Uas Hukum Agraria
Uas Hukum Agraria
NIM : 202110110311145
KELAS : 3G
MATA KULIAH : HUKUM AGRARIA
DOSEN PENGAMPU : ISDIAN ANGGRAENY, S.H., MKn
2. Fakta-Fakta Hukum
Dari kasus tersebut diperoleh fakta bahwa ratusan pemilik apartemen dan
condotel di Malang City Point (MCP) resah lantaran mereka kemungkinan akan
merugi dan kehilangan propertinya saat proses lelang, hal ini dikarenakan pengelola
apartemen PT Graha Mapan Lestari (GML) sebagai pengembang Apartemen Malang
City Point dinyatakan pailit oleh kreditor utama PT GML, PT Bank Tabungan Negara
(BTN). Dengan adanya putusan pailit ini pemilik apartemen MCP terancam tidak bisa
memiliki unit dan memperoleh uang hasil penjualan, apabila bangunan ini dilelang PT
BTN. Kepailitan ini berdasar Putusan Pengadilan Niaga Surabaya Nomor 3/Pdt-Sus-
PKPU/2021/Pn-Niaga-Surabaya.
Alhasil pengelola telah diambil alih oleh kurator, kemudian properti pemilik
user itu kemungkinan akan dilelang oleh kreditor utama PT BTN, hal ini terjadi
karena melalui proses voting kreditor utama PT GM, PT BTN memilih proposal
perdamaian dan memailitkan PT GML. Kepailitan yang menimpa PT GML terjadi
karena tidak bisa membayar utang ke tiga kreditur yaitu PT BTN, Kreditur Preferen,
dan Kreditur Konkuren.
Atas putusan pailit tersebut, 145 user bereaksi karena merasa terancam diusir,
karena bisa saja Bank BTN melelang kepemilikan seluruh aset di MCP. Apalagi
kebanyakan user belum memiliki hak penuh atas kepemilikan apartemen dan
kontrodel tersebut dimana hanya mengantongi kwitansi saja dan belum mendapatkan
bukti Akta Jual Beli (AJB) serta Perjanjian Pengikat Jual Beli (PPJB), sedangkan
sertifikat sudah dipegang dan dikuasai oleh BTN.
Sampai akhir 2021 jumlah utang GML sudah tercatat sekitar 270 miliar dan
aset PT GML berupa tanah, gedung mall dan ruang usaha dan beberapa sisa unit
apartemen yang belum terjual berjumlah Rp 326,7 miliar.
Disini Eva selaku pemilik dari salah satu unit apartemen menyebutkan bahwa
kepailitan PT GML disebabkan oleh kelalaian pada Direksi PT GML, yang dimana
dengan sengaja menyalahgunakan kredit untuk keperluan pribadi, sengaja
meminjamkan aset yang dijual secara transparan.
Eva juga meminta kepada kreditur utama PT BTN tidak menyertakan properti
miliknya dan pemilik lainnya, karena apartemen tersebut sudah dibayar lunas dibeli
dari PT GML. Mereka pun tidak tahu menahu bahwa properti tersebut yang sudah
dibeli ternyata dijadikan jaminan pengkreditan.
3. Rumusan Masalah
1) Hak dan kewajiban apa saja yang seharusnya dimiliki oleh konsumen apartemen
2) Bagaimana nasib konsumen apartemen terkait dengan kepailitan yang dilakukan
oleh developer
3) Bagaimana perlindungan hukum terhadap pembeli apartemen apabila developer
pailit
4) Apa kepailitan yang dilakukan oleh developer bisa mengakibatkan hapusnya PPJB
4. Analisis
Selain hak dan kewajiban pemilik apartemen dan rumah susun yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah tersebut, penghuni yang menjadi anggota Perhimpunan
Penghuni Rumah Susun (PPRS) mempunyai hak suara dalam kegiatan rapat umum.
PPRS ini merupakan badan hukum yang sah serta satu-satunya badan yang berhak
untuk mengelola aset apartemen serta mengatur peraturan. Penghuni dapat
menyuarakan pendapat mereka dalam setiap rapat umum serta hak suara ini terbagi
dalam 3 kategori, yaitu:
1. Hak suara penghunian, hak suara untuk menentukan hal-hal menyangkut tata tertib,
pemakaian fasilitas dan kewajiban pembayaran iuran atas pengelolaan serta
asuransi kebakaran terhadap hak bersama seperti bagian bersama, benda
bersama serta tanah bersama. Setiap pemilik hak atas tanah satuan rumah susun
mewakili satu suara.
2. Hak suara pengelolaan, hak suara para anggota PPRS untuk menentukan hal-hal
terkait pemeliharaan, perbaikan serta pembangunan prasarana lingkungan, serta
fasilitas sosial, bagian bersama, benda bersama serta tanah bersama.
3. Hak suara pemilikan, hak suara ini untuk menentukan hal-hal yang menyangkut
hubungan antar sesama penghuni satuan rumah susun; Pemilihan Pengurus PP
dan biaya-biaya atas satuan rumah susun.
2) Dari kasus diatas konsumen apartemen tersebut sudah sangat dirugikan dan terancam
diusir. Sampai saat ini pembeli atau konsumen masih banyak yang belum mengetahui
dan memahami aturan perundang-undangan terkait apartemen, yang pada akhirnya
banyak pembeli atau konsumen yang dirugikan. Apartemen sendiri dalam Undang-
Undang No. 20 Tahun 2011 tentang rumah susun, merupakan salah satu bentuk dari
rumah susun yang sifatnya komersial. Pengertian dari rumah susun sendiri dijelaskan
dalam pasal 1 ayat 1 (1) yang berbunyi rumah susun adalah bangunan gedung
bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian
yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horisontal maupun vertikal dan
merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama.
Dari kasus diatas sebagian user belum memiliki hak penuh atas kepemilikan
apartemen dan kontrodel tersebut, ada yang sudah membeli satu unit apartemen
namun sampai saat ini hanya mempunyai kwitansinya saja dan belum bisa menempati
apartemennya. Dalam hal ini konsumen sudah membayar lunas namun tidak
mendapat perjanjian pengikat jual beli (PPJB) dan akta jual beli (AJB), yang dimana
seharusnya konsumen melakukan PPJB itu sebagai bentuk pengikat developer dengan
konsumen untuk kemudian melakukan jual beli. Apabila konsumen sudah melakukan
penandatanganan perjanjian pengikat jual beli (PPJB) namun kemudian developer
dinyatakan pailit, maka dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (UUK), yakni: “Apabila dalam perjanjian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 telah diperjanjikan penyerahan benda dagangan yang biasa
diperdagangkan dengan suatu jangka waktu dan pihak yang harus menyerahkan benda
tersebut sebelum penyerahan dilaksanakan dinyatakan pailit maka perjanjian menjadi
hapus dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit, dan dalam hal pihak lawan
dirugikan karena penghapusan maka yang bersangkutan dapat mengajukan diri
sebagai kreditor konkuren untuk mendapatkan ganti rugi.”
Disini konsumen properti adalah pihak yang paling dirugikan jika terjadi kasus
pailit. Hal ini karena konsumen bukan kreditur prefen sehingga pengembalian dana
dilaksanakan paling akhir, jika semua pihak telah terbayarkan. Nasib dari para user
tersebut sebagai pihak yang dirugikan solusinya adalah mengadukan ke lembaga yang
berwenang. Misalnya badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK), yayasan
lembaga konsumen Indonesia, ombudsman, hingga lembaga bantuan hukum atau
pengacara dan dapat melakukan upaya hukum dengan mengajukan tuntutan atau
gugatan kepada developer MCP melalui pengadilan agar mendapatkan kembali hak-
haknya.
3) Dalam UUPK perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum yang diberikan untuk menciptakan sebuah perlindungan kepada
konsumen. Bentuk perlindungan hukum untuk konsumen diketahui ada dua sifat
perlindungan hukum, yaitu perlindungan hukum yang bersifat preventif serta
perlindungan hukum yang bersifat represif. Perlindungan hukum yang bersifat
preventif merupakan perlindungan hukum yang sifatnya pencegahan. Dengan ini
perlindungan hukum yang sifatnya preventif merupakan sesuatu yang pasti dan dibuat
oleh pemerintah dalam suatu perundang-undangan. Dalam hukum perlindungan
konsumen ada 3 fase atau tahapan transaksi dalam perlindungan konsumen adalah
1. Tahap Pratransaksi
Tahap pertama yaitu tahap pratransaksi yang dimana sebelum terjadinya
hubungan natara konsumen dan pelaku usaha. Pengembang dalam tahap ini
melakukan kegiatan usahanya sebelum terjadinya tahap jual-beli. Pada tahap
ini pengembang berhubungan dengan hal-hal perizinan sebagaimana yang
telah ditentukan dan diatur oleh peraturan yang ada. Kemudian salah satu
kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengembang adalah pemasaran awal atau
yang diketahui sebagai pre-project selling.
2. Tahap Transaksi
Tahap transaksi terjadi pada saat adanya hubungan hukum antara pelaku usaha
dan konsumen. Lahirnya kesepakatan pada tahap transaksi ini yang dituangkan
dalam suatu perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen. Hubungan hukum
antara PT Graha Mapan Lestari (GML) dan konsumen terjadi pada saat
adanya transaksi jual-beli. PPJB yang merupakan perjanjian menimbulkan
suatu prestasi timbal balik antara konsumen dengan pengembang. Dalam hal
ini pengembang berhak mendapatkan pembayaran atas penjualan unit-unit
apartemen dan berkewajiban untuk menyelesaikan pembangunan sampai
konsumen mendapatkan barang yang diperjanjikan yaitu unit apartemen.
Sebaliknya konsumen berhak atas unit apartemen yang dibelinya dan
berkewajiban untuk membayar secara penuh sesuai dengan harga satuan unit
apartemen. PPJB dalam hal ini tidak dapat menjamin kepemilikan dari
pembelian unit apartemen tersebut karena belum adanya AJB.
3. Tahap Pasca Transaksi
Tahap ini jatuh pada pemenuhan dari prestasi setelah perjanjian dibuat pada
tahap transaksi. Banyak terjadinya sengketa konsumen pada tahap ini yang
diakibatkan oleh salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
4) Secara umum PPJB adalah kesepakatan antara calon penjual dan calon pembeli untuk
menandatangani Akta Jual Beli (AJB) di kemuadian hari. Maka, dalam PPJB belum
terjadi jual beli karena baru mengikatkan untuk melakukan jual beli di waktu yang
akan datang. Oleh karenanya, status kepemilikan unit apartemen yang telah dibayar
lunas sebelum beralih status kepada pembeli karena masih berdasarkan PPJB.
Saran yang bisa saya sampaikan adalah karena sampai saat ini pembeli atau
konsumen masih banyak yang belum mengetahui dan memahami aturan perundang-
undangan terkait apartemen yang pada akhirnya banyak pembeli atau konsumen yang
dirugikan, hendaknya sebelum melakukan pembelian apartemen konsumen harus
melakukan pemeriksaan kuandran, jejaring bisnis, dan reputasi developer serta agen
marketing (broker), dan memeriksa kemajuan pengurusan PPJB (Perjanjian
Pengikatan Jual Beli), AJB (Akta Jual Beli) serta SLF (Sertifikat Laik Fungsi).