Anda di halaman 1dari 160
rnb MeN PENGANTAR PENTAHQIQ Segala puji hanya milik Allah, hanya kepada-Nya kami memuji, meminta pertolongan, dan memohon ampunan. Kami berlindung kepada Allah dari semua kejelekan jiwa dan keburukan perbuatan. Barangsiapa diberikan petunjuk oleh-Nya, maka tidak akan ada orang yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa disesatkan oleh-Nya, maka tidak akan ada orang yang dapat memberikan petunjuk kepadanya. Dan aku bersaksi sesungguhnya tidak ada tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah yang maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi sesungguhnya Muhammad adalah hamba-Nya juga utusan-Nya. optit oh YGF lS SET oe a gs “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati imelainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Qs. Aali ‘Imraan [3]: 102) 53823 bo al LB (st Hy Se sMh aw ahs wal “Si is Ao hee Ne “Hai sckalian manusia, bertakwalah kepada Twhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-faki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.” (Qs. An-Nisaa’ [4}: 1). BidayatulMujtabid = 1 HSB ALB edly Sigh Ki als “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar, Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu, dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia Telah mendapat kemenangan yang besar.” (Qs. Al Ahzaab [33]: 70-71). Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah Al Qur'an, sebaik-baik petunjuk adaiah petunjuk Muhammad, sejelek-jelek perkara adalah hal- hal baru yang tidak ada dalam agama, setiap hal baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan berada di dalam neraka. Sesunggubnya fikih merupakan salah satu ilmu syariat yang paling mulia, bahkan ia sangat terkait dengan kebutuhan kaum muslim, baik awam maupun khusus, semua itu tidak lain karena ia merupakan ilmu yang menjelaskan hal-hal yang halal dan haram, yang wajib dan yang sunnah, ia adatah jalan kebaikan bagi orang yang dikehendaki baik oleh Allah. Nabi SAW bersabda, oe SU og Gap ao sie “Barangsiapa dikekendaki bait oleh Allah maka Dia akan memberikan pemahaman (fikih) agama kepadanya.” Allah SW telah memberikan karunia kepada umat ini dengan banyaknya para imam, dan para mujtahid dalam memahami agama, mereka telah melakukan penelitian dalam memahami Al Qur'an, hadits Rasulullaah SAW, atsar para sahabat juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, hingga mereka memiliki madzhab dan berbagai ijtihad. ‘Tidak anch jika herbagai perpustakaan penuh dengan kitab-kitab fikih yang memuat banyak pendapat dan ijtihad para imam fikih, Diantara kitab-kitab fikih yang berharga adaiah kitab Bidayah Al Mujtahid wa Nikayah Al Mugtashid kaya ‘mam Abu Al Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Rusyd Al Qurihubi, ketika (imu fikih menjadi ilmu yang paling utama, maka kami punt sangat perhatian 2 Bidayatul Mujtahié — dengan kitab tersebut, di dalamnya dibahas sejumlah masalah yang dibutuhkan para penuntut ilmu, dan membantunya dalam beribadah kepada Tuhan sekalian alam, serta agar bisa mebedakan yang yang halal dan yang haram, Di dalam kitab ini —setelah memohon pertolongan kepada Allah dan taufiq-Nya— kami berusaha untuk menjelaskan yang shahih juga yang dha’if dari berbagai hadits dan atsar yang diungkapkan oleh penulis, agar seorang penuntut ilmu terbiasa mengetahui dalil yang shahih. Akhimya segala puji hanya milik Allah, Tuhan sekalian alam. Abmad Abu Al Majd Bidayatul Mujtahid = 3 BIOGRAFI PENULIS Dia adalah Ibnu Rusyd —yang cekatan, alim, dan filusuf pada zamannya— Abu Al Walid Muhammad bin Abi Qasim Ahmad putra dari seorang guru besar madzhab Maliki, ia adalah Abu Al Walid Muhammad bin Ahmad bin Ahmad bin Rusyd Al Qurthubi. Beliau Jahir sebulan sebelum kakeknya wafat, tepatnya pada tahun 520 hijriyah, Dia membaca kitab Al Muwaththa’ di hadapan ayahnya, ia juga mengambil ilmu dari Abu Masarrah dan sekelompok ulama, hingga menjadi pandai dalam ilmu fikih, ia juga belajar kedokteran dari Abu Marwan bin Hazbul, kemudian mengkonsentrasikan diri dalam mempelajari ilma para pandahulu hingga terkenal di bidangnya. Al Abbar berkata, “Di Andalus tidak pernah ada orang yang sempurna keilmuan dan keutamaannya, dia adalah orang yang sangat tawadhw’, sehingga dikatakan dia tidak pernah meninggalkan kesibukan semenjak batigh kecuali dua malam saja; malam kematian bapaknya dan malam pernikahannya. Dia telah menulis hampir sepuluh ribu lembar, dia amat cenderung, kepada ilmu orang-orang bijak sehingga menjadi pionir di bidangnya, dikagumi dalam fatwa kedokteran sebagaimana ia pun dibanggakan kala berfatwa masalah fikih, selain itu beliau adalah orang yang sangat pandai dalam bahasa arab sehingga ia pun hafal Diwan Abi Tammam dan Al Mutanabbi.” Diantara karya tulisnya adalah Bidayah Al Mujtahid dalam bidang fikih, Al Kullipyat dalam bidang kedokteran, Mukfuashar Al Mustashfa dalam bidang Ushul, dan karya tulis fainnya dalam bidang bahasa arab. Dia pernah menjabat sebagai hakim di Kordova, dan menjabat dengan sangat baik. fonu Abi Ushaiba’ah dajam Tarikh Al Hukama’ berkata, “Dia adalah orang yang sengat pandai dalam fikih dan perbedaan pendapat, juga ilmu kedokteran, dia memiliki hubungan yang sangat baik dengan Marwan bin Zubr, ada juga yang mengatakan bahws dia adalah orang yang memiliki jiwa kuat. Dia belajar iimu kedohtevan kepada Abu Ja’far bin Harun dalam beberapa waktu, ketika Al Manshur menjadi pemimpin di Kordova, dia memanggil Ibnw Rusyd dan inemutiakannya, namun 4 Bidayatul Mujtahid setelah itu ia menyiksanya karena pemikiran filsafatnya Ibnu Rusd (yang dinilai menyimpang). Diantara karya-karya beliau lainnya: Syarh Urjuzah Ibni Sina datam bidang kedokteran Al Mugaddimah dalam bidang fikih Kitab Al Hayawan Jawami" Kutub Aristha Dan mensyarah kitab: An-Negs Al Mantig Talkhis Al Hahiyat karya Nicolas _ Talkhish Ma Ba‘da Ath-Thabi'ah karya Aristoteles Talkhis Al Istigshat oleh Galenos Serta meringkas kitab: Al Mizaj Al Quwa Al ‘Tal AtTa rif Al Hamyat Hilah Al Bar* As-Sima’ Ath-Thabi't Diantara karya beliau lainya adalah: Tahafut At-Tahafut Minhaj Al Adillah dalam kajian Ushul Fash! Al Magal Baina Asy-Syari'ah wa Al Hikmah min At Ittishsal _ Syark Al Qivaskarya Arisoteles Magalah fi Al ‘Agi Magalah fi Al Qivas Al Fahshu fi Ame Al ‘Agi Bidayatul Mujtahid = 5 ~ Al Fahshu ‘An Masa‘ail Fi Asy-Syife -— Mas‘alah fi Az-Zaman ~ Magalah fima Ya'taqiduh Al Musya'un wama Ya'tagiduhu Al Mutakallimun fi Kaifiyyah Al Wujud Al ‘Alam = Magalah fi Nachar Al Farabi fi Al Mantiq wa Nazhar Aristha, ~ — Magalah fi lththishal Al ‘Agli li Al Insan - Magalah fi Al Maddah Al'Ula - Magalah fi Ar-Radd ‘Ala Ibni As-Sina - Magatah fi Al Mizaj - Masail Hukmiyyah - Magalah ft Harakah Al Falag - Ma Khalafa fihi Al Farabi fi Aristha Telah meriwayatkan dari beliau Abu Muhammad bin Hauthillah, Abu Bakar bin Zhuhur, Abu Al Hasan Sahal bin Malik dan putranya Al Qadhi yang wafat pada tahun (622 H), Abul Qasim bin Ath-Thaytisan, Bundud atau Ibnu Bundud, Ustadz Abu Bakar Yahya Al Qurthubi, Abu Ja'far Ahmad bin Sabig, dan Abul Rabi bin Salim Al Kala’i, akan tetapi tidak ada yang mendapatkan popularitas setelah Ibnu Rusyd Dia pun telah meriwayatkan dari Abul Qasim bin Basykal dan Abu Marwan Abdil Malik bin Masarrah, dan mengambil riwayatnya saat beliau di Sevilla juga tempat yang lainnya. Dia belajar kedokteran dari Abu Marwan Al Balansi dan Abu Ja’far Harun, Belajar fikih kepada Al Hafizh Al Fagih Abu Muhammad bin Rizq. Wafatnya: Sebelumnya dia memiliki hubungan yang sangat baik dengan Al Manshur, akan tetapi hal it berjalan tama sehingga dia_ di tuduilr sebagai zindiq dan atheis, akhrinya sikap Al Manshur pun berubah kepadanya, sehingga ia diasingkan ke Marakis (sebuah kota di “Maroko), bahkan, sehagian buku-bukunya dibakar, kemudian setelah beberapa lama Al Manshur kembali senang kepadanya, bahkan memberikan amnesti untuk Kembali, akan tetapi dia tidak hidup lama setelah amnesti itu lebih dari satu tahun. 6 Bidayatul Mujtabid Dia wafat pada hari kamis bertepatan dengan tanggal 9 Shafar 595 H di Marakis, ketika itu dia berumur 75 tahun, inilah tahun yang menentukan bagi para pendukungnya. Sementara Ibnu Ushaiba’ah menyatakan bahwa dia wafat di awal tahun 595 H. Bidayatul Mujtahid = 7 PENGANTAR PENULIS. ‘Aku memuji Allah dengan segala pujian untuk-Nya, shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasul-Ny2 Muhammad SAW, keluarga dan kepada para sahabatnya semua. Sesungguhnya tujuan saya dalam enulis kitab ini adalah memperkuat hapalan terhadap berbagai masalah hukum yang disepakati dan diperdebatkan beserta dalil-dalilnya, dan memberikan perhatian terhadap poin perbedaannya, yang sesuai dengan ushul dan kaidah fikih yang dapat membantu seorang mujtahid mencari hukum terhadap masalah yang tidak diungkap dalam syariat, kebanyakan masalah ini adaiah bersifat tekstual dalam syariat, atau terkait dengan satu nash, bahkan ia adalah masalah yang disepakati, atau masalah yang masyhur diperdebatkan di kalangan para ulama fikih, dari zaman sahabat sampai masa tersebarnya taklid buta. Sebelumnya saya ingin memaparkan beberapa methode yang digunakan untuk mengeluarkan hukum-hukum syariat, dan sebab-sebab timbuinya perbedaan pendapat dengan seringkas mungkin. Methode yang digunakan untuk memahami hukum dari Nabi SAW pada dasarnya ada tiga: 1. Lafazh 2. Perbuatan 3. Ketetapan Adapun hukum masalah yang tidak dijelaskan hukumaya oleh penetap hukum (baca: Allah dan Rasulullah), jumhur ulama berkata, “Sesungguhnya methode memahaminya adalah dengan qiyas.” sementara Ahlu Azh-Zhahir berkata, “Qiyas dalam hukum syari‘at adalah bathil, dan sesuatu yang tidak dijelaskan oleh penetap hukum adalah tidak ada hukumnya, dan logika membuktikan hal ini, karena ragam kasus dan peristiwa yang terjadi dikalangan manusia tidak akan ada habisnya, sementara nash, perbuatan Rasulullah dan ketetapannya terbatas, maka mustahil sesuatu yang ada batasannya dihadapkan dengan sesuatu yang tidak ada batasannya.” 8 —_Bidayatul Mujtahid Adapun lafezh-lafazh yang dapat dipahami untuk menentukan hukum terdiri dari tiga Klasifikasi yang disepakati dan satu yang diperdebatkan. ‘Adapun tiga klasifikasi yang disepakati adalah : 1. Lafazh umum 2. lafazh khusus 3. Lafazh umum, namun yang dimaksud adalah khusus atau lafazh khusus, namun yang dimaksud adalah umum. Dengan klasifikasi ini maka memuat: 1. Prioritas terhadap yang lebih tinggi dari yang lebih rendah (at- tanbih bi al a'ta ‘ala al adna). 2. Prioritas terhadap yang lebih rendah dari yang lebih tinggi (at- tanbih bi al adna ‘ata al a’ta). 3. Prioritas terhadap yang setara dengan yang setara (at-tanbih bil musawi ‘ala al musawi). Conteh lafazh umum, firman Allah SWT: peepee te qe ete et ppl by pally aT Se Ca “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.” (Qs. A Maa’idah [5]: 3) Sesungguhnya kaum muslim sepakat bahwa lafazh Khinzir (babi) mencakup semua macam babi selama tidak termasuk binatang yang diungkapkan secara isytirak al ism (kesatuan nama) seperti babi laut. Conteh lafazh umum namun yang dimaksud adalah khusus adalah firman Allah SWT: Puchi yt ve 59 pga Ao Aral ope de “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (Qs. At-Taubah [9]: 103). ‘Sesungguhnya kaum muslim sepakat bahwa zakat tidak diwajibkan pada semua jenis harta. Contoh lafazh khusus namun yang dimaksud umum adalah firman- Nya: BidayatulMujtahid = 9 “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’.” (Qs. A\ Israa [17}: 23) Ayat ini termasuk memberikan prioritas terhadap yang lebih tinggi dari yang lebih rendah, dengan demikian dari ayat ini dapat dipahami haramnya memukul dan mencela orang tua karena hal ini lebih menyakitkan dari berkata “ah.” Lafazh-lafazh yang menunjukan bahwa sesuatu harus dikerjakan ini terkadang diungkapkan dalam bentuk petintah, atau berita yang memiliki makna perintah, demikian pula dengan sesuatu yang dilarang terkadang diungkapkan dalam bentuk larangan atau dalam bentuk berita yang mengandung makna larangan. Jika lafazh-lafazh ini datang dalam bentuk-bentuk seperti ini, apakah menunjukan bahwa sesuatu yang dituntutnya itu hukumnya wajib atau sunnah? atau hukumnya tertunda hingga ada dalil yang menunjukkan pada salah satu dari dua hukum tersebut?. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, sebagaimana dipaparkan dalam kitab ushul fikih, demikian pula apakah bentuk larangan itu mengandung arti haram atau makruh, atau tidak menunjukkan salah satu darinya? Dalam masalah ini pun ada perbedaan pendapatnya. Hal-hal yang terkait pada hukum terkadang berupa lafazh yang hanya menunjukan satu makna saja (yang dalam pembahasan ushul fikih dikenal dengan sebutan “Nash”, dan tidak ada perbedaan pendapat dalam kewajiban mengamalkannya) dan terkadang menunjukkan kepada lebih dari satu makna, lafazh yang kedua ini ada dua macam: 1. Lafazh tersebut menunjukkan berbagai makna secara seimbang, yang dikenal dalam bahasan ushul fikih dengan istilah mujmal, dan tidak ada perbedaan pendapat bahwa lafazh ini tidak menunjukan satu hukum. 2. Lafazh yang menunjukan pada sebagian makna yang lebih banyak dari sebagian yang lainnya, Makna yang lebih banyak ini dinamakan zhahir, sementara makna yang lebih sedikit dinamakan muhtamal. 10 _Bidayatul Mujtahid Jika makna tersebut diungkapkan secara mutlak terhadap berbagai makna maka dibawa pada makna yang zkahir hingga ada dalil yang menunjukan bahwa makna yang dimaksud adalah makna muhtamal, hal itu menyebabkan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih mengenai lafazh-lafazh nash, tetapi semua itu datang dari tiga segi makna: 1. Dari segi lafazh yang mengandung banyak makna (4! isytirak). 2. Dari segi ragam makna yang disebabkan oleh alif lam yang ada pada satu lafazh, dengan demikian apakah yang dimaksud adalah seluruhnya atau sebagiannya? 3. Dari segi ragam makna dalam lafazh-lafazh perintah dan larangan, ‘Adapun methode keempat dalam memahami hukum syari’at adalah memahami bahwa penetapan terhadap sesuatu merupakan peniadaan untuk kebalikannya, demikian pula peniadaan hukum terhadap sesuatu merupakan penetapan bagi kebalikannya, atau lebih dikenal dengan sebutan dalil khithab, dan ini adalah landasan yang diperdebatkan, misalnya sabda Nabi SAW: SY ah ae “Dalam kambing yang digembalakan ada (kewajiban) zakat.” Sebagian ulama berpendapat tidak ada zakat pada kambing yang tidak digembalakan. Adapun qiyas maknanya adalah menganalogikan hukum bagi masalah yang telah tetap dalam syari’at kepada sesuatu yang belum ada ketetapan hukumnya dalam syari’at karena adanya keserupaan dalam masalah yang telah ditetapkan hukumnya, atau karena adanya Mlat {alasan) dalam kedua hal tersebut, dengan alasan itulah qiyas dalam hukum Islam terbagi dua; giyas syabah dan giyas illat. Perbedaan antara qiyas dengan lafazh khusus namun yang dimaksud adalah umum adalah: Bahwa qiyas terjadi pada lafazh khusus yang dipahami kekhususannya, lalu yang lain dikaitkan kepadanya (maksudnya, yang tidak ditetapkan hukumnya dalam syari’at dianalogikan kepada yang manthug [penunjukan lafazh terhadap hukum BidayatulMujtahid 11 sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan,ed) dari sisi penyerupaan diantara keduanya bukan dari sisi petunjuk lafazh), karena melekatkan sesuatu yang tidak ditetapkan hukumnya dalam syari‘at kepada yang manthug dari sisi petunjuk Jafazh itu sendiri bukanlah giyas, dan kedua hal ini sangat serupa karena keduanya sama-sama menganalogikan yang tidak dikomentari dalam syari’at kepada yang manthug, dan karena itulah banyak ulama yang keliru dalam masalah ini. Contoh qiyas, menganalogikan peminum khamer dengan orang, yang menuduh zina dalam hukuman (had), demikian pula menganalogikan mahat dengan nishab pencurian dalam penetapan hukum potong tangan. Sementara menganalogikan barang-barang riba kepada makanan pokok, atau kepada barang-barang yang ditakar, atau kepada makanan, semua ini masuk ke dalam masalah lafazh khusus namun yang dimaksud adalah umum, maka pikirkanlah dengan baik Karena masalah ini agak sulit! Masalah pertamalah yang pantas untuk diperdebatkan bagi madzhab Zhahiriyah, sementara masalah yang kedua tidak layak untuk dipertentangkan Karena termasuk masalah ketaatan (ibadah) kepada sebuah dalil yang jelas, barangsiapa menentangaya maka ia telah menentang cara pengungkapan bahasa arab itu sendiri. Adapun perbuatan (Nabi SAW), menurut mayoritas ulama termasuk salah satu methode untuk menetapkan hukum-hukum syari’at, sementara sebagian ulama berpendapat bahwa perbuatan sama sekali tidak menunjukan satu hukum tertentu karena tidak memiliki redaksi bahasa, Para ulama yang berpendapat bahwa petbuatan Nabi SAW bisa menjadi landasan hukum, mereka berbeda pendapat tentang hukum yang dihasitkannya; Sebagian ulama berpendapat menunjukan wajib, dan sebagian yang fain berpendapat menunjukkan sunnah, Sementara yang terpilih oleh para peneliti adalah jika perbuatan tersebut merupakan penjelas dari kewajiban yang bersifat mujmal (global), maka ia bersifat wajib; jika perbuatan tersebut merupakan penjelas dari sunnah yang bersifat mujmal maka ia menunjukan sunnah; alu jika bukan merupakan penjelas dari sesuatu yang bersifat mujmal; jawabannya adalah jika ia termasuk hal-hal yang bersifat ibadah maka ia 12 Bidayatul Mujtahid termasuk sunnah, dan jika menunjukkan hal-hal yang mubah maka ia adalah mubah. Adapun igrar (ketetapan Nabi SAW), sesungguhnya ia menunjukan hukum boleh. Inilah berbagai methode yang dengannya diambil atau dipahami berbagai hukum. Adapun ijma’, sesungguhnya ia bersandar kepada empat methode i atas, hanya saja jika ijma’ itu terjadi pada salah satunya yang tidak qath'i(pasti), maka ia akan berubah dari zhan (prasangka) menjadi gath’i. Ijma’ bukanlah landasan yang berdiri sendiri tanpa bersandarkan kepada salah satu methode di atas, jika tidak demikian berarti penetapan fhukum tambahan dari yang telah Nabi SAW tetapkan. Makna-makna yang dipahami dari berbagai methode ini ditetapkan kepada para mukallaf (orang dewasa) berupa perintah, larangan atau pilihan terhadap sesuatu. Jika perintah dikeluarkan secara kuat dan berkaitkan dengan hukuman maka dinamakan Wajib, jika dipahami darinya adanya pahala tetapi tanpa disertai dengan ancaman jika meninggalkannya maka ia adalah nadb (sunnah). Demikian pula larangan, jika dikeluarkan secara kuat dan berkaitan dengan hukuman maka ia dinamakan muharram (haram), lalu jika dipahami darinya sebuah anjuran untuk ditinggalkan tanpa ada kaitannya dengan hukuman maka dinamakan makruh, Walhasil, hukum-hukum dari berbagai methode di atas ada lima; wajib, mandub (sunah), mahdzur (haram), makruh dan muvckhayar atau mubah. Sebab-sebab perbedaan dalam lafazh ada enam: Pertama, adanya berbagai lafazh antara empat kemungkinan (maksudnya bisa merupakan lafazh umum yang dipahami khusus, atau khusus yang dipahami umum, atau umum yang dipahami umum, atau khusus yang dipahami khusus), atau antara memiliki dalil khithab dan tidak. Kedua, istytirak (ragam makna) yang terjadi pada berbagai lafazh, bisa terjadi pada lafazh mrad (tunggal), seperti Qur’u yang mengandung makna suci dan haid, demikian pula lafazh perintah apakah BidayatulMujtahid = 13 dipahami wajib, atau sunah, dan lafazh larangan apakah dipahami haram atau makruh. Bisa pula terjadi dalam sebuah redaksi, seperti firman Allah: Lee Ife gall Sy “Kecuali orang-orang yang bertaubat” (Qs. An-Nuur (24]: 5) Apakah redaksi ini kembali kepada orang fasiq saja, atau kembali kepada fasiq dan saksi, maksudnya taubat itu bisa menghilangkan kefasikckan dan bisa menghapus larangan bersaksi bagi orang yang pernah menuduh zina. Ketiga, perbedaan i'rab. Keempat, kategori sebuah lafazh antara hakikat atau majaz, bisa karena adanya satu lafazh yang dibuang, tambahan, mendahulukan yang terakhir, mengakhirkan yang pertama, atau kategori lefazh antara hakikat dan isti arah (personifikasi). Kelima, mutlag-nya satu lafazh pada satu kesempatan, dan muqayyad (terikat) pada kesempatan lain, seperti mutlag-nya lafazh ar- ragabah pada satu kesempatan, dan mugayyad lafazh tersebut dengan keimanan pada kesempatan tainnya. Keenam, adanya kontradiksi antara berbagai methode dalam memahami hukum; maksudnya kontradiksi antara lafazh, perbuatan, ketetapan, atau bahkan qiyas, demikian pula adanya kontradiksi dari tiga jalan di atas (maksudnya kontradiksi antara ucapan dengan perbuatan, atau dengan ketetapan atau qiyas, demikian pula adanya kontradiksi antara perbuatan dengan ketetapan atau qiyas, bisa pula kontradiksi antara ketetapan dengan qiyas). Al Qadhi (penulis) berkata, “Setelah kami menyebutkan semua hal ini secara umum, maka maritah kita mulai pembahasan dengan memohon pertolongan kepada Allah, kita mulai dengan kitab Thaharah seperti kebiasaan para ulama.” 14 Bidayatul Mujtabid aall alas KITAB HAJT Pembahasan dalam kitab ini terbagi menjadi tiga bagian yang pada dasarnya semua ibadah pasti mencakup tiga hal berikut ini:, BabI Kewajiban dan Syarat-Syarat Haji Pembahasan di sini mencakup dua hal, yakni (entang kewajiban dan syarat-syaratnya, dan kepada siapa kewajiban itu ditujukan dan kapan waktunya? Tentang kewajibannya, tidak ada selisih pendapat ulama dalam tema ini. Karena telah didasarkan kepada firman Allah SWT, “Se Seat "Dan (diantara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah menunaikan ibadah haji ke Baitullah bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana." (Qs. Aali ‘Imraan (3}: 97) Adapun syarat-syarat kewajibennya, terbogi menjadi dua jenis: syarat-syarat sah dan syarat-syarat wajib. Mengenai syarat-syarat sahnya, para fugaha ti Islam merupakan salah satu dati syarat tersebut. Jadi dilakukan oleh selain muslim tidaklah sah. Mereka berbeda pendapat tentang sah tidaknya ibadah haji yang dilakukan oleh anak kecil, 1. Madzhab Maliki dan Syaft'i membolehkannya. 2. Sedangkan Abu Hanifah tidak membolehkannya, Sebab perbedaan pendapat: Pertentangan antara atsar dan sh. Kelompok ulama yang membolehkannya berpegang kepada hadits Ibaw Abbas RA yang telah masyhur. Diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, bahwa seorang wanita yang tengah menggendong anak kecil k berselisih bahwa ibadah haji yang —_ TT Bidayatul Mujtabiad 655 1 : menghadap Nabi SAW seraya berkata, “Apakah anak ini memiliki kewajiban haji, wahai Rasulullah?” Beliay bersabda, ORE ah "Ya, Dan bagimu pahata (andat kamu mengerjakannya).""" Sedangkan kelompok yang yang tidak membolehkannya berpegang kepada ushul (prinsip utama) bahwa ibadah tidak sah dikerjakan oleh orang yang belum berakal (dewasa). Para ulama pengikut Malik berbeda pendapat dalam hal sah dan tidaknya ibadah haji yang dilakukan oleh anak kecil yang masih menyusu, Sepatutnya, tidak ada perbedaan dalam hal sahnya ibadah haji yang dikerjakan oleh orang yang diangap sah untuk mengerjakan shaiat. Seperti disebutkan dalam sabda Nabi SAW, i oh "Dari usia tujuh hingga seputuh tahun.” Mengenai syarat-syerat wajib haji yang disyaratkan beragama Islam, ada sebuah pendapat ulama yang mengatakan bahwa orang-orang kafir pun terkena khitab (obyek perintah dan larangan) seluruh syariat Isfam, Dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang disyaratkan kesanggupan untuk menunaikan ibadah haji. Ini berdasarkan firman Allah SWT, "Shahi. HR. Muslim (1336), Abu Daud (1736), An-Nasa'i (4/120), Ahmad (1249), Ath-Thayalisi (2707), Al Humaidi (504), dan Toru At Jerid (411), hadits dari tbnu Abbas RA. Penalis ingin merujuk hadits dari Abdullah bin ‘Amru yang sampai kepada Nabi SAW (marfu), EIT, tb ST hy We ag Gk ee nl pay Ba Lye “Perintahkan anak-anak katian untuk mengerjakan shalat saat mereka berusia tujuh tahun. Dan pukullah mereka untuk megerickan shalat saat merck erusia sepuluh tahun, din pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Daud [494], Ahmad {2/180}, Al Baihaqi (2/228), dan dinilai shahih oleh AL Albani dalam Shahi: Abu Daud. 656° Bidayatul Mujtahid So oH phil "Bagi orang yang sanggup mengadakan perjaleman ke sana.” (Qs. Aali ‘Imraan (3): 97) Walau dalam rinci masalah ini terdapat beda pendapat di kalangan ulama, yang ringkasnya terbagi menjadi dua pendapat: haji yang dilakukan tangsung (dikerjakan sendiri), dan haji yang dikerjakan melalui perantara (perwakilan), Untuk haji yang dilakukan sendir, tidak ada beda pendapat ulama dalam menyatakan bahwa yang termasuk syarat kesanggupan, meliputi kesiapan badan (fistk). keuangan (finansial), dan jaminan keamanan. Namun para ulama berbeda pendapat tentang kesiapan fisik dan keuangan 1. Syaffi, Abu Hanifah dan Ahmad, serta pendapat Ibnu Abbas dan Umar bin Khaththab RA menilai bahwa syarat haji adalah kesiapan perbekalan (logistik) dan kendaraan, 2. Malik berkata: bagi orang yang sanggup untuk berjalan maka kendaraan tidak menjadi syarat utama, dan dia tetap harus melaksanakan Kewajiban ibadab haji. Malik juga menilai bahwa perbekalan bukanlah syarat kesanggupan jika seseorang mampu berusaha mencari bekal sepanjang dalam perjalanan, meski dengan cara meminta-minta, Sebab perbedaan pendapat: Pertentangan antara atsar dengan penafsiran umum atas "kesanggupan". Karena ada sebuah atsar dari Nabi SAW yang menycbutkan bahwa beliau SAW pernah ditanya, “Apakah kesanggupan itu?" Beliau menjawab, # 13 38. “Perbekalan dan kendaraan."”"? °° Dha'if HR. Tirmidzi (814 dan 2998), Toru Majah (2896), Ad-Daruquthni (2215 dan 218), serta Al Baibagi (4/327). Semuanya meriwayatkan dari Abdullah bin’AmeU RA, Hadits dari Ibnu Abbas RA diriwayatkan ofeh Ibnu Majah (2897) dan Ad- Daraguthni (2/218). adits dari Anas bin Malik RA diriwayatkan oleh Ad-Daruguthnni (2/215) dan Al Hakim (1/442) adits dari Jabir bin Abdullah RA disiwayatkan oleh Ad-Daruquthni (2/215). Bidayatul Mujtahid 657 Abu Hanifah dan Syaffi memahami bahwa hal itu berlaku bagi setiap mukaltaf (dewasa). Sedangkan Malik memahami bahwa itu berlaku bagi orang yang tidak sanggup berjalan dan tidak mampu berusaha (mencari bekal) selama daiam perjalanan. Syafi berkeyakinan dengan pendapatnya atas dasar.: Jika di dalam Al Qur'an terdapat kata yang bersifat umum alu penafsirannya disebutkan dalam adits, tidak selayaknya untuk berpaling dari penafsiran hadits tersebut Adapun kewajiban haji dengan syarat kesanggupen melalui perwakilan disebabkan karena seseorang tidak mampu mengerjakannnyaa send. 1. Malik dan Abu Hanifah menilai: tidak harus diwakilkan jika yang bersangkutan tidak sanggup mengerjakan ibadah haji sendiri. 2. Sedangkan Syafi menilainya harus dilakukan, serta menganggap keharusan ini menjadi madzhabnya, dan orang yang memiliki cukup harta agar membayarkan orang lain untuk menunaikan haji atas namanya Jika fisiknya tidak kuasa menunaikan haji, jadi sudah sepatutnya dia membayar orang lain untuk menunaikan haji atas namanya. Dan jika ‘ada saudara atau kerabatnya yang sanggup menunaikan haji untuk dirinya dengan harta dan badannya, maka kewajiban haji bagt orang tersebut pun gugur. Permasalahan ini dikenal dengan sebutan a! madluub, yaitu orang yang tidak dapat menaiki kendaraan. Syafi'i juga menilai: orang yang sudah meninggal dunia dan belum sempat menunaikan ibadah haji, maka ahli warisnys harus mengeluarkan dari harta orang yang sudsh meninggal dunia tersebut sebesar yang dibutuhkan untuk menghajikannya, Sebab perbedaan pendapat: Pertentangan antara afsar dengan givas, Qiyas menyatakan bahwa bagi semwa jenis peribadahan tidak bolch seseorang mewakitkan orang lain. Karenanya seseorang tidak boleh Hadits dari ‘Aisyah RA diriwayatkan oleh At Bathagi (4/330). Semuanya disiwayatkan dari jalur yang aha’ 658 Bidayatul Mujtabid mewakilkan shalat kepada orang lain, dan tidak boleh pula seseorang ber- thaharah untuk orang lain, menurut kesepakatan ulama. Dan atsar yang kontra dengan giyas ini adalah hadits dari Ibu Abbas RA yang masyhur diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim Bahwa seorang wanita dari Bani Khats'am berkata kepada Rasutullah SAW, "Wahai Rasulullah, Allah telah mewajibkan ibadah haji kepada hamba-hamba-Nya dan kewajiban itu mengenai ayahku yang sudah tua renta serta tidak sanggup lagi naik kendaraan. Bolehkah aku menghajikannya?" Beliau menjawab, "¥a."""" Hadits ini diutarakan saat haji Wada’, dan kasus yang disebutkan di dalamnya terjadi bagi orang yang masih hidup, Sedangkan hadits yang menerangkan tentang orang yang sudah meninggal dunia adalah hadits dari fbnu Abbas RA yang juga diriwayatkan olch Al Bukhari: Scorang wanita dari Suhainah datang menemui Nabi SAW seraya berkata, "Wahat Rasulullah, sesungguhnya ibuku ber-nadzar untuk menunaikan haji, namun dia wafat (sebelum menunaikannya). Apakah aku boleh menghajikannya?" Beliau bersabda, sadly U8 thot oS 1b wl oF J ci ge Se "Berhajilah untuknya. Bagaimana pendapatmu jika dia menanggung ang, apakah kamu akan melunasi _utangrya? Sesungguhnya uiang kepada Allah lebih layak untuk dilunasi.'""* ‘Tidak ada beda pendapat di kalangan kaum muslimin bahwa ibadah haji yang dilakukan oleh orang lain dengan maksud sebagai derma hukumnya adalah sah. Namun terjadi beda pendapat jika itu dikerjakan dengan keharusan, Para ulama berbeda pendapat dalam bab tentang orang yang menunaikan ibadah hajé atas nama orang lain, baik orang itu masih hidup atau sudah wafat, apakah disyaratkan agar dia berhaji terlebih dahulu atas dirinya ataukah tidak disyaratkan? M4 Auttafag ‘Alaih HR. AN Bukhari (1513 dan 1855), Muslim (1334), Abu Daud (1809), At-Ticmidei (928), An-Nasa'i (5/118, 119 dan 8/228), bmw Majah (2908), serta Ahmad (1/219, 254 dan 329), 9 Mattafag ‘Alaih. Al Bukhari (1953), Muslim (1148), Abu Daud (3310), At. Tirmidzi (716 dan 717), serta bau Majah (1758) Bidayatul Mujtahid 659 1, Sebagian ulama berpendapat bahwa itu tidak menjadi syarat Namun jika dia telah menunaikan kewajiban atas dirinya terlebah dahulu itw lebih utara Pendapat ini dianut oleh Malik tentang menghajikan orang yang, sudah wafat. Menurutnya, ibadah haji atas nama orang yang masih hidup tidak sah. 2. Ulama lainnya berpendapat bahwa termasuk syaratnya agar yang mengerjakannya telah menunaikan kewajiban hajinya terlebih dahulu. Inilah yang menjadi pendapat Syafi'i dan wlama leinnya. Yaitu, jika seseorang menghajikan orang lain sedangkan dirinya belum menunaikan ibadah haji untuk dirinya sendiri, maka haji yang dikerjakannya menjadi untuk dirinya, Dalil yang dipegang oleh kalangan ulama inj adalah hadits dari tbnu Abbas RA: Bahwa Nabi SAW mendengar seseorang mengucapkan, "Labbaika ‘an Syubrumah." Beliau bertanya, "Siapakah Syubrumah itu?” Orang itu berkata, "Saudaraku,” atau katanya, "Kerabatku," Maka beliau SAW bersabda, UB RE Ll Le AS U8 oy Je Le UG nef on “Apakah kamu sudah menunaikan ibadah haji sebelumnya (untuk dirimu)?” Dia berkata, "Belum." Maka beliau bersabda, "Berhajilah untuk dirintu terlebih dahulu, kemudian (baru) untuk Syubrumah,?"* Kelompok pertama mengoreksi hadits ini dan menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan secara mauguf (terhenti) pada Tbnu Abbas RA. Para ulama fikih juga berbeda pendapat tentang seseorang yang menyewakan dirinya untuk ibadah hi 1. Malik dan Syaffii memakruhkan hal tersebut, dan berkata, Namun, jika hal itu terjadi tidaklah mengapa.” © Shahi HR, Abu Daud (1811), Ibou Majah (2903), dinilai shahih oleh bow Khuzaimah (3039), Ibnu Hibban (3988), diriwayatkan pula oleh Ibnu Al Jarud (499), Ath-Thabrani dalam 4/ Kabir (12/12419), Al Baihagi (4/326), shahih oleh Al Albani dalam Shahift Sunan Abu Daud. 660 Bidayatul Mujtahid 2. Sedangkan Abu Hanifah tidak membolehkannya. Dasarnys adalah karena haji merupakan ibadah dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah SW, maka tidak dibolehkan dilakukan sewa-menyewa di dalamnya. Adapun dasar ketompok pertama adalah kesepakatan para ulama atas bolebnya sewa-menyewa dalam penulisan mushaf Al Qur'an dan pembangunan masjid, padahal itu semua adalah perbuatan demi qurbah (mendckatkan diri kepada Allah SWT), Dalam madzhab Maliki, sewa-menyewa daiam ibadah haji ada dua ‘macam: 1, Yang disebut dengan haji af balagh Yaitu ketika sescorang menyewakan dirinya dengan imbalan ganti perbekalan dan kendaraan untuk perjalan haji. Jika yang diterimanya Kurang maka dia akan mendapatkan tambahan, dan jika lebih maka dia akan mengembalikannya. 2. Haji menurut prinsip sewa-menyewa pada umumnya (al ijarah). ‘Yakni, jika bayarannya kurang maka dia harus menanggungnya sendi xnamun jika ada kelebihan maka itu menjadi haknya. Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang hamba sahaya tidak wajib menunaikan ibadah haji hingga dia merdeka. Sedangkan seba ulama pengikut madzhab Daud Azh-Zhahiri mewajibkanaya. Tnilah beberapa perkaca yang berkenaan dengan siapa yang berkewajiban menunaikan ibadah dan siapa yang mengerjakannya. Sedangkan mengenai kapankah haji wajib dikerjakan, para fugaha berbeda pendapat seputar masalah: apakah kewajiban ini harus dikerjakan secepatnya ataukah adanya kelonggaran waktu. 1. Malik dan para pengikutnya memegang kedua perkataan tersebut, Namun yang jelas dari generasi belakangan dari pengikutnya menyebutkan bahwa ibadah haji waktunya fonggar untuk dikerjakan, 2. Sedangkan kalangan ulama yang menililai haji harus dikerjakan secepatnya adalah pendapat para ulama Baghdad dari kalangan pengikut Malik. Bidayatul Mujtahid 661 kelonggaran. Sedangkan ulama yang menyamakannya dengan masa akhir wakiu shalat menilai bahwa haji hendaknya dilakukan secepatnya, Sudut penyamaannya dengan akbir waktu shalat adalah karena masa-masa akhir dapat mengakibatkan masuk ke waktu terlarang untuk imengerjakan satu perbuatan, dan masa akhir waktu shalat dapat menyebabkan masuknya ke waktu shalat berikutnya dan orang yang mengerjakaannya pun tidak dianggap telah mengerjakaannya. Mereka juga ber-hujiah dengan ketidak-jelasan akibat yang akan Gitanggung oleh seorang mukallaf saat mengakhirkan kewajiben ibadah tersebut ke tahun berikutnya -bisa jadi dia akan meninggal dunia pada tahun itu dengan mengakhirkan shalat dari awal waktunya, karena umumnya sedikit orang yang mungkin meninggal dunia di waktu yang, pendek tersebut Kemungkinan juga para ulama ini mengatakan _bahwa mengakhirkan shalat masih terkait dengan waktu yang (ersedia untuk Kembali mengerjakannya, Sedangkan mengakhirkan ibadah haji ke waktu lain berakibat tidak sahnya ibadah yang dikesjakan. Namun anatogi ini sangat jauh: Karena yang cenderung benar adalah yang mengatakan bahwa dalam ibadah ini ada kelonggaran namun bukan beraiti kelonggaran yang akan membawa kepada tidak sahnya suatu ibadah karena bergeser ke waktu terlarang untuk meagerjakannya. ‘Atau, seperti kelonggaran waktu bagi haji pada waktunya ke lain waktu. Perbedaan pendapat dalam masalah ini bukantah perbedaan dalam prinsip perintah apakah harus dikerjakan secepatnya ataukan ada kelonggaran waktu untuk mengerjakannya, seperti asumsi yang, dipaparkan di atas. Para ulama juga berbeda pendapat dalam bab ini tentang syarat wajibnya haji bagi wanita, apakah dia harus disertai oleh suami atau mahram yang dapat menjaganya ketika perjalanan menunaikan ibadah haji. 1, Malik dan Syaffi menifai ita tidak menjadi syarat wajibnya seorang wanita boleh menunaikan ibadab haji, andai dia mendapati kawan yang dapat membuatnya aman. Bidayatul Mujtahid 663 2. Sedangkan Abu Hanifah, Ahmad dan sekelompek ulama lainnya mengatakan bahwa keberadaan mahram dan orang yang dapat menjaganya menjadi syarat wajib. Sebab perbedaan pendapat: Pertentangan antara__perintah menunaikan ibadah dan perjalanan haji bagi seorang wanita dengan larangan baginya untuk melakukan perjalanan selama tiga hari kecuali ingi oleh mahram. Karena dalam hadits dari Abu Sa'id Al Khudri, Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar RA, Nabi SAW telah bersabda, OP 98 YY BE OT oi Sy Su LS ay de 9 "Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat untuk melakukan perjalanan kecualibersama mahramnya."”'> Ulama yang memprioritaskan keumuman perintah menilai bahwa wanita boleh metakukan perjalanan haji meski tanpa diitingi mahram. Dan ulama yang berpegang dengan keumuman perintah lalu dikhususkan oleh hadits ini atau interpretasinya termasuk bagian masalah kesanggupan, mereka berpendapat; Wanita tidak bolch melakukan perjalanan haji kecuali diiringi oleh mahramnya. Begitulah uraian tentang kewajiban haji, sebuah ibadah yang agung ini, Juga mengenai sebab wajibnya dan siapa yang berkewajiban melaksanakannya serta kapan kewajiban tersebut harus dilaksanakan. Pembahasan yang tersisa dalam bab ini adalal tentang umrah. 1. Sekelompok ulama berpendapat bahwa hukumnya wajib. Inilah pendapat Syafi', Ahmad, Abu Tsaur, Abu 'Ubaid, Ats-Tsauri dan Al Auza'i, Dan ini yang menjadi pendapat Ibnu Abbas RA dari kalangan sahabat. 7 adits dari Abu Sa'id Al Khudri RA disiwayatkan oleh Muslim (1340), Abu Daud (1726), At-Tirtidzi (1169), dan tbnu Majah (2898) Hadits dari tbnu Umar RA disiwayatkan oleh Al Bukhari (1087), Muslim (1338), dan Abu Daud (1727). Hiadits dari Abu Hurairah RA diriwayatkon oleh Mastim (1338), dan Abu Daud 725), Hiadits dari tbms Abbas RA diriwayatkan oleh Al Bukhari (3006 Muslim (1341), serta Ahmad (1/222), n 5233), 664 Bidayatul Mujtahid 2. Sedangkan Ibnu Umar RA dan sekelompok ulama dari kalangan tabitin, seria yang menjadi pendapat Malik dan sekelompok ulama lainnya menyebutkan bahwa hukumnya adalah sunah, 3. Abu Hanifah berpendapat: Umrah adalah ibadah tathawwu' (amalan sunah). Dan ini juge yang menjadi pendapat Abu Tsaur dan Daud Azh-Zhahiri. Ulama yang mewajibkannya ber-hgjah dengan firman Allah SWT, Asal ATi,at, “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan wnrah karena Allah." (Qs. Al Bagarah {2}: 196) Serta dengan beberapa afsar. Seperti sebuah hadits yang diriwayatkan dari tbnu Umar RA, dari bapaknya, dia berkata, “Seorang Arab yang berwajah rupawan dan berpakaian sangat putih menemui Rasulullah SAW lalu berkata, 'Wahai Rasulullah, apakah Islam itu?" Beliau SAW menjawab, Bs aN aly can 5 Fn Sy a Y bf ag of BS gp foBiy aT BAF OL Cay “Kamu bersaksi bahwa tidak ada Dzat yang berhak disembah dengan sebenar-benarmya kecuali Allah, dan kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah utusam Allah, kamu mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan memunaikon ibadah haji dan uamrah, serta mandi karena junub\.”” Abdurrazzag berkata: Ma'mar mengabarkan kami dari Qatadah, bahwa dia perah berkata, "Ketika turun fieman Allah, ‘Dan (diantara} kewajiban manusia terhadap Allah adalah menunaikan ibadah haji ke Baitullah bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana,’ (Qs. Aali ‘Imraan (3}: 97), maka Rasutullah SAW bersabda, Shahi, IR. Mustim (8), Abu Daud (4695), At-Tirmidzi (2610), An-Nasa’i (8/97), Ibnu Majah (63), Abmad (1/52 dan 53), seta dinilai skaluh oleh Toma Hibpaa (173). Diriwayatkan pula oleh Ad-Daruguthni (2/282) dan Al Baihagi (4349), Bidayatul Mujtahid 665, wal J Sad 1B ad “Dua perkara, haji dan umrah, barangsigpa yang telah menunaikannya sungguh dic telah melaksanakan kewayiban’."””” Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit dari Nabi SAW, beliau bersabda, colts igh Star Y otal p Say ai "Haji dan umrah adalah dua kewajiban. Dan tidak mengapa (tidak akan membuatmu celaka) mana saja di antara keduanya yang kamu mmulai.”?" Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ty pth "Umrah hukumnya wajib (untuk dikerjakan)."7? Sebagian ahli hadits menilai hadits ini marfu’ sampai kepada Nabi SAW. Adapun hujjah kelompok kedua (yang berpendapat bahwa umrah hokurnnya tidak wajib) adalah hadits-hadits masyhur dan tsabit yang menunjukkan tentang pembatasan bilangan kewajiban-kewajiban dalam Islam namun tidak menyebutkan adanya kewajiban umrah, Seperti hadits dari Yoru Umar RA, ebb "Islam dibangun di atas lima pondasi....7"* adits ini belum ditabhri. ™" Dha'if. HR. Ad-Daruquthni (2284 dan 217), Al Hakim (1/471), dan dha’ifoleh At Albani dalam Dha'f Ai Jami’ (2764). Hadits ini diriwayatkan hou Abbas RA oleh Al Baibagi (4/351). 7 Dha'if Jiddan. KR. Ad-Daruquthni (2/285 dan 220), Al Baihagi (4/351) lafachnya sebagai berikut, "Umrah hustumnva wojib, seperti kewajtban haji Dam umrah adalah haji ashghar (hay kecib).” Cacatnya hadits ini terletak pada sosok Ibrahim bin Muhammad bin Abu Yahya, ‘onu Hajar berkata, "Dia adatah perasi yang matrak (ditinggalkan).” ™ Stuttafag ‘Alaih. HR. Al Bukhari (8), Muslim (6), At-Lirmizdi (2609), Ao- ‘Nasa’ (8/108), Ahmad (2/26, 93 dan 120), serta Ibm Mandah dalam Af fan (40, 41, 42, 43 dan 148), selurubnya dari hadits Tonu Umar RA. 666 Bidayatul Mujtahid Dalam hadits tersebut disebutkan haji secara tersendiri. Atau juga hadits yang menyebutkan tentang seseorang yang bertanya mengenai Islam. Dalam sebuah riwayatnya disebutkan dengan redaksi, et Br oh "...dan kamu berhaji ke Baitullah,” Mungkin para ulama ini menilai bahwa perintah untuk menyempurnakannya bukan berarti perintah wajib, karena ajasan ini spesifik terkait dengan masalah amalan-amalan sunah dan fardhu (maksud kami, ini disyariatkan agar umrah dikerjakan tanpa terputus dari haji), Mereka (yang mengatakan hukum umrah sunah) juga ber-hujjah dengan beberapa atsar. Diantaranya: Hadits dari Hajjaj bin Arthah dari Muhammad bin Munkadir dari Jabir bin Abduilah RA, dia berkata, “Seseorang pemah bertanya kepada Nabi SAW tentang umrah, apakah wajib?” Beliau menjawab, We BY “Tidak, Namun jika kamu mengerjakan umrah, maka itu lebih baik bagimu.??* ‘Abu Umar bin Abdi! Barr mengatakan bahwa hadits tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujjah jika berdiri sendiri. Dan ulama yang berpendapat bahwa umrah adalah ibadah tathawwu' (amalan sunah) terkadang ber-hujjah dengan hadits yang

Anda mungkin juga menyukai