Anda di halaman 1dari 18

I.

PENDAHULUAN

Asfiksia neonatorum merupakan salah satu penyebab utama kematian

neonatus awal (umur kurang dari 7 hari). Selain itu, asfiksia neonatorum dapat

menyebabkan bermacam-macam kompilasi berat yang dapat menurunkan kualitas

hidup. Neonatus yang mengalami asfiksia neonatorum memerlukan penanganan

yang cepat dan tepat yaitu resusitasi.1

Problemnya adalah jika kehamilan terjadi prematur. Pada kasus ini paru-

paru dan organ-organ penting hanya memilik kemampuan minimum untuk

berkembang dalam rahim guna mempersiapkan kehidupan di luar rahim nantinya.

Para peniliti mempercayai bahwa cortisol dari kelenjar adrenal juga memacu

pematangan dari sistem organ tubuh janin seperti paru-paru, dimana penting bagi

bayi agar dapat langsung bernafas dengan mengembangkan paru-parunya seketika

lahir. Jika tidak terdapat cukup cortisol untuk mematangkan paru-paru di dalam

rahim, bayi yang lahir akan mengalami sindrom gawat nafas (respiratory distress

syndrome) dan berlanjut pada keadaan asfiksia (lemas) dan kemudian meninggal.

Ini adalah momok menakutkan dari kelahiran prematur.2

Selama sembilan bulan lebih, bayi berada dalam kandungan ibu dan akan

terus dan selalu setiap hari nya mendapat suplai makanan dari plasenta. Setelah

lahir, aliran makanan otomatis terputus. Artinya, mulai saat itu fungsi organ-organ

tubuh bayi, terutama organ pernafasannya, harus mampu beradaptasi secara cepat

dengan lingkungan baru di luar rahim," penilaian status klinis dan kemampuan

adaptasi bayi pada saat lahir ini dilakukan lewat tes Apgar. Ide tes Apgar

dicetuskan oleh ahli anestesi Amerika Serikat, dr. Virginia Apgar dan diterapkan

1
mulai tahun 1952. Selain diambil dari nama belakangnya, Apgar berarti

Appearance, Pulse, Grimance, Activity and Reflex. Seperti disebutkan di atas, tes

Apgar terdiri dari lima aspek. Appearance adalah penampilan bayi dilihat dari

warna kulit. Pulse, frekuensi denyut jantung. Grimance, usaha bernafas yang

terlihat dari keras-lemahnya tangisan bayi, Activity adalah gerakan bayi

berdasarkan aktivitas kekuatan tonus otot, serta Reflex atau reaksi terhadap

rangsangan.2

Masa adaptasi setelah lahir itu merupakan juga suatu masa yang sangat

kritis dan menentukan untuk kehidupan individu selanjutnya. Maka masalah-

masalah yang terjadi pada masa itu dapat sekali mengancam nyawa individu yang

masih sangat lemah itu. Atau, seandainya nyawa dapat terselamatkan, masalah

tersebut mungkin dapat juga mempengaruhi kualitas hidup individu tersebut

selanjutnya. Dalam ilmu perinatologi / perawatan intensif, kegawatan yang terjadi

pada masa tersebut disebut kegawatdaruratan perinatal.1,2

Asfiksia perinatal merupakan kondisi dimana terjadinya gangguan

pertukaran gas, yang jika menetap, bisa menimbulkan hipoksemia yang progresif

dan hiperkapnia dengan asidosis metabolik. 3 Insidensi asfiksia neonatorum adalah

2 – 9 kasus pada 1000 kelahiran hidup. 3 Asfiksia neonatorum bisa diakibatkan

oleh beberapa mekanisme : (1) gangguan aliran darah umbilikus akut, (2)

pemisahan plasenta prematur, (3) hipotensi atau hipoksia maternal, (4) insufisiensi

kronik plasenta, dan (5) kegagalan melakukan resusitasi neonatal dengan benar.

II. DEFENISI

2
Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang

mengalami kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.1

Asfiksia perinatal merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang

penting. Akibat jangka panjang asfiksia perinatal ini dapat diperbaiki secara

bermakna bila hal ini diketahui sebelum kelahiran (misalnya pada keadaan gawat

janin), sehingga dapat diusahakan memperbaiki sirkulasi / oksigenasi janin

intrauterin atau segera melahirkan janin untuk mempersingkat masa hipoksemia

janin yang terjadi. 2

Setiap bayi yang dilahirkan di luar kamar bersalin yang memiliki

peralatan lengkap hendaknya dianggap memiliki faktor risiko tambahan. Biasanya

terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan komplikasi, misalnya diabetes

melitus, preeklamsia berat atau eklamsia, eritroblastosis fetalis, kelahiran kurang

bulan (<34 minggu), kelahiran post matur, plasenta previa, solusio plasenta,

korioamnionitis, hidramnion dan oligo hidramnion, gawat janin serta pemberian

obat anaestesi atau narkotik sebelum kelahiran.2,3,4

Makin pendek usia kehamilan ibu, maka kemungkinan terjadinya

komplikasi pada bayi makin besar. Selain penggolongan berdasarkan usia

kehamilan, ahli lain menggolongkan bayi prematur berdasarkan berat badan saat

lahir. Bayi-bayi yang lahir dengan berat badan di bawah 2.500 gram, ada yang

mengategorikannya sebagai bayi prematur.1

POLA PENYAKIT PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT


UMUR 0 - < = 28 HARI DI PROPINSI SUMATERA UTARA TH 2000
       

3
PASIEN RAWAT INAP
NO NAMA PENYAKIT
JUMLAH %
(1) (2) (3) (4)
       
1 BBLR 74 5,05
2 DIARE, GE ( GASTRO ENTRITIS ) 229 15,62
3 ASFIKSIA 157 10,71
4 PENY. KULIT 60 4,09
5 BRONCO PNEUMONIA 67 4,57
6 PENYAKIT MATA ( CONJUNGTIVIS ) 36 2,46
7 BRONCHITIS 61 4,16
8 PENYAKIT PADA TELINGA ( MASTOID ) 11 0,75
9 ASMA 2 0,14
10 ISPA 122 8,32
11 TYPHOID 42 2,86
12 DEFIENSI 8 0,55
13 DEMAM YANG TIDAK DIKETAHUI PENYEBABNYA 31 2,11
14 FEBRIS 70 4,77
15 KEJANG 3 0,20
16 TB. PARU KLINIS - 0,00
17 ANEMIA 22 1,50
18 PHARANGITIS 1 0,07
19 PENYAKIT LAINNYA 470 32,06
       
JUMLAH   1.466 100,00
       
       
  Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten / Kota Tahun 2000 5  

III. PATOGENESIS

Hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi karena

gangguan pertukaran gas transport O2 dari ibu ke janin sehingga terdapat ganguan

dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2. Gangguan ini dapat

berlangsung secara menahun akibat kondisi atau kelainan pada ibu selama

kehamilan, atau secara mendadak karena hal-hal yang diderita ibu dalam

persalinan.3

Gangguan menahun dalam kehamilan dapat berupa gizi ibu yang buruk,

penyakit menahun seperti anemia, hipertensi, jantung dll. Faktor-faktor yang

4
timbul dalam persalinan yang bersifat mendadak yaitu faktor janin berupa

gangguan aliran darah dalam tali pusat karena tekanan tali pusat, depresi

pernapasan karena obat-obatan anestesia/ analgetika yang diberikan ke ibu,

perdarahan intrakranial, kelainan bawaan seperti hernia diafragmatika, atresia

saluran pernapasan, hipoplasia paru-paru dll. Sedangkan faktor dari pihak ibu

adalah gangguan his misalnya hipertonia dan tetani, hipotensi mendadak pada ibu

karena perdarahan, hipertensi pada eklamsia, ganguan mendadak pada plasenta

seperti solusio plasenta. 3

Towel (1996) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan

pernapasan paa bayi terdiri dari :4

1. Faktor ibu

a. Hipoksia ibu

Dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik

atau anestesi dalam, dan kondisi ini akan menimbulkan hipoksia janin

dengan segala akibatnya.

b.    Gangguan aliran darah uterus

Berkurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan

berkutangnya aliran oksigen ke plasenta dan juga ke janin, kondisi ini

sering ditemukan pada gangguan kontraksi uterus, hipotensi mendadak

pada ibu karena perdarahan, hipertensi pada penyakit eklamsi dsb.

2.    Faktor plasenta

5
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi

plasenta, asfiksis janin dapat terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada

plasenta, misalnya perdarahan plasenta, solusio plasenta dsb.

3.     Faktor fetus

Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah

dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan

janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan talipusat

menumbung, melilit leher, kompresi tali pusat antara jalan lahir dan janin, dll.

4.     Faktor neonatus

Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena

beberapa hal yaitu pemakaian obat anestesi yang berlebihan pada ibu, trauma

yang terjadi saat persalinan misalnya perdarahan intra kranial, kelainan kongenital

pada bayi misalnya hernia diafragmatika, atresia atau stenosis saluran pernapasan,

hipoplasia paru, dsb.

Asfiksia, Pada kasus ini paru-paru dan organ-organ penting hanya

memilik kemampuan minimum untuk berkembang dalam rahim guna

mempersiapkan kehidupan di luar rahim nantinya. Para peniliti mempercayai

bahwa cortisol dari kelenjar adrenal juga memacu pematangan dari sistem organ

tubuh janin seperti paru-paru, dimana penting bagi bayi agar dapat langsung

bernafas dengan mengembangkan paru-parunya seketika lahir. Jika tidak terdapat

cukup cortisol untuk mematangkan paru-paru di dalam rahim, bayi yang lahir

akan mengalami sindrom gawat nafas (respiratory distress syndrome) dan

6
berlanjut pada keadaan asfiksia (lemas) dan kemudian meninggal. Ini adalah

momok menakutkan dari kelahiran prematur.4

Proses yang terjadi pada asfiksia perinatal dapat diramalkan meskipun

penyebabnya belum diketahui, Kekurangan oksigen pada janin sering disertai

hiperkapnia dan asidosis campuran metabolik-respiratorik. 6

Pada keadaan asfiksia / hipoksemia yang terjadi / ditemukan sebelum

kelahiran, gejala yang dapat dideteksi dari luar umumnya berupa fetal bradikardia

(sering disebut dengan istilah umum / generalisasi berupa gawat janin). Jika

dilanjutkan dengan pemeriksaan darah misalnya lewat darah tali pusat, dapat

ditemukan asidosis.6

Asfiksia yang terdeteksi sesudah lahir, prosesnya berjalan dalam

beberapa fase / tahapan (Dawes) :6

1. Janin bernapas megap-megap (gasping), diikuti dengan

2. Masa henti napas (fase henti napas primer)

3. Jika asfiksia berlanjut terus, timbul seri pernapasan megap-megap yang

kedua selama 4-5 menit (fase gasping kedua), diikuti lagi dengan

4. Masa henti napas kedua (henti napas sekunder)

IV. MANIFESTASI KLINIS

Bayi yang berada dalam keadaan henti napas primer, biasanya pletorik

(walaupun banyak yang sianotik). Bayi dalam henti napas sekunder, berwarna

biru sampai ungu dan pucat. Bayi yang dilahirkan dalam keadaan henti napas

primer, sering dapat mulai bernapas spontan setelah stimulasi sensorik (misalnya

7
telapak kaki ditepok, atau punggung diusap-usap dengan agak cepat dan keras).

Bayi yang berada dalam keadaan henti napas sekunder, tidak akan dapat mulai

bernapas spontan, dan harus dibantu dengan ventilasi tekanan positif dan oksigen

(resusitasi pernapasan artifisial / mekanik). Makin lama selang waktu dari saat

mulai henti napas sekunder sampai dimulainya resusitasi ventilasi tekanan positif,

makin lama pula waktu yang diperlukan bayi untuk mulai bernapas spontan yang

adekuat, prognosis makin buruk.7,8

Selama asfiksia, curah jantung dan tekanan darah menurun. Terjadi

redistribusi curah jantung untuk mempertahankan aliran darah ke otak, jantung

dan adrenal. Pada asfiksia yang terus berlanjut, curah jantung makin menurun dan

aliran darah ke organ-organ vital tidak mencukupi lagi. 7,8

Pada bayi dengan asfiksia, secara kasar terdapat korelasi antara frekuensi

jantung dengan curah jantung. Karena itu pemantauan frekuensi jantung (misalnya

dengan stetoskop, atau perabaan nadi tali pusat) merupakan cara yanng baik untuk

memantau efektifitas upaya resusitasi. 1,7,8

Adapun secara mudah dapat diperhatikan tanda-tanda:1

1.    Hipoksia

2.    RR> 60 x/mnt atau < 30 x/mnt

3.    Napas megap-megap/gasping sampai dapat terjadi henti napas

4.    Bradikardia

5.    tonus otot berkurang

6.    Warna kulit sianotik/pucat

V. DIAGNOSIS

8
Dasar diagnosis asfiksia menggunakan tes apgar (suatu penilaian untuk

menolong identifikasi adaptasi bayi segera setelah lahir).7

Asfiksia neonatorum diklasifikasikan sbb:1,7,8

1.    Bayi normal

Skor APGAR 7-10, bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan

tindakan istimewa.

2.   Asphyksia sedang

Skor APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi

jantung lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik,

sianosis, reflek iritabilitas tidak ada.

3.   Asphyksia berat

Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung

kurang dari 100 x permenit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan

kadang-kadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada. Pada asphyksia

dengan henti jantung yaitu bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih

dari 10 menit sebelum lahir lengkap atau bunyi jantung menghilang

post partum, pemeriksaan fisik sama pada asphyksia berat

9
Apgar Evaluation of Newborn Infants
Sign 0 1 2
Heart rate Absent Below 100 Over 100
Respiratory effort Absent Slow, irregular Good, crying
Muscle tone Limp Some flexion of Active motion
extremities
Response to No response Grimace Cough or sneeze
catheter in nostril
(tested after
oropharynx is
clear)
Color Blue, pale Body pink, Completely pink
extremities blue

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG6,9

1. Analisa Gas darah

2. Elektrolit  darah

3. Gula darah

4. Baby gram (RO dada)

5. USG (kepala)

VII. PENATALAKSANAAN

Prinsip-prinsip umum prosedur resusitasi neonatus

Tindakan untuk mengatasi asfiksia neonatorum disebut resusitasi bayi baru

lahir yang bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan

membatasi gejala sisa yang mungkin muncul. Tindakan resusitasi bayi baru lahir

mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal dengan T-ABC resusitasi : 1,6,7,10,11,12

10
Pengaturan suhu

Semua neonatus dalam keadaan apapun mempunyai kesukaran untuk

beradaptasi pada suhu lingkungan yang dingin. Neonatus yang mengalami asfiksia

khususnya, mempunyai sistem pengaturan suhu yang lebih tidak stabil, dan

hipotermia ini dapat memperberat / memperlambat pemulihan keadaan asidosis

yang terjadi.

Segera sesudah lahir, badan dan kepala neonatus hendaknya dikeringkan

seluruhnya dengan kain kering dan hangat, dan diletakkan telanjang di bawah

alat / lampu pemanas radiasi, atau pada tubuh ibunya, untuk mencegah kehilangan

panas. Bila diletakkan dekat ibunya, bayi dan ibu hendaknya diselimuti dengan

baik. Namun harus diperhatikan pula agar tidak terjadi pemanasan yang

berlebihan pada tubuh bayi. Tindakan resusitasi pada bayi sebaiknya dilakukan

pada suatu meja yang telah dilengkapi dengan peralatan resusitasi

Perencanaan berdasarkan perhitungan nilai Apgar 2,7,12

1. Nilai Apgar menit pertama 7 - 10 : biasanya bayi hanya memerlukan

tindakan pertolongan berupa penghisapan lendir / cairan dari orofaring

dengan menggunakan bulb syringe atau suction unit tekanan rendah.

Hati-hati, pengisapan yang terlalu kuat / traumatik dapat menyebabkan

stimulasi vagal dan bradikardia sampai henti jantung.

2. Nilai Apgar menit pertama 4 - 6 : hendaknya orofaring cepat diisap

dan diberikan O2 100%. Dilakukan stimulasi sensorik dengan tepokan

atau sentilan pada telapak kaki dan gosokan selimut kering pada

11
punggung. Frekuensi jantung dan respirasi terus dipantau ketat. Bila

frekuensi jantung menurun atau ventilasi tidak adekuat, harus

diberikan ventilasi tekanan positif dengan kantong resusitasi dan

sungkup muka. Jika tidak ada alat bantu ventilasi, gunakan teknik

pernapasan buatan dari mulut ke hidung-mulut.

3. Nilai Apgar menit pertama 3 atau kurang : bayi mengalami depresi

pernapasan yang berat dan orofaring harus cepat diisap. Ventilasi

dengan tekanan positif dengan O2 100% sebanyak 40-50 kali per

menit harus segera dilakukan. Kecukupan ventilasi dinilai dengan

memperhatikan gerakan dinding dada dan auskultasi bunyi napas. Jika

frekuensi jantung tidak meningkat sesudah 5-10 kali napas, kompresi

jantung harus dimulai. Frekuensi : 100 sampai 120 kali per menit,

dengan 1 kali ventilasi setiap 5 kali kompresi (5:1).

Jika frekuensi jantung tetap di bawah 100 kali per menit setelah 2-3 menit,

usahakan melakukan intubasi endotrakea. Gunakan laringoskop dengan daun

lurus (Magill). Gunakan stilet untuk menuntun jalan pipa. Stilet jangan sampai

keluar dari ujung pipa. Posisi pipa diperiksa dengan auskultasi. Kalau frekuensi

jantung tetap kurang dari 100 setelah intubasi, berikan 0.5 - 1 ml adrenalin

(1:10.000). Dapat juga secara intrakardial atau intratrakeal, tapi lebih dianjurkan

secara intravena. 10,11,12

Jika tidak ada ahli yang berpengalaman untuk memasang infus pada vena

perifer bayi, lakukan kateterisasi vena atau arteri umbilikalis pada tali pusat,

dengan kateter umbilikalis. Sebelum penyuntikan obat, harus dipastikan ada aliran

12
darah yang bebas hambatan. Dengan demikian pembuluh tali pusat dibuat menjadi

drug/fluid transport line. 11

Jangan memasukkan larutan hipertonik seperti glukosa 50% atau natrium

bikarbonat yang tidak diencerkan melalui vena umbilikalis, karena dapat merusak

parenkim hati. Bayi dengan asfiksia berat yang tidak responsif terhadap terapi

atau mempunyai frekuensi jantung yang adekuat tetapi perfusinya buruk,

hendaknya diberikan cairan ekspansi volume darah (plasma volume expander) :

10 ml/kgBB Plasmanate atau albumin 5% secara infus selama 10 menit. 11

Kalau diduga banyak terjadi perdarahan, berikan transfusi 10 ml/kgBB

darah lengkap (wholeblood). Bila bradikardia menetap : ulangi dosis adrenalin.

Dapat juga diberikan kalsium glukonat 10% untuk efek inotropik 50-100

mg/kgBB intravena perlahan-lahan, atau sulfas atropin untuk antikolinergik /

terapi bradikardia 0.01 mg/kgBB.11

Asidosis respiratorik : dikoreksi dengan memperbaiki ventilasi

Asidosis metabolik : dikoreksi dengan infus natrium bikarbonat dan cairan

ekspansi volume darah. 7,12

Ada 3 masalah penting berkaitan dengan pemberian natrium bikarbonat

pada bayi :11

1. Zat ini sangat hipertonik. Bila diberikan dengan cepat dan

dalam jumlah besar akan mengekspansi volume intravaskular.

2. Jika diberikan dalam keadaan ventilasi tidak adekuat, paco2

akan meningkat nyata, ph akan turun, asidosis makin berat dan dapat

13
terjadi kematian. Hendaknya natrium bikarbonat hanya diberikan jika

ventilasi adekuat, atau telah terpasang ventilasi mekanik yang baik.

3. Pemberian bikarbonat dapat pula menyebabkan hipotensi.

Untuk monitoring : periksa darah arteri umbilikalis untuk analisis gas

darah. Bila perlu lakukan kanulasi vena sentral untuk membantu

Selalu dipantau:6

1. Memastikan saluran nafas terbuka :

 Meletakan bayi dalam posisi yang benar

 Menghisap mulut kemudian hidung k/p trakhea

 Bila perlu masukan Et untuk memastikan pernapasan terbuka

2. Memulai pernapasan :

 Lakukan rangsangan taktil

 Bila perlu lakukan ventilasi tekanan positif

3. Mempertahankan sirkulasi darah :

 Rangsang dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara kompresi

dada atau bila perlu menggunakan obat-obatan

Cara resusitasi dibagi dalam tindakan umum dan tindakan khusus :

1. Tindakan umum

 Pengawasan suhu

 Pembersihan jalan nafas

 Rangsang untuk menimbulkan pernafasan

2. Tindakan khusus

a. Asphyksia berat

14
Resusitasi aktif harus segera dilaksanakan, langkah utama

memperbaiki ventilasi paru dengan pemberian O2 dengan tekanan

dan intermiten, cara terbaik dengan intubasi endotrakeal lalu

diberikan O2 tidak lebih dari 30 mmHg. Asphiksia berat hampir

selalu disertai asidosis, koreksi dengan bikarbonas natrium 2-4

mEq/kgBB, diberikan pula glukosa 15-20 % dengan dosis

2-4ml/kgBB. Kedua obat ini disuntuikan kedalam intra vena perlahan

melalui vena umbilikalis, reaksi obat ini akan terlihat jelas jika

ventilasi paru sedikit banyak telah berlangsung. Usaha pernapasan

biasanya mulai timbul setelah tekanan positif diberikan 1-3 kali, bila

setelah 3 kali inflasi tidak didapatkan perbaikan pernapasan atau

frekuensi jantung, maka masase jantung eksternal dikerjakan dengan

frekuensi 80-100/menit. Tindakan ini  diselingi ventilasi tekanan

dalam perbandingan 1:3 yaitu setiap kali satu ventilasi tekanan diikuti

oleh 3 kali kompresi dinding toraks, jika tindakan ini tidak berhasil

bayi harus dinilai kembali, mungkin hal ini disebabkan oleh

ketidakseimbangan asam dan basa yang belum dikoreksi atau

gangguan organik seperti hernia diafragmatika atau stenosis jalan

nafas.

b. Asphyksia sedang

Stimulasi agar timbul reflek pernapsan dapat dicoba, bila dalam

waktu 30-60 detik tidak timbul pernapasan spontan, ventilasi aktif

harus segera dilakukan, ventilasi sederhana dengan kateter O2

15
intranasaldengan aliran 1-2 lt/mnt, bayi diletakkan dalam posisi

dorsofleksi kepala. Kemudioan dilakukan gerakan membuka dan

menutup nares dan mulut disertai gerakan dagu keatas dan kebawah

dengan frekuensi 20 kali/menit, sambil diperhatikan gerakan dinding

toraks dan abdomen. Bila bayi memperlihatkan gerakan pernapasan

spontan, usahakan mengikuti gerakan tersebut, ventilasi dihentikan

jika hasil tidak dicapai dalam 1-2 menit, sehingga ventilasi paru

dengan tekanan positif secara tidak langsung segera dilakukan,

ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan dari mulut ke

mulut atau dari ventilasi ke kantong masker. Pada ventilasi dari mulut

ke mulut, sebelumnya mulut penolong diisi dulu dengan O2, ventilasi

dilakukan dengan frekuensi 20-30 kali permenit dan perhatikan

gerakan nafas spontan yang mungkin timbul. Tindakan dinyatakan

tidak berhasil jika setelah dilakukan berberapa saat terjasi penurunan

frekuensi jantung atau perburukan tonus otot, intubasi endotrakheal

harus segera dilakukan, bikarbonas natrikus dan glukosa dapat segera

diberikan, apabila 3 menit setelah lahir tidak memperlihatkan

pernapasan teratur, meskipun ventilasi telah dilakukan dengan

adekuat.

VIII. KOMPLIKASI11

1. Kejang – 48 jam pertama. Asfiksia berat akan menjadi awal onset kejang

2. Oliguria

16
3. Hypoglycemia

4. Hypocalcemia

5. Shock

6. Hematological complications

7. Electrolyte imbalance

IX. PROGNOSIS4

Prognosis pada asfiksia sedang memiliki prognosis yang lebih baik. Pada

penanganan yang tepat, asfiksia memiliki angka kehidupan yang tinggi, namun

pada penanganan yang tidak tepat (resusitasi) akan menyebabkan sekuele untuk

tahap perkembangan neurologis dan angka kematian yang tinggi.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Munir K. Asfiksia neonatorum. Cermin Dunia Kedokteran No. 114, tahun

2005

2. Pentingnya Tes Apgar. Available at www.artikel.asp.htm 5 januari 2007

3. Johm MK. Multiorgan system failure from perinatal asphyxia. Dikutip dari

www.iowa.com

4. development follow up of infant experiencing perinatal asphyxia.

Available at Web master@oz.ped.emory.edu

5. Pola penyakit rawat inap di rumah sakit. Available at www.depkes_su.com

6. Rhishikesh T. Management of perinatal asphyxia. Available at

www.digimed.com.2006

7. Anthonius BM. Resusitasi dan perawatan intensif neonatus. Available at

www.cakulfk.ui.com

8. Sarjono. Perinatal care. Available at alam www.pediatric.com, 2006

9. Radiological evidence of brain injury from perinatal asphyxia. Available at

http://catalog.nucleusic.com

10. Douglass. Seizure associated brain injury in term newborn with perinatal

asphyxsia. American Academy Journal No. 12 Vol 45. 2006.

11. Sharma S. Neurophatology and placental phatology of acute perinatal

asphyxia. Available at www.emedicine.com. 2006

12. Pandit, Dkk. Work of breathing during constant and variable flow nasal

continuous positive airway pressure in preterm neonates. Pediatrics no. 3. 3

September 2001; 108 (3) 682 – 685.

18

Anda mungkin juga menyukai