Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH TEKNIK REPORTASE

Jurnalistik Online

Disusun guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah Teknik Reportase


Dosen Pengampu : Drs. H. Agus Fathuddin Yusuf MA

Disusun Oleh :

1. Bagus Mulyo Aji (2017102080)


2. Mohammad Faizin (2017102081)
3. Tasurif Khusnatul Banati (2017102082)
4. M. Rifki Rizqullah (2017102084)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH

UIN PROFESOR KIAI HAJI SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya kepada kami sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih
atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Purwokerto, 9 November 2021

Penyusun
A. Jurnalistik Online
Jurnalistik Online (Online Journalism) adalah pelaporan fakta yang diproduksi dan
disebarkan melalui internet. Dulu, jurnalistik "hanya" berlaku di suratkabar (koran), majalah,
radio, televisi, dan film --lima media komunikasi massa yang dikenal dengan sebutan "The Big
Five of Mass Media' (Lima Besar Media Massa). Kini, jurnalistik juga berlaku di internet atau
media online sehingga melahirkan "ilmu baru" bernama jurnalistik online (online journalism).
Istilah lainnya:
1. Internet Journalism (jurnalistik internet),
2. Website Journalism (jurnalistrik webiste),
3. Digital Journalism,
4. Daring Journalism,
5. Headline Journalism (jurnalistik judul).
Jurnalistik online bahkan cepat berkembang dengan memunculkan jurnalistik baru yang
masih dalam lingkup jurnalistik online: mobile journalism (jurnalistik mobil), yaitu aktivitas
jurnalistik melalui mobile device--mobile phone, smarphone, tablet computer, dsb. Mobile
Journalism kian mempercepat proses penulisan dan penyebarluasan berita di media online.
Wartawan bisa melaporkan peristiwa (menulis berita) kapan dan di mana saja, bahkan saat
sebuah peristiwa sedang berlangsung.
Jurnalistik online juga memperkuat atau menumbuhkembangkan jurnalisme warga
(citizen journalism) dengan memanfaatkan blog atau media sosial (social media). Kini, setiap
orang bisa menjadi wartawan, dalam pengertian meliput peristiwa dan melaporkannya melalui
internet kapan dan di mana saja, bahkan saat sebuah peristiwa sedang berlangsung.
B. Karakteristik Jurnalistik Online
Perbedaan utama jurnalistik online dengan "jurnalistik tradisional" (cetak, radio, TV)
adalah kecepatan, kemudahan akses, bisa di-update dan dihapus kapan saja, dan interaksi
dengan pembaca atau pengguna (user). Jurnalistik online juga "tidak mengenal" tenggat waktu
(deadline) sebagaimana dikenal di media cetak. Deadline bagi jurnalistik online-dalam
pengertian "publikasi paling lambat" adalah "beberapa menit bahkan detik" setelah kejadian
berlangsung. Jurnalistik online dicirikan sebagai praktik jurnalistik yang mempertimbangkan
beragam format media (multimedia) untuk menyusun isi liputan yang memungkinkan
terjadinya interaksi antara jurnalist dengan audiens dan menghubungkan berbagai elemen
berita dengan sumber-sumber online yang lain. Kemampuan interaktivitas jurnalistik online
dianggap bisa meruntuhkan aturan lama tradisi jurnalistik, bahwa "kebenaran faktual" terletak
pada praktik jurnalistik karena hanya wartawan yang tahu dan memutuskan informasi macam
mana yang dibutuhkan oleh khalayak. Kebenaran faktual, obyektivitas, dan imparsialitas tidak
lagi dibangun pada ruang senyap editor, namun dipertukarkan antara jurnalis dan publik.
Karakteristik jurnalistik online sekaligus menjadi keunggulannya, dikemukakan
James C. Foust dalam buku Online Journalism. Principles and Practices of News for The
Web (Holcomb Hathaway Publishers, 2005).
1. Audience Control atau kendali pembaca. Jurnalistik online memungkinkan pembaca
(user/visitor) leluasa dalam memilih berita yang diinginkan. Mereka bisa pindah
dengan cepat dari satu berita ke berita lain atau dari satu portal berita ke website lain.
2. Nonlienarity. Jurnalistik online memungkinkan setiap berita yang disampaikan dapat
berdiri sendiri sehingga pembaca tidak harus membaca secara berurutan. Pembaca bisa
memulai dengan berita terbaru, bahkan bisa mulai dengan berita yang diposting satu-
dua tahun lalu.
3. Storage and retrieval. Online jurnalisme memungkinkan berita dengan mudah oleh
pembaca. tersimpan, terarsipkan, atau terdokumentasikan dan diakses kembali
4. Unlimited Space atau ruang tanpa batas. Jurnalistik online relatif tanpa ada batasan
jumlah berita atau informasi yang akan dipublikasikan, juga. relatif tanpa batasan
jumlah huruf dan kata/kalimat. Berbeda dengan media cetak yang dibatasi
kolom/halaman atau radio/televisi yang dibatasi durasi (waktu).
5. Immediacy. Kesegeraan, kecepatan. Jurnalisme online memungkinkan informasi dapat
disampaikan secara cepat dan langsung kepada pembaca. Internet adalah medium
tercepat untuk menyebarkan informasi.
6. Multimedia Capability. Kemampuan multimedia. Jurnalisme online memungkinkan
berita disampaikan tidak hanya dalam format teks, tapi juga a bisa dilengkapi audio
dan video.
7. Interactivity. Interaktivitas. Jurnalisme online memungkinkan adanya peningkatan
partisipasi pembaca dalam setiap berita, dengan adanya kolom komentar dan/atau
fasilitas media sosial yang memungkinan pembaca menyebarkan/membagi (share)
berita di akun media sosial.
Berbagai keunggulan jurnalistik online menjadikan "jurnalisme baru generasi
ketiga" ini sebagai jurnalistik masa depan.
C. Fenomena Hoax
Informasi palsu atau dikenal dengan istilah hoax berasal dari kata hocus, yang artinya
mengecoh atau menipu telah ada sejak abad ke-18. Semakin mendunianya internet, istilah hoax
pun semakin popular. Hoax memiliki dua tujuan, pertama hoax yang beredar di kelompok
sempit atau kecil dan hanya sekedar untuk lelucon, kemudian hoax dengan tujuan untuk
kejahatan, sengaja diciptakan untuk menipu atau mengecoh. Hoax berkembang begitu
masifnya, sehingga seringkali banyak orang tertipu untuk mempercayainya, bahkan tanpa
sadar telah berperan menjadi penyebar hoax di media sosial.
Tidak semua informasi yang beredar itu benar dan sesuai dengan fakta, Allah SWT
berfirman dalam surat Al-Isra ayat 17: Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak
kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta
pertanggung jawabannya. al-Qarni menafsirkan ayat tersebut dengan janganlah kalian
mengikuti ataupun meyakini sesuatu yang tidak kalian ketahui kepastiannya. Jadilah orang
yang teguh dalam urusanmu, janganlah mengikuti prasangka dan kabar buruk, karena
pendengaran, penglihatan, dan hati mausia akan diperhitungkan di hadapan Allah. Jika semua
itu dipergunakan untuk kebaikan, maka Allah akan membalasnya dengan pahala, dan jika
dipergunakan kejelekan maka allah akan membalasnya dengan siksaan.
Kejujuran merupakan jalan menuju keselamatan baik di dunia maupun di akhirat,
sebaliknya kebohongan merupakan jalan menuju kejahatan. Menyebarkan berita bohong
merupakan perbuatan munkar. Sehingga menyebarkan berita hoax atau berita bohong
merupakan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Penelitian terdahulu oleh Dedi Rianto mengungkapkan beberapa alasan mengapa
adanya pihak yang menyebarkan informasi hoax. Jawaban tersebut di antaranya agar informasi
yang disebarkan menjadi viral sehingga mampu mengubah atau memengaruhi opini publik,
adanya keinginan untuk mengubah kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai,
memberikan dukung kepada elemen masyarakat tertentu hingga persaingan bisnis. Pihak
tertentu yang sengaja merekayasa kebohongan bertujuan untuk menimbulkan gelesihan
masyarakat, memutarbalikan fakta, mengadu domba antar umat, mendapatkan keuntungan
atau hanya sekedar mencari sensasi agar dikenal masyarakat luas.
Hoax umumnya disebar menggunakan teks atau gambar yang menggiring kesimpulan
pembaca untuk meyakini sesuatu. Sebuah peristiwa yang benar-benar terjadi sering kali juga
ditunggangi oleh kabar bohong melalui penggunaan gambar atau video yang konteksnya tidak
terkait sama sekali. Atau sebuah rekaman peristiwa yang sudah lama terjadi dibungkus oleh
narasi seolah baru saja berlangsung.
Motivasi menyebarkan hoax pun beragam, mulai dari sekadar iseng demi lelucon
semata hingga menebarkan kerisauan atau memprovokasi demi agenda politik. Beredar
melalui media sosial maupun layanan perpesanan yang terpasang sebagai aplikasi di gawai,
hoax pun tidak bisa dipisahkan dari mayoritas masyarakat Indonesia yang sudah akrab dengan
perangkat seperti ponsel pintar atau sabak elektronik.
Apa penyebab masifnya hoax? Inisiator Komunitas Masyarakat Indonesia Anti Hoax,
Septiaji Eko Nugroho menilai, rendahnya kesadaran literasi menjadi salah satu faktor
pendorong masifnya peredaran kabar bohong atau hoax. Dengan budaya baca yang rendah,
masyarakat menelan informasi secara instan tanpa berupaya mencerna utuh. Bangsa Indonesia,
bagi dia, adalah bukan bangsa pembaca tetapi bangsa ngerumpi. Informasi yang diterima
langsung diyakini sebagai sebuah kebenaran, lalu berupaya membagi informasi tersebut
kepada orang lain.
Lalu dimana posisi berita dalam hoax, bisakah hoax disebut sebagai berita? Pertanyaan
ini jamak terdengar. Dalam Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik berbunyi: Wartawan Indonesia selalu
menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini
yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Pasal ini menafsirkan bahwa menguji informasi berarti melakukan check and recheck
tentang kebenaran informasi itu, berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan
kepada masing-masing pihak secara proporsional, opini yang menghakimi adalah pendapat
pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa
interpretasi wartawan atas fakta serta asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak
menghakimi seseorang.
Pengertian hoax atau pemberitaan palsu sendiri adalah usaha untuk menipu atau
mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita
palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu. Salah satu contoh pemberitaan palsu
yang paling umum adalah mengklaim sesuatu barang atau kejadian dengan suatu sebutan yang
berbeda dengan barang/kejadian sejatinya. Suatu pemberitaan palsu berbeda dengan misalnya
pertunjukan sulap; dalam pemberitaan palsu, pendengar/penonton tidak sadar sedang
dibohongi, sedangkan pada suatu pertunjukan sulap, penonton justru mengharapkan supaya
ditipu.
 Alternatif Tangkal Hoax Bagi Wartawan
Kebenaran dalam konteks informasi pers yakni memberitakan keadaan sebenarnya.
Hal ini berkebalikan dengan hoax yang menyembunyikan kebenaran atau mengada-adakan
kebenaran. Dalam jurnalistik, terdapat standar minimum sebagai konsep dari kebenaran
dalam “menyampaikan kebenaran”. Standar tersebut:
Pertama, laporan harus akurat, dengan cara melakukan verifikasi fakta sehingga
diperoleh bukti yang valid. Kedua, untuk mendukung kebenaran dalam media, jurnalis
atau reporter perlu melakukan upaya pencerdasan dengan cara mendorong pemahaman
audiensi. Suatu laporan harus berisi sejumlah informasi yang memberikan pemahaman
bagi audiens. Seorang jurnalis dituntut untuk bisa memposisikan diri antara membuka
semua informasi atau sama sekali tidak menyampaikan informasi tersebut. Ketiga, jurnalis
harus memberikan informasi yang jelas dalam laporan liputannya, laporan yang memiliki
sifat fair dan seimbang.
Banyak ayat dalam Alquran yang jika direnungkan substansi dan kandungannya menjadi
rujukan berbagai prinsip dalam proses kerja jurnalistik yang dapat menangkal masifnya hoax.
Prinsip-prinsip itu antara lain:
a. Prinsip akurat. Modal utama profesi jurnalistik adalah keterpercayaan. Keterpercayaan
tumbuh dari sikap objektif dalam melihat dan menangkap nilai peristiwa yang terjadi dan
dijadikan sumber informasi dan data aktual produk jurnalistik. Itulah yang disebut akurat.
Akurasi infomasi dan data hanya mungkin diperoleh melalui pengecekan yang jujur, teliti
dan sungguh-sungguh. Verifikasi informasi “diperintahkan” dalam ajaran Islam. Informasi
tanpa verifikasi dalam perspektif Alquran dapat mengakibatkan bencana dalam kehidupan
manusia. (QS. al-Hujuraat/49: 6).
b. Prinsip adil. Komunikasi dan penyebaran informasi harus senantiasa dalam batas-batas
kewajaran dan kepatutan (fairness). Semua pihak yang berkaitan dengan informasi, berhak
menyuguhkan data sesuai perspektifnya masing-masing (berimbang). Informasi yang
dilansir media harus selalu komprehensif (cover both sides). Tidak boleh memutarbalikkan
fakta, baik disebabkan dorongan hawa nafsu maupun karena ingin menyimpang dari
kebenaran. (QS. an-Nisaa/4:35)
c. Ketiga, asas praduga tak bersalah. Informasi yang patut menjadi bahan berita tidak boleh
bersumber dari rumor. Model pemberitaan yang dilakukan tidak boleh bernada ejekan atau
berisi mengolok-olok: siapa pun dan kelompok mana pun. Prasangka buruk juga harus
dihindari dalam pemberitaan. Mencari-cari kesalahan orang lain dengan tujuan
menjelekjelekkannya adalah fenomena jurnalistik yang dilarang dalam Islam. (QS. al-
Hujurat/49: 11-12).
d. Keempat, menggunakan kata bermakna, santun, lembut dan argumentatif dalam
menyampaikan informasi atau berita. Prinsip ini dalam bahasa Alquran disebut bi alhikmah
(QS. an-Nahl/16:125). Kata hikmah dalam ayat ini adalah perkataan yang tegas dan benar,
yang dapat membedakan antara yang haq dengan bathil. Jurnalis yang memahami alhikmah
e. Kelima, menjunjung tinggi kebenaran, kejujuran, dan menghindari informasi dusta. Dalam
Bahasa Indonesia, dusta adalah “kabar bohong” atau “perkataan yang tidak sesuai yang
sebenarnya”. Dalam profesi jurnalistik, tidak dibolehkan menggunakan informasi yang
bersumber dari kabar bohong untuk bahan berita. Prinsip ini berdasarkan petunjuk dalam
Alquran (QS.al-Hajj/22:30). Kata zur dalam ayat ini-secara harfiah artinya “berbohong”
dan “kesaksian palsu”. Misalnya, rajul zur (laki-laki pembohong), qaum zur (kaum
pembohong). Pengertian tersebut sama dengan makna kaziba dalam QS. Yunus/10: 6.
Demikian pula “ancaman” kepada para pendusta sebagaimana dikemukakan Allah SWT
dalam QS. alJatsiyah/45:7.
Berbohong, berdusta, dan memberikan kesaksian palsu dampak negatifnya sangat
besar. Mungkin itu sebabnya Rasulullah SAW menyetarakan dosa kesaksian palsu dengan
dosa menyekutukan Allah SWT. Oleh karena itu, para jurnalis harus melakukan verifikasi
yang sangat ketat terhadap setiap data dan informasi yang diperoleh sebelum data dan
informasi itu digunakan sebagai bahan berita. Allah SWT memperingatkan bahwa orang
yang menyebarkan informasi yang tidak jelas sumbernya akan dimintai
pertanggungjawabannya. (QS. al-Israa’/17: 36)

D. Fenomena Seracen
Saracen, yakni kumpulan akun di jejaring sosial yang mengorganisir konten SARA,
lalu menyebarkan ke khalayak. Kelompok ini telah berlangsun sejak tahun 2015 yang didirikan
oleh tiga orang yaitu Jasriadi, Sri Rahayu, dan Faisal Tonong. Saracen terbentuk setelah para
anggotanya berupaya melakukan peretasan terhadap sebuah grup yang banyak melakukan
ujaran kebencian. Anggota kelompok Saracen saling berkomunikasi di Facebook, dan tim siber
muslim, mujahidin, dan sebagainya yang membahas bagaimana menghancurkan grup tersebut
karena admin grup yang menyebarkan ujaran kebencian banyak yang menyamar sebagai
muslim.
Grup saracen belajar meretas media sosial facebook secara otodidak. Perkenalan para
anggota Saracen melalui media sosial sejak pemilihan presiden tahun 2014. ketika mereka menjadi
simpatisan salah satu calon yang gagal dan orang-orang yang seide saling berkenalan dan akhirnya
bertemu secara langsung tahun 2016.
Saracen merupakan peristiwa yang meresahkan bagi warga Indonesia karena aksi yang
dilakukannya tersebut dianggap sama saja dengan melakukan adu domba dan secara tidak
langsung menginginkan hancurnya persatuan bangsa dan negara lewat berita-berita yang
disebarkan. Selain mendapat perhatian dari warga Indonesia, kasus Saracen ini mendapat perhatian
khusus dari Presiden Republik Indonesia yaitu Joko Widodo yang memberikan perintahnya kepada
Kapolri untuk mengusut tuntas kasus Saracen mulai dari sindikat, pemesan dan penyebarDalam
sebuah sumber menyebutkan bahwa Saracen merupakan perkara yang didasari oleh kepentingan
politik. Dengan adanya kepentingan tersebut dapat diartikan bahwa dalam setiap pembuatan
konten informasi yang disebarkan oleh Saracen tersebut terdapat aktor yang berlatar belakang
politik berada dibalik kelompok Saracen. Hal tersebut dapat ditemukan dalam Pemilihan Kepala
Daerah Jakarta 2017 yang mana dalam sebuah artikel menyebutkan bahwa Saracen telah
digunakan oleh berbagai pihak untuk kepentingan golongan. Di satu pihak menyebutkan bahwa
Saracen digunakan oleh pihak yang menang dalam Pilkada tersebut, disisi lain terdapat kesaksian
bahwa Saracen digunakan oleh pihak yang kalah untuk membangkitkan simpati masyarakat
(http://news.detik.com/, diakses tanggal 24 Desember 2017, 17:78 WIB).
DAFTAR PUSTAKA
Asep Syamsul M. Romli. 2012. Jurnalistik Online: Panduan Mengelola Media Online, Bandung.
Nuansa Cendikia..
James C. Foust. 2005. Online Journalism. Principles and Practices of News for The Web. Holcomb
Hathaway Publisher.

Anda mungkin juga menyukai