Anda di halaman 1dari 9

NAMA : PUTRI WULANDARI

NIM : 202110110311145
KELAS : 3G
MATA KULIAH : HUKUM AGRARIA
DOSEN PENGAMPU : ISDIAN ANGGRAENY, S.H., MKn

UAS HUKUM AGRARIA

HAK SATUAN RUMAH SUSUN

1. Berita di Media Online/Cetak

Sengkarut Bisnis Apartemen Malang City Point, Pengelola Dinyatakan Paillit


(Sengkarut Bisnis Apartemen Malang City Point, Pengelola Dinyatakan Pailit -
Suaramalang.id), Diakses Pada Tanggal 11 Januari 2023, Pukul 22.29)

2. Fakta-Fakta Hukum

Dari kasus tersebut diperoleh fakta bahwa ratusan pemilik apartemen dan
condotel di Malang City Point (MCP) resah lantaran mereka kemungkinan akan
merugi dan kehilangan propertinya saat proses lelang, hal ini dikarenakan pengelola
apartemen PT Graha Mapan Lestari (GML) sebagai pengembang Apartemen Malang
City Point dinyatakan pailit oleh kreditor utama PT GML, PT Bank Tabungan Negara
(BTN). Dengan adanya putusan pailit ini pemilik apartemen MCP terancam tidak bisa
memiliki unit dan memperoleh uang hasil penjualan, apabila bangunan ini dilelang PT
BTN. Kepailitan ini berdasar Putusan Pengadilan Niaga Surabaya Nomor 3/Pdt-Sus-
PKPU/2021/Pn-Niaga-Surabaya.
Alhasil pengelola telah diambil alih oleh kurator, kemudian properti pemilik
user itu kemungkinan akan dilelang oleh kreditor utama PT BTN, hal ini terjadi
karena melalui proses voting kreditor utama PT GM, PT BTN memilih proposal
perdamaian dan memailitkan PT GML. Kepailitan yang menimpa PT GML terjadi
karena tidak bisa membayar utang ke tiga kreditur yaitu PT BTN, Kreditur Preferen,
dan Kreditur Konkuren.
Atas putusan pailit tersebut, 145 user bereaksi karena merasa terancam diusir,
karena bisa saja Bank BTN melelang kepemilikan seluruh aset di MCP. Apalagi
kebanyakan user belum memiliki hak penuh atas kepemilikan apartemen dan
kontrodel tersebut dimana hanya mengantongi kwitansi saja dan belum mendapatkan
bukti Akta Jual Beli (AJB) serta Perjanjian Pengikat Jual Beli (PPJB), sedangkan
sertifikat sudah dipegang dan dikuasai oleh BTN.
Sampai akhir 2021 jumlah utang GML sudah tercatat sekitar 270 miliar dan
aset PT GML berupa tanah, gedung mall dan ruang usaha dan beberapa sisa unit
apartemen yang belum terjual berjumlah Rp 326,7 miliar.
Disini Eva selaku pemilik dari salah satu unit apartemen menyebutkan bahwa
kepailitan PT GML disebabkan oleh kelalaian pada Direksi PT GML, yang dimana
dengan sengaja menyalahgunakan kredit untuk keperluan pribadi, sengaja
meminjamkan aset yang dijual secara transparan.
Eva juga meminta kepada kreditur utama PT BTN tidak menyertakan properti
miliknya dan pemilik lainnya, karena apartemen tersebut sudah dibayar lunas dibeli
dari PT GML. Mereka pun tidak tahu menahu bahwa properti tersebut yang sudah
dibeli ternyata dijadikan jaminan pengkreditan.

3. Rumusan Masalah
1) Hak dan kewajiban apa saja yang seharusnya dimiliki oleh konsumen apartemen
2) Bagaimana nasib konsumen apartemen terkait dengan kepailitan yang dilakukan
oleh developer
3) Bagaimana perlindungan hukum terhadap pembeli apartemen apabila developer
pailit
4) Apa kepailitan yang dilakukan oleh developer bisa mengakibatkan hapusnya PPJB

4. Analisis

1) Pemilik suatu apartemen atau rumah susun mempunyai hak dan kewajiban yang


diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun. Berikut
adalah isi peraturannya.

Pasal 61 PP No. 4 Tahun 1988, Ayat (1) setiap penghuni berhak:


- Memanfaatkan rumah susun dan lingkungannya termasuk bagian bersama, benda
bersama dan tanah bersama secara aman dan tertib;
- Mendapatkan perlindungan sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga;
- Memilih dan dipilih menjadi Anggota Pengurus Perhimpunan Penghuni.

Ayat (2) setiap penghuni berkewajiban:

- Mematuhi dan melaksanakan peraturan tata tertib dalam suatu rumah


susun dan lingkungannya sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga;
- Membayar iuran pengelolaan dan premi asuransi kebakaran;
- Memelihara rumah susun dan lingkungannya termasuk bagian bersama, benda
bersama dan tanah bersama.

Ayat (3) setiap penghuni dilarang:

- Melakukan perbuatan yang membahayakan keamanan,


ketertiban dan keselamatan terhadap penghuni lain, bangunan dan lingkungannya;
- Mengubah bentuk dan/atau menambah bangunan di luar satuan rumah susun yang
dimiliki tanpa mendapat persetujuan perhimpunan penghuni.

Selain hak dan kewajiban pemilik apartemen dan rumah susun yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah tersebut, penghuni yang menjadi anggota Perhimpunan
Penghuni Rumah Susun (PPRS) mempunyai hak suara dalam kegiatan rapat umum.
PPRS ini merupakan badan hukum yang sah serta satu-satunya badan yang berhak
untuk mengelola aset apartemen serta mengatur peraturan. Penghuni dapat
menyuarakan pendapat mereka dalam setiap rapat umum serta hak suara ini terbagi
dalam 3 kategori, yaitu:

1. Hak suara penghunian, hak suara untuk menentukan hal-hal menyangkut tata tertib,
pemakaian fasilitas dan kewajiban pembayaran iuran atas pengelolaan serta
asuransi kebakaran terhadap hak bersama seperti bagian bersama, benda
bersama serta tanah bersama. Setiap pemilik hak atas tanah satuan rumah susun
mewakili satu suara.
2. Hak suara pengelolaan, hak suara para anggota PPRS untuk menentukan hal-hal
terkait pemeliharaan, perbaikan serta pembangunan prasarana lingkungan, serta
fasilitas sosial, bagian bersama, benda bersama serta tanah bersama.

3. Hak suara pemilikan, hak suara ini untuk menentukan hal-hal yang menyangkut
hubungan antar sesama penghuni satuan rumah susun; Pemilihan Pengurus PP
dan biaya-biaya atas satuan rumah susun.

Berdasarkan penjelasan ini, setiap pemilik atau penghuni mempunyai


kewajiban serta hak yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut.
Setiap apartemen di Indonesia sudah seharusnya memiliki PPRS sendiri untuk
kepentingan sesama penghuni dan pemilik apartemen

2) Dari kasus diatas konsumen apartemen tersebut sudah sangat dirugikan dan terancam
diusir. Sampai saat ini pembeli atau konsumen masih banyak yang belum mengetahui
dan memahami aturan perundang-undangan terkait apartemen, yang pada akhirnya
banyak pembeli atau konsumen yang dirugikan. Apartemen sendiri dalam Undang-
Undang No. 20 Tahun 2011 tentang rumah susun, merupakan salah satu bentuk dari
rumah susun yang sifatnya komersial. Pengertian dari rumah susun sendiri dijelaskan
dalam pasal 1 ayat 1 (1) yang berbunyi rumah susun adalah bangunan gedung
bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian
yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horisontal maupun vertikal dan
merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama.

Dari kasus diatas sebagian user belum memiliki hak penuh atas kepemilikan
apartemen dan kontrodel tersebut, ada yang sudah membeli satu unit apartemen
namun sampai saat ini hanya mempunyai kwitansinya saja dan belum bisa menempati
apartemennya. Dalam hal ini konsumen sudah membayar lunas namun tidak
mendapat perjanjian pengikat jual beli (PPJB) dan akta jual beli (AJB), yang dimana
seharusnya konsumen melakukan PPJB itu sebagai bentuk pengikat developer dengan
konsumen untuk kemudian melakukan jual beli. Apabila konsumen sudah melakukan
penandatanganan perjanjian pengikat jual beli (PPJB) namun kemudian developer
dinyatakan pailit, maka dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (UUK), yakni: “Apabila dalam perjanjian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 telah diperjanjikan penyerahan benda dagangan yang biasa
diperdagangkan dengan suatu jangka waktu dan pihak yang harus menyerahkan benda
tersebut sebelum penyerahan dilaksanakan dinyatakan pailit maka perjanjian menjadi
hapus dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit, dan dalam hal pihak lawan
dirugikan karena penghapusan maka yang bersangkutan dapat mengajukan diri
sebagai kreditor konkuren untuk mendapatkan ganti rugi.”

Disini konsumen properti adalah pihak yang paling dirugikan jika terjadi kasus
pailit. Hal ini karena konsumen bukan kreditur prefen sehingga pengembalian dana
dilaksanakan paling akhir, jika semua pihak telah terbayarkan. Nasib dari para user
tersebut sebagai pihak yang dirugikan solusinya adalah mengadukan ke lembaga yang
berwenang. Misalnya badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK), yayasan
lembaga konsumen Indonesia, ombudsman, hingga lembaga bantuan hukum atau
pengacara dan dapat melakukan upaya hukum dengan mengajukan tuntutan atau
gugatan kepada developer MCP melalui pengadilan agar mendapatkan kembali hak-
haknya.

3) Dalam UUPK perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum yang diberikan untuk menciptakan sebuah perlindungan kepada
konsumen. Bentuk perlindungan hukum untuk konsumen diketahui ada dua sifat
perlindungan hukum, yaitu perlindungan hukum yang bersifat preventif serta
perlindungan hukum yang bersifat represif. Perlindungan hukum yang bersifat
preventif merupakan perlindungan hukum yang sifatnya pencegahan. Dengan ini
perlindungan hukum yang sifatnya preventif merupakan sesuatu yang pasti dan dibuat
oleh pemerintah dalam suatu perundang-undangan. Dalam hukum perlindungan
konsumen ada 3 fase atau tahapan transaksi dalam perlindungan konsumen adalah
1. Tahap Pratransaksi
Tahap pertama yaitu tahap pratransaksi yang dimana sebelum terjadinya
hubungan natara konsumen dan pelaku usaha. Pengembang dalam tahap ini
melakukan kegiatan usahanya sebelum terjadinya tahap jual-beli. Pada tahap
ini pengembang berhubungan dengan hal-hal perizinan sebagaimana yang
telah ditentukan dan diatur oleh peraturan yang ada. Kemudian salah satu
kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengembang adalah pemasaran awal atau
yang diketahui sebagai pre-project selling.
2. Tahap Transaksi
Tahap transaksi terjadi pada saat adanya hubungan hukum antara pelaku usaha
dan konsumen. Lahirnya kesepakatan pada tahap transaksi ini yang dituangkan
dalam suatu perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen. Hubungan hukum
antara PT Graha Mapan Lestari (GML) dan konsumen terjadi pada saat
adanya transaksi jual-beli. PPJB yang merupakan perjanjian menimbulkan
suatu prestasi timbal balik antara konsumen dengan pengembang. Dalam hal
ini pengembang berhak mendapatkan pembayaran atas penjualan unit-unit
apartemen dan berkewajiban untuk menyelesaikan pembangunan sampai
konsumen mendapatkan barang yang diperjanjikan yaitu unit apartemen.
Sebaliknya konsumen berhak atas unit apartemen yang dibelinya dan
berkewajiban untuk membayar secara penuh sesuai dengan harga satuan unit
apartemen. PPJB dalam hal ini tidak dapat menjamin kepemilikan dari
pembelian unit apartemen tersebut karena belum adanya AJB.
3. Tahap Pasca Transaksi
Tahap ini jatuh pada pemenuhan dari prestasi setelah perjanjian dibuat pada
tahap transaksi. Banyak terjadinya sengketa konsumen pada tahap ini yang
diakibatkan oleh salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

Dari ketiga tahapan tersebut, perlindungan hukum konsumen dalam hal


pengembang sudah dinyatakan pailit adalah adanya ketidakpastian hukum bagi
konsumen apalagi dalam hal ganti rugi. Perlindungan hukum secara preventif belum
dapat memberikan perlindungan secara maksimal bagi konsumen dalam bidang
properti maupun menyangkut perihal kepailitan yang dialami oleh pelaku usaha.

Seperti PT Graha Mapan Lestari (GML) tidak memenuhi kewajibanya karena


adanya permasalahan finansial. Dimana sampai saat ini banyak pembeli atau
konsumen yang belum mendapatkan haknya, akibat permasalahan finansial tersebut
mengakibatkan konsumen kalang kabut takut diusir dari apartemen MCP dan masih
ada yang belum mendapatkan akses unit apartemen padahal sudah melunasi
pembayarannya. Akibat yang timbul setelah adanya keputusan pailit pengembang PT
Graha Mapan Lestari (GML) adalah terabaikannya hak-hak konsumen seperti yang
terdapat pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Para konsumen selaku
pembeli unit apartemen belum mendapatkan hak yang seharusnya dimiliki dan belum
mendapatkan ganti rugi. Karena sampai saat ini masih banyak konsumen yang belum
mendapatkan PPJB dan juga masih ada yang belum bisa masuk ke dalam unit
apartemennya karena hanya mengantongi bukti kwitansi. Dari awal konsumen
membeli unit apartemen ini tidak mengetahui bahwa properti yang sudah dibeli
ternyata dijadikan jaminan pengkreditan. Akibatnya yang rugi disini adalah konsumen
karena keputusan pailit yang pada kenyataannya tidak mempertimbangkan hak-hak
konsumen sehingga konsumen mengalami kerugian baik dari segi materiil maupun
immateriil. Konsumen juga belum mendapat haknya berupa sertifikat Hak Milik atas
Satuan Rumah Susun yang seharusnya didapatkan apabila telah membayar lunas unit-
unit apartemen.
Kasus apartemen Malang City Point (MCP) menunjukkan bahwa sengketa yang
terjadi antara PT Graha Mapan Lestari (GML) dengan PT Bank Tabungan Negara
(BTN) meletakkan konsumen berada di posisi yang dirugikan. Hal ini dapat kita lihat
dengan tidak terpenuhinya asas-asas perlindungan konsumen yang tidak dapat
diberikan kepada konsumen. Hak-hak dari konsumen dilanggar dan tidak memenuhi
kewajibannya. Akibatnya konsumen susah mendapatkan ganti kerugian dari
permasalahan yang timbul karena adanya putusan pailit. Permasalahan ini muncul
pada saat perusahaan pengembang yang pada semulanya tidak terjadi apa-apa tiba-
tiba mengalami masalah keuangan. Sebab terjadinya masalah keuangan tersebut
dikarenakan kelalaian pada Direksi PT GML yang dimana dengan sengaja
menyalahgunakan kredit untuk keperluan pribadi, dan dengan sengaja meminjamkan
aset yang dijual secara transparan. Masalah tersebut menyebabkan adanya utang-
utang yang tidak dapat dibayarkan oleh pengembang yang pada akhirnya apartemen
MCP dijadikan sebagai jaminan atas utang-utang tesebut.
Kepailitan yang terjadi telah melanggar hak-hak konsumen dalam pasal 4 UUPK
huruf a, e, dan h yang berbunyi:
a. Pasal 4 UUPK huruf a yaitu “Konsumen tidak mendapatkan haknya untuk
mendapatkan barang tersebut sesuai dengan kondisi yang dijanjikan.Kepailitan
menempatkan harta pengembang berada di bawah pengawasan kurator yang
kemudian setelah pailit konsumen konsum dalam hal pelunasannya.”
b. Pasal 4 UUPK huruf e yaitu “Konsumen tidak mendapatkan haknya untuk
mendapatkan barang tersebut sesuai dengan kondisi yang dijanjikan.Kepailitan
menempatkan harta pengembang berada di bawah pengawasan kurator yang
kemudian setelah pailit konsumen konsum dalam hal pelunasannya.”
c. Pasal 4 huruf h yaitu “Hak konsumen untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
secara patut tidak dapat dilewati karena adanya pengaturan daripada pailit
tersendiri.”
Bentuk perlindungan hukum yang bersifat represif yaitu berfungsi untuk
menyelesaikan apabila terjadi sengketa. Penyelesaian sengketa konsumen dapat
ditempuh melalui jalur litigasi yaitu melalui pengadilan atau jalur non litigasi atau di
luar pengadilan (Pasal 45 ayat (2) UUPK). Sengketa konsumen dalam hal
pengembang yang sudah dinyatakan pailit ini membuat perlindungan hukum represif
secara hukum perlindungan konsumen tidak dapat dijalnkan sama sekali. Konsumen
yang mempunyai hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum dengan adil tidak
mendapatkan keadilan tersebut dalam penyelesaian sengketa ini.

4) Secara umum PPJB adalah kesepakatan antara calon penjual dan calon pembeli untuk
menandatangani Akta Jual Beli (AJB) di kemuadian hari. Maka, dalam PPJB belum
terjadi jual beli karena baru mengikatkan untuk melakukan jual beli di waktu yang
akan datang. Oleh karenanya, status kepemilikan unit apartemen yang telah dibayar
lunas sebelum beralih status kepada pembeli karena masih berdasarkan PPJB.

Kemudian pada Pasal 37 ayat (1) UU 37/2004 berbunyi “Apabila dalam


perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 telah diperjanjikan penyerahan
benda dagagan yang bisa diperdagangkan dengan suatu jangka waktu dan pihak yang
harus menyerahkan benda tersebut sbeelum penyerahan dilaksanakan dinyatakan palit
maka perjanjian menjadi hapus dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit, dan
dalam hal pihak lawan dirugikan karena penghapusan maka yang bersangkutan dapat
mengajukan diri sebgaai kreditur konkuren untuk mendapatkan ganti rugi”. Sama
halnya jika masih ada perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian
terlaksana, maka berdasarkan Pasal 36 ayat (1) UU 37/2004 berbunyi “Dalam hal
pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan, terdapat perjanjian timbal balik yang
belum atau baru sebagaian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan
debitor dapat meminta kepada kurator untuk memberikan kepastian tentang
kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersbeut dalam jangka waktu yang disepakati oleh
kurator dan pihak tersebut”. Apabila dalam jangka waktu tersbeut, kurator tidak
memberikan jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersbeut,
maka perjanjian berakhir dan pihak dalam perjanjian tersebut dapat menuntut ganti
rugi dan akan diperlakukan sebagai kreditor konkuren.

5. Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah dijelaskan, maka dapat
disimpulkan bahwa pengelola apartemen PT Graha Mapan Lestari (GML) sebagai
pengembang Apartemen Malang City Point dinyatakan pailit oleh kreditor utama PT
GML, PT Bank Tabungan Negara (BTN). Pada dasarnya para konsumen tidak
mengetahui bahwa properti yang sudah dibeli ternyata dijadikan jaminan
pengkreditan. Alhasil pengelola telah diambil alih oleh kurator, kemudian properti
pemilik user itu kemungkinan akan dilelang oleh kreditor utama PT BTN. Pemilik
suatu apartemen atau rumah susun mempunyai hak dan kewajiban yang diatur oleh
Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun. Selain
hak dan kewajiban pemilik apartemen dan rumah susun yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah tersebut, penghuni yang menjadi anggota Perhimpunan Penghuni Rumah
Susun (PPRS). Nasib dari para user tersebut sebagai pihak yang dirugikan solusinya
adalah mengadukan ke lembaga yang berwenang. Bentuk perlindungan hukum untuk
konsumen diketahui ada dua sifat perlindungan hukum, yaitu perlindungan hukum
yang bersifat preventif serta perlindungan hukum yang bersifat represif.

Saran yang bisa saya sampaikan adalah karena sampai saat ini pembeli atau
konsumen masih banyak yang belum mengetahui dan memahami aturan perundang-
undangan terkait apartemen yang pada akhirnya banyak pembeli atau konsumen yang
dirugikan, hendaknya sebelum melakukan pembelian apartemen konsumen harus
melakukan pemeriksaan kuandran, jejaring bisnis, dan reputasi developer serta agen
marketing (broker), dan memeriksa kemajuan pengurusan PPJB (Perjanjian
Pengikatan Jual Beli), AJB (Akta Jual Beli) serta SLF (Sertifikat Laik Fungsi).

Anda mungkin juga menyukai