Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Nekrolisis Epidermal Toksik ( sindrom Lyell, toxic epidermal necrolysis ,
epidermolisis nekrotikan kombustiformis) adalah penyakit kulit akut dan berat
dengan gejala khas berupa epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan pada
selaput lendir di orifsium dan mata. Meskipun etiologi NET sampai saat ini belum
jelas, diduga reaksi alergi terhadap obat merupakan penyebab utama terjadinya NET
seperti halnya sindrom Steven Johnson, eritema multiforme maupun penyakit
akibat erupsi obat lainya. NET merupakan penyakit yang jarang, tetapi diduga
insidennya makin meningkat karena penyebab utamanya alergi obat dan sekarang
hampir semua obat dapat dijual bebas. Di bagian kulit RSCM Jakarta, penyakit ini
dijumpai hanya 2-3 kasus setiap tahun. Sedangkan kelainan yang hampir serupa,
sindrom Steven Johnson, setiap tahunnya kira-kira dijumpai 10 kasus.

Meskipun NET termasuk jarang ditemukan tapi pengenalan serta pengetahuan


terhadap penatalaksanaan dini sangat penting karena NET ini terkait dengan
prognosis yang buruk dan angka mortalitas yang tinggi. Beberapa kepustakaan
menyebutkan NET adalah keadaan yang lebih berat dari Sindrom Steven Johnson.

B. TUJUAN
Kegiatan ini bertujuan agar dokter umum mampu mengenali kasus
kegawatdaruratan kulit seperti NET, mendiagnosis dan dapat melakukan
penatalaksanaan sebaik-baiknya. Dengan demikian dapat menurunkan mortalitas
dan menaikkan harapan hidup pasien secara umum. Diharapkan juga para dokter
dapat mengetahui serta menghindari faktor-faktor pencetus terjadinya NET maupun
keadaan yang diakibatkan reaksi obat lainnya.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Nekrolisis Epidermal Toksik ( sindrom Lyell, toxic epidermal necrolysis ,


epidermolisis nekrotikan kombustiformis) adalah penyakit kulit akut dan berat
dengan gejala khas berupa epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan pada
selaput lendir di orifsium dan mata.

ETIOLOGI

Etiologi pasti NET belum diketahui. Salah satu penyebabnya ialah alergi
obat secara sistemik di antaranya penisilin dan semisintetiknya, streptomisin,
sulfonamida, tetrasiklin, antipiretik/analgetik (misalnya : derivat salisil/pirazolon,
metamizol, metampiron dan parasetamol), klorpromazin, carbamazepin, fenitoin,
kinin, antipirin dan jamu. Elain itu juga dapat juga disebabkan oleh infeksi (bakteri,
virus, jamur, parasit),neoplasma, pasca vaksinasi, radiasi dan makanan. NET juga
dapat disebabkan oleh reaksi graft versus host .

PATOGENESIS

Petogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi alergi tipe III
IV terjadi akibat terrbentuknya kompleks antigen dan antibodi yang membentuk
mikro-presipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi
aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian
melepaskan lizosim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran
(target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersensitisasi berkontak
kembali denagan antigen yang sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi
reaksi radang.

Seperti halnya etologinya, patogenesis pada NET belum jelas. NET


merupakan bentuk berat sindrom Steven Johnson karena pada sebagian penderita

2
SSJ penyakitnya berkembang menjadi NET. Kaduanya dapat disebabkan oleh alergi
obat dengan spektrum yang hampir sama. Berbeda dengan SSJ dan eritema
multiforme , pada NET, tidak didapati kompleks imun yang beredar.

MANIFESTASI KLINIS

NET umumnya terdapat pada orang dewasa. Pada umumnya NET


merupakan penyakit yang berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan
keseimbangan cairan atau elektrolit atau karena sepsis. Gejalanya mirip SSJ yang
berat

Penyakit mulai secara akut dengan gejala prodromal. Penderita tampak sakit
berat dengan demam tinggi, kesadaran menurun (soporokomatosa). Kelainan kulit
mulai dengan eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel kemudian
timbul banyak vesikel dan bula, dapat pula disertai purpura. Kelainan pada bibir dan
dan selaput lendir mulut berupa erosi, ekskoriasi dan perdarahan sehingga terbentuk
krusta berwarna merah hitam. Kelainan semacam itu dapat pula terjadi di orifisium
genitalia eksterna. Juga dapat disertai kelainan pada mata seperti pada SSJ.

Pada NET yang penting ialah terjadinya epidermolisis yaitu epidermis


terlepas dari dasarnya. Gambaran klinisnya menyerupai kombustio. Adanya
epidermolisis menyebabkan tanda Nikolsky positif yaitu pada kulit eritematosa
jika kulit ditekan dan digeser maka kulit akan terlepas. Epidermolisis mudah dilihat
pada tempat yang sering terkena tekanan, yakni pada punggung dan bokong karena
biasanya penderita berbaring. Pada sebagian para penderita kelainan kulit hanya
berupa epidermolisis dan purpura, tanpa disertai erosi, vesikel dan bula. Kuku dapat
terlepas bronkopneumonia dapat terjadi. Kadang-kadang dapat terjadi perdarahan di
traktus gastrointestinal.

KOMPLIKASI

Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumonia. Komplikasi lain ialah


kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada
mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi . Komplikasi pada ginkjal

3
berupa nekrosis tubular akut akibat terjadnya ketidakseimbangan cairan bersama-
sama dengan glomerulonefritis.

DIAGNOSIS BANDING

 Sindrom Steven Johnson

 Dermatitis Kontak akibat organofosat

 Staphylococcus Scalded Skin Syndome (SSSS)

PENGOBATAN

Cara pengobatan berbeda-beda, dengan atau tanpa kortikosteroid. Cara lain ialah
xenograf dan plasmafaresis. Pasien sebaiknya diisolasi dan dirawat secara steril.

Kortikosteroid

Kortikosteroid berupa deksametason diberikan 4-6 x 5 mg sehari (seperti pada SSJ


yang berat). Pada kasus yang berat dapat diberikan deksametason 40 mg sehari.
Untuk mencegah/mengurangi efek samping dari kortikosteroid maka dapat diberi :

 ACTH (synachen depot) dengan dosis 1mg setiap minggu yang hanya
diberikan bila pemakaian kortikosteroid jangka panjang misalnya pada
penyakit vesikobulosa kronik.

 Gama 16 sebanyak 16,5 gr intramuskular seminggu setelah pemberian


kortikosteroid yang diulangi setiap minggu. Obat tersebut mengandung
immunoglobulin (human ) polivalen.

Topikal

Pengobatan topikal dapat digunakan sulfadiazin perak (krim dermazin, burnazin).


Perak dimaksudkan sebagai astringen dan mencegah dan mengobati infeksi oleh
kuman gram negatif, sedangkan sulfa untuk kuman gram positif.

Jika penyebabnya infeksi, maka prognosisnya lebih baik daripada jika disebabkan
alergi terhadap obat. Kalau kelainan 50-70% permukaan kulit, prognosisnya buruk.

4
Jadi luas kulityang terkena mempengaruhi prognosisnya. Angka kematian di bagian
kulit RSCM selama ( tahun 1962-1999) 21,7%, lebh tinggi dari SSJ yang yang
hanya 1 %

BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS
Nama : Ny. K

Umur : 70 tahun

Jenis kelamin : perempuan

Pendidikan : tidak sekolah

Pekerjaan : pedagang sayur

Alamat : Kemantran RT 03/ RW 04 Kramat, Tegal

Agama : Islam

No CM :

Masuk RS : 08-06-2005

DAFTAR MASALAH

No. Masalah aktif Tanggal No. Masalah pasif Tanggal

1. Nekrolisis Epidrmal 10-06-2005


Toksik

5
ANAMNESIS (anamnesis dengan penderita dan keluarga penderita pada
tanggal 10-06-2005)
Keluhan utama : Kulit mengelupas

Riwayat penyakit sekarang

Kurang lebih 5 hari sebelum masuk rumah sakit penderita mengeluh badannya
meriang, panas nglemeng sepanjang hari , sakit kepala, tidak batuk ,tidak pilek ,
ada mual, tidak muntah, seluruh badan terasa pegal-pegal dan mudah capek.
Buang air besar maupun buang air kecil tidak ada keluhan. Pada kulit tidak
dijumpai adanya kelainan . Penderita kemudian berobat ke dokter, dikatakan
sakit masuk angin dan rematik . Oleh dokter penderita diberikan obat 5 jenis
(penderita lupa nama obat) untuk diminum. Oleh penderita obat sudah diminum
selama 3 hari

Kurang lebih satu hari sebelum masuk rumah sakit penderita mengeluh
badannya demam tinggi, terus-menerus, badan terasa panas seperti terbakar
kemudian kulit mulai kemerahan di seluruh tubuh, terbentuk kantong-kantong
berisi cairan, mula-mula berukuran kecil kemudian makin lama makin lebar,
tidak gatal, kemudian kulit mudah mengelupas seperti lembaran, hingga
terlihat dasar kulit, terasa nyeri, tidak gatal, sekitar mata dan mulut bengkak
dan mengelupas, kemerahan, rongga mulut bengkak , sakit dan mudah
berdarah. Karena keadaan penderita yang memburuk oleh keluarga penderita
langsung dibawa ke RS Dr Soeselo.

Riwayat penyakit dahulu

* Baru pertama kali sakit seperti ini.


* Riwayat alergi terhadap makanan atau obat sebelumya disangkal.
* Riwayat operasi sebelumnya disangkal .
* Riwayat sakit kencing manis, darah tinggi, jantung dan sakit ginjal
disangkal.
* Riwayat sakit batuk lama disangkal

6
* Riwayat sakit kuning disangkal.
Riwayat penyakit keluarga

* Tidak ada anggota keluarga yang pernah sakit seperti ini.


Riwayat sosial ekonomi

Penderita seorang pedagang sayur kecil-kecilan di pasar. Memepunyai anak 6


orang sudah mandiri Biaya pengobatan ditanggung JPS-Askes

Kesan : Sosial ekonomi kurang

PEMERIKSAAN FISIK (10-06- 2004)

Status generalis
Keadaan Umum : Tampak lemah, kesadaran kompos mentis
Tanda Vital : T :130/80 mmHg
N : 88x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
RR : 20x/menit, reguler
t : 36,5 oC axiller
BB : + 50 kg
Kepala : mesosefal
Mata : conjungtiva palpebra anemis -/-, pupil isokor  3 mm/3mm
conjungtiva bleeding -/-, Reflex cahaya +/+
Telinga : discharge -/-
Hidung : nafas cuping hidung -/-
discharge -/-
Mulut : sianosis - ,bibir kering (–)
Leher : simetris , deviasi trakea (-)
pembesaran nnll (-)
Thorax : simetris, retraksi (-)
Cor I : ictus cordis tidak tampak
Pa : ictus cordis teraba di SIC V 2 cm medial LMCS
tidak melebar tidak kuat angkat.

7
Pe : batas atas : SIC II linea parasternalis kiri
kanan : linea parasternalis kanan
kiri : 2 cm medial linea midclavicularis kiri
Au : suara jantung I-II murni bising (-) gallop (-)
Pulmo I : simetris, statis, dinamis
Pa : stem fremitus ka = ki
Pe : sonor seluruh lapangan paru
Au : suara dasar vesikuler , suara tambahan (-)
Abdomen I : datar, venektasi (-)
A : bising usus (+) normal
Pe : timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-)
Pa : supel, nyeri tekan (-) , hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas : superior inferior


Oedem +/- +/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-

Status Dermatologis :
I. UKK : makula eritematosa, vesikel, bula, epidermolisis, erosi, ekskoriasi
Lokasi : punggung, bokong, dada
II. UKK : makula eritem, vesikel, bula berdinding kendur,
Lokai : kaki, tangan
III. UKK : erosi, ekskoriasi,,
Lokai : sekitar mulut , sekitar mata , sekitar alat kelamin

Laboratorium
Pemeriksaan darah (09-06-2004)
Hb : 10,6 gr/dl
Ht : 32,1 %

8
Leukosit : 3620/mm3
Eritrosit : 4,0 juta /mm3
Trombosit : 316.000/mm3
LED : 95 mm/jam
Diff.count : Lim : 12,9 %
Mon : 4,4 %
Gra : 82,7 %
Pemeriksaan kimia darah
GDS : 153 mg/dl
Ureum : 45,9 mg/dl
Creatinin : 0,91 mg/dl
Cholesterol : 147 mg/dl
Bilirubin total : 0,4 mg/dl
Total Protein : 6,5 mg/dl
Albumin : 3,8 mg/dl
SGPT : 26 U/L
SGOT : 30 U/L

DIAGNOSIS
Nekrolisis Epidermal Toksik

DIAGNOSIS BANDING
Sindrom Steven Johnson
Dermatitis Kontak Iritan
Staphylococcal Scalded Skin Syndrom (SSSS)

9
INITIAL PLAN
IP Dx :S :-
O : -.

IP Tx : infus RL/D5 20 tts/menit


Injeksi Kalmethason 4mg tiap 4 jam
Burnazin cream pada lesi
Zalf mata
IP Mx : Keadaan umum ,kesadaran, tanda vital, keseimbangan elektrolit,
UKK
IP Ex : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa pasien menderita
kelainan kulit yang termasuk berat dan merupakan kasus yang
jarang terjadi.
Menjelaskan pada pasien dan keluarga tentang kemungkinan –
kemungkinan yang menyebabakan terjadinya penyakit ini.
Menjelaskan komplikasi dan prognosis dari penyakit pada keluarga
pasien

10
BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang laki-laki umur 30 tahun datang setelah kecelakaan lalu lintas. Dari
ananmnesis didapatkan adanya riwayat trauma yaitu jatuh akibat tertabrak sepeda
motor dengan kecepatan cukup tinggi, kaki kanan terkena “gir” sepeda motor, nyeri
dengan luka terbuka, bengkak. Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya luka
robek, oedema, hematom, deformitas, perabaan hangat dan krepitasi. Sedangkan
dari hasil X-foto pedis dextra terdapat gambaran fraktur metatarsal II-V. Dari hasi
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan
penunjang maka diagnosis fraktur terbuka metatarsal II-V dapat ditegakkan dan
menurut klasifikasi derajat patah tulang terbuka termasuk dalam grade II.

Pada pemeriksaan selanjutnya tidak ditemukan adanya komplikasi dan


dilakukan debridement. Pada pertimbangan selanjutnya karena merupakan fraktur
terbuka serta garis fraktur yang kurang bagus maka dilakukan reposisi secara
terbuka dan fixasi interna menggunakan K-wire. Hal ini dilakukan karena fraktur
terbuka merupakan indikasi tindakan pembedahan. Apabila tidak dilakukan
debridement dan dilakukan penatalaksanaan secara non operatif maka akan
meningkatkan risiko terjadi sepsis, penyatuannya akan kurang baik (mal union) atau
bahkan tidak terjadi penyatuan (non union), selain itu penyembuhannya lama dan
secara kosmetik juga kurang bagus.

Penggunaan obat-obatan untuk mencegah infeksi serta bersifat simtomatis


misalnya antibiotik, analgetik dan obat-obatan antiinflamasi non steroid juga perlu
diberikan pada pasien ini untuk memperoleh hasil yang optimal. Hal ini perlu
dipertimbangkan untuk menghindari komplikasi post operatif misalnya infeksi yang
akan memperlambat proses penyembuhan.

Untuk memperoleh hasil penyambungan tulang yang bagus, perlu dilakukan


adaptasi dan rehabilitasi pada daerah yang fraktur. Misalnya dengan melakukan

11
latihan yang bebannya disesuaikan dengan tingkatan peyembuhan fraktur itu
sendiri.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pada prinsipnya penatalaksanaan fraktur tulang adalah hampir sama pada


semua jenis tulang yaitu, reposisi, imobilisasi dan fixasi baik itu dilakukan secara
non operatif maupun melalui operatif. Namun teknik yang diambil pada masing-
masing fraktur berbeda. Misalnya saja pada pengelolaan fraktur metatarsal ini, tiap
pasien akan diperlakukan berbeda tergantung dari ada tidaknya hubungan dengan
dunia luar, letak garis fraktur, dan garis frakturnya.

Pada pasien ini telah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik serta


penunjang berupa X-foto pedis dextra AP dan lateral, laboratorium darah lengkap
dan kimia darah untuk menegakkan diagnosis fraktur terbuka metatarsal II-V dextra
grade II. Pada pasien ini telah dilakukan pengelolaan sesuai dengan referensi.
Karena termasuk fraktur terbuka dan garis frakturnya kurang bagus maka dilakukan
debridement, reposisi dan fixasi secara operatif.

12
B. Saran

Rumah Sakit

 Ada sebagian masyarakat yang menolak dilakukan penanganan medis


sesuai dengan referensi yang ada, sehingga penyembuhan yang terjadi
menjadi kurang baik. Oleh karena itu diperlukan penjelasan singkat
namun tepat sasaran sehingga masyarakat bersedia menyetujui rencana
pengelolaan yang akan dilakukan.
Masyarakat

 Diharapkan dapat lebih mengerti dan kooperatif dengan penatalaksanaan


yang akan dilakukan guna memperoleh penyembuhan yang baik dan
mengembalikan fungsi tulang yang fraktur seoptimal mungkin.

PERJALANAN PENYAKIT
T Su Obyektif As Terapi
gl byktf sest
25/06/04 N Keadaan Umum : sadar Fraktur - WT, HT
yeri kaki Tanda Vital : terbuka - Inf RL
kanan - Tensi : 110/ 80 metatarsa 20tts/mnt
dengan mmHg l II-V - Inj
luka - Nadi : 88 x/ mnt reguler, dextra gr ceftriaxon 1gr
terbuka, isi dan tegangan cukup. II - Inj
nyeri - Pernafasan : 20 x/ mnt VL regio ketoprofen 100 mg
kepala. - Suhu : 370 C (axiler) manus - Inj as.
PF: Tanda-tanda dextra Tranexamat 500
fraktur terbuka metatarsal mg
(+) dextra, luka robek regio - Inj ATS

13
manus dextra 1500 U
X-foto: fraktur Program :
metatarsal II-V -
Pengawasan
keadaan umum
dan tanda vital
-
debridement, fixasi
interna dg K-wire

26/06/04 Ny tetap Tetap, - Inf RL


eri kaki Lab: dbn post 20 tts/mnt
kanan debridem - Inj
ent, ceftriaxon 2x1gr
adaptasi - Inj
K-wire ketoprofen 2x100
mg
- Inj
gentamycin 2x80
mg
Program :
-
Pengawasan
keadaan umum
dan tanda vital
2 teta Tetap  tetap tetap
7/06/04 p

2 teta tetap  tetap Tetap


8/06/04 p

14
2 teta tetap  tetap Tetap
9/06/04 p
3 teta tetap  tetap Tetap
0/06/04 p
0 teta tetap  tetap Tetap
1/06/04 p
0 Tet Tetap  tetap tetap
2/06/04 ap pulang
paksa

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunsudirdjo RS. Fraktur, penyembuhan, penanganan dan komplikasi.


Buku I, edisi I. Semarang. 1989; 46-92
2. Soeharso R. Pengantar ilmu bedah orthopaedi. Cetakan III. Yayasan
Essentia Medica. Yogyakarta. 1993; 71
3. Sjamsuhidajat R, Wim De Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, ed revisi, EGC,
Jakarta, 1997: 1138-1188

15
4. Bloch B. Fraktur dan dislokasi. Edisi I, cetakan III. Yayasan Essentia
Medica. Yogyakarta. 1978; 19-28
5. Silbergleit R. Fractures, foot.
http://www.emedicine.com/emerg/topic195.htm
6. Metatarsal fractures.
http://www.emedx.com/emedx/diagnosis_information/foot-angkle_disorder/
metatarsal_fractures_outline.htm

16

Anda mungkin juga menyukai