Anda di halaman 1dari 2

Aku dan Mubaligh

Seperti biasanya ketika asrama, Aku akan selalu ceria ketika berangkat ke pondok. Memang ada
alasan kuat bagi aku untuk tersenyum, khususnya senyumnya akan melebar ketika malam minggu.
Aku menyusuri setiap kelas dilorong pondok yang telah dipenuhi oleh santi dan santriwati. Mataku
menjelajahi orang-orang yang lewat di sampingku. Hingga tiba-tiba mataku menangkap sosok indah
yang membuatnya hatiku tak karuan.

“Ganteng banget,” gumam Aku.

Semua sudah tahu jika Aku menyukai sang mubaligh. Guru laki-laki berumur 20 tahun yang meraih
prestasi terbanyak dalam bidang agama. Sifatnya yang ramah namun tegas membuat para kaum
hawa tergila-gila. Lelaki itu adalah seorang mubaligh (guru pondok)

Hari ini Dia akan mengajar dimasjid kembali. Sudah menjadi rutinitasnya mengajar setiap malam
minggu maka itu jadwal dia dimasjid. Dia berjalan melewatiku, dia melirikku dan tersenyum ramah
padaku. Tubuhku menegang kala senyuman Dia menusuk ke atmaku.

“Serius? Aku mimpi apa coba semalam?” ujarku tidak percaya dengan kejadian barusan. Aku
menepuk-nepuk pipi guna mendapat kesadaranku kembali. “AKUU DI SENYUMIN DIAAA!
YEAYY!” pekikku kegirangan. Orang-orang yang berlalu lalang melihat Aku dengan keheranan,
mereka menganggap Aku itu aneh.

Aku berlari ke dalam kamar dan menaruh tas di dimeja belajar. Kemudian aku berlari ke luar untuk
melihat Dia mengajar mengaji dimasjid. Aku mencintai Guru itu, cinta dalam diam. Aku
mencintainya sudah cukup lama, sejak aku pertama kali menginjak kakiku dipondok ini untuk
mengikutu asrama.

“Wow Gantengnya !!”gumamku sambil melihatnya mengajar.

Dua jam akhirnya mengaji itu selesai, dan pada saat inilah banyak anak santriwati berlomba-lomba
untuk memberikannya air mineral. Aku sadar aku kalah cantik dengan santriwati lain yang sama-
sama menyukainya. Botol air mineral di tanganku aku sembunyikan. Rasanya insecure jika melihat
yang perempuan lain.
Namun siapa sangka, Dia menghampiri Aku dan duduk di sampingku. “Kamu enggak mau kasih
minuman buat Mass?” tanya Dia padaku. Sekejap Aku mematung. Daksanya kaku kala melihat Dia
berada di dekatku.

“A-aku enggak bawa minum,” bohong Aku. Dia tertawa kecil mendengarnya, dia tahu gadis ini
sedang berbohong. “Itu yang di belakang apa? air sumur?” tanya Dia membuat Aku membulatkan
matanya sempurna.

“Ini punya Aku!”

“Mass haus” ujar Diaa.

“Kenapa enggak ambil dari mereka aja?” tanyaku seraya menunjuk para santriwati yang tengah
memerhatikan kita berdua. “Tumben kamu begini, biasanya kamu ikut-ikutan mereka,” balas Dia
menggoda. Aku diam. Aku mengalihkan pandanganku dari Dia dan menunduk sedih.

“Aku jelek ya, Mas? mereka cantik tapi Aku jelek...” lirih Aku. Dia menggeleng dan mengelus
puncak kepala Aku sekilas.

“Enggak. Kamu cantik, dan kamu tahu? cantik itu relatif. Mereka cantik cuma di luar, sedangkan
kamu cantik dari dalam. Yang dibutuhkan itu cantik dari hati, bukan wajah yang elok. Tuhan
menciptakan manusia berbeda-beda, dengan pandangan dan pola pikir yang berbeda pula. Jadi
jangan pikir kamu jelek, kamu cantik apa adanya.” Jelas Dia panjang lebar.

Aku tersenyum manis. Dia benar, aku itu cantik apa adanya. Mengapa aku harus merasa malu
dengan apa yang aku punya sekarang? Seharusnya aku bersyukur, Tuhan memberiku anggota tubuh
yang lengkap dan ekonomi yang berkecukupan, sedangkan di luar sana banyak orang yang terbilang
kekurangan entah itu dalam ekonomi maupun anggota tubuh.

“Terima kasih karena buat Aku sadar, seharusnya Aku bersyukur bukan malu. Makasih Mas”

“Terima kasih sama Tuhan yang udah buat Aku cantik dan punya hati yang baik.”

“Hehehe, iya-iya.”

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai