Anda di halaman 1dari 3

Memahami Beban Gregoria Mariska dan Nelangsa Piala Sudirman

Tak ada pilihan lain bagi Jorji, nama panggilan pebulutangkis tunggal putri
terbaik Indonesia saat ini, Gregoria Mariska Tunjung Cahyaningsih.

Dia mesti melangkahkan kakinya masuk arena Olympic, Shuzou, meski dia
tahu beban yang dipikul amatlah berat.

Sambil menyiapkan raket, melakukan pemanasan, dialog di benaknya terus


saling beririsan.

“Ayo Jorji, kamu bisa!, tapi di sisi lain ada juga suara “Terlalu sulit Jorji,
menyerah saja”, suara kedua terdengar lirih, seperti berupaya paham akan
perasaannya saat itu.

Beban Jorji memang amatlah berat. Di partai ketiga Piala Sudirman 2023 ini,
nasib Indonesia berada dan berpaut di keunggulan ayunan raketnya.

Apalagi secara tim, skor sudah menunjukan 2-0 untuk tuan rumah China
setelah ganda campuran Rinov Rivaldy/Gloria Emanuelle Widjaja dan
Anthony Ginting takluk oleh lawan- lawannya.

Di titik tersebut, Jorji masih berusaha untuk bersepakat dengan pikirnya,


bahwa tak ada yang tak mungkin. Semuanya masih mungkin terjadi.

Sebelumnya, di ruang ganti, intipannya melihat bahwa kompatriotnya


Rinov/Gloria dan Ginting juga tak kalah dengan mudah. Rinov/Gloria bahkan
sempat unggul jauh di angka 19-13 di set kedua setelah menang di set
pertama.

Sayang bagi keduanya, di saat itulah pasangan ganda campuran nomor satu
dunia, Zheng Si Wei/Huang Ya Qiong bangkit. Berbalik unggul, dan
menyelesaikan set ketiga dengan meyakinkan.

Anthony Ginting? “Hampir” menang memang menyakitkan.

Menyentuh angka 20 terlebih dulu di set awal, dan membuat Shi Yu Qi sempat
gugup, namun ada angin jahat apa, Ginting mudah dikejar dan kalah di set
awal. Di set kedua, Ginting sudah seperti kehabisan bahan bakar, dan Shi Yu
Qi semakin kuat. Genap sudah, Indonesia ketinggalan 0-2 dari China.

Di titik sulit itulah Jorji berada. Meski mencoba menaikkan kepercayaan diri
dengan berkata bahwa dirinya adalah pebulutangkis 10 besar dunia, namun
Jorji nampaknya juga mafhum bahwa lawannya di seberang net bukanlah
orang sembarangan.

Chen Yu Fei adalah peraih medali emas Olimpiade 2020, dan rekor di antara
keduanya sama sekali tidak memihak Jorji. Dari delapan laga, setengah lusin
kemenangan adalah milik Chen Yu Fei, berbanding telak dua kemenangan
untuk Jorji.

Ketika peluit laga dibunyikan, di lapangan Jorji nampak tak mau dengan
mudah untuk bertekuk lutur.

Perhatikan saja, Jorji bertarung spartan, berlari kemana-mana, nettingnya


bahkan berjalan hampir menyentuh sempurna. Chen Yu Fei beberapa kali
dipaksa melakukan split untuk menjangkau bola netting, atau drop shot yang
tajam di set pertama itu.

Alhasil skor imbang banyak terjadi, 9-9, 13-13, 15-15, 18-18, bahkan Jorji
sempat unggul 19-18.

Akan tetapi, semesta memang tidak memihak Jorji. Dengan dukungan mayor
penonton di Olympic Sports Centre, Chen Yu Fei mampu menguasai keadaan
dan unggul dengan 22-20 di set pertama.

Di set kedua, Jorji masih belum mau menyerah, dan terus memberikan
perlawanan, sayang kali ini, Chen Yu Fei sudah semakin menemukan
permainan terbaiknya dan meninggalkan Jorji tertinggal di interval kedua.

Jorji nampak kelelahan mengejar bola, secara fisik ataupun psikis. Ada momen
ketika tidak dapat menjangkau bola, Jorji berlutut dan tertunduk.

Lalu bangkit, mencoba berdialog dengan dirinya sendiri, untuk membakar


semangat. Hanya itu yang bisa dilakukan Jorji setelahnya. Chen Yu Fei
mengunci skor 21-12, dan pendukung dan ofisial China berdiri di pinggiran
arena memberikan tepuk tangan untuk Chen Yu Fei.

Jorji lalu berjalan menuju sudutnya. Membereskan handuk, raket dan tas
olahraganya. Tak banyak yang terlihat. Jorji tentu saja bersedih, dia pada
akhirnya tak mampu menjadi penyelamat tim.

Tak mengapa Jorji.

Tak ada waktu yang bisa diputar kembali, penyesalan juga tak ada guna.
Menyesali kekalahan atas Thailand, juga tak bisa mengubah situasi bahwa kali
ini babak semifinal pun tak dapat dipijak.

China memang tim yang tangguh, namun dalam sejarah, hanya tiga tim yang
pernah menjuarai Piala Sudirman ini; China, Korsel dan Indonesia. Artinya,
tersingkir di perempatfinal bukanlah sebuah kepantasan bagi Indonesia.

Perlu ada evaluasi mendalam. Sudah sangat lama, yakni sudah sejak 1989, kita
tak pernah juara di ajang ini. Entah sampai kapan menunggu, jikalau emas
sepakbola sejak 32 tahun, seharusnya asa itu mesti terpelihara.

Harap saja, sebelum Jorji pensiun, Sudirman Cup akan kembali lagi ke tanah
air. Saatnya pulang.

Anda mungkin juga menyukai