Anda di halaman 1dari 4

Merkuri Mengancam Manusia dan Lingkungan di

Degeuwo
Thursday, 06-09-2012 13:06:01 Oleh MAJALAH SELANGKAH Telah Dibaca 158 kali

Aktvitas Pertambangan di Degeuwo @ist

Paniai – Direktur Yayasan Pengembangan Kesejahteraan Masyarakat (Yapkema), Kabupaten


Paniai, Hanok Pigai, S.E., kepada wartawan , Senin (23/7) mengatakan, belasan sungai di
Degeuwo telah tercemar merkuri, dan rata-rata telah melampaui ambang batas. Di setiap kali 
itu sekurangnya terdapat 60 unit mesin milik penambang emas yang beroperasi di sana.

“Di Nonouwodide jumlah penambang banyak dan 480 unit mesin. Jadi, dalam  tiga bulan
setiap mesin membuang satu kilogram merkuri. Artinya, mereka membuang merkuri sekitar
dua ton. Kalikan saja sendiri secara matematis. Betapa bahayanya,” kata Hanok.

Ketua Aliansi Intelektual Suku Wolani, Mee dan Moni, Kabupaten Paniai, Thobias Bogubau
yang selama ini mengadvokasi warga di Degeouwo itu mengatakan, berdasarkan UU 4 Tahun
2009 dan Perda Paniai Nomor 16 Tahun 2009, Pemerintah Paniai di tahun 2010
mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan kepada PT. Madinah Qurataain, CV.Computer dan
PT. Salomo Mining.

“Ketiga perusahaan itu hanya bikin rusak lingkungan, tutup tambang dan jangan pernah
mereka masuk lagi ke Degeuwo. Sebenarnya, masalah di Degeuwo tidak hanya soal
kerusakan lingkungan. Ada masalah bisnis hiburan. Di sana ada bar-bar. Mereka bawa
perempuan nakal di sana. Konflik warga dengan pihak keamanan juga kerak kali terjadi di
sana. Masyarakat yang tidak tahu apa-apa selalu jadi korban atas tanah mereka,” kata
Thobias.

Thobias mengatakan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Paniai pernah menetapkan Perda
Paniai, Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Usaha Pertambangan Emas. Perda itu kemudian
menjadi dasar Dinas Pertambangan Paniai, dapat memberikan Ijin Usaha Pertambangan
dalam wilayahnya pada batas tertentu.
Pintu masuk terowongan di tempat pendulangan emas Degeuwo@Ist

Salah satu warga Papua, Matius Magai (29) yang  baru saja tiba di Nabire dari Degeuwo,
Kamis, (19/7) lalu membenarkan penggunaan merkuri di sana. “Ia benar. Kan, tanah keras
jadi pengusaha biasa menggunakan  air raksa atau merkuri untuk menghancurkan tanah serta
memisahkan emas dan kotoran lain,” kata dia di bandara Nabire.

Magai mengatakan,  dulu, saat belum ada orang luar, warga mendulang tanpa menggunakan
alat apa pun. Warga dulang secara manual tanpa mesin dan bahan kimia. Tetapi, kedatangan
orang-orang luar  membawa juga mesin dan bahan kimia pemisah emas dan merkuri.  “Kami
merasa kalah saing dengan mereka. Lalu, sebagai gantinya kami memilih menggunakan air
raksa atau merkuri. Itu pun kalau ke kota dan beli,” katanya.

“Dengan cara ini, lumayan cepat dan ada hasil. Tetapi, saya baru tahu kalau bahan itu
berbahaya untuk manusia dan alam. Saya jadi tahu bahwa ternyata penambangan emas di
Degeuwo itu telah menjadi  sumber pencemaran merkuri,” kata lelaki beranak satu itu.

“Harga merkuri memang mahal, namun lebih cepat. Satu ember pasir bercampur emas jika
didulang dengan lenggangan butuh waktu berhari-hari, namun jika menggunakan satu ons
merkuri seharga Rp300.000 hanya butuh waktu satu jam,” katanya.

Ketua Dewan Adat Paniai, Jhon NR. Gobay  telah lama berteriak soal merkuri dan soal lain
di Degeuwo. Ia mengatakan,  merkuri telah mencemari kali-kali  yang menjadi sumber mata
air warga di sana (warga setempat).  Gobay menuturkan, aktifitas penambangan emas liar
yang sudah berlangsung sejak 2002 telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat, misalnya
hak atas tanahnya dan juga pengabaian atas pembagian kompensasi hasil pendulangan emas.

Sementara, Ketua Dewan Adat Wilayah Meepago, Benny Edoway juga berkomentar soal
bahaya merkuri.  “Warga pendulang emas di degeuwo harus meminum air yang tercemar
merkuri itu karena tidak ada pilihan lain. Tapi, masalah saat ini tidak hanya soal merkuri
tetapi juga hutan yang terus ditebang di sana untuk kepentingan tambang. Masyarakat di sana
akan ke mana. Perusahaan hanya ambil kekayaan alam tanpa memikirkan pendidikan bagi
anak-anak di sana,” kata Benny.
Benny Edoway  membantah pernyataan  Kepala Kepolisian Papua Bekto Suprapto  yang
mengatakan,  aktivitas penambangan emas di Paniai dan Nabire tidak mencemari lingkungan
seperti yang dilangsir KBR68H Jakarta, 24 Februari 2010 lalu. “Dia hanya lihat-lihat dari
helicopter lalu mengatakan  pendulang tidak memakai mercuri. Padahal kenyataannya,
pendulang pakai merkuri,” kata Benny.

Sebelumnya  Solidaritas Penyelamatan Tanah, Hutan dan Orang Asli Papua (Setahap) dan
Dewan Adat Paniai meminta  Pemerintah Daerah Papua segera menutup penambangan emas
liar Paniai. Alasannya, sungai Degeuwo menjadi tercemar dengan merkuri dan arsenic gara-
gara aktivitas itu. Tanah yang dulu subur kini menjadi tandus dan gersang. Hutan yang
menjadi sumber hidup warga kini sudah dirusaski.

Aktivis Hak Asasi Manusia dari Biro Keadilan dan Perdamaian Kingmi Papua, wilayah
Paniai, Yones Douw  mengutip hasil penelitian Moses Nicodemos. “Dalam penelitian Moses
Nicodemos, kadar merkuri di permukaan air  pada kali-kali di Degeuwo sudah mencapai
0,008 miligram per liter  padahal, ambang batasnya 0,001 miligram per liter.

Ketika dikonfirmasi (Senin, 23/7) soal ambang batas Merkuri, Yuliana Pakan, S.T., alumna
Teknik Industri, Jurusan Kimia dari Universitas Kristen Paulus Makassar, Willem Bobii,
S.Si, alumnus Fakultas Fisika Universitas Negeri Solo, dan Riyanawati, S.Si, alumnna
Geofisika dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta membenarkan adanya ambang
batas air.

Mereka mengatakan, jika sudah melewati 0,008 miligram itu sudah berbahaya bagi manusia, 
lingkungan, dan habitat di air. “Yang jelas, ada ambang batas. Ada aturannya. Lewat dari
aturan ada batasnya. Itu tugasnya, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. Merkuri itu
salah satu jenis logam yang banyak ditemukan di alam dan tersebar dalam batu-batuan, biji
tambang, tanah, air dan udara sebagai senyawa anorganik dan organik. Jadi, berbagai jenis
aktivitas manusia dapat meningkatkan kadar ini, misalnya aktivitas penambangan yang dapat
menghasilkan merkuri sebanyak 10.000 ton / tahun,” kata Bobii.

Bobii mengatakan, bahanyanya tidak bisa langsung  tetapi lima enam tahun ke depan. Pada
pH rendah, merkuri menjadi larut dan diubah oleh jasad renik menjadi metilmerkuri yang
stabil, sukar diurai, sangat beracun, dan larut dalam air.  Gejala-gejala yang diakibatkan oleh
tercemar merkuri seperti ayan, tangan gemetar, pelupa, mati rasa, sulit tidur, sakit kepala
terus-menerus, serta berkurangnya pendengaran dan penglihatan, dan juga cacat janin bagi
ibu hamil.

Berbagai pihak merekomendasikan  pemerintah Kabupaten Nabire dan Paniai bersama


pemerintah provinsi Papua duduk bersama untuk membicarakan berbagai soal ini dan
menutup pertambangan itu. Banyak pihak menilai, jika tidak ditutupi wilayah itu benar-benar
mengancam. Dinilai berbagai kunjungan yang dilakukan oleh DPRP provinsi Komisi A 
pemerintah Paniai, Pemerintah Nabire, dan pekerja kemanusiaan belum membuahkan hasil
keputusan yang jelas.
Foto udara salah satu lokasi pertambangan Degeuwo @Ist

Melalui telepon selulernya, Kepada pers, Ruben Magai, S.Ip, Komisi A DPRP Papua
mengatakan, membicarakan untuk menutup  Degeuwo adalah hal urgen. Hal senada juga
diungkapkan, Anggota Komisi A DPRP Papua, Harun Agimbau.  Harun berkomentar, 
masalah ini sudah sangat urgen, sebab menuju pada genoside orang asli Papua, terutama
wilayah di distrik Biandoga dan Bogobaya (pintu masuk Paniai). Di sisi lain ada berbagai
lokalisasi dan tempat-tempat hiburan,” katanya.

Kata Ruben, hasil kunjungan DPRP pada Desember 2009 sudah dilaporkan  ke Presiden
Indonesia, dan pihak-pihak terkait di Jakarta, termasuk Polri dan Kasad TNI. “Kami sudah
laporkan ke pemerintah pusat tetapi belum ada reaksi hingga hari ini (2012:red),”katanya.
Dinas Pertambangan Paniai dan pihak perusahaan belum berhasil dihubungi. Beberapa nomor
telepon yang dihungi tidak aktif.  Ketika dihubungi beberapa kali ke salah satu nomor kontak
milik PT. Madinah tidak terangkat. (DE/003/MS)

Anda mungkin juga menyukai