Anda di halaman 1dari 45

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ibadah merupakan tindakan ritual berdasarkan syari’at. Ibadah juga

berarti pengabdian. Secara luas, ibadah berarti mencakup seluruh kegiatan

manusia dalam hidup didunia ini, termasuk kegiatan “duniawi” sehari-hari jika

dilakukan dengan sikap batin dan niat pengabdian serta penghambaan diri

kepada Allah SWT. Menurut Sholikhin1 bahwa manusia taklebih dari mahkluk

lain (yang diberi akal), ia harus mencari kehidupan yang berupa kesadaran

penuh bahwa makna dan tujuan keberadaan manusia ialah mencari keridhoan

Allah SWT seperti melalui sholat.

Sholat adalah rukun islam yang kedua dan ia merupakan rukun yang

sangat ditekan (utama) sesudah dua kalimat syahadat. Telah di syari’atkan

sebagai sesempurna dan sebaik-sebaiknya ibadah.2 Selain itu, sholat juga

mencakup berbagai macam ibadah: zikir kepada Allah, tilawah Kitabullah,

berdiri menghadap Allah, ruku’, sujud, do’a, tasbih dan takbir 3. Sholat

merupakan pokok semua macam ibadah badaniah. Allah telah menjadikan

fardhu bagi Rosulullah SAW sebagai penutup para rasul pada malam mi’raj di

langit, berbeda dengan semua syari’at. Halitu tentu menunjukkan

keagungannya, menekankan tentang wajibnya dan kedudukannya disisi Allah.

1
Muhammad Sholikhin. The Miracle of Shalat (Mengungkap Kedahsyatan Energi
Shalat). Jakarta: Erlangga, 2011, 15.
2
Sentot Haryanto, Psikologi Shalat (Kajian Aspek-aspek Psikologi Ibadah Shalat oleh-
oleh Isra‟ Mi‟raj Nabi Muhammad SAW),(Yogyakarta: 2007), cet. ke-5, 59.
3
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, Penerjemah, Khairul
Amru Harahap dan Faisal Saleh, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), cet. ke-1, 277.

1
2

Terdapat sejumlah hadist yang berkenaan dengan keutamaan dan wajibnya

sholat bagi perorangan. Hukum fardhunya sangat dikenal didalam agama

islam. Barang siapa yang mengingkari sholat, ia telah murtad dari agama islam.

Ia di tuntut untuk bertaubat. Jika tidak bertaubat, ia harus di hukum mati

menurut ijma’ kaum muslimin.

Menurut Khalili4, Ibadah sholat merupakan suatu amal ibadah yang

memiliki posisi yang amat tinggi dibandingkan dengan amal ibadah lainnya.

Dalam hal melakukan ibadah sholat harus, harus sesuai dengan yang telah

ditetapkan oleh syri’at, sehingga jangan terkesan mringankan dan menganggap

kecil amal ibadah tersebut, karena sholat mempunyai makna yang besar

terhadap kehidupan. Salah satu tujuan dari ibadah sholat adalah bahwa sholat

merupakan sarana terpenting untuk mengingat serta mendekatkan diri kepada

Allah SWT.

Sholat diwajibkan dalam sehari semalam adalah lima kali,yaitu tujuh

belas raka’at; diwajibkan Allah atas setiap laki-laki islam, balig, berakal

(sehat), dan atas perempuas islam, baligah , dsn berakal (sehat), serta tidak haid

dan nifas. Sesumgguhnya sholat tidak gugur dari mukallaf, kecuali ia telah

meninggal dunia.5 Kata sholat secara etimologis berarti do’a. Adapun sholat

secara terminogis adalah seperangkat perkataan dan pebuatan yang dilakukan

dengan bebrapa syarat tertentu dimulai dengan takbir dan di akhiri dengan

salam. Digunakan kata sholat untuk ibadah ini, tidak jauh berbeda demgan

4
Musthafa Khalili. Berjumpa Allah dalam Salat. Jakarta: Zahra,2006, 38
5
Syaikh Al-Allamah Muhammad, Fiqih Empat Mazhab (Bandung:Hasyimi, 2013), 43
3

pengertian etimogisnya. Sebab dalam sholat terkandung do’a-do’a berupa

permohonan, minta ampun dan sebagainya.6

Sholat tersebut dilakukan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi

Muhammad SAW, berdasarkan oleh al-Bukhori bahwa Rasulullahi Shallallahu

‘Alaihi wa sallam bersabda :

‫ أصلي‬E‫صلوا كما رأيتموني‬


Artinya; Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatakusholat.7

Demikian wasiat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam agar kaum Muslim

senantiasa menjadikan shalatnya semirip mungkin dengan shalat yang

dilakukan Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam.

Hadist Rasulullah tersebut dipahami dari berbagai sisi, pemahaman

yang berbeda tersebut melahirkan berbagai pandangan imam seperti pandangan

imam terhadap permasalahan hukum menambah kalimat sayyidina sebelum

nama nabi muhammad pada sholawat setiap tasyahud dalam sholat menurut

ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali.

Hal ini menjadi perkara dan persoalan umat islam yang sebenarnya

sudah ada dasar dan rujukannya, berupa dalil Al-qur’an dan Hadist, tapi karena

cara memahami dan menafsirkan dalil tersebut berbeda para ulama yang satu

dengan ulama yang lainnya maka ketetapan hukum yang dihasilkan para ulama

pun berbeda-beda. Kalau perkara dan persoalan yang sudah ada secara ekplisit

tercantum dalam alqur’an dan hadits masih menimbulkan ihktilaf (perbedaan)

dalam pemahaman, penafsiran, bahkan penetapan hukumnya, serta terhadap

perkara-perkara yang sama sekali tidak secara jelas dan terang terdapat dalam
6
Supiana Karman, Materi Pendidikan Agama Islam (Bandung: Pt Remaja Rosdakarya,
2003), 23-24
7
HR al-Bukhâri, 631
4

sumber hukum Islam yang utama, Alqur’an dan Hadist. Tentusajapersoalan

dan perkara seperti ini lebih lagi akan menimbulkan perbedaan pemahaman,

penafsiran dan penetapanhukumnya juga.

Salah satu dari sekian banyak perkara dan persoalan yang telah sampai

pada saat ini juga menjadi perbedaan para ulama dalam hal ibadah dan juga

telahdibahas oleh kalangan ulama mazhab yang empat (Imam Malik, Imam

Hanafi, Imam Syafi’I dan Imam Hambali) adalahperkaradan persoalan

menambahkan kalimat Sayyidina didalam sholawat ketika sholat ini.8

Sholawat dalam arti Bahasa berasal dari kata shola atausholat yang berartido’a,

keberkahan, kemuliyaan, kesejahteraan, dan ibadah. Dan sholawat yang

diajarkan Nabi Muhammad SAW didalamsholat dan sesuai Riwayat

hadistialahsholawatIbrohimiyah,sholawat yang mengandungdo’a-do’a yang

dipanjatkankepada Allah SWT untuk Nabi Muhammad SAW.

Allah SWT menganjurkan kepada manusia yang berimanbahkan para

malaikatnya Allah untuk senantiyasa bersholawat kepada baginda Nabi

Muhammad SAW, anjuran ini memiliki landasan dalam Alqur’an;

ۤ ‫هّٰللا‬
َ ‫صلُّوْ نَ َعلَى النَّبِ ۗ ِّي ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا‬
‫صلُّوْ ا َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ُموْ ا تَ ْسلِ ْي ًما‬ َ ُ‫اِ َّن َ َو َم ٰل ِٕى َكتَهٗ ي‬
Artinya: “Sungguhnya Allah dan malaikat-malaikatnya Allah
senantiyasa bersholawa tkepada Nabi Muhammad, Hai orang-orang yang
beriman, bersholawatlah kalian untuk nabi dan ucakanlah salam
penghormatan kepadanya.” (Qs. Alahzab:56)

Dari ayat di atas dapat di jelaskan bahwa kita sangat di anjurkan untuk

bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW, karena sholawat menjadi amalan

ibadah yang sangat istimewa, dan sangatlah besar ganjaran pahalanya disisi

Allah SWT, karena sholawat ini merupakan ibadah yang Allah juga

8
Hasan Sadily, Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru-Van Hoeve), Jilid 2, 883.
5

melakukannya, karena amalan ibadah yang lainnya seperti sholat, puasa, zakat,

haji dan umroh, kesemuanya rangkaian amalan tersebut yang menjadi

kewajiban kita sebagai hambanya Allah, justru Allah tidak melakukan

rangkaian ibadah-ibadah tersebut, tetapi sholawat Allah juga melakukannya

sesuai degan dalil Alqur’an yang telah termaktub diatas, bahwa Allah dan para

malaikatnya Allah senantiyasa (selalu) bersholawat kepada baginda Nabi

Muhammad SAW. sholawat juga menjadi sebab di qobulnya do’a, adab

didalam berdoa salah satu adab dalam berdo’a ialah memberikan pujian-pujian

atau meminta kepada Allah supaya Allah bersholawat kepada baginda Nabi

Muhammad SAW.

Para ulama sering berbeda pendapat dalam memahami, menafsirkan

dan menetapkan hukum dalam Islam, baik perkara yang sebenarnya sudah ada

sejak lama, atau perkara yang barumuncul karena peerkembangan keadaan,

perubahan zaman, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Atau

perkara yang saat ini sedang ramai (viral) diperbincangkan orang maupun

perkara yang belum ada saat sekarang ini tapi ada kemungkinan akan muncul

dikemudianhari. Dan salah satu permasalahan dan ihktilaf ulama sampai

sekarang ini ialah tentang hukum menambah kalimat sayyidina dalam sholat.

Dan salah satu sholawat yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa


sallam sohabatKa’ab bin ‘Ujrohialah:

َ َ‫ْت َع ْب َد الرَّحْ َم ِن ْبنَ َأبِي لَ ْيلَى ق‬


ُ‫ال لَقِيَنِي َكعْبُ بْن‬ ُ ‫َح َّدثَنَا آ َد ُم َح َّدثَنَا ُش ْعبَةُ َح َّدثَنَا ْال َح َك ُم قَا َل َس ِمع‬
َ ‫َّصلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم خ ََر َج َعلَ ْينَا فَقُ ْلنَا يَا َرس‬
‫ُول هَّللا ِ قَ ْد‬ َ ‫ك هَ ِديَّةً ِإ َّن النَّبِي‬َ َ‫ال َأاَل ُأ ْه ِدي ل‬ َ َ‫عُجْ َرةَ فَق‬
َ ‫اللَّهُ َّم‬:‫ك قَا َل فَقُولُوا‬
ِ ‫صلِّ َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل‬ َ ‫صلِّي َعلَ ْي‬َ ُ‫ك فَ َك ْيفَ ن‬ َ ‫َعلِ ْمنَا َك ْيفَ نُ َسلِّ ُم َعلَ ْي‬
ِ َ‫آل ِإ ْب َرا ِهي َم ِإنَّكَ َح ِمي ٌد َم ِجي ٌد اللَّهُ َّم ب‬
ِ ‫ار ْك َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل ُم َح َّم ٍد‬ ِ ‫صلَّيْتَ َعلَى‬ َ ‫ُم َح َّم ٍد َك َما‬
‫ك َح ِمي ٌد َم ِجي ٌد‬ َ َّ‫َك َما بَا َر ْكتَ َعلَى آ ِل ِإب َْرا ِهي َم ِإن‬
6

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami [Adam] telah menceritakan


kepada kami [Syu'bah] telah menceritakan kepada kami [Al Hakam] dia
berkata; saya mendengar [Abdurrahman bin Abu Laila] dia berkata; [Ka'b bin
'Ujrah] pernah menemuiku, lalu dia berkata; "Maukah kamu aku beri
petunjuk? Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alahi wasallam pernah keluar
menemui kami, lalu kami bertanya; "Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui
salam kepadamu, lalu bagaimanakah caranya bershalawat kepadamu? Beliau
menjawab: "Ucapkanlah; ALLAHUMMA SHALLI 'ALAA MUHAMMAD WA
'ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA SHALLAITA 'ALAA AALII IBRAAHIM
INNAKA HAMIIDUM MAJIID. ALLAAHUMMA BAARIK 'ALAA
MUHAMMAD WA'ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA BAARAKTA 'ALAA
'AALI IBRAHIIM INNAKA HAMIIDUM MAJIID (Ya Allah berilah shalawat
kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau
telah memberi shalawat kepada Ibrahiim, sesungguhnya Engkah Maha Terpuji
dan Maha Mulia. Ya Allah berilah barakah kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi barakah kepada Ibrahim,
sesungguhnya Engkah Maha Terpuji dan Maha Mulia).”

Jika dilihat dari tekstual, kita tidak menemukan kata sayyiduna atau

sayyidina artinya adalah tuan kami atau penghulu kami. Kata ini digunakan

oleh orang arab untuk menyanjung atau menghormati seseorang. Dan

sayangnya, tidak ada secara teks tual hadis yang melarang atau membolehkan

yang membolehkan sayyidina. Dari sinilah Sebagian ulama ada yang

membolehkan menambah kata sayyidina di sertai dalil-dalil yang

mendukungnya dan Sebagian ulama lainya yang tidak membolehkan dengan

berbagai dalil pendukungnya.

Termasuklah ketika kita melaksanakan sholat, baik sholat wajib maupun dalam

sholat sunnah, kita diwajibkan untuk bersholawat Ketika tasyahud yang sesuai

dan tuntunan hadist yang diajarkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW,

Adapun disinilah letak ihktilaf para ulama mengenai penambahan kalimat

sayyidina didalam sholawat Ketika sholat, ihktilaf ulama tentang penambahan

kalimat sayyidina Ketika sholat ini menjadi persoalan bagi kalangan umat

islam terutama di indonesia bahkan dikota Palembang ini sendiri, banyak sekali
7

terjadi perdebatan bahkan saling salah menyalahkan antara kalangan atau

kelompok yang tidak menerima pendapat yang tidak sesuai ulama-ulama yang

diikuti oleh masing-masing pihak.

B. RumusanMasalah

Berdasarkanlatarbelakang diatas, maka secara lebih terperinci perumusan

masalah dalam penelitian ini memfokuskan pada beberapa pembahasan untuk

diteliti lebih lanjut adalah sebagaiberikut:

1. Bagaimanapan dangan mazhab Syafi’i terhadap penambah kalimat

sayyidina dalam sholawat ketika sholat?

2. Bagaimana pandangan mazhab hambali terhadap penambah kalimat

sayyidina dalam sholawat ketika sholat?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pandangan Mazhab Syafi’i terhadap penambah

kalimat sayyidina dalam sholawat ketika sholat?

2. Untuk mengetahui pandangan Mazhab Hambali terhadap penambah

kalimat sayyidina dalam sholawat ketika sholat?

Sedangkan kegunaan penelitian adalah;

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat diharapkan dapat menjadi

kontribusi ilmiah dalam memperkaya pengetahuan terhadap

hukumislam.

2. Secara praktis dapat memberikan jawaban atas pertanyaan penulis dan

mungkin pula masayarakat luas mengenai persoalan yang penulis


8

angkat pada karya ilmiah ini, serta sebagai masukan dan sebagai

refrensi pihak terkait.

D. Penelitian Terdahulu

Dalam mendukung penulisan karya ilmiah ini, sebagai awal langkah

penyusun melakukan tela’ah pustaka terhadap karya ilmiah-karya ilmiah yang

berkaitan dengan objek yang akan penyusun teliti dari segi hukum Islam, yang

terbentuk dalam buku, kitab fiqh, skripsi, jurnal, serta tulisan-tulisan yang

terdapat dalam media elektronik (internet), diantaranya:

1. Kitab Hasyiah al-Bajuri, merupakan kitab fiqih mazhab syafi’i

karangan Syehk Burhanuddin Ibrahim al-Baijuri bin Syehk

Muhammad al-Jizawi bin Ahmad, kitab Hasyiah al-Baijuri merupakan

kitab penjelasan catatan pinggir dari kitab “Fathul Qorib al-Mujib”

karangan syehk ibnu Qosim al-Ghazi, kitab Hasyiyah ini banyak

menjadi rujukan para ulama dalam menetapkan hukum-hukum islam

kontemporer yang terjadi dewasa ini, serta termasuklah dalam kitab

ini tak luput dari bahasan penambahan kalimat sayyidina dalam

sholawat ketika sholawat.

2. Kitabnya Shoheh Muslim, kitab Shoheh Muslim ini di kenal juga

dengannama Al-Jami’, beliau hidupantara 202 hingga 206 hijriah.

Kitab shoheh muslimin merupakan salah satu kitab-kitab hadist yang

sangat populer dan mejadi koleksi kedua dikalangan muslim Sunni

setelah kitab gurunya Imam Bukhori. Dari 300.000 hadist yang ia

kumpulkan hanya sekitar 4000 hadist yang telah diteliti selama


9

hidupnya dan dapat diterima keaslianya, shoheh muslim terbagi

menjadi beberapa bab, termasuklah didalamnya kumpulan hadist-

hadist tentang sifat-sifat sholat nabi yang berdasarkan Riwayat shoheh

yang telah dikumpulkan dan ditelitinya.

3. Lajnah Da’imah Lil-ifta, Lajnah Da’imah Lil-ifta’ ini merupakan

komisi tetap untuk fatwa ulama besar Saudi arabia, merupakan sebuah

Lembaga yang didirikan bersamaan dengan Majelis Hai’ah Kibar

al-‘Ulama (Dewan Ulama Senior) oleh Raja Faishal bin Abdil Aziz

al-Saud rahimahumullahu pada 8 rajab 1391 / 24 Agustus 1997.

Komite tetap ini memiliki wewenang untuk mengeluarkan keputusan

dalam hukum islam dan melakukan riset untuk Hai’ah Kibar

al-‘Ulama yang menasehati raja dan urusan agama. Anggota komite

ini terdiriatas ulama senior termasuk didalamnya Mufti Agung Saudi

Arabia sebagai kepalanya.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penyusunan skripsi ini

adalah jenis penelitian kepustakaan atau library research yaitu suatu

bentuk penelitian yang datanya diperoleh dari data pustaka atau data

sekunder belakang9. Yaitu dengan meneliti sumber-sumber

kepustakaan yang ada kaitannya dengan penelitian ini, seperti

dalil-dalil dari Al-qur’an dan kitab-kitab Hadist yang terkait, kitab-

9
Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:Rajawali
Perss,2012), hlm.13.
10

kitab Fiqih, dan sumber lainnya baik artikel, jurnal, maupun

internet.

2. Jenis Data dan Sumber Bahan Hukum

Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Pertama, Data skunder (secondary data). Adapun yang

dimaksud dengan data sekunder adalah data yang diperoleh dari

kitab-kitab para ulama yang berhubungan dengan objek penelitian,

hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis.

Kedua, Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum

pokok. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan

adalah dalil-dalil dari Al-qur’an dan hadist, serta kitab-kitab dan

fatwa para ulama.

Bahan hukum sekunder, yaitu sumber data yang memberikan

keterangan-keterangan dan penjelasan mengenai sumber premier,

dan yang menjadi sumber data sekunder dalam penulisan skripsi ini

adalah kitab-kitab fiqih, artikel-artikel, karya-karya ilmiah, dan

permasalahan yang berkaitan dengan skripsi ini.

Ketiga, Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum sekunder.

Berupa artikel-artikel, ensiklopedia, media masa yang berkaitan

dengan pokok permasalahan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data ini penulisan yang menggunakan

teknik pustakaan. Metode ini digunakan data sekunder yaitu bahan


11

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan hukum tersier baik

berupa tulisan, media masa,kitab-kitab sebagai referensi dalam

mengembangkan masalah yang berkaitan dengan masalah ini.

4. Analisis Data

Berdasarkan sifat penelitian ini, menggunakan penelitian yang

bersifat deskriptif analitis, Analisa data yang dipergunakan adalah

pendekatan kualitatif. Deskriptif tersebut, meliputiisi dan stuktur

hokum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan penulisan untuk

menentukan isi atau makna penyelesaian permasalahan hukum yang

menjadi objek kajian10.

Setelah data-data itu terkumpul, kemudian penulis menyajikan,

menguraikan seluruh masalah yang ada dalam pokok rumusan

masalah. Kemudian pembahasan disimpulkan secara dedukatif, yaitu

menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum

kekhusus, sehingga hasil penyajian dapat lebih mudah di pahami.

F. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan pembaca dalam memahami isi dari penelitian ini,

penulis membuat sistematika pembahasan yang terdiri dari bab-bab sebagai

berikut :

BAB I Pendahuluan, pada bab ini berisikan latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penelitian terdahulu, metode

penelitian, dan sistematika pembahasan.


10
Zainuddin Ali, Metode Penelitian HukuM, Edisi I cet Ke 6; Jakarta Sinar Grafika,
2015,HLM 106.
12

BABII Tinjauan Umum, berisikan tinjauan umum tentang pendapat ulama

tentang penambahan kalimat sayyidina dalam sholat yang terjadi di

dikalangan masyakat muslim serta pandangan umum terhadap penambahan

kalimat sayyidina dalam sholat.

BABIII Pembahasan, berisi tentang pembahasan mengenai perbandingan dan

perbedaan pendapat ulama Syafi’i, dan ulama Hambali tentang penambahan

kalimat sayyidina dalam sholawat Ketika sholat.

BAB IV Penutup, bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi ini

yang berisi kesimpulan dan saran.


13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sayyid

Pengertian kata sayyid menurut bahasa, sayyid dalam bahasa arab ‫ سيد‬dan

jamaknya ‫ سادة‬yang secara harfia berarti (Tuan) atau pemimpin atau raja, atau

atau junjungan. Sedangkan menurut istilah, seperti yang dituturkan oleh

KH.Sya’roni Ahmadi yaitu merupakan lafadz Kulli Mustarok, yaitu kata yang

mempunyai makna lebih dari satu arti.

KH.Sya’roni Ahmadi juga menjelaskan bahwa sayyid ini mempunyai

tiga arti. Hal yang mengacu pada beberapa sumber:

1. As-Sayyid yang bermakna tuhan sebagaimana disebutkan dalam

hadist Bukhori Muslim, ‫ السيد هللا‬. Tuhan itu Allah. Kalau seorang

mengucapkan “Sayyidina Muhammad” dengan maksud memakai

makna tuhan “Tuhan itu Muhammad” maka yang mengatakan

demikian jelas kufur.

2. As-Sayyid yang mempunyai arti suami sebagai mana yang

disebutkan dalam Al-Qur’an suroh Yusuf; 25

‫واستبقا الباب وقدت قميصه من دبر والفيا سيدها للدى الباب واالية‬

Artinya; Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan


wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak
dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu dimuka pintu.

Pada ayat ini tidak bisa dimaknai sebagai raja atau Tuhan,

namun mempunyai makna “suami”. Antara makna yang pertama dan

kedua ini telah jelas ada perbedaannya. Memakai lafadz sayyid pada

Nabi Muhammad dengan maksud sebagai suami salah.

13
14

3. As-Sayyid yang mempunyai arti pemimpin sebagai mana disebutkan

didalam Al-Qur’an suroh Al-Imron; 39, yang artinya kemudia

malaikat Jibril memanggil Zakaria.

Sebagian orang membid’ahkan panggilan Sayyidina didepan

nama Nabi Muhammad dengan alasan bahwa Rasulallah Shallallahu

‘Alaihi wa Sallam sendiri yang menganjurkan kepada kita tanpa

mengagung-agungkan dimuka nama beliau Shallallahu ‘Alaihi wa

Sallam. Memang golongan ini mudah sekali membid’ahkan sesuatu

amalan tanpa melihat motif makna yang dimaksud bid’ah itu apa.

Selanjutnya kita rujuk ayat-ayat Ilahi dan hadits-hadits Rasulallah

Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. yang berkaitan dengan kata-kata

sayyid.

Syeikh Muhammad Sulaiman Faraj mengatakan:

“Menyebut nama Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan


tambahan kata Sayyidina (junjungan kita) didepannya merupakan suatu
keharusan bagi setiap muslim yang mencintai beliau Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Sebab kata tersebut menunjukkan kemuliaan martabat dan ketinggian
kedudukan beliau”.11

Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan ummat Islam supaya

menjunjung tinggi martabat Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

menghormati dan memuliakan beliau, bahkan melarang kita memanggil atau

menyebut nama beliau dengan cara sebagaimana kita menyebut nama orang

diantara sesama kita. Larangan tersebut tidak berarti lain kecuali untuk

menjaga kehormatan dan kemuliaan Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

11
Syeikh Muhammad Sulaiman Faraj.Dala’ilul-Mahabbah Wa Ta’dzimul-Maqam Fis-
Shalati Was-Salam ‘AN Sayyidil-Anam.
15

7 ۡ َ‫ َو ٗاذ ۚا فَ ۡلي‬7 ِ‫سلَّلُونَ ِمن ُكمۡ ل‬


َ‫ح َذ ِر ٱلَّ ِذين‬ َ َ‫ض ۚا قَ ۡد يَ ۡعلَ ُم ٱهَّلل ُ ٱلَّ ِذينَ يَت‬
ٗ ‫ض ُكم بَ ۡع‬
ِ ‫ول بَ ۡينَ ُكمۡ َك ُدعَٓا ِء بَ ۡع‬
ِ ‫س‬ُ ‫اَّل ت َۡج َعلُو ْا ُدعَٓا َء ٱل َّر‬

٦٣ ‫اب َألِي ٌم‬ ِ ُ‫صيبَ ُهمۡ فِ ۡتنَةٌ َأ ۡو ي‬


ٌ ‫صيبَ ُهمۡ َع َذ‬ ِ ُ‫يُ َخالِفُونَ ع َۡن َأمۡ ِر ِٓۦه َأن ت‬

Artinya: Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti


panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya
Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara
kamu dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang
yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab
yang pedih.12

Dalam tafsirnya mengenai ayat diatas ini Ash-Shawi mengatakan: Makna

ayat itu ialah janganlah kalian memanggil atau menyebut nama Rasulallah

Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam cukup dengan nama beliau saja, seperti Hai

Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai Abul Qasim.

Hendaklah kalian menyebut namanya atau memanggilnya dengan penuh

hormat, dengan menyebut kemuliaan dan keagungannya. Demikianlah yang

dimaksud oleh ayat tersebut diatas.

Jadi, tidak patut bagi kita menyebut nama beliau tanpa menunjukkan

penghormatan dan pemuliaan kita kepada beliau, baik dikala beliau masih

hidup didunia maupun setelah beliau kembali keharibaan Allah swt. Yang

sudah jelas ialah bahwa orang yang tidak mengindahkan ayat tersebut berarti

tidak mengindahkan larangan Allah dalam Al-Qur’an. Sikap demikian

bukanlah sikap orang beriman.

Menurut Ibnu Jarir, dalam menafsirkan ayat tersebut Qatadah

mengatakan: Dengan ayat itu (An-Nur:63) Allah memerintahkan ummat Islam

supaya memuliakan dan mengagungkan Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi wa

Sallam.

12
QS. An-Nur: 63
16

Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbathit-Tanzil Imam Suyuthi mengatakan:

“Dengan turunnya ayat tersebut Allah melarang ummat Islam menyebut beliau

atau memanggil beliau hanya dengan namanya, tetapi harus menyebut atau

memanggil beliau dengan Ya Rasulallah atau Ya Nabiyullah. Menurut

kenyataan sebutan atau panggilan demikian itu tetap berlaku, kendati beliau

telah wafat”.13

Dalam kitab Fathul-Bari syarh Shahihil Bukhori juga terdapat penegasan

seperti tersebut diatas, dengan tambahan keterangan sebuah riwayat berasal

dari Ibnu ‘Abbas RA yang diriwayatkan oleh Ad-Dhahhak, bahwa sebelum

ayat tersebut turun kaum Muslimin memanggil Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi

wa Sallam hanya dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai Abul-Qasim dan

lain sebagainya. Dengan menurunkan ayat itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala

melarang mereka menyebut atau memanggil Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi wa

Sallam dengan ucapan-ucapan tadi. Mereka kemudian menggantinya dengan

kata-kata: Ya Rasulallah dan Ya Nabiyullah.

Hampir seluruh ulama Islam dan para ahli Fiqih berbagai madzhab

mempunyai pendapat yang sama mengenai soal tersebut, yaitu bahwa mereka

semuanya melarang orang menggunakan sebutan atau panggilan sebagaimana

yang dilakukan orang sebelum ayat tersebut diatas turun.

Didalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan

makna tersebut diatas. Antara lain firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam

surat Al-A’raf: 157 ; Al-Fath: 8-9, Al-Insyirah: 4, dan lain sebagainya. Dalam

ayat-ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’alamemuji kaum muslimin yang

bersikap hormat dan memuliakan Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi wa


13
Imam Suyuuthi. Al-Iklil Fi Istinbathit-Tanzil.
17

Sallambahkan menyebut mereka sebagai orang-orang yang beruntung. Juga

firman Allah Subhanahu Wa Ta’alamengajarkan kepada kita tatakrama yang

mana dalam firman-Nya tidak pernah memanggil atau menyebut Rasul-Nya

dengan kalimat Hai Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan kalimat Hai

Rasul atau Hai Nabi.

Firman-firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala tersebut cukup gamblang dan

jelas membuktikan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengangkat dan

menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak disebut sayyidina atau

junjungan kita Muhammad Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Menyebut

nama beliau tanpa diawali dengan kata yang menunjukkan penghormatan,

seperti “sayyidina” tidak sesuai dengan pengagungan yang selayaknya kepada

kedudukan dan martabat beliau.

Allah Subhanahu Wa Ta’alamenyebut Nabi Yahya AS dengan predikat

“sayyid” :“Allah memberi kabar gembira kepadamu (Hai Zakariya) akan

kelahiran seorang puteramu, Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang

dari) Allah, seorang sayyid (terkemuka, panutan), (sanggup) menahan diri (dari

hawa nafsu) dan Nabi dari keturunan orang-orang sholeh”.

Para penghuni neraka pun menyebut orang-orang yang menjerumuskan

mereka dengan istilah saadat (jamak dari kata sayyid), yang berarti para

pemimpin. Penyesalan mereka dilukiskan Allah Subhanahu Wa Ta’aladalam

firman-Nya:

٦٧ ۠ ‫سبِياَل‬ َ ‫سا َدتَنَا َو ُكبَ َرٓا َءنَا فََأ‬


َّ ‫ضلُّونَا ٱل‬ َ ‫َوقَالُو ْا َربَّنَٓا ِإنَّٓا َأطَ ۡعنَا‬
18

Artinya: Dan mereka berkata;:"Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami


telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar Kami, lalu
mereka menyesatkan Kami dari jalan (yang benar).14

Juga seorang suami dapat disebut dengan kata “sayyid”, sebagaimana

yang terdapat dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

ِ ۚ ‫سيِّ َدهَا لَدَا ۡٱلبَا‬


ُ ‫ب قَالَ ۡت َما َجزَ ٓا ُء َم ۡن َأ َرا َد بَِأ ۡهلِ َك‬
‫س ٓو ًءا‬ َ ‫صهۥُ ِمن ُدبُ ٖر َوَأ ۡلفَيَا‬ َ َ‫ٱستَبَقَا ۡٱلب‬
َ ‫اب َوقَد َّۡت قَ ِمي‬ ۡ ‫َو‬

٢٥ ‫يم‬ٞ ِ‫اب َأل‬


ٌ ‫ِإٓاَّل َأن يُ ۡس َجنَ َأ ۡو َع َذ‬

Artinya: Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu


menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan Kedua-duanya
mendapati suami wanita itu di muka pintu. wanita itu berkata: “Apakah
pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu,
selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?”15

Jadi kalau kata “sayyid” itu dapat digunakan untuk menyebut Nabi

Yahya putera Zakariya, dapat digunakan untuk menyebut Raja Mesir, bahkan

dapat juga digunakan untuk menyebut pemimpin yang semuanya itu menunjuk

kan kedudukan seseorang, alasan apa yang dapat digunakan untuk menolak

sebutan “sayyid” bagi junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa

Sallam.

Mengapa orang yang menyebut nama seorang pejabat tinggi

pemerintahan, kepada para presiden, para raja atau menteri, atau kepada diri

seseorang dengan awalan ‘Yang Mulia’ tidak dituduh berbuat bid’ah? Tidak

salah kalau ada orang yang mengatakan, bahwa sikap menolak penggunaan

kata “sayyid” untuk mengawali penyebutan nama Rasulallah Shallallahu

‘Alaihi wa Sallamitu sesungguhnya dari pikiran meremehkan kedudukan dan

martabat beliau Shallallahu ‘Alaihi wa SallamAtau sekurang-kurang hendak

menyamakan kedudukan dan martabat Beliau dengan manusia awam/biasa.


14
QS Al-Ahzab: 67
15
QS. Yusuf: 25
19

Banyak hadits-hadits shohih yang menggunakan kata sayyid, beberapa

diantaranya ialah:

“Setiap anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi
isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah bagi keluarganya (rumah
tangga nya)”.16

Jadi kalau setiap anak Adam saja dapat disebut “sayyid”, apakah anak

Adam yang paling tinggi martabatnya dan paling mulia kedudukannya disisi

Allah yaitu junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

tidak boleh disebut “sayyid” ?

Hadits riwayat Imam Bukhori, Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi wa


Sallambersabda: “Janganlah kalian berkata (kepada seorang budak kepada
majikannya), 'beri makan Rabb mu, wudhu kan Rabb mu, tapi ucapkanlah
Sayyidi dan Maulaya (tuanku dan Junjunganku)', dan jangan pula kalian (para
pemilik budak) berkata pada mereka,'wahai Hambaku, tapi ucapkanlah :
wahai anak, wahai pembantu”.17

Bagaimana tercelanya orang yang berani membid’ahkan penyebutan

“sayyidina” dimuka nama beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Yang lebih

aneh lagi sekarang banyak diantara golongan pengingkar ini sendiri yang

memanggil nama satu sama lain diawali dengan “sayyid” atau minta juga agar

mereka dipanggil “sayyid” dimuka nama mereka ! Begitu juga orang yang

ekstrim ini, bila duduk disatu majlis kemudian datang seorang ulama dimajlis

tersebut, mereka ini sampai-sampai berani mengharamkan orang untuk berdiri

tanda penghormatan kepada ulama ini. Padahal banyak contoh dalam hadits

antara lain yang telah kami kemukakan, para sahabat berdiri untuk para

pemimpinnya atau untuk orang yang dipandang mulia oleh mereka. Berdiri

untuk penghormatan itu bukan suatu yang wajib tetapi tata krama yang

16
HR Bukhori dan Adz-Dzahabi
17
Shahih Bukhari hadits no. 2414 hadits semakna dalam Shahih Muslim hadits no. 2249
20

diajarkan oleh Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, untuk seorang yang

berilmu atau para auliya sholihin. Sekali lagi untuk mengharamkan sesuatu itu

harus ada dalilnya yg jelas dan tegas masalah tersebut.

B. Shalat

Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah

mukallaf dan harus dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam perjalanan.

Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas

lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa

mendirikan shalat, maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa

meninggalkan shalat,maka ia meruntuhkan agama (Islam). Shalat harus

didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, berjumlah 17 rakaat.

Shalat tersebut merupakan wajib (maktubah) yang harus dilaksanakan tanpa

kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit. Selain shalat

wajib ada juga shalat – shalat sunah. Untuk membatasi bahasan penulisan

dalam permasalahan ini, maka penulis hanya membahas tentang shalat wajib

(maktubah) kaitannya dengan kehidupan sehari – hari.

1. Pengertian sholat, menurut bahasa shalat berarti do’a dan secara

terminology atau istilah, para ahli fiqih mengartikan secara lahir dan

hakiki. Secara lahiriah shalat berarti beberapa ucapan dan perbuatan

yang dimulai dengan takbirdan diakhiri dengan salam, yang dengannya

kita beribadah kepada Allah menurut syarat– syarat yang telah

ditentukan18.

18
Sidi Gazalba, Asas Agama Islam, (Jakarta:Bulan BIntang, 1975), 88.
21

Adapun secara hakikinya ialah “berhadapan hati (jiwa) kepada Allah,

secara yang mendatangkan takut kepada-Nya serta menumbuhkan

didalamjiwa rasa kebesarannya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya ”atau“

mendahirkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan

perkataan dan pekerjaan atau dengan kedua – duanya 19”Dalam pengertian lain

shalat ialah salah satu sarana komunikasi antarahamba dengan Tuhannya

sebagai bentuk, ibadah yang didalamnya merupakan amalan yang tersusun

dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ikhram

dan diakhiri dengan salam, sertasesuai dengan syarat dan rukun yang telah

ditentukan syara’20.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa shalat adalah

merupakan ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang

diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun

yang telah ditentukan syara”. Juga shalat merupakan penyerahan diri (lahir dan

bathin) kepada Allah dalam rangka ibadah dan memohon ridhoNya.

2. Dalil–Dalil Tentang Kewajiban Shalat

a. Al-Baqarah: 43

Allah SWT berfirman:

َ‫َواَقِ ْي ُموا الص َّٰلوةَ َو ٰاتُوا ال َّز ٰكوةَ َوارْ َكعُوْ ا َم َع الرَّا ِك ِع ْين‬

Artinya: ”Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan


rukulah beserta orang – orang yang ruku.”21

19
Hasby Ash-Sidiqy, Pedoman Sholat, (Jakarta:Bulan Bintang, 1976), 59.
20
Imam Bukhori Assuyuti, Bimbingan Sholat Lengkap, (Jakarta: Mitra Umat, 1998), 30.
21
Tim Penyusun Al-Quran, Al-quran dan Terjemahnya Juz 1-15, (Kudus: Mubarokatan
Thoyyibah,tt), 7.
22

b. Al-Baqarah: 110

Allah berfiman:

ۗ ِ ‫َواَقِ ْي ُموا الص َّٰلوةَ َو ٰاتُوا ال َّز ٰكوةَ ۗ َو َما تُقَ ِّد ُموْ ا اِل َ ْنفُ ِس ُك ْم ِّم ْن َخي ٍْر ت َِج ُدوْ هُ ِع ْن َد هّٰللا‬
‫هّٰللا‬
ِ َ‫اِ َّن َ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ ب‬
‫ص ْي ٌر‬

Artinya : “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan


apa – apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu
kamu akan dapatpahalanya pada sisi Allah sesungguhnya Allah
maha melihat apa–apa yang kamu kerjakan”22.

c. Al –Ankabut : 45
‫اِ َّن الص َّٰلوةَ تَ ْن ٰهى ع َِن ْالفَحْ َش ۤا ِء َو ْال ُم ْن َك ِر‬
Artinya:”Kerjakanlah sholat, sesungguhnya sholat itu bisa
mencegah perbuatan keji dan mungkar”23

d. An- Nur: 56

َ‫َواَقِ ْي ُموا الص َّٰلوةَ َو ٰاتُوا ال َّز ٰكوةَ َواَ ِط ْيعُوا ال َّرسُوْ َل لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُموْ ن‬

Artinya: “Dan kerjakanlah sholat, berikanlah zakat, dan taat


kepada Rasul,agar supaya kalian semua diberi rahmat”24.

Dari semua dalil Al-Qur’an di atas ada kata-kata perintah shalat dengan

perkataan “laksanakanlah” tetapi semuanya dengan perkataan “dirikanlah”.

Dari unsur kata-kata melaksanakan itu tidak mengandung unsur batiniah

sehingga banyak mereka yang Islam dan melaksanakan shalat, tetapi mereka

masih berbuat keji dan mungkar. Sementara kata mendirikan selain

mengandung unsur lahir juga mengandung unsur bathiniah sehingga apabila

shalat telah mereka dirikan, maka mereka tidak akan berbuat jahat.

22
Tim Penyusun Al-Quran, Al-quran dan Terjemahnya Juz 1-15, 17.
23
Tim Penyusun Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya Juz 16-30, 401.
24
Tim Penyusun Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya Juz 16-30, 401.
23

C. Shalawat

1. Pengertian Shalawat

Menurut Mahmud Yunus dalam kamus Arab Indonesia yang dikutip

oleh Adrika Fithrotul Aini, menyatakan bahwa;‘’Shalawat berasal dari

kata Shalat dan bentuk jama’nya menjadi shalawat yang berarti doa

untuk mengingat Allah secara terus-menerus.’’ Senada dengan, Wildana

Warga dinata dalam bukunya Spiritualitas Salawat menyatakan bahwa;

Pengertian salawat menurut arti bahasa adalah doa, sedangkan

menurut Istilah, sholawat adalah: sholawat Allah kepada Rasulullah,

berupa rahmat dan kemuliaan (rahmat ta’dhim). Salawat dari malaikat

kepada Nabi. Berupa permohonan rahmat dan kemuliaan kepada Allah.

Untuk Nabi Muhammad, sementara salawat dari selain Nabi berupa

permohonan rahmat dan ampunan. Shalawat orang-orang beriman

(manusia dan jin) adalah permohonan rahmat dan kemuliaan kepada

Allah untuk Nabi,

Yang dimaksud dengan shalawat di sini adalah shalawat yang

diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits

beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih (yang biasa dibaca oleh

kaum muslimin dalam shalat mereka ketika tasyahhud), bukan shalawat-

shalawat bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang yang datang

belakangan, seperti shalawat nariyah, badriyah, barzanji dan shalawat-

shalawat bid’ah lainnya. Karena shalawat adalah ibadah, maka syarat


24

diterimanya harus ikhlas karena Allah Ta’ala semata dan sesuai dengan

tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.25

Makna shalawat kepada nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah

meminta kepada Allah Ta’ala agar Dia memuji dan mengagungkan

beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan akhirat, di dunia dengan

memuliakan peneyebutan (nama) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

memenangkan agama dan mengokohkan syariat Islam yang beliau bawa.

Dan di akhirat dengan melipatgandakan pahala kebaikan beliau

Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memudahkan syafa’at beliau kepada

umatnya dan menampakkan keutamaan beliau pada hari kiamat di

hadapan seluruh makhluk.26

Seperti Allahumma salli‘ala sayyidina Muhammad.27

Dengan demikian, shalawat merupakan pujian atau kemuliaan

kepada Nabi Muhammad Saw, yang siapa seperti halnya doa atau dzikir

kepada AllahSWT. Shalawat, jika datangnya dari Allah kepada-Nya,

bermakna rahmat dan keridhaan. Jika dari para malaikat, berarti

permohonan ampun. Danbila dari umatnya, bermakna sanjungan dan

pengharapan, agar rahmat dan keridhaan Tuhan dikekalkan.

Artinya;‘’Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya


bershalawa tuntuk Nabi Hai orang-orangyangberiman,bershalawatlah
kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.
‘’(Q.S. Al-Ahzab; 56).28

Betapa mulianya Nabi Muhammad Saw, bahkan Allah Swt dan para

malaikatnya juga bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Ayat diatas


25
syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Fadha-ilush shalaati wassalaam, hal. 3-4
26
Fathul Baari hal; 11/156
27

28
Q.S. Al-Ahzab; 56
25

menunjukkan betapa isimewa-nya Nabi Muhammad Saw, sehingga kita

sebagai kaum beriman juga diwajibkan untuk bershalawat kepada Nabi

Muhammad Saw. Sebagai rasa syukur sebagai Nabi pencerah bagi

seluruh Manusia dan rahmat sebagian Alam Takada nabi dan rasul

sebelum Nabi Muhammad Saw, yang dinyatakan sebagai perwujudan

kasih sayang (rahmat) Allah Swt kepada umat manusia sejagad, bahkan

bagi seisi alam semesta. Sebagaimana dalam firman Allah dalam QS.An-

Anbiyaaaya 107, yang berbunyi;

‫س ْل ٰن َك اِاَّل َر ْح َمةً لِّ ْل ٰعلَ ِم ْين‬


َ ‫َو َمٓا اَ ْر‬

Artinya: Dan Tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad),


melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Q.S Al-
Anbiya:107).29

Dari ayat diatas, Memuji Nabi Muhammad bukanlah menganggap

beliau sebagai Tuhan. Menyanjung Rasulullah adalah mengakui

Muhammad Saw sebagai manusia pilihan. Luas jangkuan dan cakupan

pernyataan rahmat tersebut tidak dibatasi oleh lingkaran sejarah dan

pergantian umat manusia dimuka bumi, karena dalam pernyataan

tersebut, Allah Swt tidak menyebut beliau sebagai rahmat bagi manusia

di Semenanjung Arabia, di Barat, atau Timur, dan tidak pula menyebut

beliau sebagai rahmat dibenua Asia, Afrika, atau bagian bumi manapun

juga. Beliau Nabi Muhammad Saw dinyatakan sebagai rahmat bagi alam

semesta.

Shalawat kepada Nabi memiliki dua bentuk, yaitu shalawat

ma’surat dan shalawat ghairu ma’surat .shalawat ma’surat adalah

29
Q.S Al-Anbiya:107
26

shalawat yang redaksinya langsung diajarkan oleh Nabi Saw, seperti

shalawat yang dibaca dalam dalam tasyahud akhir dalam shalat.

Sedangkan shalawat ghairu ma’surat adalah shalawat yang disusun oleh

selain Nabi Saw, yakni para sahabat, tabi’in, auliya’, atau yang lainnya

dikalangan umat Islam. Susunan shalawat ini mengepresikan

permohonan, pujian, dan sanjungan yang disusun dalam bentuk syair.

Dengan pengertian diatas, shalawat dapat dibedakan dua hal;yang

pertama, langsung dari Nabi Muhammad Saw, sendiri dan yang kedua

dari dari buatan manusia, yang berupa syair, sastra, dan karya lainnya.

Yang utamanya tak lain adalah sanjungan kepada Nabi Muhammad Saw,

sebagai rasa wujud cinta dan syukur terhadap Allah Swt yang telah

menciptakan Rasullullah Saw, sebagai makhluk pilihan dan penerang

bagi dunia dari suri teladannya.


27

BAB III

PEMBAHASAN

A. Pendapaat ulama mazhab Syafi’i dan dan ulama mazhab Hambali

tentang hukum menambahkan kalimat sayyidina didalam sholawat

ketika sholat.

Mengucap kata "Sayyidina" ketika menyebut nama Nabi Muhammad

SAW atau ketika bershalawat diluar sholat maupun didalam sholat sering

menjadi pertanyaan di kalangan ummat islam.

Dan salah satu hal yang sejak dahulu sampai saat ini menjadi perdebatan

dikalangan ummat islam adalah penambahan kata sayyidina yang bisa diartikan

sebagai tuan atau baginda dalam bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW

atau dalam menuturkan nama mulia beliau didalam sholawat ketika

sholat.Sebagian kaum muslimin enggan menambahkan kata Sayyidina didepan

nama Nabi Muhammad SAW dan sebagian yang lebih suka menambahkan kata

sayyidina sebelum mengucapkan nama Nabi Muhammad SAW.

1) Pendapat ulama mazhab syafi’i tentang hukum menambah kalimat

sayyidina didalam sholawat ketika sholat

Syekh Ibrahim bin Muhammad Al Bajuri menyatakan bahwa yang

"lebih utama" adalah mengucapkan Sayyidina sebelum nama Nabi

Muhammad Saw. Shallallahu Alaihi Wasallam. Karena mengucapkan

Sayyidina merupakan adab serta sopan santun kita kepada keagungan

Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.30

30
Syekh Ibrahim bin Muhammad Al Bajuri, Hasyiyah Al Bajuri Juz 1, 156

27
28

Pendapat ini didasarkan pada hadist Nabi Shallallahu Alaihi

Wasallam. Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, ia berkata bahwasanya

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :

‫حدثني الحكم بن موسى ابو صالح حدثنا هقل يعني ابن زياد عن االزاعي ابو عمار‬

‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم انا‬: ‫ حدثني ابو هريرة قال‬E‫حدثني عبد هللا فروخ‬

‫ عنه القبر واول شا فع واول مشفع‬E‫سيد ولد ادم يوم القيام واول من ينشق‬

"Saya Gusti (penghulu) anak Adam pada hari kiamat, orang


pertama yang bangkit dari kuburan, orang yang pertama memberikan
syafaat dan orang yang pertama kali diberi hak untuk memberikan
syafa’at".31

Hadist ini menyatakan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi

Wasallam menjadiSayyid di akhirat. Namun, perlu kami tegaskan lagi,

bukan berarti Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam hanya

menjadi Sayyid pada hari kiamat saja. Bahkan beliau menjadi tuan

(Sayyid) manusia di dunia dan akhirat.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyid Muhammad bin 'Alawi

al-Maliki al-Hasani dalam kitabnya Manhaj Salaf fi Fahm al-Nusush bain

al-Nazhariyyah wa al-Tathbiq :

"Kata "Sayyidina" ini tidak hanya tertentu untuk Nabi Muhammad


shallallahu alaihi wasallam di hari kiamat saja, sebagaimana yang telah
dipahami oleh sebagian orang dari beberapa riwayat hadits : "Saya
adalah Sayyid-nya anak cucu Adam di hari kiamat" tapi Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wasallam menjadi Sayyid keturunan Adam di dunia
dan akhirat".32

Hal ini sebagai indikasi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi

Wasallam memperbolehkan memanggil beliau dengan Sayyidina. Karena

31
Sayyid Muhammad bin 'Alawi al-Maliki al-Hasani, Manhaj Salaf fi Fahm al-Nusush
bain al-Nazhariyyah wa al-Tathbiq 
32
Ibid,
29

memang kenyataannya begitu. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi

Wasallam sebagai junjungan kita umat manusia yang harus kita hormati

sepanjang masa.

Sayyid Muhammad bin 'Alawi al-Maliki al-Hasani menambahkan,

setidaknya ada empat alasan untuk menolak pendapat yang melarang

pengucapan Sayyidina ketika membaca shalawat kepada Nabi Saw:

1. Tidak ada keterangan secara jelas dan tegas baik dalam Alquran

Hadis maupun mazhab 4 (Maliki, Hanafi, Syafi'i, dan Hambali)

yang mengatakan bahwa mengucapkan lafadz Sayyidina itu

membatalkan salat.

2. Orang yang mengatakan "batal" tidak pernah memberikan dasar

dan dalil hukumnya. Jadi hanya omong kosong belaka.

3. 3 Imam mazhab yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam

Syafi'i sepakat tentang disyariatkannya menambah kata Sayyidina

ketika membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu

Alaihi Wasallam, sebagai penghormatan dan sopan santun kepada

beliau.

4. Banyak ulama-ulama Salaf yang mengatakan bahwa hadits yang

dijadikan acuan oleh mereka (yang menolak/melarang) itu adalah

batal, dalil palsu, atau hadits yang tidak berasal dari sabda Nabi

Saw, seperti syehk Ibrahim bin Muhammad (Pengarang Bajuri),

Syehk al-Bakri bin Muhammad (Pengarang I'anah al-Thalibin),

Syehk Wahab al-Zuhaili (Fiqih Islam), dan masih banyak lagi.


30

Syekh As-Sakhawi berkomentar bahwa membaca shalawat dengan

menambah kata “sayyidinâ” sebenarnya juga perintah berdasarkan dalil-

dalil yang telah disebutkan. Apalagi ada sebuah ungkapan populer Sahabat

Ibnu Mas’ud r.a., “Hiasilah shalawat kalian kepada Nabi kalian”. Imam

Ibnu Hajar dan Ar-Ramli juga sependapat mengenai disunnahkannya

penambahan kata “sayyidinâ”, baik di dalam shalat maupun di luar

shalat.33

Syekh Muhammad al-Fasi dalam bukunya, komentar atas Dalâ`il al-

Khairât, mengatakan, boleh menambah kata “sayyidinâ”, “maulânâ” dan

yang sejenis atau kata yang mengindikasikan makna “mengagungkan dan

memuliakan” Nabi Saw. Hanya saja jika berkaitan dengan ibadah, shalat

misalnya, maka harus mengikuti instruksi riwayat hadis. Imam al-Barzali

mengatakan bahwa tak ada perselisihan pendapat tentang kebolehan apa

saja yang mengindikasikan makna mengagungkan dan memuliakan bagi

Nabi Saw., dengan memakai kata apa pun.34

Dengan demikian bahwa membaca Sayyidina ketika membaca

shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam boleh-

boleh saja.Bahkan dianjurkan. Demikian pula melafalkan Sayyidina ketika

tasyahud di dalam shalat.

Mazhab Hanafi dan Syafi’i: Dianjurkan mengucapkan Sayyidina

pada Shalawat Ibrahimiyah, karena memberikan tambahan pada riwayat

adalah salah satu bentuk adab, maka lebih utama dilakukandaripada

33
https://alif.id/read/mbi/menambahkan-kata-sayyidina-di-depan-muhammad-
b227019p/
34
https://alif.id/read/mbi/menambahkan-kata-sayyidina-di-depan-muhammad-
b227019p/
31

ditinggalkan. Maka shalawat yang sempurna untuk nabi dan keluarganya

adalah:

‫ كما صليت على سيدنا إبراهيم‬،‫اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد‬

‫ كما باركت على سيدنا‬،‫ وبارك على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد‬،‫وعلى آل سيدناإبراهيم‬

‫ إنك حميد مجيد‬،‫ وعلى آل سيدناإبراهيم في العالمين‬،‫إبراهيم‬35

Beberapa dalil menyebut Sayyidina sebelum nama Rasulullah Saw:

Memanggil nabi tidaklah sama seperti menyebut nama orang biasa,

demikian disebutkan Allah Swt:

‫ض ۚا‬
ٗ ‫ بَ ۡع‬E‫ض ُكم‬ ْ ُ‫اَّل ت َۡج َعل‬
ِ ‫وا ُدعَٓا َء ٱل َّرسُو ِل بَ ۡينَ ُكمۡ َك ُدعَٓا ِء بَ ۡع‬
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti
panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)”. (Qs. An-Nur
: 63).36

Ini adalah perintah dari Allah SWT, meskipun perintah inibukan

perintah yang mengandung makna wajib, akan tetapi minimal tidak kurang

dari sebuah anjuran, an mengucapkan Sayyidina Muhammad adalah salah

satu bentuk penghormatan dan memuliakan Nabi Muhammad SAW.

Allah SWT berfirman :


ۢ ‫ش ُر َك بي ۡحي ٰى م‬ ٓ
َ ‫ص ِّدقَا بِ َكلِ َم ٖة ِّمنَ ٱهَّلل ِ َو‬
‫سيِّدٗ ا‬ َ ُ َ َِ َ ُ‫م ي‬ٞ ‫فَنَاد َۡتهُ ۡٱل َم ٰلَِئ َكةُ َو ُه َو قَٓاِئ‬
ِ ‫صلِّي فِي ۡٱل ِم ۡح َرا‬
ِّ َ‫ب َأنَّ ٱهَّلل َ يُب‬

َّ ٰ ‫ورا َونَبِ ٗيّا ِّمنَ ٱل‬


َ‫صلِ ِحين‬ ٗ ‫ص‬
ُ ‫َو َح‬

“Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran


(seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang)
dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu)”. (Qs. Al
‘Imran : 39).

35
Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu: 2/94.
36
Qs. An-Nur : 63
32

Jika untuk nabi Yahya as digunakan kata sayyidmengapa tidak boleh

digunakan untuk Nabi Muhammad Saw yang Ulul’Azmi dan memiliki

keutamaan lainnya.

Adh-Dhahhak berkata dari Ibnu Abbas, “Mereka mengatakan,

‘Wahai Muhammad’, dan ‘WahaiAbu al-Qasim’. Maka Allah melarang

mereka mengatakan itu untuk mengagungkan nabi-Nya”. Demikian uga

yang dikatakan oleh Mujahid dan Sa’id bin Jubair. Qatadah berkata,

“Allah memerintahkan agarmenghormati nabi-Nya, agar memuliakan dan

mengagungkannya serta menggunakan kata Sayyidina”.

Muqatil mengucapkan kalimat yang sama. Imam Malik berkata dari

Zaid bin Aslam, “Allah memerintahkan mereka agar memuliakan Nabi

Muhammad SAW”

Adapun beberapa dalil dari hadits, dalam hadits berikut ini

Rasulullah SAW menyebut dirinya dengan lafaz Sayyid di dunia, beliau

juga mengingatkan akan kepemimpinannya di akhirat kelak dengan

keterangan yang jelas sehingga tidak perlu penakwilan, berikut ini

kutipannya:

a) Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW bersabda,

‫َأنَا َسيِّ ُد َولَ ِد آ َد َم يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة‬

“Aku adalah Sayyid (pemimpin) anak cucu (keturunan) Adam


pada hari kiamat”37

Dalam riwayat lain dari Abu Sa’id Al Khudri dengan tambahan,

‫َواَل فَ ْخ َر‬

“Bukan keangkuhan”
37
HR. Muslim (5899), Abu Daud (4673) dan Ahmad (2/540).
33

Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah,

‫اس يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة‬


ِ َّ‫َأنَا َسيِّ ُد الن‬
“Aku adalah pemimpin manusia pada hari kiamat”. (HR. al-

Bukhari, Muslim at-Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, asy-Syama’il,

Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid, hal.242-244,

Ibnu Hibban, al-Baghawi (4332), an-Nasa’i dalam al-Kubra).

Riwayat Kedua:

Dari Sahl bin Hunaif, ia berkata, “Kami melewati aliran air,

kami masuk dan mandi di dalamnya, aku keluar dalam keadaan

demam, hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau

berkata, ‘Perintahkanlah Abu Tsabit agar memohon perlindungan’.

Maka aku katakan,

‫ َأوْ لَ ْد َغ ٍة‬،‫ َأوْ ُح َم ٍة‬،‫س‬


ٍ ‫ اَل ُر ْقيَةَ ِإاَّل فِي نَ ْف‬:‫صالِ َحةٌ؟ قَا َل‬
َ ‫يَا َسيِّ ِدي َوالرُّ قَى‬

‘Wahai tuanku, ruqyah itu baik’. Beliau menjawab, ‘Tidak ada


ruqyah kecuali pada jiwa atau demam panas atau sengatan
(binatang berbisa)’.38

Dalam hadits ini Sahl bin Hunaif memanggil Rasulullah SAW

dengan sebutan Sayyidi dan Rasulullah Saw tidak mengingkarinya.

Ini adalah dalil pengakuan dari Rasulullah Saw. Tidak mungkin

Rasulullah SAW mengakui suatu perbuatan shahabat yang

bertentangan dengan syariat Islam.

38
HR. Ahmad (3/486), Abu Daud (3888), An-Nasa’i dalam ‘Amal Al Yaum wa Al-
Lailah (257), Al Hakim
(4/413), ia berkata, “Hadits shahih”, disetujui oleh Adz-Dzahabi.
34

Riwayat Ketiga:

Terdapat banyak riwayat yang shahih yang menyebutkan lafaz

Sayyidi yang diucapkan para shahabat. Diantaranya adalah hadits

yang diriwayatkan Aisyah dalam kisah kedatangan Sa’ad bin

Mu’adz. Rasulullah Saw berkata:

ُ‫م فََأ ْن َزلُوه‬Eْ ‫ ِإلَى َسيِّ ِد ُك‬E‫قُو ُموا‬


“Berdirilah kamu untuk (menyambut) pemimpin kamu”39

Al-Khaththabi berkata dalam penjelasan hadits ini, “Dari hadits

ini dapat diketahui bahwa  ucapan seseorang kepada sahabatnya,

“Ya sayyidi (wahai tuanku)” bukanlah larangan, jika ia memang

baik dan utama. Tidak boleh mengucapkan itu kepada seseorang

yang jahat”.

Riwayat Keempat:

Diriwayatkan dari Abu Bakarah, ia berkata, “Aku melihat

Rasulullah Saw, al-Hasan bin Ali berada di sampingnya, saat itu ia

menyambut beberapa orang, beliau berkata,

ِ ‫ِإ َّن ا ْبنِي هَ َذا َسيِّ ٌد َولَ َع َّل هَّللا َ َأ ْن يُصْ لِ َح بِ ِه بَ ْينَ فَِئتَي ِْن ع‬
َ‫َظي َمتَ ْي ِن ِمنَ ال ُم ْسلِ ِمين‬
“Sesungguhnya anakku ini adalah seorang pemimpin, semoga
dengannya Allah mendamaikan dua kelompok besar kaum
muslimin”. (HR. al-Bukhari).

Riwayat Kelima:

Umar bin al-Khaththab ra berkata;

َ َ‫ َوَأ ْعت‬،‫َأبُو بَ ْك ٍر َسيِّ ُدنَا‬


‫ق َسيِّ َدنَا يَ ْعنِي بِالَاًل‬

“Abu Bakar adalah pemimpin kami, ia telah membebaskan


pemimpin kami”, yang ia maksudkan adalah Bilal. (HR. al-
Bukhari).

39
HR. Al Bukhari (3043), Abu Daud (5215) dan Ahmad (3/22).
35

Riwayat Keenam:

Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan bahwa Ummu Ad-

Darda’ berkata,

ِ ‫ َد ْع َوةُ ْال َمرْ ِء ْال ُم ْسلِ ِم َأِل ِخي ِه بِظَه ِْر ْال َغ ْي‬ ‫َأبَو ال َّدرْ دَا ِء‬ ‫َح َّدثَنِي َسيِّ ِدي‬
ٌ‫ب ُم ْست ََجابَة‬

“Tuanku Abu Ad-Darda’ memberitahukan kepadaku, ia


berkata, “Rasulullah SAW bersabda, Doa seseorang untuk
saudaranya tanpa sepengetahuannya itu adalah doa yang
dikabulkan”.

Riwayat Ketujuh:

Rasulullah Saw bersabda,

‫ب َأ ْه ِل ْال َجنَّ ِة‬


ِ ‫ْال َح َسنُ َو ْال ُح َسيْنُ َسيِّدَا َشبَا‬

“Al-Hasan dan al-Husein adalah dua pemimpin pemuda


penghuni surga”. (HR. at-Tirmidzi, hadits hasan shahih).

Riwayat Kedelapan:

Rasulullah Saw bersabda,

َ‫الجنَّ ِة ِمنَ اَأل َّولِينَ َواآل ِخ ِرينَ َما خَ الَ النَّبِيِّين‬


َ ‫َأبُو بَ ْك ٍر َو ُع َم ُر َسيِّدَا ُكهُو ِل َأ ْه ِل‬

َ‫َوال ُمرْ َسلِين‬

“Abu Bakar dan Umar adalah dua pemimpin orang-orang


tua penghuni surga dari sejak manusia generasi awal hingga
terakhir, kecuali para nabi dan rasul”. (HR. at-Tirmidzi).

Riwayat Kesembilan:

Rasulullah Saw bersabda,

‫د فِي اآل ِخ َر ِة‬Eٌ ِّ‫ال َحلِي ُم َسيِّ ٌد فِي ال ُّد ْنيا و َسي‬

“Orang yang sabar itu menjadi pemimpin di dunia dan


akhirat”. (HR. as-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shaghir).

Riwayat Kesepuluh:

Rasulullah Saw berkata kepada Fathimah az-Zahra’ ra,


36

‫ َأوْ َسيِّ َدةَ نِ َسا ِء هَ ِذ ِه اُأْل َّم ِة‬، َ‫ض ْينَ َأ ْن تَ ُكونِي َسيِّ َدةَ نِ َسا ِء ْال ُمْؤ ِمنِين‬
ِ ْ‫َأ َما تَر‬

“Apakah engkau tidak mau menjadi pemimpin wanita


penduduk surga”. (HR. at-Tirmidzi).

Riwayat Kesebelas:

Al-Maqburi berkata, “ Kami bersama Abu Hurairah, kemudian


al-Hasan datang, ia mengucapkan salam, orang banyak
membalasnya, ia pun pergi, Abu Hurairah bersama kami, ia tidak
menyadari bahwa al-Hasan bin Ali datang, lalu dikatakan
kepadanya, “Ini adalah al-Hasan bin Ali mengucapkan salam”,
maka Abu Hurairah menjawab:
‫َو َعلَ ْيكَ يَا َسيِّ ِدي‬

“Keselamatan juga bagimu wahai tuanku”. Mereka berkata


kepada Abu Hurairah, “Engkau katakan ‘Wahai tuanku’?”. Abu
Hurairah menjawab,
َ ِ‫َأ ْشهَ ُد َأ َّن َرسُو َل هللا‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬

“Aku bersaksi bahwa Rasulullah Saw bersabda:


‫ِإنَّهُ َسيِّ ٌد‬

“ Ia Al Hasan bin Ali- adalah seorang pemimpin”

Kata Sayyid dan Sayyidah digunakan pada Fathimah, Sa’ad,

al-Hasan, al-Husein, Abu Bakar, Umar dan orang-orang yang sabar

secara mutlak, dengan demikian maka kita lebih utama untuk

menggunakannya.

Dari dalil-dalil diatas, maka jumhur ulama muta’akhkhirin dari

kalangan Ahlussunnah waljama’ah berpendapat bahwa boleh

hukumnya menggunakan lafaz Sayyid kepada Nabi Muhammad

Saw, bahkan sebagian ulama berpendapat hukumnya dianjurkan,

karena tidak ada dalil yang mengkhususkan dalil-dalil dan nash-

nash yang bersifat umum ini, oleh sebab itu maka dalil-dalil ini
37

tetap bersifat umum dan lafaz Sayyid digunakan di setiap waktu,

apakah di dalam shalat maupun di luar shalat.

Ibnu Umar menyebut:

‫ الحمد هلل وصلى هللا على‬:‫ ” أنه كان إذا دعى ليزوج قال‬:‫حديث ابن عمر‬

‫ إن فالنا يخطب إليكم فإن أنكحتموه فالحمد هلل وإن رددتموه‬, ‫سيدنا محمد‬

‫فسبحان هللا‬

Kisah tentang Ibnu Umar, jika Ibnu Umar diundang untuk


menikahkan, ia berkata, “Segala puji bagi Allah, shalawat untuk
Sayyidina Muhammad, sesungguhnya si fulan meminang kepada
kamu. Jika kamu nikahkan ia, maka Alhamdulillah. Jika kamu
menolaknya, maka subhanallah”.

2) Ucapan Sayyidina dalam Shalat.

Bagi orang yang sedang melaksanakan shalat, pada saat tasyahhud

dan pada saat membaca shalawat al-Ibrahimiah, dianjurkan agar

mengucapkan Sayyidina sebelum menyebut nama Nabi Muhammad Saw.

Maka dalam shalawat Al Ibrahimiah itu kita ucapan lafaz Sayyidina.

Karena sunnah tidak hanya diambil dari perbuatan Rasulullah Saw, akan

tetapi juga diambil dari ucapan beliau. Penggunaan kata Sayyidina

ditemukan dalam banyak hadits Nabi Muhammad Saw.

Ibnu Mas’ud memanggil beliau dalam bentuk shalawat, ia berkata,


“Jika kamu bershalawat kepada Rasulullah Saw, maka bershalawatlah
dengan baik, karena kamu tidak mengetahui mungkin shalawat itu
diperlihatkan kepadanya”.

Mereka berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Ajarkanlah kepada kami”.

Ibnu Mas’ud berkata, “Ucapkanlah:

‫ ُم َح َّم ٍد‬، َ‫ َو َخات َِم النَّبِيِّين‬، َ‫ َوِإ َم ِام ا ْل ُمتَّقِين‬، َ‫سلِين‬


َ ‫سيِّ ِد ا ْل ُم ْر‬
َ ‫ َوبَ َر َكاتِ َك َعلَى‬،َ‫ َو َر ْح َمتَك‬،‫صاَل تَ َك‬ ْ ‫اللَّ ُه َّم‬
َ ‫اج َع ْل‬

‫سولِ َك‬
ُ ‫َع ْب ِدكَ َو َر‬
38

“Ya Allah, jadikanlah shalawat, rahmat dan berkah-Mu untuk


pemimpin para rasul, imam orang-orang yang bertakwa, penutup para
nabi, Nabi Muhammad SAW hamba dan rasul-Mu”. (HR.Ibnu Majah).

Dalam kitab Ad-Durr al-Mukhtar disebutkan, ringkasannya,

“Dianjurkan mengucapkan lafaz Sayyidina, karena tambahan terhadap

pemberitahuan yang sebenarnya adalah inti dari adab dan sopan santun.

Dengan demikian maka menggunakan Sayyidina lebih afdhal daripada

tidak menggunakannya. Disebutkan juga oleh Imam ar-Ramli asy-Syafi’i

dalam kitab Syarhnya terhadap kitab al-Minhaj karya Imam Nawawi,

demikian juga disebutkan oleh para ulama lainnya.

Memberikan tambahan kata Sayyidina adalah sopan santun dan tata

krama kepada Rasulullah SAW. Allah berfirman,

“Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya,


menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan
kepadanya (al-Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung”.
(Qs. al-A’raf : 157).

Makna kata at-Ta’zir adalah memuliakan dan mengagungkan.

Dengan demikian maka penetapannya berdasarkan Sunnah dan sesuai

dengan isi kandungan al-Qur’an. Sebagian ulama berpendapat bahwa

adab dan sopan santun kepada Rasulullah Saw itu lebih baik daripada

melakukan suruhannya. Itu adalah argumentasi yang baik, dalil-dalilnya

berdasarkan hadits-hadits shahih yang terdapat dalam kitab Shahih al-

Bukhari dan Muslim, diantaranya adalah ucapan Rasulullah Saw kepada

Imam Ali,

‫ك َأبَدًا‬
َ ‫ الَ َوهَّللا ِ الَ َأ ْمحُو‬:‫قَا َل‬  ِ ‫ا ْم ُح َرسُو ُل هَّللا‬

“Hapuslah kalimat, ‘Rasulullah (utusan) Allah’.”


39

Imam Ali menjawab, “Tidak, demi Allah aku tidak akan menghapus

engkau untuk selama -lamanya” Ini makna “ Adab lebih utama dari

mengikuti perintah”.

Ucapan Rasulullah SAW kepada Abu Bakar;

َ ‫ َما َكانَ اِل ْب ِن َأبِي قُ َحافَةَ َأ ْن ي‬:‫ك فَقَا َل َأبُو بَ ْك ٍر‬


ْ‫ُصلِّ َي بَ ْينَ يَ َدي‬ َ ُ‫َما َمنَ َعكَ َأ ْن ت َْثبُتَ ِإ ْذ َأ َمرْ ت‬

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬


َ ِ ‫َرسُو ِل هَّللا‬

“Apa yang mencegahmu untuk menetap ketika aku


memerintahkanmu?”. Abu Bakar menjawab, “Ibnu Abi Quhafah tidak
layak melaksanakan shalat di depan Rasulullah Saw”

Abu Bakar lebih mengutamakan adab daripada mengikuti perintah.

Adapun hadits yang sering disebutkan banyak orang yang berbunyi,

‫ال تُ َسيِّدُونِي فِي الصَّال ِة‬

“Janganlah kamu menggunakan kata Sayyidina pada namaku dalam


shalat”.

Ini adalah hadits maudhu’ dan dusta, tidak boleh dianggap sebagai

hadits. Al-Hafizh as-Sakhawi berkata dalam kitab al-Maqashid al-

Hasanah, “Hadits ini tidak ada dasarnya”.

Imam As-Syafi’i dan Imam Hanafi berpendapat:

‫ تندب السيادة لمحمد في الصلوات اإلبراهيمة؛ ألن زيادة‬: ‫قال الحنفية والشافعية‬

‫ وأما خبر ال تسودوني في‬.‫ فهو أفضل من تركه‬،‫ عين سلوك األدب‬E‫اإلخبار بالواقع‬

‫ اللهم صل على سيدنا‬:‫ أكمل الصالة على النبي وآله‬:‫ وعليه‬. E‫الصالة فكذب موضوع‬

،‫ كما صليت على سيدنا إبراهيم وعلى آل سيدنا إبراهيم‬،‫محمد وعلى آل سيدنا محمد‬

،‫ إبراهيم‬E‫ كما باركت على سيدنا‬،‫ على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد‬E‫وبارك‬

.‫ إنك حميد مجيد‬،‫وعلى آل سيدنا إبراهيم في العالمين‬


40

Mazhab Hanafi dan Syafi’i: Dianjurkan mengucapkan Sayyidina

pada Shalawat Ibrahimiyah, karena memberikan tambahan pada riwayat

adalah salah satu bentuk adab, maka lebih utama dilakukan daripada

ditinggalkan. Adapun hadits yang mengatakan: “Janganlah kamu

menyebut Sayyidina untukku”. Ini adalah hadits palsu. Maka shalawat

yang sempurna untuk nabi dan keluarganya adalah:

‫ كما صليت على سيدنا إبراهيم‬،‫اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد‬

‫ كما باركت‬،‫ على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد‬E‫ وبارك‬،‫وعلى آل سيدنا إبراهيم‬

‫ إنك حميد مجيد‬،‫ في العالمين‬E‫ وعلى آل سيدنا إبراهيم‬،‫على سيدنا إبراهيم‬

Pendapat Imam Ibnu Hajar al-Haitsami:

‫َّح بِ ِه َج ْم ٌع‬ َ ‫يرةَ َو‬


Eَ ‫صر‬ َ ‫(قَوْ لُهُ َعلَى ُم َح َّم ٍد) َواَأْل ْف‬
َ ‫ض ُل اِإْل ْتيَانُ بِلَ ْف ِظ ال ِّسيَا َد ِة َك َما قَالَهُ ابْنُ ظَ ِه‬

Eِ َ‫ار ُح َأِل َّن فِي ِه اِإْل ْتيَانَ بِ َما ُأ ِمرْ نَا بِ ِه َو ِزيَا َدةُ اِإْل ْخب‬
ٌ‫ار بِ ْال َواقِ ِع الَّ ِذي ه َُو َأدَب‬ ِ ‫َوبِ ِه َأ ْفتَى ال َّش‬
ُ ‫ َوَأ َّما َح ِد‬، ُّ‫ضلِيَّتِ ِه اِإْل ْسن َِوي‬
‫ فِي‬E‫يث «اَل تُ َسيِّدُونِي‬ َ ‫د فِي َأ ْف‬Eَ ‫ض ُل ِم ْن تَرْ ِك ِه َوِإ ْن تَ َر َّد‬
َ ‫فَهُ َو َأ ْف‬

‫ ْال ُحفَّا ِظ‬E‫ل اَل َأصْ َل لَهُ َك َما قَالَهُ بَعْضُ ُمتََأ ِّخ ِري‬Eٌ ‫اط‬
ِ َ‫صاَل ِة» فَب‬
َّ ‫ال‬

Ucapan Muhammad, afdhal menambahkan lafaz as-Siyadah

(Sayyidina), sebagaimana dikatakan Ibnu Zhahirah, dinyatakan secara

jelas oleh sekelompok ulama. Demikian juga difatwakan asy-Syarih

(yang mensyarah kitab ini), karena di dalam as-Siyadah itu terkandung

makna melakukan apa yang diperintahkan (memuliakan Rasulullah Saw)

dan menambah pemberitaan dengan fakta kenyataan yang merupakan

adab, maka lebih utama memakai Sayyidina daripada meninggalkannya,

meskipun al-Isnawi bimbang tentang afdhalnya.


41

3) Pendapat ulama mazhab hambali

 ‫ﻭﺫﻛﺮ اﻟﺤﺎﻓﻆ اﻟﺴﺨﺎﻭﻱ ﻓﻲ ﺁﺧﺮ اﻟﺒﺎﺏ اﻷﻭﻝ ﻣﻦ اﻟﻘﻮﻝ اﻟﺒﺪﻳﻊ ﻛﻼﻣﻪ ﻭﺫﻛﺮ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻣﻔﻠﺢ‬

‫) ﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ (مواهب الجليل في شرح‬69 ‫ ص‬/ 1 ‫ ج‬- ‫اﻟﺤﻨﺒﻠﻲ ﻣختصر الشيخ خليل‬ 

"Pendapat yang pertama (membaca Sayyidina di luar shalat dan


tidak membaca Sayidina dalam salat) disampaikan oleh al-Hafidz as-
Sakhawi dalam al-Qaul al-Badi' dan Ibnu Muflih al-Hanbali" (Mawahib
al-Jalil 1/69)

Pendapat lain mengemukakan fakta, yakni hukum penyertaan kata

sayyid, baik dalam tasyahud atau ibadah lain, seperti azan, iqamat, dan

shalawat tidak boleh dilakukan.

Pendapat ini disampaikan oleh Komite Tetap Kajian dan Fatwa

Kerajaan Arab Saudi.Lembaga ini menegaskan redaksi tasyahud,

shalawat, azan, dan iqamat yang dicontohkan Rasulullah tidak pernah

menyebutkan kata yang berarti pemimpin itu.

Sebagaimana penjelasan yang telah dituturkan oleh Syehk Yusuf bin

yusuf Annabhani dalam kitabnya Sa’adat ad-Darain fi as-Asalah ‘ala

Sayyidi Al-Kaunain: Dalam kitab al-Qoul al-Badi’, As-Skhawi menukil

perkataan al-Majd al-Lughowi terkait boleh dan tidaknya menambah kata

sayyidina, baik saat dalam sholat ataupun diluar sholat, Saat sholat

menurut pendapat yang terang, tidak diperbolehkan menambah kata

“Sayyidina”dengan alasan Nabi SAW tidak pernah menambahkannya

dalam sholat. Ini sesuai dengan bnyak riwayat hadist.40

Syekh Al-Isnawi dalam kitab al-Muhimmât pernah mencatat, dulu

Imam Izzuddin bin Abdussalam menambahkan “sayyidinâ” dalam

tasyahud shalatnya. Di sinilah letak perbedaan ulama saat menyikapi:


40
Yusuf bin ismail An-Nabhani, Sa’adat Ad-Darain fi As-Sholah ‘ala As-Sayyidina Al-
Kaunain.
42

mana yang lebih utama antara menjaga kesantunan kepada Nabi Saw.

dengan menambah kata “sayyidinâ”, dengan melaksanakan perintah

tanpa “sayyidinâ”? Yang pertama sunnah dan yang kedua wajib dengan

berdalil pada sebuah hadis “Ucapkan, ‘Allahumma shalli ‘alâ

muḫammad’ tanpa sayyidina”.41

Adapun diluar sholat, Nabi memang pernah melarangnya

sebagaimana diriwayatkan dalam hadist yang mashur. Larangan nabi

SAW memunculkan dua penafsiran:

Pertama, karena kerendahan hati Rasulullah SAW. Kedua, karena

memang tidak menyukai pujian secara langsung macam itu, karena

Sayyidina berarti baginda kami.

Hadis-hadis shahih dengan tegas menyebutkan pelafalan redaksi

tanpa kata sayyid. Cukup dengan sebutan Muhammad Rasulullah dalam

sholawat kata Muhammad saja dalam tasyahud.

Pendapat serupa disampaikan oleh Syekh Ibn Utsaimin dan

Nasiruddin al-Albani. Maka, hendaknya tidak mengada-ada dan

menambahkan kata yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw. 

BAB IV
PENUTUP

41
Syekh Al-Isnawi, al-Muhimmât
43

A. KESIMPULAN

1) Menurut ulama kalangan Mazhab Syafi’i

Bahwa sebagian besar ulama mazhab syafi’i berpendapat

lebih dianjurkan mengucapkan atau menambahkan kalimat

Sayyidina didalam sholawat ketika sholat maupun diluar sholat.

Karena memberikan tambahan pada riwayat adalah salah satu

bentuk adab dan sopan santun kepada baginda nabi Muhammad

SAW, maka lebih utama dilakukan dari pada ditinggalkan.

2) Menurut ulama kalangan mazhab Hambali.

Bahwa seperti yang di sampaikan terkait boleh dan tidaknya

menambah kata sayyidina, baik saat dalam sholat ataupun diluar

sholat, Saat sholat menurut pendapat yang terang mereka lebih

condong untuk tidak menambahkan kalimat sayyidina atau tidak

diperbolehkan menambah kata “Sayyidina” dengan alasan sesuai

dengan banyaknya riwayat hadist shoheh dan tidak mengada-ngada

dan menambahkan yang Nabi SAW tidak pernah menambahkannya

dalam sholat.

B. SARAN

Skripsi ini sepenuhnya belum sempurna. Karna kesempurnaan hanya

milik Allah SWT. Oleh karena itu, untuk kesempurnaan skripsi ini perlu

adanya kritik yang konstruktif dari para pembaca demi sempurnanya skripsi

ini.
43 PUSTAKA
DAFTAR
44

Abu Kamal, Malik bin as-Sayyid Salim. Shahih Fikih Sunnah, Penerjemah,
Khairul Amru Harahap dan Faisal Saleh. Jakarta: Pustaka Azzam, cet. ke-
1, 2007.

Al Baihaqi dalam . Sunanul Kubra 2/148

al-Hafidz as-Sakhawi. al-Qaul al-Badi' .

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Edisi I cet Ke 6. Jakarta Sinar


Grafika, 2015.

Ash-Sidiqy, Hasby. Pedoman Sholat. Jakarta:Bulan Bintang, 1976.

Assuyuti, Imam Bukhori. Bimbingan Sholat Lengkap. Jakarta: Mitra Umat,


1998.

At Tirmidzi. 1/301-302.

Gazalba, Sidi. Asas Agama Islam. Jakarta:Bulan Bintang, 1975.

Haryanto, Sentot. Psikologi Shalat(Kajian Aspek-aspek Psikologi Ibadah Shalat


oleh-oleh Isra‟ Mi‟raj Nabi Muhammad SAW), Yogyakarta, cet. ke-5,
2007.

HR al-Bukhâri, 631.

HR Bukhori dan Adz-Dzahabi.

HR. Ahmad (3/486), Abu Daud (3888), An-Nasa’i dalam ‘Amal Al Yaum wa
Al-Lailah (257), Al Hakim (4/413), ia berkata, “Hadits shahih”, disetujui
oleh Adz-Dzahabi.

HR. Al Bukhari (3043), Abu Daud (5215) dan Ahmad (3/22).

HR. Muslim (5899), Abu Daud (4673) dan Ahmad (2/540).

Ibnu Hibban. 1948, 1955 "Shahih" nya no. 900.

Ibnu Majah . no. 904,

Ibnu Muflih al-Hanbali. Mawahib al-Jalil 1/69

Imam Suyuuthi. Al-Iklil Fi Istinbathit-Tanzil.

Karman, Supiana. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, 2003.
44
Khalili, Musthafa. Berjumpa Allah dalam Salat. Jakarta: Zahra, 2006.
45

Sayyid Muhammad bin 'Alawi al-Maliki al-Hasani, Manhaj Salaf fi Fahm al-


Nusush bain al-Nazhariyyah wa al-Tathbiq 

Shahih Bukhari hadits no. 2414 hadits semakna dalam Shahih Muslim hadits
no. 2249.

Sholikhin, Muhammad. The Miracle of Shalat (Mengungkap Kedahsyatan


Energi Shalat). Jakarta: Erlangga, 2011.

Soekanto,Soerjono dan Srimamudji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:


Rajawali Perss, 2012.

Sunan Ahmad 4/243-244.

Sunan An Nas’ i . 3/47-58

Sunan An Nas’ i . 3/47-58.

Syaikh Al-„Allamah Muhammad. Fiqih Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi,


2013.

Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu: 2/94.

Tim Penyusun Al-Quran, Al-quran dan Terjemahnya Juz 1-15. Kudus:


Mubarokatan Thoyyibah,tt.

Tim Penyusun Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya Juz 16-30, Kudus:


Mubarokatan Thoyyibah,tt.

Yusuf bin ismail An-Nabhani, Sa’adat Ad-Darain fi As-Sholah ‘ala As-


Sayyidina Al-Kaunain.

Anda mungkin juga menyukai