Proposal Metlit
Proposal Metlit
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh:
UNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA
2023
DAFTAR ISI
i
3.5.2 Analisis Bivariat.............................................................................................. 27
3.6 Etika Penelitian ..................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 29
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah salah satu penyakit menular yang
dapat dan sering menimbulkan wabah yang tidak jarang menyebabkan kematian.
Penyakit DBD adalah penyakit infeksi oleh virus Dengue yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti, dengan ciri-ciri demam tinggi mendadak disertai
manifestasi pendarahan dan bertendensi menimbulkan rejatan dan kematian.
Menurut data Indonesia pada tahun 2017 tercatat bahwa jumlah kasus DBD
mencapai 68.407 kasus, kemudian di tahun 2018 tercatat 65.602 kasus. Pada 2019
(Januari – Juli 2020) tercatat jumlah penderita DBD di Indonesia yang tersebar di 34
provinsi sebanyak 71.663 penderita dan jumlah penderita yang meninggal sebanyak
459 penderita. Jumlah kasus DBD pada akhir 2009 sampai Desember 2019 telah
mencapai 110.921 kasus (Kemenkes RI, 2019)
Menurut Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat tahun 2021, jumlah penderita
penyakit DBD di Provinsi Jawa Barat Tahun 2021 mencapai 23.959 kasus lebih
rendah dibanding Tahun 2020 (24.471 kasus). Demikian juga dengan risiko kejadian
DBD di Provinsi Jawa Barat mengalami penurunan dari 49 per 100.000 penduduk
menjadi 47,8 per 100.000 penduduk. Jumlah Kematian DBD Tahun 2021 mencapai
212 orang dengan CFR sebesar 0.88%, ini menunjukan peningkatan 0,88 point
dibanding Tahun 2020 yang sebesar 0,72%. (Suparyanto dan Rosad (2015, 2020)
1
kasus meninggal sebanyak 2 orang. (Novarita, 2021)
Perilaku adalah suatu tindakan atau perbuatan yang bisa kita amati bahkan
dapat dipelajari. Perilaku kesehatan merupakan suatu respon seseorang terhadap
rangsangan terhadap suatu penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta
lingkungan (Mubarak, 2007). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah
sekumpulan perilaku yang dilakukan atas kesadaran seseorang sehingga anggota
keluarga atau keluarga tersebut dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan
dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat (Depkes RI,
2011).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
berpartisipasi berpartisipasi secara sukarela agar upaya tersebut tersebut
dapat berjalan baik.
4
2.1.3 Patofisiologi DBD
Virus dangue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes
aegypty atau Aedes albopictus dengan organ sasaran adalah organ hepar, nodus
limfaticus, sumsum tulang belakang, dan paru. Dalam peredaran darah, virus
tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer. Virus DEN mampu bertahan hidup
dan mengadakan multifikasi dalam sel tersebut. Infeksivirus dangue dimulai
dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-
organel sel, genom virus membentuk komponen-komponenya. Setelah terbentuk,
virus dilepaskan dari sel. Proses perkembangbiakan sel virus DEN terjadi di
sitoplasma sel. Infeksi oleh satu serotip virus DEN menimbulkan imunitas protektif
terhadap serotype tersebut tetapi tidak ada cross protectif terhadap serotip virus
yang lain (Kurane & Francis, 1992).
Beberapa teori mengenai terjadinya DBD dan DSS antara lain adalah:
a. Teori Antigen Antibodi
Virus dangue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan
antibody, membentuk virus antibody kompleks (komplek imun) yang akan
mengaktifasi komplemen. Aktifasi ini akan menghasilkan anafilaktosin C3A
dan C5A yang akan merupakan mediator yang mempunyai efek farmakologis
cepat dan pendek. Bahan ini bersifat fasoaktif dan prokoagulant sehingga
menimbulkan kebococran plasma (hipovolemik syok dan perdarahan.
(Soewandoyo, 1998).
b. Teori Infection Enhancing Antibody
Teori ini berdasarkan pada peran sel fagosit mononuclear merangsang
terbentuknya antibody nonnetralisasi. Antigen dangue lebih banyak didapat
pada sel makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Pada kejadian ini antibody
nonnetralisasi berupaya melekat pada sekeliling permukaan sel makrofag yang
beredar dan tidak melekat pada sel makrofag yang menetapdi jaringan.
Makrofag yang dilekati antibody nonnetralisasi akan memiliki sifat opsonisasi,
internalisasi dan akhirnya sel mudah terinfeksi.
Makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif dan akan melepaskan sitokin
yang memiliki sifat vasoaktif atau prokoagulasi. Bahan-bahan mediator
tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh darah dan
5
system hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan
perdarahan. (Wang, 1995).
c. Teori mediator
Teori mediator didasarkan pada beberapa hal:
1) Kelanjutan dari teori antibody enhancing, bahwa makrofag yang terinfeksi
virus mengeluarkan mediator atau sitokin. Fungsi dan mekanismme sitokin
kerja adalah sebagai mediator pada imunitas alami yang disebabkan oleh
rangsangan zat yang infeksius, sebagai regulator yang mengatur aktivasi,
proliferasi dan diferensiasi limfosit, sebagai activator sel inflamasi nonspesifik,
dan sebagai stimulator pertumbuhan dan deferensiasi lekosit matur (Khana,
1990).
2) Kejadian masa krisis pada DBD selama 48-72 jam, berlangsung sangat pendek.
Kemudian disusul masa penyembuhan yang cepat, dan praktis tidak ada gejala
sisa.
3) Dari kalangan ahli syok bacterial, mengambil perbandingan bahwa pada syok
septic banyak berhubungan dengan mediator.
a. Demam
Demam berdarah dengue biasanya ditandai dengan demam yang mendadak
tanpa sebab yang jelas, continue, bifasik. Biasanya berlangsung 2-7 hari
(Bagian Patologi Klinik, 2009). Naik turun dan tidak berhasil dengan
pengobatan antipiretik. Demam biasanya menurun pada hari ke-3 dan ke-7
dengan tanda-tanda anak menjadi lemah, ujung jari, telinga dan hidung teraba
dingin dan lembab. Masa kritis pda hari ke 3-5. Demam akut (38°-40° C)
dengan gejala yang tidak spesifik atau terdapat gejala penyerta seperti ,
anoreksi, lemah, nyeri punggung, nyeri tulang sendi dan kepala.
b. Perdarahan
Manifestasi perdarahan pada umumnya muncul pada hari ke 2-3 demam.
Bentuk perdarahan dapat berupa: uji tourniquet positif yang menandakan
fraglita kapiler meingkat (Bagian Patologi Klinik, 2009). Kondisi seperti ini
6
juga dapat dijumpai pada campak, demam chikungunya, tifoid, dll. Perdarahan
tanda lainnya ptekie, purpura, ekomosis, epitaksis dan perdarahan gusi,
hematemesisi melena. Uji tourniquet positif jika terdapat lebih dari 20 ptekie
dalam diameter 2,8 cm di lengan bawah bagian volar termasuk fossa cubiti.
c. Hepatomegali
Ditemukan pada permulaan demam, sifatnya nyeri tekan dan tanpa disertai
ikterus. Umumnya bervariasi, dimulai dengan hanya dapat diraba hingga 2-4
cm di bawah lengkungan iga kanan (Bagian Patologi Klinik, 2009). Derajat
pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit namun nyeri tekan
pada daerah tepi hati berhubungan dengan adanya perdarahan.
d. Renjatan (Syok)
Syok biasanya terjadi pada saat demam mulai menurun pada hari ke-3 dan ke-
7 sakit. Syok yang terjadi lebih awal atau periode demam biasanya mempunyai
prognosa buruk (Bagian Patologi Klinik, 2009). Kegagalan sirkulasi ini
ditandai dengan denyut nadi terasa cepat dan lemah disertai penurunan tekanan
nadi kurang dari 20 mmHg. Terjadi hipotensi dengan tekanan darah kurang dari
80 mmHg, akral dingin, kulit lembab, dan pasien terlihat gelisah.
7
Syok berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.
a.Pre Hospital
Penatalaksanaan prehospital DBD bisa dilakukan melalui 2 cara yaitu
pencegahan dan penanganan pertama pada penderita demam berdarah. Dinas
Kesehatan Kota Depok menjelaskan pencegahan yang dilakukan meliputi
kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), yaitu kegiatan memberantas
jentik ditempat perkembangbiakan dengan cara 3M Plus:
1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak
mandi / WC, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1).
2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong
air/tempayan, dan lain-lain (M2).
3) Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan (M3).
8
7) Melakukan fogging atau pengasapan bila dilokasi ditemukan 3 kasus
positif DBD dengan radius 100 m (20 rumah) dan bila di daerah tersebut
ditemukan banyak jentik nyamuk.
9
awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan
kadar hematokrit (DepKes RI, 2005).
Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit.
Penurunanjumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2
trombosit/ Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan
hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20%
atau lebih mencermikan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk
pemberian caiaran. Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan
awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan
penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang
terus menerus dan penurunan jumlah trombosit < 50.000/41. Secara umum
pasien DBD derajat I dan II dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D,
C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B dan A (DepKes RI,
2005).
1) Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD,
bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk
mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena
tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan
intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan,
tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama
demam pada DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk pemberian atau
dapat di sederhanakan seperti tertera pada Tabel 1. Rasa haus dan keadaan
dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia
danmuntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh
manis, sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50
ml/kg BB dalam 4-6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi
anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya.
Bayi yang masih minum asi, tetap harus diberikan disamping larutan
oiarit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan
antikonvulsif selama demam (DepKes RI, 2005).
10
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin
terjadi. Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada
umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala
merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan
hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma
danpedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada
umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dantekanan
nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga
sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak
tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif
walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat
pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli
dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb (DepKes RI, 2005).
a) Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi
pada fase penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka
dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang hilang.
Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan
bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3
jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap
30-60 menit). Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu
disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, danjumlah volume
urin (DepKes RI, 2005).
Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin
mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan
adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena
diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus smuntah, tidak mau
minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per
oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya
syok. (2) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan
berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat
dehidrasi dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di
11
dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium
bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan
(DepKes RI, 2005).
Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi
jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume
dankomposisi cairan yang diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi
pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5
sampai 8%), seperti tertera pada tabel 2 dibawah ini (DepKes RI,
2005).
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung
dari umur dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma,
yang sesuai dengan derajat hemokonsentrasi. Pada anak gemuk,
kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak
umur yang sama (DepKes RI, 2005).
12
pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian
koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan.
Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dankoloid syok masih
menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi
perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila
kadar hematokrit tetap > tinggi, maka berikan darah dalam volume
kecil (10 ml/kg BB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam.
Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infuse dikurangi bertahap
sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit (DepKes RI, 2005).
b) Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume
Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah
membaik dankadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan
menjadi 10 ml/kg BB/jam dankemudian disesuaikan tergantung dari
kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Pemasangan CVP
yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan
lagi. Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun,
dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau
lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik (DepKes
RI, 2005).
Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam
syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang
berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular
(ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian
cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat
edema paru dangagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat
reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi
disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal,
dieresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase
reabsorbsi (DepKes RI, 2005).
13
c) Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai pasien
DBD/SSD, maka analisis gas darah dankadar elektrolit harus selalu
diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan
memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih
kompleks. Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma
diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium
bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan tejadi
sehingga heparin tidak diperlukan (DepKes RI, 2005).
d) Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua
pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan
masker, tetapi harus diingat pula pada anak seringkali menjadi makin
gelisah apabila dipasang masker oksigen (DepKes RI, 2005).
e) Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada
setiap pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan
(prolonged shock). Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan
manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk
mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai
hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit(misalnya dari 50% me.njadi
40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang
mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah
segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup
mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar trombosit
(DepKes RI, 2005).
Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien
dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok
berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat
menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti waktu
tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen degradation
products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi
14
terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan hematologis
tersebut juga menentukan prognosis (DepKes RI, 2005).
f) Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi
secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus
diperhatikan pada monitoring adalah:
- Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap
15-30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
- Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai
keadaan klinis pasien stabil.
- Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai
jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan
yang diberikan sudah mencukupi.
- Jumlah dan frekuensi dieresis
15
2.2 Konsep Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat
2.2.1 Pengertian Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah sekumpulan perilaku yang
dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan
seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri
(mandiri) dibidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan
masyarakat. Dengan demikian, PHBS mencakup beratus-ratus bahkan mungkin
beribu-ribu perilaku yang harus dipraktikkan dalam rangka mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Dibidang pencegahan dan penanggulangan penyakit serta penyehatan
lingkungan harus dipraktikkan perilaku mencuci tangan dengan sabun, pengelolaan
air minum dan makanan yang memenuhi syarat, menggunakan air bersih,
menggunakan jamban sehat, pengelolaan limbah cair yang memenuhi syarat,
memberantas jentik nyamuk, tidak merokok di dalam ruangan dan lain-lain.
Dibidang kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana harus dipraktikkan
perilaku meminta pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, menimbang balita
setiap bulan, mengimunisasi lengkap bayi, menjadi akseptor keluarga berencana
dan lain-lain. Dibidang gizi dan farmasi harus dipraktikkan perilaku makan dengan
gizi seimbang, minum tablet tambah darah selama hamil, memberi bayi air susu ibu
(ASI) eksklusif, mengonsumsi garam beryodium dan lain-lain. Sedangkan di
bidang pemeliharaan kesehatan harus dipraktikkan perilaku ikut serta dalam
jaminan pemeliharaan kesehatan, aktif mengurus dan atau memanfaatkan upaya
kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM), memanfaatkan Puskesmas dan
fasilitas pelayanan kesehatan lain dan lain-lain.
16
Terdapat 5 tatanan PHBS yaitu rumah tangga, sekolah, tempat kerja,
sarana kesehatan dan tempattempat umum. Tatanan adalah tempat dimana
sekumpulan orang hidup, bekerja, bermain, berinteraksi dan lain-lain. Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dapat diwujudkan di setiap tatanan dengan
melakukan pengelolaan manajemen program PHBS melalui tahap pengkajian,
perencanaan, penggerakan pelaksanaan sampai dengan pemantauan dan penilaian
(Tim Field Lab FK UNS, 2013)
Menurut Depkes RI (2007) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat sangat banyak
bermanfaat bagi penduduk Indonesia, yaitu :
a. Setiap rumah tangga meningkat kesehatannya dan tidak mudah sakit
b. Rumah tangga sehat dapat meningkatkan produktivitas kerja anggota keluarga.
c. Meningkatnya kesehatan anggota rumah tangga maka biaya yang tadinya
dialokasikan untuk kesehatan dapat dialihkan untuk biaya investasi seperti biaya
pendidikan dan usaha lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan anggota
rumah tangga.
d. Salah satu indikator menilai keberhasilan Pemerintah Daerah Kabupaten /Kota
di bidang kesehatan.
e. Meningkatkan citra pemerintah dalam bidang kesehatan.
f. Dapat menjadikan percontohan rumah tangga sehat bagi daerah lain
a). Sasaran primer berupa sasaran langsung, yaitu individu anggota masyarakat,
kelompok-kelompok dalam masyarakat, dan masyarakat secara keseluruhan,
yang diharapkan untuk mempraktikkan PHBS.
b). Sasaran sekunder adalah mereka yang memiliki pengaruh terhadap sasaran
primer dalam pengambilan keputusannya untuk mempraktikkan PHBS.
Termasuk di sini adalah para pemuka masyarakat atau tokoh masyarakat, yang
umumnya menjadi panutan sasaran primer. Terdapat berbagai jenis tokoh
masyarakat, seperti misalnya tokoh atau pemuka adat, tokoh atau pemuka
17
agama, tokoh politik, tokoh pertanian, tokoh pendidikan, tokoh bisnis, tokoh
pemuda, tokoh remaja, tokoh wanita, tokoh kesehatan, dan lain-lain.
c). Sasaran tersier adalah mereka yang berada dalam posisi pengambilan keputusan
formal, sehingga dapat memberikan dukungan, baik berupa
kebijakan/pengaturan dan atau sumber daya dalam proses pembinaan PHBS
terhadap sasaran primer. Mereka sering juga disebut sebagai tokoh masyarakat
formal, yakni orang yang memiliki posisi menentukan dalam struktur formal
di masyarakatnya (disebut juga penentu kebijakan). Dengan posisinya itu,
mereka juga memiliki kemampuan untuk mengubah sistem nilai dan norma
masyarakat melalui pemberlakuan kebijakan/pengaturan, di samping
menyediakan sarana yang diperlukan.
Menurut Depkes RI (2008) indikator PHBS adalah suatu alat ukur untuk
menilai keadaan atau permasalahan kesehatan. Indikator PHBS tatanan rumah
tangga yang digunakan yaitu mengacu kepada standar pelayanan minimal bidang
kesehatan ada sepuluh indikator yaitu:
18
c. Menimbang bayi dan balita
Penimbangan bayi dan balita dimaksudkan untuk memantau pertumbuhannya
setiap bulan. Penimbangan bayi dan balita dilakukan mulai umur 1 bulan
sampai 5 tahun di posyandu. Dengan demikian dapat diketahui apakah balita
tumbuh sehat atau tidak dan mengetahui kelengkapan imunisasi serta bayi yang
dicurigai menderita gizi buruk.
19
membuang tinja anak, sebelum menyuapi makan anak dan sesudah makan,
mempunyai dampak dalam kejadian diare karena sabun mengandung antiseptik
yang dapat membunuh kuman penyebab diare, apabila ibu sesudah buang air
besar atau sehabis menceboki anaknya tidak memcuci tangan dengan sabun
sehingga kuman penyebab penyakit diare masih menempel ditangan bila
langsung menyuapi makanan makan kuman yang menempel di tangan akan
ikut masuk dengan makanan ke mulut anak sehingga dapat menyebabkan
terjadinya penyakit diare.
20
kandungan gizinya adalah dengan memakannya dalam keadaan mentah atau
dikukus. Merebus dengan air akan melarutkan beberapa vitamin dan mineral
dalam sayur dan buah tersebut. Pemanasan tinggi akan menguraikan beberapa
vitamin seperti vitamin C.
21
2.3 Kerangka Teori
Pendidikan Tingkat
Pengetahuan
Environment
(Lingkungan)
Agent
(Penyebab
Nyamuk Aedes Penyakit)
Aegypti
Dengue Virus
22
Variabel Bebas Variabel Terikat
23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Demam Berdarah Jumlah penderita Demam Data 1). Positif Demam Berdarah
Dengue (DBD) Berdarah Dengue (DBD) yang Kelurahan Dengue
berada di Wilayah Kelurahan Mekarsari
Mekarsari Depok Depok 2). Negatif Demam Berdarah
Dengue
Perilaku Hidup Perilaku Hidup Bersih dan Kuesioner 0 = Tidak Pernah
Bersih Dan Sehat Sehat (PHBS) adalah 1 = jarang
(PHBS) sekumpulan perilaku yang 2 = Kadang
dipraktikkan atas dasar 3 = Sering
kesadaran sebagai hasil 4 = Selalu
pembelajaran, yang
menjadikan seseorang,
keluarga, kelompok atau
24
masyarakat mampu menolong
dirinya sendiri (mandiri)
dibidang kesehatan dan
berperan aktif dalam
mewujudkan kesehatan
masyarakat.
Hubungan Kejadian Demam Berdarah Kuesioner 0 = Tidak Ada Hubungan
Pelaksanaan Dengue (DBD) jika dapat 1 = Ada Hubungan
Program PHBS ditangani dan dicegah dengan
Terhadap Kejadian baik melalui program perilaku
DBD hidup bersih dan sehat
(PHBS), sehingga angka
kejadian dari DBD dapat
ditekan dan berkurang di
tengah masyarakat
Sample adalah Sebagian dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap
mewakili seluruh populasi. Besar sample dalam penelitian ini adalah :
n=N
N(d)2 + 1
Keterangan
n = Jumlah Sampel
N = Jumlah Populasi
25
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling.
1. Kriteria Kasus
a. Inklusi
b. Eksklusi
2. Kriteria Kontrol
a. Inklusi
1) Pasien yang tercatat dalam rekam medik dan tidak menderita DBD
b. Eksklusi
26
3.5.2 Analisis Bivariat
Tabel : Tabulasi Distribusi Frekuensi Observasi Berdasarkan Faktor Risiko dan Efek
Faktor Risiko Efek Total
Kasus Kontrol
Ya (+) A B A+B
Tidak (-) C D C+D
Total A+C B+D N=A+B+C+D
Keterangan :
27
1. Lembar Persetujuan (Informed consent) Lembar persetujuan berisi penjelasan
mengenai penelitian yang dilakukan, tujuan penelitian, tata cara penelitian,
manfaat yang diperoleh responden, dan resiko yang mungkin terjadi. Pernyataan
dalam lembar persetujuan jelas dan mudah dipahami sehingga responden tahu
bagaimana penelitian ini dijalankan. Untuk responden yang bersedia maka
mengisi dan menandatangani lembar persetujuan secara sukarela.
4. Sukarela Peneliti bersifat sukarela dan tidak ada unsur paksaan atau tekanan secara
langsung maupun tidak langsung dari peneliti kepada calon responden atau sampel
yang akan diteliti.
28
DAFTAR PUSTAKA
A.Aziz Alimul Hidayat, 2014. Metode penelitian kebidaan dan teknik analisis data.
Jakarta : Salemba Medika.
Departemen Kesehatan RI, 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS
Indonesia Tahun 2007, Jakarta.
Kementrian Kesehatan RI. 2019. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019. Jakarta;
Depkes RI
Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat.
Jakarta: Kementrian Kesehatan; 2011.
Khie Chen., Herdiman, T., Pohan., Robert., 2009. Diagnosis dan terapi cairan pada
demam berdarah dengue. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. RS Dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta. 22. (1): 5 – 6
29
Khana M., Chaturvedi UC, Sharma MC, Panday VC, Mathur A., 1990. Increased
Capillary Permeability Mediated by A Dangue Virus Induced Limphokine.
Immunology Mart, 69;33:449-53
Nurhajati, N. (2015). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Masyarakat Desa Samir
Dalam Meningkatkan Kesehatan Masyarakat. Jurnal Unita. Tim Field Lab FK
UNS. 2013. Komunikasi Informasi Edukasi PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat) Semester V. Universitas Sebelas Maret.Surakarta.
Suparyanto dan Rosad (2015. (2020). Profil Kesehatan Jawa Barat. Suparyanto Dan
Rosad (2015, 5(3), 248–253.
Soegijanto Soegeng, 2004. Demam Berdarah Dangue. Tinjauan dan Temuan Baru di
Era 2003. Airlangga University Press. Surabaya.
Syahruman A., 1998. Beberapa Lahan Penelitian untuk Penanggulangan Demam
Berdarah Dangue. Mikrobiologi Klinik Indonesia. Vol:3:3:87-89.
Soewandoyo, E. 1997. Demam Berdarah Dangue pada Orang Dewasa. Gejala Klinik dan
Penatalaksanaannya. Folia Medika Indonesia XXXIII. Juli-September.
Vasanwala. F. F., Puvanendran. R., Chong. S. F., Ng. J. M., Suhail. S. M., Lee. K. H.
(2011). Could peak proteinuria determine whether patient with dengue fever
develop dengue hemorraghic/dengue shock syndrome/- A prospective cohort study.
BMC Infectious Diseases.
30