Anda di halaman 1dari 17

Polemik Penangkapan Ikan Terukur

Belum adanya peraturan turunan Peraturan Pemerintah tentang Penangkapan Ikan Terukur hendaknya
tidak dijadikan alasan untuk menghentikan proses perizinan berusaha. Ini berdampak negatif bagi
nelayan pelaku usaha.

Setelah menuai pro-kontra sekitar dua tahun, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang
Penangkapan Ikan Terukur (PIT) akhirnya ditetapkan dan diundangkan pada 6 Maret 2023. Tujuan PIT ini
untuk memastikan kelestarian sumber daya ikan tetap terjaga dan dapat memberikan kesejahteraan
nelayan, menyediakan perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan nilai tambah dan daya saing hasil
perikanan, kepastian berusaha, kontribusi bagi dunia usaha serta bagi negara.

Namun, ironisnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) belum mempersiapkan peraturan
turunannya sehingga implementasi PIT menjadi terkatung-katung. Lebih miris lagi, Direktorat Perizinan
KKP menghentikan proses permohonan izin berusaha termasuk surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan
surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI) dengan alasan masih menunggu implementasi PP No 11/2023.
Ini sangat kontraproduktif dan bertentangan dengan tujuan PIT sehingga menciptakan iklim usaha yang
tidak kondusif dan menimbulkan ketidakpastian hukum serta ketidakpastian berusaha.

Konsep pengendalian PIT dilakukan dengan perizinan yang mempertimbangkan kuota per kapal (output
control). Kuota penangkapan ikan di zona penangkapan ikan terukur dibagi tiga, yaitu kuota industri,
kuota nelayan lokal, dan kuota kegiatan bukan untuk tujuan komersial.

Penetapan kuota industri pada prinsipnya berdasarkan wilayah zona maritim, yaitu di atas 12 mil laut
yang merupakan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) menjadi kewenangan KKP (izin pusat).
Sementara kuota nelayan lokal merupakan wilayah teritorial (di bawah 12 mil laut) dan menjadi
kewenangan pemerintah daerah.

Kuota industri diberikan oleh menteri kepada orang perseorangan, badan usaha yang berbadan hukum.
Orang perseorangan yang dimaksud merupakan nelayan kecil diutamakan yang tergabung dalam
koperasi. KKP memberikan prioritas nelayan kecil memperoleh kuota industri, seolah-olah ingin
menunjukkan PIT berpihak kepada nelayan kecil. Ada kerancuan berpikir tentang pengaturan zona
penangkapan ikan. Terlalu gegabah mendorong nelayan kecil menangkap ikan di atas 12 mil laut karena
akan membahayakan keselamatannya

Definisi nelayan kecil


Definisi nelayan kecil perlu dirumuskan ulang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 jo
UU No 31/2004 tentang Perikanan, nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya menangkap
ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari menggunakan kapal perikanan berukuran paling
besar 5 gros ton (GT). Sementara UU No 7/2016 menyebutkan, nelayan kecil dikategorikan
menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 gros ton.

Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 2/2022 jo PP No 11/2023 definisinya sama


sekali tidak menyinggung ukuran GT kapal. Nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya
menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal
penangkap ikan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan.

Kewajiban pemasangan dan pengaktifan transmitter SPKP dikecualikan bagi nelayan kecil sehingga
definisi nelayan kecil harus diperjelas.

Berdasarkan data tanda daftar kapal perikanan (TDKP) per 18 April 2023 untuk nelayan kecil di bawah 10
GT, jumlah kapal perikanan yang terdaftar 37.219 unit setara 90.640 atau rata-rata 2,7 GT. Dengan
asumsi 1 kapal berisi 3-4 orang, maka jumlah nelayan kecil nasional tidak lebih dari 150.000 orang.

Pemantauan kapal perikanan melalui vessel monitoring system (VMS) selama ini hanya diberlakukan
untuk kapal di atas 30 GT yang beroperasi di ZEEI dan laut lepas. Dalam PP No 11/2023 juga ada
ketentuan bahwa setiap orang, pemerintah pusat, atau pemerintah daerah wajib memasang dan
mengaktifkan transmitter sistem pemantauan kapal perikanan (SPKP) di kapal perikanan sebelum
melakukan kegiatan perikanan.

Transmitter SPKP digunakan untuk mengetahui pergerakan dan aktivitas kapal perikanan yang
memperoleh perizinan berusaha atau persetujuan dari gubernur atau menteri. Kapal perikanan yang
perizinan berusaha atau persetujuannya diterbitkan gubernur dan belum dapat memenuhi kewajiban
pemasangan dan pengaktifan transmitter SPKP, diberi tenggang memenuhi kewajiban ini paling lama
satu tahun sejak PP ini diundangkan.
Namun, kewajiban pemasangan dan pengaktifan transmitter SPKP dikecualikan bagi nelayan kecil
sehingga definisi nelayan kecil harus diperjelas. Apakah kategorinya berdasarkan kegiatan menangkap
ikan untuk kebutuhan sehari hari atau berdasarkan ukuran GT kapal penangkap ikannya.

Pemantauan dan pengendalian di wilayah teritorial tidak kalah penting untuk keberlanjutan sumber
daya ikan, apalagi area penangkapannya padat dan tumpang tindih sehingga berpotensi konflik dengan
nelayan kecil, tetapi kewenangan perizinan kapal di bawah 30 GT di pemda. Selain pemantauan SPKP,
pengendalian jumlah kapal, jenis alat tangkap di wilayah teritorial juga tidak kalah penting untuk
keberlanjutan, tetapi bukan kewenangan KKP melainkan pemda.

Anehnya dalam berbagai forum KKP berupaya meyakinkan PIT akan memberikan banyak keistimewaan
kepada nelayan kecil, salah satunya pembebasan pungutan hasil perikanan. Padahal faktanya, sejak
dahulu urusan nelayan kecil merupakan kewenangan pemda dan tidak pernah dipungut penerimaan
negara bukan pajak (PNBP).

Pada 2022, PNBP perikanan tangkap mencapai Rp 1,279 triliun, seluruhnya berasal dari kapal penangkap
ikan di atas 30 GT. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) pada 2022 mendapatkan alokasi
anggaran sebesar Rp 793,8 miliar, tetapi realisasi anggaran DJPT 2022 hanya Rp 408 miliar (51 persen).
Perolehan PNBP perikanan tangkap sebenarnya relatif tinggi karena nilainya lebih dari tiga kali lipat
realisasi anggaran DJPT.

Masih banyak pihak yang percaya penyebab minimnya kontribusi sektor perikanan terhadap PDB
nasional akibat pencurian ikan oleh kapal-kapal asing serta eksploitasi sumber daya perikanan oleh
oligarki. Jika kita analisis data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) selama sembilan tahun
(2014-2022), khususnya realisasi investasi penanaman modal asing dan dalam negeri di sektor perikanan
sangat minim sekali, hanya Rp 7,97 triliun atau rata-rata Rp 879 miliar per tahun.

Peringkat realisasi investasi sektor perikanan selalu terseok-seok di peringkat terbawah dari 23 sektor
sehingga sangat wajar jika kontribusi sektor perikanan terhadap PDB nasional sangat kecil, hanya 2,8
persen. Peningkatan investasi di sektor perikanan merupakan kunci meningkatkan kontribusi sektor
perikanan terhadap PDB nasional termasuk peningkatan PNBP yang wajar.

Zona maritim
Litbang Kompas (26/1/2023) juga menyoroti ironi kemiskinan wilayah pesisir yang kaya potensi ekonomi
kelautan dan perikanan. PNBP akan dikembalikan ke masyarakat nelayan, salah satunya melalui program
prioritas kampung nelayan maju (Kalaju). Namun, program ini masih diragukan apakah mampu
meningkatkan kesejahteraan nelayan secara signifikan mengingat alokasi anggaran untuk Kalaju
terbatas.

Di lain pihak, beberapa lembaga swadaya masyarakat justru mengkhawatirkan penangkapan ikan
terukur tidak pro nelayan kecil dengan alasan akan kalah bersaing dengan kapal nelayan besar. Namun,
kekhawatiran ini menunjukkan kerancuan pemahaman mengenai batas zona maritim.

Pengaturan zona penangkapan ikan sudah dituangkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 59/Permen-KP/2020 tentang jalur penangkapan ikan dan alat penangkapan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan negara RI dan laut lepas. Ada tiga jalur penangkapan ikan, yaitu jalur I (0-4 mil),
jalur II (4-12 mil), jalur III (12-200 mil).

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS)
melalui UU No 17/1985.

Sebelum Deklarasi Djuanda diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut internasional UNCLOS
1982, setiap pulau hanya mempunyai laut sejauh 3 mil dari garis pantai. Jalur I dan II termasuk wilayah
teritorial, sedangkan jalur III adalah wilayah ZEEI. Jalur II dan III murni perluasan wilayah pengelolaan
laut Indonesia. Jalur III yang merupakan wilayah ZEEI di mana Indonesia memiliki hak berdaulat
(sovereign right) untuk memanfaatkan sumber daya alam termasuk sumber daya ikan yang
pengelolaannya di bawah wewenang KKP (izin pusat).

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS)
melalui UU No 17/1985. Wilayah ZEEI yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut wajib dimanfaatkan
secara optimal. Jika ada surplus dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan, maka negara lain yang tidak
memiliki pantai atau negara yang secara geografis tidak beruntung memperoleh kesempatan untuk
turut serta memanfaatkan ZEEI.

Berlangganan
A

Masukkan kata kunci pencarian...

logo Kompas.id

Opini›Polemik Penangkapan Ikan...

Iklan

PERIKANAN TANGKAP

Polemik Penangkapan Ikan Terukur

Belum adanya peraturan turunan Peraturan Pemerintah tentang Penangkapan Ikan Terukur hendaknya
tidak dijadikan alasan untuk menghentikan proses perizinan berusaha. Ini berdampak negatif bagi
nelayan pelaku usaha.

Audio Berita

12 menit

Oleh

HENDRA SUGANDHI

8 Mei 2023 10:59 WIB

5 menit baca
https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/kGl26J7RLljVI8JRnfQluaXF1Gw=/1024x576/https%3A%2F
%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F07%2F4df75a42-8c20-443e-8a72-
5f05a4fc3043_jpg.jpg

Setelah menuai pro-kontra sekitar dua tahun, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang
Penangkapan Ikan Terukur (PIT) akhirnya ditetapkan dan diundangkan pada 6 Maret 2023. Tujuan PIT ini
untuk memastikan kelestarian sumber daya ikan tetap terjaga dan dapat memberikan kesejahteraan
nelayan, menyediakan perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan nilai tambah dan daya saing hasil
perikanan, kepastian berusaha, kontribusi bagi dunia usaha serta bagi negara.

Namun, ironisnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) belum mempersiapkan peraturan
turunannya sehingga implementasi PIT menjadi terkatung-katung. Lebih miris lagi, Direktorat Perizinan
KKP menghentikan proses permohonan izin berusaha termasuk surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan
surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI) dengan alasan masih menunggu implementasi PP No 11/2023.
Ini sangat kontraproduktif dan bertentangan dengan tujuan PIT sehingga menciptakan iklim usaha yang
tidak kondusif dan menimbulkan ketidakpastian hukum serta ketidakpastian berusaha.

Baca juga: Polemik Penangkapan Terukur

Konsep pengendalian PIT dilakukan dengan perizinan yang mempertimbangkan kuota per kapal (output
control). Kuota penangkapan ikan di zona penangkapan ikan terukur dibagi tiga, yaitu kuota industri,
kuota nelayan lokal, dan kuota kegiatan bukan untuk tujuan komersial.

Penetapan kuota industri pada prinsipnya berdasarkan wilayah zona maritim, yaitu di atas 12 mil laut
yang merupakan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) menjadi kewenangan KKP (izin pusat).
Sementara kuota nelayan lokal merupakan wilayah teritorial (di bawah 12 mil laut) dan menjadi
kewenangan pemerintah daerah.

Kuota industri diberikan oleh menteri kepada orang perseorangan, badan usaha yang berbadan hukum.
Orang perseorangan yang dimaksud merupakan nelayan kecil diutamakan yang tergabung dalam
koperasi. KKP memberikan prioritas nelayan kecil memperoleh kuota industri, seolah-olah ingin
menunjukkan PIT berpihak kepada nelayan kecil. Ada kerancuan berpikir tentang pengaturan zona
penangkapan ikan. Terlalu gegabah mendorong nelayan kecil menangkap ikan di atas 12 mil laut karena
akan membahayakan keselamatannya.
https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/0OuWkPc6SUK5PVHEYrdmXpE_jsE=/1024x796/https%3A%2F
%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F07%2F241401fb-e224-46ff-b0a5-
0b7985192472_png.png

Definisi nelayan kecil

Definisi nelayan kecil perlu dirumuskan ulang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 jo
UU No 31/2004 tentang Perikanan, nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya menangkap
ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari menggunakan kapal perikanan berukuran paling
besar 5 gros ton (GT). Sementara UU No 7/2016 menyebutkan, nelayan kecil dikategorikan
menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 gros ton.

Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 2/2022 jo PP No 11/2023 definisinya sama


sekali tidak menyinggung ukuran GT kapal. Nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya
menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal
penangkap ikan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan.

Kewajiban pemasangan dan pengaktifan transmitter SPKP dikecualikan bagi nelayan kecil sehingga
definisi nelayan kecil harus diperjelas.

Berdasarkan data tanda daftar kapal perikanan (TDKP) per 18 April 2023 untuk nelayan kecil di bawah 10
GT, jumlah kapal perikanan yang terdaftar 37.219 unit setara 90.640 atau rata-rata 2,7 GT. Dengan
asumsi 1 kapal berisi 3-4 orang, maka jumlah nelayan kecil nasional tidak lebih dari 150.000 orang.

Pemantauan kapal perikanan melalui vessel monitoring system (VMS) selama ini hanya diberlakukan
untuk kapal di atas 30 GT yang beroperasi di ZEEI dan laut lepas. Dalam PP No 11/2023 juga ada
ketentuan bahwa setiap orang, pemerintah pusat, atau pemerintah daerah wajib memasang dan
mengaktifkan transmitter sistem pemantauan kapal perikanan (SPKP) di kapal perikanan sebelum
melakukan kegiatan perikanan.

Transmitter SPKP digunakan untuk mengetahui pergerakan dan aktivitas kapal perikanan yang
memperoleh perizinan berusaha atau persetujuan dari gubernur atau menteri. Kapal perikanan yang
perizinan berusaha atau persetujuannya diterbitkan gubernur dan belum dapat memenuhi kewajiban
pemasangan dan pengaktifan transmitter SPKP, diberi tenggang memenuhi kewajiban ini paling lama
satu tahun sejak PP ini diundangkan.

Namun, kewajiban pemasangan dan pengaktifan transmitter SPKP dikecualikan bagi nelayan kecil
sehingga definisi nelayan kecil harus diperjelas. Apakah kategorinya berdasarkan kegiatan menangkap
ikan untuk kebutuhan sehari hari atau berdasarkan ukuran GT kapal penangkap ikannya.

Deretan kapal penangkap ikan yang bersandar di dermaga Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam
Zachman, Muara Baru, Jakarta Utara, Sabtu (11/3/2023). Pemerintah telah menerbitkan Peraturan
Pemerintah tentang Penangkapan Ikan Terukur terbit.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Deretan kapal penangkap ikan yang bersandar di dermaga Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam
Zachman, Muara Baru, Jakarta Utara, Sabtu (11/3/2023). Pemerintah telah menerbitkan Peraturan
Pemerintah tentang Penangkapan Ikan Terukur terbit.

Pemantauan dan pengendalian di wilayah teritorial tidak kalah penting untuk keberlanjutan sumber
daya ikan, apalagi area penangkapannya padat dan tumpang tindih sehingga berpotensi konflik dengan
nelayan kecil, tetapi kewenangan perizinan kapal di bawah 30 GT di pemda. Selain pemantauan SPKP,
pengendalian jumlah kapal, jenis alat tangkap di wilayah teritorial juga tidak kalah penting untuk
keberlanjutan, tetapi bukan kewenangan KKP melainkan pemda.

Anehnya dalam berbagai forum KKP berupaya meyakinkan PIT akan memberikan banyak keistimewaan
kepada nelayan kecil, salah satunya pembebasan pungutan hasil perikanan. Padahal faktanya, sejak
dahulu urusan nelayan kecil merupakan kewenangan pemda dan tidak pernah dipungut penerimaan
negara bukan pajak (PNBP).

Pada 2022, PNBP perikanan tangkap mencapai Rp 1,279 triliun, seluruhnya berasal dari kapal penangkap
ikan di atas 30 GT. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) pada 2022 mendapatkan alokasi
anggaran sebesar Rp 793,8 miliar, tetapi realisasi anggaran DJPT 2022 hanya Rp 408 miliar (51 persen).
Perolehan PNBP perikanan tangkap sebenarnya relatif tinggi karena nilainya lebih dari tiga kali lipat
realisasi anggaran DJPT.

Baca juga: Polemik Kebijakan PNBP Perikanan


Masih banyak pihak yang percaya penyebab minimnya kontribusi sektor perikanan terhadap PDB
nasional akibat pencurian ikan oleh kapal-kapal asing serta eksploitasi sumber daya perikanan oleh
oligarki. Jika kita analisis data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) selama sembilan tahun
(2014-2022), khususnya realisasi investasi penanaman modal asing dan dalam negeri di sektor perikanan
sangat minim sekali, hanya Rp 7,97 triliun atau rata-rata Rp 879 miliar per tahun.

Peringkat realisasi investasi sektor perikanan selalu terseok-seok di peringkat terbawah dari 23 sektor
sehingga sangat wajar jika kontribusi sektor perikanan terhadap PDB nasional sangat kecil, hanya 2,8
persen. Peningkatan investasi di sektor perikanan merupakan kunci meningkatkan kontribusi sektor
perikanan terhadap PDB nasional termasuk peningkatan PNBP yang wajar.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/1R2-h0s-L99BMWO_Y6PaWZ3b-8I=/1024x602/https%3A%2F
%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F02%2F20211102-Ilustrasi-PNBP-
Kelautan-dan-Perikanan-Pungutan-untuk-Ekologi_1635863329_jpg.jpg

Zona maritim

Litbang Kompas (26/1/2023) juga menyoroti ironi kemiskinan wilayah pesisir yang kaya potensi ekonomi
kelautan dan perikanan. PNBP akan dikembalikan ke masyarakat nelayan, salah satunya melalui program
prioritas kampung nelayan maju (Kalaju). Namun, program ini masih diragukan apakah mampu
meningkatkan kesejahteraan nelayan secara signifikan mengingat alokasi anggaran untuk Kalaju
terbatas.

Di lain pihak, beberapa lembaga swadaya masyarakat justru mengkhawatirkan penangkapan ikan
terukur tidak pro nelayan kecil dengan alasan akan kalah bersaing dengan kapal nelayan besar. Namun,
kekhawatiran ini menunjukkan kerancuan pemahaman mengenai batas zona maritim.

Pengaturan zona penangkapan ikan sudah dituangkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 59/Permen-KP/2020 tentang jalur penangkapan ikan dan alat penangkapan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan negara RI dan laut lepas. Ada tiga jalur penangkapan ikan, yaitu jalur I (0-4 mil),
jalur II (4-12 mil), jalur III (12-200 mil).
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS)
melalui UU No 17/1985.

Sebelum Deklarasi Djuanda diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut internasional UNCLOS
1982, setiap pulau hanya mempunyai laut sejauh 3 mil dari garis pantai. Jalur I dan II termasuk wilayah
teritorial, sedangkan jalur III adalah wilayah ZEEI. Jalur II dan III murni perluasan wilayah pengelolaan
laut Indonesia. Jalur III yang merupakan wilayah ZEEI di mana Indonesia memiliki hak berdaulat
(sovereign right) untuk memanfaatkan sumber daya alam termasuk sumber daya ikan yang
pengelolaannya di bawah wewenang KKP (izin pusat).

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS)
melalui UU No 17/1985. Wilayah ZEEI yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut wajib dimanfaatkan
secara optimal. Jika ada surplus dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan, maka negara lain yang tidak
memiliki pantai atau negara yang secara geografis tidak beruntung memperoleh kesempatan untuk
turut serta memanfaatkan ZEEI.

Nelayan dari Desa Namatota, Distrik Kaimana, Kabupaten Kaimana, Papua Barat, memasukkan ikan yang
telah ditangkap ke dalam perahu di perairan laut di sekitar desa mereka, Senin (14/6/2021).

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Nelayan dari Desa Namatota, Distrik Kaimana, Kabupaten Kaimana, Papua Barat, memasukkan ikan yang
telah ditangkap ke dalam perahu di perairan laut di sekitar desa mereka, Senin (14/6/2021).

Perjuangan Ir H Djuanda Kartawidjaja berhasil menjadikan Indonesia sebagai archipelagic states


sekaligus menambah luas wilayah laut Indonesia 2,5 kali lipat. Sebagai generasi penerus, seharusnya kita
menghormati dan menghargai perjuangan beliau dengan cara memanfaatkan sumber daya di wilayah
ZEEI secara optimal dan tidak perlu berbagi dengan negara lain kecuali memang tidak mampu.

Dikotomi pendekatan pengendalian penangkapan ikan konvensional yang berdasarkan input control dan
PIT yang berdasarkan output control tidak perlu dipertentangkan, seharusnya dapat saling melengkapi.
Yang harus dihindari adalah kebijakan open access yang tanpa pengendalian sama sekali sehingga
membahayakan keberlanjutan sumber daya ikan dan keberlanjutan usaha nelayan.

Berlangganan

A
Masukkan kata kunci pencarian...

logo Kompas.id

Opini›Polemik Penangkapan Ikan...

Iklan

PERIKANAN TANGKAP

Polemik Penangkapan Ikan Terukur

Belum adanya peraturan turunan Peraturan Pemerintah tentang Penangkapan Ikan Terukur hendaknya
tidak dijadikan alasan untuk menghentikan proses perizinan berusaha. Ini berdampak negatif bagi
nelayan pelaku usaha.

Audio Berita

12 menit

Oleh

HENDRA SUGANDHI

8 Mei 2023 10:59 WIB

5 menit baca
https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/kGl26J7RLljVI8JRnfQluaXF1Gw=/1024x576/https%3A%2F
%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F07%2F4df75a42-8c20-443e-8a72-
5f05a4fc3043_jpg.jpg

Setelah menuai pro-kontra sekitar dua tahun, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang
Penangkapan Ikan Terukur (PIT) akhirnya ditetapkan dan diundangkan pada 6 Maret 2023. Tujuan PIT ini
untuk memastikan kelestarian sumber daya ikan tetap terjaga dan dapat memberikan kesejahteraan
nelayan, menyediakan perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan nilai tambah dan daya saing hasil
perikanan, kepastian berusaha, kontribusi bagi dunia usaha serta bagi negara.

Namun, ironisnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) belum mempersiapkan peraturan
turunannya sehingga implementasi PIT menjadi terkatung-katung. Lebih miris lagi, Direktorat Perizinan
KKP menghentikan proses permohonan izin berusaha termasuk surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan
surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI) dengan alasan masih menunggu implementasi PP No 11/2023.
Ini sangat kontraproduktif dan bertentangan dengan tujuan PIT sehingga menciptakan iklim usaha yang
tidak kondusif dan menimbulkan ketidakpastian hukum serta ketidakpastian berusaha.

Baca juga: Polemik Penangkapan Terukur

Konsep pengendalian PIT dilakukan dengan perizinan yang mempertimbangkan kuota per kapal (output
control). Kuota penangkapan ikan di zona penangkapan ikan terukur dibagi tiga, yaitu kuota industri,
kuota nelayan lokal, dan kuota kegiatan bukan untuk tujuan komersial.

Penetapan kuota industri pada prinsipnya berdasarkan wilayah zona maritim, yaitu di atas 12 mil laut
yang merupakan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) menjadi kewenangan KKP (izin pusat).
Sementara kuota nelayan lokal merupakan wilayah teritorial (di bawah 12 mil laut) dan menjadi
kewenangan pemerintah daerah.

Kuota industri diberikan oleh menteri kepada orang perseorangan, badan usaha yang berbadan hukum.
Orang perseorangan yang dimaksud merupakan nelayan kecil diutamakan yang tergabung dalam
koperasi. KKP memberikan prioritas nelayan kecil memperoleh kuota industri, seolah-olah ingin
menunjukkan PIT berpihak kepada nelayan kecil. Ada kerancuan berpikir tentang pengaturan zona
penangkapan ikan. Terlalu gegabah mendorong nelayan kecil menangkap ikan di atas 12 mil laut karena
akan membahayakan keselamatannya.
https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/0OuWkPc6SUK5PVHEYrdmXpE_jsE=/1024x796/https%3A%2F
%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F07%2F241401fb-e224-46ff-b0a5-
0b7985192472_png.png

Definisi nelayan kecil

Definisi nelayan kecil perlu dirumuskan ulang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 jo
UU No 31/2004 tentang Perikanan, nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya menangkap
ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari menggunakan kapal perikanan berukuran paling
besar 5 gros ton (GT). Sementara UU No 7/2016 menyebutkan, nelayan kecil dikategorikan
menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 gros ton.

Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 2/2022 jo PP No 11/2023 definisinya sama


sekali tidak menyinggung ukuran GT kapal. Nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya
menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal
penangkap ikan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan.

Kewajiban pemasangan dan pengaktifan transmitter SPKP dikecualikan bagi nelayan kecil sehingga
definisi nelayan kecil harus diperjelas.

Berdasarkan data tanda daftar kapal perikanan (TDKP) per 18 April 2023 untuk nelayan kecil di bawah 10
GT, jumlah kapal perikanan yang terdaftar 37.219 unit setara 90.640 atau rata-rata 2,7 GT. Dengan
asumsi 1 kapal berisi 3-4 orang, maka jumlah nelayan kecil nasional tidak lebih dari 150.000 orang.

Pemantauan kapal perikanan melalui vessel monitoring system (VMS) selama ini hanya diberlakukan
untuk kapal di atas 30 GT yang beroperasi di ZEEI dan laut lepas. Dalam PP No 11/2023 juga ada
ketentuan bahwa setiap orang, pemerintah pusat, atau pemerintah daerah wajib memasang dan
mengaktifkan transmitter sistem pemantauan kapal perikanan (SPKP) di kapal perikanan sebelum
melakukan kegiatan perikanan.

Transmitter SPKP digunakan untuk mengetahui pergerakan dan aktivitas kapal perikanan yang
memperoleh perizinan berusaha atau persetujuan dari gubernur atau menteri. Kapal perikanan yang
perizinan berusaha atau persetujuannya diterbitkan gubernur dan belum dapat memenuhi kewajiban
pemasangan dan pengaktifan transmitter SPKP, diberi tenggang memenuhi kewajiban ini paling lama
satu tahun sejak PP ini diundangkan.

Namun, kewajiban pemasangan dan pengaktifan transmitter SPKP dikecualikan bagi nelayan kecil
sehingga definisi nelayan kecil harus diperjelas. Apakah kategorinya berdasarkan kegiatan menangkap
ikan untuk kebutuhan sehari hari atau berdasarkan ukuran GT kapal penangkap ikannya.

Deretan kapal penangkap ikan yang bersandar di dermaga Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam
Zachman, Muara Baru, Jakarta Utara, Sabtu (11/3/2023). Pemerintah telah menerbitkan Peraturan
Pemerintah tentang Penangkapan Ikan Terukur terbit.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Deretan kapal penangkap ikan yang bersandar di dermaga Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam
Zachman, Muara Baru, Jakarta Utara, Sabtu (11/3/2023). Pemerintah telah menerbitkan Peraturan
Pemerintah tentang Penangkapan Ikan Terukur terbit.

Pemantauan dan pengendalian di wilayah teritorial tidak kalah penting untuk keberlanjutan sumber
daya ikan, apalagi area penangkapannya padat dan tumpang tindih sehingga berpotensi konflik dengan
nelayan kecil, tetapi kewenangan perizinan kapal di bawah 30 GT di pemda. Selain pemantauan SPKP,
pengendalian jumlah kapal, jenis alat tangkap di wilayah teritorial juga tidak kalah penting untuk
keberlanjutan, tetapi bukan kewenangan KKP melainkan pemda.

Anehnya dalam berbagai forum KKP berupaya meyakinkan PIT akan memberikan banyak keistimewaan
kepada nelayan kecil, salah satunya pembebasan pungutan hasil perikanan. Padahal faktanya, sejak
dahulu urusan nelayan kecil merupakan kewenangan pemda dan tidak pernah dipungut penerimaan
negara bukan pajak (PNBP).

Pada 2022, PNBP perikanan tangkap mencapai Rp 1,279 triliun, seluruhnya berasal dari kapal penangkap
ikan di atas 30 GT. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) pada 2022 mendapatkan alokasi
anggaran sebesar Rp 793,8 miliar, tetapi realisasi anggaran DJPT 2022 hanya Rp 408 miliar (51 persen).
Perolehan PNBP perikanan tangkap sebenarnya relatif tinggi karena nilainya lebih dari tiga kali lipat
realisasi anggaran DJPT.

Baca juga: Polemik Kebijakan PNBP Perikanan


Masih banyak pihak yang percaya penyebab minimnya kontribusi sektor perikanan terhadap PDB
nasional akibat pencurian ikan oleh kapal-kapal asing serta eksploitasi sumber daya perikanan oleh
oligarki. Jika kita analisis data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) selama sembilan tahun
(2014-2022), khususnya realisasi investasi penanaman modal asing dan dalam negeri di sektor perikanan
sangat minim sekali, hanya Rp 7,97 triliun atau rata-rata Rp 879 miliar per tahun.

Peringkat realisasi investasi sektor perikanan selalu terseok-seok di peringkat terbawah dari 23 sektor
sehingga sangat wajar jika kontribusi sektor perikanan terhadap PDB nasional sangat kecil, hanya 2,8
persen. Peningkatan investasi di sektor perikanan merupakan kunci meningkatkan kontribusi sektor
perikanan terhadap PDB nasional termasuk peningkatan PNBP yang wajar.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/1R2-h0s-L99BMWO_Y6PaWZ3b-8I=/1024x602/https%3A%2F
%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F02%2F20211102-Ilustrasi-PNBP-
Kelautan-dan-Perikanan-Pungutan-untuk-Ekologi_1635863329_jpg.jpg

Zona maritim

Litbang Kompas (26/1/2023) juga menyoroti ironi kemiskinan wilayah pesisir yang kaya potensi ekonomi
kelautan dan perikanan. PNBP akan dikembalikan ke masyarakat nelayan, salah satunya melalui program
prioritas kampung nelayan maju (Kalaju). Namun, program ini masih diragukan apakah mampu
meningkatkan kesejahteraan nelayan secara signifikan mengingat alokasi anggaran untuk Kalaju
terbatas.

Di lain pihak, beberapa lembaga swadaya masyarakat justru mengkhawatirkan penangkapan ikan
terukur tidak pro nelayan kecil dengan alasan akan kalah bersaing dengan kapal nelayan besar. Namun,
kekhawatiran ini menunjukkan kerancuan pemahaman mengenai batas zona maritim.

Pengaturan zona penangkapan ikan sudah dituangkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 59/Permen-KP/2020 tentang jalur penangkapan ikan dan alat penangkapan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan negara RI dan laut lepas. Ada tiga jalur penangkapan ikan, yaitu jalur I (0-4 mil),
jalur II (4-12 mil), jalur III (12-200 mil).
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS)
melalui UU No 17/1985.

Sebelum Deklarasi Djuanda diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut internasional UNCLOS
1982, setiap pulau hanya mempunyai laut sejauh 3 mil dari garis pantai. Jalur I dan II termasuk wilayah
teritorial, sedangkan jalur III adalah wilayah ZEEI. Jalur II dan III murni perluasan wilayah pengelolaan
laut Indonesia. Jalur III yang merupakan wilayah ZEEI di mana Indonesia memiliki hak berdaulat
(sovereign right) untuk memanfaatkan sumber daya alam termasuk sumber daya ikan yang
pengelolaannya di bawah wewenang KKP (izin pusat).

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS)
melalui UU No 17/1985. Wilayah ZEEI yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut wajib dimanfaatkan
secara optimal. Jika ada surplus dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan, maka negara lain yang tidak
memiliki pantai atau negara yang secara geografis tidak beruntung memperoleh kesempatan untuk
turut serta memanfaatkan ZEEI.

Nelayan dari Desa Namatota, Distrik Kaimana, Kabupaten Kaimana, Papua Barat, memasukkan ikan yang
telah ditangkap ke dalam perahu di perairan laut di sekitar desa mereka, Senin (14/6/2021).

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Nelayan dari Desa Namatota, Distrik Kaimana, Kabupaten Kaimana, Papua Barat, memasukkan ikan yang
telah ditangkap ke dalam perahu di perairan laut di sekitar desa mereka, Senin (14/6/2021).

Perjuangan Ir H Djuanda Kartawidjaja berhasil menjadikan Indonesia sebagai archipelagic states


sekaligus menambah luas wilayah laut Indonesia 2,5 kali lipat. Sebagai generasi penerus, seharusnya kita
menghormati dan menghargai perjuangan beliau dengan cara memanfaatkan sumber daya di wilayah
ZEEI secara optimal dan tidak perlu berbagi dengan negara lain kecuali memang tidak mampu.

Dikotomi pendekatan pengendalian penangkapan ikan konvensional yang berdasarkan input control dan
PIT yang berdasarkan output control tidak perlu dipertentangkan, seharusnya dapat saling melengkapi.
Yang harus dihindari adalah kebijakan open access yang tanpa pengendalian sama sekali sehingga
membahayakan keberlanjutan sumber daya ikan dan keberlanjutan usaha nelayan.

Baca juga: PNBP Dipatok Naik 300 Persen, Kualitas Hidup Nelayan Perlu Jadi Perhatian
Kementerian (KKP) sebaiknya tidak membuat peraturan atau kebijakan baru yang menimbulkan polemik
baru sementara persoalan lama masih belum tuntas. Akademisi sebagai the last resort juga diharapkan
menjadi wasit yang adil, dan berani mengambil sikap tegas dan obyektif untuk membantu menuntaskan
polemik PNBP dan PIT.

Percepatan pelaksanaan PIT tidak cukup sekadar membentuk tim percepatan PIT. Tidak siapnya KKP
dalam penyusunan peraturan turunan untuk melaksanakan PIT merupakan masalah internal dan jangan
dijadikan alasan untuk menghentikan proses perizinan. Stop proses perizinan adalah tindakan yang
sangat kontraproduktif dan menunjukkan tidak berfungsinya tim percepatan.

Reaktualisasi revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi perlu segera diterapkan di KKP untuk
memperbaiki iklim usaha agar kondusif agar realisasi investasi dapat meningkat signifikan. Cita-cita
menjadikan laut masa depan bangsa dan Indonesia sebagai poros maritim dunia sulit terwujud jika tidak
ada perubahan arah kebijakan.

Anda mungkin juga menyukai