Anda di halaman 1dari 49

-2-

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063), sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik
IndonesiaTahun 2009 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6573);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5679);
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5942);
-3-

6. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2021 tentang


Kementerian Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2021 Nomor 83);
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 Tahun 2016
tentang Penanggulangan Tuberkulosis (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 122);
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 27 Tahun 2017
tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 857);
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2020
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2020 Nomor 1146);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PELAYANAN
KESEHATAN TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI
TUBERKULOSIS SENSITIF OBAT (TB SO) DAN
TUBERKULOSIS RESISTEN OBAT (TB RO) DI FASILITAS
PELAYANAN KESEHATAN.

KESATU : Menetapkan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pencegahan dan


Pengendalian Infeksi Tuberkulosis Sensitif Obat (TB SO) dan
Tuberkulosis Resisten Obat (TB RO) di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan yang selanjutnya disebut Juknis PPI Tuberkulosis
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal
ini.
KEDUA : Juknis PPI Tuberkulosis sebagaimana dimaksud dalam
Diktum KESATU menjadi acuan bagi Pemerintah Pusat,
pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah
kabupaten/kota, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan, dan
pemangku kepentingan terkait dalam upaya peningkatan
mutu pelayanan rumah sakit dan mencegah penyebaran
-5-

LAMPIRAN
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL
PELAYANAN KESEHATAN
NOMOR
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
INFEKSI TUBERKULOSIS SENSITIF OBAT
(TB SO) DAN TUBERKULOSIS RESISTEN
OBAT (TB RO) DI FASILITAS PELAYANAN
KESEHATAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis merupakan 10 penyebab kematian di dunia pada tahun
2018. Penyakit ini juga sebagai penyebab kematian pada orang – orang
dengan HIV dan penyebab terbesar kematian yang dikaitkan dengan
rsisten antimikroba. Estimasi kejadian baru penyakit TB pada tahun
2018 sebesar 9 – 11, 1 juta orang di seluruh dunia dimana terdapat 5,7
juta terjadi pada laki – laki, 3,2 juta pada perempuan dan 1,1 juta pada
anak – anak serta 9 % dari total keseluruhan angka kejadian TB pada
orang – orang hidup dengan HIV. Ada 8 negara yang dengan penemuan
kasus baru sekitar 66 % antara lain India, Cina. Indonesia, Filipina,
Pakistan, Nigeria, Bangladesh dan Afrika Selatan.
Pada tahun 2018 terdapat 1,5 juta orang di dunia meninggal karena
TB termasuk 251.000 orang dengan HIV. Angka kematian TB secara
global menurun 42 % di antara tahun 2000 dan 2018. Pengobatan TB
menyelamatkan 58 juta kehidupa secara global antara tahun 2000 dan
2018. Angka keberhasilan pengobatan untuk orang yang baru didiagnosa
TB adalah 85 %. Pada tahun 2018, ada 484.000 orang yang berkembang
dari TB menjadi TB resisten obat terutama Resisten Rifampicin (RR) yang
merupakan obat lini pertama yang sangat efektif dan 78 % lainnya
resisten multi obat (MDR). Sekitar 187.000 kasus dari TB MDR/ RR yang
terdeteksi dan tercatat pada tahun 2018. Ada sekitar 156.000 yang
-6-

lansung memulai pengobatan dengan regimen lini ke dua. Angka


keberhasilan pengobatan secara global pada TB MDR/RR rendah, 56 %.
Di antara kasus TB MDR, terdapat sekitar 6,2 % yang jatuh pada
extensively drug-resistant TB (XDR-TB).
Tuberkulosis paru merupakan penyakit yang dapat ditularkan secara
airborne. M. tuberculosis merupakan bakteri yang tidak tahan terhadap
sinar ultraviolet, dan pada pewarnaan bersifat tahan asam. Oleh
karenanya kemudian disebut sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Sifat-
sifat spesifik dari M. tuberculosis:
a. Sifat ”Bakteri-Jamur”
M. tuberculosis memiliki struktur bakteri pada umumnya, namun
memiliki fase replikatif yang panjang dan lama (seperti jamur).
b. Sangat Aerob
M. tuberculosis juga merupakan bakteri yang sangat aerob, dimana
membutuhkan oksigen dalam pertumbuhannya.
Pada pasien-pasien yang terdiagnosis Tuberkulosis Paru dengan BTA
Positif, maka perlu dilakukan pemutusan rantai penularan secara
ekstrinsik ke pasien lain, keluarga/ pengunjung dan petugas kesehatan.
Pengendalian infeksi termasuk penyakit Tuberkulosis sensitif obat (TB
SO) dan Tuberkulosis resisten obat (TB RO) saat ini menjadi sesuatu yang
sangat penting untuk dilakukan karena berkaitan langsung dengan
keselamatan pasien di rumah sakit. Berbagai upaya yang dapat dilakukan
penting untuk memutus rantai penularan antara lain adalah pengunaan
alat pelindung diri (APD) bagi petugas kesehatan dan keluarga, perawatan
pada ruang isolasi yang bertekanan negatif dan dilakukan perawatan
pada ruang isolasi negatif, guna memutus rantai penularan secara
ekstrinsik pada pasien-pasien lainnya.
Penggunaan APD bagi petugas kesehatan dan keluarga pasien harus
dilakukan pada kasus-kasus seperti ini. Permasalahan muncul karena
tingginya kejadian angka Healthcare Associated Infections (HAIs). HAIs
tentunya berdampak pada kerugian biaya dari kedua belah pihak baik
pihak rumah sakit maupun dari pihak pasien.
-7-

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Memberikan panduan secara teknis tentang pelaksanaan
pengendalian dan pencegahan infeksi TB SO dan TB RO di
Fasyankes.
2. Tujuan Khusus
Terwujudnya penerapan kewaspadaan transmisi penularan
Tuberculosis.

C. Sasaran
1. Manajemen Fasyankes
2. Dinas Kesehatan
3. Komite/tim PPI
4. Tenaga Medis
5. Tenaga Kesehatan

D. Penularan TB
Cara penularan terutama secara airborne. Sumber penularan adalah
pasien TB Paru yang saat batuk, bersin, berbicara mengeluarkan percikan
dahak (droplet nuklei, percik renik) yang mengandung kuman M.
tuberculosis dan terhirup oleh mereka yang berada di dekatnya. Percik
renik ini berukuran 1-5 mikron dan dapat bertahan di udara selama
beberapa jam.
Meningkatnya peluang paparan kuman M. Tuberculosis terkait
dengan:
1. Jumlah kasus menular di masyarakat
2. Peluang kontak dengan kasus menular
3. Tingkat daya tular dahak sumber penularan
4. Intensitas batuk sumber penularan
5. Kedekatan kontak dengan sumber penularan
6. Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan
Beberapa keadaan TB yang dapat meningkatkan risiko penularan
adalah:
1. Batuk produktif.
2. BTA positif.
3. Kavitas.
4. Tidak mendapat OAT.
-8-

5. Saat melakukan tindakan intervensi seperti induksi sputum,


bronkoskopi, suction.
-9-

BAB II
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENULARAN TUBERKULOSIS SENSITIF
OBAT (TB SO) DAN TUBERKULOSIS RESISTEN OBAT (TB RO)
DI FASYANKES

Cara pengobatan pasien TB RO mengharuskan pasien untuk minum obat


langsung di depan petugas. Berbeda dengan Pengawas Minum Obat pasien TB
SO yang bisa diawasi oleh keluarga, untuk pasien TB RO yang menjadi
Pengawas Minum Obat adalah Petugas Kesehatan. Pasien harus datang tiap
hari untuk meminum obatnya ataupun mendapatkan suntikan sebagai bagian
dari pengobatannya. Dengan lamanya waktu pengobatan maka kontak erat
dan risiko penularan di Rumah Sakit juga bertambah.
Petugas kesehatan yang menangani pasien TB SO dan TB RO
merupakan kelompok risiko tinggi untuk terinfeksi dan tertular TB. Pada saat
ini TB seringkali merupakan penyakit akibat kerja atau occupational disease
bagi petugas kesehatan. Kondisi ini memerlukan perhatian khusus karena
belum semua fasyankes menerapkan program PPI TB. Mencegah penularan
TB pada semua orang yang terlibat dalam pemberian pelayanan pada pasien
TB harus menjadi perhatian utama. Semua fasyankes yang memberi layanan
TB harus menerapkan PPI TB untuk memastikan berlangsungnya deteksi dini,
tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang dicurigai atau
dipastikan menderita TB sebagai upaya perlindungan kepada pasien,
pengunjung dan petugas dari penularan TB di Rumah Sakit.
Kebijakan Kementerian Kesehatan sesuai dengan rekomendasi World
Health Organization (WHO) tentang Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
Tuberkulosis meliputi pengendalian administratif, pengendalian lingkungan
dan pengendalian perlindungan diri. Pencegahan dan pengendalian infeksi TB
menjadi sesuatu yang penting dalam upaya penanggulangan TB nasional,
dengan munculnya dampak beban ganda epidemik TB HIV serta kasus TB SO
dan TB RO.

A. Pengendalian Administratif
Pengendalian administratif merupakan prioritas utama dalam
mengurangi penyebaran TB di fasyankes. Pelaksanaan pengendalian
infeksi secara administratif seperti identifikasi pasien dengan gejala TB
sehingga dapat dipisahkan dan segera mendapatkan pengobatan.
Pengendalian administratif adalah upaya utama yang penting dilakukan
- 10 -

untuk mengurangi pajanan M. Tuberculosis kepada petugas kesehatan


dan pasien, dengan mengurangi adanya percik renik di udara. Risiko ini
tidak dapat dihilangkan 100% tetapi dapat diturunkan secara bermakna
dengan upaya administratif yang benar. Upaya ini mencakup:
1. Melaksanakan triase dan pemisahan pasien batuk, mulai dari “pintu
masuk” pendaftaran fasyankes.
2. Mendidik pasien mengenai etika batuk.
3. Menempatkan semua suspek dan pasien TB SO dan TB RO di ruang
tunggu yang mempunyai ventilasi baik, diupayakan ≥12 ACH dan
terpisah dengan pasien umum.
4. Menyediaan tisu dan masker, serta tempat pembuangan tisu
maupun pembuangan dahak yang benar.
5. Memasang poster, spanduk dan bahan untuk komunikasi informasi
dan edukasi
6. Mempercepat proses penatalaksanaan pelayanan bagi pasien suspek
dan terkonfirmasi TB, termasuk proses diagnosis, terapi dan rujukan
sehingga waktu keberadaan pasien di fasyankes dapat dipersingkat.
7. Melaksanakan skrining bagi petugas yang merawat pasien TB SO
dan TB RO.
8. Menerapkan SPO bagi petugas yang tertular TB SO dan TB RO.
9. Melaksanakan pelatihan dan pendidikan mengenai PPI TB bagi
semua petugas kesehatan.
Untuk mencegah adanya kasus TB SO dan TB RO yang tidak
terdiagnosa, dilaksanakan strategi TEMPO dengan skrining bagi semua
pasien batuk:

Gambar 1. Strategi TEMPO


- 11 -

Edukasi dan penerapan etika batuk harus mampu diberikan oleh


petugas khususnya pentingnya menjalankan etika batuk kepada pasien
untuk mengurangi penularan. Pasien saat batuk diminta untuk
memalingkan kepala dan menutup mulut / hidung dengan tisu. Kalau
tidak memiliki tisu maka mulut dan hidung ditutup dengan tangan atau
pangkal lengan. Sesudah batuk tangan dibersihkan, dan tisu dibuang
pada tempat sampah khusus. (kantong kuning/tempat sampah
infeksius).

Gambar 2. Contoh Poster Etika Batuk


- 12 -

Tujuan pengendalian administratif adalah untuk melindungi petugas


kesehatan, pengunjung dan pasien dari penularan TB SO dan TB RO dan
untuk menjamin tersedianya sumber daya yang diperlukan untuk
pelaksanaan PPI. Secara ringkas, upaya pengendalian administratif ini
dapat dicapai dengan melaksanakan lima langkah penatalaksanaan
pasien sebagai berikut:
Lima Langkah Penatalaksanaan pasien
Untuk Mencegah Infeksi TB
Pada Tempat Pelayanan
Langkah Kegiatan Keterangan
1 Langkah pertama adalah pengenalan segera pasien
suspek atau konfirm TB SO dan TB RO adalah
langkah pertama.
Hal ini dapat dilakukan dengan menempatkan
petugas untuk menyaring pasien dengan batuk lama
segera pada saat datang di fasilitas. Pasien dengan
Triase
batuk ≥ 2 minggu, atau yang sedang dalam
investigasi TB SO dan TB RO tidak diperbolehkan
mengantri dengan pasien lain untuk mendaftar atau
mendapatkan kartu. Mereka harus segera dilayani
mengikuti langkah-langkah dibawah ini.

2 Menginstruksikan kepada pasien yang tersaring diatas


untuk melakukan etika batuk yaitu menutup hidung
Penyuluhan dan mulut ketika batuk atau bersin. Kalau perlu
berikan masker atau tisu untuk menutup mulut dan
mencegah terjadinya aerosol.
3 Pasien yang suspek atau kasus TB SO dan TB RO
melalui pertanyaan penyaringan harus dipisahkan
dari pasien lain, dan diminta menunggu di ruang
Pemisahan
terpisah dengan ventilasi baik serta diberi masker
bedah atau tisu untuk menutup mulut dan hidung
pada saat menunggu.
4 Pasien dengan gejala batuk harus segera
mendapatkan pelayanan untuk mengurangi waktu
Pemberian
tunggu sehingga orang lain tidak terpajan lebih lama.
pelayanan
Ditempat pelayanan terpadu TB --‐ HIV, usahakan
segera
agar jadwal pelayanan HIV dibedakan jam atau
harinya dengan pelayanan TB atau TB--‐HIV
- 13 -

5 Untuk mempercepat pelayanan, pemeriksaan


diagnostik TB SO dan TB RO sebaiknya dilakukan
ditempat pelayanan itu, tetapi bila layanan ini tidak
Rujuk
tersedia, fasilitas perlu membina kerjasama baik
untuk
dengan sentra diagnostik TB untuk
investigasi/
merujuk/melayani pasien dengan gejala TB secepat
pengobatan
mungkin. Selain itu, fasilitas perlu mempunyai
TB
kerjasama dengan sentra pengobatan TB SO dan TB
RO untuk menerima rujukan pengobatan bagi pasien
terdiagnosa TB SO dan TB RO.
Tabel 1. Adaptasi dari: Tuberculosis Infection Control in The Era of Expanding HIV
Care and Treatment - Addendum to WHO Guidelines for the Prevention of
Tuberculosis in Health Care Facilities in Resource ‐Limited Settings, page 17.

B. Pengendalian Lingkungan.
Pengendalian Lingkungan adalah upaya peningkatan dan pengaturan
aliran udara/ventilasi dengan menggunakan teknologi untuk mencegah
penyebaran dan mengurangi / menurunkan kadar percik renik di udara.
Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah
tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi utraviolet
sebagai germisida. Pemilihan metode pengendalian lingkungan berkaitan
dengan desain bangunan dan konstruksi. Metode juga berhubungan
dengan iklim dan keadaan sosioekonomi.
Tujuan dari pengendalian lingkungan adalah untuk mengurangi
konsentrasi droplet nuclei di udara dan mengurangi keberadaan benda-
benda yang terkontaminasi sesuai dengan epidemiologi infeksi. Lokasi di
poli rawat jalan, rawat inap pasien TB, HIV dan TB-MDR dan
laboratorium.
1. Langkah dari pengendalian lingkungan adalah:
a. Ruangan untuk kewaspadaan berdasarkan transmisi airborne.
Ruangan dengan ventilasi alami atau mekanis dengan
pergantian udara (12 ACH) dengan sistem pembuangan udara
keluar atau penggunaan penyaring udara (HEPA Filter) sebelum
masuk ke sirkulasi udara area lain di RS.
b. Kebersihan dan desinfektasi (Cleaning and disinfection).
Saat ini untuk mengurangi risiko tinggi penularan, pergantian
udara minimal 12 ACH yang berarti 80l/detik/pasien untuk
volume 24m3. Pemilihan sistem ventilasi yang alamiah, mekanik
- 14 -

atau campuran perlu memperhatikan kondisi lokal seperti


struktur bangunan, cuaca, biaya dan kualitas udara luar.
Rumah Sakit perlu memasang ventilasi yang mengalirkan udara
dari sumber penularan ke titik exhaust atau ke tempat dimana
terjadi dilusi udara yang adekuat.
c. Upper Room Germicide Ultra Violet (UV).
Upper Room Germicide Ultra Violet (UV) adalah pemakaian sinar
UV secara terus menerus dengan memancarkan sinar UV hanya
dipermukaan atas ruangan tanpa mengenai petugas atau pasien
diruangan tersebut dengan tujuan desinfeksi udara.
Penggunaan alat ini tidak mutlak, pemakaian Upper Room
Germicide Ultra Violet hanya mengurangi sekitar 4,1% kejadian
penularan petugas kesehatanjumlah total mikroorganisme di
udara. Ventilasi dengan pertukaran udara minimal 12 ACH lebih
ditekankan daripada pemakaian UV.
2. Pemanfaatan Sistem Ventilasi:
Sistem Ventilasi adalah sistem yang menjamin terjadinya pertukaran
udara di dalam gedung dan luar gedung yang memadai, sehingga
konsentrasi droplet nuklei menurun.
Secara garis besar ada dua jenis sistem ventilasi, yaitu:
a. Ventilasi Alamiah: adalah sistem ventilasi yang mengandalkan
pada pintu dan jendela terbuka, serta skylight (bagian atas
ruangan yang bias dibuka/terbuka) untuk mengalirkan udara
dari luar kedalam gedung dan sebaliknya.
Indonesia sebaiknya menggunakan ventilasi alami dengan
menciptakan aliran udara silang (cross ventilation) dan perlu
dipastikan arah angin yang tidak membahayakan petugas atau
pasien lain.
- 15 -

Gambar 3. Desain ruang tunggu yang memanfaatkan ventilasi alami

b. Ventilasi Mekanik: adalah sistem ventilasi yang menggunakan


peralatan mekanik untuk mengalirkan dan melakukan sirkulasi
udara di dalam ruangan untuk menyalurkan/menyedot udara
ke arah tertentu sehingga terjadi tekanan udara positif atau
negatif, Salah satu peralatan mekanik yang dapat digunakan
adalah exhaust fan. Penempatannya minimal 30 cm dari
permukaan lantai. Pada ruang rawat inap exhaust fan diletakan
pada bagian posisi kepala pasien. Pemakaian kipas angin berdiri
(standing fan) atau kipas angin duduk diletakan dibagian
belakang pemeriksa yang mengalirkan udara dari petugas
kesehatan ke arah pasien. Tidak dianjurkan memasang kipas
angin pada langit-langit (ceiling fan). Pada keadaan tertentu,
seperti kondisi gedung tertutup diperlukan sistem ventilasi
mekanik bila ventilasi alamiah atau campuran tidak adekuat.
Meskipun fasyankes mempertimbangkan untuk memasang
sistem ventilasi mekanik, ventilasi alamiah perlu diusahakan
semaksimal mungkin.
- 16 -

Gambar 4. Desain ruangan dengan sistem tertutup

c. Ventilasi campuran (hybrid): adalah sistem ventilasi alamiah


ditambah dengan penggunaan peralatan mekanik untuk
menambah efektifitas penyaluran udara. Sistem ventilasi
campuran (alamiah dengan mekanik), yaitu dengan penggunaan
exhaust fan/kipas angin yang dipasang dengan benar dan
dipelihara dengan baik, dapat membantu untuk mendapatkan
dilusi yang adekuat, apabila dengan ventilasi alamiah saja tidak
dapat mencapai rate ventilasi yang cukup. Ruangan dengan
jendela terbuka dan dengan exhaust fan/kipas angin lebih
efektif untuk mendilusi udara ruangan jika dibandingkan
dengan ruangan dengan jendela terbuka saja atau ruangan
tertutup. Ruangan TB tidak menggunakan AC sentral. Apabila
kondisi bangunan sudah menggunakan AC sentral maka harus
didesain ulang dengan sistem ducting tersendiri atau terpisah
dengan dilengkapi dengan HEPA filter dan exhaust fan. Apabila
ruangan tersebut sudah memakai pendingin udara (AC Split)
maka tetap memerlukan exhaust fan untuk mencapai
pertukaran udara minimal 12 ACH. HEPA Filter portable dapat
ditambahkan pada kondisi pembuangan udara yang mengenai
area publik.
Pemasangan exhaust fan dapat meningkatkan ventilasi yang
sudah ada di ruangan. Sistem exhaust fan yang dilengkapi
saluran udara keluar, harus dibersihkan secara teratur, karena
dalam saluran tersebut sering terakumulasi debu dan kotoran,
sehingga bisa tersumbat atau hanya sedikit udara yang dapat
dialirkan.
- 17 -

Gambar 5. Beberapa contoh ventilasi mekanik

Gedung yang tidak menggunakan sistem pendingin udara,


sebaiknya menggunakan ventilasi alamiah dengan exhaust fan
atau kipas angin agar udara luar yang segar dapat masuk ke
semua ruangan di gedung tersebut. Pintu, jendela maupun
langit-langit di ruangan di mana banyak orang berkumpul
seperti ruang tunggu, hendaknya dibuka selebar mungkin.
Pengaturan tata letak ruangan seperti antara ruangan infeksius
dan non-infeksius, pembagian area (zoning) tempat pelayanan
juga perlu memperoleh perhatian untuk PPI TB.
3. Pemantauan sistem ventilasi harus memperhatikan 3 unsur dasar,
yaitu:
a. Laju ventilasi (Ventilation Rate): Jumlah udara luar gedung yang
masuk ke dalam ruangan pada waktu tertentu.
b. Arah aliran udara (airflow direction): Arah aliran udara dalam
gedung dari area bersih ke area terkontaminasi. Arah aliran
udara keluar diarahkan ke area yang bebas dari akses pasien
dan pengunjung.
Optimalisasi ventilasi dapat dicapai dengan memasang jendela
yang dapat dibuka dengan ukuran maksimal dan menempatkan
jendela pada sisi tembok ruangan yang berhadapan, sehingga
terjadi aliran udara silang (cross ventilation).
c. Distribusi udara atau pola aliran udara (airflow pattern): Udara
luar perlu terdistribusi ke setiap bagian dari ruangan dengan
cara yang efisien dan udara yang terkontaminasi dialirkan
keluar dengan cara yang efisien.
- 18 -

Kebutuhan ventilasi yang baik, bervariasi tergantung pada jenis


ventilasi yang digunakan, seperti resirkulasi udara atau aliran udara
segar. Harus ada dua hasil pengukuran untuk mengukur laju
ventilasi, yaitu:
1) Dengan menghitung volume ruangan
2) Menghitung kecepatan angin. Dari hasil perhitungan akan
didapat pertukaran udara per jam (ACH = airchanges per hour).
Rumus empiris untuk menghitung Jumlah Pertukaran Volume
Udara dalam Satuan Jam (Air Change Hour = ACH) sebagai berikut:
a. Posisi bukaan berada pada sisi-sisi dinding yang berlawanan
(opposite)

ACH = 0,65 x kecepatan angin (m/s) x luas bukaan terkecil (m2) x 3600 det/jam
Volume ruangan (m3)
Ventilation Rate (l/s) = 0,65 x kecepatan angin (m/s) x luas bukaan terkecil (m2)
x 1000 l/m3

b. Posisi bukaan hanya berada pada salah satu sisi bangunan


Contoh Perhitungan ACH

ACH = 0,05 x kecepatan angin (m/s) x luas bukaan (m2) x 3600 det/jam
Volume ruangan (m3)
Ventilation Rate (l/s) = 0,05 x kecepatan angin (m/s) x luas bukaan (m2) x 1000
l/m3

Suatu bangsal perawatan pasien TB memiliki ukuran ruangan 7m x


6m dan ketinggian ruangan 3m dengan dilengkapi jendela berukuran
1,5 x 2m2 dan pintu 1 x 2m2 (luas bukaan terkecil). Kecepatan angin 1
m/s.
Maka, estimasi perhitungan ACH dan ventilation rate (l/s) dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
Bukaan ACH Ventilation rate
(l/s)
Jendela terbuka (100%) + pintu terbuka 37 1300
Jendela terbuka (50%) + pintu terbuka 28 975
Jendela terbuka (100%) + pintu tertutup 4,2 150
- 19 -

4. Pembersihan dan perawatan:


a. Gunakan lap lembab untuk membersihkan debu dan kotoran
dari kipas angin.
b. Perlu ditunjuk staf yang ditugaskan dan bertanggung jawab
terhadap kondisi kipas yang masih baik, bersih dll.
c. Periksa ventilasi alamiah secara teratur (minimal sekali dalam
sebulan) atau dirasakan ventilasi sudah kurang baik.
d. Catat setiap waktu pembersihan yang dilakukan dan simpan
pencatatan dengan baik.

C. Alat Pelindung Diri (APD)


Alat pelindung diri pernapasan melindungi petugas kesehatan di
tempat dimana kadar percik renik tidak dapat dihilangkan dengan upaya
pengendalian administratif dan lingkungan. Petugas kesehatan perlu
menggunakan respirator pada saat melakukan prosedur yang berisiko
tinggi menghasilkan aerosol atau percik renik misalnya bronkoskopi,
intubasi, induksi sputum, aspirasi sekret saluran napas dan pembedahan
paru. Selain itu, respirator ini juga perlu digunakan saat memberikan
perawatan pasien atau tersangka pasien TB SO dan TB RO. Petugas
kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada
bersama pasien TB SO dan TB RO di rungan tertutup. Pasien atau
terduga TB SO dan TB RO tidak perlu menggunakan respirator N95,
tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan
sekitarnya dari droplet.
1. Jenis N95 dan Fungsi nya

Gambar 6. Berbagai jenis alat perlindungan diri, masker bedah (atas) dan
respirator N-95 (bawah)
- 20 -

Respirator partikulat N95 atau FFP2 (health care particular respirator


untuk pelayanan kesehatan) merupakan masker khusus dengan
efisiensi tinggi untuk melindungi seseorang dari partikel berukuran <
5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini terdiri dari
beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai menempel erat pada
wajah tanpa ada kebocoran. Masker ini membuat pernapasan
pemakai menjadi lebih berat. Harganya lebih mahal daripada masker
bedah. Sebelum memakai masker ini, petugas kesehatan perlu
melakukan fit test. Fungsi dilakukan fit test ini adalah untuk
menentukan jenis, bentuk dan ukuran respiratori partikulat yang
cocok dan nyaman untuk petugas tersebut.
Fungsi alat ini akan menjadi kurang efektif dan kurang aman bila
tidak menempel erat pada wajah. Beberapa keadaan yang dapat
menimbulkan keadaan demikian, yaitu:
a. Adanya janggut atau rambut diwajah bagian bawah.
b. Adanya gagang kacamata.
c. Ketiadaan satu atau dua gigi pada kedua sisi yang dapat
mempengaruhi perlekatan bagian wajah masker.
2. Fit Test
Hal yang perlu diperhatikan saat melakukan fit test:
a. Memeriksa sisi masker yang menempel pada wajah untuk
melihat adanya cacat atau lapisan yang tidak utuh. Jika cacat
atau terdapat lapisan yang tidak utuh, maka tidak dapat
digunakan dan perlu diganti.
b. Memastikan tali masker tersambung dan menempel dengan baik
di semua titik sambungan.
c. Memastikan klip hidung yang terbuat dari logam dapat
disesuaikan bentuk hidung petugas
d. Metode fit test diklasifikasikan menjadi dua yaitu kualitatif dan
kuantitatif. Fit test Kualitatif akan gagal jika orang yang
menggunakan N95 dapat mencium bau bahan yang di uji atau
batuk sebagai reaksi bau asap. Fit test kuantitatif menggunakan
instrument untuk mengukur secara numerik efektivitas N95.
3. Langkah-langkah pemakaian respirator partikulat
a. Genggamlah respirator dengan satu tangan, posisikan sisi
depan bagian hidung pada ujung jari-jari Anda, biarkan tali
pengikat respirator menjuntai bebas di bawah tangan Anda.
- 21 -

b. Posisikan respirator di bawah dagu Anda dan sisi untuk hidung


berada di atas
c. Tariklah tali pengikat respirator yang bawah dan posisikan tali
di bawah telinga. Tariklah tali pengikat respirator yang atas dan
posisikan tali agak tinggi di belakang kepala Anda, di atas
telinga
d. Letakkan jari-jari kedua tangan Anda di atas bagian hidung
yang terbuat dari logam. Tekan sisi logam, dengan dua jari
untuk masing-masing tangan, mengikuti bentuk hidung Anda.
Jangan menekan dengan satu tangan karena dapat
mengakibatkan respirator bekerja kurang efektif
e. Tutup bagian depan respirator dengan kedua tangan, dan hati-
hati agar posisi respirator tidak berubah dan lakukan
pemeriksaan segel positif dan segel negatif.
f. Pemeriksaan Segel Positif:
a. Hembuskan napas kuat-kuat.
b. Tekanan positif di dalam respirator berarti tidak ada
kebocoran. Bila terjadi kebocoran atur posisi dan/atau
ketegangan tali. Uji kembali kerapatan respirator. Ulangi
langkah tersebut sampai respirator benar -benar tertutup
rapat.
g. Pemeriksaan Segel Negatif :
Tarik napas dalam - dalam. Bila tidak ada kebocoran, tekanan
negatif di dalam respirator akan membuat respirator menempel
ke wajah. Kebocoran akan menyebabkan hilangnya tekanan
negatif di dalam respirator akibat udara masuk melalui celah -
celah pada segelnya

Gambar 7. Cara pemakaian N95

4. Tata Cara Penggunaan Ulang Terbatas (limited reuse) Masker


Respirator Partikulat (N95 respirators).
- 22 -

Pada beberapa situasi, penggunaan ulang terbatas respirator N95


masih direkomendasikan untuk dilakukan di layanan kesehatan.
Yang dimaksud dengan penggunaan ulang terbatas respirator N95
adalah menggunakan respirator yang sama pada beberapa kali
kontak dengan beberapa pasien TB SO dan TB RO, tetapi ada saat
dimana petugas melepas respirator tersebut di sela-sela kontak.
Respirator N95 kemudian disimpan untuk dipakai lagi pada kontak
selanjutnya. Penggunaan ulang respirator N95 bersifat penggunaan
ulang terbatas, artinya terdapat batas jumlah pengulangan
penggunaan. Kebijakan untuk menerapkan hal tersebut harus
diputuskan dengan mempertimbangkan banyak hal, antara lain
karakteristik patogen (misalnya rute transmisi, prevalensi penyakit
pada suatu wilayah tertentu, berat ringannya penyakit) serta kondisi
setempat (misalnya ketersediaan respirator N95, tingkat kebutuhan
penggunaan respirator N95). Tidak terdapat metode khusus untuk
menentukan berapa kali respirator N95 dapat dipakai ulang dengan
aman untuk semua kasus.
Produsen respirator N95 mungkin sudah mencantumkan petunjuk
khusus terkait penggunaan ulang produk tersebut, sebelum
menimbulkan risiko yang signifikan atau sebelum mengalami
penurunan fungsi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya disimpulkan bahwa penggunaan ulang terbatas
respirator N95 tidak boleh lebih dari 5 kali pemakaian ulang.
Penelitian lain menunjukkan bahwa selama kondisi respirator N95
masih baik (tidak kotor atau rusak), respirator tersebut dapat
digunakan maksimal selama 1 shift tugas jaga (sekitar 8 jam). Jika
akan diberlakukan prosedur pemakaian ulang terbatas, harus
terdapat SPO, edukasi dll yang bertujuan untuk menekan terjadinya
kontaminasi pada permukaan respirator N95, dan menekankan
kepada seluruh petugas untuk meminimalkan kontak dengan
permukaan respirator, melakukan kebersihan tangan dengan baik
dengan air dan sabun atau handrub setelah menyentuh respirator
N95 dan memakai serta melepas APD sesuai ketentuan.
Rekomendasi penggunaan ulang terbatas respirator N95 adalah
sebagai berikut:
a. Buang respirator N95 setelah dipakai untuk melakukan
prosedur yang menghasilkan aerosol.
- 23 -

b. Buang respirator N95 yang telah terkontaminasi darah, sekret


hidung atau saluran nafas, atau cairan tubuh lain dari pasien.
c. Buang respirator N95 setelah kontak dengan pasien yang
mengalami ko-infeksi dengan penyakit yang memerlukan
kewaspadaan kontak.
d. Buang respirator N95 jika sudah tampak ada kerusakan, atau
saat digunakan petugas sudah mengalami kesulitan untuk
bernafas.
e. Respirator N95 harus digunakan ulang oleh petugas yang sama.
f. Sedapat mungkin hindari menyentuh respirator N95 selama
dipakai. Jika terpaksa dilakukan, bersihkan tangan dengan
sabun dan air mengalir atau dengan hand rub berbasis alkohol
sebelum dan sesudah menyentuh respirator atau jika ingin
memperbaiki posisi respirator.
g. Gunakan face shield atau masker bedah di atas respirator N95
dan atau startegi lain (memakaiakan masker pada pasien) untuk
mengurangi kontaminasi pada respirator. Penggunaan face
shield lebih direkomendasikan daripada masker bedah.
h. Simpan respirator N95 yang akan dipakai ulang dengan cara
memasukkan ke dalam wadah sekali pakai yang berlubang
(misal kantong kertas). Untuk meminimalkan potensi
kontaminasi silang, simpan masker respirator dengan cara
tergantung sehingga tidak saling bersinggungan satu dengan
yang lain tuliskan dengan jelas, tanggal dan jam mulai
pemakaian, serta nama petugas yang menggunakan.
i. Hindari menyentuh bagian dalam respirator. Jika tidak sengaja
menyentuh bagian dalam respirator maka lakukan kebersihan
tangan.
j. Gunakan sarung tangan bersih saat memakai respirator N95
yang telah dipakai sebelumnya. Buang sarung tangan setelah
selesai memakai respirator N95.
k. Lakukan kebersihan tangan sebelum dan setelah penggunaan
respirator N95 berikutnya dengan air dan sabun atau handrub
berbasisi alkohol 70%.
Risiko paling signifikan dari pemakaian ulang terbatas respirator N95
adalah terjadinya transmisi kontak setelah menyentuh permukaan
respirator. Patogen saluran nafas pada permukaan respirator dapat
- 24 -

berpotensi ditransmisikan melalui sentuhan tangan pengguna dan


akan berisiko menyebabkan infeksi melalui sentuhan berikutnya di
membrane mukosa pada wajah (self-inoculation). Beberapa penelitian
telah menunjukkan bahwa beberapa patogen saluran nafas masih
tetap infeksius di permukaan respirator untuk beberapa waktu.
Penelitian tentang transfer mikroba dan reaerosolisasi menunjukkan
bahwa lebih dari 99,8% patogen tetap berada pada respirator setelah
dilakukan simulasi batuk dan bersin.
Respirator mungkin juga terkontaminasi dengan patogen lain yang
didapat dari pasien yang mengalami ko-infeksi dengan patogen yang
sering dijumpai di layanan kesehatan di mana patogen tersebut
mampu bertahan di lingkungan dalam jangka panjang (misal MRSA,
VRE, Clostridium difficile, norovirus, dll). Organisme-organisme
tersebut dapat mengkontaminasi tangan pengguna, dan akan
ditransmisikan melalui self-inoculation atau ditularkan ke orang lain
melalui transmisi kontak langsung maupun tidak langsung.
Risiko transmisi sangat dipengaruhi oleh jenis prosedur medis yang
dilakukan dan penggunaan kontrol peralatan, yang dapat
mempengaruhi seberapa besar respirator dapat terkontamiansi oleh
droplet atau partikel aerosol. Sebagai contoh, prosedur medis yang
menghasilkan aerosol seperti bronkoskopi, induksi sputum, atau
intubasi ET memiliki kemungkinan yang lebih besar utuk terjadinya
kontaminasi permukaan respirator oleh aerosol. Sedangkan
pengendalian sumber (misalnya meminta pasen memakai masker),
penggunaan face shield di atas respirator N95 atau penggunaan
exhaust akan dapat mengurangi risiko kontaminasi.
- 25 -

BAB III
BANGUNAN DAN PRASARANA PELAYANAN TB SO DAN TB RO

A. Bangunan Ruang-Ruang Pelayanan Pasien TB SO dan TB RO di Rumah


Sakit
Bangunan ruang-ruang pelayanan pasien TB SO dan TB RO pada
prinsipnya harus disiapkan sesuai dengan kebutuhannya, yaitu sesuai
dengan fungsi dan persyaratan kenyamanan, keamanan, kemudahan dan
kesehatan bagi penggunanya. Aspek pengendalian dan pencegahan
infeksi bagi seluruh pengguna merupakan bagian dari persyaratan
kesehatan bangunan yang harus diterjemahkan dalam desain arsitektur,
struktur, mekanikal dan elektrikal bangunan yang spesifik mulai dalam
merencanakan, membangunan, memanfaatan hingga memelihara
bangunan (interior dan eksterior) secara keseluruhan.
Letak area-area di rumah sakit yang berpotensi terjadinya paparan
penyakit oleh pasien TB SO dan TB RO dapat ditelusuri sehingga dapat
diantisipasi salah satunya melalui desain pengendalian lingkungan fisik
(controlled engineering design). Area-area yang dimaksud diantaranya
adalah ruang rawat jalan (poliklinik), ruang gawat darurat (ruangan
isolasi), ruang rawat inap, dan laboratorium.

B. Tata Letak Bangunan Ruang-Ruang Pelayanan Pasien TB SO dan TB RO


Dalam Tapak Rumah Sakit (Siteplan)
Desain tapak (siteplan) meliputi lokasi/letak bangunan, tata letak,
orientasi bangunan, lanskap. Siteplan mengintegrasikan bangunan
dengan topografi dan bangunan di sekitarnya. Untuk ventilasi alami,
sebaiknya menggunakan pola aliran udara alami pada tapak untuk
meningkatkan potensi ventilasi alami. Berikut dibawah ini persyaratan
teknis tata letak bangunan ruang-ruang pelayanan pasien TB-RO dalam
tapak Rumah Sakit (siteplan):
1. Jarak antar bangunan untuk fungsi pelayanan pasien TB-RO dengan
pelayanan fungsi lain harus cukup untuk kepentingan penghawaan,
pencahayaan dan dilusi udara. Disarankan jarak minimal adalah 8
(delapan) m untuk kebutuhan pengendalian infeksi.
- 26 -

2. Ruang pelayanan rawat jalan pasien penyakit TB SO dan TB RO


memiliki zona/area yang terpisah dengan penyakit lainnya.
Pemisahan dimulai dari akses masuk, pendaftaran, ruangan tunggu
dan ruangan pemeriksaan dan/konsultasi.
3. Kondisi sekitar bangunan ruang-ruang pelayanan pasien TB SO dan
TB RO harus terbuka/ tidak terhalang, dalam hal ini sinar matahari
dapat masuk dan pertukaran udara dapat terjadi.
4. Sekitar bukaan-bukaan pada bangunan ruang-ruang pelayanan
pasien TB SO dan TB RO harus aman dari lalu lalang pengunjung
RS.
5. Dikaitkan dengan kondisi iklim di Indonesia yang tropis/panas dan
lembab, dengan mempertimbangkan kenyamanan termal dalam
ruangan, bentuk bangunan tidak gemuk dan orientasi bangunan
harus utara-selatan, dalam hal ini posisi bukaan jendela pada sisi
utara-selatan.
6. Vegetasi juga mempengaruhi pergerakan udara di sekitar bangunan.

C. Desain
Desain arsitektur mempunyai pengaruh yang signifikan dalam
penggunaan sistem ventilasi dalam bangunan. Pemilihan desain ventilasi
sangat tergantung pada iklim setempat. Ada empat jenis iklim yaitu panas
dan lembab, panas dan kering, sedang dan dingin. Ketika jenis ventilasi
dievaluasi terhadap variabel jenis iklim, maka prioritas terhadap aspek
kenyamanan termal dan pengendalian infeksi harus dipertimbangkan,
tetapi mengabaikan kinerja hemat energi.
Dikaitkan dengan kondisi iklim di Indonesia yaitu panas dan lembab,
maka berikut di bawah ini beberapa pertimbangan dalam desain :
1. Tata ruang: ruang yang relatif “kotor” harus ditempatkan sedemikian
rupa sehingga aliran udara balik yang tercemar dan bau tidak
mengkontaminasi ke ruang lain.
Jarak antar massa bangunan ruang infeksi (yang menggunakan
ventilasi alami) dengan massa bangunan lain tidak boleh berdekatan,
tentunya dipengaruhi oleh ketinggian bangunan. WHO
merekomendasikan minimal 8 meter.
- 27 -

2. Desain Lubang Ventilasi.


Dalam konteks pengendalian infeksi, diharapkan desain lubang
ventilasi alami dapat memenuhi terjadinya ventilasi silang (cross
ventilations).
Kualitas ventilasi alami dipengaruhi oleh posisi bukaan, ukuran
bukaan dan cara membuka. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Posisi bukaan.
Letak/posisi lubang ventilasi pada ruang-ruang infeksi harus
dapat memungkinkan terkena sinar matahari langsung yang
aman.
Posisi bukaan mempunyai pengaruh penting dalam sistem
ventilasi alami. Sebaiknya posisi bukaan dapat mendukung
pertukaran udara silang. Kualitas ventilasi alami dapat optimal
apabila terdapat dua bukaan yang berada pada sisi dinding
yang berlawanan (mis. Jendela dan pintu).
b. Ukuran bukaan.
Nilai/kualitas ventilasi pada bukaan dinding di sisi yang
berlawanan ditentukan oleh bukaan dengan ukuran yang
terkecil (smallest opening area).
c. Cara membuka.
Bukaan jendela untuk kepentingan pertukaran udara harus
didesain dapat terbuka dengan maksimal (100%). Dalam
mendesain jendela harus mempertimbangkan cara membuka
dan keamanan dari potensi bahaya pasien meloncat apabila
berada pada bangunan berlantai.

Gambar 8. contoh model cara membuka jendela


- 28 -

3. Desain ruangan perawatan sebaiknya model koridor satu sisi/ baris


tunggal (single loaded corridor).
Koridor yang hanya salah satu satu sisinya terdapat ruang fungsi
pelayanan ini sangat baik dalam rangka ventilasi silang karena dapat
terjadi aliran udara searah baik dari bangsal ke koridor atau
sebaliknya dari koridor ke bangsal, tergantung arah angin pada saat
itu.
Aliran udara searah ini dapat membantu mencegah infeksi silang.
Desain jendela sangat penting untuk jenis desain ini: posisi jendela
direkomendasikan segaris dengan pintu ruangan perawatan sebagai
jalur untuk ventilasi silang. Berikut dibawah ini.

Gambar 9. Skematik koridor satu sisi

Gambar 10. Ventilasi alami pada tipe koridor satu sisi di rumah sakit

4. Kedalaman Massa Bangunan.


Bangunan untuk fungsi pelayanan pasien TB SO dan TB RO yang
mengandalkan ventilasi alami, maka massa bangunannya sebaiknya
tidak gemuk (bulky mass), supaya aliran udara dapat menembus ke
dalam bangunan dan bertukar dengan hembusan aliran udara dari
sisi yang berlawanan (cross ventilation).
- 29 -

Gambar 11. Massa bangunan

5. Pengaturan tata letak furnitur/perabot.


Tata letak furnitur/perabot dan partisi interior tidak boleh
menghalangi/ membatasi bukaan jendela/pintu untuk aliran udara.
Tata letak furnitur/perabot dikaitkan dengan posisi bukaan ventilasi
juga tidak boleh memungkinkan terjadinya aliran udara dari pasien
ke petugas.

Gambar 12. Aliran udara Gambar 13. Aliran udara


yang tidak diharapkan yang diharapkan
dikaitkan dengan tata dikaitkan dengan tata
letak furnitur dalam letak furnitur dalam
ruangan ruangan
6. Peneduh matahari.
Peneduh matahari dirancang dengan mempertimbangkan fungsinya
sebagai alat untuk kenyamanan termal. Peneduh matahari sebaiknya
disediakan pada permukaan fasad timur dan barat untuk secara
parsial meneduhi bangunan dari cahaya matahari langsung untuk
meminimalisir kelebihan kalor matahari. Peneduh matahari dapat
berupa tirai/kisi-kisi (blinds), teritisan (overhang), dan profil peneduh
lainnya.
- 30 -

7. Orientasi Bangunan.
Orientasi bangunan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pengendalian sinar matahari dan silau yang masuk ke dalam
bangunan. Untuk memperluas ventilasi alami dan optimalisasi
cahaya matahari di siang hari, maka pertimbangan dalam desain
yaitu rancangan fasad yang memanjang (slope) dengan orientasi
jendela-jendela menghadap utara-selatan. Dalam hal ini luas
permukaan selubung bangunan berbahan kaca seminimal mungkin
dan jendela-jendela pada fasad timur-barat di hindari.
Penggunaan warna finishing permukaan selubung bangunan juga
penting untuk dipertimbangkan, karena warna terang memantulkan
radiasi sinar matahari lebih baik.
8. Kebisingan dan Akustik.
Posisi penempatan bukaan ventilasi juga harus mempertimbangkan
faktor kebisingan eksternal dan akustik. Bukaan/lubang ventilasi
sebaiknya jauh dari jalur kebisingan utama. Apabila kebisingan tidak
dapat dihindari secara maksimal, penggunaan partisi dan plafon
penyerap suara dan atau buffer penghijauan.
9. Keselamatan Kebakaran.
Merancang bangunan dengan bukaan yang menghubungkan kamar-
kamar dapat bertentangan dengan persyaratan keselamatan
kebakaran dan pengendalian asap. Merancang bangunan berventilasi
alami agar sejalan dengan persyaratan kompartemenisasi untuk
pengendalian asap. Jalur kebakaran perlu diperhatikan, karena
desain ventilasi alami juga berdampak pada pola aliran asap.
10. Keamanan.
Bukaan-bukaan ventilasi dapat beresiko terhadap keamanan
bangunan rumah sakit, terutama di lantai dasar. Desain bukaan
ventilasi harus tetap aman.
11. Halaman.
Halaman adalah area tertutup yang dapat membantu menyalurkan
dan mengarahkan aliran udara sekitar bangunan, dalam hal ini juga
mempengaruhi iklim mikro di sekitar bangunan.
Berdasarkan posisi relatif ruangan perawatan dan koridor ke
halaman, jenis sistem ventilasi alami ini dapat dibagi menjadi
subtipe koridor dalam dan koridor luar (lihat gambar berikut
dibawah ini). Sistem ini dapat memasok lebih banyak ventilasi,
- 31 -

sepanjang halamannya cukup besar. Model koridor luar memiliki


keunggulan dibandingkan tipe dalam, karena dapat menghindari
infeksi silang melalui koridor yang terhubung dengan mengirimkan
udara luar yang bersih ke koridor terlebih dahulu.

Resirku
Hubungan Total Seluruh lasi
Kelemba Pertukar
Tem tekanan pertuka udara di udara
ban an udara
pera terhadap ran buang di
Fungsi Ruang Udara dari luar
tur area udara langsung dalam
Relatif per jam
(°C) bersebela per jam ke luar unit
(%) (min)
han (min) bangunan ruanga
n
RAWAT INAP
Toiletf - - N Pilihan 10 Ya Tidak
Isolasi Infeksius 21- 55±5 N 2 6 Ya Tidak
24
Ruangan antara - - ± 2 10 Ya Tidak
Isolasi
LABORATORIUM
Laboratorium, 55±5 N 2 6 Ya Tidak
Bacteriologi 22±2
Bronchoscopy, 20- - N 2 12 Ya Tidak
sputum collection, 23
dan administrasi
pentamidine
RUANG RAWAT
JALAN
Pendaftaran dan 24±2 55±5 N 2 6 Ya Pilihanh
ruang tunggu
Ruangan poliklinik 24±2 55±5 N 2 6 Ya Tidak
Ket: P = Positif. N = Negatif, E = sama, ± = kontrol langsung secara terus menerus dibutuhkan

D. Tata udara di kamar bedah pada tindakan pasien dengan TB SO dan TB


RO.
Strategi untuk menangani pasien TB dan mencegah penularan
melalui udara di ruang operasi. Dalam kondisi normal, ruangan kamar
operasi bertekanan positif artinya adanya perbedaan tekanan minimal 2,5
Pa dan bila harus dilakukan tindakan operasi pada pasien TB RO dapat
dialihkan ke tekanan negatif.
- 32 -

Jika indikasi operasi darurat untuk pasien dengan TB aktif, maka


dijadwalkan pasien TB yang terakhir untuk menyediakan waktu
maksimum untuk ACH yang memadai. Untuk mengatasi masalah ini, tim
desain harus kreatif dalam merumuskan solusi yang menjamin
keselamatan pasien, petugas kesehatan, dan orang lain yang berada di
rumah sakit. Merujuk pedoman ASHARE ketentuan aliran udara dapat
dibalik untuk peralihan lingkungan dan fungsi isolasi infeksi melalui
udara.
Menurut CDC untuk mencegah penularan M. tuberculoisis di rumah
sakit atau fasilitas kesehatan menyatakan bahwa "prosedur operasi bagi
pasien TB harus ditunda sampai pasien tidak lagi menular" dan "jika
prosedur operasi harus dilakukan, maka ruang operasi yang harus
memiliki ruang anteroom dengan tekanan negatif. Untuk ruang operasi
tanpa anteroom, pintu ruang operasi harus ditutup, dan lalu lintas
masuk dan keluar ruangan harus diminimalkan untuk mengurangi
frekuensi membuka dan menutup pintu.
1. Sistem Mekanik
Penambahan anteroom bertekanan negatif di depan ruang operasi
memungkinkan aliran udara mengarah keluar ruangan ruang
operasi yang bertekanan positif, dengan menjaga kontaminasi
potensial yang keluar dari ruangan operasi. Ruang depan koridor
ruang operasi bertekanan paling negatif (anteroom) dengan menarik
udara masuk dari ruang operasi dan koridor sesuai CDC dalam
menciptakan zona tekanan negatif yang mengandung zat – zat
berbahaya. Karena pembedahan harus dilakukan di ruangan yang
memenuhi persyaratan isolasi infeksi, satu-satunya cara yang
memungkinkan untuk resirkulasi dengan filtrasi HEPA.
- 33 -

Gambar 14. Sistem mekanik


Udara segar di ruang operasi penting untuk memberikan oksigen
yang dikonsumsi oleh petugas dan mengencerkan limbah gas
anestesi yang dihasilkan di ruang operasi. Saluran pembuangan
tinggi 3 meter dari permukaan bangunan tertingi di radius 10 meter
diberi label sebagai "udara yang terkontaminasi" dan tidak ada
aktifitas pada area ini.
Standar yang perlu diperhatikan dalam desain tata ruang di ruang
operasi adalah:
a. Bertekanan Negatif, perbedaan tekanan minimal 2,5 Pascal
b. Pasokan udara keluar minimal >10% dari udara masuk dengan
ACH ≥ 12 Kali
c. Arah Laminer udara bersih ke kotor
d. Sistem Non resirkulasi 100% fress Air
e. Sistem Resirkulasi degan HEPA Filter Eff. 99,75% @ 0,3 Micron
f. Suhu ruang 21 – 24 Celcius
g. Kelembaban 50 ± 10%
h. Filter sirkuit pernapasan ( breathing circuit) dengan ukuran pori
0,1–0,2 μm
i. Lingkungan zona infeksius (Akses terbatas)
- 34 -

Gambar 15. Desain tata ruang di ruang operasi

Fungsi tata udara tidak hanya mengatur kenyamanan temperatur


dan kelembaban tetapi mempunyai fungsi lain dalam bentuk
pengenceran partikel infeksius di udara (dilusi) dan menjerat partikel
infeksius di udara (HEPA filter).
Prinsip tata udara di kamar operasi:
a. Jenis ventilasi yang digunakan
b. Proses Dilusi pasokan udara fresh air yang masuk dalam 1 jam
atau yang disebut Air Change perHour (ACH -> 12 kali)
c. Arah aliran udara -> Sejajar dengan petugas dari bersih ke kotor
arah pasien
d. Perbedaan tekanan antar ruang (negatif vs positif)
e. Filtrasi menggunakan HEPA filter
f. Disinfeksi udara dengan menggunakan alat Upperoom UVGI
2. Dilusi Udara pengenceran konsentrasi kontaminan udara kotor
Semakin besar pergantian udara (15 – 25 ACH), maka semakin cepat
waktu proses pengenceran konsentrasi kontaminan di dalam ruang
operasi airborne. Penempatan unit HEPA filter portabel di ruang
operasi harus dievaluasi secara cermat untuk kemungkinan
gangguan pada aliran udara normal. Unit portabel harus dimatikan
saat prosedur bedah sedang berlangsung dan dihidupkan setelah
ekstubasi.
- 35 -

BAB IV
PROSEDUR PENCEGAHAN INFEKSI UNTUK TB SO DAN TB RO

A. Transportasi dan Penempatan Pasien


1. Transportasi Pasien
Transportasi Pasien adalah upaya yang dilakukan untuk
memindahkan pasien yang menderita pasien TB SO dan TB RO dari
satu tempat/ruangan ke tempat/ruangan lain dalam upaya
mencegah resiko penyebaran bakteri melalui udara dan lingkungan
yang dilalui oleh pasien
Langkah langkah transport pasien :
a. Tranportasi pasien didalam fasilitas pelayanan kesehatan
1) Batasi transportasi pasien hanya untuk kepentingan
pemeriksaan klinis saja.
2) Beri tahu ruangan,unit/departemen atau mobil transport
tempat pasien dimana pasien akan di konsulkan untuk
mempersiapkan pelayanan dan alat yang diperlukan.
3) Pasien menggunakan masker bedah saat akan keluar
ruang perawatan kecuali jika ada kontra indikasi.
4) Tempatkan pasien di kursi roda/tempat tidur yang sesuai
dan tutupi dengan kain penutup (selimut).
5) Bawa pasien melalui area yang minimal lalu lalang
manusia (pasien, petugas dan pengunjung).
6) Batasi dan minimalkan pasien berada diluar ruangan
(segera pasien dibawa kembali keruangan jika pemeriksaan
sudah selesai).
7) Bersihkan dan disinfeksi alat tranportasi yang sudah
digunakan (kursi roda /brankar atau tempat tidur).
- 36 -

Gambar 16. Transportasi Pasien Rawat jalan


b. Pemindahan pasien keluar rumah sakit (rujuk atau konsul
keluar fasilitas pelayanan kesehatan)
1) Pasien TB SO dan TB RO yang berpotensi menularkan
bakteri lewat udara tidak boleh dipindahkan dengan mobil
yang sama dengan pasien lain atau yang mungkin sangat
rentan terhadap infeksi TB (seperti HIV-positif atau orang
lain dengan sistem kekebalan tubuh yang dikompromikan).
2) Kendaraan yang di gunakan dengan spesifikasi khusus jika
tidak tersedia maka kaca jendela kendaraan harus terbuka
jika cuaca memungkinkan, karena sinar matahari adalah
pertahanan utama terhadap risiko terjadinya transmisi
bakteri tuberkulosis.
3) Pengemudi harus mengenakan respiratori partikulat yang
dipasang dengan benar (bukan masker bedah) untuk
mencegah menularnya tetesan inhalasi inti menular yang
melayang di udara, dan jika mungkin, gunakan kendaraan
yang memiliki kompartemen pengemudi dan pasien yang
terpisah.
4) Pasien yang berpotensi menular harus memakai masker
bedah (bukan respirator) untuk mengurangi risiko
penularan.
5) Pot sputum yang digunakan oleh pasien untuk berdahak
harus dibuang dengan benar dalam kantong tertutup.
6) Informasikan kepada fasilitas pelayanan kesehatan
penerima pasien sebelum kedatangan untuk
mempersiapkan sarana dan prasarana serta petugas dalam
upaya meminimalisasi risiko paparan.
- 37 -

2. Penempatan Pasien
Pasien dengan penyakit TB SO dan TB RO ditempatkan di ruang
isolasi tersendiri atau menggunakan sistim kohorting (menempatkan
beberapa pasien di dalam satu ruangan perawatan dengan
jenis/kasus penyakit yang sama) dengan ventilasi udara alamiah
minimal pertukaran udara 12 ACH atau ruangan bertekanan
negatif dengan menggunakan HEPA filter . Ruang isolasi adalah
ruang khusus yang digunakan untuk merawat secara terpisah
pasien dengan kasus tertentu dengan tujuan untuk mencegah
penyebaran penyakit atau infeksi dan mengurangi risiko pajanan
bagi pemberi layanan kesehatan sehingga dapat memutus siklus
penularan kepada pasien, petugas, pengunjung serta masyarakat
sekitarnya. Selama dalam perawatan di ruang isolasi pasien tidak
boleh di tunggu oleh keluarga.
a. Penempatan pasien di rawat jalan
1) Adanya sistem triase untuk deteksi pasien dengan terduga
TB SO dan TB RO atau kewaspadaan airborne di rawat
jalan dengan menempatkan petugas yang akan
mengarahkan pasien ke ruang tunggu yang terpisah.
2) Pasien diberikan masker bedah sesegera mungkin dan
diberikan edukasi tentang etika batuk pada saat menunggu
pelayanan rawat jalan, tempatkan pasien di ruangan
khusus (tidak bersama pasien lain) dan jika
memungkinkan segera lakukan pelayanan kesehatan.
3) Pada saat di ruang pemeriksaan, tempatkan pasien searah
sirkulasi udara keluar (exhaust/jendela yang berlawanan
arah dengan kipas angin/AC).
4) Batasi jumlah petugas yang berada di ruangan
pemeriksaan.
5) Petugas menggunakan masker bedah atau respiratori
particulat jika ada risiko terpapar aerosol saat
melakukan/mendampingi pemeriksaan atau berada
diruangan pemeriksaan.
- 38 -

Gambar 17. Posisi Ruang Tunggu Pasien TB SO dan TB RO

b. Penempatan pasien di ruang perawatan:


1) Jika memungkinkan pasien ditempatkan diruang isolasi
bertekanan negatif yang dilengkapi degan HEPA filter. Jika
tidak tersedia, pasien dapat ditempatkan di ruangan
dengan ventilasi baik dengan menggunakan ventilasi
mekanik, natural atau kombinasi.
2) Jika menggunakan HEPA filter, perbedaan tekanan negatif
minimal 2,5 Pascal.
3) Pengaturan penempatan pasien.
a) Tersedia alat Pelindung Diri (APD): Masker, Gaun,
Sarung Tangan, Topi dan sepatu) dan sarana
kebersihan tangan.
b) Sirkulasi udara (tekanan, suhu, kelembaban,
pertukaran udara) di dalam ruangan terkontrol dengan
baik dengan bukti dokumen kontrol
c) Di depan pintu ruang isolasi tempelkan informasi
ruang isolasi
d) Jika menggunakan pembatas ruangan (tirai)
dianjurkan terbuat dari bahan yang tidak menyerap
air untuk memudahkan pembersihan
e) Pintu selalu dalam kondisi tertutup
f) Selama dalam perawatan di ruang isolasi pastikan
tidak ada keluarga pasien yang menunggu didalam
ruangan.
4) Pastikan setiap orang yang memasuki ruangan pasien
mematuhi penggunaan APD yang sesuai yaitu masker N95.
- 39 -

5) Tidak terdapat area lalu lalang manusia (pasien, petugas


dan pengunjung).
6) Pembersihan ruangan dan tempat tidur dan peralatan di
sekitar pasien dilakukan dengan menggunakan cairan
disinfektan misalnya klorin 5000 ppm ( 100 cc klorin : 1000
cc air) atau sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh
pabrik lakukan pembersihan minimal satu kali sehari.
7) Upaya pencegahan infeksi harus tetap dilakukan sampai
batas waktu masa penularan.
8) Bila dipulangkan sebelum masa isolasi berakhir, pasien
diberikan edukasi untuk diisolasi di dalam rumah selama
pasien tersebut mengalami gejala sampai batas waktu
penularan atau hasil uji diagnosa menunjukkan bahwa
pasien sudah tidak dalam kondisi infeksius, keluarga harus
diajarkan cara menjaga kebersihan diri, pencegahan dan
pengendalian infeksi serta perlindungan diri.

Gambar 18. Ruangan Penempatan pasien tekanan Mekanik


- 40 -

Gambar 19. Ruangan Penempatan pasien dengan Natural Ventilasi

Gambar 20. Penempatan Pasien di Ruang Isolasi Tekanan Negatif

c. Pembersihan ruangan setelah pasien pulang


1) Petugas Menggunakan APD (Masker, sarung tangan,
sepatu, gaun disesuaikan dengan indikasi).
2) Ruangan harus dikosongkan. Semua seprai, sarung dan
tirai semua berbahan kain lainnya harus diganti.
3) Lakukan pembersihan ruangan dan tempat tidur serta
peralatan di sekitar pasien dengan menggunakan cairan
disinfektan misalnya klorin 5000 ppm (100 cc klorin : 1000
cc air) atau sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh
pabrik .
4) Biarkan desinfetan kering sendiri atau tunggu setidaknya 5
menit, baru kemudian setelah 30 menit sampai satu jam
ruangan dapat dipergunakan kembali
5) Kipas angin/ Air conditioning (AC) dan exhaust fan didalam
ruangan selalu dinyalakan dengan kondisi pintu tertutup
untuk menarik udara keluar melalui exhaust fan, atau jika
menggunakan jendela, maka jendela harus di buka lebar.
6) Lakukan pembersihan exhaust fan secara rutin.
- 41 -

7) Lakukan pembersihan lantai dengan menggunakan alat pel


untuk mencegah debu beterbangan dan dimulai dari area
bersih ke area kotor.
8) Jika ada tumpahan darah atau sputum:
a) Siapkan Spill kit dan kenakan APD (Gaun, pelindung
wajah, sarung tangan rumah tangga, dan sepatu boot).
b) Serap cairan tumpahan dengan perca/tissu hingga
kering lalu buang ke kantong infeksius.
c) Bersihkan dengan larutan detergent, serap dan
keringkan, pembersihan dimulai dari area luar menuju
inti tumpahan.
d) Biarkan selama 20 menit.
e) Setelah itu lakukan pembersihan rutin.
9) Semua limbah yang ada di ruangan pasien isolasi
dikategorikan sebagai limbah infeksius.
10) Jangan lakukan pembersihan secara general bila ada
pasien/penghuni di ruangan.
11) Catat setiap waktu pembersihan yang dilakukan dan
simpan dengan baik.

B. Perlindungan Petugas di Fasyakes


Perlindungan bagi petugas kesehatan di Fasyankes memegang
peranan penting dalam upaya pencegahan dan pengendalian pasien TB
SO dan TB RO. Petugas kesehatan memiliki risiko lebih tinggi untuk
tertular dibandingkan dengan pelayanan umum lainnya. Kewajiban
menjamin hak petugas yang bekerja di Rumah Sakit sesuai Permenkes RI
No. 4 tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien.
Dalam peraturan ini ditetapkan bahwa prosedur keselamatan kerja dan
melakukan pencegahan risiko penyakit akibat kerja termasuk melakukan
pengujian kesehatan secara berkala wajib dilakukan. Tanggung jawab
dari rumah sakit adalah memberikan perlindungan serta menciptakan
lingkungan kerja yang aman dan memadai untuk mencegah penularan
TB SO dan TB RO.
1. Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam perlindungan pasien TB SO
dan TB RO adalah:
a. Identifikasi tingkat pengetahuan penyakit TB SO dan TB RO dan
pencegahan infeksi TB RO.
- 42 -

b. Praktek pencegahan dan pengendalian TB SO dan TB RO masih


rendah bagi petugas Kesehatan.
c. Pedoman Praktek pencegahan dan pengendalian TB SO dan TB
RO bagi petugas Kesehatan.
d. Penggunaan Alat Pelindung diri secara tepat.
2. Prinsip penerapan kegiatan perlindungan petugas TB SO dan TB RO
di Rumah Sakit
a. Petugas kesehatan harus hati-hati dalam melakukan perawatan
pasien TB SO dan TB RO.
b. Bekerja sama dengan manajemen Rumah Sakit dalam
menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan aman.
c. Petugas harus mematuhi prosedur yang telah ditetapkan untuk
kepentingan keselamatan dan kesehatan petugas
d. Petugas harus melaporkan kondisi, insiden atau cedera yang
tidak aman bagi dirinya sendiri atau orang lain lain selama
bertugas.
e. Petugas harus diberikan pelatihan tentang penggunaan APD
yang benar dan tepat
f. Petugas mempunyai kemampuan untuk advokasi dan lobi,
pengalaman bekerja sama dengan pasien dan komunitas
sehingga dapat memberi informasi dan kebijakan dan
pengambilan keputusan strategis.
g. Berikan edukasi kepada pasien mengenai cara mendapatkan
sampel dahak yang baik.
h. Akses untuk pengiriman sample didokumentasikan dengan baik
(tanggal dan hasilnya).
i. Berikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang
pentingnya pencegahan penularan TB SO dan TB RO.
j. Petugas mempunyai peran kunci dalam menyediakan layanan
TB SO dan TB RO yang fleksibel dengan menyediakan
perawatan yang berpusat pada pasien secara individual.
3. Kewajiban Fasyankes dalam perlindungan petugas TB SO dan TB RO
a. Menyediakan lingkungan kerja yang aman dan sehat dengan
peralatan yang sesuai standar.
b. Menyediakan jumlah kapasitas petugas yang benar.
- 43 -

c. Petugas hadir secara teratur, sistem komunikasi, struktur,


layanan, dan fasilitas yang ada dapat digunakan untuk
pencegahan, perawatan, dan dukungan dalam mengurangi
risiko tertular bagi petugas kesehatan.
d. Lakukan monitoring evaluasi kesehatan secara berkala bagi
petugas minimal 1 tahun sekali.
e. Berikan edukasi bagi petugas tentang bahaya penularan TB SO
dan TB RO.
f. Menginformasikan kepada petugas kesehatan tentang risiko dan
bahaya penularan TB RO dan prosedur kerja yang aman.
g. Pelatihan bagi petugas tentang prosedur kerja yang aman dan
penggunaan APD yang benar.
h. Menegakkan kepatuhan pada panduan kerja di ruang TB SO
dan TB RO.
i. Melakukan edukasi bagi petugas tentang gejala TB SO dan TB
RO dan mendorong mereka untuk mendapat pengobatan segera
jika terjadi tanda tanda penularan TB SO dan TB RO.
j. Perawatan TB harus disediakan secara gratis bagi petugas
kesehatan yang membutuhkan. Layanan untuk petugas
kesehatan yang terkena dampak.
4. Hak dari Petugas TB SO dan TB RO
a. Mendapat perlakuan sesuai aturan yang berlaku menurut
peraturan yang berlaku.
b. Non-diskriminasi - Dalam hal hubungan kerja atau akses ke
asuransi kesehatan, keselamatan kerja, dan perawatan
kesehatan, tidak seorang pun boleh mengalami diskriminasi
berdasarkan status TB mereka.
c. Kerahasiaan: Data pribadi petugas terhadap persepsi TB harus
dilindungi.
d. Petugas dengan TB harus berhak bekerja selama mereka sehat
secara medis dan pekerjaan yang sesuai dengan kondisi mereka.
e. Langkah-langkah untuk mengakomodasi petugas dengan TB
secara wajar harus dilakukan melalui pengaturan cuti yang
fleksibel, penjadwalan ulang waktu kerja, dan pengaturan untuk
kembali bekerja.
- 44 -

f. Petugas memiliki tanggung jawab untuk melaporkan secara


tertulis kepada manajemen rumah sakit tentang penyakit/
diagnosa yang dialami.
g. Petugas tidak akan diberhentikan jika mereka dinyatakan positif
TB.
h. Petugas dengan TB SO dan TB RO menerima pengobatan gratis.
i. Petugas dengan TB SO dapat kembali bekerja segera setelah tes
dahak mereka negatif.
j. Petugas dengan TB RO dapat kembali bekerja setelah
dinyatakan konversi (negatif sebanyak 2 kali).

C. Keselamatan dan Keamanan Laboratorium TB RO


1. Laboratorium biakan dan uji kepekaan TB
Laboratorium biakan dan uji kepekaan TB mempunyai beberapa
ruang yang saling berhubungan sebagai berikut:
a. Vestibule weather
Ruang yang difungsikan sebagai penghalang udara dari luar
ke dalam laboratorium. Ruang ini harus dikosongkan dari
berbagai macam peralatan. Ukuran Vestibule weather ± 10
m2.
Vestibule weather hanya dipersyaratkan untuk laboratorium
yang melakukan pemeriksaan uji kepekaan.
b. Anteroom
Anteroom berfungsi sebagai ruang yang memisahkan lingkup
kegiatan pemeriksaan dan akses dengan ruang kegiatan
laboratorium yang lain atau koridor. Ukuran anteroom ±10 -
15 m2.
Anteroom dipersyaratkan untuk laboratorium yang
melakukan pemeriksaan biakan maupun uji kepekaan.
Anteroom biasanya juga digunakan untuk menempatkan
APD.
c. Ruang kerja utama
Ukuran ruang kerja utama laboratorium biakan cukup 50
m2, sedangkan laboratorium uji kepekaan 80 m2.
Peletakan alat-alat pada ruang kerja utama, dengan
memperhatikan area bersih dan kotor sebagai berikut:
1) Area bersih
- 45 -

a) Lemari penyimpanan mikroskop.


b) Lemari penyimpanan BHP (bahan habis pakai).
c) Refrigerator untuk reagen dan media steril.
d) Meja pemeriksaan mikroskopis.
e) Lemari dokumen peralatan dan hasil pemeriksaan.
2) Area kotor:
a) Inkubator.
b) Sentrifus.
c) BSC (rekomendasi WHO: untuk biakan dan uji
kepekaan menggunakan BSC klas IIa dengan timbal
duct untuk membuang udara kotor dari ruangan
laboratorium).
d) Refrigerator tempat specimen.
e) Otoklaf.
Untuk laboratorium pemeriksa biakan, otoklaf dapat
diletakkan di luar ruang laboratorium pemeriksa
biakan, namun harus memperhatikan akses
transportasi pembuangan limbah (wadah tertutup
dana man selama transportasi dari laboratorium
menuju oktaf).
Sedangkan pada laboratorium uji kepekaan, peletakan
otoklaf harus di dalam ruang laboratorium. Perlu ada
pembatasan akses keluar masuk ruang laboratorium
pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M.
Tuberculosis. Dengan bagan tata ruang seperti di atas
diharapkan kegiatan di laboratorium biakan dan uji
kepekaan M. tuberculosis dilaksanakan dengan
mudah dan menjamin keselamatan dan kerja. Jika
petugas laboratorium kidal, pengaturan dapat ditata
seperti bayangan kaca
f) Timbangan untuk uji kepekaan LJ.
g) Bak pewarnaan.
h) Freezer -70°C tempat penyimpanan isolate.
i) GeneXpert (jika ada).
j) MGIT (jika ada).
k) Limbah infeksius.
- 46 -

d. Eye washer
Alat ini harus ditempatkan di dalam ruang kerja laboratorium
TB, digunakan untuk melakukan netralisasi bila terjadi
kecelakaan kerja berupa percikan larutan asam atau basa kuat
dan bahan infeksius pada mata.
e. Lemari penyimpan bahan media dan reagensia
Diletakkan di area bersih, terbuat dari logam yang tidak mudah
berkarat dan kaca.
f. Tekanan negatif
Laboratorium CDST (Culture and Drug Susceptibility Test)
dengan pendanaan yang cukup dapat meningkatkan level
laboratorium menjadi laboratorium BSL 2+. Laboratorium
BSL 2+ harus memiliki pertukaran udara 6 – 12 kali per jam
dan ruangan utama laboratorium harus bertekanan negatif
dibandingkan dengan ruang anteroom. Tekanan negatif
dalam ruang utama laboratorium menyebabkan udara
anteroom dapat masuk ke dalam laboratorium utama.
Fungsi tekanan negatif tersebut adalah untuk menjaga
keamanan lingkungan di sekitar laboratorium dan
kemungkinan kontaminasi yang berasal dari dalam
laboratorium
2. Laboratorium Molekuler TB
Pemeriksaan diagnosis TB berbasis biomolekuler dilakukan
dengan mendeteksi asam nukleat M. tuberculosis. Pemeriksaan
yang dilakukan di Indonesia saat ini menggunakan sistem Xpert
MTB/RIF yang mendeteksi M. tuberculosis dan identifikasi
kepekaan terhadap Rifampisin. Alat Xpert MTB/RIF berada di
ruang kerja laboratorium TB. Pengolahan contoh uji dari pasien
TB ekstra paru dilakukan di dalam BSC (Biosafety Cabinet).
Ventilasi sesuai dengan pengaturan aliran udara di laboratorium
mikroskopis TB.
3. Keselamatan dan Keamanan Laboratorium
a. Penanganan tumpahan:
1) Untuk membersihkan tumpahan bahan infeksius,
petugas harus memakai alat pelindung diri, menutup
tumpahan dengan kain/kertas yang mudah menyerap.
Tuang larutan segar hipoklorit 1% sampai membasahi
- 47 -

permukaan kertas/kain dan biarkan selama 10 -15


menit.
2) Kumpulkan pecahan wadah dalam tempat khusus,
kertas/kain dalam kantong dan sterilkan. Lakukan
disinfeksi pada lokasi tumpahan.
3) Jika percikan terjadi dalam biosafety cabinet, jangan
matikan blower. Biarkan tetap menyala agar filter
HEPA dapat membantu mengurangi cemaran dan
lakukan tindakan disinfeksi.
4) Bila terjadi tumpahan atau tabung pecah di dalam
mesin MGIT, segera matikan alat, petugas keluar dari
ruangan selama 1 jam dan beri tulisan “SPILL” pada
alat dan pintu ruangan. Lakukan disinfeksi sesuai
SPO. Selanjutnya laporkan kepada teknisi alat.
- 48 -

BAB V
REKOMENDASI

Rekomendasi:
1. Triage untuk pasien dengan gejala atau penyakit TB SO dan TB RO
direkomendasikan untuk menurunkan transmisi MTB kepada petugas
kesehatan, pengunjung ataupun orang dengan risiko penularan yang
tinggi.
2. Pemisahan/Isolasi bagi pasien terduga terinfeksi TB SO dan TB RO
direkomendasikan untuk menurunkan transmisi MTB terhadap petugas
kesehatan ataupun pengunjung Rumah Sakit.
3. Inisiasi pengobatan TB SO dan TB RO secara dini pada penderita TB
direkomendasikan untuk menurunkan transmisi MTB terhadap petugas
kesehatan, pengunjung ataupun orang dengan risiko penularan yang
tinggi.
4. Etika batuk pada pasien terduga ataupu dinyatakan TB
direkomendasikan untuk menurunkan transmisi MTB terhadap petugas
kesehatan, pengunjung ataupun orang dengan risiko penularan yang
tinggi.
5. Untuk pencegahan dan pengendalian infeksi airborne pelu diupayakan
ventilasi yang adekuat di semua area pelayanan pasien di fasyankes.
6. Untuk fasilitas yang menggunakan ventilasi alamiah, perlu dipastikan
angka ventilation rate per jam yang minimal tercapai, yaitu:
a. 160/l/detik/pasien untuk ruangan yang memerlukan kewaspadaan
airborne (dengan ventilation rate terendah adalah 80l/detik/pasien).
b. 60/l/detik/pasien untuk ruangan perawatan umum dan poliklinik
rawat jalan.
c. 2.5l/detik untuk jalan atau selasar atau koridor yang hanya dilalui
sementara oleh pasien. Bila pada suatau keadaan tertentu ada
pasien yang dirawat di selasar RS maka berlaku ketentuan yang
sama untuk ruang kewasapadaan airborne atau ruang perawatan
umum.
7. Desain ruangan harus memperhitungkan fluktuasi dalam besarnya
ventilation rate. Bila ventilasi alamiah saja tidak dapat menjamin angka
ventilasi yang direkomendasikan maka dianjurkan menggunakan ventilasi
campuran atau ventilasi mekanik saja.

Anda mungkin juga menyukai