Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PERBANYAKAN TANAMAN KAKAO SECARA

IN VITRO/KULTUR JARINGAN
OLEH:
KELOMPOK 3
1.SAPRIADI
2.SADARIA
3.RIAN PATA ALLO KADANG
4.RISNAH.A
5.RASDI

PROGRAM STUDI BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN


JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PANGKEP
MANDALLE PANGKEP
2022
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta
hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah “Pemuliaan
Tanaman”. Kemudian shalawat serta salam kita sampaikan kepada
Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman
hidup yakni al-qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Pemuliaan
Tanaman di program studi Budidaya Tanaman Perkebunan.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Ibu Eka Wisdawati selaku dosen pembimbing mata
kuliah Pemuliaan Tanaman dan kepada segenap pihak yang telah
memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan
dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Pangkep, 9 Februari 2022

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Keterbatasan bibit tanaman kakao merupakan permasalahan dalam


pengembangan tanaman kakao saat ini. Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan
pengembangan teknologi pembibitan kakao dengan jumlah yang banyak dan waktu
yang singkat sehingga mampumemenuhi kebutuhan yang semakin besar yaitu
melalui teknik kultur jaringan tanamankakao.

Kultur jaringan tanaman merupakan teknik menumbuhkembangkan bagian


tanaman,baik berupa organ, jaringan dan sel dalam kondisi aseptik secara in vitro.
Teknik ini didasari pada teori totipotensi sel dan dicirikan oleh kondisi yang aseptik,
penggunaan media kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dan zat
pengatur tumbuh (Yusnita, 2003).

Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan dapat dilakukan dengan


organogenesis dan embriogenesis. Keunggulan regenerasi melalui embriogenesis
adalah mampu menghasilkan embrio bipolar dari sel atau jaringan vegetatif (Sri
Lestari, 2005 cit. Edy dan Pujisiswanto, 2008).

Embriogenesis somatik merupakan suatu proses di mana sel somatik (baik


haploid maupun diploid) berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahap
perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet. Embrio somatik dapat
dicirikan dari strukturnya yang bipolar, yaitu mempunyai dua calon meristem, yaitu
meristem akar dan meristem tunas. Dengan memiliki struktur tersebut maka
perbanyakan melalui embriogenesis somatik lebih menguntungkan daripada
pembentukan tunas adventif yang unipolar (Purnamaningsih, 2004).

Embrio somatik dapat terbentuk melalui dua jalur, yaitu secara langsung
maupun tidak langsung (melewati kalus). Embriogenesis langsung yaitu terjadi
diferensiasi jaringan eksplan membentuk embrioid tanpa melalui pembentukan
kalus. Sedangkan embriogenesis tidak langsung terjadi melalui pembentukan kalus,
keberhasilan akan tercapai apabila kalus atau sel yang digunakan bersifat
embriogenik yang dicirikan oleh sel yang berukuran kecil, sitoplasma padat, inti
besar, vakuola kecil-kecil dan mengandung butir pati (Purnamaningsih,2004). Faktor-
faktor yang mempengaruhi dan berperan dalam induksi embriogenesis somatik
adalah komposisi medium, zat pengatur tumbuh, jenis eksplan, ekspresi gen, dan
cahaya (Trisnawati dan Sumardi, 2000).

Dari uraian diatas, sebagai upaya pengembangan kakao melalui embriogenesis


somatik dengan melewati kalus, maka dilakukan penelitian induksi kalus Theobroma
cacao sebagai upaya pengembangan tanaman melalui embriogenesis somatik.

B. TUJUAN
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini untuk menmbah wawasan mengenai
perbanyakan tanaman kakao secara in vitro.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kultur Jaringan Tanaman Kakao

Kultur jaringan atau biakan jaringan merupakan teknik pemeliharaan jaringan


atau bagian dari individu secara buatan (artifisial). Yang dimaksud secara buatan
adalah dilakukan di luar individu yang bersangkutan. Karena itu teknik ini sering kali
disebut kultur in vitro, sebagai lawan dari in vivo. Metode kultur jaringan
dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk
tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari
kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain mempunyai sifat yang
identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga
tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan
jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin,
kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan
konvensional.

Untuk tanaman kakao, teknologi yang digunakan biasanya disebut Embrio


Somatik (Somatic Embryogenesis). Somatic Embryogenesis adalah proses dimana sel
somatic yang ditumbuhkan dalam kondisi yang terkontrol berkembang menjadi sel
embrio genetik yang selanjutnya setelah melewati serangkaian perubahan morfologi
dan biokimia dapat menyebabkan pembentukan embrio somatik. Perkembangan
embrio somatik sangat mudah diamati, kondisi kultur sangat terkontrol dan dapat
diperoleh embrio somatik dalam jumlah besar. Dengan demikian, Somatic
Embryogenesis akan memainkan peranan penting pada perbanyakan klonal kakao,
karena secara genetik bersifat klonal dan secara morfologi bersifat normal.
Keunggulan dari Somatic Embryogenesis kakao ini yaitu cepat berbuah, tidak
terbentuk kotiledon, produksi tinggi, tahan terhadap kekeringan, serta pertumbuhan
vigor.

B. Perkembangan Penelitian Embryogenesis Somatik Kakao

Salah satu upaya yang dapat dipergunakan untuk mengatasi kelemahan teknik
pembibitan kakao secara konvensional di atas adalah menggunakan teknik kultur
jaringan (Avivi et al., 2010). Kultur jaringan tanaman adalah teknik perbanyakan
tanaman secara vegetatif dengan cara mengisolasi jaringan tumbuhan yang ditanam
dan dipelihara pada medium buatan yang aseptis (Zulkarnain, 2009). Teknik ini
mampu menghasilkan bibit dengan sifat yang seragam seperti induknya dan mampu
menghasilkan tanaman dengan jumlah masal dalam waktu singkat (Hendaryono &
Wijayani, 1994; Avivi et al., 2010). Namun, penggunaan teknik ini terdapat
kelemahan utama yaitu tidak semua tanaman dapat berhasil diperbanyak melalui
kultur jaringan. Selain itu, penggunaan teknik ini juga memerlukan keahlian khusus
yang dikerjakan di laboratorium sehingga membutuhkan biaya yang mahal
(Hendaryono & Wijayani, 1994).

Beberapa teknik kultur jaringan telah dikembangkan dalam upaya perbanyakan


tanaman kakao adalah teknik kultur tunas aksiler dan melalui embryogenesis
somatik. Kultur tunas aksiler merupakan teknik in vitro yang dilakukan dengan cara
mengkultur tunas aksiler pada medium tanam dan dipelihara sampai menjadi
tanaman baru yang lengkap (Zulkarnain, 2009). Teknik ini hanya memperbanyak
tunas, memanjangkan tunas dan diferensiasi akar sehingga tidak memerlukan waktu
lama untuk menjadi tanaman yang lengkap (Figuera et al., 1991). Namun, teknik ini
belum berhasil dipergunakan untuk perbanyakan tanaman kakao (Figuera et al.,
1991).

Salah satu teknik in vitro yang mulai dikembangkan dalam pembibitan kakao
untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan menggunakan teknik in vitro
lain yaitu melalui teknik kultur embryogenesis somatik (Avivi et al., 2010).
Embryogenesis somatik merupakan salah satu teknik perbanyakan tanaman dari sel
somatik yang akan berkembang membentuk tanaman baru melalui tahap
perkembangan embryo yang spesifik tanpa terjadinya fusi gamet (Purnamaningsih,
2002). Tahap embryogenesis somatik pada tanaman kakao melalui 4 tahap, yaitu (1)
induksi kalus embryogenik, (2) induksi embryo somatik, (3) perkecambahan, dan (4)
aklimatisasi (Purnamaningsih, 2002). Pada tahap induksi kalus, eksplan yang diisolasi
kemudian ditumbuhkan pada medium tanam dengan ditambahkannya zat pengatur
tumbuh (ZPT) dengan konsentrasi yang tinggi (Purnamaningsih, 2002). Eksplan yang
ditanam dipelihara sampai terbentuk kalus. Terdapat dua macam kalus yang dapat
diinduksi dari eksplan kakao, yaitu kalus kompak dan kalus remah. Kalus kompak
memiliki ciri-ciri berupa kalus yang keras, berwarna putih dan tidak bisa dipisah-
pisahkan dengan mudah, sedangkan kalus remah memiliki ciri berupa kalus yang
lunak, mudah dipisah-pisahkan dan berwarna kuning kecoklat-coklatan
(Hilyatunnisa, 2013; Purwasih, 2013; Rahayu, 2013). Dari kedua jenis kalus tersebut,
hanya kalus remah yang mampu diinduksi pembentukan embryo atau biasa disebut
kalus embryogenik. Namun, tidak semua eksplan yang ditanam akan membentuk
kalus yang bersifat embryogenik (Hilyatunnisa, 2013). Tahap induksi embryo adalah
tahap perkembangan kalus yang dipelihara pada medium induksi embryo hingga
terbentuk embryo. Perkembangan embrio yang spesifik dimulai dari tahap globular,
hati, torpedo, dan kotiledon. Tahap ketiga adalah perkecambahan yang dilakukan
dengan menanam embryo somatik dan dipelihara sampai menjadi tanaman yang
memiliki tunas dan akar (Planlet; Gambar 2.7; Purnamaningsih, 2002). Pada tahap
aklimatisasi, tanaman yang lengkap dengan tunas dan akar kemudian dipindahkan
pada medium ex vitro.

Teknik kultur embryogenesis somatik memiliki kelebihan antara lain dapat


menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak (Li et al., 1998), sifat genetik bibit
yang dihasilkan seragam seperti induknya, bibit yang dihasilkan memiliki sistem
perakaran tunggang yang sama seperti biji dan menghasilkan embryo yang bersifat
bipolar yaitu dapat berkembang membentuk tunas dan akar yang diperlukan bagi
pertumbuhan tanaman (Purnamaningsih, 2002). Namun, teknik ini juga memiliki
kelemahan yaitu keberhasilan induksi embryo somatik kakao masih rendah dan
bervariasi dari 0 - 100% tergantung kultivar yang ditanam (Winarsih et al., 2003;
Avivi et al., 2010) dan membutuhkan perawatan yang khusus seperti melakukan sub
kultur yang berulang kali untuk mendapatkan kalus yang embryonik
(Purnamaningsih, 2002). Teknik embryogenesis somatik telah banyak dilaporkan
berhasil digunakan untuk memperbanyak berbagai jenis tanaman seperti pada
tanaman tanaman kakao.

Pada tanaman kakao teknik embryogenesis somatik juga telah dicobakan untuk
perbanyakan tanaman tersebut. Upaya pembibitan kakao melalui teknik
embryogenesis somatik telah dimulai sejak tahun 1970-an dengan tingkat
keberhasilan yang masih cukup rendah (Young et al., 2000). Penelitian tentang
embryogenesis somatik tanaman kakao dilaporkan pada tahun 1977 - 1980 dengan
menggunakan eksplan embryo zygotik, namun hasil penelitian-penelitian tersebut
belum berhasil menginduksi pembentukan embryo somatik (Alemanno, 1997).
Penelitian lebih lanjut menggunakan eksplan jaringan somatik juga belum berhasil
dilakukan sampai Lopez-Baez et al. (1993) berhasil menginduksi embryo somatik
kakao dari eksplan jaringan bunga. Meskipun demikian penelitian tersebut juga
belum berhasil mendapatkan tanaman baru dari embryo somatik yang dihasilkan. Li
et al. (1998) melaporkan keberhasilan induksi embryo somatik dari eksplan bunga
dan embryo yang diperoleh berhasil dikecambahkan untuk dihasilkan tanaman
kakao pertama kalinya, namun persentase keberhasilan induksi embryo masih
sangat bervariasi dari 1 sampai 100 % tergantung genotip tanaman yang digunakan.

C. Bahan Tanam

Bahan tanaman yang digunakan dalam inisiasi kultur jaringan dapat berupa
ujung akar, pucuk aksilar, daun, bunga, buah muda, anther dan sebagainya. Bagian
tanaman yang digunakan sebagai bahan untuk inisiasi suatu kultur, disebut eksplan.
Eksplan yang digunakan diusahakan harus aseptik melalui prosedur sterilisasi
dengan berbagai bahan kimia (Gunawan, 1988).

Gunawan (1987) menyatakan bahwa tingkat kontaminasi permukaan setiap


bahan tanaman berbeda-beda tergantung dari jenis tanaman, bagian tanaman yang
digunakan, morfologi permukaan (misalnya berbulu atau tidak), lingkungan
tumbuhnya (green house atau lapang), musim waktu mengambil (musim hujan atau
kemarau), umur tanaman (seedling atau tanaman dewasa), dan kondisi tanamannya
(sehat atau tidak).
BAB III

PEMBAHSAN

Eksplan yang digunakan adalah embrio zigotik Theobroma cacao yang berasal
dari bunga kakao yang diperoleh dari Kebun Koleksi Kakao milik Pusat Penelitian Kopi
dan Kakao Indonesia. Eksplan diambil dari organ-organ kuncup bunga kakao yang
meliputi mahkota, stanlinodia dan antera dari klon Sea 6, TSH 858, ICS 60, DR 2, dan
RCC 72.

Kuncup bunga kakao ukuran 3-6 mm diambil pagi hari dari pohon induk
kemudian disterilisasi di laboratorium. Cara sterilisasi adalah sebagai berikut: kuncup
bunga kakao direndam dalam larutan kloroks 5 % sclama sekitar 10 menit sambil
sesekali dikocok kemudian dibilas dengan air suling steril 3 kali. Setelah itu mahkota,
stanlinodia dan antera dipisahkan dari bagian bunga lainnya. Eksplan kemudian
ditanam pada media MS (Murashige & Skoog, 1962) yang diperkaya dengan 2,4-D
dan adenin, sukrosa 30 g/I dan phytagel 2 gil (Lopez-Baez et al., 1993). Kultur
disimpan dalam ruang gelap, suhu 26-28°C selama 3 minggu kemudian dilakukan
pengamatan terhadap jumlah eksplan berkalus. Eksplan berkalus kemudian dipindah
ke media induksi, komposisinya sama dengan media inisiasi selama 3 minggu
kemudian dilakukan pengamatan terhadap jumlah eksplan menghasilkan embrio dan
jumlah embrio somatik per eksplan. Embrio somatik yang diperoleh kemudian
diperbanyak di media perbanyakan (multiplikasi) dan diamati jumlah embrio per
eksplan. Komposisi media multiplikasi adalah media dasarMS diperkaya dengan NAA
0,01 mg/l; 2 iP 0,3 mg/l; charcoal 1 gil; dan g]ukosa 40 g/I dan pemadat phyragel 3 g/I
(Tahardi & Mardiana, 1995). Embrio yang berkecambah kemudian dipindahkan ke
media pendewasaan yang terdiri atas media dasar MS dilengkapi dengan glukosa 10
gil, charcoal 0,3 g/I yang dipadatkan dengan phytagel 2 gil (AleInanno et al., 1996).

Media Inisiasi

Eksplan yang dikulturkan pada media inisiasi akan mengalami pembengkakan.


Pembengkakan eksplan tersebut kemudian diikuti dengan terbcntuknya kalus pada
permukaan eksplan. Pada staminodia, pertumbuhan kalus umumnya dimulai dari
bagian pangkal eksplan. Pada mahkota bunga, pertumbuhan kalus dimulai dari
pangkal bagian yang berbentuk cakraml sedangkan pada antera dilmulai dari pangkal
tangkainya. Pertumbuhan kalus tersebut dimulai dari permukaan bekas potongan
eksplan. Kalus kemudian terus berkembang hingga akhirnya menutup seluruh
permukaan eksplan. Setelah kalus berkembang, kadang dijumpai pencoklatan
(browning)permukaan kalus akan tetapi hal tersebut tidak mcngganggu proses
proliferasi karena jumlahnya hanya sedikit. Selain itu eksplan juga tidak terganggu
oleh lendir karena jaringan organ bunga tidak menghasilkan lendir. Sel-sel penghasil
lendir hanya dijumpai pada jaringan vegetatif tetapi tidak dijumpai pada jaringan
generatif. Persentase eksplan berkalus pada klon RCC 72 dan ICS 60 berturut-turut
adalah 38-100% dan 22-100%. Mahkota bunga klon RCC 72 mempunyai respons yang
paling baik sedangkan mahkota bunga klan ICS 60 melupunyai respons yang paling
rendah. Setiap bagian tanaman memerlukan zat pengatur tumbuh tertentu untuk
inisiasi kalus. Mahkota bunga semua klon yang diuji menunjukkan respons yang baik
pada media MS yang diperkaya dengan 2,4D 2 mg/f dan adenin 0,10 mg/l. Untuk
staminodia, respons yang besar diperoleh dari perlakuan 2,4-D 2 mg/l dan adenin
0,25 lng/f. sedangkan untuk antera respons tersebut diperoleh pada perlakuan 2.4-D
1 mg/l dan adenin 0,50 lng/f.

Media Induksi

Kalus yang terbentuk pada media inisiasi kemudian dipindahkan ke media induksi
untuk memacu pembentukan embrioid. Pada tahun 1958, Steward menemukan
bahwa pemindahan kultur dari media dengan auksin tinggi ke media dengan auksin
rendah menyebabkan sel-sel berkembang dalam bentuk gerombol yang bentuknya
menyerupai embrio pada biji. Dua minggu setelah dipindah ke media induksi, embrio
somatik mulai terbentuk. Semula pre-embryonic muncul dari permukaan eksplan
dengan suspensor melekat pada kalus dan biasanya hal ini terjadi dalam bentuk
gerombol. Struktur ini kemudian berkembang menjadi embrio bentuk globu-lar, dua
minggu kemudian embrio ini berkembang menjadi bentuk hati dan tor-pedo.
Konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4D dan adenin pada media inisiasi sangat
berpengaruh terhadap persentase eksplan yang dihasilkan.

Media Multiplikasi

Media lVlultiplikasi Embrio somatik primer yang dihasilkan pada media induksi
kemudian ditransfer ke media multiplikasi untuk mendapatkan embrio somatik
sekunder dalam jumlah yang lebih banyak.

Media Perkecambahan

Embrio somatik yang sudah mencapai fase torpedo dikumpulkan kemudian diseleksi
untuk mendapatkan fase torpedo dan selanjutnya dipindah ke media
perkecambahan bahan untuk menumbuhkan planlet. Perkembangan embrio yang
normal dipengaruhi oleh komposisi media kondisi kultur selama proses
perkecambahan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan Klon Sea 6 dan
RCC 72 mempunyai respon paling baik, masing-masing dalam pertumbuhan tunas
dan akar.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan adalah sangat
dimungkinkan mendapatkan bahan tanaman dalam jumlah besar dalam waktu
singkat. Kultur jaringan merupakan suatu metode mengisolasi bagian tanaman
seperti sekelompok sel atau jaringan yang ditumbuhkan dalam kondisi aseptik,
sehingga bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri tumbuh menjadi
tanaman lengkap kembali.Teori dasar dari kultur in vitro adalah totipotensi.
Teori ini menyatakan bahwa setiap bagian tanaman mampu berkembangbiak
karena seluruh bagian tanaman terdiri atas jaringan-jaringan hidup. Oleh karena
itu, semua organisme yang berhasil ditumbuhkan akan memiliki sifat yang sama
persis dengan induknya.

DAFTAR PUSTAKA

Induksi Kalus Tanaman Kakao (Theobroma cacao L) [diakses pada 1 Maret 2022].
Tersedia pada:
http://makalahnurulsholehuddin.blogspot.com/2015/06/induksi-kalus-tanaman-kakao-
theobroma.html?m=1

Adri, Fadhlya Rantih. 2019. “INDUKSI KALUS THEOBROMA CACAO SEBAGAI TAHAP AWAL
PENGEMBANGAN TANAMAN MELALUI EMBRIOGENIS SOMATIK”.
https://jurnal.umsb.ac.id/index.php/menarailmu/article/view/1484. Diakses
pada tanggal 22 April 2022.
Avivi, Sholeh., Prawoto, Adi., dan Oetami, Reny Fauziah. 2010. Regenerasi Embriogenesis
Somatik pada Beberapa Klon Kakao Indonesia dari Eksplan Bunga.
https://media.neliti.com/media/publications/8116-none-36abd72f.pdf. Diakses
pada tanggal 22 April 2022.
Winarsih, Sri., Santoso, Djoko., Wardiyatp, Tatik. 2003. Embriogenesis Somatik dan
Regenerasi Tanaman Pada Kultur In Vitro Organ Bunga Kakao.
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://perkebunan.
litbang.pertanian.go.id/dbasebun/asset_dbasebun/Penerbitan-
20141206182956.pdf&ved=2ahUKEwj16M3R5bH3AhVM7XMBHRayCUgQFnoEC
A4QAQ&usg=AOvVaw2ryamCM3Dl4IEUPyieaO8O. Diakses pada tanggal 22 April
2022.

Anda mungkin juga menyukai