Anda di halaman 1dari 6

DOKUMENTASI PROSES MANDIRI

Mengapa penting untuk dilakukan?

Dalam melaksanakan proses implementasi dokumen SSK, seringkali situasi lapangan tidak seindah
gambaran di buku panduan. Ada-ada saja halangan dalam mencapai tujuan, dan ini wajar. Pada dasarnya,
setiap daerah punya kebutuhan dan situasi tertentu yang menuntut penyelesaian yang unik.

Panduan Pendampingan Implementasi SSK dapat membantu sejauh menghadirkan pakem-pakem ideal.
Namun adaptasi di masing-masing daerah, pada akhirnya, akan bergantung pada kreativitas Pokja.
Kreativitas akan mendorong Pokja melakukan berbagai improvisasi, dan ujung-ujungnya melahirkan
inovasi yang khas daerah tersebut. Di titik inilah, inovasi dapat menjadi inspirasi bagi daerah-daerah lain
dalam memecahkan permasalah implementasi.

Dokumentasi proses implementasi, sejatinya, membantu merekam perjalanan Pokja dalam melahirkan
inovasi.

Rekaman-rekaman ini, selain menjadi inspirasi, juga memainkan sejumlah peranan:

- Memudahkan identifikasi masalah dan pelaporan capaian;


- Menjadi bahan advokasi jangka panjang (untuk masyarakat, swasta, & media massa);
- Menunjukkan kearifan lokal dalam memecahkan permasalahan sanitasi.

Oleh karena potensi manfaat ini, maka Form Dokumentasi Proses Mandiri ini dibuat. Tujuannya adalah
agar Pokja terbiasa melakukan dokumentasi berkala. Bagaimana pun, tidak ada yang lebih paham tentang
seluk beluk sebuah proses selain dari mereka yang menjalaninya.

Mengapa halaman pelaporan proses di NAWASIS tidak cukup?

Melalui halaman ‘pelaporan proses’ NAWASIS, Pokja diminta untuk secara berkala memperbaharui status
implementasi berdasarkan poin-poin Milestone & Proses yang ada di dalamnya. Akan tetapi, halaman ini
hanya dapat memperlihatkan apakah sebuah Proses ‘sudah’ atau ‘belum’ dicapai.

Katakanlah, jika Pokja sedang berada di titik antara Proses ‘Mendapatkan Kesamaan Persepsi di Tingkat
Pokja’ dan ‘Mendapatkan Dukungan Kepala OPD’, dinamika akan ini tetap tercatat sebagai ‘belum’ oleh
halaman itu. Seolah-olah, Pokja belum melakukan apa-apa. Padahal, bisa saja sesungguhnya kedua Proses
tersebut tengah dijalani secara bersamaan.

Kegiatan Dokumentasi Proses Mandiri pun menjadi cara bagi Pokja untuk menunjukkan dinamika
lapangan, sekaligus tantangan yang tengah dihadapi. Dengan demikian, Pemerintah Pusat dapat turut
memberikan pendampingan yang responsif dengan permasalahan di lapangan.

Success Story vs Lessons Learned

Ada dua output akhir yang mungkin diolah dari Form Dokumentasi Proses Mandiri:

1. Success Story
Bentuk paling kaya dari hasil dokumentasi proses. Biasanya baru dapat dihasilkan setelah sebuah
siklus Milestone terpenuhi.

Oleh karena keutuhan ceritanya, sebuah Success Story dapat turut dipublikasikan kepada pihak
eksternal. Misalnya, berbentuk artikel media massa, ataupun bahan advokasi dalam proposal CSR.

Kerangka Success Story terdiri dari:


Permasalahan —> 5W (What, Where, When, Who, Why) + 1H (How/Penyelesaian Masalah)
—> Hasil & Dampak
2. Lessons Learned
Merupakan hasil olahan dokumentasi proses di kala Pokja berhasil memetakan suatu
permasalahan. Tidak harus mengandung solusi ataupun hasil (seperti halnya dalam Success Story),
namun perlu dapat menjawab pertanyaan mengapa (Why) suatu kegiatan berhasil atau tidak
berhasil dilakukan.

Di tahapan ini, Lessons Learned dapat menjadi pembelajaran bagi daerah-daerah lain melalui
publikasi artikel di NAWASIS.

Kerangka Lessons Learned terdiri dari:


Permasalahan —> 5W (What, Where, When, Who, Why) [+1H (How/Penyelesaian
Masalah)]
FORM DOKUMENTASI PROSES MANDIRI

Form Dokumentasi Proses Mandiri yang terisi dapat dikirimkan ke sekretariatpmu@yahoo.com.

Contoh Success Story:

Kabupaten/Kota:
Nama/Deskripsi Inisiatif:

Permasalahan/Latar Belakang
Karanganyar termasuk daerah yang masyarakatnya punya kepedulian sangat tinggi pada sanitasi.
Tekad untuk 100% ODF sudah muncul sejak pembuatan SSK di tahun 2012.
Namun di tahun 2016, meski sudah 4 tahun berlalu dari sejak pembuatan SSK, baru 5 dari 17
kecamatan yang berhasil SBS.
Pada November 2016, Bupati Juliyatmono pun mengambil langkah tegas dengan menargetkan
Karanganyar agar 100% ODF di akhir tahun 2017. Untuk mendukung kebijakan ini, ia
mengeluarkan Peraturan Bupati No. 80/2016 tentang Gerakan Menuju Akses Sanitasi Menyeluruh.
Demi mengejar status ODF untuk 12 kecamatan dalam waktu setahun, pendanaan pun menjadi
aspek yang krusial untuk dikejar. Mengandalkan APBD Kabupaten saja tidak akan cukup.

Aksi/Inisiatif
Sepanjang tahun 2017, Karanganyar menerapkan strategi pendanaan yang “keroyokan”, yaitu
dengan mengkonsolidasikan dana APBD, APBDes, CSR dan dana dari Badan Amil Zakat Nasional
(Baznas) untuk pembangunan jamban sehat.
Karanganyar juga mengeluarkan Perda CSR, yang menghasilkan agenda pertemuan dengan pihak-
pihak calon pemberi CSR. Di tahun 2017, pertemuan yang dipimpin Sekda ini diadakan 2 kali pada
pertengahan tahun dan bulan September. Pihak-pihak yang diundang antara lain Bank Jateng,
Baznas, serta beberapa perusahaan.

Di skema pendanaan CSR, Kabupaten Karanganyar memainkan peran sebagai ‘perantara’ antara
perusahaan dan calon penerima dana. Menurut keterangan Kepala Bappeda Muh. Indrayanto,
selama ini Pemda hanya bertindak sebagai pemberi informasi kebutuhan jambanisasi kepada
perusahaan. Uang akan langsung disalurkan dari perusahaan kepada desa yang membutuhkan
pengadaan jamban.

Hasil & Dampak

1) Karanganyar berhasil ODF per 12 November 2017, dengan tingkat akses layak 93,48% dan
akses dasar 6,52%.
2) Pengalokasian Rp 9 milyar dari APBD kabupaten sendiri untuk jambanisasi menghasilkan
pembangunan 3.000 jamban di 2017.
3) Konsolidasi dengan tingkat desa menghasilkan pembangunan 2.027 jamban yang bersumber
dari Dana Desa di 2017.
4) Di tahun 2017, sebagai bagian dari skema CSR, Bank Jateng menyanggupi bantuan sebesar Rp
1,5 M. Sementara itu, Baznas menyanggupi pembangunan jamban layak senilai Rp 2,5juta per
unit sejumlah 200-anunit.
5) Program sanitasi yang berkelanjutan. Pasca deklarasi ODF 12 November 2017, Karanganyar
berkomitmen meningkatkan angka akses dasar 6,52% (6.947 KK) menjadi akses layak di
tahun 2018. Atau, dengan kata lain, menyediakan jamban layak bagi sekitar 30-ribuan
penduduk Karanganyar. Untuk mengejar target ini, Karanganyar telah mengamankan dana
CSR dari Bank Jateng sebesar Rp 1 M. Strategi pendanaan dari Dana Desa yang juga akan
kembali diterapkan di tahun 2018.
Kabupaten/Kota: Kabupaten Karanganyar
Nama/Deskripsi Inisiatif: Konsolidasi Pendanaan Demi Kejar ODF 12 Kecamatan dalam Setahun

Permasalahan/Latar Belakang
Karanganyar termasuk daerah yang masyarakatnya punya kepedulian sangat tinggi pada sanitasi.
Tekad untuk 100% ODF sudah muncul sejak pembuatan SSK di tahun 2012.
Namun di tahun 2016—4 tahun berlalu dari sejak pembuatan SSK—baru 5 dari 17 kecamatan yang
berhasil SBS.
Pada November 2016, Bupati Juliyatmono pun mengambil langkah tegas dengan menargetkan
100% ODF bagi Karanganyar di akhir tahun 2017. Untuk mendukung misi ini, Bupati Karanganyar
mengeluarkan Peraturan Bupati No. 80/2016 tentang Gerakan Menuju Akses Sanitasi Menyeluruh.
Demi mengejar status ODF untuk 12 kecamatan dalam waktu setahun, pendanaan pun menjadi
aspek yang krusial untuk dikejar. Mengandalkan APBD Kabupaten saja tidak akan cukup.

Aksi/Inisiatif
Sepanjang tahun 2017, Karanganyar menerapkan strategi pendanaan yang “keroyokan”, yaitu
dengan mengkonsolidasikan dana APBD, APBDes, CSR dan dana dari Badan Amil Zakat Nasional
(Baznas) untuk pembangunan jamban sehat.
Karanganyar juga mengeluarkan Perda CSR, yang menghasilkan agenda pertemuan dengan pihak-
pihak calon pemberi CSR. Di tahun 2017, pertemuan yang dipimpin Sekda ini diadakan 2 kali pada
pertengahan tahun dan bulan September. Pihak-pihak yang diundang antara lain Bank Jateng,
Baznas, serta beberapa perusahaan.

Di skema pendanaan CSR, Kabupaten Karanganyar memainkan peran sebagai ‘perantara’ antara
perusahaan dan calon penerima dana. Menurut keterangan Kepala Bappeda Muh. Indrayanto,
selama ini Pemda hanya bertindak sebagai pemberi informasi kebutuhan jambanisasi kepada
perusahaan. Uang akan langsung disalurkan dari perusahaan kepada desa yang membutuhkan
pengadaan jamban.

Hasil dan Dampak

6) Karanganyar berhasil ODF per 12 November 2017, dengan tingkat akses layak 93,48% dan
akses dasar 6,52%.
7) Pengalokasian Rp 9 milyar dari APBD kabupaten sendiri untuk jambanisasi menghasilkan
pembangunan 3.000 jamban di 2017.
8) Konsolidasi dengan tingkat desa menghasilkan pembangunan 2.027 jamban yang bersumber
dari Dana Desa di 2017.
9) Di tahun 2017, sebagai bagian dari skema CSR, Bank Jateng menyanggupi bantuan sebesar Rp
1,5 M. Sementara itu, Baznas menyanggupi pembangunan jamban layak senilai Rp 2,5juta per
unit sejumlah 200-anunit.
10) Program sanitasi yang berkelanjutan. Pasca deklarasi ODF 12 November 2017, Karanganyar
berkomitmen meningkatkan angka akses dasar 6,52% (6.947 KK) menjadi akses layak di
tahun 2018. Atau, dengan kata lain, menyediakan jamban layak bagi sekitar 30-ribuan
penduduk Karanganyar. Untuk mengejar target ini, Karanganyar telah mengamankan dana
CSR dari Bank Jateng sebesar Rp 1 M. Strategi pendanaan dari Dana Desa yang juga akan
kembali diterapkan di tahun 2018.
Contoh Lessons Learned:

Kabupaten/Kota: Kota Blitar


Nama/Deskripsi Inisiatif: Tantangan Ujicoba L2T2 Kota Blitar

Permasalahan/Latar Belakang
Capaian air limbah Kota Blitar saat ini sudah mencakup 95% masyarakat yang memiliki akses
layak air limbah domestik. Deklarasi ODF pun sudah dilakukan di 2. Akan tetapi, presentase
capaian akses layak yang tinggi tersebut tidak sejalan dengan presentase masyarakat yang
melakukan penyedotan lumpur tinja.
Pada 31 Juli 2018, walikota Blitar dengan mantap menyatakan komitmennya terhadap prioritas
penanganan air limbah domestik di kota Blitar dengan menetapkan kebijakan pelaksanaan gerakan
pro sanitasi, program sumur bebas e-coli dan program L2T2.
Kota Blitar melalui dinas lingkungan hidup (DLH) juga telah mengembangkan aplikasi SIDOTI
yaitu merupakan aplikasi untuk fasilitasi pelayanan LLTT di Kota Blitar. Berbekal database 1200
responden serta sarana prasarana berupa 1 buah truk tinja milik pemda dan kerjasama dengan 2 truk
tinja milik swasta, Kota Blitar pun melakukan ujicoba. Target ujicoba layanan penyedotan L2T2
berdasarkan database yang dimiliki dan diipilih secara acak. Pada awal tahun 2019, kota Blitar
telah melakukan ujicoba layanan penyedotan L2T2 kepada 20 RT di 3 kecamatan.
Namun, pelaksanaan ujicoba tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan. Petugas DLH Kota
Blitar pun menemui beberapa hambatan di lapangan. Saat petugas DLH ingin melaksanakan
ujicoba penyedotan kepada rumah tangga, ternyata petugas DLH menerima penolakan. Hal tersebut
mungkin disebabkan karena pendataan yang telah dilakukan belum di verifikasi kesediaan rumah
tangga untuk dimasukan sebagai target layanan penyedotan L2T2.

Aksi/Inisiatif
Berdasarkan hasil evaluasi ujicoba layanan penyedotan L2T2, Kota Blitar melakukan langkah cepat
untuk bisa mulai melakukan perluasan ujicoba layanan. Langkah pertama yang telah dilakukan
adalah mulai melakukan verifikasi lapangan terhadap pendataan yang telah dilakukan sebelumnya.
Hal ini untuk memastikan kesediaan masyarakat untuk menerima layanan penyedotan L2T2.
Selanjutnya, kota Blitar sedang merancang pelaksanaan kegiatan sosialisasi kepada masyarakat
dibarengi dengan kegiatan launching aplikasi SIDOTI pada akhir bulan September. Kegiatan
Launching ini akan diresmikan oleh Walikota Blitar. Hal tersebut adalah wujud komitmen yang
tinggi dari Bapak Walikota terhadap isu sanitasi khususnya air limbah di kota Blitar. Dengan
dilaksanakan kegiatan ini diharapkan bisa mendapatkan respon yang positif dari masyarakat akan
pelaksanaan kegiatan layanan penyedotan L2T2.
Di samping itu, Kota Blitar juga sembari menguatkan dasar hukum/regulasi yang menguatkan
pelaksanaan kegiatan layanan L2T2. Perda terkait pengelolaan air limbah telah disusun mulai 2017,
Ranperda juga sudah ada. Namun sampai saat ini belum disahkan oleh legislatif.

Hasil dan Dampak

11) -

Anda mungkin juga menyukai