Anda di halaman 1dari 2

Tatkala Orang Lain Bersalah

(Mat 7:1-5)

Apa yang akan anda pikirkan ketika anda melihat dua anak kecil duduk di genangan lumpur,
tertutup lumpur, dan yang satu menunjuk jarinya ke yang lain dan berkata, “kamu kotor!”. Demikian
juga Tuhan memandang kita yang menghakimi sesama kita. Di dalam dunia yang sudah rusak oleh
dosa, kita tidak mungkin menemukan seorang pun tanpa kesalahan. Justru banyak orang cenderung
peka dengan selumbar di mata orang lain tetapi tidak memperhatikan balok di mata nya sendiri.
Seorang penulis asal Rusia, Leo Tolstoy pernah berkata, “Banyak orang yang bermimpi untuk
mengubah dunia. Banyak orang yang berambisi ingin mengubah hidup orang lain. Namun, terlalu
sedikit orang yang berpikir untuk mengubah dirinya sendiri”.

Menghakimi tentu sudah sangat familiar bagi para pengikut Kristus (orang kristen).
Menghakimi berasal dari kata Krino (properly, mentally or judicially) yang memiliki arti menilai,
mempertimbangkan, mengkritik, menduga, berpendapat, memutuskan, serta membedakan/memisahkan
hal benar dan salah. (Elim, 2016). Dalam Matius 7:1, Yesus mengatakan, “Janganlah menghakimi,
supaya kamu tidak dihakimi. Tujuan utama dari larangan “Jangan menghakimi” adalah untuk
menghindari penghakiman dari pihak lain. Jabatan sebagai hakim tidak menjamin bahwa seseorang
tidak akan terdakwa. Beberapa hakim terbukti bersalah dan harus dihakimi oleh hakim yang lain.
Demikian pula dengan kita. ketidakadaan subyek pada ayat 1 bagian b, “supaya kamu tidak dihakimi”
menyiratkan bahwa Allah adalah subyeknya. Dia yang berhak untuk menghakimi. Dia satu-satunya
yang tidak mungkin didudukan pada kursi terdakwa (Handoko, 2016). Dengan pemikiran seperti ini,
kita seyogyanya mencamkan peringatan dari Paulus, “Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi
hamba orang lain? Entahkah ia berdiri, entahkah ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri” (Rom
14:4a).

Selanjutnya, sikap menghakimi yang dimaksud dalam bagian ini bukan berarti kita tidak boleh
menegur kesalahan orang lain, mengkritik orang lain, atau meniadakan nalar kita untuk membedakan
mana benar, mana salah, mana baik, dan mana jahat. Menghakimi boleh saja dilakukan, namun harus
didasari oleh penilaian dengan proporsi, alasan, dan dasar yang tepat (Teologia, 2020). Kita tidak boleh
menghakimi motivasi seseorang yang masih terpendam di hatinya, sebab hanya Tuhan yang sungguh
tahu akan isi hati seseorang, sehingga hanya Tuhan juga yang layak (berhak) menghakiminya.

Dalam Yoh 8:7, Yesus berkata, “Barangsiapa diantara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang
pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” makna dari perkataan Yesus sendiri merujuk
kepada kita sebagai orang berdosa yang sebenarnya tidak memiliki hak menghakimi. Sebaiknya kita
mengintropeksi diri terlebih dahulu (Mat 7:5). Lalu, kita harus berani menyatakan dengan tegas bahwa
kita di perintahkan untuk mempelajari Firman Tuhan yang tujuannya adalah menemukan kebenaran
tentang bagaimana Allah ingin kita hidup. Kita juga memiliki tanggung jawab untuk hidup berdasarkan
kebenaran itu, serta mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama. Ingatlah selalu akan ajaran
Tuhan Yesus, “Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak tetapi hakimilah dengan adil” (Yoh
7:24). Hiduplah sebagai orang yang berpikir, berkata dan bertindak benar, agar nama Yesus Kristus
Tuhan di permuliakan lewat kehidupan kita. Hakimilah perbuatan-perbuatan dosa yang ada di sekitar
sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan, sehinga kita pun turut melakukannya. “Ubahlah diri anda,
maka orang lain dengan sendirinya akan berubah sebagai reaksi terhadap anda” (Cecil G. Osborne).

Anda mungkin juga menyukai