Anda di halaman 1dari 10

ALAT BUKTI YANG SAH MENURUT HUKUM ACARA PIDANA

A. Alat Bukti Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia

Untuk menentukan suatu kebenaran yang obyektif, harus menggunakan alat bukti. Alat bukti
adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti
tersebut, dapat digunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinanhakim atas
kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum


Acara Pidana, maka dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan hukum”,
hanya terbatas pada alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Dengan kata lain,
sifat dari alat bukti menurut KUHAP adalah limitatif atau terbatas pada yang ditentukan saja.
Kekuatan Pasal 183 KUHAP yang juga mengandung asas unus testis nullus testis yang artinya
“keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa” dapat kita temukan
di Pasal 183 KUHAP yakni sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.

Proses pemeriksaan pada acara pidana diperlukan ketentuan-ketentuan dalam hukum acara
pidana yang terlihat dalam acara pemeriksaan biasa yang terkesan sulit pembuktiannya dan
membutuhkan penerapan hukum yang benar dan pembuktian yang obyektif serta terhindar dari
rekayasa para pelaksana persidangan. Untuk menemukan suatu kebenaran yang obyektif maka
diperlukannya alat bukti. Alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang diatur dalam pasal 184
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 terdiri dari :

a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Surat; d. Petunjuk;
d. Keterangan Terdakwa.

Ad. a. Keterangan Saksi

Dalam pengertian tentang keterangan saksi, terdapat beberapa pengertian lainnya yang perlu
dikemukakan, yaitu pengertian saksi dan kesaksian, sebagai berikut :

1. Saksi
Dalam pengertian saksi, terdapat beberapa pengertian yang dapat dikemukakan, yaitu :

a) Seseorang yang mempunyai informasi tangan pertama mengenai suatu kejahatan atau
kejadian dramatis melalui indra mereka (misal penglihatan, 37 Andi Hamzah,Hukum Acara
Pidana Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika,,2010),hlm.259 38 Andi Sofyan dan Abdul Asis,Op
Cit,hlm.238 Universitas Sumatera Utara 33 pendengaran, penciuman , sentuhan) dan dapat
menolong memastikan pertimbangan-pertimbangan penting dalam suatu kejahatan atau

1
kejadian. Seorang saksi yang melihat kejadian secara langsung dikenal juga sebagai saksi
mata.

b) Pasal 1 angka 26 KUHAP menjelaskan : saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

c) Rancangan Undang-Undang Perlindugan Saksi pada Pasal 1 ayat (1) nya berbunyi : Saksi
adalah seseorang yang menyampaikan laporan dan atau orang yang dapat memberikan
keterangan dalam proses penyelesaian tindak pidana berkenaan dengan peristiwa hukum yang
ia dengar, lihat dan alami sendiri dan atau orang yang memiliki keahlian khusus tentang
pengetahuan tertentu guna kepentingan penyelesaian tindak pidana.

2. Kesaksian Dalam pengertian kesaksian, terdapat beberapa pengertian yang dapat


dikemukakan, yaitu :
a) Menurut R.Soesilo, kesaksian adalah suatu keterangan di muka hakim dengan sumpah,
tentang hal-hal mengenai kejadian tertentu, yang ia dengar, lihat dan alami sendiri.

b) Menurut Sudikno Mertokusumo, kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di
persidangan tentang peristiwa dengan jalan Universitas Sumatera Utara 34 pemberitahuannya
secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan dilarang atau tidak diperbolehkan oleh
undang-undang yang dipanggil di pengadilan.

3. Keterangan Saksi

Yang dimaksud dengan keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP adalah “salah
satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuan itu. Didalam keterangan saksi agar dapat dipakai sebagai alat bukti maka harus
memenuhi dua syarat, yaitu :

a. Syarat Formil Bahwa keterangan saksi hanya dapat dianggap sah apabila diberikan memenuhi
syarat formil, yaitu saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah, sehingga
keterangan saksi yang tidak disumpah hanya boleh digunakan sebagai penambahan
penyaksian yang sah lainnya.

b. Syarat Materiel Bahwa keterangan seorang atau satu saksi tidak dapat dianggap sah sebagai
alat pembuktian ( unus testis nulus testis) karena tidak memenuhi syarat materiel, akan tetapi
keterangan seorang atau satu orang saksi, adalah cukup untuk alat pembuktian salah satu
unsur kejahatan yang dituduhkan.

Untuk suatu penilaian keterangan saksi sebagaimana menurut Pasal 185 KUHAP, bahwa :

(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.

2
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah
terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu
alat bukti yang sah lainnya.
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan
dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada
hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya
suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan
keterangan saksi.
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh
memperhatikan :

a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;


b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak
merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang
disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Konsepsi saksi, khususnya pasca putusan Mahkamah Konstitutusi nomor 65/PUU-VIII/2010


yang perlu untuk diketahui adalah seperti yang diatur di dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP saksi
adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan
peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
Dengan demikian keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia
alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu yang jelas terdapat dalam Pasal 1
angka 27 KUHAP.

Menurut Mahkamah Konstitusi pengertian saksi dalam KUHAP menimbulkan pengertian


yang multitafsir dan melanggar asas lex certa serta asas lex stricta sebagai asas umum dalam
pembentukan perundang-undangan pidana. Ketentuan yang multitafsir dalam hukum acara pidana
dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi warga negara, karena dalam hukum acara pidana
berhadapan antara, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memiliki kewenangan untuk
memeriksa tersangka atau terdakwa yang berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum.

Dengan pendefenisian saksi dan keterangan saksi yang demikian itu apabila diabaikan akan
mendapat kelemahan yang berbahaya. Bagaimana jika ada orang yang memiliki pengetahuan
relevan terkait tindak pidana atau tuduhan tindak pidana, namun ia tidak mendengar, melihat, dan
merasakan secara langsung tindak pidana tersebut? Hal ini yang pertama kali disadari oleh Yusril
Ihza Mahendra yang mana merupakan pemohon pengujian pasal tersebut yang bertentangan dengan
pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang dalam legal

3
standing nya menyatakan bahwa Pasal 1 angka 26 KUHAP telah memberikan pembatasan, bahkan
menghilangkan kesempatan bagi tersangka aau terdakwa untuk mengajukan saksi yang
menguntungkan atau saksi alibi karena hanya saksi fakta yang bisa diajukan sebagai saksi yang
menguntungkan, permohonan Yusril Ihza Mahendra saat itu diterima dan dengan demikian
sekarang dapat diketahui bahwa yang disebut saksi dalam perkara pidana tidak hanya orang yang
mendengar, melihat, dan merasakan sendiri terjadinya tindak pidana. Orang yang tidak mendengar,
melihat, dan merasakan terjadinya tindak pidana pun dapat menjadi saksi selama ia memiliki
pengetahuan yang relevan terkait tindak pidana atau tuduhan tindak pidana yang diperkarakan.

Pengecualian terhadap orang yang dapat menjadi saksi didalam persidangan diatur di dalam pasal
186 KUHAP, sebagai berikut :

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga
dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara
bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara
terdakwa sampai derajat ketiga;
c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa.

Disamping mengenai karena adanya hubungan kekeluargaan (sedarah atau semenda),


ditentukan dalam pasal 170 KUHAP bahwa mereka, yang karena pekerjaan, harkat, martabat atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat diminta dibebaskan dari kewajiban untuk
menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Jika terhadap hal tersebut tidak
diatur maka hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk
mendapatkan kebebasan tersebut. Dalam pasal 171 KUHAP ditambahkan pengecualian untuk
memberi kesaksian dibawah sumpah ialah :

1) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
2) Orang sakit ingatan dan sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.

Hal kewajiban saksi mengucapkan sumpah atau janji KUHAP masih mengikuti peraturan
lama (HIR), dimana ditentukan pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak suatu kesaksian
sebagai alat bukti. Agar keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah dan kuat maka
sebelumnya saksi memberikan keterangan terlebih dahulu wajib mengucapkan sumpah atau janji
menurut cara agamanya masing-masing, hal ini tercantum dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP.

Saksi menurut sifatnya dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :

a) Saksi A Charge (Saksi yang memberatkan terdakwa) Saksi ini adalah saksi yang telah dipilih
dan diajukan oleh penuntut umum, dengan keterangan atau kesaksian yang diberikan akan
memberatkan terdakwa, demikian menurut Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP, bahwa “Dalam
hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum
dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum

4
atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim
ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut”

b) Saksi A De Charge (Saksi yang meringankan atau menguntungkan terdakwa) Saksi ini dipilih
atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum, yang mana keterangan
atau kesaksian yang diberikan akan meringankan atau menguntungkan terdakwa, demikian
menurut Pasal 65 KUHAP, bahwa “Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan diri
mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan
keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.”

Mengenai saksi yang dapat juga ditemukan sebagai saksi mahkota memang tidak diatur di
dalam KUHAP namun istilah ini dapat ditemui dalam alasan yang tertuang pada memori kasasi
yang diajukan oleh kejaksaan dalam Putusan Mahkamah Agung no.2374 K/Pid.sus/2011 yang
menerangkan bahwa “Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai
saksi mahkota (kroongetuide), namun berdasarkan perspekstif empirik maka saksi mahkota
didefiniskan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa
lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana kepada saksi tersebut
diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut
adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan
yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan
yang pernah dilakukan.”

Dalam meminta keterangan dari saksi mahkota ini, berkas perkara dari terdakwa tersebut
dipisah (splitsing). Splitsing dilakukan karena kurangnya saksi untuk menguatkan dakwaan
penuntut umum, sehingga harus ditempuh cara mengajukan sesama tersangka yang lain. Namun
kelemahan dari pemeriksaan seperti ini sering mengakibatkan terjadinya keterangan saksi palsu,
sehingga kemungkinan saksi diancam atau dikenakan dengan Pasal 224 KUHP yang berisi “barang
siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undangundang dengan sengaja tidak
memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam : dalam
perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan dan dalam perkara lain, dengan
pidana penjara paling lama enam bulan.” Kemungkinan yang timbul adalah bahwa para terdakwa
yang diperiksa seperti ini akan saling memberikan atau meringankan satu sama lain.

Ad. b Keterangan Ahli

Esensi keterangan ahli atau verklaringen van een deskundige/expect testimony adalah
keterangan yang diberikan oleh seseorag yang memiliki keahlian khusus tentang yang diperlukan
untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan seperti yang terdapat
pada Pasal 1 butir 28 KUHAP merumuskan bahwa.

“Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus
tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaaan.” Mengenai keterangan ahli juga dapat dilihat pada Pasal 186 KUHAP yang bunyinya
sebagai berikut :

5
“Keterangan ahli ini juga dapat sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau
penuntut umum yang dituangkan dalam sautu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah
diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan”

Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang hanya diatur dalam satu
pasal saja pada Bagian keempat, Bab XVI sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 186
KUHAP. Akibatnya kalau hanya bertitik tolak pada pasal dan penjelasan Pasal 186 KUHAP saja,
sama sekali tidak memberi pengertian mengenai keterangan ahli tersebut. Untuk mencari dan
menemukan pengertian yang lebih luas, tidak dapat hanya bertumpu dan berlandaskan pasal dan
penjelasan Pasal 186 KUHAP, maka pada pencarian pengertian yang lebih luas ini pasal ini harus
dihubungkan dengan ketentuan dan pasal-pasal yang terpencar di dalam KUHAP, mulai dari Pasal 1
angka 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179 dan Pasal 180 KUHAP. Dengan jalan merangkai pasal-
pasal tersebut baru jelas arti dan seluk-beluk pemeriksaan keterangan ahli. Hal ini sudah
diterangkan satu persatu pada saat menguraikan hal yang bersangkutan dengan pasal-pasal tersebut.

Sedang apa yang dirumuskan pada Pasal 186 KUHAP khusus mengatur masalah keterangan
ahli ditinjau dari segi alat bukti dan pembuktian. Akan tetapi nyatanya harus diakui Pasal 186
KUHAP itu sendiri sebagai pasal yang mengatur keterangan ahli sebagai alat bukti dan pembuktian,
tidak mampu menjelaskan masalah yang dikandungnya sekalipun pasal tunggal ini dihubungkan
dengan penjelasannya. Dari sudut pengertian dan tujuan keterangan ahli inilah ditinjau makna
keterangan ahli sebagai alat bukti. Manfaat yang dituju oleh pemeriksaan keterangan ahli guna
kepentingan pembuktian. Seandainya hakim kurang memahami pengertian tentang suatu keadaan,
dan penjelasan hanya dapat diberikan oleh orang yang memiliki keahlian khusus dalam masalah
yang hendak dijernihkan.

Oleh karena itu, disamping orang yang diminta keterangannya benar-benar ahli dan memiliki
keahlian khusus dalam masalah yang hendak dibuat menjadi jelas dan terang, pemeriksaan itu harus
bertitik tolak dari tujuan pemeriksaan ahli tadi, yaitu “untuk membuat terang” perkara pidana yang
sedang diperiksa.

Dalam Pasal 120 KUHAP kembali lagi ditegaskan yang dimaksud dengan keterangan ahli
ialah orang yang memiliki “keahlian khusus”, yang akan memberikan keterangan menurut
pengetahuannya yang sebaik-baiknya. Pengertian inilah yang dapat disarikan dari ketentuan Pasal
120 KUHAP, jika pengertian ahli dikaitkan dengan alat bukti dan pembuktian. Dengan demikian
Pasal 120 KUHAP semakin mempertegas pengertian keterangan ahli yang ditinjau dari segi alat
bukti dan pembuktian, yakni :
i. Secara umum yang dimaksud dengan keterangan ahli yang dapat dianggap bernilai sebagai
alat bukti yang sah ialah keterangan seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang suatu
hal.
ii. Dan keterangan yang diberikannya sebagai ahli yang memiliki keahlian khusus dalam
bidangnya, berupa keterangan “menurut pengetahuannya”.

Dalam Pasal 133 KUHAP lebih menitikberatkan masalahnya kepada keterangan ahli
kedokteran kehakiman, dan menghubungkannya dengan tindak pidana yang berkaitan dengan
kejahatan, penganiayaan dan pembunuhan. Kalau Pasal 133 dihubungkan dengan Pasal 1 angka 28

6
dan Pasal 120 KUHAP pada satu pihak, tampak seolah undang-undang mengelompokkan ahli pada
dua kelompok, yakni :

1) Ahli secara umum seperti yang diatur pada Pasal 1 angka 28 dan Pasal 120, yakni orang-
orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu, seperti ahli jiwa, akuntan, ahli
kimia, ahli mesin, ahli pertambangan, dan sebagainya.
2) Ahli kedokteran kehakiman seperti yang disebut dalam Pasal 133 KUHAP, ahli yang khusus
dalam bidang kedokteran kehakiman yang berhubungan dengan bedah mayat dan forensic.

Sebenarnya ahli dalam bidang kedokteran kehakiman yang berhubungan dengan kejahataan
tindak pidana penganiayaan, pembunuhan dan sebagainya pada hakikatnya adalah ahli yang
memiliki keahlian khusus. Atau dengan kata lain, ahli kedokteran kehakiman ialah ahli yang khusus
yang memiliki keahlian yang berhubungan dengan korban yang mengalami luka, keracunan ataupun
mati yang diduga diakibatkan peristiwa pidana. Oleh karena itu khusus mengenai keterangan
korban yang mengalami luka, keracunan atau pembunuhan, hanya dapat diminta dari ahli
kedokteran kehakiman, agar keterangan tersebut dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah.
Keterangan yang diberikan oleh dokter yang bukan ahli kedokteran kehakiman, bukan merupakan
alat bukti yang sah. Keterangan mereka hanya bernilai sebagaimana ditegaskan penjelasan Pasal
133 ayat (2) KUHAP. Dan kalau nilai keterangan dokter yang bukan ahli dokter kehakiman hanya
dianggap undang-undang sebagai keterangan saja maka keterangan itu :

a) Tidak mempunyai nilai pembuktian


b) Dan hanya dapat dipergunakan hakim menjadi pendapatnya sendiri jika keterangan itu
dianggapnya benar. Atau barangkali “konsisten” dengan ketentuan Pasal 161 ayat (2)
KUHAP. Keterangan tersebut dapat dipergunakan hakim untuk “menguatkan keyakinannya”

Dalam Pasal 179 KUHAP, ditinjau dari segi alat bukti dan pembuktian, tampaknya pasal ini lebih
mempertegas pendapat akan hal-hal yang telah diuraikan di atas, yakni :

(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakirnan atau dokter atau ahli
lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

(2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan
keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan
memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam
bidang keahliannya.

Ad. c. Surat

Jenis surat yang dapat diterima sebagai alat bukti dicantumkan dalam Pasal 187 KUHAP.
Surat tersebut dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Jenis surat yang
dimaksud adalah :

Pertama berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan
yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu.

7
Sebagai contoh, akta perjanjian yang dibuat oleh para pihak di hadapan notaris. Demikian
pula akta yang dibuat oleh pejabat umum seperti lurah, camat dan lain sebagainya. Menurut
Wirjono Prodjodikoro, suatu akta autentik yang dijadikan alat bukti pada perkara perdata bersifat
mengikat hakim, kecuali jika ada bukti sebaliknya, namun hal tersebut berbeda dengan perkara
pidana.

Dalam perkara pidana, tidak ada satu bukti pun yang mengikat hakim perihal kekuatan
pembuktian. Hakim pidana harus selalu memikirkan apa ia yakin atas kesalahan terdakwa. Jika ada
suatu akta autentik yang diajukan dalam perkara pidana, hakim untuk mempunyai keyakinan
tentang ketiadaan kesalahan terdakwa, tidak memerlukan bukti berlawanan, seperti halnya dengan
hakim perdata.

Hal ini mengingat pembuktian dalam perkara pidana di Indonesia menganut pembuktian
bebas. Artinya, hakim bebas untuk meyakini atau tidak alat-alat bukti yagn sah. Kedua, surat yang
dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal
yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi
pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. Contohnya, untuk membuktikan adanya perkawinan,
ada surat nikah. Untuk membuktikan adanya kematian, ada akta kematiaan dan untuk membuktikan
tempat tinggal seseorang ada kartu tanda penduduk (KTP).

Ketiga, surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. Misalnya adalah
hasil visum et repertum yang dikeluarkan oleh seorang dokter. Visum tersebut dapat dibuat
berdasarkan permintaan korban atau permintaan aparat penegak hukum untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan ataupun persidangan. Keempat, surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya mengandung nilai pembuktian apabila isi surat tersebut ada hubungannya dengan alat
bukti lain.

Berdasarkan Undang-Undang nomor 1 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi


Elektronik, informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetakannya merupakan
alat bukti hukum yang sah. Informasi elektronik dan atau dokumen berikut hasil cetakannya adalah
perluasan dari alat bukti yang sah menurut hukum acara. Dokumen elektronik tidaklah dapat
dijadikan alat bukti jika terhadap suatu surat, undang-undang menentukan harus dibuat dalam
bentuk tertulis, termasuk pula akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Dalam
hal surat-surat tidak memenuhi persyaratan untuk dinyatakan sebagai bukti surat.surat-surat tersebut
dapat dipergunakan sebagai petunjuk. Akan tetapi, mengenai semuanya diserahkan kepada
pertimbangan hakim.

1) Menurut Sudikno Merto Kusumo :


Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan
sebagai pembuktian. Dengan demikian segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan,
atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran,
tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat.

8
2) Menurut Asser-Anema
Surat adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti,
dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.

3) Menurut Mahkamah Agung


Dalam suratnya kepada Menteri Kehakiman RI pada tanggal 14 Januari 1988. Nomor
39/TU/88/102/Pid, berpendapat bahwa microfilm atau microfiche dapat dipergunakan53 sebagai
alat bukti.

Ad.d. Petunjuk

Pengertian petunjuk terdapat dalam Pasal 188 KUHAP yang merumuskan bahwa: “Petunjuk
adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang
lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana
dan siapa pelakunya.”

Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.
Terlebih jika diperhatikan pada Pasal 188 ayat (1) KUHAP yang mengatakan bahwa penilaian atas
kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim
dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan
keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Apabila kita bandingkan dengan 4 (empat) alat bukti yang
lain dalam pasal 184 KUHAP, maka alat bukti petunjuk ini bukanlah suatu alat bukti yang bulat dan
berdiri sendiri, melainkan suatu bukti bentukan hakim. Alat bukti petunjuk sebenarnya merupakan
rekonstruksi perbuatan, kejadian, atau keadaan yang diperoleh dari keteranngan saksi , surat dan
keterangan terdakwa yang bersesuaian sehingga memberikan gambaran mengenai terjadinya tindak
pidana dan siapa pelakunya.54 Hal ini dapat dilihat dari pasal 184 ayat (1) KUHAP yang
menyatakan bahwa “petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”. Petunjuk yang dimaksud
hanya dapat diperoleh dari :

a. Keterangan Saksi
b. Surat
c. Keterangan Terdakwa

Keberadaan dan bekerjanya alat bukti petunjuk ini cenderung merupakan penilaian terhadap
hubungan atau persesuaian antara isi dari beberapa alat bukti lainnya, dan bukanlah alat bukti yang
berdiri sendiri, maka dapat dimaklumi apabila sebagian ahli menaruh sangat keberatan atas
keberadaannya menjadi bagian dalam hukum pembuktian perkara pidana. Misalnya, Van
Bemmelen yang mengatakan bahwa kesalahan utama ialah petunjuk-petunjuk dipandang sebagai
alat bukti padahal hakikatnya tidak ada. Karena sifat yang demikian, maka Wirdjono Prodjidikoro
menyarankan agar alat bukti petunjuk dilenyapkan dari penyebutan sebagai alat bukti.

9
Selanjutnya, penggantinya adalah pada pengalaman hakim dalam sidang dan pada
keterangan terdakwa dimuka hakim tidak mengandung pengakuan salah seluruhnya dari terdakwa.
Alat bukti petunjuk adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim yang dibentuk dari hubungan dan
persesuaian alat bukti yang ada dan yang dipergunakan dalam sidang, maka sifat subyektifitas
hakim lebih dominan. Oleh karena itu, Pasal 188 ayat (3) KUHAP mengingatkan hakim agar dalam
menilai kekuatan alat bukti petunjuk dalam setiap keadaan tertentu harus dilakukan dengan arif dan
bijaksana, setelah hakim memeriksa dengan cermat dan seksama yang didasarkan hati nuraninya.
Berkaitan dengan hal tersebut maka ada pemikiran dalam KUHAP kedepan alat bukti petunjuk
diganti dengan alat bukti pengamatan hakim.

Ad . e. Keterangan Terdakwa

Menurut Pasal 189 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan alat butki berupa keterangan terdakwa,
adalah :

1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu
menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Jadi berdasarkan Pasal 189 KUHAP diatas, bahwa keterangan terdakwa harus diberikan di
depan sidang saja, sedangkan di luar sidang hanya dapat dipergunakan untuk menemukan bukti
sidang saja. Demikian pula apabila terdakwa lebih dari satu orang, maka keterangan dari masing-
masing terdakwa utnuk dirinya sendiri, artinya keterangan terdakwa satu dengan keterangan
terdakwa lainnya tidak boleh dijadikan alat bukti terdakwa lainnya. Dalam hal keterangan terdakwa
saja di dalam sidang, tidak cukup untuk membuktikan, bahwa terdakwa telah bersalah melakukan
suatu tindak pidana, tanpa didukung oleh alat bukti-bukti lainnya

10

Anda mungkin juga menyukai