Velma diatas kasur empuk samping Dhirga yang
kelihatan syok disini. "Gak usah, gue bisa obatin dia
Van."

Revan berdecih, "Gue maunya ambulan sekolah! Kita


ke rumah sakit, gue mau Velma ke rumah sakit!" Alsa
menghembuskan nafasnya lalu berjalan kearah
Velma yang terbaring lemas lalu memeriksanya.

"Mungkin terlalu kecapean, sebaik-"

"Jangan berlaga sok jadi dokter!"

"Ambulan di pake! Lagian dia cuma kecapean. Gak


usah terlalu lebay dasar cowok naif!" Alsa mendorong
Revan agar menjauhi Velma yang akan dia periksa
sedikit-sedikit.

Revan berdiri mematung limabelas meter dari kasur


sambil menatap kearah Velma yang sedang di
periksa, jujur saja dirinya luar biasa sangat khawatir
mengenai keadaan kekasihnya tersebut. Walaupun
dirinya tidak yakin kalau Velma juga membalas
perasaannya, mencintainya tetapi tetap saja Revan
tidak peduli karena memang hatinya mengatakan
kalau dirinya sangat-sangat mencintai gadis itu.

"Lo sebaiknya tunggu di luar Van."


Revan melirik Alsa yang juga meliriknya sinis,
"Jangan harap gue ngebiarin cowok itu deketin Velma
lagi, Gak akan."

Nafasnya kembali ia hembuskan kasar "Dhirga, gue


tau lo pura-pura tidur. Sana keluar udah gue obatin
kan?"

Dhirga menghela nafas pelan sebelum membuka


matanya dan langsung beranjak tanpa melirik kearah
Velma, tatapan tajam ia layangkan kepada Revan
yang juga menatapnya tak kalah sinisnya.

"Lo cuma bisa buat dia menderita." desis Dhirga


membuat Revan kembali mengepalkan tangannya,
Alsa yang mencium bau-bau akan terjadi
pertengkaran lagi hanya memutarkan kedua bola
matanya kesal.

"Adu jotos aja terus sampe Velma ninggalin kalian


berdua."

Perkataan pedas Alsa berhasil membuat Revan


mengurungkan niatnya dan Dhirga langsung pergi
keluar meninggalkan ruangan ini, "Salahin aja gue,
dia yang duluan."

"Gue gak mau dengerin curhatan lo," Revan


mengerjapkan matanya sambil menatap kearah
cewek yang bener-bener menyebalkan dihadapannya
karena sebelumnya tidak ada yang berani seperti ini
kepadanya.

"Ngapain disitu? gue nyuruh lo keluar dari tadi."


Apalagi mengusirnya seperti itu, Revan mendengus
lalu beranjak pergi berniat menunggu Alsa memeriksa
gadisnya di luar.

"Velma kayak gini masih aja keras kepala, kasian gue


sama lo Vel."

őőő

Sejujurnya Revan ingin sekali menemani Velma -nya


di dalam, tetapi karena ambulan memang tidak ada
dan yang kebagian piket menjaga UKS nya itu nyai
rombeng mantan sahabatnya, Revan dengan berat
hati menunggu di luar sambil menyandarkan
tubuhnya ke tembok.

Setelah beberapa menit yang lalu Alsa menyuruhnya


keluar, Revan menjadi gelisah. Seharusnya dia tau
Velma belum seratus persen pulih tetapi dirinya
malah membuat masalah seperti ini. Revan rasa ini
terlalu lama untuk memeriksa Velma di dalam, apa
jangan-jangan mereka malah asik ngerumpi? Ah
Revan benar-benar ingin masuk ke dalam sekarang
juga.

CEKLEK

Alsa terperanjat melihat Revan disana membuka


pintu, "Lo malah asik-asik main hp sementara gue
nungguin di luar?" Revan mengusap keningnya
sambil berkacak pinggang di depan Alsa yang malah
melirik sinis dirinya.

"Salah sendiri, kenapa gak nanya." Alsa beranjak dari


duduknya lalu beralih ke meja yang penuh dengan
obat-obatan "Gue minta tolong jagain Velma dulu,"
"Gue mau nganterin ini ke bu Teti." Revan hanya
mengangguk di iringi Alsa yang keluar dengan alat
kesehatan di genggamannya. Setelah melihat Alsa
pergi, dirinya mendekati Velma yang masih terbaring
lemas. Wajahnya sangat pucat membuat kecantikan
kulit putihnya menjadi ikut pucat.

"Lo tau gak sih, 2 tahun lalu saat lo pingsan pas


upacara? Sebenernya itu awal gue ngerasain hal
yang beda setiap gue ngeliat lo."

Revan tersenyum sambil menatap indah wajah


menawan yang sedang di hadapannya.

2 Tahun lalu...

Flashback On

Seperti biasanya jika hari ini hari senin, banyak orang


yang mengeluh karena libur minggu yang tidak cukup.
Di tambah senin ini harus pergi pagi-pagi sekali
karena untuk mengikuti upacara bendera.

Revan menghela nafas kasar melihat perempuan di


sampingnya terus melakukan hal aneh seperti;
mengusap kepalanya pelan, meringis dan dirinya
sangat yakin kalo sebentar lagi perempuan ini akan
tumbang karena memang panas matahari yang
sangat terik pagi ini, padahal upacara kan baru di
mulai beberapa menit yang lalu.

"Lingga. Geser." Ucapnya yang malah di jawab


dengan tatapan tidak mengenakan darinya "Kenapa?
Geser."
"Gue lagi menatap bidadari, ngapain emang?" Revan
menatap Lingga kesal lalu mengurungkan niatnya.

"Jangan sekarang, please." Gadis di sampingnya ini


berkata lirih membuat Revan sekali lagi ingin
menjerumuskan gadis itu ke ruang UKS sekarang
juga. Tanpa melihat situasi apapun lagi Revan
membulatkan tekadnya untuk memanggil anggota
medis di sekolahnya "MEDIS MEDIS. ADA YANG
PINGSAN."

Seluruh anak-anak langsung melihat kearahnya dan


saat itu juga gadis di sampingnya pingsan, Revan
hanya terdiam tidak menangkap ataupun
menggendongnya begitupun anak-anak yang lain
hanya bisa melihat dan berbisik bisik, tidak lama
kemudian anggota medis datang membawa tandu
dan menggendong gadis itu menuju uks.

Lingga ternganga melihat sahabatnya peduli seperti


ini di senggolnya lengan Meka yang juga sama
tengah cengo melihat kejadian ini, Revan menghela
nafas pelan sambil melihat kearah gadis itu di bawa.

"Biar gue aja." Valdo seorang anggota medis yang


tadi membantu membawa tandu hanya mengerjapkan
matanya ketika Revan tiba-tiba datang dan merebut
genggaman tandu itu, "O-oke."

"Heh bangun, udah gue bopong nih ke UKS. Lo


harusnya bangga di bawa cowok ganteng ke UKS."

Valdo dan satu temannya hanya terdiam melihat


Revan yang tiba-tiba seperti ini, Revan yang merasa
dirinya dianehkan hanya mengulum bibirnya sambil
menghembuskan nafas pelan harus diketahui bahwa
ini kali pertama dirinya merasakan kekhawatiran yang
bahkan untuk orang yang ia tidak tau namanya.

Flashback Off

Fikirannya melayang sampai tidak sadar bahwa


dirinya pun ikut terhanyut ke dalam mimpi indah dua
tahun yang lalu, tanpa sadar juga orang yang ia
tunggu; Velma mengerjapkan matanya ketika melihat
di mana sekarang ia berada. Sambil memegang
kepalanya yang masih berdenyut nyeri, Velma
mencoba untuk bangun karena melihat jam yang
menunjukan pukul setengah tiga artinya dia harus
cepat-cepat pergi ke restoran tempatnya ia bekerja.

Tetapi suara dengkuran halus mengurungkan niatnya,


matanya langsung membulat ketika melihat Revan di
sampingnya sedang tertidur pulas. Wajahnya luar
biasa tambah tampan jika sedang tidur seperti ini,
tiba-tiba Velma merasakan pipinya
panas. Aduh, kok bisa-
bisanya gue cari kesempatan dalam kesempitan. Vel
ma tersenyum malu ia akhirnya memilih untuk
menunggu Revan bangun dengan menatapnya tanpa
harus membangunkannya.

Őőő
20. Dokter Naufal

SELURUH Adrenalin dalam tubuhnya sejenak


terhenti, ketika mengingat sesuatu hal. Senyumnya
mulai luntur, entah apa yang membuat tatapannya
sangat menyesakkan kali ini. Revan adalah sosok
yang tidak boleh ia sukai dalam hukum alam,
bagaimanapun juga kasta mereka berbeda. Tetapi
apa yang bisa dia lakukan? Dengan kehadiran Revan
di hidupnya sudah hampir mengubah semuanya, itu
salah satu hal yang semakin membuatnya tidak
berdaya.

"Velma?"

"Rev-oh itu, maaf gue.. gue enggak seharusnya..


Van, gue gak.." Velma menahan nafas ketika wajah
Revan tiba-tiba mendekat dan berada hanya
beberapa senti dari wajahnya, keningnya saling
bersentuhan membuat matanya pun ikut terhanyut
dalam tatapan indah milik Revan.

"Kenapa?"

"Gue.. gue seharusnya tadi bangunin lo? Maaf, maaf


banget."

Revan tersenyum kecil membuat Velma lagi-lagi


menahan nafas, "Lo natap gue lama?"

"E-enggak. Gue baru aja mau bangunin." Velma


mendesis sambil menatap bola mata indah milik
Revan yang perlahan menormalkan posisinya lagi,
"Lo sakit apa?"
"Capek. Kecapean, gue udah mendingan sekarang."

"Lo tetep disini, gak ada yang harus kerja lagi."


Velma melotot mendengarnya "Kalo lo butuh bantuan,
gue bisa."

"Revan. Kayaknya kita gak perlu ngomongin yang


kayak gini dul-"

"Gue cuma mau meluruskan."

"Kalo gitu, lo tetep jadi diri lo sendiri dan gue tetep


jadi diri gue sendiri. Gaada yang harus ngekang
apapun, ini hidup gue Revan."

Velma mendengus, baru saja dirinya berfikir kalau


kondisinya seperti ini bisa membuat Revan luluh.
Tetapi nyatanya malah semakin mengekangnya
seperti ini, tidak bisakah Revan berfikir di kekang itu
tidak enak. Di sampingnya, Revan tampak terdiam.
Bagaimanapun juga dirinya hanya khawatir kalau
Velma kenapa-napa itu saja.

"Kalo gitu, kita perlu ke rumah sakit sekarang juga."

"Gue gapapa, lo-"

"Ke rumah sakit sekarang." Velma menutup


mulutnya ketika mendengar suara milik Revan yang
penuh penekanan, bahkan ibunya sendiri pun tidak
pernah terlihat sekhawatir ini kepadanya. Revan
memang terlalu berlebihan.

őőő
Velma menatap Revan yang tengah mengendarai
mobilnya dengan cemas, ini kali pertama dirinya pergi
ke rumah sakit. Bagaimana kalau dirinya melakukan
hal-hal bodoh atau penyakit yang di deritanya terlalu
parah sehingga dokter tidak mau menanganinya dan
itu mempermalui Revan di depan umum.

Oke ini sangat mendramaking sekali, tetapi sungguh


hati sekaligus jantungnya sangat berdebar walaupun
hanya mengunjungi rumah sakit apalagi bersama
lelaki tampan di sampingnya ini. Revan yang sedari
tadi memperhatikan mimik wajah gadisnya mulai tidak
nyaman, dari awal pertama kali bertemu di upacara
hari senin waktu itu memang dirinya sudah
menyimpulkan bahwa Velma adalah tipikal
perempuan yang selalu memikirkan sesuatu sendirian.

"Gak usah mikir macem-macem."

Velma mengerjapkan matanya lucu dan saat itu juga


Revan tersenyum tulus, "Gue bisa baca pikiran
orang."

"B-bohong." Senyumnya semakin lebar ketika


melihat Velma mulai tidak nyaman "Gue gak nuntut lo
untuk percaya sama gue."

Velma terdiam sambil menatap lurus ke


depan, Bagaimana kalau iya? jadi selama ini..
Selama ini Revan bisa baca pikiran orang? Revan
hendak tertawa saat itu juga tetapi dirinya
mengurungkan niat karena mobilnya sudah terparkir
indah di depan rumah sakit milik ayahnya ini.
"Lain kali, ngomong aja kalau ada apa-apa."

"Percuma. Gue ngomong kan lo udah tau," Velma


membuka pintu mobil sambil melirik takut ke arah
Revan yang malah menatapnya aneh. "Jangan polos
polos jadi cewek."

Velma hanya diam, bau khas rumah sakit mulai


menyeruak terhirup oleh hidungnya. Velma berjalan
lebih depan beberapa langkah dari Revan yang
tengah memasukan tanganya kedalam saku
celananya. Orang-orang yang berada di depan rumah
sakit hampir seluruhnya menatap kearah Revan yang
membuat Velma sedikit jengkel saat itu juga.

"Jangan cemburu, Di hati gue cuma ada lo doang."


Velma mendengus ketika cowok itu tiba-tiba ada di
sampingnya, rupanya Revan merasakan hal itu juga
"Ikut gue."

Jemarinya ia tautkan di antara jemari lentik milik


gadisnya itu dan menggiringnya ke salah satu
perawat di sana. "Permisi, bisa antarkan saya ke
dokter Naufal?"

"Tuan Revan." Perawat itu menatapnya dengan


tatapan tak percaya perawat itu pun memandangi
gadisnya dengan tatapan takjub dan segera
membungkuk lalu tersenyum segan membuat Velma
di sampingnya kebingungan "Ya. Bisa bantu saya?"

"Sebaiknya tuan mengisi pe-"

"Tidak perlu dan tidak mau di bantah. Cepat


antarkan saya ke dokter Naufal." Velma hanya
terdiam sambil menggigit bibir bawahnya, Revan
memang keras kepala.

"Baik tuan." Perawat itupun langsung menggiring


Revan ke ruangan dokter Naufal di sebelah utara,
"Dokter Farhan tidak sedang tugas kan?"

"Saya bisa panggilkan jika tuan-"

"Saya hanya bertanya."

"Ti-tidak." Revan mengangguk-anggukan kepalanya,


setelah sampai Revan langsung memasuki ruangan
itu tanpa mengucapkan sepatah apapun kepada
perawat yang mengantarkannya hanya Velma yang
tersenyum sopan kemudian mengikuti langkah Revan
di depannya.

"Van,"

"Hm." Velma mencuri-curi pandang kepada Revan di


sampingnya, ingin mengatakan sesuatu tetapi
kelu. Sudahlah, turuti kemauannya.

"Revan?"

"Ya. Tolong periksakan Velma."

Velma menggigit bibir bawahnya ketika melihat


tatapan mengintimidasi dari dokter dihadapannya ini
yang errr tampan, walaupun tidak setampan Revan
tetapi tetap saja terlihat berkharisma, lagi pula Revan
terlalu to the point membuatnya jengkel. Tetapi
beberapa detik kemudian, tatapan dokter itu
menghangat membuat Velma menyunggingkan
senyum tipisnya.

"Saya kira kamu pacaran dengan anaknya dokter


Farhan." Revan mendengus sementara Velma hanya
mengerjapkan matanya tidak mengerti, "Sudahlah
periksakan cepat. Saya tidak mau menunggu lama."

"Baiklah Tuan Revan." Dokter Naufal tersenyum lalu


beranjak menghampiri Velma dengan senyuman
manisnya sungguh menawan, Velma sendiri tidak
berkedip ketika melihatnya.

"Sepertinya gadismu itu tertarik kepadaku," Velma


mengerjapkan matanya lagi ketika dokter Naufal
sudah mengambil alat kesehatannya itu, "Kau boleh
datang ke apartemen ku di-"

"Sudahlah dokter, periksakan cepat." Revan


mendengus sambil menyenderkan badannya di
dinding dan bersedekap dada melihat pemandangan
itu, dokter Naufal memang terkenal dengan sejuta
kharismanya yang kuat selain itu dokter Naufal juga
masih muda.

Naufal terkekeh melihat Revan bersikap seperti itu,


di periksanya Velma yang malahan terus
memperhatikanya sedari tadi.

Drrt.. Drrt..

Velma dan Naufal langsung menoleh kearah suara


milik ponsel di saku Revan, dengan cekatan Revan
langsung mengambilnya dan melihat siapa yang
menghubunginya saat ini.
"Jangan menggodanya, dia sudah cinta mati
kepadaku." Revan menunjuk Naufal dengan tatapan
tajam, "Enggak kebalik ya." Desis Velma yang malah
membuat Naufal tertawa.

"Sudahlah, saya akan merawatnya dengan baik.


Apalagi dia cantik seperti tipeku."

"Kalau kau membuat dia jatuh cinta, saya tidak


segan-segan menendangmu jauh-jauh."

"Yayaya saya mengerti." Dengan cekatan dokter


Naufal memeriksakan tanda tanda vital kepada
Velma.

"Telepon penting." Setelah berbicara seperti itu


Revan langsung keluar ruangan membiarkan Velma
bersama Naufal berdua, "Kamu suka mimisan?"

Velma mengangguk, dirinya tidak bisa berkata apa-


apa lagi karena rasa takut sekaligus malunya. Malu di
periksa oleh dokter ganteng seperti Naufal ini
"Bisakah kita berbicara serius?"

"Tentu saja."
21. Tidak Semudah Itu

VELMA terdiam, diam adalah satu-satunya cara


untuk menenangkan hatinya saat ini. Setelah
beberapa menit yang lalu, sudah dia duga, hal yang
selama ini dia takutkan akhirnya berujung kenyataan.
Velma bingung, apakah yang dilakukannya kini benar
atau justru tambah membahayakan dirinya.

Walaupun dirinya tergolong ke dalam kategori


peringkat atas dalam hal pengetahuan, tapi sungguh
mengenai penyakit ini dirinya sama sekali tidak ingin
mengetahuinya. Velma menggigit pelan bibir
bawahnya sambil menghirup nafas pelan, tatapannya
kosong saat ini biarkan dirinya berfikir sebentar.

Dokter Naufal yang berada tepat beberapa centi di


belakangnya hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya, tadi gadis itu memintanya untuk menutup
mulut tentang hal ini. Tentu saja dirinya tidak mau
melakukannya, bisa terluka harga diri dokter yang
melekat padanya. Tetapi jika melihat keadaan Velma
yang memang sangat sulit, harga dirinya juga seolah
terinjak kembali mengingat dulu dirinya pernah
mengecewakan gadis kecil yang berujung kepahitan
dan efeknya masih membekas sampai saat ini.

Dan keputusan dealnya, dia akan melakukannya,


sekalipun nyawa taruhannya jika Revan
mengetahuinya, "Baiklah," Dokter Naufal beranjak
dari tempat duduknya. Velma terlihat sedikit
menolehkan kepalanya walaupun matanya tetap lurus
ke satu arah di depannya.
"Saya akan menutup mulut pada semua orang
tentang hal ini, asalkan dengan satu syarat."

Velma mengerjapkan matanya lalu menatap dalam


ke arah dokter Naufal yang terlihat menyunggingkan
senyum masamnya, berharap dokter Naufal benar-
benar membantunya saat ini.

Sepersekian detik selanjutnya, Velma mengangguk


pelan.

őőő

Sambil memegangi tangan mungil indah milik Ran,


Revan mengusap kening gadis kecil itu. Di dunianya
hanya Ran yang selama ini selalu berada di sisinya,
apapun itu Revan berjanji akan selalu
menomorsatukan adiknya ini. Semampu mungkin.

Setelah sejam yang lalu dirinya meninggalkan


Velma dan dokter Naufal di ruangan itu, Revan mulai
terlihat gusar. Memang dirinya bisa dibilang jahat
karena sudah memaksa gadis itu untuk ke rumah
sakit dan setelah itu malah meninggalkan Velma
begitu saja sendirian.

Matanya terus-terusan melirik kearah pintu,


berharap dokter Farhan cepat kembali setelah tadi
meminta izin untuk pergi ke lab memeriksakan
sesuatu karena Ran belum juga sadar. Revan
mengusap wajahnya pelan, seluruh kepalanya hanya
di isi oleh bayang-bayang gadisnya saja. Apalagi
nanti lusa dirinya akan melakukan kegiatan camping.
Untung saja dirinya sudah menghubungi Naufal
untuk mengetahui keadaan Velma yang katanya baik-
baik saja dan hanya kecapean, itu lumayan membuat
hatinya lega saat ini walaupun ada sedikit perasaan
tidak enak yang sedari tadi terus mengganjal di
hatinya.

"K-kak.."

Walaupun dirinya tau menyayangi Velma itu salah


satu resiko yang sangat besar, Revan akan tetap
berjuang. Lebih baik mengejar Velma kan daripada
mencari orang pengganti yang sama seperti Velma,
itu susah. Bahkan tidak akan ada lagi di dunia ini.

"Kak.. Evan."

Revan mengerjapkan matanya dan langsung


menoleh kearah samping, senyumnya merekah
ketika melihat Ran sudah sadar dengan segera
Revan beranjak dari tempat duduknya "Tunggu disini
sebentar, kak Evan mau manggil dokter ya?"

Ran mengangguk lemah sambil menatap sekeliling,


matanya memancarkan harapan yang tidak
terbalaskan. Ran berharap kedua orang tuanya ada
di sini, menemaninya. Walaupun dirinya sangat masih
kecil untuk mengerti urusan dewasa tetapi tetap saja
Ran butuh kasih sayang dan berbagai bentuk
perhatian dari orang tuanya, untuk sama seperti yang
lain juga untuk menguatkan dirinya bertahan di dunia
ini.

őőő
Setelah menerima satu pesan dari Revan, Naufal
langsung mengajak Velma untuk pulang walaupun
gadis itu bersikeras menolak di antarkan olehnya.

"Kamu saya antarkan saja."

Velma tersadar dari lamunanya dan langsung


menatap dokter Naufal yang sedari tadi hanya
memainkan ponselnya, "Revan terlihat sangat sibuk."

"Oh, e-em.. gak usah." Terlihat kernyitan dahi milik


dokter Naufal membuat Velma mengerjapkan
matanya "Ja-jangan, kalau gitu saya bisa pulang
sendiri."

"Revan akan mengamuk jika tahu kekasih hatinya


pulang sendirian," Dokter Naufal tersenyum kecil
membuat pipinya merona seketika, "Kamu sangat
menarik, tetapi sayangnya milik orang lain. Dan itu
Revan, jika tidak sudah saya ajak ke pelaminan
kamu."

Velma mengerjapkan matanya sambil memasang


wajah takut, Naufal menyadarinya dan langsung
memamerkan tawaan di bibirnya yang sangat
menawan, "Saya hanya bercanda, bisakah kita
langsung ke mobil atau memang kamu mau berlama-
lama di sini bersamaku?"

"B-baiklah, kita ke mobil sekarang." Velma langsung


gelagapan menuju pintu keluar, sementara Naufal
menyunggingkan senyuman gelinya sambil menatap
gadis itu yang sekarang mendahuluinya, padahal
dirinya yakin seratus persen kalau Velma tidak tau
mana mobil miliknya itu.
Dan benar saja, tepat beberapa langkah di parkiran
sana, Velma berdiri menunggunya. Naufal hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil merogoh
kunci mobil di dalam saku jins nya, Velma meliriknya
sekilas lalu mengikutinya dari belakang.

"Kenapa kamu malah berhenti?"

"Saya tidak tahu harus kemana,"

"Ikuti saja."

Velma mengangguk pelan, Naufal berusaha


mensejajarkan langkahnya dan langsung melangkah
menuju mobilnya yang sudah terlihat di sana.

Brugh

"Akhirnya mobilku kembali di naiki oleh gadis cantik


lagi," Naufal terkekeh membuat Velma semakin takut
"Jangan panggil dokter di sini ya? Aku gak lagi
bekerja."

"I-iya," Velma hanya mengangguk pelan lalu


menghirup nafas sebanyak-banyaknya. "Bisa
ceritakan bagaimana Revan bisa jatuh cinta
kepadamu?"

Kepalanya langsung ia tolehkan ketika Naufal


melontarkan kalimat yang membuatnya mengingat
sesuatu "Saya juga tidak tau, Revan datang lalu
membuat saya kesal dan langsung menyatakan
bahwa sekarang saya pacarnya."
Naufal terkekeh, "Revan memang belum pernah
pacaran setauku."

Senyuman malu tersungging di bibir tipisnya, Velma


merasa bersyukur kalau dirinya yang seperti ini bisa
membuat seorang Revan jatuh cinta. "Tetapi kamu
harus selalu ingat ini, Velma."

Velma menatap Naufal yang tengah memfokuskan


pandangannya ke depan, menunggu kalimat apa
yang akan dilontarkanya setelah itu. "Keluarga
Prayoga tidak akan semudah ini menerima kamu
sebagai kekasih Revan,"

"Bagaimanapun juga, Revan anak pertama dan


yang paling di banggakan. Akan menjadi penerus
keluarga Prayoga yang hebat ini, dan asal kamu tau.
Minggu depan, Ayah dan Ibu dari Revan akan pulang
kembali ke Indonesia."

Velma mengerjapkan matanya lalu menatap lurus ke


depan, hatinya tidak enak sangat tidak enak.
Berbagai argumen berkecamuk di dadanya,
mengenai segalanya. Tentang ketakukan akan
kehilangan sosok yang selama ini telah membuat
percaya dirinya kembali, Revan.

Tidak semudah itu..

őőő
22. Tanpa Di Sadari

SELURUH siswa terlihat sangat sibuk, dengan


berbagai perlengkapan camp yang di bawa mereka.
Hanya saja terlihat Revan yang malah mendengus
sambil melihat layar ponselnya yang lagi-lagi
menampilkan hal yang membuat mood nya semakin
turun saja, Panggilan Tidak Di Jawab. Revan
menyenderkan bahunya ke tembok dan
mengedarkan pandanganya ke seluruh penjuru
sekolah, masih tidak terlihat. Sosok itu membuat
dirinya ingin memakanya sekarang juga, padahal
perlengkapan sudah ia kirimkan kemarin sore. Atau
jangan-jangan dia marah gara-gara perlengkapan itu?
Oh ayolah, Revan melakukan semua ini tulus karena
rasa sayangnya.

"Revan,"

Kepalanya langsung ia tolehkan ke arah suara, tepat


di sampingnya ada Saras yang memakai
perlengkapan lengkapnya. Menawan dan cantik,
memang kenyataanya tetapi sifat yang kadang sering
menyakiti orang lain membuat dirinya tidak jauh
seperti benalu yang terselip di antara bunga-bunga
mawar yang indah.

Revan menormalkan posisinya, "Ya?"

"Boleh gak? Gue duduk sama lo." Saras tersenyum


manis sambil menatap Revan yang membalasnya
datar, terlihat lawan bicaranya yang seperti itu
menciptakan kerutan tidak enak di keningnya.
"Oh iya, Meka sendirian dan dia butuh temen
cewek." Revan menarik Meka yang berada tidak jauh
dari tempatnya, Meka yang sebelumnya mendengar
perkataan Revan hanya mendengus lalu nyengir.

"Mau sama gue Ras? Saras, oh tidak. Saras lo jadi


cewek gue sekarang." Meka menaik turunkan alisnya
menggoda Saras yang memasang wajah cengonya.

"Tapi Revan, gue maunya sama lo!"

Saras menarik tangan Revan yang membuat Meka


hanya diam tidak berkutik, sambil menghela nafas
pelan Revan tersenyum. "Maaf Saras gue ada
urusan."

"Velma kan!? Cewek itu lagi! Berhenti ngejar dia


Revan, cewek yang kayak gitu gak pantes buat di
perjuangin. Lo dari keluarga Prayoga, gak sela-"

"Diem. Jangan ngatur hidup gue, lo tutup mulut atau


gue bikin hidup lo hancur."

"Silahkan, gue akan bilang semuanya, dan bokap


gue pasti akan ngelakuin sesuatu kalo tau lo selalu
ngacuhin gue, tunggu itu, Revan."

Revan menghembuskan nafas kasar setelah itu lalu


beranjak pergi mencari gadisnya itu lagi, tidak mau
memperpusing keadaan dengan gadis yang satu ini.
Waktunya juga tinggal 25 menit dan ini cukup baginya
untuk menyusul Velma ke rumah.

őőő
Karena paksaan ibunya, Velma ikut serta di
acara camp kali ini. Sebelumnya dari kelas satu,
dirinya tidak pernah berpartisipasi sedikitpun
mengenai acara sekolah semacam ini. Terlebih
perlengkapan berlebihan dari Revan yang membuat
ibunya semakin membujuknya untuk ikut. Sangat
menyebalkan.

Bukan karena apa, hanya saja dirinya terlalu takut


terjadi hal yang tidak di inginkan dan semakin
membuat orang-orang di sekelilingnya membantunya,
oh sungguh merepotkan dirinya ini.

Sudah satu jam lamanya dirinya menunggu mas


angkot atau bajaj atau mas ojek lewat. Tetapi sama
sekali tidak ada, kalau begini caranya Revan pasti
mengamuk di sana menungguinya. Yaampun? Velma
terlalu percaya diri berharap Revan menunggunya di
sana. Ah ya memang Revan tadi bersikeras untuk
menjemputnya dan tentu saja dirinya menolak, Velma
tidak mau Revan terlalu berperan dalam
kehidupannya.

Tiin.. Tiin..

Velma menoleh ke samping kiri, ada sebuah mobil


yang berhenti di depannya. Oh apa dirinya terlalu
banyak melamun dan melalui beberapa spesies
angkot yang lewat tanpa sadar seperti ini, sehingga
mobil mewah yang berhenti di hadapannya saja tidak
disadarinya.

"Lo mau ke sekolah kan? Biar gue anterin." Sosok


Dhirga muncul setelah kaca mobil itu menurun,
Velma mengerjapkan matanya. Dhirga, sudah lama
dirinya tidak mengobrol atau bertegur sapa semenjak
kejadian itu.

"E-enggak usah." Velma menatap Dhirga yang juga


menatapnya dengan tatapan sayu membuat Velma
sedikit merasa bersalah, tetapi bagaimana bisa jika
dirinya menolak Revan dan pergi bersama Dhirga
saat ini.

"Ayolah, gue cuma mau nganterin lo."

Entah cuma perasaanya atau memang Dhirga kini


berubah bersikap dingin kepadanya, Velma sedikit
mencelos mendengar penuturan pria di hadapannya
ini. Sejenak dirinya melirik jam dinding di
belakangnya, memang di halte bus daerah sini di
sediakan jam dinding yang tentunya sangat berarti
bagi Velma.

"Baiklah," Dengan berat hati, kakinya ia langkahkan


ke arah mobil Dhirga. Pemiliknya hanya menatapnya
dengan tatapan yang sulit di artikan bagi Velma dan
itu membuatnya sedikit cemas.

Tepat saat dirinya hendak membuka pintu mobil,


sebuah mobil lain yang tidak kalah mewahnya
menghimpit tubuh kecilnya. Kini tubuh kecilnya
berada di antara mobil mewah yang di dalamnya
sama-sama terdapat pria yang sangat tampan, oh
Tuhan mimpi apa dirinya semalam.

"Jangan bergerak Velma. Kita berangkat bersama."

Suara dingin itu membuat tenggorokannya tercekat,


Revan. Pria itu, ah dirinya sudah menduganya kalau
Revan akan mencarinya seperti ini. Sepersekian detik
selanjutnya, kedua kaca mobil di sampingnya
menurun membuat kedua sosok itu terlihat.

"Terimakasih sudah menawari Velma, tetapi sayang


lo kurang cepat." Revan menghela nafas, Revan
terlihat duduk di belakang supir karena memang
selama camp tidak boleh membawa mobil.

"Ya. Lain kali, jangan biarkan Velma pergi sendirian.


Kalo lo lengah sedikitpun gue akan berusaha keras
untuk merebutnya dari lo. Jangan berpikiran kalau
gue takut, gue cuma gak mau nyakitin Velma." Dhirga
melirik sinis Revan yang terlihat diam mematung lalu
menjalankan mobilnya dan segera meninggalkan
tempat ini.

"Masuk." Bisik Revan pelan membuat Velma


langsung gelagapan dan mencari pintu mobil yang
akan di masukinya, dengan sekuat perasaanya
Velma akhirnya duduk di samping Revan yang terlihat
menghembuskan nafas pelan membuat hatinya
semakin cemas saja.

őőő

Dhirga membanting setir mobilnya ke sebuah rumah


berwarna peach di sana, rumah yang mewah inilah
yang selama ini menjadi pelabuhan dirinya jika
sedang mengalami keterpurukan. Sungguh, dirinya
berterimakasih kepada Tuhan karena sudah
memperkenalkan dirinya kepada gadis ini.

"Lo kenapa deh? Tadi pagi lo antusias mau main ke


rumah gue."
"Orang tua lo? Mana? Biasanya nyambut gue." Rosi
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil cemberut.
"Gak ada! Mereka kondangan, gue gak di ajak."

"Oh." Dhirga melangkahkan kakinya dan duduk di


kursi depan sana sementara Rosi memasang muka
kesalnya.

"Gue ketemu Velma di jalan."

"Ha, siapa?"

"Velma."

"Yang nanya ya mas, jan kegeeran." Rosi mengikat


rambutnya dan langsung nyengir kuda ketika Dhirga
menatapnya tajam. "Gue serius, dan endingnya
selalu sama."

"Lagi?" Dhirga mengangguk lesu. "Gue harus


gimana lagi, Ros?" Rosi yang memakai baju lotso
berwarna pink lucu dengan celana kolornya hanya
menghela nafas pelan lalu mendekati Dhirga.

"Mengenaskan." Tanganya ia gunakan untuk


mengusap kepala Dhirga yang lembut, Dhirga hanya
mengangguk pelan. Ini kebiasaan barunya, jika
sedang sedih dirinya akan meminta sendiri tetapi
Rosi kini peka.

"Sekalipun dia terus ngedorong gue buat ngejauh,


ngusir gue sekalipun. Gue tetep gamau, karena apa?
Karena sekalipun gue berusaha keras mencari cara
untuk membencinya, gue tetep gak bisa."
Rosi duduk menyila di samping Dhirga. "Dhir,
sebenernya gue baru kali ini ngeliat cowok galau,
mokad ae sonoh." Dhirga hanya meliriknya sekilas
lalu menyenderkan punggungnya ke belakang.

"Ha, gabisa diajak canda lo ah. Gimana kalo kita ke


bioskop? Daripada gila mikirin kakak kelas yang mau
keluar."

"Boleh juga, nonton the conjuring 2?"

"Sinting. Gumoh gue liat valak, gak! Nonton Dear


Nathan atau gak yang romance aja deh."

"Lo lebih sinting, belum ada di bioskop tai. Mokad ae


sonoh."

Rosi nyengir kuda lalu mengintruksikan Dhirga untuk


menungguinya di sini dan Rosi ngacir ke dalam
rumah untuk berganti baju, entah sejak kapan dirinya
mengakui kalau mereka memang dekat. Dan tentang
perasaannya sendiri, entahlah. Terlalu kejam jika di
ungkapkan.

Dan bagi Dhirga, walaupun Rosi bukan sahabat


yang baik dalam hal mendengarkan dan memberi
solusi tetapi jujur saja Dhirga sudah nyaman
mengungkapkan semuanya kepada gadis ini, terlebih
Rosi mempunyai berbagai macam cara agar dirinya
melupakan Velma ketika bersama gadis ini.

őőő
23. Pesona Revan

KEDUANYA terdiam, tidak ada yang mau


mengalah untuk mencairkan suasana. Velma melihat
ke arah jalan begitupun dengan Revan. Hanya
hembusan nafas gusar keduanya yang terdengar.
Sepersekian detik kemudian, Revan nampaknya
sudah tidak tahan.

Walaupun begitu, yang mampu dilakukannya hanya


mencuri-curi pandang ke arah Velma. Oh kalian pasti
gemas sendiri melihat tingkah mereka ini, sungguh
memalukan sudah mau keluar SMA namun masih
tidak berpengalaman berduaan dengan sang pacar.
Ketika lampu merah menyala, Velma menghela nafas
yang membuat Revan meliriknya, merasakan sesuatu
Velma melirik lelaki di sebelahnya juga. Akhirnya
tatapan mereka bertemu, tetapi sepersekian detik
selanjutnya mereka langsung mengerjapkan matanya
dan pura-pura tidak ada yang terjadi.

Oh ayolah, Revan gemas sendiri merasakanya


sementara supirnya di depan hanya mengulum
bibirnya melihat keduanya. Sungguh memalukan
bukan, untuk pertama kalinya seorang Revan
merasakan keadaan seperti ini. Setelah di pikir-pikir,
lebih baik dirinya yang duluan mencairkan suasana.

"Maaf."

"Maaf."

Demi pantat semok burung perkutut, sekalinya


berbicara, barengan seperti ini. Revan menggaruk
belakang tengkuknya lalu tersenyum datar,
sementara Velma hanya menggigit bibir bawahnya.
Dia yakin, perasaannya tidak jauh seperti dirinya saat
ini.

"Sudah sampai tuan." Tidak lama setelah itu mobil


berhenti di depan sekolahan, Velma mengerjapkan
matanya ketika mobil yang di naikinya menjadi
sumber pusat perhatian saat ini. Bagaimana tidak?
Seluruh sekolahan pasti mengetahuinya, mengetahui
kalau mobil ini milik Revan. Revan Prayoga, yang
sekarang malah terdiam sambil memasang wajah
lugunya.

Sebenarnya Velma tidak kuat ingin mencubitnya


atau sekedar berbicara "Jangan memasang wajah
seperti itu! Dasar Revan. Bikin mimisan tau gak
sih." Tetapi karena rasa gengsinya, Velma hanya bisa
ikut terdiam.

Mobil sudah sampai-pun, keduanya hanya bisa


terdiam.

"Lo diem di sini, biar gue yang bukain pintu mobil


dan kita sama-sama keluar ya."

Velma menoleh ke arah Revan yang juga


menatapnya, kemudian mengangguk pelan sambil
tersenyum kecil. "Pak ingat pesan saya." Setelah itu,
Revan keluar dari mobil.

Terdengar suara jeritan anak perempuan di


sekolahnya membuat Velma sedikit kesal, walaupun
begitu dirinya yakin kalau tidak akan ada yang berani
menerornya seperti kejadian yang lalu, karena Revan
pasti akan melindunginya dan malah membuat orang
yang menerornya bersujud meminta maaf kepadanya.

"Ayo," tanpa sadar Revan sudah ada di sampingnya


sambil mengulurkan tangan, Revan terlihat tersipu
tetapi tetap tegas seperti biasanya. Velma saja
hampir pengap-pengap di perlakukan seperti ini.

Sambil mengangguk, Velma membalas uluran


tangan Revan lalu keluar dari mobil dengan
menunduk. Sudah ia duga, seluruh pasang mata
menatap keduanya apalagi kearah genggaman
tangan Revan. Tetapi di balik itu semua tidak ada
sedikitpun yang berani memaki, seperti "Heh buruk
rupa! Sadar diri dong, di sandingkan dengan
pangeran macam Revan? Hell No!"

Revan mengeratkan genggamanya lalu berbisik,


"Jangan nunduk nanti mahkota lo jatuh." Velma
mengerjapkan matanya lalu dengan refleks ia
mengusap kepalanya, tidak ada mahkota atau benda
apapun apa tadi ia salah dengar?

"Tenanglah, gue ada di sini. Gak akan ada yang


berani ganggu lo, gue jamin." Revan berbicara tetapi
pandangannya tetap lurus ke depan membuat Velma
tersipu dan lebih leluasa memandangi wajah Revan
dari pinggir sini.

Ini adalah hari yang mungkin tidak akan di lupakan


olehnya, terimakasih Revan.

őőő
Sedari tadi, Alsa memperhatikan gerak gerik Saras.
Ada yang tidak beres, Alsa yakin pasti akan ada
sesuatu di camp nanti dan untuk meyakinkan hatinya,
Alsa duduk di sini sambil berpura-pura
mendengarkan musik dengan memakai headset di
telinganya.

"Apa gak berakibat fatal, Sar?"

"Apanya si? Kalian takut gitu, cemen banget.


Tinggal lakuin apa yang udah Resta dan gue
rencanain."

Resta? Mendengar nama itu, Alsa termenung. Jadi


selama ini, Resta sudah tidak mengikutsertakan
dirinya? Apa jangan-jangan Resta sudah mulai curiga,
Alsa menghembuskan nafas gusar.

"Eh itu, itu Revan! Gila keren banget."

Tiba-tiba banyak siswi yang memuji Revan membuat


Alsa mengernyitkan keningnya, di tempat Saras
berkumpul juga terlihat sangat heboh. "Revan milik
gue, gila dia abis darimana ya?"

"Eh tunggu deh Sar, perasaan gue gak enak.


Kayaknya Revan bawa cewek."

"Mampus, demi apa? Velma?"

"Ah masa Velma? Setau gue, Revan gak bakalan


ngizinin seorangpun buat naik mobil barengan gitu
deh."
"ANJIR WOY! SAMA VELMA!" Teriakan Riska
membuat retakan yang amat keras di bagian ulu
hatinya, Saras mengerjapkan matanya lalu menatap
benci kearah Revan dan Velma yang tengah
bergandengan di depan sana.

"Silahkan bersenang-senang dulu Van, setelan ini


gue gak akan ngebiarin lo sama Velma lagi. Cukup
sampai di sini aja." Desisnya lalu menghentakkan
kakinya menjauhi kerumunan yang menyesakkan ini.

őőő

Kepalanya kembali berdenyut, ini bukan yang


pertama kalinya di hari ini. Tadi pagi-pun, kepalanya
kembali nyeri. Velma memejamkan matanya sejenak
sambil menyandarkanya di kursi yang di tempatinya,
karena sebelum berangkat kita ada sesi berdoa
terlebih dahulu.

Revan yang berada di sampingnya terlihat sangat


cemas, banyak yang memperhatikanya tetapi tidak ia
perdulikan. Revan malah mengeratkan genggamanya
sampai Velma membuka matanya kembali dan
menatapnya.

"Lo, baik-baik aja?" Mendengar penuturan itu


bibirnya mulai melengkung menampilkan wajah
cantiknya lewat senyum. Velma menggeleng pelan.
"Boleh gue pinjem bahu lo?"

"Dengan senang hati." Velma menghembuskan


nafas pelan lalu beralih menyenderkan kepalanya ke
bahu Revan yang terlihat khawatir.
Sejak tadi, tanganya gatal ingin membelai rambut
gadisnya ini tetapi gengsinya mengalahkan
semuanya. Revan hanya memperhatikan lekuk wajah
Velma yang sangat cantik, seketika pipinya memanas
dan mulai mengalihkan pandanganya. Bisa-bisa
diabetes liat yang manis-manis terus.

"SEMUANYA MARI KITA KE MOBIL MASING-


MASING YA. SUDAH DI BAGI KAN DI HARI
SEBELUMNYA."

Revan terdiam, berada di dekat Velma hampir bisa


melupakan semuanya. Berdo'a pun tidak di sadarinya
waktu berjalan begitu saja, teman-temanya mulai
berdiri dan pergi ke mobilnya masing-masing.
Sedangkan gadisnya masih menyandarkan
kepalanya di bahunya.

"Vel.."

"Velma."

Masih tidak ada jawaban, Revan kembali khawatir


jangan-jangan Velma pingsan seperti kejadian
kemarin. Tanganya mulai membelai pipi Velma yang
malah membuat fokus pandangannya salah, bibir
gadisnya tipis dan berwarna pink natural tidak ada
sedikitpun make up di wajahnya. Perlahan Revan
mulai melupakan semuanya, kepalanya ia dekatkan
ke arah Velma.

"Revan!"

Velma membuka matanya dan saat itu juga Revan


mengerjapkan matanya, deru nafas pria itu sangat
dekat bahkan bibirnya nyaris saja bersentuhan
dengan miliknya. Ada apa ini? Velma menatap
bingung ke arah Revan yang mulai menjauhkan
wajahnya. Pipinya memanas, dan pastikan sekarang
wajahnya merah.

"Revan, tinggal lo sama Velma. Kita nungguin kalian,


tapi lo malah mau ci-"

"Oke, kita ke mobil." Revan melotot membuat Lingga


yang memanggilnya tadi hanya mengulum bibirnya,
Velma sama sekali tidak mengerti. "Kenapa lo gak
bangunin gue aja."

"Gue mau bangunin lo kok. Keburu lo bangun."


Revan membuang muka membuat Velma semakin
tidak mengerti. "Membangunkan dengan cara indah."
Lingga terkikik membuat Revan melotot menatapnya.

"Jangan dengerin dia, gak ada yang ketinggalan


kan?"

"Enggak."

őő
24. Sebuah Lagu

<Percayalah - Afgan ft Raisa>

VELMA masuk ke dalam mobil bersama Revan


dibelakangnya, seluruh mata tertuju kepada mereka.
Revan hanya berdehem lalu menautkan jari
tangannya membuat gadisnya itu tersentak ingin
melepaskan genggamannya tetapi pria itu
menggenggamnya sangat erat. Hanya ada dua kursi
tersisa, di samping Lingga dan di samping Alsa.

Velma langsung memilih tempat di samping Alsa,


dengan pelan melewati teman-temannya yang
memandang tajam ke arahnya, Revan melepaskan
tautannya lalu duduk di samping Lingga sambil terus
menatap ke arah Velma didepannya yang hanya
dibatasi dengan satu kursi lagi.

"Tidur lo Van, ntar di lanjutin lagi di sana." Lingga


menyenderkan punggungnya sambil mencari posisi
yang enak untuk tidur. Revan meliriknya sekilas lalu
kembali menatap Velma dari belakang. "Gue pengen
duduk samping Velma."

Perkataan Revan barusan langsung membuat


Lingga melotot, "Kebelet lo? Anjir Van, keluar SMA lo
bakalan kuliah kan? Gak langsung nikah?"

"Ya, maka dari itu gue pengen deket sama Velma."

"Anjir," Lingga mengusap kepalanya sambil


menggeleng pelan "Eling Van, jangan main sembur
aja. Velma juga pengen punya masa depan yang
cerah."
Revan mengerutkan keningnya sambil menatap
Lingga di sampingnya. "Lo kira gue bakal ngapain
Velma sih?"

"Nik-"

"Gue cuma duduk bareng Velma. Lo chat Alsa


sekarang, lagian lo juga bisa modus." Lingga
mengangguk sambil nyengir membuat Revan
menyandarkan punggungnya ke kursi bus.

"Lo kalo duduk bareng Velma, kasih lagu ini deh."


Lingga mengutak-atik ponselnya sejenak lalu
menyerahkannya pada Revan.

"Lo tau gue gak terlalu suka lagu Indonesia." Revan


mendengus sambil menggelengkan kepalanya. "Ck,
coba aja dulu, Velma bakalan suka lagunya."

őőő

Keadaan bus sangat sepi, tidak ada yang bersuara


membuat Velma bingung. Alsa di sebelahnya
memakai headset sambil memainkan ponselnya,
sedikit canggung. Velma belum terbiasa duduk
berdua dengan seorang teman, lebih baik dirinya
melanjutkan tidur yang tadi sekarang.

Alsa meliriknya sebentar lalu tersenyum melihat


Velma memejamkan matanya, setelah menerima
pesan dari Lingga, Alsa perlahan meninggalkan
Velma dan pergi ke belakang yang disambut cengiran
receh dari Lingga dan anggukan pelan dari Revan.
"Makasih ya."

"Santai aja Van, jangan apa-apain Velma ya?"

Revan tersenyum tipis lalu beranjak duduk di


sebelah Velma yang tengah memejamkan matanya,
Revan merogoh saku jaketnya untuk mengambil
sesuatu yang di sarankan Lingga tadi dan
memasangkan ke ponselnya. Setelah semuanya siap,
Revan mulai mendekatkan headset ke telinga
gadisnya itu dengan muka lugu, takut malah Velma
marah tetapi dirinya tetap mengikuti saran
sahabatnya itu.

"Selamanya kita akan bersama, melewati segalanya


yang dapat pisahkan kita berdua. Selamanya kita
akan bersama, takkan ada keraguan kini dan nanti.
Percayalah."

Revan sedikit meringis mendengarkannya, tetapi


lagunya lumayan. Melihat usaha yang di lakukannya
tidak membuat Velma bergerak sedikitpun membuat
Revan ingin menjedukkan kepalanya sekarang juga,
Velma seperti ini jika sedang tidur? Sambil
mendengus Revan memilih untuk memasangkan satu
buah headset ke telinga gadisnya dan satunya lagi ke
telinganya berharap Velma kini meresponnya.

Beberapa detik kemudian Revan merasakan


gadisnya bergerak dan langsung menolehkan
kepalanya menatap Velma yang.. ASTAGA
hidungnya mengeluarkan darah membuat Revan
melotot saat itu juga.
"Velma, lo kenapa!? Kita ke rumah sakit sekarang
juga. Biar gue telepon pak Zafin dulu buat jemput-"

"Sst, jangan berisik," Ucapnya lemah membuat


Revan hanya bisa menatapnya. "Gak usah, ini cuma
sebentar serius." Velma kemudian menyumbat
hidungnya menggunakan tissue lalu menyandarkan
kepalanya ke kursi belakang.

"Lo selalu berhasil buat gue khawatir."

Velma tersenyum samar lalu dirinya mendengarkan


sesuatu, tangan kanannya ia angkat untuk
menyentuh telinganya dan ada suatu benda yang ia
yakini sebagai headset di sana, entah kenapa dirinya
tidak merasakan apapun tadi. Hanya saja dia merasa
ada yang memanggilnya untuk bangun dan darah
langsung bercucuran dari hidungnya, dan setelah
menormalkan perasaannya Velma baru sadar,
sebuah lagu sedang terputar, Velma meresapi lagu
itu sebentar lalu tersenyum.

"I-ini lagu apa?"

Revan yang terlihat sedang berfikir, langsung


gelagapan dan langsung melepaskannya membuat
Velma mengerutkan keningnya, "Gapapa gue suka
kok lagunya. Lo jangan khawatir gitu Van, ini sering
kok, sebentar lagi juga udah reda."

"Lo serius?" Velma menganggukan kepalanya


sambil tersenyum meyakinkan membuat Revan
hanya bisa memperhatikannya, sebenarnya ia ingin
menyeretnya ke rumah sakit sekali lagi sekarang juga
tetapi ia juga takut kelakuannya tambah semakin
menyakiti gadisnya itu.

Terlihat Velma menyusut sisa darahnya dari


hidungnya, "Sebentar kan?" Ucapnya membuat
Revan menatapnya lalu merebut tissue yang di
genggam gadis itu dan meraih dagunya.

"Masih banyak, gue bersiin." Velma terkesiap sambil


menatap Revan yang dengan telaten membersihkan
darah dari hidungnya, "Gue sedikit ngeri tapi kalo lo
yang kayak gini, apapun gue lakuin."

Velma hanya tersenyum tulus sambil menatap


wajah tampan milik kelasihnya ini, Velma mengakui
bahwa dirinya memang beruntung mempunyai Revan
yang seperti ini, tetapi ia takut kalau keberuntungan
itu hanya hinggap sesaat.

"Makasih ya, Revan."

"Hm," Revan mengusap kepalanya membuat Velma


mengerjapkan matanya, sejak kapan Revan sedekat
ini dengannya? Ini bukan mimpi kan? Ini pasti mimpi,
Velma memejamkan matanya sambil berharap kalau
ini mimpi bukan kenyataan, karena kenyataan tidak
mungkin indah seperti ini.

"Lo dengerin lagu tadi gak?" Revan membuang


tissue bekas itu ke sebuah kresek lau menalikannya
takut banyak yang mengetahuinya nanti dan
membuat geger, merasa perkataannya tidak di balas,
Revan kembali menatap gadis ini yang malah
memejamkan matanya.
"Velma? Lo kenapa?"

"Hah? Ap.., gue lupa belum berdoa tadi."

"Oh." Velma mengangguk sambil menyandarkan


kepalanya ke jendela bus 'ternyata ini bukan
mimpi' batinnya.

Suasana kembali canggung. Sepertinya Revan juga


tidak mau mengulangi pertanyaan yang tadi karena
menurutnya terlalu memalukan.

"Tadi lagunya enak."

Revan menoleh sambil menatap Velma bingung,


"Lo.. suka?"

"Itu lagu kesukaan Devi di restoran."

"Oh, berarti lo tau?" Velma mengangguk sambil


menormalkan posisinya yang tidak enak, Revan
berdehem kemudian menepukkan bahunya tanpa
melirik sedikitpun kearahnya. "Lo bisa tidur di sini."

"O-oke nanti."

"Lo bisa nyanyiin sedikit lagunya?" Matanya ia


kerjapkan, blush seketika pipinya panas. "A-apa?
Gue gak hapal kok.., lupa lirik nanti."

Tiba-tiba Revan memakaikannya headset membuat


jantung Velma langsung berdetak lebih kencang dari
biasanya, kemudian Revan tersenyum sangat manis.
Tampan sekali, Velma saja sampai melongo di
buatnya. Karena bagi siapapun itu, senyuman Revan
yang seperti itu sangat langka, sedang manggung
pun Revan tidak pernah memberikannya kepada
fansnya. Hanya untuk Velma dan orang-orang
tertentu mungkin.

"Lo bisa nyanyiin itu sekarang."

BLUSH

őőő

"Aku yang tak akan melepaskan kamu, yang


menggenggam hatiku." -Revan

"Aku yang tak bisa melepaskan kamu, yang miliki


hatiku." -Velma

őőő
25. Sakit Hati Itu Nyata

BARU kali ini dirinya merasakan patah hati, kemarin-


kemarin dirinya menyangka kalau hubungan Revan
dengan gadis itu hanya lelucon dan tidak akan
bertahan lama. Saras menghirup nafas sebanyak-
banyaknya ketika sesak mulai menyeruak ke
dadanya. Dulu, Revan selalu menemaninya, selalu
menuruti apa kemauannya karena dari kecil memang
dirinya dan Revan selalu bersama. Saras bahkan
mengira bahwa Tuhan mentakdirkan Revan ada di
dunia ini untuknya, bukan untuk orang lain. Tetapi
setelah Revan kenal dengan Velma, semuanya
seolah hancur, tidak ada yang perlu di ragukan lagi
bahwa gadis itu merebut Revan dari dirinya, bahkan
yang fatalnya membuat Revan jatuh cinta pada
Velma.

Jujur saja, Saras benci Velma. Itu benar, semua


pikiran tentang gadis itu selalu buruk. Dan ingin
membuat Revan kembali pada dirinya, walaupun itu
sangat mudah. Yang paling sulit adalah membuat
Revan berhenti mencintai gadis itu, karena itu hanya
akan membuat keduanya sakit saja. Harusnya Revan
sadar hal itu, keluarga Prayoga tidak akan pernah
mengizinkan Velma ada di kehidupan mereka, karena
hanya dirinya yang di percaya oleh om Darma. Saras
tau itu karena ayahnya sudah lama sekali bekerja di
keluarga Prayoga, dan hal ini semakin membuat
Saras ingin menyingkirkan Velma.

Tanpa sadar setetes air terjatuh dari pelupuk


matanya, Saras tidak menghapusnya. Biar saja,
semua orang tertidur dan tidak mungkin ada yang
melihatnya. Saras semakin terisak, jika ada yang
melihatnya mungkin mereka sudah tertawa karena
dirinya yang seharusnya Arrogant kini malah
menangis karena satu hal yang gila. Cinta.

"Astaga, Sss-Saras?" Riska mengerjapkan matanya


ketika melihat Saras terisak. Ini kali pertama sejak
dua tahun yang lalu dirinya mengenali gadis ini. "Lo
kenapa Sar?"

"Gak kenapa-napa! Lo tidur aja." Saras menatap ke


arah jendela sambil menahan tangisannya. Riska
menghela nafasnya pelan, "Walaupun gue gak ahli
nasehatin, kalo cerita ke gue bisa buat lo tenang.
Cerita aja."

"Gue gak papa,.. Yang penting lo bantuin gue nanti,


ya?"

Riska mengangguk pelan lalu kembali menyandarkan


punggungnya ke kursi bus, perasaannya tidak tenang.
Riska tau, yang perlu sahabatnya lakukan adalah
menerima kenyataan dan memaafkan. Dan dirinya
yakin kalau Saras hanya terobsesi pada Revan,
karena sepengetahuannya jatuh cinta sama terobsesi
itu mirip, hanya saja yang satu penuh dengan
keikhlasan dan kerelaan. Satunya penuh dengan
keharusan dan paksaan.

Tidak semua yang ada di dunia ini dapat di miliki


sahabatnya, tetapi rasa tidak enaknya membuat
Riska hanya bisa menuruti kemauan Saras, karena
jujur saja Saras telah membantu banyak kepadanya.

Őőő
"Lo ngantuk?"

Alsa tersentak ketika mendengar suara indah


milik teman sekursi di bus ini, matanya yang tadinya
sudah ingin terpejam kini terbuka kembali. Alsa
mengerjapkan matanya, perjalanan jauh ini memang
melelahkan dan membuatnya mengantuk setelah tadi
bercanda terus menerus bersama Lingga
yang notabene-nya adalah sebagai mantan
kekasihnya itu.

"Ha? Iya, gue ngantuk. Udah ya? Gue mau tidur."

Lingga menghirup nafas pelan ketika melihat Alsa


menyandarkan kepalanya ke belakang, sungguh
setelah beberapa bulan yang lalu hubungan dengan
gadis ini terlepas. Lingga sudah menganggap Alsa
sebagai adiknya, tidak lebih. Perlahan tangannya
menyentuh pipi Alsa dan mulai memindahkan kepala
gadis itu untuk bersandar di bahunya.

"Sweet Dream, Als."

Diam-diam Alsa tersenyum merasakan perlakuan


Lingga yang sangat lembut, harapan demi harapan
mulai bermunculan. Dan tentang perasaan itu, dirinya
mulai merasakannya lagi. Perasaan ingin kembali lagi
bersama pria ini, terlebih perlakuan Lingga yang
menciptakan harapan sangat besar di dirinya. Kali ini
Alsa akan berjuang, tidak seperti dulu yang
membiarkan Lingga berjuang sendirian sampai
meninggalkan dirinya.

őőő
Ini bukan salahnya, tapi dirinya juga tidak bisa
menyalahkan waktu. Saat ini juga hatinya berada
dalam dua perasaan yang mempunyai batas saling
menjatuhkan, perasaan senang karena kemungkinan
besar orang yang ia sukai akan kembali dekat
dengannya dan perasaan gelisah karena kabar ini
yang akan membuat orang yang di sukainya
menderita.

Beberapa menit yang lalu, Dhirga baru saja


menerima telepon yang membuatnya sempat
menahan bernafas. Lusa? Berarti, setelah camping
itu akan ada sebuah bencana. Bencana yang
menyangkut dirinya juga, karena ini memang
kesalahannya.

Fikirannya hanya tertuju pada satu orang, hanya


gadis itu. Seluruh isi dari otaknya hanya di hantui oleh
sosok Velma, karena sungguh dirinya sangat
menyayangi gadis itu. Oh Tuhan, Dhirga benar-benar
tidak ingin membuat bahkan melihat Velma menderita.

"AAAAAKKKK!!!"

Rosi berjenggit sambil menutup mulutnya, "Dhirga! Lo


tebak apa yang gue baru dapetin hari ini!"

"Queen Musicalist minggu ini adalah gue Dhir!"

Melihat reaksi cowok di hadapannya datar bahkan


terkesan tidak mendengarkan, Rosi mencebikkan
bibirnya kesal. Memang ini waktunya tidak tepat
tetapi Dhirga juga seharusnya tidak bersikap seperti
ini kepadanya.
"Dhirga, lo simpati kek ke gue sekali ini aja."

Dhirga sama sekali tidak sadar keadaan sekeliling,


bahkan keadaan sahabatnya ini tidak mampu
membuat fokusnya kembali, fokusnya terbuyarkan
hanya karena satu masalah. Sungguh dirinya harus
meminta maaf kepada Rosi nanti, nanti karena
sekarang tidak mungkin karena mood nya benar
benar sedang down.

"Gue ada kepentingan Ros," Setelah berfikir keras,


satu ide muncul di kepalanya. Ini mungkin yang
terbaik bagi keluarga Revan dan Velma, sakit
awalnya kan lebih baik dari pada sakit di akhir tetapi
tidak kunjung sembuh.

"Eh Dhir, mau kemana lagi? Bukannya lo janji mau


nonton!? Waktunya udah tinggal 15 menit lagi!"

"Lo pasti ngerti, gue akan cerita setelah ini.


Oke? Bye."

Rosi menatap nanar ke arah punggung pria yang


baru saja meninggalkannya, sampai di perempatan
sana dan sampai punggung itu menghilang rasa
sesak di dadanya terus membuncah. Sesesak ini?

"Iya, lo aja yang terus gue ngertiin. Ngertiin gue nya


kapan Dhir?"

Sesuatu yang terus mendesak ingin keluar akhirnya


keluar juga, buliran air mata miliknya berjatuhan. Ini
pertama kalinya dirinya menangis karena cinta.
Astaga, Rosi menggigit pelan bibirnya. Entahlah
dirinya tidak memperdulikan berita bahagia yang
selama ini menjadi mimpinya, apalagi orang-orang
sekitar yang memperhatikannya. Perlu kalian tau, ini
kedua kalinya Dhirga meninggalkannya.

Pertama ketika dirinya berangkat pagi dan akan


mengikuti lomba menyanyi tempo hari, Dhirga
meninggalkannya dan berlari mengejar Velma sampai
dirinya terjatuh. Kedua, saat ia mengetahui hasil jerih
payahnya sekarang, Dhirga tidak berapresiasi sama
sekali dan kembali meninggalkannya sendirian. Rosi
yakin pria itu meninggalkannya karena alasan Velma
lagi.

"Waktu lo juga berharga seperti waktu dia, apakah lo


akan terus ngejar dia? Yang bahkan gak tau warna
kesukaan lo."

"Anjir deh ah, kok sakit banget di sini. Hiks."

Rosi percaya suatu saat nanti dirinya akan


menertawakan semua ini, cinta membuatnya munafik.
Seharusnya kata-kata itu juga berlaku terhadap
dirinya tetapi ini semua terlalu naif bila di rasakan,
karena hatinya akan terus menyalahkan orang yang
menyakitinya.

Ketika lo gak jujur dengan hati lo, rasa sakit yang lo


rasain, akan memberi jawaban.

őőő

Ddyulian
26. Seiring Rasa

UDARA sejuk pepohonan menyambut keduanya


ketika turun dari bus ini. Warna hijau tumbuhan mulai
menghiasi penglihatan matanya, senyum indah
langsung terlukis kala itu juga. Ini untuk yang pertama
kali dirinya mengikuti acara camp seperti sekarang
dan efeknya luar biasa. Tubuhnya seakan ikut
menikmati dan rasa pusing yang sedari tadi di
rasakan perlahan mulai menghilang.

Revan memandangi gadis di sampingnya dengan


dahi mengerut, sedari tadi dirinya memang
memperhatikan gadis manis ini saja karena dengan
melihatnya hatinya jauh lebih sejuk daripada udara di
sini. Revan membuang muka sambil menghela nafas
pelan lalu mengeratkan genggaman tangannya pada
gadis itu.

Merasa genggamannya semakin erat Velma


langsung menolehkan kepalanya ke samping, wajah
tampan kekasihnya langsung menggantikan
pemandangan pepohonan yang di lihatnya tadi,
sungguh pemandangan ini jauh lebih indah. Revan
ikut menoleh, alhasil tatapan mereka
bertemu. Blush seketika pipinya merasa panas dan
langsung tersenyum kikuk.

"Yuk." Revan langsung menggandeng tangannya ke


arah tempat berkumpul. Banyak orang yang mungkin
risih melihat keduanya karena memang dirinya dan
Velma selalu berdempetan akhir-akhir ini.

"Anak-anak, silahkan semuanya masuk tenda


masing-masing untuk beristirahat sebentar terlebih
dahulu. Tenda berada di sebelah kiri bapak ya,
masuki tenda menurut nomer yang sudah kalian
punya sebelumnya. Terimakasih."

Seluruh siswa langsung bergerumul mencari tenda


masing-masing.

"Van, gue nyari tenda gue dulu."

"Gue bantu cariin."

Velma menggeleng pelan sambil tersenyum hangat,


"Gak usah ya? Gue bisa sendiri."

"Oh."

Genggamannya mulai ia lepas dan mengangguk,


"Kalo gitu gue kesana dulu."

Revan hanya diam memandangi punggung yang di


sertai tas besar gadisnya itu, beberapa detik
kemudian senyum merekah di bibirnya. Perlahan
kakinya ia ayunkan ke depan mengikuti Velma dari
arah belakang.

Sambil mengedarkan pandangannya Velma


menghela nafas panjang, tenda nomer berapa yang
harus ia cari? Bukan lupa tetapi nomor yang di
berikan pak Yoga kemarin-kemarin Alsa yang
menerimanya dan dirinya sama sekali tidak tahu
menahu, gadis itu juga tidak di temuinya sedari tadi
turun dari mobil, ah apa jangan-jangan Alsa tidak
mau satu tenda dengan dirinya? Mengingat Alsa
termasuk geng dari Resta.
"E-eh!?"

Velma mendelik saat ada yang mengambil tas besar


yang di gandengnya dan saat itu juga Revan
langsung muncul sambil memakai tasnya.

"Gue gak tau kenapa yang namanya Velma itu keras


kepala."

"Uh," Dengusan Velma membuatnya langsung


tersenyum.

"Sini." Tangan mungil itu langsung ia genggam


kembali menuju tenda gadisnya yang memang sudah
di atur berada di dekat tenda nya walaupun berjarak
karena tenda putra dan putri di jauhkan.

Velma saja tidak tau kemana tas dan barang-barang


yang Revan bawa, cowok itu selalu saja membuat
kejutan-kejutan di dalam hidupnya. Dan perubahan
drastis yang di alami Revan mampu membuat Velma
bertahan sampai sekarang.

"Makasih." Ucapnya pelan, mula-mula pipinya terasa


panas dan sudah di pastikan kalau wajahnya
semerah tomat.

"Lain kali lo harus lebih tau, kalau gue selalu ada


buat lo kalo butuh bantuan."

Revan meliriknya sekilas sambil tersenyum kecil,


astaga. Velma mengerjapkan matanya melihat
ketampanan senyuman Revan itu, dunia memang
penuh dengan sesuatu yang tidak pernah kita duga
sebelumnya.

"Dengerin, jangan ngeliatin gue segitunya."

"A... Ya, aku.. Gue dengerin kok." Velma menggigit


bibir bawahnya, benteng pertahanan yang susah
payah di buatnya selama ini runtuh begitu saja ketika
Revan yang dia pikir sangat mengganggunya kini
memberikan perilaku perilaku kecil yang membuatnya
mabuk cinta saat itu juga.

"Yang terpenting lo harus tau kalo gue di sini bener-


bener sayang sama lo Vel,"

Blush, pipinya merah di sertai angin kencang yang


membuat sisa-sisa rambutnya yang tidak terikat
terbang menutupi pipinya yang memerah ini. 'Cepat
sampai Tuhan.'

Kakinya terus berjalan, jika di pikir-pikir ini tenda


yang sedari radi di lewatinya juga pas awal. Berarti
daritadi mereka hanya berputar-putar? Velma
mengernyit dan mulai menarik baju Revan sedikit.

"Tenda gue mana ya, Van?"

"Kayaknya sih yang ini." Revan terlihat menggaruk


tengkuknya kemudian berkacak pinggang.

Velma memutarkan kedua bola matanya, rasa lelah


semuanya di tanggung di sini. Ah tidak lelah, hanya
sedikit merasa ingin istirahat sebentar. "Lo ngajak
gue buat apa deh, kalo juga gak tau tenda gue di
mana."

"Gue cuma mau nemenin lo sih."

Bukan hanya mendengus, Velma langsung terduduk


sambil mengatur nafasnya yang mulai tidak teratur
karena sesak yang tiba-tiba mengganggunya.

Puk puk. Velma menepuk tanah di sebelahnya


menginstuksikan pria di depannya untuk duduk,
Revan mengangguk dan mengikuti keinginan Velma
untuk duduk.

Astaga ada-ada saja, yang lain beristirahat di tenda


sedangkan dirinya dan bahkan pemilik yayasan
malah tersesat mencari tenda, ada yang lebih
menggelikan dari ini?

"Gue ke pak Yoga dulu ya?"

"Gue ikut."

"Tenda lo udah tau belum?"

"Belum, kenyataan sama yang di gambar berbeda


drastis. Gue bingung."

"Astaga." Velma menggeleng-gelengkan kepalanya,


kenapa makhluk yang Kau ciptakan di sini sangat
polos Tuhan?

"Kita cari tenda bareng-bareng."


"Hm."

Entah karena mabuk perjalanan dan tidak biasa


memakai bus atau entah penyebabnya apa, yang
penting Revan mendadak jadi orang linglung. Apa dia
merasakan sesuatu? Insting atau apa? Velma sendiri
tidak tau, tapi menurut buku yang di bacanya,
kegelisahan dapat membuat seseorang menjadi
linglung seperti ini.

Mungkin Revan tidak terbiasa seperti ini, mengingat


keluarganya yang mempunyai harta tak terhingga itu.
Velma mengangguk menyetujui pernyataan hatinya
itu.

őőő

Rosi berjalan sendirian setelah di tinggal Dhirga


beberapa menit yang lalu, dirinya berinisiatif akan ke
toilet untuk memperbaiki penampilannya saat ini yang
mungkin sangat acak-acakan. Ah, dirinya jadi ingat
kalau selama ini sedikit melupakan Febi.

Tangannya merogoh slingbag yang di kenakannya


untuk mengambil ponsel kesayangannya itu, setelah
mendapatkan ponselnya gadis itu langsung mencari
kontak bernama Febi berniat menghubungi
sahabatnya itu untuk sekedar menghiburnya,
menghampiri ketika saat butuhnya doang? Yes, she
know it.

"Ya?" Rosi langsung terdiam beberapa detik, berapa


lama dirinya tidak mendengar suara lembut khas
sahabatnya ini, dan jawabannya cukup membuatnya
sesak.
"Feb?"

"Hm, ada apa? Tumben banget lo nelpon setelah -"

"Gak, maafin gue. Lo lagi dimana?"

"Hangout. Kenapa emang?"

Rosi meneguk ludahnya, tanpa sadar hatinya


mencelos mendengar perkataan sahabatnya barusan.
Apa tadi? Hangout? Tanpa dirinya? Astaga.

"Halo., masih ada orang?"

"..."

"Masih butuh gue?"

"Eh, gue ganggu lo ya? Maaf deh. Gue cuma anu,


mau minta maaf aja karena kita udah lama gak
bareng-bareng lagi, tadinya sih.. Gue mau ngajak lo
makan, tapi kalo elonya gak bisa sih gapapa."

"Gak bisa, lain kali aja ya?"

"Hm, no problem."

"Yaudah, bye."

"E-eh, wait.. Feb?" Tanpa sadar ia mengibaskan


tangannya walaupun Febi memang tidak bisa
melihatnya di sini.
"Aduh, ada apalagi sih? Lo aneh setelah kenal
cowok itu."

Hening.

Tiba-tiba badannya lemas mendengar sepenggal


kalimat yang di ucapkan sahabatnya itu, demikian
seperti itu? Apa Febi menyadari perubahan pada
dirinya? Rosi langsung menghirup oksigen banyak-
banyak.

"Tuhkan diem? Please deh, lo itu bego. Bantu dia


yang lagi patah hati sedangkan lo sendiri? Jangan
pura-pura deh! Jijik, lo gak pantes mendem dan pura-
pura bahagia, pura-pura respect padahal hati lo
ngeberontak. Lo bukan Rosi yang gue kenal setelah
ketemu sama Dhirga."

"Feb, jangan tutup telponnya dulu ya?" Rosi


menggigit bibir bawahnya menahan air mata yang
ingin kembali keluar.

"Intinya, lo jatuh cinta sama cowok sialan itu?


Iyakan!?" Terdengar suara Febi di sebrang sana yang
sedikit membentak membuat sedikit senyuman kecil
di bibirnya untuk sekedar menyadari kalau Febi masih
peduli kepadanya.

"Hm, gue emang lagi nunggu pelangi tanpa hujan


ada."

"Bego apa lo ya? Jangan rela jatuh demi orang yang


gak peduli sama lo! Inget, Ibu lo udah susah payah
ngajarin lo caranya berjalan. Masa lo rela jatuh gitu
aja?"
27. Alunan Suara

Surat Cinta Untuk Starla - Virgoun

Alunan gitar terdengar lembut, menemani malam


yang penuh bintang kali ini. Alunan gitar yang
bersumber dari orang yang kita sayangi, ah tidak ada
yang lebih menyenangkan dari ini.

Di saat semua orang tidur terlelap, pria ini malah


mengajak dirinya menatap bintang di atas sana.
Suasana hening kini berubah menjadi nuansa
romantis.

Velma langsung duduk di samping Revan. Orang


yang seharusnya tidak dia dekati satu jengkal pun kini
malah merasuki seluruh jiwanya.

"Lagu kali ini, lagu yang sangat menggambarkan hati


gue, Vel."

Sedikit menggeser posisinya untuk lebih mendekat ke


arah gadis itu, Revan mulai memetik senar gitarnya
menimbulkan suara yang dapat membuat Velma tidak
bernafas saat itu juga, membuat dirinya mengingat
kejadian dua tahun lalu.

"Ku tuliskan kenangan tentang, caraku menemukan


dirimu."

--
Dari awal, Revan mengakui kalau dirinya tertarik
pada seorang gadis yang ditolongnya pagi itu.
Awalnya yang risih tetapi tanpa sadar memang
tindakan-tindakan gadis itu membuat dirinya jadi
memperhatikan, rambut yang di kuncir kuda, matanya
yang indah, bibirnya yang tipis, di hari itu.. Revan
belum melihat senyumannya. Revan meyakini, kalau
dirinya hanya merasakan ketertarikan pada gadis itu
tidak lebih.

"Ciee Revan beger, nih."

"Apaan sih." Terlihat Lingga dan Meka tertawa


kencang melihat dirinya seperti ini, padahal tidak ada
yang lucu sama sekali. Mereka memang sedeng.

"Gue ajak kenalan, boleh gak Van?"

"Terserah lo, gue gak peduli."

"Mek, kita ajak kenalan ayo!" Seru Lingga di susul


dengusan Revan, Meka langsung mengangguk dan
mengikuti Lingga dari belakang.

"Dia namanya, Velmasya Armadetta. Gak usah


kenalan, dia bukan tipe kalian."

Lagi-lagi Lingga dan Meka tertawa kencang membuat


Revan jengkel sendiri tetapi tidak membuat keduanya
berhenti, "Lingga lo udah punya Alsa. Gue gak
ngajarin lo buat jadi playboy."
"Selow Radenmas Revan gantengku, gue cuma mau
tau dia punya apa sampe bisa bikin lo kayak gini
untuk yang pertama kalinya, yok Mek!"

Revan menghela nafas kasarnya, lenganya ia lipat di


dada, didepan sana terlihat Lingga dan Meka sedang
mengobrol dengan gadis yang baru saja keluar
bersamanya dari UKS tadi.

Tunggu-tunggu, ada apa itu? Lingga menunjuk ke


arah sini? Sial. Revan berdehem lalu mengalihkan
pandangan ke arah mana saja, Sialan memang
teman-temannya. Baru saja sehari sekolah di sini,
sudah membuat hidupnya gila.

--

"Tentang apa yang membuatku mudah berikan hatiku


padamu."

--

"Hai, yang tadi pingsan ya?"

Terlihat gadis ini terkesiap membuat Lingga sedikit


meringis, "Lo.. Gak apa-apa?"

"Gak papa, ada apa?"

Lumayan lama Lingga menatap wajah dan


penampilan gadis di hadapannya ini, tidak ada yang
istimewa selain wajahnya yang cantik natural.
Mungkin ini daya tarik Revan.
"Nama lo?"

"Oh, Velmasya Armadetta." Velma menunduk


memberi hormat, membuat Lingga dan Meka
menyimpulkan kalau gadis ini adalah gadis lugu.

"Gue Meka Owel, panggil Meka ya."

"Gue Lingga, oh iya ada yang mau kenalan sama lo


tapi malu."

Velma mengernyitkan dahinya, "M-maksudnya?"

"Tuh," Lingga menunjuk ke arah selatan, tepat pada


Revan yang sedang memperhatikan ke arah sini "Dia
mau kenalan, katanya lope lope di udara buat yang
tadi pingsan."

Gelak tawa memenuhi koridor saat itu juga, Velma


terdiam. Tidak bisa berbuat apa-apa ketika
dipermainkan seperti ini karena dirinya masih tidak
mempunyai teman di sini.

"Gue ke perpus dulu, permisi."

Lingga melirik Meka di sebelahnya yang hanya


mengedikan bahu, "Kita becanda keterlaluan ya
Mek?"

"Kalo menurut gue sih, enggak. Tapi tadi gue liat pas
dia lirik Revan, pipinya merah anjir."
"Ah, Revan juga becanda mana mungkin suka sama
dia? Keliatanya bukan dari anak tajir."

--

"Takkan habis sejuta lagu untuk menceritakan


cantikmu. Kan teramat panjang puisi 'tuk
menyuratkan cinta ini."

Itu adalah kejadian dua tahun lalu, pertama kali


dirinya jatuh cinta pada seorang gadis yang pingsan
saat upacara. Gadis yang sekarang menjadi miliknya,
dan ada di sampingnya saat ini. Revan tersenyum
sambil memandangi Velma yang tengah menikmati
lagunya.

"Telah habis sudah, cinta ini. Tak lagi tersisa, untuk


dunia. Karena tlah ku habiskan sisa cintaku hanya
untukmu."

"Aku pernah berfikir tentang hidupku tanpa ada dirimu,


dapatkah lebih indah dari yang ku jalani sampai kini.
Aku slalu bermimpi tentang indah hari tua
bersamamu, tetap cantik rambut panjangmu
meskipun nanti tak hitam lagi."

"Bila habis sudah waktu ini, tak lagi berpijak pada


dunia. Telah aku habiskan sisa hidupku hanya
untukmu, dan tlah habis sudah cinta ini tak lagi
tersisa untuk dunia karena tlah ku habiskan sisa
cintaku hanya untukmu."

Velma mengerjapkan matanya ketika menoleh ke


arah Revan yang tengah menatapnya tajam, seolah
mengatakan Dengarkan-Ini-Hatiku. Dan benar saja,
lirik lagu selanjutnya membuat Velma mematung
sendiri.

"Hidup dan matiku, bila musim berganti. Sampai


waktu terhenti, walau dunia membenci, ku kan tetap
di sini."

Hening sejenak.

"Velma, gue mau nanya."

"Hm, ya?" Velma menatap Revan yang tengah


menyenderkan punggungnya pada sebuah pohon di
belakang mereka, tatapannya ke langit lepas
membuat dirinya semakin leluasa menatap pria ini.

"Gue nembak lo gak dengan cara indah, gue tau. Dan


satu hal yang gue baru sadar sekarang, lo ngerasa
kepaksa gak sih ngejalanin ini bareng gue?"

Hening.

Seakan nafas nya hanya tinggal satu hirupan lagi,


Velma menunduk. Di bilang terpaksa, memang ada.
Tetapi ada sesuatu hal kini yang membuat
keterpaksaan itu berubah menjadi keterbiasaan yang
membuatnya nyaman, perasaan itu.

"Diem aja, gue anggap.. Iya."

Velma hendak menyanggah pernyataan Revan,


ketika nada dering ponsel pria itu berbunyi.
"Hallo?"

"PULANG SEKARANG JUGA, TUAN PRAYOGA.


AYAH TUNGGU."

őőő

Senyuman merekah ketika melihat pria itu


meninggalkan si pujaan hatinya sendirian, dalam hati
juga ia memuja kalau ayahnya sangat hebat. Dan
anaknya pun harus tidak kalah hebatnya, dengan
langkah besar-besaran kakinya langsung menuju
tempat yang sedari tadi di rencanakan.

"Ris, tempat yang tadi aman? Gak bakalan ada yang


lihat kan?"

"Semuanya aman, Sar."

"Resta udah siap?"

"Pasti, udah semuanya. Tinggal lo ajak ngobrol


bentar dia."

"Bagus." Saras menjentikan jarinya seraya bergegas


menuju seorang perempuan di sana yang terdiam,
Revan pergi meninggalkan gadisnya itu tanpa kata
setelah menyanyikan sebuah lagu romantis? Hah,
Saras tertawa untuk itu.

"Vel, sendirian aja?"

"Eh? I-iya, Saras."


Velma tersenyum kikuk, selain masih syok karena
Revan langsung meninggalkannya juga sekarang ada
Saras yang semakin membuat perasaan nya tidak
enak.

"Udaranya dingin, lo gak kedinginan?"

"E-enggak, tuh."

Seraya memutarkan kedua bola matanya, Saras


menggosok-gosokan tangannya alih-alih untuk
menghangatkan tubuhnya. Padahal menurut Velma,
udara di sini tidak sedingin yang Saras rasakan.

Setelah terdiam cukup lama, tiba-tiba terlihat Resta


yang berjalan tergopoh-gopoh menghampiri
keduanya, Saras mengernyit begitupun Velma yang
langsung tegang, apalagi dengan kalimat yang Resta
utarakan langsung saat ini. Musti ada yang tidak
beres.

"Handphone gue ilang, dompet gue juga."

őőő
28. Masalah Besar

SEBELUM Resta berjalan sambil menjinjing tasnya


dan beberapa alat yang tadi sempat ia gunakan, pak
Yoga mulai memperhatikan raut wajah siswa-siswi
nya yang tegang. Saras melipat tanganya di dada, di
sampingnya ada Velma yang terlihat gemetaran.

Semua siswa dan siswi yang mengikuti camp, untuk


malam ini di suguhi beberapa berita yang
mengagetkan, sebelumnya tidak pernah ada yang
kehilangan barang-barang, baru kali ini terjadi
membuat Velma langsung ketakutan takut dirinya
menjadi tumbal untuk masalah ini.

"Resta, terakhir kali kamu tinggal barang-barang itu?"

"Waktu saya ingin ke air sebentar, dan saat itu saya


melihat Revan bersama Velma melewati tenda saya.
Saya kurang tau mereka mau ngapain yang jelas pas
saya balik lagi saya kurang ngeh dan beberapa saat
setelahnya baru sadar kalau hp dan dompet saya
hilang."

Tuh, kan? Ada sesuatu yang mengganjal. Velma


terdiam, pasrah untuk kali ini.

"Resta ikuti bapak, kita periksa satu-satu tas yang


ada disini."

Fiuh, kalau seperti ini Velma yakin dirinya tidak akan


terjerat. Sambil memeluk dirinya sendiri, Velma
bergeser ke arah belakang untuk meminimalisir
keadaan dan menghindari tatapan aneh dari
sebagian murid di depan sana yang menatapnya
secara terang-terangan.

"Gue yakin, Velma yang ngambil mungkin dia butuh


uang buat tampil sempurna depan Revan. Ya kali,
pacarnya seorang Revan Prayoga kayak gitu."

"Iya, pasti Velma. Dia kan satu-satunya yang


kekurangan gitu, kalau ada orang kaya yang ngambil
uang. Lelucon macam apa itu? Mungkin dia mau
ngerjain Resta, dan kalau Velma yang ngambil mana
mungkin ngerjain, yang ada langsung mati kutu dia."

Sungguh, tidak ada yang lebih sakit dari ini. Bisikan


mereka ah, Velma merasa harga dirinya terinjak-injak.
Tidak-kah kalian berfikir kalau harta hanya titipan
Tuhan? Kenapa kalian semena-mena terhadapnya
yang bahkan tidak mempunyai apa-apa. Oh Tuhan,
jika memang dompet dan ponsel Resta ada dalam tas
nya, Velma ingin menjerit saat itu juga.

"Ini tas lo bukan, Vel?"

"Pak, Velma yang ngambil."

Habis sudah, Velma tidak bisa berbuat apa-apa lagi,


rencananya yang akan menjerit seakan hanya
keinginan angin lalu. Mungkin menjerit hanya akan
membuat mereka menganggapnya gila. Bukan
karena dirinya memang melakukan hal haram itu, tapi
tidak ada gunanya mengelak, tidak akan ada percaya
padanya, toh dirinya hanya siswi miskin yang tak tau
di untung bisa bersekolah dengan beasiswa di sini.

PLAK!
"Dasar gak tau di untung! Kenapa lo ngambil barang
punya gue?"

Semua tercengang, tidak ada yang mau


membantunya mereka hanya menonton. Begitupun
pak Yoga, hanya terdiam dan bagi mereka ini
memang pantas untuk ia dapatkan, tapi baginya? Ini
tidak adil!

"Kemana pangeran lo?! Pelindung lo! Mana, gak ada!


Lo bisa ikut camp dan segalanya itu gara-gara Revan
kan? Lo manfaatin Revan kan?!"

Saras menggigit bibir bawahnya melihat semua ini,


dalam hati kecilnya ada rasa tidak tega. Apalagi
melihat Velma yang diam saja, padahal jelas-jelas
Velma tidak salah. Astaga, kenapa dia diam saja?
Kalau sampai Revan tau, habis sudah. Untung saja
Revan dan kedua sohibnya pergi tanpa di duga.

Di sisi lain, Velma meringis, pipi kirinya teramat perih


dan rasa pusing langsung melandanya. Mungkin
Resta merencanakan ini semua, mungkin Resta yang
membuat Revan pergi dan mungkin Revan juga
dalam bahaya karena Resta! Semua kemungkinan itu
semakin membuat kepalanya pening, tanpa di sadari
di saat yang sama Revan juga merasakan tamparan
yang hebat. Tetapi dengan kasus yang berbeda.

"Tuh kan, pak? Velma diam aja! Udah terbukti kalau


dia yang ngambil!"

"Terserah kalian mau apakan saya, yang penting


Tuhan tau siapa yang salah di sini. Saya masih punya
Tuhan, dan kalian hanya bisa menonton tanpa tau hal
yang sebenarnya terjadi."

"Tonton apanya, sih? Udah jelas kalau lo ngambil itu


semua, kita semua itu gak bisa di begoin sama lo,
cukup Revan yang di begoin."

"Resta!" Teriakan itu membuat Resta mendelik, di


lihatnya Alsa yang menatapnya lurus penuh
kekecewaan.

"Bisa aja kan saat gue sama Revan di sana, lo


masukin ponsel dan dompet itu ke dalam tas gue?
Orang kaya itu licik, orang kaya itu semena-mena,
orang kaya itu berasa segalanya bisa dia milikin."

"Pinter ya lo malah balik nuduh kayak gitu, orang


kayak lo harusnya gak usah di sekolahin jadi maling
aja sana!"

Cukup. Air mata Velma makin membendung, baru


kali ini dirinya di perlakukan hina. Astaga, Velma
capek dengan semuanya.

"Sudah hentikan! Resta handphone dan dompet


kamu utuh kan? Sudah ketemu kan? Sekarang bubar,
istirahat. Dan Velma, besok temui saya."

őőő

Perasaan tidak enak langsung menyeruak ke dalam


dirinya, Revan menengadahkan sambil menutup
kepalanya yang pusing itu. Di belakang ada Lingga
dan Meka yang juga terlihat tidak kalah pusingnya,
setelah mendapat telepon itu dirinya langsung
menyusul Lingga dan Meka untuk ikut denganya
pulang malam ini.

Dan, ketika Revan hendak berkata, mereka langsung


mengerti dan mendapat telepon seperti itu juga.
Ayahnya memang kejam.

"Di antara kalian semua, gak ada yang bilang gue


pacaran sama Velma, kan?"

Semuanya menggeleng terkecuali pak supir yang di


kirimkan ayahnya untuk menjemput mereka, Lingga
mengetuk-ngetukan jari telunjuknya pada kursi mobil.
"Lo gak kepikiran kalau Saras yang lakuin ini semua?
Dia kan terobsesi sama lo, Van. Atau si Dhirga?
Balas dendam, atau sebagainya?"

"Bener tapi gue lebih feeling ke golongan Saras, dan


gue rasa dia gak hanya lakuin ini terhadap lo. Dia
juga bakalan lakuin sesuatu di tempat camp kita
sekarang ke Velma, dan pasti saat ini juga disana lagi
ada yang gak beres." Meka menimpali membuat
Revan terdiam.

"Astaga, kenapa jadi seperti ini sih."

"Wajar lah, Van. Di dunia ini yang namanya manusia


pasti ribet, pasti punya keinginan dan untuk mencapai
keinginan tersebut, mereka ngelakuin banyak cara,
kayak lo kan buat ngedapetin Velma? Begitupun
Saras, dia pengen lo jadi miliknya. Lo pengen Velma
jadi milik lo bukan Saras, sementara Velma disini
yang jadi korban. Dia harus nerima resiko karena lo,
Van. Dari keluarga lo, dari fans lo, dari Saras apalagi
Resta yang keliatan sirik sama dia terlebih dari lo nya
sendiri yang mungkin suatu saat bakalan berubah
sama dia."

Kalau disaat seperti ini, Meka memang jagonya.


Perkataan dia tuh sangat benar dan seringkali
menjadi renungan bagi Revan dan Lingga saat ada
kesulitan, makanya di Hajuna's Band dia
sebagai leadernya.

"Tapi sekuat tenaga, gue bakalan ngelindungi Velma


kok. Gue jatuh cinta sama dia dan kalian pasti tau
kalau gue udah kayak gini, bakalan susah buat apa-
apa."

"Setidaknya lo juga mikirin keadaan Velma, Van."

Tepat ketika Lingga bicara, gerbang dari rumah yang


sangat besar dan megah ini terbuka dengan
sendirinya membuat ketiga pria di dalam mobil
langsung bungkam, mereka tau yang akan di
hadapinya saat ini. Tuan Darmawan Prayoga, pemilik
saham terbesar se-asia yang berstatus sebagai Ayah
Revan saat ini.

Dan, lika-liku mulai berdatangan.

őőő
29. Rasa Sesal

PRIA ini memakai jas hitam dengan tubuh yang kekar,


di hadapannya ada tiga orang anak laki-laki.
Tangannya di dalam saku, dan tatapannya tajam
hanya pada satu orang laki-laki. Nafasnya berderu,
kakinya ia langkahkan ke depan secara perlahan.
Mengikis jarak dengan putranya, tatapan kekecewaan
langsung ia tampilkan saat itu juga.

PLAK!

"Di mana pikiran kamu, DI MANA PIKIRAN KAMU


TUAN REVAN!"

Suara itu, suara yang menggema di ruangan yang


begitu luas dengan segala pernak pernik yang indah
dan mewah, semuanya terdiam. Revan merasakan
sakit yang luar biasa di pipi kirinya, terlahir di
keluarga yang sangat menjunjung tinggi kekayaan
seperti ini adalah bukan hal yang ia inginkan, giginya
bergertakan saat satu buah tamparan kembali
mengenai pipi sebelah kanannya. Perih.

"SAYA TIDAK MENGAJARKAN KAMU UNTUK


MENCEMARKAN NAMA BAIK PRAYOGA!!!"

"Om, om." Lingga mulai berbicara ketika melihat


tangan om Darma kembali akan di layangkan pada
Revan.

"ARGH! KALIAN! Kalian kenapa tidak mencegah hal


ini terjadi!?! Bodoh, kalian semua bodoh. Bisa
bangkrut hanya karena ada gadis miskin yang
memperdaya kamu, Revan!"
"Dan saya mengizinkan kalian menjadi teman baik
putra saya untuk mengarahkan Revan ke yang baik!
Keluarga kalian saya bantu agar Revan bisa
mempunyai teman, dan saat Revan melakukan
kesalahan seperti ini, kalian malah diam saja? Malah
mendukung, IYA!?"

"Yah, cukup! Velma dan mereka tidak salah!"

"Tidak salah apanya? Jauhi gadis itu atau saya akan


mengirim dia ke negeri lain yang tidak akan kamu
temui, bahkan saya tidak segan-segan membuat
keluarga teman kamu bangkrut dalam hitungan detik."

"AYAH!" Revan berteriak, nafasnya tersenggal-


senggal dan tanganya ia kepal.

"Kenapa Ayah seperti ini? Bukankah sama saja bila


jatuh cinta! Ayah, saya mohon dengan sangat jangan
membuat gadis itu menderita, Revan akan buktiin
kalau Velma itu baik walaupun-"

"Mending kamu cari gadis bangsawan, jangan kamu


cari gadis berandalan. Malu!"

Revan terdiam, dia tidak bisa berkata apa-apa lagi.


Lingga dan Meka pun kelihatan pasrah, jika sudah
seperti ini dirinya harus berfikir jelas untuk ke
depannya. Dan itu sangat menyakitkan, polisi bahkan
jendral saja jika di lawankan dengan ayahnya sudah
pasti kalah telak, apalagi dirinya? Revan
menghembuskan nafasnya kasar.

PRANG
Seluruh pasang mata langsung teralihkan ketika
mendengar sesuatu yang terjatuh dari arah timur, dan
di sana ada seorang laki-laki yang tengah
membereskan sebagian pernak-pernik yang terjatuh.

"O-ooh, Ayah. Apa kabar? Maaf maaf saya


mengganggu, ta-"

"Dhirga, sini sebentar."

Dhirga menghela nafas pelan, lalu menghampiri


Ayah tirinya yang tengah kelelahan, baru sampai dari
Sydney langsung memarahi Revan seperti ini, ck.
Menguras tenaga saja, karena Dhirga yakin kalau
Revan tidak akan menyerah hanya dengan ini.

"Lihat kakak kamu, Ayah datang ke Indonesia


bukannya di sambut dengan prestasi malah
sebaliknya, kamu jangan sampai seperti dia,
mengerti?"

Cih, terdengar desisan Revan yang membuat Dhirga


terdiam tidak berkutik.

Sialan.

őőő

"Hallo?"

Rosi menunda acara makannya ketika melihat


ponselnya berdering dan Dhirga ada di sana, larut
malam begini Dhirga menelponnya, cepat-cepat
dirinya mengangkat telepon tersebut karena pasti
Dhirga sedang membutuhkannya.

"Ros, bantuin gue bisa?"

"Bantuin apa?"

"Velma lagi ada dalam bahaya."

Oke, Rosi menghela nafasnya pelan. Pasti masalah


Dhirga tidak jauh tentang Velma, padahal jelas-jelas
dirinya menunggu gapaian tangan Dhirga tapi yang
ada Dhirga malah juga sedang menunggu gapaian
orang lain. Oh, Rosi tau perasaan ini, perasaan bego
ini yang seharusnya tidak ada.

"Rosi?"

"ROSITA!"

"E-eh, ya?"

"Gue lagi gak becanda, ini serius!"

Ya, Dhirga hanya menganggapnya sebagai lelucon.


Bahkan ketika dia sedang memikirkan laki-laki itu,
dianggapnya sedang becanda.

"Gue juga, maaf tadi mama ngajak bicara."

"Oh, iya."
"Ada apasih, Dhir?"

"Lo pura-pura jadi pacar gue, pokoknya lo harus


ngebuat Ayah gue mikir kalo lo emang lagi deket
sama gue, please."

Deg.

Rosi terdiam, pura-pura? Walaupun hanya pura-


pura, tapi sungguh sangat menyenangkan si hati ini.

"M-maksud -"

"Jadi gini, lo besok dandan yang


cantik. No kelabang, gue jemput dan om Darma kenal
sama ibu lo yang designer terkenal itu, terus gue
bakalan ngenalin lo ke dia, setelah itu kita pergi ke
tempat camp Velma karena sekarang Velma lagi
dalam bahaya dan gue harus nolongin dia sebelum si
Revan sialan ngebocorin semuanya, lo mau kan
bantuin gue?"

"Om Darma? Apa hubungannya?"

"Dia Ayah tiri gue, Ros."

"APA!?!?!"

"Ssst, mending lo tidur dan besok pagi-pagi kudu


dandan yang cantik, okay? Besok gue ceritain, kita
berangkat pagi, nice dream Rosi."

Tuut.. Tuut..
"Ba-bagaimana bisa?" Rosi menggeleng gelengkan
kepalanya, ini bukan hanya sekedar tentang harta
juga tentang tahta dan wanita. Rosi cepat-cepat
memohon ampunan Tuhan ketika menyadari masalah
rumit kali ini, dan astaga dirinya harus ikut terlibat.

Sepersekian detik berikutnya, ponsel yang baru saja


ia simpan kini menyala kembali dengan menampilkan
orang yang berbeda. Dalam hitungan jari, Rosi
langsung mengangkatnya.

"Hallo, Feb?"

"Lo gak lupa, kan? Besok acara apa?"

Hening.

Astaga, besok adalah ulang tahun Febi! Dan dirinya


bersyukur kalau Febi seperti ini kembali, artinya dia
sudah tidak mempermasalahkan yang kemarin.

"Ros?"

"Y-ya pasti ingetlah!"

"Oke, jam dua siang. Gue tunggu di Cafe


Talulla. Birthday Party gue konsepnya Blackpink.
Selamat tampil cantik, Ros."

"Oke, see you Feb!"

Oke, ini tidak buruk. Jam dua siang pasti urusan


dirinya dan Dhirga sudah selesai, dan saat itu juga
dirinya pergi ke acara sahabatnya itu, Rosi menghela
nafas pelan lalu beranjak dari meja makan untuk
pergi menuju kamarnya ketika jam menunjukkan
pukul setengah sebelas malam.

Őőő

30. Realized

DARI yang diperkirakan, ternyata Dhirga lebih cepat


sampai ke rumahnya saat dirinya sedang merapikan
rambut yang tidak akan ia kelabang seperti biasanya.
Dan dilihatnya Dhirga memakai baju berwarna abu
dengan lengan berwarna biru. Apa? Biru. Ah si
Dhirga mengikuti saja.

Oke memang terlihat tampan, Rosi menggeleng-


gelengkan kepalanya sambil berjalan cepat menuju
tempat yang sedari tadi Dhirga menungguinya.

"Maaf lama, Dhir."

"Jam berapa sekarang? Gue suruh pagi, kan?"

Rosi memanyunkan bibirnya sambil membuang muka,


wajahnya tampan tapi kelakuannya tidak beda jauh
dengan si Revan itu! Uh, Rosi mendengus. "Baru jam
tujuh, Dhir! Gue mandi jam setengah enam."

"Lo mandi tujuh kembang apa, satu jam setengah."

"Gak mandi aja, persiapan yang lain. Lo mah


kayaknya gak ngerti banget cewek, deh."
"Iya iya iya, sekarang kita pergi ke rumah gue."

"Oh iya, lo sama Revan kok bisa?"

"Nanti, gue pasti cerita kok sama lo. Gue lagi


gak mood ngomong panjang."

Cih, si Dhirga ini. Rosi menggertakan bibirnya,


mencoba bersabar menghadapi pria seperti ini.
Velma sih enak, menghadapi Revan yang seperti itu,
yang mencintainya. Lah dirinya? Sama sekali tidak
beruntung.

"Hey, I was doing just fine just before I meet you. I


drank too much and that's an issue but I'm okay."

Sesampainya di mobil, Rosi langsung menyalakan


radio. Dhirga hanya menghela nafas pelan, ini
memang sudah kebiasaan gadis ini jika menaiki
mobilnya dan rutinitas ini sudah di lakukan semenjak
mereka akrab.

"Hey, you tell your friends it was nice to meet them.


But I hope I never see them again."

Suaranya memang keren, bagus, dan enak di dengar.


Pantas saja Rosi selalu menang lomba menyanyi.

"Ayo nyanyi, Dhir!" Rosi menggerakan tanganya


sesuai dengan alunan musik, membuat Dhirga
semakin pusing saja.

"So baby pull me closer in the backseat of your rover


that I know you can't afford. Bite that tattoo on your
shoulder. Pull the sheets right off the corner of the
mattress that you stole. From your roommate back in
Boulder. We ain't ever getting older."

"We ain't ever getting older. We ain't ever getting


older."

CLICK.

"Kok dimatiin, sih?"

"Berisik, gue lagi gini kok lo malah senang-senang


gitu sih."

Rosi mengerjapkan matanya, entah untuk kesekian


kali perkataan Dhirga akhir-akhir ini sangat
menyakitinya, Dhirga yang memang seperti ini atau
dirinya saja yang berlebihan sih? Padahal niatnya
hanya untuk menghibur dia! Dasar, badak kored. Rosi
benci Dhirga.

"Kok gitu sih, biasanya juga lo --"

"Apa? Biasanya gue izinin lo kayak gitu? Sekarang


enggak, sekarang masa-masanya lagi kritis. Ngerti?"

Dhirga berkata sambil menyetir tanpa melihat ke


arahnya yang sudah seperti kepiting rebus bertanduk,
dirinya cukup sabar selama ini!

"Dhirga please deh, lo bisa gak bertindak biasa aja?


Gak perlu lebay!"
Dhirga menghentikan mobilnya secara tiba-tiba
membuat Rosi rada terdorong ke depan, "Rosi. Lo
bisa gak sih diem, gue lagi pusing. Bikin orang
tambah pusing aja bisanya."

Oh, seperti itu? Oke. Rosi menghela nafasnya lalu


menghadap ke lelaki itu dengan tatapan emosi. "Lo
jadi laki gitu amat, Dhir. Gue juga manusia sama
kayak Velma, sama-sama perempuan pula.
Bagaimana bisa, Velma suka sama lo sedangkan lo
memperlakuin cewek kayak gini."

Dhirga mendesah pelan sambil mengacak-acak


rambutnya, lalu memukul setir dengan tangannya
yang mengepal. "Lo gak pernah bisa ngertiin gue."

"Terus yang selama ini ngebantu lo siapa, sih? Gue


yang selama ini gak pernah ngertiin lo, gitu?"

"Lo maunya apa sih, Ros?"

"Gue maunya lo jangan bego. Udah, gitu aja."

"Lo kayak gini tuh karena gak pernah ngerasain jatuh


cinta --"

"Gue lagi jatuh cinta sekarang! Gue selalu menggaris


bawahi dia sebagai sesuatu yang penting, meski dia
selalu mencetak miring gue sebagai sesuatu yang
asing. Jangan ngerasa kalau lo yang selalu memikul
beban sendirian, ibu lo aja kalau tau lo kayak gini,
gue jamin dia ikut ngerasain pedih, kayak gue. Dhir."
Dhirga membuang muka ke segala arah, masih
belum menjalankan mobilnya. "Kalo lo ngerasain apa
yang gue rasain, ngapain lo tadi malah happy kayak
gitu?"

"Astaga, Dhir. Gue cuma mau ngehibur lo."

Dhirga kembali terdiam, pikirannya berkecamuk.

"Oke, harusnya gue tau. Gininya lo itu nyuruh gue


buat mundur! Gue peka, lo gak peka!"

Rosi langsung membuka pintu mobil dan keluar


membuat Dhirga langsung mendengus kesal,
perempuan itu sangat ribet dan baperan, membuat
Dhirga kesal sendiri.

"Ros, Rosi!"

Rosi tetap diam dan terus berjalan walaupun Dhirga


mengejarnya menggunakan mobil itu, ah entahlan
arah yang di tuju. Kemana saja asal jangan bersama
Dhirga. Rosi benci Dhirga.

"Rosi, maafin gue. Lain kali gue gak bakal kayak gitu
lagi, please."

Hatinya memberontak untuk jalan ketika melihat


Dhirga memohon maaf seperti itu, dan langkahnya
langsung terhenti ketika mendengar penuturan Dhirga
kali ini.

"Ayolah, bantuin gue. Velma lagi dalam bahaya, Ros.


Maafin semua kebegoan gue."
Dan, pengertian dalam diam adalah hal terbaik yang
bisa Rosi lakukan saat ini.

őőő

31. Ruang Hampa

TERLALU mudah bagi Revan jika mundur saat ini


juga, bukan Revan namanya kalau tidak
mempertahankan pilihannya. Karena Mama
kandungnya tidak pernah mengajarkan dirinya untuk
menyerah. Walaupun Mamanya juga tidak
mengajarkan dirinya untuk melawan Ayahnya, tetapi
jika sudah seperti ini apa boleh buat, Revan akan
terus berusaha meyakinkan Ayahnya dengan cara
apapun.

Tuk.. Tuk..

Hanya terdengar suara gemelatuk alat makan saat


ini, di tatapnya wajah lelah Ayah yang sedang makan
tanpa selera, Revan menghela nafasnya pelan.
Ayahnya ini memang hebat, teramat hebat. Tetapi,
Revan bukan anak kecil lagi yang semuanya harus
ada campur tangan Ayahnya. Revan juga berhak
bebas memilih, sudah cukup dirinya mengikuti
perintah Ayahnya itu, sudah cukup.

"Dhirga kemana?"

"Dhirga tadi pergi naik mobil, katanya ada kerja


kelompok, Tuan."
Revan berdecih ketika mendengar percakapan tadi
barusan, kerja kelompok kambing bertelur, Revan
yakin itu hanya sebuah alibi Dhirga untuk
mengalihkan perhatian Ayahnya.

"Dengar kamu Revan?"

"Ya."

"Jadi bagaimana?"

"Apa?"

"Gadis itu, -"

"Gak akan Revan lepas."

DRUAGH

Hening. Seketika suasana jadi mencekam, Revan


terdiam melihat Ayahnya langsung menggebrak meja
makan itu.

"Baiklah Ayah akan turun tangan."

"Dan Revan gak akan ngebiarin Ayah mengganggu


Velma, sedikitpun!"

"Baiklah, itu sudah cukup menarik. Saya semakin


ingin melakukan sesuatu terhadap gadis itu. Saya
ingin melihat reaksi anda, Tuan Prayoga."
Revan mendengus, Ayahnya yang hebat akan
berbuat sesuatu terhadap gadisnya, paling
mengeluarkan Velma dari sekolahan, menggusur
rumah Velma dan lain-lain. Untungnya di kepalanya
sudah banyak rencana yang ia susun semalaman
untuk ini.

Maafkan Revan, Ayah.

őőő

Ada yang tau siapa kamu, tidak tau masalah yang


kamu hadapi, hanya menilai kehidupanmu di sekolah
tetapi dia menghakimi kamu bukan main. Itu
gambaran hati Velma tentang Resta dan yang lainnya
saat ini, sangat susah ingin hidup layak. Mereka yang
layak saja masih mengganggu hidupnya yang seperti
ini, Velma tidak mengerti. Manusia memang haus
kepuasan.

"Saya tau, bukan kamu pelakunya."

Velma membulatkan matanya ketika dengan secara


tiba-tiba pak Yoga duduk di hadapannya, tidak, bukan
karena itu saja. Ucapannya juga membuat Velma
kaget, apa maksudnya?

"Tapi sayangnya, saya tidak bisa berbuat apa-apa."

"Maksudnya bagaimana pak?"

"Sekolahan ini di bawah naungan keluarga Prayoga,


dan keluarga Resta salah satu pemilik saham
terbesar. Sedangkan kamu?"
"Ta-tapi pak, ini keadilan. Keadilan tidak bisa
dibayar dengan uang bukan? Saya juga punya hak
untuk hidup layak, kan?"

Pak Yoga terlihat menghela nafas pelan, keningnya


berkerut kemudian menyenderkan punggungnya ke
sebuah pohon dibelakang. Tatapannya lurus ke
depan, memandangi gadis malang ini.

"Velma, kalau membicarakan keadilan, tidak ada


bukti kalau kamu tidak mengambil barang-barang itu."

"Saya masih punya Tuhan dan... Bapak untuk


menjadi saksi."

"Velma, saya juga orang lemah. Jika saya -"

"Baik! Baiklah, saya mengerti. Tak apa pak, lupakan.


Saya begitu mengerti politik di dunia kerja, semuanya
memprioritaskan uang."

Velma mendengus, "Lalu ada apalagi pak? Sudah?"

"Beasiswa kamu terancam dicabut, Velma."

Kata-kata yang tidak ingin didengar selama hampir


tiga tahun ini akhirnya terdengar juga, ini lebih
menyakitkan dari apapun. Apa saja ingin ia lakukan,
asal beasiswanya tidak dicabut. Walaupun tinggal
beberapa bulan lagi, dirinya tidak akan mampu
membayar sekolah ini apalagi biaya akhir tahun
sangat memerlukan nominal yang tinggi, tidak
mungkin dirinya merepotkan Ibu yang hanya buruh
jahit di rumah.
"Pak, saya akan melakukan apa saja. Asal, jangan
bapak cabut beasiswa saya."

"Baiklah."

őőő

Gerbang besar yang menjadi penghalang bangunan


megah dibaliknya terbuka, Rosi meneguk ludahnya
ketika mobil yang dinaiki bersama Dhirga ini
memasuki kawasan keluarga Prayoga. Bagaimana
tidak tercengang, dibalik gerbang ada
dua bodyguard yang berbadan kekar, terdapat taman
kecil dihalaman lengkap dengan perosotan dan lain-
lain. Ada kolam ikan indah, serta terdapat garasi yang
terbuka menampilkan berbagai macam jenis mobil
didalamnya. Banyak lagi hal yang membuat Rosi
terkesima, dan tidak bisa diungkapkan dengan kata-
kata.

"Lo gak tau betapa tergila-gilanya, Mama gue


terhadap keluarga ini."

"Hah?"

"Gue tau lo mikirnya, gue seneng ya hidup kaya


raya seperti ini? Gak ros, bagi gue semuanya hampa.
Dan rumah ini adalah kehampaan. Semuanya
bagaikan ruang hampa. Gue juga percaya, sebegitu
bencinya Revan sama gue, dia pasti setuju akan hal
ini."

Rosi mengalihkan pandangannya yang semula


memperhatikan seluk beluk bangunan megah
dihadapannya menjadi memandangi pria di
sampingnya yang sedang terus menyetir, untuk ke
rumah bagian intinya saja lumayan memerlukan
waktu beberapa menit agar sampai, sangat luas
sekali memang.

"Maksud lo?"

"Enggak." Dhirga meliriknya sedikit lalu membelokan


setir mobilnya dan berhenti. "Turun, udah nyampe."

"Y-ya." Entah kenapa, jantungnya berdebar. Ini


sangat diluar dugaannya, Rosi kira dirinya akan biasa
saja karena hanya berpura-pura.

"Lo diem aja tadi, gue mau cerita takut gak


didengerin."

Rosi berdecih, diam salah apalagi ramai, Dhirga itu


spesies macam apa sih? Sungguh jika disandingkan
dengan pria ini, kata-kata "Cowok selalu salah di
mata cewek." pasti akan berubah menjadi "Cewek
selalu salah di mata cowok." Heran.

"Selamat pagi, tuan."

"Selamat pagi, nona."

Begitu pintu utama terbuka, banyak sekali pelayan


yang berlalu lalang dan tak jarang yang menyapa
membuat Rosi serasa di kerajaan kalau seperti ini,
terlihat raut wajah Dhirga yang sedikit risih dengan
semuanya. Begini ya menjadi orang yang terlahir
kaya, tidak tenang. Rosi yang tadinya sempat
bermimpi ingin menjadi orang kaya kini langsung
membangunkan mimpinya, mengerikan kalau hal ini
terjadi kepada dirinya.

"Kita mau kemana, Dhir?"

"Ruangan atas, kamar gue."

Blush. Pipinya memerah mendengar penuturan tadi


barusan dan ingin menjerit "MAMAAA ANAKMU DI
AJAK KE KAMAR SAMA COGAN."

"Jangan mikirin hal yang enggak-enggak Ros, Lo


tau kan ini cuma pura-pura, dan di sana ada tempat
khusus belajar kelompok, lo pura-pura ngajarin gue
materi yang sempet tertinggal karena gue pindahan."

Kreet. Terdengar hati rosi yang terbelah, dasar daki


mermaid. Tau aja yang dipikirin, Rosi mendengus
kesal. "Santai bang, gue juga ngerti kali. Lo aja yang
pikirannya ngeres, gue juga ngerti kalo kita mau
belajar, iya pura-pura maksudnya."

Dhirga tersenyum kecil kala mendengar penuturan


kesal dari gadis ini, kejadian tadi sudah terlupakan
berarti.

"Dhirga?"

Suara mariton itu menghentikan langkah kedua


manusia ini, Dhirga menatap sekilas Rosi yang
terlihat tegang. "Ya, Ayah?"

"Siapa dia?"
"Dhirga kira, Ayah ke rumah sakit."

"Rumah sakit? Ada apa di rumah sakit?" Rosi


berpikir keras, teka teki keluarga Prayoga memang
susah dipecahkan.

"Baru mau pergi sekalian mengurusi urusan Revan,


jadi siapa dia?"

"Teman dekat Dhirga, kenalkan Ayah, ini Rosita


Arisanty. Putrinya Ririn Triarisanty, designer
langganan keluarga Prayoga."

Begitu mendengar keluarga itu, mimik muka pria


yang tadi memandanginya secara intens berubah
ramah, "Pagi om. Saya Rosi." Ucapnya sambil
membungkuk.

"Kami mau belajar Ayah, Dhirga ngundang Rosi


buat ngajarin materi yang sempet ketinggalan."

"Anak pintar, baiklah. Ayah pergi dulu, bersenang-


senanglah."

Rosi tersenyum ketika melihat tangan pria itu


mengusap bahu Dhirga pelan lalu pergi dengan
kedua bodyguard dibelakangnya. Dhirga menghela
nafas pelan, "Cepetan naik tangga. Setelah nyampe,
lo mau denger cerita gue tentang keluarga Prayoga,
kan?"

őőő
32. Pedih Yang Tersembunyi

DUDUK diantara pernak-pernik indah paduan antara


luar angkasa dan tataan langit membuat Rosi
terkesima, Dhirga sangat suka langit ternyata, pantas
saja gayanya selangit. Rosi terkekeh, dirinya tidak
henti-hentinya memandangi ruangan yang luas
lengkap dengan segala fasilitasnya. Tidak lama
kemudian, Dhirga keluar dari kamar mandi dengan
rambut yang basah membuat Rosi meneguk ludah,
tampan.

"Jujur ya, gue pertama kali diajak main sama laki-


laki! Ke rumahnya lagi."

Dhirga memperhatikan setiap jengkal dari gadis ini,


sangat menarik. Tanpa sadar, beberapa hari ini
dirinya terus saja menyusahkan Rosi. Dhirga
bersyukur Tuhan telah memperkenalkannya kepada
gadis yang langka ini.

"Ros?"

"Apaan, Dhir? Oh iya katanya lo mau cerita kok


malah diem." Rosi menatap Dhirga yang terlihat
sedang menghela nafas.

"Gue mulai, dan gue mau lo perhatiin baik-baik."

Rosi mengangguk sambil tersenyum membuat


Dhirga ikut tersenyum, sekarang suasana hatinya
kembali normal. Tidak kalang kabut seperti tadi.

"Gue anak haram, Ros."


Nafasnya seakan berhenti dan senyumnya luntur
ketika telinganya mendengar ucapan Dhirga barusan,
"A-apa?"

"Gue terlahir tanpa seorang Ayah, Mama gue punya


hubungan gelap sama om Darma. Ayah gue, atau
Ayah Revan saat ini."

Dhirga menyandarkan punggungnya ke belakang,


"Gue sama Mama di telantarin 6 tahun. Selama 6
tahun Om Darma selalu ngasih uang untuk biaya
hidup gue dan Mama. Sampai akhirnya, gue denger
Mamanya Revan meninggal gara-gara ngelahirin
anak kedua. Ran, yang sekarang di rumah sakit
karena jantungnya lemah. Dan saat itu, Om Darma
ngajak Mama dan gue untuk tinggal di istana
semegah ini."

"Dan, lo tau reaksi Revan saat itu? Dia ngehajar gue


habis-habisan. Gue waktu itu masih kelas dua SMP
Ros. Gue tau dia gak terima. Tapi gue juga gak mau
terlahir kayak gini, akhirnya gue nerusin sekolah ke
Bandung. Dan Revan di Binusi, tapi entah apa om
Darma ngeharusin gue untuk sekolah di Binusi
dengan alasan sudah lama gue diem dieman sama
Revan, dan gue sekarang jatuh cinta sama
perempuan yang Revan juga ngerasain hal yang
sama. Gue gak mau ngerebut hal yang berkaitan
dengan Revan tapi hati mana bisa."

"Dhir,"

"Gue belum selesai."


Rosi mengerjapkan matanya ketika melihat Dhirga
mulai berkaca-kaca, "O-oke."

"Mama gue sangat mencintai om Darma, dan Mama


gue udah berapa kali nyoba ngedeketin Revan
walaupun hasilnya nihil. Revan selalu ngehindarin
Mama gue Ros, dan pernah saat itu Revan
ngebentak Mama, gue gak terima dan di situlah gue
dan Revan tambah jauh. Mama gue dulunya kayak
Velma, kurang beruntung. Sampe akhirnya pas
Mama kuliah, ketemu om Darma yang udah beristri.
Mama gue jatuh cinta, dan disitulah gue tercipta,
Mama gue nyelesain kuliahnya dibantu sama om
Darma yang terkenal dengan kehebatannya. Dan
sekarang, Mama gue jadi Dokter Spesialis Kanker di
USA."

"Astaga, Dhir."

Rosi mendekat ke arah pria ini, ditariknya Dhirga


kedekapannya. Rosi tau, Dhirga menahan itu semua.

"Lo gak salah kok Dhir. Ini takdir Tuhan, kadang hal
mengerikan terjadi ketika lo pikir semuanya baik-baik
aja, nyatanya tidak. Ketika lo ngerasa gak ada yang
perlu di ubah, nyatanya banyak. Hidup terlalu
mengejutkan untuk memastikan apapun."

Tanpa sadar tangannya mulai mengusap kepala


Dhirga, kadang dibalik pria angkuh banyak kejutan
yang tak terduga.

"Ros, lo cewek pertama yang liat gue kayak gini.


Makasih."
"Gue akan berusaha selalu ada buat lo kok, Dhir."

"Lo emang sahabat yang baik, gue bersyukur punya


sahabat kayak lo, Ros. Bersyukur banget."

Rosi tersenyum, baiklah sahabat. Hanya sahabat.


Karena mencintai seseorang tidak boleh
mengharapkan apa-apa, jika menyukai seseorang
seharusnya kita merasa bahagia. Bahagia karena kita
menyukainya, seperti itu saja sudah cukup bagi
dirinya.

őőő

Sambil tersenyum sinis, pria ini melihat lembar demi


lembar biodata siswa yang diinginkannya.
Terpampang disana foto gadis dihiasi dengan poni
dan rambut yang lumayan pendek, matanya bulat dan
tatapannya tajam. Apa yang membuat putranya
sampai jatuh hati kepada gadis ini, dirinya tidak
mengerti. Tidak ada yang istimewa jika dilihat dari
fisik, kalau dibandingkan dengan Saras, jauh lebih
cantik anak itu. Pasti ada sesuatu, dirinya yakin itu.

"Pintar rupanya." Gumamnya sambil meletakan


kembali berkas itu di meja.

"Ya, tuan. Dia diterima di SMA ini karena


kepintarannya."

"Baiklah Sam, bisa bantu saya?"


Sam selaku kepala sekolah yang ditujukan oleh
keluarga Prayoga untuk menangani SMA Binusi ini
tampak mengernyitkan dahinya, "Bisa, kenapa tuan?"

"Anak saya, Revan menjalin hubungan dengan anak


ini."

"Astaga, apakah perlu saya keluarkan? Cabut


beasiswanya atau bagaimana?"

"Tidak-tidak. Tidak usah, itu terlalu biasa untuk


Revan. Saya ingin melihat reaksi Revan, kalau anak
ini menderita. Sampai mana mereka akan bertahan,
saya ingin tahu."

Sam meneguk ludahnya, sekejam ini keluarga


Prayoga jika ada perlakuan yang tidak sesuai dengan
keinginannya, astaga. Sam menggeleng-gelengkan
kepalanya, sudah hampir 25 tahun dirinya kerja
bersama Darma, dan sikapnya masih sama.

"Saya tidak ingin Revan seperti saya, berandalan,


semaunya."

"Tapi anda hebat, tuan."

"Saya berubah karena saya bertemu almarhumah


istri saya, tetapi sikap keterlaluan saya masih ada
waktu itu. Kamu tau sendiri kan? Farah."

"Ya, dari kalangan bawah yang berhasil membuat


tuan kalang kabut."
"Saya tidak ingin Revan mengalami hal yang sama
dengan saya."

Drrt...Drrt...

"Sebentar tuan."

Darma mengangguk sambil memegangi kepalanya,


beberapa menit kemudian terlihat Sam yang berbalik
sambil meringis.

"Ada masalah apa?"

"Velma, ada kabar kalau dia mencuri."

őőő

Untuk sekarang hanya diam yang bisa ia lakukan,


jika berbicara akan sama bodohnya dengan mereka,
apalagi membela hanya akan diremehkan. Lebih baik
dirinya diam, yakin kalau Tuhan masih bersamanya,
menyayanginya. Karena sampai kapanpun Velma
tidak akan menyalahkan Tuhan atas apa yang telah
ditakdirkan.

"Wushh, tukang maling. Gara-gara lo


tau camping kita jadi berantakan!"

"Dasar, hidup susah ya susah aja kali. Berani


banget deketin Revan, deketin tuh Jodi! Sebelas
duabelas sama lo hahaha."
Velma hanya meliriknya sekilas, tidak terlalu
mementingkan omongan mereka. Lalu, ada apa
dengan Jodi? Hanya karena Jodi berkacamata,
gagap dan berkulit hitam mereka juga mencelanya,
padahal Jodi baik. Velma pernah satu kelompok kecil
saat MPLS dahulu.

"Mereka hanya perlu tau, kalo lo juga berhak


membuat pria jatuh hati."

Suara lembut itu membuat Velma terkesiap,


disampingnya sudah ada Alsa dengan senyuman
khasnya. "Mereka cuma iri sama lo. Yaa, lo tau? Gue
juga iri banget sama lo yang selalu dapet juara
dikelas."

"A-apa?"

"Iya, gue iri sama lo yang pinter. Padahal gue udah


belajar bener tetep aja lo yang dapet juara, lo itu
hebat kok Vel. Mereka aja yang kurang menerima lo."

Velma tersenyum membuat Alsa melongo saat itu


juga, karena Alsa pertama kalinya melihat gadis ini
tersenyum setelah hampir 3 tahun berada dikelas
yang sama.

"Makasih ya."

"Hm?"

"Makasih."
"O-oke sama-sama." Alsa tergagap, walaupun
Velma masih tetap dingin dan irit bicara tetapi
mendengar kata terimakasih dari Velma itu rasanya
menggelitik.

"Bukan lo, kan? Pelakunya."

"Walaupun gue miskin, gue gak pernah diajarin


ngambil sesuatu milik orang, kok. Terserah mau
percaya atau enggak."

"Percaya kok!" Velma menatap tangan milik Alsa


yang tiba-tiba menggenggamnya, "Gue percaya
banget sama lo, orang baik kayak lo gak bakalan
ngelakuin hal kayak gitu."

"Kok lo bisa mikir kalo gue orang baik?"

Alsa hanya tersenyum yang dibalas dengan kerutan


oleh Velma.

"Si Alsa deket sama maling mau aja sih!"

"Gue gak habis pikir dia berubah total, Resta lo mikir


sama kayak gue kan?"

"Gue udah gak peduli sama dia, toh nanti kalo butuh
dia juga pergi ke gue."

Hatinya sesak mendengar penuturan mereka kali ini,


biar saja mereka menghinanya tetapi kalau mereka
menghina orang gara-gara dirinya itu sangat
membuat Velma sakit hati.
"Als, bukan apa-apa tapi mending lo pindah deh.
Gak usah deketin gue, --"

"Apa sih, gue lebih baik punya temen satu tapi


kayak lo daripada punya temen banyak tapi kayak
mereka. Bahkan gue gak ngerti kenapa orang sering
memupuk keingintahuan tentang hidup orang lain
yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan
hidup mereka sendiri."

Velma terdiam, perkataan Alsa barusan mewakili


perasaannya. Semoga dengan hadirnya Alsa,
hidupnya akan terasa lebih baik.

őőő

33. Complicated

TIDAK MUNGKIN. Revan bersikeras sambil


menggeleng-gelengkan kepalanya, Velma tidak
mungkin berbuat seperti itu. Jelas-jelas dirinya
bersama gadis itu waktu kejadian, ini pasti kerjaan
para sekutu Saras. Tidak akan Revan biarkan, lihat
saja nanti.

DUAGH BUG BUG

Lingga dan Meka hanya memperhatikan pria yang


sedari tadi memukul samsak dihadapannya, keringat
bercucuran dan nafasnya tersenggal. Pemandangan
ini adalah pemandangan kedua yang mereka tonton
setelah enam tahun lalu saat ibunya meninggal.
Revan terlihat mengenaskan, Meka menghela
nafasnya. "Kayaknya kita harus hentiin Revan."
Ucapnya sambil mengurut dahinya.

"Gak usah, kalo emosinya belum reda. Lo yang


jadi samsaknya ntar." Balas Lingga yang membuat
Meka menghirup nafas dalam-dalam.

BRUGH

Keduanya langsung mengalihkan pandangannya


pada Revan yang terkulai lemas dilantai, "dia gak
papa, kan Ga?"

"Semoga, Mek! Ayo samperin." Lingga beranjak dari


tempat duduknya disusul oleh Meka dibelakang.

"Kita ke tempat camp sekarang."

Tepat beberapa langkah lagi mereka akan


menghampiri, Revan bangun sambil mengalungkan
handuk basahnya yang mendarat tepat di kepala
Meka.

"Sialan, untung ganteng!"

"Sabar Mek, ini ujian." Lingga terkikik melihat


ekspresi Meka yang asem, Revan memang jagonya
membuat Meka syok.

"Sebelum gue siap, kalian udah ada di mobil, Lingga


lo yang nyetir gue gak mau pake supir."
Suara itu menghentikan tawa Lingga, mereka saling
diam lalu saling tatap. "Revan yang menyebalkan."

"Revan yang naif."

"Revan yang polos."

Lingga tertawa sebentar lalu menggandeng Meka


untuk segera menyiapkan mobil, "siapkan mobil untuk
tuan Revan, mas Meka."

"Sialan."

őőő

Velma terkesiap ketika dirinya menabrak sesuatu


yang keras dihadapannya, wanginya sangat familiar.
Velma mendongkak, terlihat Dhirga dengan Rosi
disampingnya yang tengah berdiri dengan polosnya.
Selalu saja bertabrakan jika bertemu dengan pria ini.

"Vel,"

"Ngapain lo disini? Ini acara kelas duabelas."

"Velma, bilang kalo lo gak ngelakuin hal itu kenapa


lo diem aja?"

"Gak usah ikut campur."

Dhirga menghela nafasnya pelan, sementara Rosi


malah terduduk ditepi puncak, Velma memejamkan
matanya. Pusingnya mulai kambuh lagi setelah dari
kemarin dirinya belum makan.

"Lo kenapa?"

"Gak papa, mending lo pergi sebelum jadi


perbincangan orang-orang."

Velma berbalik sambil menunduk untuk menghindari


berbagai tatapan yang dilayangkan padanya secara
terang-terangan. Tepat saat beberapa langkah ke
belakang, Velma menabrak sesuatu yang keras lagi.

"Heh maling! Main tabrak-tabrak aja lo!"

Dan ternyata Resta, Velma hanya meliriknya lalu


membuang muka. Merasa tidak dianggap, Resta
mendorong Velma sampai terjatuh membuat seluruh
peserta camping mulai memenuhi tempat kejadian
untuk menonton, Dhirga ingin membantunya tetapi
ditahan oleh Rosi.

"Gak tau diri, minta maaf kek! Udah maling, nabrak


diem aja lagi. Mulut lo pake, dianggurin mulu!"

Velma meringis ketika kepalanya sangat nyeri, untuk


berdiripun rasanya Velma tidak sanggup.

"Awh.." Jeritan itu membuat Velma mencoba


menguatkan matanya untuk melihat apa yang
dilakukan Resta lagi.

"Revan?"
"Lo dendam apa sama Velma? Kalo lo bukan cewek
udah gue -"

"REVAN!" Alsa menghentikan aksi Revan saat akan


memukul Resta, perempuan itu hanya memejamkan
matanya.

"Alsa, bawa Velma ke tenda darurat. Kasih sarapan,


dia belum makan. Jangan sampe ada laki-laki yang
ngeganggu dia." Ucapnya membuat Alsa dan Rosi
langsung membopong Velma ke tenda disusul
dengan tatapan benci dari Dhirga.

Kerumunan mulai bubar, para panitia tidak terlihat


karena tengah mempersiapkan kepulangan hari ini.
Dan ini merupakan kesempatan untuk Revan.

"Gue tanya sama lo, Resta. Lo sengaja ngebuat


Velma kayak gini kan? Ini semua rencana lo kan?"
Revan mendekatkan kepalanya ke arah Resta
dengan tatapan yang tajam membuat perempuan ini
bergetar.

"Lo beraninya sama cewek Van!" Ucapnya membuat


Revan menyeringai, "Emang lo punya cowok disini?
Lo yang salah kenapa gue harus nyalahin cowok?"

"Gue suruhan Saras!"

Mendengar penuturan Resta membuat Saras


langsung melotot. Sementara Revan terus
mendekatkan dirinya pada Resta yang membuat
gadis itu mundur perlahan sampai akhirnya
punggungnya menabrak sebuah pohon.
"Ini yang lo mau kan? Deket sama gue? Sekarang
gue udah ada dihadapan lo, deket banget sama lo.
Apa yang lo mau?" Suara Revan melembut, Resta
mengalihkan pandangannya.

"Apa yang lo mau gue tanya!" Masih terdengar


lembut namun mengerikan, Lingga mengusap
wajahnya khawatir sesuatu akan terjadi. Resta
perempuan dan dirinya takut Revan berlebihan,
diliriknya Meka yang terlihat sama frustasinya
dengannya.

"JANGAN BERANI-BERANINYA NGEBUAT VELMA


SAKIT!"

DUAGH

Resta memejamkan matanya ketika satu pukulan


mendarat tepat di samping kepalanya, baru saja
Revan memukul keras pohon dibelakangnya.
Sungguh jantungnya serasa copot, nafasnya
tersenggal. Dilihatnya Revan yang menatapnya
penuh penekanan, tangannya berlumuran darah.

"Gue peringatin untuk terakhir kalinya, jangan


ganggu Velma." Ucapnya sambil berlalu membuat
satu tetes air mata mengalir di wajah gadis ini.

"Resta lo gak apa-apa?"

"Win, gue... Gue takut." Isaknya sambil memeluk


Wina yang wajahnya sangat pucat.
Revan menormalkan nafasnya yang memburu, tidak
memedulikan tangannya yang berlumuran darah.
Ditatapnya Saras yang pucat pasi, banyak orang
yang melihat aksinya tadi. Termasuk Dhirga yang
terdiam mematung disana, tapi Revan tidak peduli.
Siapapun yang menyakiti Velma pasti akan berurusan
dengannya.

"Saras ikut gue."

Saras bergetar, "Gak... Gg-gue gak mau, tangan lo


luka. Lo harus di obatin dulu."

"Lo mau ngalamin yang kayak suruhan lo tadi?"

Saras menggeleng pelan, matanya berkaca-kaca.

"Ikut gue." Ucap Revan sekali lagi.

"Revan, jangan terlalu keras lo ha -"

"Gak usah ikut campur, Lingga. Untuk sekarang


biarin gue kasih pelajaran sama dia."

Lingga meneguk ludahnya, tanpa basa-basi lagi


Revan menarik tangan Saras agar gadis itu mau ikut
dengannya.

Semuanya terdiam, masih syok dengan kejadian


yang barusan terjadi. Resta masih terisak, hanya
Dhirga yang terlihat mulai beranjak dan pergi dari
tempat.
Tanpa sadar, dari kejauhan ada yang
memperhatikan kejadian ini dengan seringaian aneh.

"Tuan kita tidak langsung menemui Revan saja?"

"Ada sesuatu yang menarik, yang membuat saya


mengurungkan niat itu. Cari tau kebiasaan gadis itu di
sekolah, saya ingin menerima data lengkapnya.
Besok pagi sudah harus ada di meja saya, sekarang
kita ke rumah sakit saja."

őőő

Revan menahan sakit ditangannya, sekarang


dihadapannya sudah ada gadis yang selalu dipercaya
Ayahnya untuk bersanding dengannya nanti, Saras.

"Gue gak nyangka lo kayak gini, Sar."

"Sumpah! Itu cuma alibi Resta, semua ini dia yang


buat gue gak nyuruh dia apapun." Saras menggigit
bibir bawahnya menahan isakan yang akan bersuara,
Revan hanya meliriknya sambil menghela nafas
pelan.

"Lo sekongkol sama Resta, gue tau."

"Tapi yang ngerencanain ini -"

"Tetep aja lo juga salah!" Balas Revan cepat


membuat Saras langsung terdiam, kakinya mulai
melangkah mendekati gadis yang mulai terisak itu.
"Saras, gue nganggep lo temen gue, dari kecil lo
selalu ada buat gue selain Lingga dan Meka, gue kira
lo baik."

"REVAN! SUMPAH BUKAN GUE, hiks." Saras


terisak walaupun dirinya ikut terlibat, tetapi rencana
jahat yang keterlaluan ini murni ide Resta, dirinya
hanya mengikuti saja.

"Gue gak akan bisa percaya sama lo lagi, dan satu


lagi."

Saras terus terisak, Revan mengusap kepalanya


pelan sambil berbisik. "Jangan harap gue bakal mau
sama lo, bahkan buat deketpun gue gak akan mau.
Camkan."

"Tu-tunggu.. Revan bukan gue, bukan." Saras


memeluk Revan dari arah belakang membuat
langkah pria ini terhenti sejenak, kemudian
dilepaskannya dengan kasar tangan yang
memeluknya itu. "Gue harus pergi sebelum emosi
gue meledak lagi."

"Biarin gue yang ngebersihin luka yang ada -"

"Gue punya Velma. Gak usah, gue gak mau."

Lututnya melemas seiring dengan langkah kaki pria


yang dicintainya selama ini. "Sumpah bukan gue!!!"
Lirihnya sambil terduduk lemas, tangisnya tak henti-
henti keluar.
Dari arah belakang, terlihat jelas apa yang terjadi.
Velma tersenyum pedih, mereka sangat serasi.
Dirinya merasa bersalah dan merasa kalau dirinya
berada di tengah-tengah hubungan mereka, padahal
sudah jelas Revan yang mengejarnya tetapi
perasaannya tetap saja tidak enak.

"Aduh, Vel. Yakin deh, Revan gak sengaja ngelakuin


itu, itu pasti pelukan perpisahan! Percaya sama gue."
Alsa terlihat khawatir ketika melihat Velma yang
sedari tadi memperhatikan dua orang didepan sana.

Dan hanya dengusan yang bisa dilakukan Alsa


ketika ucapannya hanya dibalas oleh senyuman khas
ala Velma.

őőő

"Sepahit apapun kenyataan hidup, aku tidak pernah


menyesal sudah dilahirkan. Sebagaimana sepedih
apapun patah hati, aku tidak pernah menyesal telah
jatuh cinta."
-Velmasya Armadetta-

őőő
34. Complicated //2//

SETELAH istirahat dan memakan sedikit roti yang


diberikan Alsa, keadaannya mulai membaik walaupun
pusingnya masih sangat terasa yang penting
badannya tidak selemas tadi. Jika Ibunya tau
keadaannya seperti ini pasti sudah luar biasa
khawatirnya.

Alsa terlihat sedang memainkan ponselnya dan Rosi


pergi entah kemana, Velma menghela nafasnya
pelan sambil mengedarkan pandangan ke segala
arah. Dan satu titik dimana ada dua orang yang
dikenalinya menjadi objek menarik bagi
penglihatannya kali ini.

Disebelah sana ada Revan bersama Saras, entah


sedang apa yang pasti Velma yakin kalau Revan
sedang membelanya, beberapa menit kemudian...
Hatinya tiba-tiba sesak, apa yang mereka lakukan
dibelakangnya? Apakah, ini cara Revan memberi
pelajaran kepada Saras? Sangat spesial, berbeda
dengan yang dilakukannya kepada Resta tadi.

"Vel, liat deh ini Revan sama Lingga waktu kecil.


Lucu kan?"

Merasa tidak dianggap, Alsa menolehkan kepalanya


ke arah Velma yang terlihat sedang serius. "Velma?"
Tetap tidak dijawab, kemudian Alsa mengikuti arah
pandangan gadis itu lalu melotot.

"Aduh, Vel. Yakin deh, Revan gak sengaja ngelakuin


itu, itu pasti pelukan perpisahan! Percaya sama gue."
Dirinya sangat khawatir ketika melihat Velma yang
sedari tadi memperhatikan dua orang didepan sana.

Dan hanya dengusan yang bisa dilakukan Alsa


ketika ucapannya hanya dibalas oleh senyuman khas
ala Velma.

"Vel, lo harus percaya kalo Revan cintaaa banget


sama lo!"

Setelah beberapa menit saling diam, Alsa mencoba


mencairkan suasana dengan meyakinkan Velma atas
perasaan Revan.

"Gak apa-apa kok, terserah dia mau deket sama


siapa aja."

"Ck!" Alsa menghirup nafasnya dalam-dalam, "Lo


kayak gini dari dulu Vel, gak usah bohongin perasaan
lo sendiri. Gue gak suka, dulu juga lo pernah
ngomong kayak gitu sama gue pas Revan lagi deket-
deketnya sama Saras."

"Gue ngerasa... Jadi penghalang kebahagiaan


orang."

"Astaga, kebahagiaan Revan ada di lo Vel! Revan


yang gak peka, lo jangan ikut-ikutan gak peka, lo
harus ngertiin dia. Lo gak bisa nyia-nyiain perasaan
cowok kayak Revan, gak bisa Vel. Gak ada yang
harus lo lakuin, gak perlu lo ngehindar. Gue tau lo
juga sayang kan sama Revan? Yang harus lo lakuin
itu, bersyukur karena ada cowok kayak Revan yang
dikirim Tuhan buat ngelindungin lo."
Hening, lagi-lagi Velma hanya diam. Hatinya
memberontak dan mengatakan tidak bisa. Ini tidak
boleh terjadi, walaupun sayang, harusnya dirinya
pintar menahan diri. Meskipun bisa dijalani, Revan
akan ikut menderita karenanya. Dan itu hal yang
paling Velma benci, ada orang yang menderita
karenanya. Tidak akan Velma izinkan.

BRUGH

"Udah mendingan belum?"

Suara berat itu, Velma terkesiap ketika


disampingnya sudah ada Revan dengan tangannya
yang berdarah, Alsa menghilang juga. Mungkin
dirinya terlalu banyak melamun sampai tidak sadar
orang-orang meninggalkannya.

"Tangan lo kenapa?"

Deg. Velma mengerjapkan matanya ketika tangan


Revan yang satunya menyentuh dahinya. "Gak panas,
udah mendingan belum?"

Velma mengangguk disusul oleh tangan Revan


yang disorohkannya, "Obatin tangan gue. Nih kotak
p3k nya, nih airnya juga."

Revan menatap gadisnya itu yang malah gelagapan,


tak lama kemudian Velma mulai membuka kotak p3k
itu yang membuat Revan tersenyum.

"Maaf gue hilang tiba-tiba malam itu."


"Gak apa-apa kok."

"Lo gak apa-apa kan?" Velma menggeleng pelan


sambil terus membersihkan luka yang ada ditangan
prianya itu, Revan sangat kuat bahkan ketika dirinya
membasuh dengan air hangat, wajahnya biasa saja
tidak meringis atau mengeluh sakit.

"Lo kenapa? Kok bisa gini."

"Gue gak bisa mukul cewek, jadi gue pukul pohon.


Tapi lo gak usah khawatir urusan ini biar gue
yang handle."

"Gak usah." Revan mendelik ketika bantuannya


kembali ditolak oleh gadis ini, "Gue bilang gak usah.
Kali ini aja, lo gak usah ikut campur, ya?"

"Kenapa? Lo beneran ngambil -"

"Enggak! Bukan, tapi gue gak mau lo dapet masalah.


Jadi, biarin gue nyelesain masalah kali ini sendirian.
Lo terlalu banyak bantuin gue, nanti gue gak mandiri."
Ucapnya tepat ketika plester terakhir yang ia pasang
pada luka Revan selesai.

"Tapi lo harus janji kalo lo butuh bantuan, gue selalu


siap buat lo."

Velma menatap Revan yang juga menatapnya


dengan serius, senyuman menenangkan itu merekah.
"Iya, janji Revan."
Sementara Revan hatinya tidak karuan ketika
melihat senyuman itu, dan ini pertama kali Velma
berbicara dengan penuh kelembutan kepadanya,
membuat Revan sangat bahagia.

"Van, lo gak sakit? Gue ngobatin lo dari tadi tapi lo


gak ngeringis sedikitpun."

"Rasa sakit gue hilang saat natap lo, Vel. Kayak gini
aja selamanya, gue bakalan ngerasa dunia indah kalo
ada lo disamping gue."

Blush. Kebiasaan! Pria itu selalu saja


menggombalinya, sungguh dirinya serasa melayang
ke langit yang paling ujung. Jantungnya berdetak
diluar batas normal, ah Velma merasa ingin mati saja.
Pertahanannya bisa runtuh kalau Revan seperti ini.

Revan tersenyun melihat rona merah yang sangat


jelas di wajah gadisnya itu membuatnya tambah
semakin ingin menghalalkan gadis ini sekarang juga.
Meskipun Velma tidak pernah secara terang-terangan
membalas pernyataan cintanya tetapi dirinya yakin
kalau Velma juga mencintainya.

"I love you. I still love you, Velma."

Blush.

őőő

"Dhirga, dengerin gue dulu! Kalo lo ngebantuin


Velma tadi, lo bakal kena masalah! Bahkan keluarga
lo juga ikut jadi bahan perbincangan, mereka belum
tau selukbeluk hidup lo kan? Hidup harus penuh
pertimbangan, Dhirga."

"Lo selalu aja ngelakuin hal yang gue benci


berbarengan saat lo juga ngelakuin hal yang gue
suka."

Rosi memejamkan matanya sementara Dhirga


berada beberapa langkah didepannya, pria itu selalu
saja menyakitinya kalau sedang emosi. Tidak bisakah
Dhirga memandang dirinya sebagai sesuatu yang
penting, yang bahkan untuk disalahkan seperti ini
tidak dilakukannya. Sama seperti Dhirga memandang
Velma, Rosi sangat ingin seperti itu.

"Dhirga gue ngelakuin ini semua demi lo, gue peduli


sama lo!"

"Tapi yang lo lakuin ke gue itu selalu buat gue


nyesel! Kenapa gue nurut sama lo yang bahkan kalo
gue mau nurutin diri gue, gue gak mampu."

Dhirga mengusap wajahnya pelan lalu berbalik


menatap Rosi yang mulai menangis, hatinya
mencelos. Sungguh bukan maksudnya ingin
membuat Rosi sakit hati, tapi itu memang isi hati
Dhirga.

"Ros,"

"Cukup Dhir, mungkin ini yang terakhir kali gue


bantuin lo." Ucapnya sambil melangkahkan kakinya
mendekati pria itu yang terlihat terdiam.
"Ros, gue gak nyuruh lo buat kayak gitu, gue gak
maksud. G-gue --"

"Ini murni kemauan gue, gue gak bisa terus-terusan


nahan diri gue. Gue gak bisa diginiin, gue selalu
bantuin lo dengan gak ikhlas asal lo tau dan mungkin
itu yang membuat lo gak puas dengan saran yang
gue kasih sama lo, tapi asal lo tau gue gak ada
maksud buat nambahin masalah atau beban sama lo,
Dhir. Yang ada gue mau lo bahagia dan bisa
ngedapetin apa yang lo mau."

Rosi menghela nafas sejenak. "Awalnya gue pikir


gue ini gak papa, gue ikut berlari sama lo, ikut
berjuang, ikut ngorbanin segalanya itu gak papa, asal
lo ada sama gue. Tapi lama kelamaan, gue ngerasa
gak ada apa-apanya, Dhir. Terlebih lo yang selalu
nyalahin gue. Sekarang, maaf gue gak bisa bantu lo
lagi, hati gue udah cukup rusak buat nerima
segalanya tentang lo lagi, apalagi harus bersama-
sama dengan orang yang udah gue perjuangin tapi
dianya merjuangin orang lain."

"Ma-maksud lo?"

"Gue jatuh cinta sama lo Dhirga."

Dhirga terdiam, masalahnya akan tambah rumit jika


seperti ini. Bagaimana bisa dia mempunyai perasaan
seperti itu terhadapnya yang selalu menyakitinya,
seharusnya itu tidak boleh terjadi. Dhirga
memejamkan matanya.

"Gue emang bego, gue tau. Tapi, tentang mencintai,


tidak sedikit dari mereka yang memaksa bertahan
pada keadaan paling menyakitkan sekalipun,
termasuk gue bertahan sama lo dan lo yang bertahan
sama Velma. Tapi, asal lo tau gue gak nyesel ketemu
lo Dhir. Makasih."

"ARGH!!!" Dhirga terduduk begitu melihat Rosi


sudah tidak ada dipandangannya. Selalu saja ada
masalah disaat masalah lain sudah mulai ia lupakan.

őőő

35. Show Me Your Heart

SETELAH kejadian seminggu yang lalu, siswa-siswi


di SMA Binusi ini mulai di sibukkan dengan ujian-ujian.
Terutama kelas duabelas, dan hal penting lainnya
tidak ada yang berani mengganggu Velma ke
perpustakaan kali ini, bahkan Dhirga sudah jarang
terlihat, dan gadis itu sangat bersyukur hidupnya
kembali seperti dulu lagi walaupun masih banyak
pasang mata yang membicarakannya dibelakang dan
ada pula yang secara terang-terangan menatapnya
dengan tatapan benci. Tetapi setidaknya tidak ada
yang mengganggunya secara terang-terangan, itu
cukup menenangkan dirinya.

Dan hal mengejutkan terjadi ketika Resta dikabarkan


pindah sekolah, awalnya pihak sekolah tentu saja
tidak menyetujui itu karena pendidikan SMA gadis itu
sudah diujung, tinggal menunggu UN saja, tetapi
Resta terus bersikeras untuk pindah dan semuanya
dapat dilakukan, karena Resta merupakan anak
orang berada.
"Ingat ya, nanti Senin kita mulai pengayaan. UN
sudah di depan mata." Ucapan bu Dewi membuat
lamunannya buyar. Semakin dekat dengan UN,
semakin dekat juga dirinya akan menepati perjanjian
itu.

"Tidak ada yang pulang duluan, tidak ada yang izin


dengan alasan yang tidak masuk akal. Sakitpun
harus ada surat keterangan dari dokter, dengar itu
Rojak Alfairuz?"

"Yaa bu." Rojak mendengus ketika ibu Dewi selalu


saja menjadikan dirinya sebagai objek jika tengah
membicarakan hal-hal yang jelek.

"Baiklah, ibu cukupkan sampai disini. Silahkan


istirahat, assalamu'alaikum."

Begitu ibu Dewi keluar, suasana jadi ramai. Tetapi


bagi Velma, ini suasana yang menyedihkan. Banyak
hal yang ingin ia katakan kepada Revan, tetapi
sangat sulit dilakukan. Velma menenggelamkan
wajahnya dengan berbagai macam pikiran yang
menghantuinya.

"Sst, Velma?"

Tidak ada sahutan, Revan menggeleng-gelengkan


kepalanya. Kepalanya-pun mulai ia dekatkan dan
bibirnya meniup-niup poni Velma seperti anak kecil.
Revan tersenyum ketika gadis itu mulai
mengerjapkan matanya.

"Hai." Revan tersenyum polos membuat Velma


mengernyitkan dahinya.
"Kenapa?" Ucapnya sambil membereskan beberapa
peralatannya yang berantakan.

"Gak papa."

Velma menggeleng-gelengkan kepalanya, tunggu...


Kelasnya juga sangat sepi membuatnya langsung
menatap pria yang malah ikut menatapnya dengan
polos.

"Semua orang kemana?"

"Disuruh keluar semua sama gue, dan pada nurut."


Ucapnya polos sambil mencari sesuatu didalam
tasnya. Velma sampai tidak habis pikir dengan pria
dihadapannya ini, mengusir satu kelas hanya karena
ingin berduaan dengannya, astaga.

"Nih, gue bawa makanan buat lo. Harus di makan."

"Gak usah, gue kok ngerepotin lo banget ya?


Harusnya kan cewek yang kayak gini." Ujar Velma
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Lo tau itu, kalo gitu kapan-kapan lo bawain makanan


buat gue ya? Sekarang mending makan ini."

"Tapi gue gak -"

"Apapun itu, gue bakalan makan kok. Lo kan tau


waktu gue ke rumah lo, gue makan banyak."
Velma tersenyum lalu mengangguk, "Iya nanti gue
bikinin."

Senyuman Revan merekah mendengar penuturan


gadisnya itu, cepat-cepat dirinya membuka kotak
makan berwarna biru laut dan menyodorkannya pada
Velma.

"Makan."

"Ntar aja deh."

"Kok gitu? Gue mau nemenin lo makan, jarang-jarang


kan ada cowok ganteng nemenin lo makan."

"Kalo makan gak perlu ada cowok ganteng kok."

Revan terdiam membuat Velma sedikit tidak enak,


dirinya hanya bercanda kok. "Bohong kok, gue makan
ya."

Velma memulai ritual makannya, sementara Revan


hanya memerhatikannya dengan teliti, tidak mau
melewatkan moment istimewa ini.

"Revan, makasih ya?"

"Lo aneh akhir-akhir ini."

Ucapan pria itu menghentikan aksi makannya,


matanya ia kerjapkan. Hatinya mulai tidak karuan,
kalau sampai Revan curiga dan mencari tau. Itu akan
membuat rencananya gagal.
"A-aneh apanya?"

"Lo jadi lebih nerima gue, lebih lembut. Gue makin


suka."

"O-oh."

"Lo gak lagi nyembunyiin sesuatu sama gue kan?"

Velma menggeleng dengan cepat, "Y-ya enggak lah."

"Syukur kalo gitu, yaudah lanjutin makannya." Ucap


pria itu dengan tatapan masih mengintimidasi
membuat Velma hanya bisa tersenyum hambar.

Semoga Revan tidak menyadari semuanya, semoga


Revan tidak mencari tau. Velma melakukan ini semua
demi kebaikan semuanya walaupun harus
mengorbankan banyak hal tentang dirinya, yang
penting nanti semuanya akan baik-baik saja. Hanya
saja Velma tidak pernah tahu kalau hanya dengan
memperlihatkan semua isi hatinya kepada Revan,
semuanya akan jauh lebih baik-baik saja, sayangnya
Velma tidak seberani itu.

őőő

"Eh nyai Rosi yang sudah lama kanjeng tidak melihat


nyai dikelabang. Selamat pagi."

Rafli menaik-turunkan alisnya ketika melihat Rosi


baru saja masuk kelas, dirinya sengaja menggoda
gadis itu karena sudah seminggu yang lalu gadis itu
tidak berisik dikelas, dan jarang bersama Dhirga yang
sudah empat hari tidak sekolah.

"Diem lo."

"Wuish, galak amat nyai, ampun nyai."

"Rafli sekali lagi lo gangguin gue, nih liat nih." Rosi


mengangkat tinggi buku biologi super tebal yang akan
ia lemparkan pada pria itu.

"Eh buset! Lo jadi cewek gak ada lembut-lembutnya!


Cerewet iya, galak iya. Mana ada cowok yang
demen."

BRUAGH

Bukan, bukan buku biologi yang Rafli dapatkan tapi


sebuah kemoceng berwarna cokelat yang mengenai
kepalanya. Seluruh kelas terlihat cekikikan melihat
dirinya, Rafli meringis pelan. "Woy cewek PMS!"

Ringisannya terhenti ketika gadis yang tadi


melempari kemoceng itu menghilang. "Eh Rosi
kemana?"

"Keluar, ngambek tuh! Lo gak tau cewek kalo lagi


patah hati, sih." Ucap Febi sambil terus membaca
novel itu.

"Kok lo gak ngejar dia? Lo kan sahabatnya."

"Males ah, lagian lo yang salah juga."


Rafli menghela nafas pelan lalu berniat untuk
mengejar gadis itu, tepat kakinya akan melangkah,
bel masuk berbunyi membuat Rafli mengurungkan
niatnya.

Dua jam berlalu, dan ini adalah jam pulang. Tetapi,


gadis itu tidak kunjung menampakan dirinya. Untung
setiap guru yang masuk tidak ada yang mengabsen
hanya melihat dari agenda kelas. Entah kenapa, Rafli
merasa khawatir. Karena rasa bersalahnya mungkin.

"Raf, gue gak mau tau ya! Lo harus temuin Rosi


dalam keadaan utuh!"

"Iya iya iya." Rafli mendengus ketika melihat Febi


melipat tanganya didada. Menyebalkan.

"Yaudah, bye."

"Lah, lo mau kemana?"

"Gue ada janji sama pacar. Lagian ini kan urusan lo,
Raf. Tanggung jawab, huh."

"Lo sah-"

"Gue ada urusan! Bye!!!"

Rafli menggeleng-gelengkan kepalanya, akhir-akhir


ini mereka menjauh. Apalagi di saat ulang tahun Febi,
Rosi tidak terlihat. Ah, cewek memang ribet. Rafli
tidak mau menguruskan persahabatan cewek ala
drama korea itu, yang harus ia lakukan adalah
mencari Rosi.
Tas berwarna tosca dengan motif bunga itu
dibawanya, sekalian jika bertemu dengan Rosi, ia
berniat akan mengajaknya pulang bersama. Kakinya
baru saja menapaki koridor, tetapi desisan-desisan itu
membuat hidungnya kembang-kempis.

"Eh lihat deh, masa cowok ngegandeng tas motif


bunga."

"Punya ceweknya kali, wah abis ngapain ya."

Hadeh. Rafli memutarkan kedua bola matanya,


spesies satu ini selalu membuat hidupnya semakin
risih. Cewek itu menurutnya merepotkan, manja,
cengeng, bodoh, dan banyak hal lain yang membuat
dirinya semakin benci mengenai segala hal tentang
makhluk yang satu itu.

Dan seiring berjalannya waktu, ini sudah ke empat


kali dirinya mengelilingi sekolah. Hasilnya nihil,
kemana sih Rosi itu. Rafli mulai kesal, niatnya
meminta maaf tinggal beberapa energi lagi.

Akhirnya Rafli memutuskan untuk mengantarkan tas


gadis itu ke rumahnya, siapa tau Rosi sudah pulang
ke rumah. Cewek kan memang suka ribet, halah.
Kalau benar Rosi sudah pulang ke rumah, Rafli
bakalan nyesel bawa tas motif bunga itu untuk
mencari pemiliknya.

"Dasar cewek, kalo lagi pms kesentil dikit,


ngambeknya seabad. Bingung gue."

Tanpa disadari, ada sesuatu yang tumbuh karena


keterbiasaan.
36. I'II Protect You

ROSI terdiam ketika niatnya yang awal ingin


menenangkan dirinya di rooftop sekolah dan malah
bertemu dengan biang keributan hatinya saat ini.
Beberapa hari menghilang, sekarang pria itu ada
di rooftop sendirian.

Punggungnya ia sandarkan ke belakang, melihat


aktivitas yang dilakukan pria itu dari kejauhan. Sedari
tadi hanya menunduk, tidak ada pergerakan lain
membuat Rosi sedikit khawatir.

Perlahan terlihat bahu pria itu naik turun, Rosi yakin


pria itu sedang memproduksi air mata. Hanya bisa
melihat dari kejauhan dan melihat dia kesakitan itu,
sangat membuat Rosi tersiksa. Ingin rasanya berada
di sampingnya, menjadi bahu tempatnya bersandar.
Tapi, Rosi tau. Yang di butuhkan oleh pria itu pasti
wanita lain, bukan dirinya.

BRAK

"Anjir."

Rosi mengutuk dirinya sendiri ketika dirinya tidak


sengaja menginjak kaleng bekas disampingnya,
untung saja ada tempat bersembunyi. Jika tidak,
habis dia.

Matanya melirik ke arah pria tadi, tidak menengok


sedikitpun membuat Rosi bersyukur, tiba-tiba bahu
pria itu naik turun membuat Rosi mengerjapkan
matanya.
BRAK

Untuk kedua kalinya, Rosi menggerutu. Kakinya


kembali menginjak kaleng bekas itu, dan kali ini
dirinya tidak berniat untuk bersembunyi lagi kakinya
malah terus mendekat membawanya ke arah pria itu.

"Velma?"

Suara berat itu terdengar serak, sudah jelas pria itu


menangis tadi. Rosi menghirup nafas banyak-banyak
ketika dirinya lebih memilih untuk mendekat
ketimbang menghilang membiarkan pria ini sendirian,
hatinya tidak tega walaupun perih. Terlebih, kata
yang diucapkan barusan membuat goresan baru
dihatinya.

"Ini gue, Rosi."

Terlihat pria itu langsung menoleh dengan matanya


yang memerah. Rosi menatap kearah lain sebelum
dirinya duduk disamping pria itu.

Puk... Puk...

"Gue pinjemin bahu, siapa tau lo butuh. Jangan geer,


gue cuma miris liat lo kayak gini."

"Kenapa?"

Rosi mengernyitkan keningnya, "Kenapa? A-


apanya?"
"Kenapa lo harus selalu ada disaat gue kayak gini?"

Bibirnya bungkam, Dhirga memejamkan matanya


membuat Rosi ingin memeluk pria ini.

"Kenapa lo tetep baik sama gue walaupun lo tau


kalo gue gak mungkin bales perasaan lo? Kenapa
Tuhan gak nyiptain hati gue untuk cinta sama lo aja,
Ros? Kenapa harus Velma? Gue udah capek hidup
kayak gini."

Pertahanannya runtuh, dirinya langsung menarik


tubuh Dhirga untuk mendekat kemudian didekapnya
pria itu. "Gue minta maaf, tapi lo ngerti kan? Masalah
hati, paling gak bisa dipaksain."

"Gak apa-apa, Dhir."

"Makasih udah selalu ada buat gue, Ros."

"Iya Dhir, iya. Lo yang kuat oke?" Rosi mengusap


rambut Dhirga didalam dekapannya, air matanya ikut
menetes juga. Dhirga menganggukan kepalanya.

Hanya dengan biarkan mereka saling memahami


perasaannya, perasaan itu akan tumbuh seiring
keterbiasaan.

őőő

Velma menghirup nafasnya sebentar sebelum


memasuki ruangan seseorang yang terus
meneleponnya akhir-akhir ini, memberikan
penawaran sekaligus mengancamnya. Dan semoga
yang dilakukannya sekarang adalah hal yang paling
benar, untuk kebaikannya dan untuk kebaikan Revan
sendiri.

Karena peran keluarga Revan sangat berkuasa,


walaupun hatinya menolak tetapi apa boleh buat.
Velma harus menyelamatkan keluarganya, mencari
tau tentang ayahnya, mengobati penyakitnya, dan
keluarga Prayoga berperan dalam itu semua. Dengan
satu syarat, Revan harus dilepaskan.

Velma jahat, iya. Dirinya mengakui itu, tapi jika


kalian yang berada di posisinya apa yang akan kalian
lakukan? Diam dilindungan pahlawan Revan? Tidak,
itu malah akan semakin membuat mereka saling
menyakiti. Sayangnya, perasaan Velma tidak sebesar
logikanya yang berfikir. Velma rasa, kalau terus
menuruti emosi hatinya akan tidak ada perubahan.

Sambil menggigit bibir bawahnya, Velma mengetuk


pintu berwarna hitam itu. Dan hasilnya langsung
terbuka dengan menampakkan sosok pria bertubuh
kekar yang menyunggingkan senyumannya dan ia
yakin kalau ini adalah pak Darma.

"Halo, Velma. Duduk."

Dengan perasaan yang tidak menentu, Velma


mengangguk lalu duduk di depan pria itu.

"Velmasya Armadetta?"

"I-iya."
"Suatu kehormatan bisa bertemu langsung dengan
anda sebelumnya hanya bisa berbicara lewat telepon
saja. Saya sibuk, langsung saja pasti anda sudah
mengerti kenapa saya memanggil anda kemari."

"Ya, saya tau."

"Wirawan Radetta... Nama ayah kamu?"

Matanya membulat, "Iya. Apakah an-"

"Semua informasi sudah saya terima, hasilnya


terpercaya. Semua biaya sudah saya siapkan,
fasilitas saya siapkan. Kalau ada yang kurang, tinggal
katakan saja."

Velma meneguk ludahnya, sementara pria itu hanya


menyeringai. "Saya akan berikan itu semua dengan
syarat, Revan tidak lagi bisa bertemu kamu selama
waktu yang saya tentukan, tepatnya dari setelah
kelulusan."

"Bagaimana? Saya akan beri waktu sampai setelah


UN berlangsung."

"Baik, saya terima. Tidak perlu waktu."

Mendengar penuturan gadis itu, dirinya tertawa,


"Anak baik. Kenapa anda begitu cepat mengambil
keputusan? Selama ini, anda tidak benar-benar
mencintai anak saya? Atau karena anda mengakui
kelemahan itu? Jika opsi pertama benar, saya akan
berterima kasih dan mengakui anda hebat. Sampai
tidak jatuh pada sosok Revan yang seperti itu. Janji
harus ditepati, tidak hanya -"

"Maaf, saya harus pergi dan saya akan kembali


untuk membuktikan kalau saya tidak main-main.
Pastikan ini semua bukan kebohongan."

"Tentu saja bukan, kalau mau sekarang juga saya


kasih dp seratus juta."

Velma berdiri, lalu menunduk. "Tidak, tambahkan


saja uang itu untuk yang tadi. Karena saya
menghabiskan hampir satu milyar tiap bulannya.
Terimakasih."

"Saya tetap akan memberikan waktu untuk anda


dan saya tunggu, nanti setelah UN. Fokus UN saja
anak manis."

Velma keluar dari ruangan itu, air matanya pasti


akan bercucuran jika tidak ia bendung. Orang kaya
memang brengsek tapi kenapa dirinya bisa jatuh cinta
dengan orang kaya. Ah, sungguh Velma harus cepat-
cepat pulang dan membicarakan semua ini dengan
ibu.

Setelah berhasil meninggalkan bangunan megah,


atau lebih dikenal dengan perusahaan besar keluarga
Prayoga. Velma langsung mencari angkot untuk
pulang, waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB dan
angkot memang jarang lewat. Ah, harusnya uang
seratus juta itu ia ambil. Sial. Velma menggeleng-
gelengkan kepalanya tidak habis pikir dengan dirinya
yang sekarang seperti ini.
"Velma?"

Velma terkesiap ketika ada yang memanggil


namanya, dan didepannya sudah ada sosok Lingga
dengan mobil putihnya. "Mau pulang? Gue anter.
Angkot udah gak ada jam segini."

Dalam hati, Velma mengutuk kakinya yang langsung


melangkah dan masuk ke dalam mobil putih itu dan
beberapa saat setelahnya, Lingga menjalankan mobil
itu. "Lo abis ketemu siapa? Kok ada di depan
perusahaan Prayoga?"

Hening.

"Velma? Lo denger kan?"

"Eh iya, emang ini perusahaan Prayoga? Berarti ini


perusahaan milik Revan dong?"

"Ya ampun, lo ini." Lingga menggeleng-gelengkan


kepalanya, "Jadi lo udah ngapain?"

"Y-ya. Tadi gue nganter bos gue buat ketemu klien,


dan gue gak tau ini perusaan milik Revan." Velma
tertawa sinting.

Lingga terdiam, hatinya tidak tenang. Pasti bukan ini,


bukan soal bosnya ataupun apalah itu. Pasti ini
menyangkut Pak Darma.

"Sampe sini aja, Ling."


"Sekalian aja, gue lagi santai kok."

"Baiklah."

Dari kejauhan terlihat mobil hitam milik Revan di


depan rumahnya, Velma menghela nafas hari ini
akan menjadi hari yang panjang.

Őőő

37. I'II Protect You //2//

SETELAH mengantarkan Velma, Lingga berencana


untuk pergi ke restoran tempat dimana Velma bekerja,
untuk memastikan yang tadi. Pasti om Darma sudah
melakukan sesuatu terhadap gadis itu, Lingga sangat
yakin. Beberapa menit kemudian, mobilnya ia
parkirkan di tempat yang ia tuju.

Lingga turun dan mulai melangkahkan kakinya untuk


masuk kedalam, baru satu membuka pintu seluruh
pandangan mulai menjerumus kearahnya.

"Itu bukannya Lingga yang di Hajuna's band bukan,


sih?"

"OMG iya!!! Kita harus ajak foto bareng biar hitz!"

Lingga berdehem ketika mendengar perbincangan


orang-orang itu, kakinya ia langkahkan untuk
menanyakan pemilik resto ini, Lingga berusaha untuk
bersikap setenang mungkin.
"Ada yang bisa saya bantu?" Pelayan bername
tag Devi itu menyunggingkan senyuman yang
membuat pelanggan dibelakang sana menjerit.

"KAK LINGGAAAAAA."

"KAK AKU LINGLING HOLIC BENERAN!!!"

"AAAAAA."

"IIIIIIIIIIIIII."

Mendengar teriakan dibelakang, Lingga langsung


lari ke arah toilet pria sebelum dirinya dicakar dan
dilempar sana-sini, begini ya kalau sudah terkenal
kemana-mana ribet. Lingga menggeleng-gelengkan
kepalanya. Terdengar suara orang dicarinya sedang
menenangkan para pelanggan membuat Lingga
bernafas lega.

"Lingga, keluar udah aman."

Suara pak Yosep langsung membuat Lingga


membukakan pintu toilet itu, "Makasih pak."

"Ada apa kamu kesini?"

"Begini pak, Lingga mau bicara soal Velma."

"Gak bisa." Pak Yosep langsung membuang


mukanya dan berjalan membelakangi Lingga yang
terheran-heran.
"Kenapa? Lingga akan beri berapapun asal bapak -"

Pak Yosep menghela nafas pelan, "Masalahnya


Velma suruh bapak tutup mulut. Bapak kasian sama
dia, bapak punya banyak salah sama dia."

"Kenapa sih, pak? Jangan buat Lingga mati


penasaran."

"Gak bisa! Mending kamu pulang aja sana."

"Loh gak bisa gitulah, pak Lingga serius."

"Iya bapak akan kasih tau, asal kamu turutin


perintah pelanggan bapak, deal?" Lingga melongo
mendengarnya, "Astaga ta-"

"Yaudah."

"Iya Lingga mau, jadi Velma kenapa?"

"Velma berhenti kerja disini."

Lingga membulatkan matanya, perasaan tidak enak


tadi sudah jelas. Ada sesuatu, pasti ada sesuatu.
"Terus kenapa?"

"Tambah si ganteng Revan sama Meka nya kalo


mau informasi lebih lanjut."

Sebelum dirinya mengambil ponsel di saku


celananya, Lingga mendengus membuat pak Yosep
tertawa geli. "Baik, asal bapak janji informasinya
harus jujur, akurat, ringkas, sopan,
pertimbangan, konkrit, benar."

"Ya."

"Hm." Lingga mengetik dua orang yang akan


dihubungi sekaligus.

"Revan, masih di rumah Velma? Gue punya


informasi penting. Lo harus kesini cepetan, ke tempat
kerja Velma. Dan, Meka kita juga butuh bantuan lo.
Dalam 5 menit harus udah nyampe urgency."

őőő

Velma merebahkan dirinya ke kasur kesayangannya,


setelah tadi ada Revan yang membuat dirinya tidak
bisa mengungkapkan apa yang terjadi kepada ibunya
sampai sekarang, dan beberapa menit tadi ia
habiskan untuk menemani Revan menonton tv di
rumahnya, padahal jelas-jelas Revan pasti punya tv
yang lebih canggih dari ini, ah Velma tidak habis pikir
dengan kelakuan pria itu lagi.

Tidak terasa setelah tiba-tiba Revan akhirnya


berpamitan untuk pulang karena ada urusan penting
itu waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB. Ini
bukan tentang besok akan kesiangan karena
memikirkan sosok Revan yang sempurna sampai
terulang kejadian dimana Revan menyelamatkannya
karena kesiangan tempo dulu, tapi ini masalah
tentang rahasia yang telah disimpannya rapat-rapat.

Velma rasa, Lingga bukan orang yang akan diam


saja dan langsung percaya atas yang ia utarakan tadi.
Semoga saja, besok semuanya akan baik-baik saja
dan berjalan sesuai yang diharapkannya. Velma ingin
pergi tanpa meninggalkan jejak sedikitpun, pergi
dengan rapi dan tidak membuat siapapun akan
merasakan kesusahan karenanya lagi, termasuk
Revan.

Apakah dirinya harus menyakiti Revan dulu agar


pria itu membencinya?

Atau dirinya harus diam saja, mengikuti alur yang


berjalan dengan pura-pura baik saja sampai waktu
akhirnya menyuruhnya untuk meninggalkan
semuanya?

Drrt... Drrt...

Suara ponselnya itu membuat semua pertanyaan-


pertanyaan yang berkecamuk dalam dadanya buyar,
tertera nama 'Dokter Naufal' di layar utama ponsel itu.

"Halo?"

"Velma, besok kita harus bertemu."

"Bukannya jadwal saya kesana itu lusa, Dok?"

"Tidak, perkembangan penyakit kamu semakin


meningkat akhir-akhir ini. Apalagi saat kamu di
apartemen saya minggu lalu, kamu sudah kelihatan
pucat dan itu membuat saya khawatir."

"B-baiklah, Dok." Velma menggigit bibirnya


menahan isak tangisnya.
"Istirahat yang cukup, hindari stress. Velma, ini
serius, bersugestilah kalau kamu akan baik-baik saja.
Karena menurut sebagian dokter, kesehatan
psikologis sangat berperan demi kesembuhan,
mengerti?"

"Saya sangat berterimakasih kepada Dokter, saya


akan berusaha untuk sembuh, pasti. Dokter juga
yang kuat, semuanya akan baik-baik saja." Velma
menjauhkan ponselnya itu dan terus terisak.

"Baiklah, sampai ketemu besok. Setelah konsul kita


ke apartemen lagi. Nice dream, Velma."

Tuut... Tuut...

Sambungan tertutup seiring dengan tangisan Velma


yang tertahan, memang setelah bertemu dan dekat
dengan Revan, semuanya jadi nampak mudah untuk
dijalani dan Velma mengakui itu. Bahkan jika ia tadi
memilih opsi pertama, itu tidak akan bisa ia lakukan
terhadap Revan, tidak bisa, tidak tega dan itu sama
saja dengan menyakiti dirinya sendiri.

őőő

Sambil menunggu Revan dan Meka tiba, Lingga


langsung memesan beberapa makanan kesukaannya,
sudah hampir dua puluh menit dirinya menunggu
kemunculan batang hidung mereka berdua disini,
sungguh ini membuatnya bosan.

"Pak Yos! Lingga mau beli sesuatu sebentar ke


supermarket seberang ya!"
Setelah mengucapkan pernyataan itu, Lingga
bergegas memakai masker hitam, kacamata hitam
dan topi yang berwarna hitam juga. Dirinya bersikap
tenang dan aman saat melewati ruang utama
restoran itu walaupun dalam hati sebenarnya
berdebar-debar.

"Haaah, sampe juga gue." Ucapnya sembari


menarik maskernya ke bawah.

Lingga melangkahkan kakinya menuju tempat


minuman isotonik berada, sesampainya disana ia
mengambil beberapa kaleng yang ia butuhkan dan
menutup lemari pendingin itu. Saat berbalik, dirinya
melihat seseorang gadis yang sangat familiar disana
sedang berdebat dengan salah satu kasir.

"Pembayarannya memakai uang tunai, tidak bisa


memakai kartu mbak."

"Gimana sih? Fasilitas ditingkatkan dong, pokoknya


saya gak mau tau harus bisa."

Terlihat kasir itu berbisik-bisik sebentar, membuat


gadis itu semakin jengkel. "Eh mbak-mbak jangan
kebanyakan gaya deh! Nih, harus bisa."

"Mmm... Bagaimana kalau barang yang mbak beli


kita kasih gratis aja?"

BRAK

"Situ nganggap saya miskin ya? Beraninya --"


"Biar saya yang bayar belanjaan cewek ini mbak,
ditambah ini."

Lingga yang sudah tidak tahan melihat kelakuan


gadis itu langsung bergegas sebelum sesuatu yang
tidak diharapkan terjadi.

"Gak mau! Gue bisa bayar sendiri!"

"Maaf ya mbak, pacar saya emang kadang


ngejengkelin. Dia itu sebenernya manis dan suka
becanda kok, mungkin lagi dapet." Lingga
menghiraukan ucapan gadis itu yang terlihat semakin
menjadi-jadi.

"Mbak mikir dong pembeli adalah raja."

"Saras!"

Gadis itu adalah Saras, dengan memakai baju


minimnya dan keadaan yang acak-acakan, Saras
percaya diri menginjakkan kakinya ke supermarket ini.

"Semuanya Rp.576,000 dek."

Cih, Saras mendelik mendengarnya. Saat


memanggil dirinya 'mbak' saat memanggil Lingga
'dek' dasar kasir sialan.

"Kembaliannya ambil saja, makasih mbak."

Kemudian Lingga langsung menarik lengan Saras


keluar, "Lo abis mabuk?"
"Bukan urusan lo! Sini belanjaan guee." Saras
menarik-narik plastik itu dengan keadaan terhuyung-
huyung.

Lingga menggeleng-gelengkan kepalanya, Saras


pasti mabuk. Lihat saja barang belanjaannya pun
berupa makanan pereda Hangover semua.

Setelah meneguk minuman berupa Yogurt itu Saras


terlihat memegang kepalanya sambil terus berjalan
terhuyung-huyung, "Toilet! Toilet dimana!"

Saras merasakan disekelilingnya berputar, dirinya


tidak kuat berjalan lagi. Dan setelah itu Saras tidak
ingat apa-apa lagi membuat Lingga dibelakangnya
sangat miris dengan keadaan gadis itu.

"Bego." Lingga menggendong Saras dan berniat


untuk membawanya kedalam mobil, sekalian
langsung mengantarkannya pulang. Bisa habis nanti
kalau gadis itu dibiarkan saja dengan pakaian
seminim itu dijalanan, dan Lingga sudah pasti tidak
akan membiarkan hal itu terjadi.

"Lingga?"

Suara itu, Lingga langsung menoleh kearah


samping dan mendapati Alsa dengan tatapan yang
mengintrogasi.

"Maaf Als, gue bisa jelasin. Nanti, sekarang gue


mau nganterin Saras dulu pulang. Maaf." Lingga
bergegas untuk pergi ke mobilnya itu sebelum banyak
orang lain yang melihatnya dan menuduh tidak benar
tentang dirinya dan Saras.
Dibalik semuanya, Alsa terdiam dengan hati yang
kacau. Alsa kira, masih ada kesempatan dengan
Lingga dan memperbaiki semuanya dari awal. Tapi
ternyata, Lingga sudah pindah kelain hati.

"Asal lo tau, ngelepasin lo, gue mampu. Berhenti


mencintai lo, belum tentu. Lingga."

őőő

38. I Can't Find Your Heart

BRAK

Revan membuka pintu tersebut dengan tergesa-


gesa, pandangannya tajam dan tangannya ia kepal.
Ayahnya sungguh keterlaluan, Velma benar-benar
kelemahannya. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya
kalau Ayahnya itu akan berlaku sebegini halusnya.

Seluruh karyawan terlihat memberikan jalan kepada


Revan dengan tatapan yang sulit diartikan, tapi
Revan sama sekali tidak mempedulikan keadaan
sekitarnya.

"Tuan Revan, anda tidak bisa mengakses --"

"Minggir."

Glek. Salah satu karyawan yang bertugas


dibagian CCTV itu terlihat gemetaran, "Saya bertugas
untuk keluarga Prayoga, tapi --"
"M-I-N-G-G-I-R." Ucap Revan lagi dengan penuh
penekanan membuat karyawan itu mau tidak mau
mempersilahkan Revan duduk dan mendapatkan
keinginannya.

Revan mengutak-atik mesin dihadapannya


kemudian munculah hal yang diinginkannya, terlihat
disana seorang gadis yang sangat Revan kenali
sedang berjalan kemudian berhenti di depan ruangan
ayahnya, cukup lama gadis itu berdiri disana sampai
akhirnya masuk kedalam.

Revan menggeram, benar saja dugaan Lingga.


Setelah tadi dirinya begitu lama mengurusi masalah
Saras yang akhirnya diantarkan oleh Lingga,
kemudian janji Lingga yang akan menuruti semua
fans disana bahkan Meka terlihat kewalahan, sampai
akhirnya mendapatkan sesuatu yang sangat penting
ini.

Sesudahnya Revan langsung melangkahkan


kakinya kembali untuk keluar dari ruangan tersebut,
banyak desas-desus yang dihiraukan olehnya. Revan
tidak tahu harus pergi kemana untuk menenangkan
hatinya, waktu sudah larut dan hampir tengah malam.
Tanpa tujuan yang jelas, Revan menyetir mobilnya
kemanapun ia pergi asal hatinya dapat tenang
kembali.

Drrt... Drrt...

Baru saja kakinya akan menginjak pedal gas tapi


sebuah nama muncul di layar ponselnya.

"Hallo, Ran?"
Tidak ada jawaban, ini semakin membuat Revan
tidak karuan. "Ran??? Ran tolong katakan sesuatu
sama kak Evan."

"Ran koma."

Setelah itu, semuanya terlihat hanya kegelapan


dalam hidup Revan.

őőő

Velma menutup buku matematikanya, para guru


sedang mengadakan rapat untuk kelulusan nanti.
Membosankan, sama seperti tempo dulu. Diliriknya
jam dinding yang menggantung disana dan sepuluh
menit lagi bel istirahat berbunyi.

"Vel, dicariin Revan diluar." Alsa yang tadi Velma


lihat tengah mencatat, kini ada dihadapannya.

"Eh, beneran?"

"Iya, dia keliatan... Kacau, Vel."

Deg. Ucapan Alsa berhasil membuat sentilan keras


dalam hatinya, jangan bilang Revan mulai
mengetahui semuanya. Ah, tidak mungkin.

"Velma?"

Velma langsung mengerjapkan matanya lalu berdiri,


"Makasih Als."
Alsa mengangguk sambil terus memperhatikan
tubuh Velma yang menjauh, urusan Revan memang
bukan urusan Velma, tapi setidaknya gadis itu... Ah
sudahlah, bukan urusan Alsa juga, Alsa mengedikkan
bahunya lalu berniat untuk mencatat kembali.

Sementara itu, Velma kebingungan ketika Revan


tiba-tiba mengajaknya ke taman. Banyak pasang
mata yang memperhatikan mereka, tetapi sejauh ini
Velma tidak dapat berkutik dan hanya mengikuti
Revan yang mulai memainkan gitarnya tanpa
mengucapkan sepatah katapun sebelumnya.

"With december comes the glimmer on her face,


And I get a bit nervous... I get a bit nervous now."

Revan bernyanyi dengan penuh perasaan, banyak


yang menyangka ini adalah keromantisan pria itu.
Tapi, Velma lebih merasakan kalau Revan tengah
mengutarakan isi hatinya lewat musik ini.

"In the twelve months on I won’t make friends with


change, When everyone’s perfect, can we start over
again. The playgrounds they get rusty and your, heart
beats another ten thousand times before, I got the
chance to say... I miss you."

Revan menatapnya tajam membuat Velma sendiri


malah ingin meneteskan air matanya. Ini bukan
keinginannya, bukan. Sangat bukan, 'Maafin gue.
Revan.'

"When it gets hard, I get a little stronger now, I get a


little braver now. And when it gets dark, I get a little
brighter now, I get a little wiser now. Before I get my
heart away."

Seluruh sekolahan melihat aksi ini, namun dari


kejauhan. Mereka tidak berani jika nantinya harus
berurusan dengan seorang Revan.

"Well we met each other at the house of runaways, I


remember it perfectly we were running on honesty.
We moved together like a silver lock and key, but now
that your lock has changed. I know I can’t fit that
way."

"The playgrounds they get rusty and your... Heart


beats another ten thousand times before, I got the
chance to say... I want you."

Gitarnya terus ia petik, alunan suara terdengar


kemana-mana layaknya sedang konser padahal ini
bukan demikian, ini adalah taman sekolah pada saat
jam istirahat. Tapi, bagi Revan tidak ada bedanya.

"When it gets hard, I get a little stronger now, I get a


little braver now... And when it gets dark, I get a little
brighter now, I get a little wiser now. Before I get my
heart away."

Setelah selesai melantunkan lagu A Little Braver -


New Empire, Revan menyimpan gitarnya lalu beralih
menatap kedua bola mata indah milik gadisnya ini.

"Gue jadi inget sesuatu, cinta itu semacam musik


yang indah. Bedanya, cinta sejati akan membuat lo
tetap menari meskipun musiknya telah lama berhenti.
Begitu kata Tere Liye."
Velma mulai membalas tatapan Revan, "Ini bukan
cinta, Van."

"Maksud lo?"

"Gue... Gak cinta sama lo."

Hening.

Keduanya sama-sama terdiam dengan pikirannya


masing-masing, Revan tertawa kecil. Tawa itu
sungguh bukan tawa yang pernah Revan berikan
kepadanya sesekali, tawa ini sangat menyakitkan
bagi Velma.

"Becanda lo itu, gue mau nanya sesuatu."

Velma tidak menjawab, jantungnya berdetak diluar


batas normal.

"Lo kemarin ngapain ketemu bokap gue?"

Hening.

Kembali tidak ada jawaban, dan Revan kembali


dengan tawa menyebalkannya.

"Katakan sesuatu Vel, katakan apa yang perlu


diperbaiki, karena diam aja hanya akan membuat
semuanya semakin sulit. Gue kurang apa, gue akan
kasih semuanya buat lo. Asal, jangan pernah lo
turutin kemauan bokap gue, jangan. Gue mau lo tetep
ada, di sisi gue. Bersama gue, Velma."
Cukup. Ini jauh menyakitkan, ini perasaan dilema
yang sangat menyakitkan. Velma membuang
mukanya untuk sekedar menghindari kontak mata
dengan pria itu, "Dengerin gue, gue itu cuma
manfaatin lo. Beneran."

"Lo gak harus --"

"Gue jujur, gue harap lo berhenti ngelakuin ini


semua buat gue. Buat gue ini gak berarti apa-apa
Revan, gak ada berartinya buat gue. Lo nganggap
gue segalanya sedangkan gue nganggap lo hanya
keuntungan. Gue minta lo jauhin gue, gue ini
brengsek."

Setelah itu, Velma beranjak pergi tapi sesuatu


menarik lengannya.

"Gue mohon, gue mohon sama lo. Bertahan sama


gue, jangan nyerah karena Ayah gue yang sialan itu,
Vel gue mohon."

"Gue jujur apa adanya, suara lo sumbang gak enak


di denger di telinga gue. Muka lo jelek, bukan tipe gue
dan lo terlalu kaya nanti malah buat gue boros."

Revan terus menatap Velma yang semakin menjadi-


jadi disana, "Velma."

"Gue benci elo, Revan Prayoga. Lo pemaksa, gue


benci. Hiks."

Isak tangis mulai keluar dari mata Velma, membuat


Revan langsung membawa gadis itu ke pelukannya
selama beberapa detik yang kemudian Velma
melepaskan pelukan itu.

"Gue serius, Van."

Velma memberanikan diri untuk menatap tepat


dibola mata milik pria itu, "Gue gak ada perasaan
sama lo sedikitpun, lo bego. Mau aja gue manfaatin.
Gue itu miskin, tentu gue mau elo karena lo kaya
Revan. Dan saat Ayah lo lebih kaya dari lo, gue milih
dia."

Revan terdiam mendengarnya, dibalasnya tatapan


gadis itu sambil mencari celah dimana dirinya akan
menemukan sebuah kebohongan dimata gadisnya itu,
namun hanya kegelapan yang Revan rasakan.
Gadisnya itu tidak main-main?

"Tampar gue, pukul gue sepuasnya. Gue emang


brengsek."

Tatapan mereka terus beradu, sampai akhirnya...

BRAK

"Gue gak bisa pukul perempuan."

Velma terdiam ketika Revan justru malah memukul


gitar kesayangannya dan berlalu dengan tangan yang
kembali penuh darah, Velma merasakan sakitnya
disini, dihatinya.

őőő
“Taman bermain menjadi berkarat dan jantungmu
berdetak sepuluh ribu kali sebelumnya, aku
mendapatkan kesempatan untuk mengatakan aku
rindu kamu.”
A Little Braver - New Empire

őőő

39. Saras Is Care

PINTU UKS terbuka, Lingga dan Saras yang ada


didalamnya langsung terperangah, Revan dengan
penampilan yang kacau, tangannya pun berlumuran
darah. Perlahan, pria jangkung itu mendekat dan
langsung terduduk.

"Tolong obatin gue, Saras."

Suasana masih hening, tidak ada jawaban membuat


Revan tambah muak. "Kalo lo gamau, panggil
petugas cewek buat obatin gue."

"Ekhem anu, Revan tapi Saras sakit." Lingga yang


memang diminta Alsa untuk menggantikan gadis itu
sementara, malah tergagap, dirinya takut Revan
memikirkan hal yang tidak-tidak setelah melihat
dirinya berduaan dengan Saras di UKS.

"Gue lebih sakit."

Lingga menghela nafasnya, "Lo abis ngapain?"

"Gue butuh pengobatan bukan pertanyaan."


"Biar gue obatin," Saras bangkit dari tempat tidurnya
dan mulai menarik kursi agar bisa lebih dekat dengan
Revan.

"Jadi lo kenapa?" Saras dengan telaten


membersihkan darah yang ada di tangan pria itu.

"Gue mukul gitar, gue gak bisa mukul cewek."

"Gitar pemberian almarhumah ibu lo?" Lingga benar-


benar tidak habis pikir dengan Revan ini, selama 6
tahun pria itu melindungi gitar kesayangannya
layaknya kekasih dan akhirnya dihancurkan juga.

"Hm."

"Siapa cewek yang mau lo pukul? Resta kan udah


gak ada di sekolah ini." Lingga menyenderkan
punggungnya ke tembok UKS itu.

"Velma."

Hening, bahkan Saras menghentikan aktivitasnya


sejenak mendengar nama itu sebagai penyebabnya.

"Kok? Lo gak becanda, Van? Kenapa? Ada apa


sama dia?"

"Bisa gak sih gak usah nanya-nanya dulu? Perih."

Saras mengerjapkan matanya lalu kembali


mengerjakan aktivitasnya, sementara Lingga
bungkam. Dalam hatinya masih berkecamuk
pertanyaan-pertanyaan yang akan ia lontarkan nanti
pada Revan, begitupun Saras yang
masih syok dengan pria itu.

őőő

"Astaga, beneran Velma?"

"Iya!!! Gue tau ini bakalan jadi viral, makanya gue


videoin eh akhirnya nyesek banget, masih mending
Revan mau sama maling malah di sia-siain, udah gak
waras kali dia."

"Post youtube, instagram, semuanya dan kasih


kabar ke Resta!!!"

Alsa yang mendengar semua itu langsung


terfokuskan, apa yang dilakukan Velma dengan
Revan tadi? Seketika, Alsa menggeser tempat
duduknya.

"Ada apaan sih?"

Dua orang siswi tadi terlihat melemparkan


pandangan yang tidak mengenakan terhadapnya.

"Kenapa? Ada yang salah sama gue?"

"Asal lo tau, orang yang selalu lo belain itu


dalemnya busuk."

"Maksud kalian... Velma?"


"Nih, liat aja." Rika menyerahkan sebuah ponsel
yang sedang memutar video, Alsa menerimanya dan
memperhatikan video itu dengan seksama.

"Lo edit semuanya? Gak mungkin ini Velma."

"Cih, lo kena pelet apa deh sama Velma. Terserah


mau percaya atau enggak, yang penting ini bukti
kalau Velma itu busuk."

Rika mengambil ponselnya dengan kasar, "Percuma


gue kasih ini sama lo, jangan-jangan lo sama
busuknya kayak Velma. Cabut yuk!"

Alsa terdiam, dirinya akan bergegas mencari gadis


itu untuk mengklarifikasi semuanya. Sungguh yang
dilakukan oleh Velma itu tidak seharusnya, Alsa
berniat akan menyadarkan gadis itu secepatnya.

Tepat saat Alsa berbalik, dirinya menemukan Velma


yang penampilannya sangat kacau, rambutnya tidak
beraturan bahkan roknya sangat pendek ada bekas
guntingnya dan seluruh tubuh Velma basah.

"Velma!!! Lo kenapa lagi? Lo diapain?"

Velma hanya meliriknya dingin lalu menghiraukan


Alsa begitu saja, "Astaga. Velma!"

"Lepasin." Ucapan dingin itu membuat tangan Alsa


yang memegang lengan Velma terlepas, "Velma, lo
kenapa sih? Gue khawatir."

"Lo siapanya gue sampe khawatir gitu?"


Alsa terdiam, sementara Velma duduk dikursinya
dan langsung menyembunyikan wajahnya dilipatan
tanganya. Seluruh kelas hanya terdiam, ada
sekelebat rasa kasihan terhadap gadis malang ini.

Sambil berjalan menjauhi kerumunan, Alsa langsung


mengambil ponselnya dan berniat menghubungi
seseorang untuk hal ini.

"Halo?"

"Halo Lingga, lo lagi sama Revan?"

"Iya."

"Oke, mending dia sekarang ke kelas Velma."

"Ada apa?"

"Pokoknya kesini aja!"

Hening.

Alsa berdecak ketika panggilannya malah diputus


dari seberang sana, tetapi dirinya tidak akan
menyerah, Alsa langsung memanggil Lingga kembali.

"Lo gimana sih? Velma digangguin, dia basah


kuyup!!!"

"Revan bilang, dia gak peduli."


"Ap... Apa?"

"Dia gak peduli."

"Lingga!!! Lingga!!!"

Astaga, ini semakin membuat Alsa kesal sendiri.


Dan satu kesimpulan yang Alsa dapat dari semua ini.
Velma dan Revan sedang tidak beres.

őőő

Untung saja di lokernya terdapat baju olahraga,


untung juga guru tidak ada yang masuk hari ini.
Tuhan menyayanginya, itu yang Velma tau.

Hari ini dirinya sudah ada janji dengan Dokter Naufal,


juga untuk menepati janjinya. Kegiatan ini sudah ia
lakukan semenjak pengobatan pertamanya dengan
Dokter Naufal, Velma di diagnosis terkena penyakit
yang jarang ditemui pada wanita, Velma merasa
sangat terpukul awalnya. Itu sebabnya dirinya sering
mimisan dan sering merasa kepalanya sangat sakit,
kata dokter Naufal penyakitnya ini merupakan
penyakit turunan, tapi Velma rasa tidak ada yang
mempunyai penyakit yang sama di keluarganya.

Sangat menyedihkan, tapi Velma tidak perlu


bersedih. Ini adalah takdir Tuhan, Velma tersenyum
sambil menunduk dan... Cairan itu mendadak muncul
lagi. Cairan berwarna merah terjatuh dari hidungnya
saat Velma menunduk. Velma langsung merogoh
tissu yang selalu ia sediakan sambil terus berjalan
menuju rumah sakit yang ia tuju.
Sesampainya Velma mempercepat langkahnya
untuk langsung masuk kedalam ruangan Dokter
Naufal.

"Permisi, Dok?"

Tidak ada jawaban, namun 'TES' satu tetes darah


terjatuh ke lantai membuat Velma langsung melotot
dan menunduk hendak membersihkan darah tersebut
dengan tissu yang dia punya.

"Lo kenapa?"

Suara itu, Velma langsung menengadah dan disana


ada Saras dengan tatapan mengintrogasi. "Bukan
urusan lo."

"Ada urusan apa sama Dokter Naufal?"

Velma terdiam sambil terus menyumpal hidung nya


dengan tissu, "Lo ngikutin gue?"

Saras mendelik, "Ngikutin? Ini tempat kerja bokap


gue kali."

Hening, tidak ada yang menyahut lagi. Saras


sebenarnya sudah penasaran dengan keadaan
Velma yang sangat mengkhawatirkan itu dimulai dari
keadaan Velma disekolah yang dibully habis-habisan,
sekarang mimisan dan Saras mengakui kalau dirinya
memang sengaja mengikuti gadis itu.

"Lo penyakitan? Lo kenapa ada disini? Lo sering


banget ya berurusan sama Dokter Naufal?"
Rentetan pertanyaan itu hanya dapat di jawab oleh
Velma dengan keheningan membuat Saras berdecak
pelan, "Hidup lo penuh dengan rahasia, gue mau
bilang Revan kalo lo --"

"JANGAN!" Velma mendadak histeris membuat


Saras mengernyitkan dahinya, "Kenapa?"

"Jangan pokoknya gue mohon sama lo jangan


bilang siapa-siapa soal ini, please. Gue akan jauhin
Revan, gue gak akan berurusan lagi dengan dia, gue
janji!"

Saras menatap gadis dihadapannya ini dengan


seksama, "Lagian tanpa harus gue kasih tau, Revan
pasti tau kok, dia kan punya banyak koneksi."

"Pokoknya gue mohon jangan sampe Revan tau,


gue mohon bantuan lo Saras."

Hening, tidak ada jawaban.

"Velma?"

Suara orang yang dicari Velma akhirnya memecah


keheningan, "Velma kamu mimisan, cepat masuk dan
bersihkan."

Velma menatap Saras dengan tatapan memelas


sebelum berjalan masuk menuruti perintah Dokter
Naufal.

"Saras ngapain? Nganterin Velma yang mimisan?"


Saras mendelik lalu langsung berjalan
meninggalkan Dokter ganteng itu tanpa menjawab
pertanyaan polosnya, 'Ngapain gue peduli sama
mereka? Ngapain juga gue ngikutin cewek itu, tapi
gue penasaran ada apaan sih.'

Menurut Saras, dirinya bukan peduli tetapi hanya


ingin tahu saja. Walaupun tanpa Saras tau,
kepedulian itu tumbuh dari hal-hal kecil, dari awalnya
mencari tau misalnya.

Őőő

40. God Knows I've Tried

SETELAH mencoba membersihkan darah yang


keluar dari hidungnya, Velma menghela nafasnya
pelan. Darahnya tidak kunjung berhenti keluar,
bahkan Dokter Naufal yang menungguinya diluar
sudah berkali-kali mengetuk pintu kamar mandi.

"Bagaimana? Sudah bersih?"

Kembali terdengar teriakan pria itu, Velma


menyerah dan membuka pintu sambil terus
membiarkan darahnya mengalir ke bawah sampai ke
bibirnya.

"Astaga," Dokter Naufal langsung mengambil posisi


untuk membantu Velma mengeringkan darahnya.
"Kalau tidak berhenti terus, kamu bisa kekurangan
darah."
Velma memejamkan matanya, sambil membiarkan
Dokter Naufal memberikan tindakannya, ingin
menjawab namun darahnya masih saja keluar dari
hidungnya.

"Rainata sudah kangen banget sama kamu,"

Velma membuka matanya, ditatapnya Dokter Naufal


yang masih serius dengan masalah mimisannya.

"Dia emang tidak ingat apa-apa lagi... Tapi,


semenjak ada kamu, dia jadi lebih bersemangat.
Akhir-akhir ini dia sama loyo nya dengan kamu."

Samar-samar, Dokter Naufal seperti tidak bersuara.


Velma tidak mendengar apa-apa, hanya mulut Dokter
Naufal yang bergerak namun tidak mengeluarkan
suaranya, indera pendengarannya ada yang tidak
beres atau memang Dokter Naufal sengaja.

"Sudah, terasa lebih baik sekarang?"

Velma mengernyit namun dapat merasakan kalau


Dokter Naufal sudah melakukan tindakannya, "Dok...
Kok suara Dokter gak kedengeran?"

Hening, Dokter Naufal terlihat terdiam.

"Kamu rutin meminum obatnya kan?"

Tidak ada jawaban, padahal jarak antara Dokter


Naufal dan Velma itu dekat. Kemudian, Dokter Naufal
mengusap wajahnya pelan.
"Astaga, Velma."

őőő

Luka bekas camping lalu belum sepenuhnya


sembuh, ditambah luka bekas pukulannya tadi pada
gitar kesayangannya serta luka dihatinya yang
semakin memperparah keadaannya.

Revan memejamkan matanya, gelap. Untuk


sekarang, membuka matanya pun saja kegelapan
sudah terasa. Tidak ada bedanya membuat Revan
tertekan, tidak ada semangatnya. Revan benar-benar
merasa seperti enam tahun yang lalu, hidup dalam
kegelapan, merasa tidak mempunyai apa-apa lagi
setelah ibunya meninggal.

Perlahan, pikirannya menerawang jauh kebelakang.

Flashback on.

Seperti biasanya, pada istirahat pertama, Revan


bersama Lingga dan Meka nongkrong di koridor
depan kelasnya, Revan sambil membawa gitar
kesayangannya sering bernyanyi, dan ini adalah
rutinitas mereka apabila sedang santai.

"Revan."

Merasa dirinya terpanggil, Revan menghentikan


permainan gitarnya. "Ada apa pak?"

"Tolong simpen bola-bola disana ke ruangan


olahraga ya," Pak Arif selaku guru olahraga itu
tersenyum, "Ajak temen-temen kamu juga biar
bantuin. Yaudah bapak kesana dulu, makasih ya
Van."

Revan mengangguk dan langsung berjalan untuk


mengambil bola tersebut, disusul oleh Lingga dan
Meka dibelakangnya, "Aduh gue mau ke toilet dulu,
mules."

"Alesan lo, gak. Sini bantuin." Meka menoyor kepala


Lingga yang memang sangat anti jika harus ke
ruangan guru, "Iya-iya bang, ampun."

Revan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.


Setelah berhasil mengambil beberapa bola, matanya
menangkap suatu objek yang sangat menarik. Di
depan sana dengan arah yang sama, Velma berjalan
sendirian. Wajahnya keliatan sedang berseri-seri.

Melihat Revan mempercepat langkahnya, Lingga


dan Meka langsung mengikuti pria itu. Dan ketika
sudah lumayan dekat dengan gadis itu, Revan malah
memperpelan langkahnya membuat Lingga terheran.
"Kok pas udah deket, lo malah gak nyamperin?"

Revan hanya menghela nafasnya sambil tersenyum


samar membuat Lingga dan Meka mengedikkan
bahunya sambil terus berjalan.

Untung saja, Velma berjalan ke arah ruang guru


yang bersebelahan dengan ruang olahraga membuat
Revan bisa lebih leluasa memperhatikan gadis itu.
Setelah Velma berbelok, Revan menghentikan
langkahnya.
"Nih, simpen bola. Gue mau ada urusan dulu."

Seketika Meka dan Lingga langsung mengerjapkan


matanya melihat Revan menyerahkan seluruh bola
yang dibawanya sekaligus merapihkan
penampilannya, ini pertama kali Revan sebegitu
semangatnya.

"Ngapain lo pada ngeliatin gue? Sana simpen."

"Iya Van, iya."

Revan terkekeh ketika melihat kedua sahabatnya


hampir kewalahan membawa bola itu, sepersekian
detik selanjutnya Revan kembali memasang wajah
datar dan merapikan pakaiannya sambil masuk ke
ruangan guru.

"Velmasya, selamat ya! Kamu juara satu olimpiade


Fisika kemarin!"

Mata gadis itu membulat, "Beneran bu?"

Ibu guru didepannya tersenyum sambil mengangguk,


"Kamu memang murid kebanggaan ibu."

Velma tersenyum mendengarnya, ini adalah salah


satu penghargaan prestasinya di sekolah ini. Dan
dirinya bisa membuktikan kepada sekolah ini kalau
Velma pantas mendapatkan beasiswa, walaupun
perjalanannya masih jauh. Dirinya masih kelas
sebelas sekarang.
Revan yang sedari tadi mendengarkan sambil pura-
pura duduk disalah satu kursi tempat guru itu ikut
tersenyum, gadis yang ditolongnya waktu upacara itu
ternyata sangat pintar. Itu cocok untuk menjadi ibu
dari anak-anaknya nanti, karena Revan suka
perempuan pintar.

"Bawa sertifikat dan pialanya kerumah untuk


diperlihatkan ke orang tuamu tetapi besok bawa
kembali, selepasnya piala ini disimpan disekolah
sampai kelulusan nanti. Sekali lagi selamat ya!"

"Baik ibu."

"Sekarang kamu boleh kembali ke kelas."

Velma kembali mengangguk disusul dengan Revan


yang langsung berdiri membuat berkas-berkas di
meja itu berjatuhan.

"Revan?"

Merasa dirinya terpanggil, Revan memejamkan


matanya lalu berbalik. "Iya bu?"

"Sedang apa di meja pak Yusuf?"

Velma yang tadinya ingin kembali ke kelas


mengurungkan niatnya dan lebih memilih mendengar
penjelasan dari pria ini, jujur saja Velma daritadi
memang merasa kalau pria ini menguntitnya.

"Ulangan susulan bu."


"Lah, bukannya pak Yusuf tidak ada jadwal
mengajar hari ini."

Hening, Revan tetap memasang wajah datarnya


sambil terus berpikir.

"Mungkin... Pak Yusuf menghubungi kamu lewat


ponsel ya?"

"Iya bu." Jawab Revan cepat sambil memperhatikan


gadis yang masih berdiam disana sambil terus
menunduk itu.

"Ya sudah, bereskan kembali berkas-berkas itu.


Jangan sampai hilang, kalau sudah selesai boleh
langsung kembali ke kelas." Revan mengangguk,
disusul dengan kepergian bu Dewi, satu-satunya guru
yang tidak segan dengan Revan.

Melihat pria itu yang kewalahan membereskan


berkas yang berceceran, hati Velma terketuk dan
mulai membantu pria itu memunguti kertas dilantai.
Revan yang merasakan itu semua hanya
mengerjapkan matanya lucu, hatinya berdebar-debar.
Gadisnya ini baik juga, sudah dua kriteria andalan
Revan yang ada pada gadis ini. Dan itu semakin
membuat Revan ingin memilikinya.

"Makasih."

Setelah menyerahkan berkas itu, Velma langsung


berlari melewati pintu keluar, tidak menjawab
pernyataan pria itu dan bersumpah tidak akan
memperdulikan dia lagi, Velma juga berharap kalau
setelah menolong pria itu tadi, pria yang
dipanggil Revan itu tidak akan menguntitnya lagi.

Walaupun tanpa disadari, Velma-lah yang pertama


membuat Revan merasakan jantungnya yang
berdebar-debar tidak karuan.
Velma-lah yang pertama membuat rasa penasaran
seorang Revan berubah menjadi rasa peduli.
Velma-lah yang membuat Revan merasakan sebuah
rindu yang tidak terwujud.

Revan tersenyum melihat kepergian gadis itu lalu


menggaruk belakang lehernya, perlu diketahui kalau
seorang Revan Prayoga sekarang sedang salah
tingkah.

Flashback off.

"ARGH!!!"

Kenangan itu dengan kurang ajarnya melintas


begitu saja disaat dirinya sedang kacau. Kenangan
disaat Revan mulai mengenal sosok itu, sosok yang
menjadi penyemangatnya disekolah. Sosok yang
selalu Revan harapkan untuk menjadi Ibu dari anak-
anaknya nanti, sosok itu; Velma.

PRANG

Sejatinya, Tuhan tidak pernah lengah. Revan


mempercayai itu, dan setidaknya Revan telah
berusaha, Tuhan mengetahui itu.

őőő
41. Kenangan Yang Menghilang

SEMENJAK kejadian di rumah sakit lalu, Velma


benar-benar tidak bisa menggunakan indera
pendengarannya dengan baik. Semua yang
dibicarakan oleh guru yang mengajarpun, terkadang
dirinya tidak bisa mendengar. Hanya bisa
merekamnya lewat ponsel dan mendengarkan
lewat earphonenya. Dokter Naufal bilang kalau efek
terapi dari obat membuat telinganya sedikit terganggu,
tetapi kalau sedang tidak kambuh pendengarannya
pun bisa kembali berfungsi, Velma tidak mengerti.

Di depan sana ada bu Dewi sedang menerangkan,


beruntung bagi Velma kalau sekarang indera
pendengarannya sedang berfungsi. Karena memang
lusa, Ujian Nasional sudah akan dimulai. Seketika,
bayangan pria itu kembali menghantui pikirannya.

Kalau dipikir-pikir, sudah beberapa hari Velma tidak


melihat pria itu. Perasaannya saja atau memang
Revan menghilang, entahlah. Velma menggeleng-
gelengkan kepalanya berusaha untuk mengenyahkan
pria itu dari pikirannya.

"Baiklah, 5 menit lagi kalian boleh istirahat. Ibu izin


mau keluar duluan ada urusan, tidak apa-apa kan?"

"Tidak apa-apa kok bu. Semoga urusan ibu cepet


selesai yah."

Terdengar suara Rojak yang segera menjawabnya


membuat sekelas riuh, "Modus tuh bu, padahal dalam
hati anuanuanu."
"Woy! Gue baik salah, nakal salah. Salah mulu
hidup gue."

"Sudah-sudah jangan ribut. Ibu keluar


dulu, wassalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."

Velma memejamkan matanya ketika pusing itu mulai


terasa kembali, begitu bu Dewi keluar seluruh teman
sekelasnya langsung ikut keluar untuk
memboking meja kantin. Jadi, Velma tidak merasa
sedang diperhatikan. Karena semenjak kejadian itu,
Velma jadi pusat perhatian. Semua tindakan tidak adil
sudah mampu Velma maafkan, terlebih hari ini dirinya
tidak mengerti kenapa semua siswa-siswi menatap
dirinya dengan sinis, apalagi akhir-akhir ini Alsa
terlihat murung.

Saat dirinya ingin beranjak untuk mengembalikan


buku yang dipinjamnya ke perpustakaan, seseorang
mengagetkannya.

"Gue tunggu di rooftop. Sekarang."

Dhirga menatapnya dengan tatapan intens, terdiam


untuk beberapa detik, kemudian berlalu begitu saja
membuat Velma kesal sendiri. Seenaknya, mirip
dengan Revan. Velma menghembuskan nafas
kasarnya sambil terus berjalan, dirinya tidak berniat
untuk berurusan dengan pria itu lagi.

"Penting. Gue duluan, inget. Gue tunggu disana."


"Astaga... O-oke."

Velma mengusap dadanya pelan ketika pria itu


kembali mengagetkannya dipintu kelas, sepertinya
memang penting. Matanya terus memperhatikan
punggung pria itu yang semakin menjauh, berjalan
menuju rooftop. Berbagai pertanyaan berkecamuk
dihatinya, 'apa ini mengenai Revan? Atau apa?'

GEDUBRAK

"Ah..."

Buku yang dipegangnya berjatuhan saat seseorang


menabraknya dengan sengaja, Velma langsung
memungutinya kembali, dan melirik orang yang tidak
mengucapkan sepatah katapun walau bersalah.

Orang itu adalah Flo yang ikut meliriknya sinis


sambil berlalu tanpa mempedulikannya, Velma cepat-
cepat melangkahkan kakinya, hal seperti ini memang
sudah biasa, awalnya bahkan lebih parah.

"Hei."

Belum sampai dirinya ke perpustakaan, beberapa


orang mulai menghalanginya lagi. Kini, gerombolan
pria yang menghadangnya. Entah apa yang seluruh
sekolah pikirkan terhadapnya, Velma hanya bisa
bersabar karena sebentar lagi dirinya akan keluar dari
sekolah ini.

"A-apa?"
"Temenin gue yuk, nanti malem."

Pria itu, Valdo. Dengan penampilan yang acak-


acakan berani mengajak dirinya untuk pergi malam ini,
kurang ajar! Velma merasa terhina untuk ini, coba
saja bila Revan mengetahui. Tunggu... Revan?
Velma menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Gak, makasih." Velma berusaha berlaku baik pada


pria ini dan berniat untuk melanjutkan langkahnya,
namun Valdo ini terus menerus menghalanginya.

"Ayolah, lo cantik. Semalam aja, berapapun gue


bayar dan gue mampu mencukupi bayaran akhir
tahun lo disekolah ini."

Velma tersenyum paksa, "Permisi, gue cuma mau


ke perpustakaan."

"Heh, lo gak ada apa-apanya! Gue cuma mau lo


temenin gue malam ini, gue bisa bayar lebih besar
daripada Revan."

Tangan Valdo mulai mencoba untuk menyentuh


pinggangnya membuat Velma langsung melayangkan
pukulannya terhadap Valdo ini.

"Sikat Val, dia ngajak berantem."

"Ajak ke kamar Val, siapa tau dia maunya berantem


di kamar."

Teman-teman segerombolannya mulai menimpali


dan tanpa sadar perhatian siswa-siswi sudah ada
pada dirinya lagi, Velma tidak habis pikir padahal
buku yang digunakan untuk memukul pria ini sangat
tebal tetapi kenapa Valdo malah tersenyum dan
semakin mendekat. Pria gila!

"Lo berani kayak gitu ngebuat gue juga lebih berani


sama lo. Revan pria brengsek itu, pernah cari
masalah sama gue. Karena Saras, dengar? Dia
punya lo aja tapi masih ngehajar gue kalo gue deket
sama Saras." Bisik Valdo tepat ditelinganya membuat
Velma ketakutan, jujur saja hatinya memanggil nama
Revan berkali-kali.

"Lo tau? Lo itu cantik. Bibir lo kecil, gue semakin


ingin."

Velma memejamkan matanya, dirinya ingin


menangis saat ini juga. Valdo yang merasa menang
karena gadis dihadapannya ini diam saja langsung
mendekatkan wajahnya pada Velma yang langsung
memalingkan muka.

"Kalo lo dendam sama Revan, hajar dia. Bukan


gue." Velma berujar parau, dirinya benar-benar takut
sekarang.

"Dia ngehajar cewek yang gue suka, gue juga mau


ngehajar cewek yang dia suka. Biar tau rasa, dan gue
bisa lebih leluasa karena Revan gak ada, dia
menghilang dan lo ada ditangan gue."

Pria ini benar-benar gila, bahkan mereka sudah jadi


pusat perhatian tetapi tangan pria itu tetap saja mulai
menyentuh pinggangnya lagi, Velma ingin berlari saja
namun seluruh pergerakannya dikunci, Velma pasrah
sampai berharap ada guru saja yang memergokinya,
itu lebih baik daripada harus seperti ini.

BUGH

Sebelum Valdo berbuat tidak senonoh lagi terhadap


dirinya, sebuah pukulan keras langsung menerjang
pria itu. Meka dengan emosinya langsung menghajar
Valdo tanpa jeda, sama seperti yang dilakukan Revan
terhadap Rojak sebelumnya.

"Vel pergi dari kerumunan, temui Dhirga di rooftop,


masalah ini biar gue sama Meka yang urus. Maaf kita
datang telat."

Tiba-tiba Lingga sudah ada disampingnya dengan


keringat bercucuran dan kaos olahraganya yang
basah karena keringat, sementara Velma hanya bisa
mengangguk dan berlari menjauhi kerumunan. Air
matanya sudah tidak bisa ia bendung lagi, terlebih
banyak siswa-siswi yang memegang ponselnya
ketika kejadian itu terjadi, reputasinya benar-benar
akan hancur. Tetapi, Velma juga sangat
berterimakasih, Tuhan masih menyelamatkannya.

őőő

Dhirga melirik jam tangannya, sudah hampir


setengah jam tetapi gadis itu belum muncul juga.
Sekitar sepuluh menit lagi bel masuk akan berbunyi,
Dhirga mengusap wajahnya pelan sambil berjalan ke
arah pintu masuk, dirinya berniat akan menemui
gadis itu pulang nanti.

"Maaf gue telat."


Sebelum dirinya berhasil membuka pintu itu, gadis
yang ditunggunya datang juga. Velma terus
menunduk membuat Dhirga terheran.

"Lo kenapa?"

Velma menggeleng, air matanya mulai berlinangan.


Dhirga semakin kebingungan, "Gue gak bakalan
ngapa-ngapain lo kok, serius. Gue cuma mau minta
bantuan sama lo."

Tetap tidak ada jawaban, Velma malah terduduk


sambil menenggelamkan wajah dilipatan lengannya.
Dhirga menghela nafas pelan, ingin rasanya
membawa gadis ini kepelukannya untuk sekedar
menenangkan. Tapi, dirinya teringat Revan yang
begitu menyiksa. Akhirnya Dhirga hanya bisa ikut
duduk dan mengusap kepala Velma.

"Velma, ini waktu yang gak tepat. Maafin gue, tapi


gue bener-bener minta bantuan lo."

Dhirga menghela nafas pelan sebelum melanjutkan,


"Revan mengurung diri terus dikamar, setiap ada
pelayan yang mau masuk untuk memberikan
makanan atau apapun, Revan langsung
menghajarnya. Gue khawatir, dia belum makan Vel."

Hening.

Hanya semilir angin yang bertiup kencang


memainkan rambut mereka, Dhirga tidak mampu
berkata apa-apa lagi, dirinya juga tidak mengetahui
apa penyebab gadis ini menangis.
"Terus apa hubungannya sama gue?"

Beberapa menit kemudian, Velma mengusap air


matanya dan mulai menatap ke arah pria ini.

"Gue mau lo bujuk dia, seenggaknya buat makan.


Karena gue tau, dia butuh lo, Vel."

"Gak bisa, gue brengsek. Gue gak bisa ngelakuin


hal itu."

"Ayah lagi gak ada dirumah sejak kemarin, dia


mengatur bisnisnya di Canada. Dan gue yakin itu gak
bakalan memakan waktu sehari."

Hening kembali, Velma terlihat sedang berfikir.

"Gue mohon, gue emang cinta sama lo tapi


seseorang nyadarin gue kalau kakak gue lebih
penting dibandingkan perasaan gue ini. Lo mau ‘kan,
Vel?"

Velma mengangguk secara perlahan membuat pria


itu kemudian tersenyum, Dhirga sempat ingin
memegang tangan gadis ini namun bayang-bayang
Revan kembali menghantuinya, Dhirga rasa ini
keputusan paling tepat untuknya. Memilih
melepaskan setelah lelah berjuang bukan berarti
mengartikan kalau dirinya menyerah, hanya saja
dirinya sudah terlalu kuat bertahan dan tidak terlalu
bodoh untuk memilih tetap tinggal.

őőő
42. Do You Want Me?

VELMA duduk di jok depan mobil Lingga,


sementara Meka dan Dhirga ada dibelakang. Sedari
tadi memang keheningan yang menemani mereka,
tidak ada yang mampu berucap. Tidak ada yang
mampu Velma utarakan, dari mulai Meka yang babak
belur, Lingga yang juga terdapat luka dicelah bibirnya,
Dhirga yang sedari tadi memasang wajah khawatir.
Velma hanya mampu terdiam.

Drrt... Drrt...

Akhirnya ponsel Dhirga memecah keheningan,


terlihat Dhirga yang mulai berbicara dengan teman
teleponnya disana.

"Iya, nanti gue ke rumah."

"Gue udah nemu bahannya. Tinggal lo yang cari


artikelnya ya!"

"Hm, udah ya? Gue tutup."

Tanpa menunggu si penelepon menjawab


ucapannya, Dhirga langsung mematikan sambungan
itu. "Siapa Dhir?"

"Rosi."

Lingga yang bertanya hanya menganggukkan


kepalanya.
"Cuek banget lo sama dia." Meka yang sedari tadi
memperhatikannya mulai angkat bicara.

"Dia pernah ngungkapin perasaannya sama gue."

Hening.

"Kok diem?" Dhirga mengganti posisinya yang


tadinya menghadap ke jendela kini lebih mendekat ke
tengah, "Gak percaya?"

"Rosi itu yang suka di kelabang dua ‘kan?"

"Heem."

"Terus kenapa lo cuek setelah dia ngungkapin


perasaannya, bego?" Lingga mulai terlihat geram
dengan tingkah Dhirga ini. Walaupun saudara tiri, tapi
kelakuannya tidak jauh dengan Revan.

"Canggung bego, gak enak gue."

"Terus kenapa lo gak jawab aja? Susah amat."


Meka melipat tangannya di dada sambil
menyenderkan punggungnya ke belakang.

"Ya gue gak ada perasaan apa-apa sama dia, masa


lo gak ngerti."

Terdengar helaan nafas dari semuanya membuat


Dhirga semakin merasa terpojokan, "Gue salah?"
"Meka pernah tertarik sama dia, siapa namanya?
Rosi. Ya ‘kan Mek?"

Meka tidak menjawab, pria itu malah memejamkan


matanya. Dhirga mengerjapkan matanya, "Beneran?
Ambil sana, ambil."

"Awalnya tabrakan, tapi setelah diperhatiin dia cantik


juga." Lingga tersenyum ketika melihat Dhirga yang
kesal dari kaca mobilnya.

"Ambil aja Rosi, gue gak suka."

"Cobalah hargai sesuatu yang buruk, sejatinya yang


buruk tidak selalu menyakitkan."

"Tau deh," Dhirga mengedikkan bahunya, kemudian


tangannya memencet tombol yang membuat kaca
mobil terbuka. "Gerah."

Lingga menggeleng-gelengkan kepalanya, "Lo nolak


Rosi, gara-gara Velma?"

Hening.

Tidak ada yang bersuara setelah Lingga


mengucapkan pertanyaan itu. Meka tetap dengan
posisinya, dan Dhirga berlaku seolah-olah tidak
mendengar apapun. Hanya Velma yang sedikit risih.

"Rumah Revan masih jauh?"


Akhirnya, suara itu. Velma yang mereka tunggu-
tunggu akhirnya bersuara.

"Deket lagi, kok." Lingga mulai membelokan setir ke


kanan, "Lo belum pernah ke rumah Revan?"

Velma hanya menggeleng pelan sambil menatap


lurus jalan didepan sana, Lingga yang melihatnya
hanya berdehem pelan, tidak mungkin gadis ini
benar-benar melakukan hal yang menyakitkan
terhadap Revan. Lingga percaya pada Velma.

őőő

Saras berjalan menuju tempat buah-buahan disimpan,


kemudian mengambil beberapa buah yang memang
disukai oleh pria yang hendak ia jenguk. Semenjak
beredar kabar kalau Revan menghilang, Saras
khawatir dan berniat untuk mencari pria itu ke
rumahnya.

Ketika Saras hendak membayar, mata penjaga kasir


itu membuatnya mengerutkan kening.

"Kenapa sih, mbak? Ada yang salah sama


penampilan saya?"

Kedua pelayan itu menggeleng perlahan, "Mbak itu


yang dulu acak-acakan bukan?"

"Huss, maaf mbak teman saya memang seperti ini.


Sudah ini saja? Mau ditambah dengan pulsanya?"

Saras melirik kasir itu sinis, "Tidak usah."


"Terimakasih, mbak kalau seperti ini cantik deh."

Bibirnya ia cebikan ketika mendengar penuturan dari


penjaga kasir itu, cih. Saras rasa kapanpun dan
dimanapun dirinya tetap cantik, kapan dirinya
bertemu dengan penjaga kasir itu? Saras benar-
benar tidak ingat.

Setelah mendapatkan sesuatu yang dibutuhkannya,


Saras cepat-cepat masuk ke mobil dan
menjalakannya untuk segera pergi ke rumah Revan.

Saras benar-benar tidak habis pikir dengan


kelakuan pria itu, hanya karena Velma, Revan
menghilang dan menyiksa dirinya sendiri. Dari awal
juga, Saras sudah dapat mengira kalau gadis itu tidak
baik untuk pangerannya. Walaupun Revan bersikeras
untuk menghalanginya dan berkata kalau pria itu
tidak ingin dekat dengannya, tapi Saras yakin kalau
keadaan sedang seperti ini. Revan juga akan
membutuhkannya, karena sejak kecil dirinya dan
Revan sudah dekat.

Perlahan, gerbang besar berwarna hitam itu terbuka.


Saras mengklakson dan tersenyum disetiap ada
pelayan yang berlalu-lalang, setelah memarkirkan
mobilnya, Saras turun sambil membawa jinjingan
yang dibelinya tadi.

"Eh bibi tunggu, Revan ada didalam ‘kan?"

"Nyonya Saras sudah lama tidak mampir, iya ada.


Langsung masuk saja, sudah hampir 5 hari tuan
Revan tidak keluar kamar, bibi juga khawatir. Coba
bujuk dia ya, dari dulu kalau dibujuk nyonya Saras,
tuan Revan pasti nurut."

Saras tersenyum, dalam hati dirinya menyesali


kenyataan kalau Revan sekarang berbeda dengan
yang dahulu. "Baiklah, saya ke atas dulu ya bi."

"Kunci kamar Revan ada di tempat biasa."

"Siip." Saras mengacungkan jempolnya sambil


berjalan masuk ke dalam.

Rumah ini tetap sama, tidak ada yang berbeda


menurutnya. Hanya ada tambahan bingkai foto yang
dipajang di setiap ruangannya, tepat di ruangan
utama ada bingkai foto keluarga Prayoga yang
berukuran sangat besar. Dan di sebelahnya, ada
bingkai foto almarhumah ibu Revan yang meninggal
enam tahun lalu.

Saat kakinya mulai menapaki tangga, Saras mulai


sadar kalau suasana di rumah ini yang sangat
berubah, tidak lagi hangat dan ramai seperti dulu,
mungkin ini salah satu penyebab Revannya itu
berubah.

Setelah melewati beberapa anak tangga, Saras


terdiam di sebuah pintu yang di depannya tertera
nama “Revan Prayoga.”

Tangannya mulai membuka pintu itu, dan ternyata


tidak dikunci. Saras menghela nafasnya ketika
suasana di dalam kamar itu sangat gelap dan pengap.
"Revan?"

Kamar ini benar-benar gelap, sampai Saras tidak


bisa melihat apa-apa di dalam. "Revan? Lo ada di
dalam kan?"

Saras mencari-cari saklar lampu, dan ketika dirinya


berhasil menemukan saklar itu, lampu pun menyala,
betapa terkejutnya Saras saat melihat keadaan
kamar Revan yang sangat berantakan. Terlebih
pecahan-pecahan kaca yang entah berasal darimana
membuat Saras tidak habis pikir.

Tepat disamping tempat tidur berwarna abu-abu itu,


Revan terduduk sambil menenggelamkan wajahnya,
Saras langsung mengambil sapu untuk
membersihkan sedikit pecahan kaca itu agar dirinya
dapat berjalan leluasa, setelah itu ia langsung
menghampiri pria yang keadaannya sangat
memprihatinkan itu.

"Revan? Lo gak apa-apa kan?" Saras


mengguncangkan tubuh pria itu, tetapi tidak ada
reaksi yang membuat Saras semakin sangat khawatir.

"Van, Revan?"

Saras mendapati luka yang sudah kering di tangan


pria itu, "Revan!!!"

Tangannya langsung menangkup wajah Revan yang


menunduk itu, lalu memukul-mukul kecil pipi Revan.
Perlahan, mata itu terbuka. Saras langsung menangis
sejadi-jadinya.
"Lo ngapain sih ngelakuin hal gak bermutu kayak
gini, bego! Sekarang bangun! Gue akan ngobatin
luka-luka ini."

Saat Saras hendak beranjak untuk mengambil kotak


p3k, tubuh kekar Revan langsung membawa dirinya
ke pelukan pria itu. Revan terlihat sangat rapuh,
akhirnya Saras membalas pelukan Revan sambil
bercucuran air mata.

"Jangan tinggalin gue sendirian." Ucap Revan parau


membuat Saras mengangguk berkali-kali.

"Gue gak akan ninggalin lo, gak akan."

Saras memejamkan matanya ketika pelukan pria itu


semakin erat, yang perlu Saras ketahui kalau Revan
sekarang sedang membutuhkan seseorang, dan
Saras bersyukur kalau seseorang itu adalah dirinya,
karena dirinya yang pertama kali menemukan Revan
sedang terpuruk, dirinya yang pertama kali dipeluk
oleh Revan saat pria itu membutuhkan seseorang
untuk menopang masalahnya, Saras sangat
bersyukur akan hal ini.

"Ketika semua yang lo genggam harus pelan-pelan


terlepas, maka jangan biarkan senyum di bibir lo juga
ikut ia rampas."

"Revan?"

Suara itu... Revan dengan cepat melepaskan


pelukannya dan seketika itu juga matanya langsung
melihat Velma di sebelah pintu dengan air mata yang
juga bercucuran.
"Ma-maaf, ganggu."

"Velma!"

Revan ingin mengejarnya namun tangannya ditarik,


"Lo yakin mau ngejar perempuan itu sementara gue
ada disini?"

Saras menatap kedua bola mata milik prianya itu,


sementara Revan langsung memejamkan matanya.
Tubuhnya juga sangat lemas untuk bereaksi, atau
sekedar berlari mengejar gadisnya itu. Karena jujur
saja sudah beberapa hari ini, perutnya tidak diisi oleh
apapun.

"Cukup sekali ini gue kasih Velma sama lo, Van.


Setelah ini, gue gak akan ngebiarin lo ngedeketin
dia!"

Melihat pemandangan tadi, Dhirga menunjuk ke


arahnya dengan penuh emosi, disusul dengan Lingga
dan Meka dibelakangnya dengan tatapan yang juga
sayu.

"ARGH!!!"

őőő

“Apakah kamu menginginkanku? Atau hanya


bayanganku saja? Karena kamu serupa cuaca,
Velma. Tidak mampu aku tebak.”

őőő
43. Titik Kelemahan

RUANGAN ini hanya ramai dengan bunyi buah-


buahan yang sedang dikupas oleh Saras. Satu-
satunya perempuan yang berada dalam kamar Revan.
Lingga duduk di dekat jendela sedangkan Meka
memainkan puzzle frozen yang katanya milik Ran,
adik Revan. Sementata itu, Revan terbaring di tempat
tidurnya.

"Sudah jadi." Saras tersenyum sambil membawa


buah apel, "Nih makan... Aaaa..."

Revan menggeleng pelan, "Gak usah. Udah


kenyang tadi."

Saras mendengus sambil meletakan buah apel itu


dimeja, "Beberapa hari lo gak makan. Terus perut lo
apa kabar? Masa cuma diisi sama roti dan susu, lo
kenyang?"

"Gue baik-baik aja."

Sementara itu, Meka beranjak dari kursi dan


terduduk di karpet berwarna abu-abu
ketika puzzelnya sudah tersusun rapi. "Makan
buahnya Van, lo harus fit. Gimana mau masuk
sekolah kalo keadaan lo kayak gini."

"Perhatian lo, Mek. Geli, lagian gue baik-baik aja."

"Serius Meka ’tuh, malah dianggap becanda.


Gimana sih." Saras langsung mengambil buah itu
kembali untuk disuapi kepada pria dihadapannya ini,
"Coba makan, enak kok. Aaaa..."

Dengan sedikit paksaan, Revan mulai membuka


mulutnya dan menerima suapan dari Saras yang
malah tersenyum puas. "Aduuuu, muka lo lucu
banget."

"Dhirga... Nyusul Velma?"

"Hm."

Lingga beranjak dari kursinya lalu mengikuti langkah


Meka, terduduk di karpet abu-abu sambil menyalakan
televisi.

"Kenapa dia kesini?" Hening sejenak, "Maksud gue,


Velma."

"Dia khawatir, bego."

Revan terdiam ketika Lingga berbicara seperti itu,


sementara Meka mulai mencium bau-bau keributan.
Untuk mengantisipasi, Meka bersiap untuk menjadi
penengah sebelum terjadi sesuatu yang tidak
diharapkan, apalagi sebentar lagi UN akan
dilaksanakan.

"Gue gak ngerti sama dia, sebenernya dia itu mau


gue perjuangin atau bagaimana. Gue harus kayak
gimana lagi sama dia, gue sayang dia emang."

Hening.
Saras masih sibuk dengan buahnya, sedangkan
Meka dan Lingga memilih untuk bungkam. Walaupun
sebenarnya, Meka sudah ingin mengungkapkan
penderitaan yang dialami Velma selama Revan tidak
ada, tapi mengingat kondisi Revan yang seperti ini,
Meka mengurungkan niatnya.

"Tapi kalo kayak gini, gue mau nyerah. Gue baru


sadar kalo ada perempuan yang juga ngebutuhin gue,
selain Velma. Gue nyerah bukan berarti perasaan
gue hilang begitu aja, tapi lo pada tau? Apa yang
lebih menyakitkan daripada ditinggalkan? Itu pura-
pura dicintai."

Lingga menggeram ketika mendengar penuturan


dari sahabatnya itu, "Gila. Setelah semuanya lo
perjuangin buat dia, bahkan kita juga ikut kena
ampasnya, lo mau nyerah gitu aja? Lo payah, kalah
sama bokap lo."

"Maka dari itu, gue mau nyerah sama bokap gue.


Setelah itu, urusan selesai ‘kan? Biarin dia bebas,
milih hidupnya. Gue sadar, gue terlalu ngekang dia.
Gue cuma beban dia, gara-gara gue... Dia jadi punya
masalah. Dan dia bilang, gue ini sebagai sumber
keuntungannya dia aja, jadi gue milih buat mundur.
Masalah perasaan, biar gue yang ngatasin."

"Kenapa lo dengan gampangnya ngomong kayak


gitu?"

"Gue itu orangnya gak gampang percaya kecuali


orang tersebut yang bilang langsung sama gue, dan
gue adalah orang yang gak gampang percaya juga
kecuali sama kalian dan Velma, kalian tahu sendiri.
Jadi, sebelah mana lagi yang harus gue tempatkan
sebagai tempat kepercayaan gue? Velma aja dengan
gampang ngelepasin gue, masa gue gak bisa?"

Lingga mulai beranjak dari tempat duduknya dan


menghadap ke arah Revan yang memang terlihat
mengenaskan, tetapi kondisi Revan tidak membuat
keberanian Lingga pupus. Cukup sudah dirinya
mengalah untuk sahabatnya kali ini.

"Terus yang dimaksud sama perempuan yang


ngebutuhin lo itu siapa?"

Mendengar ini semua, perasaan Saras mulai tidak


enak. "Udahlah, udah."

"Dia ‘kan? Dia yang lo sakitin, dia yang lo jauhin


gara-gara Velma. Dan sekarang, lo mau tarik dia ke
pelukan lo lagi. Perempuan itu gak suka ditarik-ulur
perasaannya, Revan. Harusnya lo tau itu."

Lingga menujuk gadis disamping Revan yang


sedang menunduk. Sementara Meka membiarkan
dirinya untuk mengungkapkan unek-unek yang
selama ini dipendamnya.

"Terus kenapa lo sewot gitu? Lo ada rasa sama


Saras?"

"ASAL LO TAU, REVAN PRAYOGA. VELMA GAK


SEPERTI YANG LO PIKIRIN! INI CUMA SALAH
PAHAM."

"LINGGA!" Meka mulai mendorong pria itu ketika


melihat emosinya memuncak, untuk pertama kalinya
Lingga membentak Revan, dan Meka sudah paham,
kalau Lingga menyukai Saras. "Lo harus jaga emosi."

"Lagian gue mau kok, kembali sama Revan. Gue


masih nyimpen perasaan sama dia."

"Saras!?" Lingga mulai tidak habis pikir dengan


gadis ini, beberapa hari yang lalu, Saras bilang akan
melupakan Revan dan tidak mau bersama pria yang
terus menyakitinya, tetapi kenyataannya. Ah, Lingga
benar-benar muak dengan semuanya. "Terserah, gue
cuma mau ngingetin sesuatu hal. Kalau Velma
beneran sayang sama lo, lo juga akan tau, nanti."

BRAK

Takut emosinya berada diluar kendali, Lingga keluar


sambil membanting pintu. Masih terdengar helaan
nafas Meka saat Lingga melangkah keluar kamar.

"Gue titip satu hal sama lo, Revan. Jangan


sembarangan mengambil keputusan, lo gak tau apa
yang sebenernya terjadi dan apa yang dirasakan oleh
Velma, selama ini," Meka menghela nafasnya
sejenak. "Dan, buat lo Saras. Disakiti bukan berarti
sebuah pembenaran untuk lo menyakiti, hanya
karena lo pernah merasakannya bukan berarti boleh
membuat orang lain merasakan hal yang sama."

Melihat Lingga keluar dengan penuh emosi, Meka


berniat untuk menyusulnya, meninggalkan dua
manusia yang tengah terdiam dengan jalan
pikirannya masing-masing.

őőő
"Apa Dok?"

"Kamu harus dirawat, dan saya sudah dikonfirmasi


oleh tuan Darma, dia menyanggupinya."

Velma terdiam, hanya semilir angin yang


menerbangkan beberapa helai rambutnya. Setelah
menerima rasa sakit itu, Velma mampir di sebuah
taman. Taman ini lumayan sepi membuat Velma bisa
menumpahkan seluruh isi hatinya, jam menunjukkan
pukul 21.00 WIB, sungguh matanya mungkin sudah
membengkak, ditambah kabar dari Dokter Naufal ini,
astaga, apa yang akan ia katakan kepada ibunya
nanti.

"Velma? Kamu dengar? Sekejam-kejamnya


keluarga Prayoga, mereka tidak akan membiarkan
kamu sakit seperti ini."

"Revan tau?"

Terdengar helaan nafas diseberang sana, "Tidak.


Mana mungkin dia diberi tau, --"

"Walaupun tau, dia gak akan peduli sih."

Hening.

"Mana mungkin, kamu itu. Sudah, pokoknya


sesudah UN kamu dirawat, rumah sakit terbaik saya
bisa menjamin itu, dan kamu sungguh hebat. Sampai
bisa tidak jatuh cinta, dengan Revan."
Kini, giliran Velma yang menghela nafasnya.
"Baiklah."

Tuut.. Tuut..

Sambungan terputus, pandangannya menatap


kedepan dengan tatapan kosong. Velma tersenyum,
niat awalnya yang tidak akan menjatuhkan hatinya
kepada pria itu ternyata gagal. Hatinya tetap saja
sama seperti yang lain, bedanya ia lebih bisa
menyembunyikannya.

"Biar gue anter pulang."

Velma terperanjat ketika sebuah jaket menyelimuti


punggungnya yang dingin, dan Dhirga langsung
terduduk dihadapannya. "Udah ya? Biar gue anterin
lo pulang."

"Lo daritadi disini?"

Dhirga mengangguk sambil menghela nafasnya,


"Gue denger semua yang lo omongin."

Karena terlalu egois memikirkan perasaannya,


Velma sampai melupakan keadaan sekitar. "Terus?"

"Terus apa?"

"Lo udah tau semuanya, jadi lo mau ngapain?"

Dhirga mengedikkan bahunya, "Kita pulang."


Pria itu beranjak lalu mengulurkan tangannya,
Velma menggigit bibir bawahnya. Hatinya mencelos,
entah kenapa tapi rasa bersalah kini menyelimuti
dirinya. "Dhir, ini kedua dan terakhir kalinya gue
nangis di hadapan lo, gue serius."

"Gue berharap begitu, dan maafin gue Vel, gara-


gara gue maksa lo buat bujuk Revan tapi hasilnya
gini, lo jadi sakit hati."

"Dhir," Velma mengusap pipinya yang basah lalu


beranjak, "Lo gak salah, malah gue... Mau minta maaf
ya? Gue punya banyak salah sama lo selama ini."

"Lo semangat buat Ujian Nasionalnya, jangan


mikirin hal lain termasuk Revan. Jaga kesehatan lo,
gue gak tau lo punya penyakit apa yang jelas lo ada
sesuatu sama Dokter Naufal itu." Perlahan,
tangannya merapikan jaket yang ada pada gadis
dihadapannya ini, sambil menatap tepat di kedua bola
mata itu.

"Gue gak bakalan ngebiarin Revan nyakitin lo,


Velma."

Desiran angin malam mengiringi kalimat yang baru


saja Dhirga utarakan, Velma menghela nafasnya
sambil tersenyum kecil. "Gak usah, Dhirga. Rasa
sakit yang gue alamin sekarang, mungkin gak
sebanding sama rasa sakit yang dialamin Revan
nanti, tolong sampaikan saja nanti, pada pria itu kalau
gue, Velma... Pernah jatuh cinta padanya."

őőő
44. Bekas Luka

SUDAH beberapa hari ini, Velma melihat kalau


Revan sudah tidak bersikap dingin lagi terhadap
semua orang. Dia lebih easy-going setelah
meninggalkannya dan mulai kembali dekat bersama
Saras, tiba-tiba hari ini Velma mulai merindukannya,
ini hari terakhir dirinya melaksanakan Ujian Nasional,
namun sejak kejadian itu, tampaknya Revan dengan
mudah melupakannya dan benar-benar mempercayai
alibi yang ia lontarkan saat itu.

Sambil melipat tangannya di dada, punggungnya ia


sandarkan ke tembok koridor kelas yang ia tempati,
Velma hanya bisa tersenyum dan memperhatikan
sambil menikmati setiap senyuman Revan dari jauh
kali ini, apakah salah jika dirinya mulai merindukan
sosok Revan? Tapi dirinya sangat bersyukur kalau
Revan dengan Saras bisa lebih baik, karena setelah
ini, Velma tidak yakin akan bertemu dengan pria itu
lagi.

"Heh, minggir. Gue mau lewat!"

Velma terkesiap saat kakinya diinjak oleh Riska,


salah satu dari sekian banyak orang yang
membencinya disekolah ini.

"Apa lo? Gak suka sama sikap gue?" Riska


mengangkat dagunya memperlihatkan
kesombongannya, Velma hanya bisa terdiam sambil
menunduk.

"Cinta datang terlambat, huh!? Bego, tapi gue suka


cara lo manfaatin Revan."
Sedikit matanya ia lemparkan kepada tempat
dimana ia melihat Revan bersama teman-temannya
berkumpul, disana tampak Revan sedang
memperhatikan ke arah sini, namun pria itu tampak
diam saja, tidak berbuat apa-apa selain
memperhatikannya.

"Awh..." Velma kali ini meringis ketika, kakinya yang


sama diinjak kembali, tetapi kali ini oleh orang yang
berbeda.

"Perhatiin kalo orang lagi ngomong! Gak sopan lo,


dasar gak berguna!" Flo yang baru saja menginjak
kakinya itu menatapnya tajam, "Guys. Kembali ke
kelas."

Velma mengusap dahinya ketika dua orang itu


menjauh, seakan teringat sesuatu kepalanya
langsung ia tengokan pada tempat yang sama,
namun hasilnya kini pria itu tidak ada. Mungkin sudah
pergi ke kelasnya, bahkan untuk sekarang... Revan
tidak peduli lagi terhadap apa yang terjadi pada
dirinya, sudahlah Velma.

"Velmasya? Sedang apa kamu diluar? Tidak


mendengar bel berbunyi tadi? Cepat masuk."

"Eh, maaf bu saya tidak mendengarnya. Baiklah,


saya akan masuk bu."

Bu Dewi selaku pengawas pada hari ini


mengangguk sambil memasuki kelasnya, Velma
menghela nafasnya lalu melangkahkan kakinya,
benar-benar menyesakan.
őőő

Seberapa besar keinginannya untuk melindungi


gadis itu tapi tetap saja ada perasaan yang
menghentikan keinginannya, Revan menunduk
sambil memasukan tangan ke saku celananya,
dirinya sedang menunggu Saras yang belum selesai
mengerjakan soal di dalam, sejak kejadian itu dirinya
memang kembali dekat dengan Saras.

"Ah, Revan, maaf lama yaa? Sumpah soal tadi ’tuh


bikin gue pusing."

Revan tersenyum lalu mengacak-acak rambut gadis


dihadapannya ini dengan gemas, "Belajar gak
semalam?"

"Ya pastilah, sampe jam sebelas tau! Tapi gak


nyangka aja yang keluar soalnya begituan semua."
Saras cemberut sambil merapikan rambutnya kembali.

"Makanya jangan pilih-pilih kalo ngapalin," Revan


menghela nafasnya kemudian melangkahkan kakinya
perlahan, ditatapnya gadis disebelahnya yang masih
sibuk merapikan rambut itu, "Saras berjanjilah,
berikan rasa nyaman, agar pergi tidak pernah gue
ambil sebagai pilihan."

Saras mengerjapkan matanya lalu beralih menatap


kearah pria itu sambil melotot, "Apa? Apa yang lo
bilang tadi?"

"Gue gak bisa ngulang pernyataan itu, lo udah kenal


gue bertahun-tahun, harusnya lo tau itu."
"B-baiklah, baik! Tapi apa gue gak salah denger?"

Revan malah mengedikkan bahunya, "Semoga."

"Ih sebel, tapi asal lo tau aja ya Van... Gue bersedia


mengejar jika lo berlari kemanapun itu, tapi gue gak
pernah siap jika lo berhenti di tempat persinggahan
wanita selain gue, hanya untuk membuat gue
berhenti ngejar lo. Jangan lakukan itu lagi, itu
menyakitkan."

Tidak ada jawaban, Revan terdiam sambil terus


berjalan, membuat Saras juga ikut terdiam beberapa
detik.

"Oh iya Van, ini kan hari terakhir kita ujian, kita main
yuk?"

"Boleh, kemana?"

"Ke mana aja deh yang penting bareng lo!"

Revan mengangguk sambil tersenyum melihat gadis


itu kegirangan, sejak kejadian itu, dirinya
menyanggupi kemauan gadis itu untuk memberikan
kesempatan, dan belajar untuk mencintai Saras,
selain itu juga ini karena faktor ayahnya yang secara
terang-terangan mengancamnya.

Sebelum keduanya mulai menghampiri mobil


berwarna putih itu, Lingga dan Meka dibelakang
menghela nafas beratnya.
"Gue bilang ini udah terlambat, lo yakin mau
ngehancurin kebahagiaan Revan?" Meka menggaruk
keningnya sambil beralih menatap sahabatnya yang
terlihat murung belakangan ini.

"Harusnya lo mikir, apa Revan beneran bahagia


sama Saras?"

"Lo liat aja ekspresinya, dia kelihatan bahagia kok."

"Jangan liat orang dari luarnya, bego."

Meka memukul pelan kepala Lingga, "Bilang aja lo


cinta sama Saras, bangsul!"

"Argh, masa bodo tentang perasaan gue. Ini gue


serius, Revan gak bakal semudah itu ngelepasin
Velma."

"Bisa aja, pas Revan jatuh hati sama Velma,


sebelumnya Revan juga pernah jatuh hati sama
Saras?"

"Orang ganteng mah bebas, kesel gue." Lingga


mendengus sambil memakaikan topi ke kepalanya.

"Sabar Ling, jodoh gak kemana, padahal jelas-jelas


lo ada Alsa."

"Gue gak ada rasa lagi sama dia Mek, gimana sih
lo?"
Meka nyengir sambil menggaruk tengkuknya,
"Perasaan emang rumit ya. Bingung gue."

"Yang penting, Revan harus tau masalah Velma


sama Valdo. Kalau Revan keliatan gak peduli, bener-
bener gak peduli. Baru gue bisa relain Saras."

őőő

Dhirga dengan kaos birunya terlihat sedang


menghadang seseorang sendirian, mobil birunya
terpampang dibelakangnya. Begitu orang yang
ditunggunya tiba, Dhirga langsung bergerak cepat
menghampiri pria itu.

"Velma mana?"

Revan yang terkaget menatapnya dengan intens


beberapa detik, kemudian mengedikkan bahunya
pertanda ia tidak tahu.

"Van, gue serius!"

"Kapan gue ngomong gak serius sama lo sih?"

Suasana mulai genting, ketika keduanya mulai


beradu tatapan, Saras langsung berdiri ditengah-
tengah mereka.

"Kalian ini kenapa sih? Lo juga Dhir, ada apa


nanyain dia?"
Tanpa mempedulikan Saras, Dhirga langsung
mendekat ke arah Revan dengan aba-aba akan
menyerang, "Lo sadar gak sih? Hah?"

"Apa?" Revan menatap adik tirinya itu dengan


tatapan tidak mengerti, sebelumnya Dhirga tidak
pernah bersikap seperti ini. Hanya kata-katanya saja
yang menyakitkan, kalau secara fisik, selama tinggal
bersama Dhirga tidak pernah menyerang duluan.

"Lo pernah nyari tau apa yang Velma alamin sejak lo


ngilang waktu itu?"

"Dhirga!!!"

Dhirga menunduk ketika satu tamparan keras


mengenai pipinya, Saras menatapnya dengan tajam.
"Lo sebagai adik disini harus hormat sama kakaknya!
Jangan nambahin beban Revan!"

"Saras, lo yakin kalau Revan bener-bener akan


belajar suka sama lo?"

"Tau apa sih lo? Jangan cari kesempatan mentang-


mentang disini sepi, Dhirga mending lo pergi
sekarang daripada ngebuat keributan lagi!"

Sambil menatap tajam ke arah Revan yang malah


diam saja, senyumnya terangkat. "Gue akan kasih tau,
tapi nanti setelah semuanya berakhir dan gue pastiin
kalo lo bakal nyesel seumur hidup!"

Revan membalas tatapan itu sambil menaikan


alisnya, Saras hanya menghela nafas pelan sambil
berbalik. "Kayaknya kita gak usah pergi main deh,
Van."

"Kenapa? Karena Dhirga itu? Gak usah dipikirin,


gue udah gak peduli."

Saras mengerjapkan matanya ketika Revan


mendahului langkahnya sambil membawa kunci
mobilnya, dia tau semuanya, tentang penyakit Velma,
tentang hal apapun yang berkaitan dengan
perempuan itu, ia tau. Hanya saja tidak mudah untuk
melepaskan ketika pria yang diimpikannya hampir
tergenggam olehnya, bahkan untuk kedua kalinya, itu
mengubah pikiran Saras menjadi sedikit egois.

őőő

45. The Answer

DENGAN pakaian rumah sakitnya, Velma menatap


Dokter Naufal, "Apa saya harus dirawat di rumah
sakit ini? Rumah sakit Revan? Apa Dokter
bercanda?"

Dokter Naufal terlihat mengurut keningnya, "Tidak. Ini


hanya untuk sementara, sambil menunggu kelulusan
nanti. Kalau kamu sudah menerima kelulusan itu, kita
akan pergi ke rumah sakit yang saya janjikan."

"Ki-kita?" Velma semakin tidak mengerti, kenapa


Dokter Naufal jadi sangat berperan penting
terhadapnya.
"Saya di tugaskan untuk memantau kamu, lagian
saya juga pindah tempat kerja sesuai dengan rumah
sakit tempat kamu mendapatkan pengobatan nanti,"
Dokter Naufal merapikan jas labnya sejenak. "Terus
kamu pikir, Revan akan diam saja? Dia pasti mencari
saya kalau tahu kamu berurusan dengan saya."

"Ada ibu saya, Dok. Saya sanggup berdua, dengan


ibu saya saja. Tidak perlu merepotkan, astaga."
Velma memandang selang infus yang ada di tangan
kirinya, "Cukup sampai sini saja, Dokter membantu
saya."

"Kamu lupa tentang Rainata ya? Dia juga butuh


pengobatan disana, dan selama kamu dirawat disini
sementara, saya dan keluarga Prayoga jamin, Revan
tidak mengetahui itu."

Velma menghela nafasnya pelan, tidak lama


kemudian pintu terbuka, saat itu juga Ibu Dea muncul
membawa bingkisan sambil tersenyum.

"Velma, ibu beli sedikit makanan untuk kamu," Ibu


Dea kemudian menyimpan tasnya, "Dokter bisa
bicara dulu sebentar?"

Dokter Naufal mengangguk, "Tentu saja."

"Bu, Velma mau jalan-jalan sebentar boleh?" Velma


menatap ibunya dengan tatapan memelas, Dokter
Naufal menghela nafasnya pelan. "Boleh tapi jam
lima harus sudah ada di ruangan lagi. Dan jangan
lupa, perhatikan aliran infusan itu, kalau macet
segera hubungi perawat."
"Baiklah." Velma tersenyum kemudian beranjak
sambil menggeret tiang selang infusan, Ibu Dea mulai
terisak ketika sosok Velma sudah tidak terlihat.

"Saya tidak menyangka, Ayahnya Velma meninggal


karena penyakit ini. Tolong lakukan apa saja untuk
menyembuhkan anak saya, Dok."

Dokter Naufal menghela nafasnya pelan, "Pasti, saya


akan melakukan yang terbaik untuk setiap pasien
yang saya temui. Apalagi, Velma orang yang
istimewa di keluarga Prayoga."

"Saya sangat menyayanginya, Velma satu-satunya


yang saya punya. Bahkan jika perlu, saya rela
menukar hidup saya demi Velma, dia masih muda,
punya banyak cita-cita."

"Saya mengerti perasaan Ibu, lebih baik sekarang Ibu


berdo'a atas kesembuhan Velma."

Sambil mengangguk bu Dea mengusap air matanya


dengan tissu, "Saya tidak mengerti, padahal dulunya
Darma dan suami saya berteman baik. Kenapa
sekarang, Darma tidak memperbolehkan Velma
dengan Revan, padahal sudah jelas tertera di surat
kalau suami saya masih mempunyai saham 40% di
perusahaan Prayoga ini."

"Kalau itu, saya juga tidak mengerti jalan pikiran tuan


Darma, tapi asal Ibu tahu, tuan Darma merencanakan
sesuatu dibalik semua ini, untuk anaknya Revan dan
menyangkut anak ibu juga, Velma. Percayakan saja
padanya, Ibu hanya perlu bersabar."
őőő

Dhirga terpaku dengan informasi yang baru


didengarnya perihal Velma, ingatannya menerawang
pada saat pertama kali bertemu dengan gadis itu,
di rooftop dan dirinya menemukan darah yang
lumayan tergenang, Dhirga baru sadar kalau itu
darah Velma.

Apalagi tahu kalau Velma selama ini sering


berkonsultasi dengan salah satu Dokter muda yang
hebat, Dokter Naufal. Tapi, menurut informasi yang
didapatnya, Revan belum mengetaui semua ini.
Dhirga mengurut keningnya, lalu mengambil
ponselnya untuk menghubungi dua orang yang
menurutnya bisa diandalkan.

"Ada apa, Dhir?"

Sambungan langsung terhubung, dan yang disana


langsung menyahut membuat Dhirga tambah yakin
kalau orang ini mampu diandalkan, "Lagi sama
Meka?"

"Iya lagi mampir buat ngisi perut, ada apaan?"

"Ada informasi, tentang Velma. Dan Revan harus tau,


lo bisa mampir ke cafe Talulla?"

"Gak bisa lah ngaco, gue lagi ada di cafe lain lagi
makan. Lagian nanti jam empat, gue ada manggung
bareng band."
Dhirga menghela nafas pelan, "Yaudah gue sampein
di telepon aja."

"Jangan bege, nanti gak jelas. Nanti deh malem, kita


ngehubungin lo lagi."

"Oke."

Begitu sambungan terputus, Dhirga mengalungkan


beberapa kerikil ke danau di depannya, dirinya
mengakui kalau Revan itu memang hebat, turunan
Ayahnya, tapi dibalik semua itu, hidup dia
menyedihkan. Sama seperti hidupnya, menjalani
kehidupan dalam keterbatasan, penuh aturan, dan
kejam. Tapi, begitupun hidupnya lebih dihargai oleh
orang lain, dihargai sebagai orang yang kaya dan
terhormat. Tapi, ini sungguh tidak enak, mirip seperti
drama korea yang sering diceritakan Rosi.

Entah sejak kapan juga, kalau dirinya dekat dengan


Lingga dan Meka, dua sahabat Revan. Teringat akan
sesuatu, Dhirga langsung beranjak dan melangkah
menuju mobilnya. Ia baru teringat kalau dirinya ada
janji bertemu dengan Dokter Naufal.

őőő

Velma memicingkan matanya ketika melihat seorang


gadis kecil sendirian sedang bermain dengan seekor
kelinci, tunggu... Di rumah sakit ada kelinci? Velma
menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian
langkahnya mendekat mencoba untuk berteman
dengan gadis kecil itu.

"Hallo, kelincinya lucu ya."


Gadis kecil itu terlonjak kaget, lalu mengerjapkan
matanya lucu, Velma malah mengikuti mengerjapkan
matanya. "Kelincinya lucu, kamu suka kelinci?"

Perlahan, gadis kecil itu menjauhinya sambil


membawa kelinci itu membuat Velma
menggembungkan pipinya, susah memang
beradaptasi dengan anak kecil. Velma lalu beranjak
duduk dikursi taman, gadis kecil itu tetap sedang
memainkan kelinci.

Di sampingnya terdapat kotak makan bergambar Olaf,


salah satu tokoh kartun favoritnya, perlu diketahui
kalau gadis kecil itu menyukai kartun Frozen, sama
sepertinya.

"Yuk buat boneka salju, mainlah denganku. Ku tak


pernah melihatmu, ayo keluarlah, berhenti
menghilang."

Velma menyanyikan salah satu lagu andalan di


kartun Frozen itu, dan lihat saja gadis kecil itu
menatapnya, tatapannya berbinar membuat Velma
tersenyum, "Suka Frozen? Kakak juga! Ayo ceritakan
siapa kesukaan kamu di Frozen!"

Gadis kecil itu tersenyum lalu melepaskan kelincinya


sambil mendekat ke arah Velma, "Aku suka sama
Elsa. Dia sayang adiknya, Anna."

"Kalau kakak suka Olaf, dia lucu." Velma tersenyum,


"Oh iya, siapa nama kamu?"
"Ran." Gadis kecil yang bernama Ran itu kemudian
duduk disebelah Velma sambil menyerahkan kotak
makannya.

"Buat apa?"

"Kakak suka Olaf, ini gambarnya Olaf. Buat kakak


aja." Ran tersenyum, sementara Velma gelagapan.
Gadis kecil yang bernama Ran itu sungguh baik,
beda dengan anak kecil kebanyakan yang barang-
barangnya bahkan tidak boleh disentuh oleh orang
lain.

"Buat Ran aja, kakak punya di rumah banyak."

Perlahan senyum itu memudar, Ran menunduk. "Oh


gitu ya kak? Yaudah deh."

"Eh tapi nambah satu koleksi gapapalah, makasih


ya. Kakak baru ingat kalau ini ada hidungnya! Punya
kakak dirumah hidungnya bukan wortel, tapi malah
terong."

Velma tertawa sinting, Ran disana juga ikut tertawa


senang. "Iya."

Melihat Ran tertawa, mata Velma menerawang


memperhatikan setiap detail dari tubuh cantik yang
dimiliki oleh gadis kecil yang sedang tertawa itu, dan
matanya menangkap kapas alcohol yang menempel
di tangan kiri gadis kecil itu, seperti bekas infusan.
Jangan bilang, kalau Ran pasien disini juga? Astaga,
sekecil ini.
"Ran sakit ya?"

Ran hanya mengangguk sambil memperhatikan


kelinci yang tadi didekapnya, kelinci berwarna abu-
abu yang lucu.

"Ran sakit apa?"

"Gak tau, Ran sakit. Setiap hari minum obat, Ran


bosen. Kalau kakak kenapa?"

Velma tersenyum sambil mengusap bahu gadis kecil


itu, "Kakak gak sakit kok."

"Terus itu apa?" Ran menunjuk infusan yang ada


ditangannya.

"Kakak cuma kurang vitamin aja, Ran."

Ran mengangguk, "Kakak udah sembuh ya?"

Kini giliran Velma yang mengangguk tetap dengan


senyum dibibirnya.

"Ran juga bakalan sembuh kak, kata kak Evan, Ran


pasti bisa sembuh, terus kalau Ran pasti bisa sekolah.
Kak Evan janji mau sekolahin Ran di sekolah umum,
Ran gak mau sekolah di rumah terus."

Velma mengangguk sambil sedikit mendekap tubuh


kecil itu, "Iya. Ran pasti sembuh kok. Ran kuat ya."
Air matanya ia tahan. Kini, Velma yakin kalau dirinya
juga bisa sembuh, anak sekecil ini juga bisa kuat,
dirinya pasti bisa lebih kuat.

"Oh iya, Ran sendirian?" Perlahan Ran menggeleng,


membuat Velma mengernyitkan keningnya. "Terus
sama siapa?"

"Sama gue."

Suara itu tidak asing ditelinganya dan benar saja,


setelah dirinya mendongkak, sosok pria itu muncul
bersama seorang perawat dibelakangnya.

"Dhirga? Lo siapanya Ran?"

"Kakak tirinya, Ran."

Mata Velma membulat, sementara Ran menatap


keduanya secara bergantian. "Kakak kenal kak Iga?
Berarti kakak juga kenal sama kak Evan?"

Hening. Velma bungkam, matanya menatap lurus


pada Dhirga yang malah menghembuskam nafasnya
kasar, Velma ingin meminta penjelasan disaat dirinya
juga butuh penjelasan yang lain mengenai gadis itu.

Őőő
46. You're Not Here

SETELAH kejadian di rumah sakit tempo hari,


Dhirga menjelaskan semuanya membuat Velma
sekarang mulai mengerti. Dan akhirnya, hari yang
selama ini Velma khawatirkan, dilalui juga. Hari ini,
hari kelulusan di SMA Binusi, Velma lulus dengan
nilai memuaskan sebagai juara umum, bahkan para
guru memberikan ucapan selamat dengan mengecup
keningnya membuat Velma tersentuh, Velma kira,
karena dirinya sempat menjalin hubungan dengan
Revan, anak pemilik sekolah ini, para guru
membencinya atau menandainya sebagai anak yang
harus dijatuhkan, nyatanya dunia tidak sekejam yang
ia bayangkan, sebagian besar guru ada yang tidak
peduli. Velma bersyukur akan hal itu.

"Velma, selamat ya! Lo emang hebat."

Velma menoleh ke samping, dan disana ada Alsa


dengan senyuman manisnya. Gadis itu selalu
mendekatinya, tidak peduli dirinya dijauhi, dicaci, Alsa
satu-satunya yang mampu bertahan dengannya,
Velma tersenyum. "Makasih banyak ya, lo juga hebat.
Lo orang pertama yang sadarin gue kalo manusia
setia itu ada."

Alsa tertawa, "Bisa aja lo!"

Velma terkekeh, matanya menerawang mencari


seseorang. Seseorang yang ia harapkan hanya untuk
sekedar mengucapkan selamat untuknya, bahkan
sekarang tidak terlihat. Velma menghela nafas pelan,
"Hmm... Als, lo lihat Revan?"
Mendengar penuturan darinya, gadis itu nampak
terkaget. "Lo nanyain dia? Gak salah?"

"Kenapa?"

"Vel, kalo lo cinta. Sebaiknya lo kejar dong, usaha,


bukannya malah ngelepasin kayak gini."

"Gue cuma nanya kok, siapa tau ini hari terakhir gue
ketemu sama dia."

Alsa terdiam sejenak, lalu melipat tangannya didada,


"Kayak lo ngomong, lo gak suka hujan. Tapi ketika
hujan dateng, lo malah bermain-main dibawahnya.
Cinta gak sepura-pura itu, Vel."

"Gue percaya, kalo Revan emang yang terbaik buat


gue. Tuhan punya banyak cara untuk
mempersatukan gue sama dia nanti."

Velma tersenyum membuat Alsa benar-benar tidak


habis pikir, disaat orang-orang tidak puas terhadap
takdirnya, Velma dengan segala pemahamannya
tidak peduli terhadap orang-orang itu, sepertinya
yang Velma tau, Tuhan itu tetap bersamanya, Alsa
benar-benar terkesan dengan gadis ini.

"WOAAA, selamat ya Vel!"

"Lo emang pinter banget!"

Lingga dan Meka langsung nimbrung ketika melihat


ada dua gadis yang tidak familiar di depan sana,
"Kenapa kok pada ngeliatin kita?"
"Dateng-dateng, langsung gitu."

Lingga terkekeh ketika melihat reaksi Alsa yang


kelihatannya sebal, "Maaf dong, kita cuma mau
ucapin selamat untuk Velma juara umum dan Alsa
yang juara kedua. Selamat ya!"

"Iya, kalian cewek idaman. Suatu saat mau dong


sama gue." Meka menaik-turunkan alisnya membuat
Alsa mendelik.

"Iya makasih, tapi kalau itu Mek, semoga Tuhan


tidak meridhai."

Lingga tergelak, sementara Meka menggaruk


keningnya. Velma hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya, "Kalian tau, Revan dimana?"

Tiba-tiba suasana menjadi hampa, entah kenapa


tapi itu yang dirasakan Velma, beberapa hari lalu
dirinya tidak pernah pergi ke sekolah, hanya berdiam
diri di rumah sakit dan menjalani perawatan. Dirinya
tidak melihat Revan, sudah lama. Lagian, Velma
berniat untuk mengatakan sesuatu terhadap pria itu
sebelum dirinya benar-benar tidak akan muncul lagi.

"Oh gak tau ya." Velma menghela nafas pelan


sambil menunduk, "Ada yang harus gue bicarain, gue
cari dia aja kali ya?"

"Revan lagi sama Saras, di sebelah lapangan.


Daritadi, mereka berdua terus. Bukan daritadi,
semenjak lo yang ngilang, Revan jadi sering sama
Saras, bahkan ketika ada job, Saras sering dateng
untuk menyemangati Revan."
Kini giliran dirinya yang hening, hatinya sesak tapi
apa boleh buat, ini konsekuensi atas perbuatannya
dahulu, dan Velma harus menerimanya.

"Oh gak apa-apa kok, gue cuma mau ngomong


bentar. Gue ke sana dulu ya!"

Ketiganya mengangguk sambil menatap nanar


punggung gadis itu yang kian menjauh.

"Lo belum kasih tau Revan, Ling?"

Lingga menggeleng pelan, "Setelah ini gue pasti


kasih tau kok."

őőő

Revan merapikan rambutnya sambil memikirkan


gadis yang terus-terusan melihat kearahnya tadi,
senyum itu... Revan tidak pernah melihat gadis itu
tersenyum selebar itu, dan Revan kira, Velma benar-
benar bahagia setelah meninggalkan dirinya.

"Revan!"

Saras tersenyum sambil melangkah mendekatinya,


"Gimana kalo kita ngerayain kelulusan ini sambil
liburan ke Bali! Gue udah pesenin tiketnya buat lo!"

Revan menatap gadis dihadapannya ini dengan


seksama, kalau dipikir-pikir... Saras menjadi lebih
sering mengaturnya, tapi apa boleh buat, dirinya akan
menerima itu semua dan mulai terbiasa dengan hal
seperti ini kedepannya.
"Revan? Lo gak suka ya? Apa perlu gue batalin
aja?"

"Gue suka, kita ke sana secepatnya."

Saras tersenyum senang lalu langsung memeluknya


membuat Revan mengerjapkan matanya, "Lo bener-
bener serius sama ucapan lo, gue bahagia. Makasih,
Revan."

Perlahan, tangannya mulai membalas pelukan itu.


Walaupun sampai sekarang, perasaannya tetap biasa
saja kalau bersama Saras, tapi dirinya percaya kalau
perasaan dapat berubah sesuai dengan keterbiasaan.

"Eh... Maaf ganggu, anu... Boleh bicara sebentar?


Sama Revan."

Suara itu, Saras langsung melepaskan pelukannya,


begitupun Revan yang langsung menjauhkan
tubuhnya, disana ada Velma dengan keluguannya.
Saras memicingkan matanya, "Mau ngapain? Berdua
aja?"

Velma menggigit bibir bawahnya, "Iya. Sebentar aja,


kok."

"Revan?" Saras menatap pria disebelahnya yang


malah terdiam sambil menatap tajam Velma yang
menunduk dihadapannya.

"Kalau gak penting, gak usah."


Diluar dari ekspektasinya, pria itu malah bersikap
dingin. Selalu bersikap dingin akhir-akhir ini, dan
Velma menyadari kalau sikap Revan berubah
terhadapnya juga karena perbuatannya sendiri.

"Sebentar aja, gue mohon."

"Baiklah." Dengan cepat pria itu menjawabnya lalu


mendahului langkahnya, "Ikut gue aja. Gue tau
tempat sepi, biar anak-anak gak pada ngira yang gak
mungkin soal hubungan kita yang gak jelas."

Velma mengangguk sambil menghela nafas pelan


mendengar Revan mengatakan kata tidak jelas soal
hubungannya, padahal dia yang memulai dan
memang benar Velma yang menghancurkan, dirinya
sadar akan hal itu. Lalu, Velma menatap Saras yang
terdiam sebelum melangkah mengikuti pria itu,
bagaimanapun juga ini kesempatah terakhir yang
Velma miliki, karena setelah ini, nanti... Dirinya akan
pergi, sesuai dengan perjanjian itu.

Dan selang beberapa menit, Revan membawanya


ke koridor kelas sepuluh yang memang sepi. Semilir
angin menambah suasana menjadi semakin
canggung.

"Jadi mau ngomong apaan?"

"Gue lulus, juara umum."

Velma berbicara dengan tatapan berbinar, berharap


kalau pria itu memberikan ucapan selamat
terhadapnya. Namun, sudah tiga menit pria itu tak
kunjung mengucapkan sepatah katapun, tatapannya
lurus kedepan membuat Velma tersenyum tipis.

"O-oke itu tidak penting." Velma menghela nafasnya


sebelum melanjutkan, "Gue cuma mau bilang...
Makasih sekaligus minta maaf, makasih untuk
semuanya yang udah lo lakuin buat gue, dan... Gue
minta maaf sama lo, kalau gue mungkin udah nyakitin
lo gitu."

Revan menghela nafasnya pelan tanpa menjawab


kata-katanya.

"Gue minta maaf sekali lagi."

"Udah gitu aja, Vel?"

Velma mengangguk lalu menyerahkan kotak kecil


yang entah isinya apa, Revan menatapnya dengan
alisnya yang terangkat. "Apa?"

"Sedikit kenang-kenangan, berhubung lo udah benci


sama gue. Siapa tau, sama hadiah dari gue, lo gak
benci lagi, yaa walaupun kemungkinan itu sangat
kecil, tolong terima ya?"

"Gue di sogok?" Revan tertawa menyebalkan, "Lo


dapet uang darimana?"

Velma menggeleng-gelengkan kepalanya, "Ini asli,


hasil gue dari kerja di restoran dulu. Lo harus percaya
itu."

"Bukannya lo keluar dari tempat kerja itu?"


"Gue ngumpulin udah lama kok."

Hening.

Pria itu tampak terdiam, Velma sedari tadi sudah


tidak tahan ingin memeluk pria itu. Velma tau, Revan
tidak akan mengizinkan dirinya memeluk pria itu, tapi
Velma yakin kalau di hati Revan masih menyimpan
sedikit ruang untuknya.

"Lo pasti udah di suruh apapun sama bokap gue


‘kan? Lo pasti setelah ini pergi, menghilang dari
kehidupan gue. Itu alasan lo buat ketemu sama gue
kan? Mau pamitan sama gue? Gue kecewa sama lo,
Velma. Lo udah ngebuat gue bingung sama diri gue
sendiri, lo jauh dari yang gue harapkan, Velma."
Revan mengepalkan tangannya, "Untuk pertama
kalinya, gue menyesali semua perbuatan gue selama
ini."

Mendengar perkataan pria itu, Velma meneguk


ludahnya, ini benar-benar menyakitkan. Semua
kesalahpahaman ini, membuat Velma harus
membiarkan Revan tersakiti oleh pemikirannya
sendiri. Tapi, apa boleh buat. Nanti, Revan pasti akan
tahu semuanya.

"Bo-boleh gak gue meluk elo?"

Revan terdiam, alih-alih menjawab pertanyaannya,


gadis itu malah meminta izin untuk memeluknya,
matanya terus menjelajahi setiap jengkal dari tubuh
gadis itu. Kalau Revan mampu jujur, Revan rindu
gadis ini, Revan rindu dengan Velma.
"Maaf kalo gue lancang tapi..."

Velma langsung memeluk pria dihadapannya sambil


menahan air matanya yang mulai mendesak ingin
keluar. Revan langsung terkesiap, pelukan itu
mengoyak perasaannya. Wangi rambut yang ia
rindukan itu mulai menusuk hidungnya, lalu beberapa
detik kemudian, gadis itu melepaskan pelukannya
sambil menyerahkan kotak itu, meninggalkan
segenap perasaan rindu Revan yang terpendam.

"Makasih ya, Revan. Semoga lain waktu, kita bisa


ngobrol kembali dengan keadaan baik-baik saja."

Revan masih terdiam, dirinya tidak mampu


melakukan apa-apa ketika Velma memeluknya,
bahkan dirinya tidak mampu berkata-kata hanya
untuk sekedar mengatakan maaf pada gadis itu pula,
karena dirinya selalu memaksanya. Tepat ketika
punggung wanita itu sudah tidak terlihat lagi, seorang
pria meneriakinya.

"REVAN!"

DUAGH BUGH

Pukulan itu langsung membabi buta, Dhirga dengan


urat-uratnya yang penuh dengan emosi langsung
menyerang Revan. "Kenapa lo lepasin dia bego!!!"

Revan langsung kembali menyerang Dhirga dengan


perasaan yang juga tidak menentu, pria itu tidak
terima kalau Dhirga kembali menghajarnya tanpa
alasan yang jelas.
47. I Love You, Revan

MERASA Revan belum juga nampak, Saras mulai


khawatir. Akhirnya, Saras melangkahkan kakinya
untuk mencari sosok itu. Karena Saras tau kalau
Revan masih lemah jika berhadapan dengan Velma.

Di depan sana, ada Lingga dan Meka yang tengah


berkumpul dengan beberapa anak laki-laki, Saras
berniat akan menghampiri mereka, sebelum Riska
berteriak.

"WOY!!! ADA YANG BERANTEM DI KORIDOR


KELAS SEPULUH!"

Saras membulatkan matanya lalu dengan sigap


berlari menuju koridor tersebut, Revan ini memang
sangat emosian. Dengan siapa lagi, Revan membuat
ulah, tidak mungkin dengan perempuan 'kan? Saras
menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian setelah
sampai, terlihat Dhirga dengan Revan yang masih
saling hajar, tidak ada yang menghentikan padahal
banyak yang melihat.

"REVAN!!!"

Yang diteriaki tidak menoleh sama sekali, tetap fokus


mencari titik celah kelemahan lawan padahal muka
nya sudah pada membiru tidak karuan.

"Lo denger Van? Lo denger semua yang gue


omongin tadi?"

Dhirga terlihat menarik kerah baju Revan.


"Omong kosong!"

Revan melemas, sementara Dhirga masih tersulut


emosi.

"Omong kosong? Gue punya bukti, semua anak-anak


disini."

"Omong kosong!!! Gue yang tersakiti disini, gue yang


udah bener-bener jatuh cinta sama Velma, tapi cewek
itu malah nyakitin gue. Kenapa kalian seolah-olah
bikin gue adalah orang jahat disini!"

"LO LUPA?! LO PUNYA KEKUASAAN TUAN


PRAYOGA, LO PUNYA AYAH LO YANG... Astaga."

Nafasnya terengah-engah, tarikan pada baju Revan


juga mulai terlepas. Terlihat Saras yang tengah
menyuruh anak-anak bubar, tidak lama kemudian,
Lingga dan Meka menghampiri keduanya.

"Udah berantemnya?"

Hening. Revan mengelap sudut bibirnya yang


berdarah, sementara Dhirga masih mengatur
nafasnya.

"Semuanya yang dibilang sama Dhirga itu bener,


Van."

"Maksud lo?"
"Termasuk tentang Valdo. Dia hampir ngelakuin hal
gak senonoh sama Velma, kebetulan gue sama
Lingga dateng disaat waktu yang tepat."

Revan terdiam, sementara Saras menggigit bibir


bawahnya.

"Gara-gara gue. Itu semua gara-gara gue."

"Kenapa kalian gak bilang ini semua? APA MAKSUD


KALIAN NYEMBUNYIIN INI SEMUA? HARUSNYA
GUE HAJAR VALDO!"

"Itu karena gue mau liat, seberapa pedulinya lo sama


Velma. Nyatanya, lo malah kegoda lagi sama dia.
Padahal, gara-gara lo belain dia dari Valdo, Velma
hampir celaka! Dan lo tadi malah ngusir dia, bego!"

Revan langsung menghajar semua yang ada


dihadapannya, kecuali Saras. Bahkan, Lingga dan
Meka hanya bisa terdiam menerima pukulan dari
Revan yang tengah membabi buta.

"Jangan harap kalian bisa jadi teman gue


lagi! Bangsat."

"Tenangin diri lo, Van. Dengerin penjelasan kita dulu."

Revan mengurut keningnya lalu terduduk lemah, "Lo


kayak gini percuma, Dhir! Lo juga bego, katanya lo
sayang sama dia tapi lo ngelepasin dia gitu aja.
Kenapa lo gak bantu gue buat nahan dia?"
"Gue disini ngasih kesempatan sama lo, Revan. Gue
udah berusaha apapun itu, tapi lo juga tau, Ayah
sangat berkuasa, kita sebenernya mau bilang
semuanya tentang Velma, tapi ngeliat keadaan lo,
kita urungkan itu. Kita mau bilang sama lo sekarang,
tapi Velma udah dulu nyamperin lo."

"Gue gak tau apa-apa." Lirih Revan sambil mengacak


rambutnya pelan.

Semuanya menghela nafas, menyadari kesalahan


mereka masing-masing dengan keadaan tubuh yang
lebam penuh luka, mereka hanya tidak ingin saling
menyakiti tapi kenyataannya karena perasaan hati-
hati itu, tanpa sadar mereka malah saling menyakiti,
Revan menunduk sambil mengurut keningnya.

Saras mendekat, "Revan. Maafin gue."

"Sekarang lo udah tau 'kan? Jadi lo udah bisa maafin


dia, Revan?"

Revan menghela nafasnya pelan lalu beranjak, "Gue


mau ketemu dia."

"Coba cari dia kalo bisa."

Dhirga mengusap kepalanya, "Gue udah cari


informasi sekuat tenaga, tentang dia bakalan pergi
kemana, karena rumahnya udah kosong. Tapi
hasilnya nihil."
Hening sejenak, tetapi Revan tetap melangkahkan
kakinya, digenggamannya masih ada kotak
pemberian dari Velma tadi.

"Gue pasti bisa dapet informasi itu. Gue harus


ketemu dia, dia pasti masih ada di sekitar sini."

"Revan! Lepasin dia, ikhlasin dia. Ada gue, Van. Lirik


gue!!!"

Saras langsung menahan pria itu sambil menangis,


"Revan lo janji sama gue."

"Gue gak ada perasaan sama lo, Saras. Lo masih


mau tetep maksa gue?!"

"Gak apa-apa, perasaan itu bisa berubah kapan aja!


Lo harus sama gue aja, please."

Revan terdiam, lalu melepaskan tangan gadis itu, lalu


berlari tanpa mengucapkan sepatah katapun untuk
Saras.

Perlahan sosok itu menghilang dibelokan tangga,


Saras terdiam kemudian terduduk, air matanya
semakin deras bercucuran.

Lingga menghela nafasnya sejenak sebelum


melangkahkan kakinya mendekat ke arah gadis itu,
Meka dan Dhirga hanya terdiam dengan pikirannya
masing-masing.

"Kalau lo mencintainya, jangan meminta dia buat


cinta juga sama lo. Karena kalau akhirnya dia
melakukannya, dia gak cinta sama lo, dia hanya
nurutin kemauan lo."

Pada akhirnya, Saras terisak dipelukan Lingga.

őőő

Velma menghela nafasnya pelan, berjalan diiringi


oleh Ibunya. Rasanya sangat menyesakkan tapi, apa
boleh buat. Di genggamannya ada tiket, tiket
perjalanannya menuju suatu tempat. Setelah bertemu
dengan Revan, Velma langsung dijemput oleh mobil
dari keluarga Prayoga. Dan di dalam mobil itu sudah
ada Ibunya.

"Ibu, Dokter Naufal kemana?"

"Nanti dia nyusul, masih ada jadwal operasi."

Velma hanya mengangguk lalu mendekat ke arah


ibunya, "Velma takut."

"Anak Ibu 'kan terkuat, kamu pasti sembuh."

"Ibu bakalan ada di sisi Velma 'kan?"

"Selalu." Lirih ibunya lalu mengecup pelan keningnya


membuat Velma tersenyum.

"Velma pasti kembali kalo udah sembuh."

"Pasti, udah yuk."


Dan saat itu, Velma benar-benar pasrah, kalaupun
Tuhan memang menciptakannya sebagai tulang
rusuk Revan, dirinya pasti akan bersatu kembali dan
semuanya akan baik-baik saja. Velma yakin itu.

őőő

Revan terduduk dihadapan Ayahnya setelah mencari


keberadaan gadis itu yang hasilnya nihil, Darma
hanya menatap anaknya itu dengan tatapan sayu.
Lalu, Darma mendekat, mencoba memahami apa
yang dirasakan oleh anaknya, terlebih Darma
melakukan ini semua demi Revan juga, demi
keturunannya nanti.

"Dengarkan Ayah."

"Kenapa Ayah seperti itu, apa salah Revan."

Darma ikut terduduk, lalu memukul kecil bahu


anaknya itu, "Dia butuh pengobatan, dan kamu tidak
bisa mengganggunya."

"Jadi? Jadi benar... Velma kanker nasofaring?"

Darma menghela nafas pelan lalu mengangguk


membuat Revan serasa dijatuhkan dari tebing yang
curam, bagaimana bisa... Velma, gadis itu mengidap
penyakit serius tapi dirinya tidak mengetahui itu,
keterlaluan. Astaga, Revan benar-benar merasa tidak
berguna, ingin melakukan sesuatu tapi dirinya tidak
mampu, air mata itu mulai berjatuhan. Revan adalah
orang yang anti dengan air mata sebelumnya, tapi ini
benar-benar menyakitkan.
"Ayah melakukan ini, untuk mengantisipasi saja.
Kalau Velma benar-benar dinyatakan sembuh total,
Ayah akan merestui hubungan kalian."

Perlahan, Darma beranjak diikuti oleh Revan.

"Tolong kasih tau Revan, dimana dia mendapatkan


pengobatan, Ayah!!!"

"Tidak bisa, jangan ganggu dia. Kalau kamu terus


hadir di hidupnya, bagaimana bisa dia memikirkan
dirinya sendiri? Dia memikirkan kamu juga, Ayah kira
dia perempuan tidak baik dan hanya ingin hartamu
saja, tapi nyatanya Velma memang baik, Ayahnya
berteman baik dengan Ayah dulu."

Revan memejamkan matanya, apa yang


dilakukannya selama ini sungguh membuatnya
menyesal. "Ini semua gara-gara Ayah!"

Darma memeluk anaknya itu, "Ayah hanya bisa


melakukan ini. Sungguh, Ayah tidak mau kamu
bernasib sama seperti Ayah dulu. Yang harus kamu
lakukan adalah bersabar dan berdo'a, banggakan
Ayah juga Velma. Kejar cita-citamu itu, tunggu Velma
beberapa tahun lagi, dan Ayah sudah berusaha
membuat Velma agar sehat kembali, tentang hasilnya,
biarkan Tuhan yang mengatur segalanya."

Begitu mengatakannya, Darma lalu masuk ke dalam


mobilnya dan pergi meninggalkan Revan sendirian,
Revan terpaku dengan semua informasi yang dia
dapat tentang Velma.
Tentang gadis itu sering berkonsultasi dengan Dokter
Naufal, tentang Ayahnya yang sudah mengetahui
semuanya jauh sebelum menampar dirinya, tentang
Velma yang selama ini benar-benar menyimpan
rahasia yang membuatnya terpukul, perlu diketahui
kalau seorang Velma berhasil membuat hidup Revan
tidak karuan.

Seketika, dirinya teringat akan kotak yang diberikan


oleh gadis itu. Revan langsung membuka kotak itu
secara perlahan. Dan saat pertama kali kotak itu
terbuka, secarik kertas terjatuh. Revan mengambilnya,
dan disana ada tulisan Velma yang rapi, bahkan
kalimat pertamanya membuat Revan langsung
menjatuhkan air matanya.

Beberapa saat setelah membaca surat itu, Revan


terdiam sejenak sambil menunduk. Mereka bilang,
cinta pertama itu indah. Nyatanya, seperti ini. Revan
kemudian mengambil sesuatu di kotak itu lagi, yang
Velma berikan adalah kotak musik dengan miniatur
gitar.

Revan memejamkan matanya ketika alunan musik


terdengar dan miniatur gitar itu berputar, suara ini...
Suara Velma.

"Why can't I say that I'm in love?


I wanna shout it from the rooftop.
I wish that it could be like that.
Why can't we be like that?
'Cause I'm yours."
-Secret Love Song, Little Mix ft Jason Derulo-

őőő
Jakarta, 01 Juli 2017

Halo... Revan.

Ini mirip seperti drama cengeng mungkin, tapi perlu


diketahui kalau lo baca surat ini, gue udah gak ada
disini lagi.

Gue bener-bener minta maaf, sama lo... Revan.

Gue juga mau berterima kasih sama lo, berkat lo...


Hidup gue lebih berwarna lagi. Terimakasih.

Dan, gue cuma bisa ngasih lo ini. Maaf, gara-gara


gue... Gitar kesayangan lo rusak. Ini murni hasil kerja
gue dulu, gak ada campur tangan sedikitpun dengan
masalah keluarga lo.

Lalu...
Revan, boleh gue jujur?
Setelah kejadian itu, gue semakin merasa bersalah.
Setiap lo ada di depan gue, tapi gak nganggap gue
ada, itu terasa asing. Gue cuma pengin lo tau, kalau
lo berhasil ngebuat pusat perhatian bagi gue.
Lalu, seolah-olah lo bukan takdir gue, lo dengan
mudah ngelepasin gue, walaupun gue yang terlebih
dahulu ngelepasin lo, tapi gue bersyukur. Lo bahagia
sama Saras.

Yang perlu lo tahu saat ini.


Gue jatuh cinta sama lo, lo gak sepayah yang gue
katakan waktu itu. Lo tampan, suara lo bagus, lo
mapan, dan lo berhasil membuat gue jatuh cinta.
Selamat, Revan!
Tapi, jangan merasa terbebani, gue cuma mau lo tau
perasaan gue, gue gak terlalu mentingin balasan
perasaan dari lo.

I miss you...
I Love You, Revan.

___
EPILOG

Enam tahun kemudian...

SUASANA sangat ramai, tentu saja. Hari ini,


seorang bintang besar sedang konser. Sedari tadi,
suaranya yang menenangkan meramaikan gedung
konser ini. Sudah beberapa lagu yang dinyanyikan
dan ini adalah lagu terakhir mereka pada konser kali
ini.

"Mereka keren! Ngecover lagu Attention miliknya


Charlie Puth, sumpah keren!"

Terdengar teriakan-teriakan dan jeritan dari


penonton yang menambah suasana menjadi tambah
ramai, di depan sana kira-kira ada tiga orang dengan
band nya yang katanya sudah lahir sejak mereka
SMA.

Dan itu memang benar adanya, gadis ini saksinya.


Dengan memakai baju tanpa lengan berwarna biru
laut, gadis ini menonton konser kekasihnya, paling
belakang.

Setelah lagu Attention - Charlie Puth selesai dan


ketiganya yang berada dipanggung pamit, gadis ini
langsung pergi duluan ke belakang panggung, berniat
untuk menemui kekasihnya.

"Hai, kalian keren!!!"

"Astaga! Kamu bilang kamu sibuk."


"Hehe, supriseee! Ih tapi kamu tadi genit. Aku gak
suka."

Pria itu lalu menariknya kemudian memeluknya


dengan lembut membuat pipinya merona, "Wajar
dong. Kesayangan kamu ini ‘kan banyak fansnya."

Tetapi tetap menyebalkan, "Ih sebel, Lingga udah


berapa tahun kita pacaran!"

Ternyata pria itu adalah Lingga, dengan


sedikit merapikan rambutnya, Lingga berbisik.
"Happy Anniversary, dua tahun Saras Varella. I love
you."

Gadis itu; Saras, tambah merona. Lalu memeluk


Lingga erat sambil tersenyum dibaliknya, Lingga juga
tidak bisa menyembunyikan senyumnya dan
mengacak-acak rambut kekasihnya itu, semua
kejadian dimasa lalu membuat Saras sadar kalau
selama ini, Lingga sangat berarti.

Sementara itu, Meka dibelakang hanya berdecih


kesal. "Kalau ngerayain Anniv ‘tuh di kafe, hotel atau
tempat-tempat romantis! Ini dibelakang panggung,
heran gue."

Mendengar celetukan itu, Lingga melepaskan


pelukannya walaupun Saras masih menempel
padanya, "Makanya nyari jodoh sana!"

"Heh bahlul, jodoh kagak usah dicari. Jodoh ada


ditangan Tuhan."
Saras tertawa melihat keduanya, lalu dirinya baru
teringat kalau salah satu personil disini kurang, pria
itu... Pemeran utamanya, dimana dia?

"Eh, Revan kemana?"

"Paling ke toilet dia."

Meka menjawabnya sambil terus memainkan ponsel,


sementara Saras hanya mengangguk pelan.

Tiba-tiba dari arah kiri, manajer Yosep kelimpungan


sambil berteriak, "Panggil ambulance! Cepet!!!"

Meka terkesiap, begitupun dengan Lingga dan


Saras yang langsung berjauhan, kaget.

"Lah ada apaan?" Lingga menghentikan langkah


pak Yosep yang masih dengan kekhawatirannya,
"Revan! Revan diserang fansnya!"

őőő

Revan dibawa ke rumah sakit ternama di Jakarta,


rumah sakit milik keluarga Prayoga, tempat dimana
Ran dirawat dulu, sesudah mendapatkan pertolongan
pertama oleh pihak ambulance di dalam mobil. Dan
kini, Revan terbaring di ruang UGD. Wajahnya datar,
tidak berekspresi. Lingga bahkan Meka menggeleng-
gelengkan kepalanya melihat tindakan
para agency yang berlebihan, padahal Revan hanya
ditampar dan dicakar oleh seorang fans.
"Van, emang lo beneran parah ya sampe di bawa ke
rumah sakit, di infus lagi." Lingga terkekeh
pelan, sambil mengusap keningnya.

"Anak emas mah beda." Meka menimpali, membuat


Revan mendengus pelan.

"Iri aja lo berdua."

Lingga tambah ingin tertawa mendengarnya, Revan


ini memang masih terlalu seperti anak kecil kalau
dibilang umurnya sudah dua puluh tiga tahun, bahkan
kelakuannya yang polos tapi mengancam masih
melekat pada dirinya sejak dulu.

"Masa lo dibilang sombong sampe diginiin sama


fans musiman kayak gitu, gue gak terima. Padahal lo
‘kan ramah ye gak, Mek?"

"Gak juga, lagian emang bener sih, lo itu kurang


terbuka sama fans."

Lingga memukul lengan Meka yang meringis saat itu


juga, sementara Revan mencoba untuk bangkit dari
blangkar itu.

"Bacot."

Tepat saat dirinya ingin turun, seorang perawat


menghampirinya. "Eh mas, jangan pulang dulu.
Dokter nanti sebentar lagi akan melakukan
pemeriksaan."
"Gue gak apa-apa!" Revan menepis tangan perawat
itu membuat infusan yang menempel ditangan kirinya
terlepas, dan itu perih. Darah mulai bercucuran.

"Tuh ‘kan mas, ganteng-ganteng nakal deh."

Mendengar hal itu, pipi Lingga dan Meka


mengembung menahan tawa membuat Revan benar-
benar ingin menenggelamkan mereka saat itu juga.

"Perih bego, cepet obatin."

"Iya mas sebentar, kalo galak kegantengannya


semakin nambah ya, mas?"

Perawat itu sibuk dengan darahnya yang tengah


dibersihkan oleh kapas alcohol, sementara Revan
melemparkan tatapan tajam pada kedua sahabatnya
yang masih menahan tawa.

"Kualat lo ntar, malah ngetawain lagi."

"Gak kok nggak." Lingga mengulum bibirnya lalu


melemparkan pandangan ke arah lain, tidak ingin
beradu tatap dengan Revan yang pasti dirinya akan
kalah telak.

"Dokternya mana sih? Lama amat, pecat aja."

"Kebetulan Dokter yang jaga siang ini ‘tuh Dokter


baru, masih muda katanya kuliah di Amerika. Dokter
umum sih, cantik pula. Jadi mungkin dia sedikit grogi
ngehadapin pasien, saya juga gitu mas pas awalnya."
Revan menghela nafasnya pelan, dirinya baru tau
kalau ada perawat seperti ini. Biasanya dirinya
disegani, dilihat name tag nya perawat itu bernama
Astuti.

"Bhak, eh Van... Gue sama Meka nyari minuman


dulu, haus nih, sekalian gue mau ngehubungin Saras.
Kasihan dia ditinggal. Ntar balik lagi kok! Bye manis."

Dengan segera, keduanya menjauhi tempat itu


membiarkan Revan berduaan dengan sang perawat
tadi, siapa tahu jodoh. Lagian berhijab pula, Lingga
terkikik mengingat perbuatan perawat itu.

"Astuti, tolong cek kamar F2 dan cek suhunya


apabila tinggi kasih pct ini."

Suara itu, Revan menolehkan kepalanya lalu


matanya membulat. Begitupun dengan Dokter itu,
Dokter perempuan dengan wajah yang tidak familiar.

"Baik, Dok."

Astuti ‘pun pergi meninggalkan mereka berdua yang


terus bertatapan. Suasana tiba-tiba genting,
beberapa detik kemudian, Dokter itu langsung
memutuskan kontak matanya sambil memakaikan
stetoskop ke telinganya.

"Kenapa? Apakah anda ada keluhan?"

"Velma?" Lirihnya dengan tatapan yang masih tidak


percaya.
"Hm, apa ada keluhan?"

"Velma, lo Velma?"

Dokter dengan rambutnya yang terurai, matanya


bulat, bibirnya tipis, Revan yakin kalau ini Velma.
Velma yang ia tunggu selama beberapa tahun ini,
dan saat tangan Dokter itu akan memeriksa dadanya,
Revan langsung menggenggamnya.

"Maaf tapi saya harus melakukan pemeriksaan."

"Biar gue tunjukin rasa sakit yang selama ini gue


derita."

Kemudian, Revan menuntun tangan itu pada tempat


yang menunjukan organ hati. Velma terdiam.

"Anda mengidap penyakit hepatitis?"

Revan menggeleng sambil menghela nafasnya


pelan, "Lo beneran gak kenal sama gue? Gak ada
niatan nyari gue setelah pulang ke Indonesia? Lo
kemana aja selama ini? Dateng-dateng udah jadi
Dokter."

Velma mengulum bibirnya pelan, "Saya


mendiagnosis kalau anda mungkin syok, tidak ada
hal yang serius dan anda bisa pulang, tidak usah
dirawat."

"Velma, berhenti bersikap seperti ini. Gue nunggu lo


selama enam tahun, dan lo mau gini aja?"
Hening.

"Revan..."

Perlahan tangannya mulai menjelajahi wajah pria


yang selama ini menghantui pikirannya, sebenarnya
Velma sudah berada di Indonesia sejak dua minggu
yang lalu, namun dirinya belum berani menampakkan
diri di hadapan pria ini, dan Velma tidak menyangka
kalau akan bertemu dengan Revan di rumah sakit ini.

"Ma-maaf..." Lirihnya sambil menatap pria itu yang


juga menatapnya.

Revan dengan secara tiba-tiba menarik Velma


kedalam pelukannya, Velma terkesiap.

"Lo apa kabar? Lo udah sembuh? Lo dimana


selama ini?"

"Gue sembuh, karena penyakit gue masih stadium


awal. Gue kanker, kanker nasofaring, turunan dari
Ayah gue yang ternyata meninggal karena ini, semua
ini berkat Ayah lo juga."

Velma terisak, dirinya melupakan kenyataan kalau


sekarang mereka ada di ruangan UGD. Untung saja
setiap UGD memiliki kamar masing-masing sehingga
tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Lo sembuh total? Terus kenapa lo gak hubungin


gue?"
Revan menatap wajah itu sambil meletakan tangan
kanannya dipipi gadisnya yang basah karena air mata.

"Dokter disana bilang kalo gue sembuh total sejak


tiga tahun lalu lagian gue baru dua minggu disini, gue
sibuk jadi mahasiswa kedokteran. Gue pergi ke
Amerika Serikat, sama Ibu gue dan Dokter Naufal.
Dan setelah mendapatkan pengobatan disana gue
bener-bener baik-baik aja, lo jangan khawatir."

"Lo masih sendiri ‘kan? Lo nungguin gue ‘kan?"


Revan dengan sigap mengangkat tubuh gadisnya itu
untuk duduk di salah satu kakinya, dan Velma tidak
bisa berbuat apa-apa selain menurutinya, karena
sekarang pergerakannya dikunci oleh pria itu.

"I-iya."

Revan tersenyum lalu mendekatkan mulutnya untuk


berbisik di telinga gadisnya itu, "Lo kelewat cantik, lo
keliatan lebih dewasa dan siap untuk dihalalin, gue
langsung mau nikahin lo, mau 'kan?"

Velma mengerjapkan matanya, tatapan pria itu


tajam. Dan dirinya tau kalau pria itu tidak main-main
dengan ucapannya, "Maaf tapi..."

"Jangan bilang lo punya tunangan?!"

"Bu-bukan itu..."

"Sebelumnya, gue mohon lo jangan masang wajah


imut kayak gitu, di ruangan ini cuma ada kita berdua,
gue laki-laki dan lo perempuan. Lo tau ‘kan kalau laki-
laki bisa ngelakuin --"

"Gila!" Velma ingin menjauh tetapi lengan kekar itu


menahannya, "Lo itu sekarang artis terkenal, Revan.
Gue harap lo sadar akan hal itu."

"Terus apa masalahnya? Gue masih sendiri, atau


biar lo percaya sama gue. Kita ngelakuin sesuatu,
dan secepatnya kita akan menikah."

Velma memukul pelan bahu kekarnya, "Lo gila."

"Gue gila karena lo, Velma. So, would you marry


me?"

Revan memeluk pinggangnya, Velma hanya bisa


mengangguk pelan sambil mengulum bibirnya. Dan
saat itu juga, Revan kehilangan kendali.

őőő

Perlu diketahui, sejak kejadian enam tahun yang lalu.


Revan dan kedua sahabatnya mulai berkecimpung di
dunia entertain, dengan modal wajahnya yang
tampan dan kemampuannya bermain musik. Sejak
awal mereka debut, sudah banyak respon positif dari
banyak pihak.

Hingga sekarang, Revan menjadi seorang bintang


besar, dan Ayahnya tidak melarang itu. Karena
perusahaan akan diteruskan oleh anaknya yang
satunya, Dhirga. Sementara, Ran sekarang sudah
mau kelas dua smp, Ran sudah sembuh!
Semenjak terlibat pertengkaran itu, Dhirga
berinisiatif untuk melanjutkan sekolahnya di USA.
Sekaligus kuliahnya, dan Ayahnya sudah pasti
menyetujui itu dengan catatan, Dhirga harus menjadi
penerus perusahaan ini bersama Revan, Dhirga
hanya bisa mengangguk saat itu.

Dan untuk Dokter Naufal, akhirnya Dokter itu


bertunangan. Tidak, bukan dengan Rainata. Rainata
ternyata tidak bisa diselamatkan lagi, penyakitnya
telah menjalar ke seluruh organ tubuh lain, dan itu
adalah masa-masa kelam bagi Dokter Naufal hingga
akhirnya dia menemukan seseorang dari keluarga
pasiennya yang mampu menarik perhatiannya lagi
saat dirinya akan melakukan operasi pada pasien
tersebut. Untuk hubungan Velma dan Dokter Naufal,
tidak lebih dari sebatas Dokter dan pasien, hanya
saja Velma di spesialkan atas perintah tuan Darma,
ayah Revan. Dan, tentang perjanjian itu, Velma
hanya harus menemani Rainata sambil konsul
dengan Dokter Naufal itu.

Dunia mulai berubah, Saras yang melanjutkan


pendidikannya untuk menjadi seorang Chef, bahkan
sekarang menjalin hubungan dengan Lingga, Rosi
yang bahkan tidak ada kabar. Dan, banyak hikmah
dibalik semuanya.

Tau-tau Dhirga menjadi pengusaha muda yang


mempunyai saham yang melimpah, perusahaannya
tambah maju, tetapi masalah hati, Dhirga masih
sangat tidak ahli, dan saat itu Rosi menjadi penerus
Designer terkenal mamanya, hingga suatu saat
mereka dipertemukan dengan perasaan yang beku,
Rosi yang tidak tahu harus berbuat apa, Dhirga yang
masih tidak peka dengan sekeliling. Masalahnya,
Rosi sekarang tengah menjalin hubungan dengan
Rafli, mantan ketua kelasnya yang sekarang menjadi
seorang pemain sepak bola terkenal.

Pada akhirnya seorang penggoda akan kalah oleh


seorang pendo'a, mereka yang terlibat dalam satu
masalah tentang hati, akhirnya dewasa juga. Dan,
sekarang berbagai kejadian telah mereka lalui,
hingga akhirnya salah satu dari mereka; Velmasya
Armadetta menjadi seorang Dokter. Velma bukan
orang dari kalangan bawah lagi, dan dirinya jadi bisa
lebih leluasa untuk mengucapkan,..

I Love You, Revan.

őőő

“Setiap manusia memiliki lukanya masing-masing,


entah bagaimana kita menghadapi luka tersebut.
Karena hal itu juga yang menjadi sebab kekuatan kita
selama ini.”
-I Love You, Revan-

“Tidak ada yang salah dengan jatuh cinta, hanya


prosesnya yang harus siap kita hadapi. Bersyukurlah,
cinta itu menguatkan, karena perlu kita pahami
bahwa jatuh dan luka itu pasti datang secara
bersamaan.”
-I Love You, Revan-

Anda mungkin juga menyukai