Anda di halaman 1dari 34

“ HUBUNGAN PELAKSANAAN PROGRAM PERILAKU HIDUP

BERSIH DAN SEHAT TERHADAP KEJADIAN DEMAM


BERDARAH DENGUE DI KELURAHAN MEKARSARI DEPOK ”

Dosen Pengampu :

Ns. Dayan Hisni, S.Kep.,MNS., CWCCA

Disusun Oleh:

Ananda Trick Yonata (204201516120)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS NASIONAL

JAKARTA

2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah...................................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian.....................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................3
2.1 Konsep Demam Berdarah Dengue (DBD)...............................................................3
2.1.1 Pengertian DBD.................................................................................................3
2.1.2 Etiologi DBD.....................................................................................................4
2.1.3 Patofisiologi DBD..............................................................................................5
2.1.4 Tanda Dan Gejala..............................................................................................6
2.1.5 Derajat Keparahan Penyakit DBD.....................................................................7
2.1.6 Pencegahan DBD...............................................................................................8
2.2 Konsep Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat.............................................................16
2.2.1 Pengertian Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat..................................................16
2.2.2 Tujuan Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat........................................................16
2.2.3 Manfaat Perilaku Hidup Bersih dan Sehat.......................................................17
2.2.4 Sasaran Perilaku PHBS....................................................................................17
2.2.5 Indikator PHBS tatanan Rumah Tangga..........................................................18
2.3 Kerangka Teori.......................................................................................................22
2.4 Kerangka Konsep...................................................................................................22
2.5 Hipotesis Penelitian................................................................................................23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN........................................................................24
3.1 Desain Penelitian....................................................................................................24
3.2 Definisi Operasional...............................................................................................24
3.3 Popoulasi dan Sampel............................................................................................25
3.4 Teknik Pengumpulan Data.....................................................................................26
3.5 Analisis Data..........................................................................................................26
3.5.1 Analisis Univariat............................................................................................26

i
3.5.2 Analisis Bivariat..............................................................................................27
3.6 Etika Penelitian......................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................29

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah salah satu penyakit menular yang
dapat dan sering menimbulkan wabah yang tidak jarang menyebabkan kematian.
Penyakit DBD adalah penyakit infeksi oleh virus Dengue yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti, dengan ciri-ciri demam tinggi mendadak disertai
manifestasi pendarahan dan bertendensi menimbulkan rejatan dan kematian.

Menurut data dari World Health Organization (WHO), perkembangan kasus


DBD ditingkat Global semakin meningkat. Berdasarkan data tersebut menunjukkan
bahwa sebanyak 980 kasus dihampir 100 negara pada tahun 1954-1959. Pada tahun
2000-2009 menjadi 1.016.612 kasus dihampir 60 negara (Kemenkes RI, 2017).

Menurut data Indonesia pada tahun 2017 tercatat bahwa jumlah kasus DBD
mencapai 68.407 kasus, kemudian di tahun 2018 tercatat 65.602 kasus. Pada 2019
(Januari – Juli 2020) tercatat jumlah penderita DBD di Indonesia yang tersebar di
34 provinsi sebanyak 71.663 penderita dan jumlah penderita yang meninggal
sebanyak 459 penderita. Jumlah kasus DBD pada akhir 2009 sampai Desember
2019 telah mencapai 110.921 kasus (Kemenkes RI, 2019)

Menurut Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat tahun 2021, jumlah penderita
penyakit DBD di Provinsi Jawa Barat Tahun 2021 mencapai 23.959 kasus lebih
rendah dibanding Tahun 2020 (24.471 kasus). Demikian juga dengan risiko
kejadian DBD di Provinsi Jawa Barat mengalami penurunan dari 49 per 100.000
penduduk menjadi 47,8 per 100.000 penduduk. Jumlah Kematian DBD Tahun 2021
mencapai 212 orang dengan CFR sebesar 0.88%, ini menunjukan peningkatan 0,88
point dibanding Tahun 2020 yang sebesar 0,72%. (Suparyanto dan Rosad (2015,
2020)

Menurut Profil Kesehatan di Kota Depok, kasus DBD yang ditemukan


jumlah kasus DBD yang dilaporkan padatahun 2018 sebanyak 891 kasus dan
meninggal sebanyak 1 orang. Tahun 2019 kasus DBD meningkat menjadi 2.200
kasus tanpa kasus meninggal. Tahun 2020 ditemukan sebanyak 1.276 kasus dengan

1
3 orang meninggal. Sedangkan tahun 2021 ditemukan sebanyak 3.155 kasus dengan
kasus meninggal sebanyak 2 orang. (Novarita, 2021)

Perilaku adalah suatu tindakan atau perbuatan yang bisa kita amati bahkan
dapat dipelajari. Perilaku kesehatan merupakan suatu respon seseorang terhadap
rangsangan terhadap suatu penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta
lingkungan (Mubarak, 2007). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah
sekumpulan perilaku yang dilakukan atas kesadaran seseorang sehingga anggota
keluarga atau keluarga tersebut dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan
dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat (Depkes RI,
2011).

1.2. Rumusan Masalah


Apakah ada Hubungan antara Pelaksanaan Program Perilaku Hidup Bersih Dan
Sehat Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Kelurahan Mekarsari
Depok?

1.3 Tujuan Penelitian


1.2.1 Tujuan Umum

Mengetahui Hubungan Pelaksanaan Program Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat


Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Kelurahan Mekarsari Depok

1.2.2 Tujuan Khusus

1) Mengetahui hubungan antara Pelaksanaan Program Perilaku Hidup Bersih Dan


Sehat Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Kelurahan Mekarsari
Depok

2) Mengetahui kejadian demam berdarah Dengue di kelurahan Mekarsari Depok

3) Menganalisis hubungan antara Pelaksanaan Program Perilaku Hidup Bersih Dan


Sehat Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Kelurahan Mekarsari
Depok

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Demam Berdarah Dengue (DBD)


2.1.1 Pengertian DBD

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang


disebabkan oleh virus  dengue  yang tergolong  Arthropod-BorneVirus,  genus
Flavivirus, dan famili Flaviviridae. DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk dari
genus Aedes, terutama Aedes aegypti atau Aedes albopictus. (Sutarjo US, 2015)
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Hemorhagic Fever  (DHF) ialah
penyakit yang disebabkan virus dengue  yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegyti  dan  Aedes albbopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di
seluruh pelosok Indonesia kecuali ditempat ketinggian lebih dari 1000 meter di
atas permukaan air laut (Ginanjar, 2008).
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk  Aedes aegypti
aegypti  yang ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa
penyebab yang  jelas, lemah atau lesu, gelisah, gelisah, nyeri ulu hati, disertai
disertai dengan tanda-tanda tanda-tanda  perdarahan di kulit berupa  perdarahan di
kulit berupa bintik perdarahan ( bintik perdarahan ( petechia), ruam ( purpura).
Kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran menurun dan
bertendensi menimbulkan renjatan ( syok ) dan kematian (Mubin, 2005).
Telah banyak upaya dan berbagai strategi untuk mengatasi masalah ini
yang dilakukan pemerintah melalui Departemen Kesehatan seperti memberantas
nyamuk dewasa melalui tehnik pengasapan ( fogging ), menggunakan larvasida
Abate yang ditaburkan ke tempat penampungan air/ bak mandi yang sulit
dibersihkan, namun kedua metoda tersebut tidak efektif , sehingga perlu
diupayakan cara atau metoda lain untuk menanggulangi penyebaran dan

3
perkembangbiakan kedua  jenis nyamuk vektor virus dengue tersebut. Hal
tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat
Indonesia. Yang menjadi persoalan adalah sangat sulit untuk membangkitkan
kesadaran penduduk untuk turut berpartisipasi berpartisipasi secara sukarela agar
upaya tersebut tersebut dapat  berjalan baik.

2.1.2 Etiologi DBD

Demam Berdarah Dengue atau  Dengue  Dengue Haemorrhagic


Haemorrhagic Fever   (DHF) ditularkan nyamuk  Aedes aegypti aegypti  yang
telah terjangkit virus Demam Berdarah Dengue. Demam Berdarah Dengue
disebabkan oleh salah satu dari empat serotype virus yang berbeda antigen.
Virus ini adalah kelompok flavirus dan serotype adalah DEN-1, DEN-2, DEN-3,
DEN-4. Infeksi oleh salah satu jenis  serotype ini akan memberikan kekebalan
terhadap Haemorrhagic Fever  dapat mengalami infeksi 4 kali seumur hidupnya
(Nursalam, dkk,. 2013)  
Nyamuk  Aedes aegypti aegypti mudah dikenali dengan memperhatikan
warna tubuhnya, tanda-tanda yang dapat digunakan sebagai penciri adalah :
merupakan lalat kecil dengan tubuh halus, lunak dan langsing, yang terbagi
menjadi yang terbagi menjadi tiga bagian tiga bagian yaitu: caput   (kepala),
thoraks  (dada) dan abdomen  (perut), pada caput   terdapat sepasang antena
dengan mulut tipe menusuk dan menghisap, bernafas dengan menggunakan
sistem  trachea  yang langsung berhubungan dengan jaringan tubuh,dengan
mata faset  yang tersusun atas omnatidia dan mata tunggal (ocelli), sedangkan
pada daerah thoraks  terdapat tiga pasang kaki, tubuh dan kaki berwarna gelap
diselingi belang-belang putih, pada permukaan atas punggung terdapat semacam
huruf ‘Y’ dan terdapat sepasang garis membujur, mempunyai sepasang sayap
( Diptera), sayap muka transparan dengan beberapa pembuluh darah dan 8 sayap
belakang mengalami reduksi berubah bentuk seperti ‘halter ’ dan mempunyai
sistem syaraf tangga tali yang terdiri atas ganglion-ganglion pada setiap ruas
tubuhnya, organ kelamin yang bersifat tunggal bermuara pada ujung abdomen
dan nyamuk betina bersifat ovivar. ( Borror and Delong, 1970).

4
2.1.3 Patofisiologi DBD

Virus dangue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes
aegypty atau Aedes albopictus dengan organ sasaran adalah organ hepar, nodus
limfaticus, sumsum tulang belakang, dan paru. Dalam peredaran darah, virus
tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer. Virus DEN mampu bertahan
hidup dan mengadakan multifikasi dalam sel tersebut. Infeksivirus dangue dimulai
dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan
organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponenya. Setelah
terbentuk, virus dilepaskan dari sel. Proses perkembangbiakan sel virus DEN
terjadi di sitoplasma sel. Infeksi oleh satu serotip virus DEN menimbulkan
imunitas protektif terhadap serotype tersebut tetapi tidak ada cross protectif
terhadap serotip virus yang lain (Kurane & Francis, 1992).
Beberapa teori mengenai terjadinya DBD dan DSS antara lain adalah:
a. Teori Antigen Antibodi
Virus dangue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan
antibody, membentuk virus antibody kompleks (komplek imun) yang akan
mengaktifasi komplemen. Aktifasi ini akan menghasilkan anafilaktosin C3A
dan C5A yang akan merupakan mediator yang mempunyai efek farmakologis
cepat dan pendek. Bahan ini bersifat fasoaktif dan prokoagulant sehingga
menimbulkan kebococran plasma (hipovolemik syok dan perdarahan.
(Soewandoyo, 1998).
b. Teori Infection Enhancing Antibody
Teori ini berdasarkan pada peran sel fagosit mononuclear merangsang
terbentuknya antibody nonnetralisasi. Antigen dangue lebih banyak didapat
pada sel makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Pada kejadian ini
antibody nonnetralisasi berupaya melekat pada sekeliling permukaan sel
makrofag yang beredar dan tidak melekat pada sel makrofag yang menetapdi
jaringan. Makrofag yang dilekati antibody nonnetralisasi akan memiliki sifat
opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel mudah terinfeksi.

5
Makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif dan akan melepaskan sitokin
yang memiliki sifat vasoaktif atau prokoagulasi. Bahan-bahan mediator
tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh darah dan
system hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan
perdarahan. (Wang, 1995).

c. Teori mediator
Teori mediator didasarkan pada beberapa hal:
1) Kelanjutan dari teori antibody enhancing, bahwa makrofag yang terinfeksi
virus mengeluarkan mediator atau sitokin. Fungsi dan mekanismme sitokin
kerja adalah sebagai mediator pada imunitas alami yang disebabkan oleh
rangsangan zat yang infeksius, sebagai regulator yang mengatur aktivasi,
proliferasi dan diferensiasi limfosit, sebagai activator sel inflamasi
nonspesifik, dan sebagai stimulator pertumbuhan dan deferensiasi lekosit
matur (Khana, 1990).
2) Kejadian masa krisis pada DBD selama 48-72 jam, berlangsung sangat
pendek. Kemudian disusul masa penyembuhan yang cepat, dan praktis tidak
ada gejala sisa.
3) Dari kalangan ahli syok bacterial, mengambil perbandingan bahwa pada syok
septic banyak berhubungan dengan mediator.

2.1.4 Tanda Dan Gejala

a. Demam
Demam berdarah dengue biasanya ditandai dengan demam yang mendadak
tanpa sebab yang jelas, continue, bifasik. Biasanya berlangsung 2-7 hari
(Bagian Patologi Klinik, 2009). Naik turun dan tidak berhasil dengan
pengobatan antipiretik. Demam biasanya menurun pada hari ke-3 dan ke-7
dengan tanda-tanda anak menjadi lemah, ujung jari, telinga dan hidung teraba
dingin dan lembab. Masa kritis pda hari ke 3-5. Demam akut (38°-40° C)
dengan gejala yang tidak spesifik atau terdapat gejala penyerta seperti ,
anoreksi, lemah, nyeri punggung, nyeri tulang sendi dan kepala.
b. Perdarahan

6
Manifestasi perdarahan pada umumnya muncul pada hari ke 2-3 demam.
Bentuk perdarahan dapat berupa: uji tourniquet positif yang menandakan
fraglita kapiler meingkat (Bagian Patologi Klinik, 2009). Kondisi seperti ini
juga dapat dijumpai pada campak, demam chikungunya, tifoid, dll.
Perdarahan tanda lainnya ptekie, purpura, ekomosis, epitaksis dan perdarahan
gusi, hematemesisi melena. Uji tourniquet positif jika terdapat lebih dari 20
ptekie dalam diameter 2,8 cm di lengan bawah bagian volar termasuk fossa
cubiti.
c. Hepatomegali
Ditemukan pada permulaan demam, sifatnya nyeri tekan dan tanpa disertai
ikterus. Umumnya bervariasi, dimulai dengan hanya dapat diraba hingga 2-4
cm di bawah lengkungan iga kanan (Bagian Patologi Klinik, 2009). Derajat
pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit namun nyeri tekan
pada daerah tepi hati berhubungan dengan adanya perdarahan.
d. Renjatan (Syok)
Syok biasanya terjadi pada saat demam mulai menurun pada hari ke-3 dan ke-
7 sakit. Syok yang terjadi lebih awal atau periode demam biasanya
mempunyai prognosa buruk (Bagian Patologi Klinik, 2009). Kegagalan
sirkulasi ini ditandai dengan denyut nadi terasa cepat dan lemah disertai
penurunan tekanan nadi kurang dari 20 mmHg. Terjadi hipotensi dengan
tekanan darah kurang dari 80 mmHg, akral dingin, kulit lembab, dan pasien
terlihat gelisah.

2.1.5 Derajat Keparahan Penyakit DBD

WHO (1997) membagi DBD menjadi 4 (Vasanwala dkk, 2011):


a. Derajat 1
Demam tinggi mendadak (terus menerus 2-7 hari) disertai tanda dan gejala
klinis (nyeri ulu hati, mual, muntah, hepatomegali), tanpa perdarahan
spontan, trombositopenia dan hemokonsentrasi, uji tourniquet positif.
b. Derajat 2
Derajat 1 dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain seperti
mimisan, muntah darah dan berak darah.

7
c. Derajat 3
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah
rendah (hipotensi), kulit dingin, lembab dan gelisah, sianosis disekitar mulut,
hidung dan jari (tanda-tand adini renjatan).
d. Renjatan berat (DSS) / Derajat 4
Syok berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.

2.1.6 Pencegahan DBD

a.Pre Hospital
Penatalaksanaan prehospital DBD bisa dilakukan melalui 2 cara yaitu
pencegahan dan penanganan pertama pada penderita demam berdarah. Dinas
Kesehatan Kota Depok menjelaskan pencegahan yang dilakukan meliputi
kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), yaitu kegiatan memberantas
jentik ditempat perkembangbiakan dengan cara 3M Plus:
1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak
mandi / WC, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1).
2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong
air/tempayan, dan lain-lain (M2).
3) Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan (M3).

Plusnya adalah tindakan memberantas jentik dan menghindari gigitan


nyamuk dengan cara: 
1) Membunuh jentik nyamuk Demam Berdarah di tempat air yang sulit
dikuras atau sulit air dengan menaburkan bubuk Temephos (abate) atau
Altosid. Temephos atau Altosid ditaburkan 2-3 bulan sekali dengan
takaran 10 gram Abate ( ± 1 sendok makan peres) 
untuk 100 liter air atau dengan takaran 2,5 gram Altosid ( ± 1/4 sendok
makan peres) untuk 100 liter air. Abate dan Altosid dapat diperoleh di
puskesmas atau di apotik.
2) Memelihara ikan pemakan jentik nyamuk.
3) Mengusir nyamuk dengan menggunakan obat nyamuk 

8
4) Mencegah gigitan nyamuk dengan memakai obat nyamuk gosok
5) Memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi 
6) Tidak membiasakan menggantung pakaian di dalam kamar
7) Melakukan fogging atau pengasapan bila dilokasi ditemukan 3 kasus
positif DBD dengan radius 100 m (20 rumah) dan bila di daerah tersebut
ditemukan banyak jentik nyamuk.

Pada orang yang menderita demam berdarah pada awalnya mengalami


demam tinggi. Kondisi demam dapat mengakibatkan tubuh kekurangan
cairan karena penguapan, apalagi bila gejala yang menyertai adalah muntah
atau intake tidak adekuat (tidak mau minum), akhirnya jatuh dalam kondisi
dehidarasi. Pertolongan pertama yang dapat diberikan adalah
mengembalikan cairan tubuh yaitu meberikan minum 2 liter/hari (kira – kira
8 gelas) atau 3 sendok makan tiap 15 menit. Minuman yang diberikan sesuai
selera misalnya air putih, air teh manis, sirup, sari buah, susu, oralit, shoft
drink, dapat juga diberikan nutricious diet yang banyak beredar saat ini.
Untuk mengetahui pemberian cairan cukup atau masih kurang, perhatikan
jumlah atau frakuensi kencing. Frekuansi buang air kecil minimal 6 kali
sehari menunjukkan pemberian cairan mencukupi (IDAI, 2009).

b.Intra Hospital di Unit Gawat Darurat


Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler
dansebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan
pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD
dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif.
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain
adalah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan
perembesan plasma dangangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD
sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis hemoragik,
hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana DBD
terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun

9
(the time of defervescence) yang merupakan ease awal terjadinya kegagalan
sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan
perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada
pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari
peningkatan kadar hematokrit (DepKes RI, 2005).
Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit.
Penurunanjumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2
trombosit/ Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan
hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit
20% atau lebih mencermikan perembesan plasma dan merupakan indikasi
untuk pemberian caiaran. Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai
cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat
ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan
hematokrit yang terus menerus dan penurunan jumlah trombosit <
50.000/41. Secara umum pasien DBD derajat I dan II dapat dirawat di
Puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah
sakit kelas B dan A (DepKes RI, 2005).

1) Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD,
bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk
mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh
karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka
cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang
diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat
mengurangi lama demam pada DBD. Parasetamol direkomendasikan
untuk pemberian atau dapat di sederhanakan seperti tertera pada Tabel 1.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam
tinggi, anoreksia danmuntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus
buah, air teh manis, sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu
diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam pertama. Setelah keadaan
dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kg BB

10
dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus
diberikan disamping larutan oiarit. Bila terjadi kejang demam, disamping
antipiretik diberikan antikonvulsif selama demam (DepKes RI, 2005).
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin
terjadi. Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada
umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit
berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk
pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat
kebocoran plasma danpedoman kebutuhan cairan intravena.
Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan
tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu
kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana
pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat
dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk
Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan
dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb
(DepKes RI, 2005).
a) Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi
pada fase penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka
dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang hilang.
Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan
bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3
jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering
(setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus
selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, danjumlah
volume urin (DepKes RI, 2005).
Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin
mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang
dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan
intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus smuntah, tidak
mau minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum

11
per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat
terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada
pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari
derajat dehidrasi dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa
5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan
natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-
lahan (DepKes RI, 2005).
Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka
komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma.
Volume dankomposisi cairan yang diperlukan sesuai cairan untuk
dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan +
defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 2 dibawah ini
(DepKes RI, 2005).
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan
tergantung dari umur dan berat badan pasien serta derajat
kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat hemokonsentrasi.
Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat
badan ideal untuk anak umur yang sama (DepKes RI, 2005).

2) Sindrom Syok Dengue


Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah
pengobatan yang utama yang berguna untuk memperbaiki kekurangan
volume plasma. Pasien anak akan cepat mengalami syek dansembuh
kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pada penderita SSD dengan
tensi tak terukur dantekanan nadi <20 mm Hg segera berikan cairan
kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB/jam seiama 30 menit, bila syok teratasi
turunkan menjadi 10 ml/kg BB (DepKes RI, 2005).
a) Penggantian Volume Plasma Segera
Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat > 20 ml/kg
BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada
anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal
dan umur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak ada perbaikan pemberian

12
cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat
teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10
ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid
danberi cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam.
Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB.
Maksimal pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan
pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid
dankoloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun,
diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian
transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap > tinggi, maka
berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam) dapat diulang
sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam. Setelah keadaan klinis membaik,
tetesan infuse dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dankadar
hematokrit (DepKes RI, 2005).
b) Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume
Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah
membaik dankadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera
diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dankemudian disesuaikan
tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam.
Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat
ini tidak dianjurkan lagi. Cairan intravena dapat dihentikan apabila
hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah
urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan
sirkulasi membaik (DepKes RI, 2005).
Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam
syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang
berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular
(ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian
cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan
akibat edema paru dangagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat
reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan,

13
tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah
normal, dieresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya
fase reabsorbsi (DepKes RI, 2005).

c) Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit


Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai pasien
DBD/SSD, maka analisis gas darah dankadar elektrolit harus selalu
diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan
memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih
kompleks. Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma
diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium
bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan tejadi
sehingga heparin tidak diperlukan (DepKes RI, 2005).
d) Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua
pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan
masker, tetapi harus diingat pula pada anak seringkali menjadi makin
gelisah apabila dipasang masker oksigen (DepKes RI, 2005).
e) Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan
pada setiap pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan
(prolonged shock). Pemberian transfusi darah diberikan pada
keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk
mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila
disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit(misalnya dari 50%
me.njadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan
cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan.
Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan
karena cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor
pembesar trombosit (DepKes RI, 2005).

14
Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien
dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok
berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat
menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti waktu
tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen degradation
products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi
terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan hematologis
tersebut juga menentukan prognosis (DepKes RI, 2005).

f) Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi
secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus
diperhatikan pada monitoring adalah:
- Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap
15-30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
- Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai
keadaan klinis pasien stabil.
- Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai
jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah
cairan yang diberikan sudah mencukupi.
- Jumlah dan frekuensi dieresis

Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian


volume intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik.
Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB, sedang jumlah cairan
sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara
lain edema, pernapasan meningkat, maka selanjutnya furasemid 1
mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum
dankreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap
belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksi
dengan baik, maka pemberian dopamia perlu dipertimbangkan
(DepKes RI, 2005).

15
2.2 Konsep Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat
2.2.1 Pengertian Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah sekumpulan perilaku


yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang
menjadikan seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong
dirinya sendiri (mandiri) dibidang kesehatan dan berperan aktif dalam
mewujudkan kesehatan masyarakat. Dengan demikian, PHBS mencakup beratus-
ratus bahkan mungkin beribu-ribu perilaku yang harus dipraktikkan dalam rangka
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Dibidang pencegahan dan penanggulangan penyakit serta penyehatan
lingkungan harus dipraktikkan perilaku mencuci tangan dengan sabun,
pengelolaan air minum dan makanan yang memenuhi syarat, menggunakan air
bersih, menggunakan jamban sehat, pengelolaan limbah cair yang memenuhi
syarat, memberantas jentik nyamuk, tidak merokok di dalam ruangan dan lain-
lain. Dibidang kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana harus
dipraktikkan perilaku meminta pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan,
menimbang balita setiap bulan, mengimunisasi lengkap bayi, menjadi akseptor
keluarga berencana dan lain-lain. Dibidang gizi dan farmasi harus dipraktikkan
perilaku makan dengan gizi seimbang, minum tablet tambah darah selama hamil,
memberi bayi air susu ibu (ASI) eksklusif, mengonsumsi garam beryodium dan
lain-lain. Sedangkan di bidang pemeliharaan kesehatan harus dipraktikkan
perilaku ikut serta dalam jaminan pemeliharaan kesehatan, aktif mengurus dan
atau memanfaatkan upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM),
memanfaatkan Puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan lain dan lain-lain.

2.2.2 Tujuan Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat

16
Tujuan Perilaku Hidup Besrsih dan Sehat (PHBS) adalah untuk
meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan kemauan masyarakat agar hidup
sehat, serta meningkatkan peran aktif masyarakat termasuk swasta dan dunia
usaha, dalam upaya mewujudkan derajat hidup yang optimal (Depkes RI, 2007).
Terdapat 5 tatanan PHBS yaitu rumah tangga, sekolah, tempat kerja,
sarana kesehatan dan tempattempat umum. Tatanan adalah tempat dimana
sekumpulan orang hidup, bekerja, bermain, berinteraksi dan lain-lain. Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dapat diwujudkan di setiap tatanan dengan
melakukan pengelolaan manajemen program PHBS melalui tahap pengkajian,
perencanaan, penggerakan pelaksanaan sampai dengan pemantauan dan
penilaian (Tim Field Lab FK UNS, 2013)

2.2.3 Manfaat Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Menurut Depkes RI (2007) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat sangat banyak
bermanfaat bagi penduduk Indonesia, yaitu :
a. Setiap rumah tangga meningkat kesehatannya dan tidak mudah sakit
b. Rumah tangga sehat dapat meningkatkan produktivitas kerja anggota keluarga.
c. Meningkatnya kesehatan anggota rumah tangga maka biaya yang tadinya
dialokasikan untuk kesehatan dapat dialihkan untuk biaya investasi seperti
biaya pendidikan dan usaha lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan
anggota rumah tangga.
d. Salah satu indikator menilai keberhasilan Pemerintah Daerah Kabupaten /Kota
di bidang kesehatan.
e. Meningkatkan citra pemerintah dalam bidang kesehatan.
f. Dapat menjadikan percontohan rumah tangga sehat bagi daerah lain

2.2.4 Sasaran Perilaku PHBS

a). Sasaran primer berupa sasaran langsung, yaitu individu anggota masyarakat,
kelompok-kelompok dalam masyarakat, dan masyarakat secara keseluruhan,
yang diharapkan untuk mempraktikkan PHBS.

17
b). Sasaran sekunder adalah mereka yang memiliki pengaruh terhadap sasaran
primer dalam pengambilan keputusannya untuk mempraktikkan PHBS.
Termasuk di sini adalah para pemuka masyarakat atau tokoh masyarakat,
yang umumnya menjadi panutan sasaran primer. Terdapat berbagai jenis
tokoh masyarakat, seperti misalnya tokoh atau pemuka adat, tokoh atau
pemuka agama, tokoh politik, tokoh pertanian, tokoh pendidikan, tokoh
bisnis, tokoh pemuda, tokoh remaja, tokoh wanita, tokoh kesehatan, dan lain-
lain.
c). Sasaran tersier adalah mereka yang berada dalam posisi pengambilan
keputusan formal, sehingga dapat memberikan dukungan, baik berupa
kebijakan/pengaturan dan atau sumber daya dalam proses pembinaan PHBS
terhadap sasaran primer. Mereka sering juga disebut sebagai tokoh
masyarakat formal, yakni orang yang memiliki posisi menentukan dalam
struktur formal di masyarakatnya (disebut juga penentu kebijakan). Dengan
posisinya itu, mereka juga memiliki kemampuan untuk mengubah sistem nilai
dan norma masyarakat melalui pemberlakuan kebijakan/pengaturan, di
samping menyediakan sarana yang diperlukan.

2.2.5 Indikator PHBS tatanan Rumah Tangga

Menurut Depkes RI (2008) indikator PHBS adalah suatu alat ukur untuk
menilai keadaan atau permasalahan kesehatan. Indikator PHBS tatanan rumah
tangga yang digunakan yaitu mengacu kepada standar pelayanan minimal
bidang kesehatan ada sepuluh indikator yaitu:

a. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan


Indikator persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan adalah persalinan yang
ditolong oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan, dan tenaga para medis
lainnya). Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan menggunakan peralatan
yang aman, bersih, dan steril sehingga mencegah terjadinya infeksi dan
bahaya kesehatan lainnya.

b. Memberi bayi ASI ekslusif

18
Indikator memberi bayi ASI ekslusif adalah bayi usia 0-6 bulan hanya diberi
ASI saja tanpa memberikan tambahan makanan atau minuman lain. ASI
adalah makanan alamiah berupa cairan dengan kandungan gizi yang cukup
dan sesuai untuk kebutuhan bayi, sehingga bayi tumbuh dan berkembang
dengan baik. ASI pertama berupa cairan bening berwarna kekuningan
(colostrums),sangat baik untuk bayi karena mengandung zat kekebalan
terhadap penyakit.
c. Menimbang bayi dan balita
Penimbangan bayi dan balita dimaksudkan untuk memantau pertumbuhannya
setiap bulan. Penimbangan bayi dan balita dilakukan mulai umur 1 bulan
sampai 5 tahun di posyandu. Dengan demikian dapat diketahui apakah balita
tumbuh sehat atau tidak dan mengetahui kelengkapan imunisasi serta bayi
yang dicurigai menderita gizi buruk.

d. Menggunakan air bersih


Air adalah kebutuhan dasar yang diperlukan sehari-hari untuk minum,
memasak, mandi, berkumur, membersihkan lantai, mencuci alat-alat dapur
dan sebagainya agar kita tidak terkena penyakit atau terhindar dari sakit.
Rumah tangga yang memiliki akses terhadap air bersih adalah rumah tangga
yang sehari-harinya memakai air minum yang meliputi air dalam kemasan,
ledeng, pompa, sumur terlindung, serta mata air terlindung yang berjarak
minimal 10 meter dari tempat penampungan kotor air limbah. Sumber air
minum mempunyai peranan dalam penyebaran beberapa penyakit menular.
Sumber air minum merupakan salah satu sarana sanitasi yang berkaitan
dengan kejadian diare. Sebagian kuman infeksius penyebab diare ditularkan
melalui jalur fekal oral dapat ditularkan dengan memasukkan ke dalam mulut,
cairan atau benda yang tercemar dengan tinja. Sumber airtidak terlindung,
seperti sumur yang digunakan sebagai sumber air utama seperti air minum,
dan mencuci. Kondisi yang berlangsung secara lama dan berulang-ulang
mengakibatkan tinggi nya kejadian diare pada balita (Depkes RI, 2008).

e. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun

19
Manfaat mencuci tangan dengan sabun adalah membunuh kuman penyakit
yang ada di tangan, mencegah penularan penyakit diare, kolera, disentri, tifus,
cacingan, penyakit kulit, Infeksi Saluran Pernafasan Akut, flu burung atau
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) serta tangan menjadi bersih dan
bebas dari kuman. Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan
perorangan yang penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci
tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar,
sesudah membuang tinja anak, sebelum menyuapi makan anak dan sesudah
makan, mempunyai dampak dalam kejadian diare karena sabun mengandung
antiseptik yang dapat membunuh kuman penyebab diare, apabila ibu sesudah
buang air besar atau sehabis menceboki anaknya tidak memcuci tangan
dengan sabun sehingga kuman penyebab penyakit diare masih menempel
ditangan bila langsung menyuapi makanan makan kuman yang menempel di
tangan akan ikut masuk dengan makanan ke mulut anak sehingga dapat
menyebabkan terjadinya penyakit diare.

f. Menggunakan jamban sehat


Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran
manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher
angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit
pembuangan kotoran dan air untuk membersihkannya. Jamban cemplung
digunakan untuk daerah yang sulit air, sedangkan jamban leher angsa
digunakan untuk daerah yang cukup air dan daerah padat penduduk. Menurut
Depkes RI (2008) jenis tempat pembuangan tinja dibedakan menjadi jenis
jamban sehat dan jenis jamban tidak sehat.

g. Memberantas jentik di rumah


Rumah bebas jentik adalah rumah tangga yang setelah dilakukan pemeriksaan
jentik secara berkala tidak terdapat jentik nyamuk. Pemeriksaan jentik berkala
adalah pemeriksaan tempattempat perkembangbiakan nyamuk (tempat-tempat
penampungan air) yang ada dalam rumah seperti bak mandi atau WC, vas
bunga, tatakan kulkas dan lain-lain. Hal yang dilakukan agar rumah bebas

20
jentik adalah melakukan 3 M plus (menguras, menutup, mengubur plus
menghindari gigitan nyamuk).

h. Makan buah dan sayur setiap hari


Makan sayur dan buah sangat penting karena sayur dan buah mengandung
vitamin dan mineral yang mengatur pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh
serta mengandung serat yang tinggi. Konsumsi sayur dan buah yang tidak
merusak kandungan gizinya adalah dengan memakannya dalam keadaan
mentah atau dikukus. Merebus dengan air akan melarutkan beberapa vitamin
dan mineral dalam sayur dan buah tersebut. Pemanasan tinggi akan
menguraikan beberapa vitamin seperti vitamin C.

i. Melakukan aktivitas fisik


Aktivitas fisik adalah melakukan pergerakan anggota tubuh yang
menyebabkan pengeluaran tenaga yang sangat penting bagi pemeliharaan
kesehatan fisik, mental dan mempertahankan kualitas hidup agar tetap sehat
dan bugar sepanjang hari. Aktivitas fisik yang dapat dilakukan antara lain
kegiatan sehari-hari yaitu berjalan kaki, berkebun, mencuci pakaian,mencuci
mobil dan turun tangga. Selain itu, kegiatan olahraga seperti push up, lari
ringan, bermain bola, berenang,senam, fitness, dapat juga dilakukan sebagai
aktifitas fisik.

j. Tidak merokok di dalam rumah


Anggota keluarga yang berumur 10 tahun keatas yang tidak merokok selama
1 bulan terakhir. Perokok terdiri atas perokok aktif dan perokok pasif. Bahaya
perokok aktif dan perokok pasif adalah dapat menyebabkan kerontokan
rambut, gangguan pada mata seperti katarak.

21
2.3 Kerangka Teori

Determinan Jauh Determinan Antara Determinan Dekat

Pelayanan Host (Manusia)


Status Ekonomi
Kesehatan - Daya Tahan
- Umur
Tingkat
Pendidikan
Pengetahuan

Suku Bangsa Sikap

Perilaku Hidup Kejadian


Bersih dan DBD
Sehat

Environment
(Lingkungan)
Agent
(Penyebab
Nyamuk Aedes Penyakit)
Aegypti Dengue Virus

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

22
2.4 Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep
satu terhadap konsep lainnya dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :

Variabel Bebas Variabel Terikat

Pelaksanaan Program Perilaku Hidup


Kejadian Demam
Bersih dan Sehat :
Berdarah Dengue
1. Membersihkan tempat
penampungan air

2. Menutup tempat penampungan air

3. Menguras tempat penampungan


air Variabel Pengganggu
4. Mengubur barang-barang bekas

5. Membuang sampah pada  Pengetahuan


 Sikap
tempatnya  Pendidikan
 Suku Bangsa
6. Menggantung pakaian
 Nyamuk Aedes Aegypti
7. Memakai kelambu  Pelayanan Kesehatan
 Status Ekonomi
8. Memakai lotion anti nyamuk  Lingkungan
 Virus Dengue
9. Menabur bubuk abate  Daya Tahan Tubuh
 Umur
10. Memelihara ikan pemakan jentik

Gambar 2.4 Kerangka Konsep

23
2.5 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap
permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Hipotesis
yang dapat diambil adalah ada hubungan pelaksanaan program perilaku hidup
bersih dan sehat terhadap kejadian demam berdarah dengue di Kelurahan Mekarsari
Depok.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian survei analitik dengan menggunakan
pendekatan kasus kontrol. Populasi dalam penelitian ini adalah penderita Demam
Berdarah Dengue (kasus) dan bukan penderita Demam Berdarah Dengue (kontrol).
Sampel berjumlah 20 kasus dan 20 kontrol yang diperoleh dengan menggunakan
teknik simple random sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 1) kuesioner, 2) data penderita DBD Puskesmas Mekarsari Depok. Data
penelitian in diperoleh dari data primer, berupa hasil wawancara, dan data sekunder
berupa data penderita DBD Puskesmas Mekarsari Depok. Data yang diperoleh
dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan rumus uji statistik Chi-square
dan penentuan Odds Ratio (OR).

3.2 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur

Demam Berdarah Jumlah penderita Demam Data 1). Positif Demam Berdarah
Dengue (DBD) Berdarah Dengue (DBD) yang Kelurahan Dengue
berada di Wilayah Kelurahan Mekarsari
Mekarsari Depok Depok 2). Negatif Demam Berdarah
Dengue
Perilaku Hidup Perilaku Hidup Bersih dan Kuesioner 0 = Tidak Pernah

24
Bersih Dan Sehat Sehat (PHBS) adalah 1 = jarang
(PHBS) sekumpulan perilaku yang 2 = Kadang
dipraktikkan atas dasar 3 = Sering
kesadaran sebagai hasil 4 = Selalu
pembelajaran, yang
menjadikan seseorang,
keluarga, kelompok atau
masyarakat mampu menolong
dirinya sendiri (mandiri)
dibidang kesehatan dan
berperan aktif dalam
mewujudkan kesehatan
masyarakat.
Hubungan Kejadian Demam Berdarah Kuesioner 0 = Tidak Ada Hubungan
Pelaksanaan Dengue (DBD) jika dapat 1 = Ada Hubungan
Program PHBS ditangani dan dicegah dengan
Terhadap Kejadian baik melalui program perilaku
DBD hidup bersih dan sehat
(PHBS), sehingga angka
kejadian dari DBD dapat
ditekan dan berkurang di
tengah masyarakat

3.3 Popoulasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita Demam Berdarah
Dengue yang terdaftar dalam catatan medik di wilayah kerja Puskesmas Mekarsari
Depok tahun 2023 yaitu sejumlah 60 orang.

Sample adalah Sebagian dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap
mewakili seluruh populasi. Besar sample dalam penelitian ini adalah :

n=N

N(d)2 + 1

25
Keterangan

n = Jumlah Sampel

N = Jumlah Populasi

d 2 = Ditetapkan presisi 5% dengan tingkat kepercayaan 95%

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling.

Kriteria inklusi dan eksklusi dari penelitian ini adalah:

1. Kriteria Kasus

a. Inklusi

1) Menderita penyakit DBD yang tercatat dalam catatan medik

2) Subjek berusia ≤ 15 tahun saat dilakukan penelitian

3) Bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Mekarsari Depok

4) Subjek setuju untuk mengikuti penelitian

b. Eksklusi

1) Pindah tempat saat dilakukan penelitian

2) Subyek menolak berpartisipasi dalam penelitian

2. Kriteria Kontrol

a. Inklusi

1) Pasien yang tercatat dalam rekam medik dan tidak menderita DBD

2) Bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Mekarsari Depok

b. Eksklusi

1) Subjek tidak bersedia untuk mengikuti penelitian

3.5 Analisis Data


3.5.1 Analisis Univariat

26
Analisa ini diperlukan untuk mendeskripsikan dengan menggunakan tabel
frekuensi dan grafik perilaku kesehatan dan kejadian DBD di Kelurahan
Mekarsari Depok tahun 2023.

3.5.2 Analisis Bivariat

Analisa ini diperlukan untuk menguji hubungan antara masing-masing


variabel bebas yaitu perilaku kesehatan dengan variabel terikat yaitu kejadian
DBD. Dalam analisis ini uji statistik yang digunakan adalah Chi-square karena
variabel yang diteliti berskala nominal dan menggunakan lebih dari dua kelompok
sampel tidak berpasangan, namun jika data tersebut tidak terpenuhi maka
menggunakan uji alternatif yaitu Fisher Exact Test (Sopiyudin Dahlan, 2006: 5).
Dan untuk mengetahui besar faktor risiko digunakan analisis Odd Ratio. Taraf
signifikan yang digunakan adalah 95 % atau taraf kesalahan 0,05%. Nilai OR
dihitung dengan menggunakan tabel 2x2 (dummy table) sebagai berikut:

Tabel : Tabulasi Distribusi Frekuensi Observasi Berdasarkan Faktor Risiko dan Efek
Faktor Risiko Efek Total
Kasus Kontrol
Ya (+) A B A+B
Tidak (-) C D C+D
Total A+C B+D N=A+B+C+D

Sumber : Sidogdo Sastroasmoro dan Sofyan Ismail, 2002:112

Keterangan :

A = Kasus yang mengalami paparan

B = Kontrol yang mengalami pajanan

C = Kasus yang tidak mengalami pajanan

D = Kontrol yang tidak mengalami pajanan

27
3.6 Etika Penelitian
Menurut Hidayat (2014), etika penelitian diperlukan untuk menghindari
terjadinya tindakan yang tidak etis dalam melakukan penelitian, maka dilakukan
prinsip-prinsip sebagai berikut (Hidayat, 2014) :

1. Lembar Persetujuan (Informed consent) Lembar persetujuan berisi penjelasan


mengenai penelitian yang dilakukan, tujuan penelitian, tata cara penelitian,
manfaat yang diperoleh responden, dan resiko yang mungkin terjadi. Pernyataan
dalam lembar persetujuan jelas dan mudah dipahami sehingga responden tahu
bagaimana penelitian ini dijalankan. Untuk responden yang bersedia maka
mengisi dan menandatangani lembar persetujuan secara sukarela.

2. Anonimitas Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak mencantumkan nama


responden, tetapi lembar tersebut hanya diberi kode.

3. Confidentiality ( Kerahasiaan ) Confidentiality yaitu tidak akan


menginformasikan data dan hasil penelitian berdasarkan data individual, namun
data dilaporkan berdasarkan kelompok.

4. Sukarela Peneliti bersifat sukarela dan tidak ada unsur paksaan atau tekanan
secara langsung maupun tidak langsung dari peneliti kepada calon responden
atau sampel yang akan diteliti.

28
DAFTAR PUSTAKA

A.Aziz Alimul Hidayat, 2014. Metode penelitian kebidaan dan teknik analisis data.
Jakarta : Salemba Medika.

Bagian Patologi Klinik. (2009). Peran pemeriksaan laboratorium dalam diagnose


Demam Berdarah Dengue. RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Depkes RI. (2007). Buku Saku Rumah Tangga Sehat dengan PHBS. Pusat Promosi
Kesehatan. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS
Indonesia Tahun 2007, Jakarta.

DepKes, RI.,(2005). Pedoman Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah


Dengue di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan

Kemenkes RI. (2017). Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Demam Berdarah


Dengue Di Indonesia. Jakarta.

Kementrian Kesehatan RI. 2019. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019. Jakarta;
Depkes RI

Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat.
Jakarta: Kementrian Kesehatan; 2011.

Kemenkes RI, 2011, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor


2269/MENKES/PER/XI/2011 Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS), Kemenkes RI, Jakarta.

Kurane I, Ennis E Francis, 1992. Immunity and Immunopathologi in Dangue Virus


Infection. Seminar Imunology vol 4; 121-127.

29
Khie Chen., Herdiman, T., Pohan., Robert., 2009. Diagnosis dan terapi cairan pada
demam berdarah dengue. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. RS Dr.
Cipto Mangunkusumo, Jakarta. 22. (1): 5 – 6

Khana M., Chaturvedi UC, Sharma MC, Panday VC, Mathur A., 1990. Increased
Capillary Permeability Mediated by A Dangue Virus Induced Limphokine.
Immunology Mart, 69;33:449-53

Nurhajati, N. (2015). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Masyarakat Desa Samir
Dalam Meningkatkan Kesehatan Masyarakat. Jurnal Unita. Tim Field Lab FK
UNS. 2013. Komunikasi Informasi Edukasi PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat) Semester V. Universitas Sebelas Maret.Surakarta.

Novarita. (2021). Profil Kesehatan Depok 2020. 1–100.

Suparyanto dan Rosad (2015. (2020). Profil Kesehatan Jawa Barat. Suparyanto Dan
Rosad (2015, 5(3), 248–253.

Soegijanto Soegeng, 2004. Demam Berdarah Dangue. Tinjauan dan Temuan Baru di
Era 2003. Airlangga University Press. Surabaya.
Syahruman A., 1998. Beberapa Lahan Penelitian untuk Penanggulangan Demam
Berdarah Dangue. Mikrobiologi Klinik Indonesia. Vol:3:3:87-89.

Soewandoyo, E. 1997. Demam Berdarah Dangue pada Orang Dewasa. Gejala Klinik
dan Penatalaksanaannya. Folia Medika Indonesia XXXIII. Juli-September.
Vasanwala. F. F., Puvanendran. R., Chong. S. F., Ng. J. M., Suhail. S. M., Lee. K. H.
(2011). Could peak proteinuria determine whether patient with dengue fever
develop dengue hemorraghic/dengue shock syndrome/- A prospective cohort
study. BMC Infectious Diseases.

30
31

Anda mungkin juga menyukai