Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

ONKOLOGI

OSTEOMA SINUS PARANASAL

Oleh :
Lydia Christina Johansyah
C035211003

Pembimbing :
Dr. dr. Nova A. L. Pieter, Sp. THTBKL Subsp. Onko (K), FICS

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 (SP.1)


PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN T.H.T.B.K.L
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
PENDAHULUAN

Osteoma digambarkan sebagai pertumbuhan tulang matur yang


berkembang lambat dan berlebihan, terletak khas pada tulang dengan osifikasi
intramembran, seperti tulang tengkorak. Letak dari osteoma sinus paranasalis
yang terlibat secara frekuensi terdiri dari sinus frontalis (70-80%), sinus
etmoidalis (20-25%), sinus maksilaris (5%) dan sinus sfenoidalis. 1,2
Osteoma sinus paranasalis tidak menunjukkan gejala hingga massa tumor
mencapai ukuran tertentu. Osteoma sinus paranasal dapat menimbulkan gejala
saat tumbuh disekitar jaringan yang mengganggu patensi dari jalur drainase sinus
atau menekan struktur disekitarnya. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah
cefalgia, nyeri wajah, deformitas wajah dan anosmia. Diagnosa osteoma sinus
paranasalis sering ditegakkan secara insidentil saat evaluasi radiologik untuk
masalah lain, seperti trauma kepala ringan. 2,3,4,5

Etiologi dari osteoma belum jelas sampai saat ini. Hipotesa pertumbuhan
tumor osteoma disebabkan oleh aktivitas periosteum maupun endosteum.
Pertumbuhan tersebut juga bisa disebut sebagai pertumbuhan sentral, periferal,
atau ekstraskeletal. Osteoma perifer ditentukan oleh pertumbuhan sentrifugal dari
periosteum, sedangkan osteoma sentral muncul secara sentripetal dari endosteum.
6

Terdapat tiga teori penyebab dari osteoma sinus paranasal. Teori


Developmental mengacu pada pertumbuhan osteoma diantara dua jaringan asal
embriogenik yang berbeda. Menurut teori developmental, seperti yang
dikemukakan oleh Cohnheim, osteoma muncul dari sel punca di area
persimpangan antara tulang frontal dan tulang ethmoid. Hal ini didukung oleh
fakta bahwa osteoma sering terjadi pada garis sutura frontoethmoid, dimana sinus
frontal (tulang bermembran) berbatasan dengan labirin ethmoid (osifikasi
endochondral). Namun, teori ini tidak menjelaskan osteoma yang ditemukan di
lokasi lainnya. 1,7

Teori Traumatis menghubungkan osteoma dengan cedera kepala pada saat


pubertas ketika irama generasi tulang sedang tinggi. Teori traumatis, seperti yang
dikemukakan oleh Gerber, menunjukkan bahwa osteoma muncul sebagai respon
dari proliferasi abnormal terhadap trauma dan didukung oleh insidensi osteoma
yang lebih tinggi pada pria dan perkembangan osteoma selama masa pubertas,
ketika laju perkembangan kerangka mencapai puncaknya. Namun, sebagian besar
osteoma terdeteksi di kemudian hari dan sebagian besar pasien tidak melaporkan
adanya riwayat trauma, sedangkan peningkatan insiden osteoma pada pasien yang
menjalani prosedur bedah sinus endoskopi multipel tidak pernah
didokumentasikan.1,7

Teori Infeksi menjelaskan bahwa infeksi primer memicu terjadinya


pembentukan osteoma. Telah dikemukakan pula bahwa osteoma mungkin dapat
berasal sebagai akibat dari infeksi yang merangsang osteoblas di dalam lapisan
mukoperiosteal sinus, yang pada gilirannya dapat menjadi kalsifikasi sekunder.
Meskipun terdapat hubungan antara osteoma dan sinusitis, hubungan sebab
akibatnya tidaklah jelas. Juga, pada 63% kasus, osteoma muncul pada sinus yang
sehat. 1,7

Osteoma sinus paranasalis lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan


perempuan dengan perbandingan dari 1.08:1 sampai 2.6: 1. Sekitar 10% dari
osteoma sinus paranasalis, yang berkembang perlahan, menjadi simptomatik dan
umumnya ditemukan secara insidental lewat computed tomography/ CT. CT
merupakan modalitas pemeriksaan terbaik untuk menentukan keberadaan dan
lokasi dari osteoma sinus paranasalis yang berukuran kecil di sinus paranasal.
Pada CT, tampak sebagai massa padat, homogen, berbentuk bulat atau oval dan
berbatas tegas. Osteoma umumnya soliter dan osteoma multiple cukup jarang
ditemukan. Osteoma multiple sering terlihat pada Sindrom Gardner yang
mengindikasikan efek dari faktor genetik dari pembentukan osteoma. 8

Osteoma sinus paranalis merupakan tumor jinak yang paling umum pada
sinus paranasal, umumnya berlokasi pada frontalis dan etmoidalis dan jarang pada
sinus maksilaris dan sfenoidalis. Predileksi osteoma sinus paranasalis pada laki-
laki paruh baya dan berukuran dari 0,2 sampai 3 cm. Osteoma dikatakan giant
atau raksasa ketika berukuran diameter lebih dari 3 cm dan berat lebih dari 110
gram. Osteoma raksasa dapat menimbulkan gejala. Osteoma sinus paranasalis
raksasa jarang terjadi tetapi mudah meluas ke rongga intraorbital atau intrakranial,
dan menyebabkan komplikasi serius. Osteoma raksasa pada sinus biasanya
membutuhkan reseksi bedah. Mengingat kelangkaannya, karakteristik klinis dan
pengibatan penyakit ini masih kontroversial. 1,9

Terkait penatalaksanaannya, oleh karena osteoma memiliki sifat


pertumbuhan yang relatif lambat, maka dapat dipertimbangkan tatalaksana
konservatif terhadap lesi tanpa gejala, terutama bila berukuran kecil. Beberapa
studi telah mengusulkan beberapa kriteria tertentu untuk pemberian tindakan
intervensi bedah pada beberapa kasus lesi tanpa gejala. Pembedahan adalah hal
yang mutlak dilakukan dalam kasus lesi yang sifatnya simtomatik. Namun, dalam
kasus di mana intervensi bedah memang diperlukan, pendekatan bedah terbaik
dan luasnya pembedahan hingga saat ini masih diperdebatkan.10,11

Penanganan utama pada osteoma sinus paranasalis simptomatik adalah


dengan bedah endoskopik atau pendekatan eksternal. Mempertimbangkan
pertumbuhannya yang lambat dan kelangkaan kekambuhan, beberapa penulis
menyarankan reseksi inkomplit pada tumor. Namun penanganan pada kasus
asimptomatik masih kontroversial. Pendekatan konservatif dengan pemeriksaan
radiologi rutin biasanya direkomendasikan pada kasus asimptomatik. pembedahan
dapat dilakukan pada lesi asimptomatik yang melibatkan > 50% dari volume
sinus, osteoma yang berkembang pesat (>1 mm/ tahun), ekstensi intrakranial atau
intraorbital, osteoma frontalis yang berlokasi di resesus frontalis dan osteoma
sfenoidalis. 9
LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki umur 16 tahun dirujuk dari Rumah Sakit Umum At


Medika Palopo dengan diagnosis tumor sinonasal dextra. Pasien sebelumnya
dengan keluhan pada gigi (ingin mencabut gigi) kemudian dilakukan pemeriksaan
foto panoramik, kemudian oleh dokter gigi dikatakan terdapat kelainan pada foto
panoramik pasien dan dirujuk ke dokter THT. Keluhan saat ini obstruksi nasi ada
sebelah kanan dialami sejak 9 bulan terakhir, rinore tidak, blood stained rinorrhea
tidak, epistaksis tidak, post nasal drip tidak, cefalgia tidak, gangguan penghidu
tidak. Keluhan pada telinga dan tenggorok tidak ada.

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dextra tampak massa berwarna putih,


konsistensi keras, tidak mudah berdarah, yang menyempitkan cavum nasi dextra.
Pada rinoskopi anterior sinistra tidak tampak kelainan. Mukosa cavum nasi dalam
batas normal. Pemeriksaan otoskopi dan faringoskopi dalam batas normal.

Pada pemeriksaan CT scan sinus paranasalis didapatkan hasil massa


hiperdens cavum nasi yang melibatkan sinus maxillaris dan sinus ethmoidalis
kanan yang menyempitkan choanae sugestif giant osteoma, osteoma sinus
ethmoidalis kiri, multisinusitis dan deviasi septum nasi ke kiri.

Gambar 1. Foto klinis pasien (preoperatif)


Gambar 2. Gambaran CT Scan sinus paranasalis potongan coronal

Gambar 3. Foto intraoperatif


(4a) (4a)

(4b)

(4b)

Gambar 4. Foto massa tumor. Massa tumor dari sinus maksilaris dextra (4a) dan massa
tumor dari sinus ethmoidalis dextra (4b)

Pasien didiagnosa dengan osteoma sinonasal dextra. Pada pasien ini


dilakukan operasi medial maxillectomy dengan rhinotomy lateral approach
diperluas. Pada intraoperatif tampak massa konsistensi keras berwarna putih pada
cavum maksila dan etmoid dextra.

Dilakukan prosedur medial maxillectomy dengan rhinotomy lateral


approach diperluas, diawali dengan disinfeksi lapangan operasi menggunakan
larutan povidone iodine, pemasangan doek steril, lalu dilakukan pembuatan
landmark pada lapangan operasi. Dilanjutkan dengan infiltrasi menggunakan
lidocaine : efedrin = 1:1: 100.000. Kemudian dilakukan insisi Moure diperluas
pada landmark secara tajam dan tumpul. Tampak massa pada cavum maksila
dextra dengan konsistensi keras berwarna putih, bebaskan massa dari jaringan
sekitar dengan menggunakan pahat dan hijack. Massa diangkat dengan
menggunakan knable tang. Massa keluar secara tidak in toto, kemudian dilakukan
pemasangan tampon konde pada cavum maksila dan cavum nasi dextra.
Dilakukan penutupan pada daerah insisi secara lapis demi lapis. Setelah itu
dilakukan kontrol perdarahan, pastikan perdarahan aktif tidak ada. Perdarahan
durante operasi sebanyak 1600 mililiter.

Terapi pasca operasi diberikan antibiotik Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam/


intravena, Asam Tranexamat 500 mg/ 8 jam/ intravena, Dexametasone 5 mg/ 8
jam/ intravena, Ranitidine 50 mg/ 12 jam/ intravena, Ketorolac 30 mg/ 8 jam/
intravena, transfusi Packed Red Cell sebanyak 2 kantong dan dipindahkan ke
perawatan ICU untuk pemantauan.

Kontrol rawat jalan pada hari ke 7, dengan keluhan nyeri pada luka post
operasi minimal, rasa mengganjal pada tenggorok karena adanya NGT dan nyeri
pada daerah epigastrium. Pasien diberikan terapi Cefixime 2x200 mg,
Methylprednisolon 3x4 mg, Paracetamol 3x500 mg, dan Omeprazole 2x20 mg.

Gambar 5. Foto klinis hari ke 7 postoperasi

Pasien kontrol berikutnya pada hari ke 11 post operasi tanpa keluhan.


Tampak luka operasi sudah kering, sehingga dilakukan aff hecting pada luka post
operasi dan diberikan obat oral Cefixime 2x200 mg, Methylprednisolon 3x4 mg,
Paracetamol 3x500 mg, dan Omeprazole 2x20 mg.
Gambar 6. Foto klinis hari ke 11 postoperasi

Dilakukan pemeriksaan histopatologi pada sediaan massa yang


dikeluarkan saat operasi, kesimpulan hasil pemeriksaan adalah polip inflamasi
sinonasal dominan sel radang limfosit dan suatu osteoma dapat dipertimbangkan.

Gambar 7. Gambaran histopatologi dari sediaan massa tumor


Gambar 8. Foto klinis hari ke 95 postoperasi
PERTANYAAN KLINIS

Apa tatalaksana yang tepat pada kasus osteoma sinus paranasalis?

METODE

Metode menggunakan pencarian literatur dengan kata kunci osteoma sinus


paranasalis yang didapatkan pada Pubmed. Kriteria inklusi: 1) Manajemen
osteoma sinus paranasalis, 2) diterbitkan dalam 10 tahun terakhir, 3) tersedia
fulltext, dengan kriteria eksklusi: review article.

HASIL

Hasil pencarian dijurnal Pubmed diperoleh jurnal yang disesuaikan dengan


kata kunci yang dimasukkan pada setiap database. (Gambar 8)

Lima artikel yang diperoleh memiliki relevansi untuk tinjauan kritis terkait
dengan pertanyaan klinis. Penilaian kritis dijelaskan dalam Tabel 1.

Taketomi et al melaporkan seorang laki-laki 52 tahun masuk rumah sakit


dengan massa radiopak pada sinus maksilaris kanan. Sebuah massa berukuran 2,7
x 2,3 cm tampak pada sinus maksilaris dextra pada CT scan dan tidak tampak
sinusitis. Osteoma yang ditemukan soliter dan bebas di dalam sinus maksilaris.
Penanganan dilakukan dengan bedah eksisi menggunakan metode modifikasi
Caldwell-Luc. Kecurigaan penyebab dari osteoma bebas ini adalah sinusitis
maksilaris odontogenik oleh periodontitis apikal didekat gigi.

Alkhaldi et al melaporkan seorang laki-laki 44 tahun datang ke klinik


otolaringologi dengan keluhan rhinosinusitis berulang. Pasien bebas dari obat-
obatan, tanpa riwayat alergi maupun trauma. Pasien memiliki riwayat operasi
FESS pada tahun 2009. Pada pemeriksaan, endoskopi nasal, ditemukan polip
bilateral grade III. Untuk evaluasi lanjut, dilakukan pemeriksaan CT Scan non
kontras pada sinus paranasal dan dibandingkan dengan gambaran sebelumnya.
Hasil CT scan menunjukkan sebuah lesi hiperdens besar berlobus, berukuran 4,7 x
3,5 cm, yang terdapat di dalam sinus etmoid kiri. Lesi tersebut meluas ke cavum
orbita kiri, melintasi lamina papirasea yang telah berubah bentuk dan mengalami
erosi, dan menyebabkan gangguan ke dalam ostium dari sinus maksilaris. Teknik
pembedahan yang dipilih adalah endoskopik endonasal, tanpa pendekatan
eksternal. Secara intraoperatif, pemeriksaan pada hidung menunjukkan adanya
massa yang besar mengisi cavum nasi pada etmoidalis posterior bilateral. Dengan
menggunakan pahat operasi, massa dipisahkan dari orbitalis kiri. Massa tersebut
lebih besar daripada diameter nostril, sehingga digunakan gergaji bedah untuk
memecah massa tulang menjadi dua bagian. Setelah dilakukan pembedahan, hasil
CT scan menunjukkan tidak ada massa yang tersisa dan pulih dengan baik. Hasil
histopatologi menunjukkan suatu osteoma sinus etmoid jinak.

Laporan kasus dari Zaratziotis et al melaporkan seorang laki-laki berumur


74 tahun datang ke poliklinik dengan epifora sisi kiri dan dakriosistitis kronik,
tanpa ada riwayat trauma kepala ataupun pembedahan pada hidung atau sinus
paranasalis sebelumnya. Pada endoskopi nasal tidak ditemukan adanya kelainan.
Diagnosa obstruksi ductus nasolacrimal ditegakkan dengan pemeriksaan fisis
termasuk irigasi lakrimal dan tes fluoresens serta pemeriksaan pada kanalikuli
dengan probe tumpul hingga tulang bersentuhan dengan fossa sakus lakrimal yang
dilakukan oleh dokter mata. Hasil CT scan menunjukkan adanya osteoma sebesar
1 cm pada setengah ventral dari dinding medial sinus maksilaris kiri yang
menyebabkan obstruksi total setinggi sakus lakrimalis. Dibawah anestesi umun,
dilakukan dakriosistorinostomi endoskopik endonasal tanpa flap dengan
menggunakan pemotong dan bor diamond-burr serta dilakukan juga
pengangkatan osteoma. Tidak terdapat komplikasi post operasi. Stent silicon
dilepas pada minggu ke 6 post operasi. Terdapat obstruksi pada DCR-window
secara anatomi dan fungsional oleh karena terbentuknya granuloma pada minggu
ke 8 setelah operasi. Dilakukan prosedur revisi dakriosistorinostomi endoskopik
dengan pengangkatan granuloma dibawah anestesi lokal. DCR-window paten
secara anatomi dan fungsional setelah 6 bulan post operasi.

Burgos et al melaporkan, seorang wanita 62 tahun dirujuk ke Departemen


Maksilofasial RS Universitas La Paz, Madrid, Spanyol, dengan riwayat proptosis
perlahan tanpa nyeri pada mata kanan selama 1 tahun. Pasien dilaporkan
kehilangan lapangan pandang dan tajam penglihatan pada mata kanan serta
penurunan kemampuan menghidu. Pada pemeriksaan mata tampak proptosis pada
mata kana. Pergerakan ekstra okuler tidak terhambat, tanpa perubahan segmen
anterior atau fundus. Tajam penglihatan dipengeruhi oleh karena katarak pada
kedua mata. Rinoskopi anterior menunjukkan adanya deviasi pada dinding lateral
hidung. CT scan menunjukkan lesi polilobus pada etmoid kanan berukuran 4x4,5
cm, dengan margin kortikal kompak padat dan matriks dengan atenuasi seperti
meduler. Intervensi bedah dilakukan dibawah anestesi umum. Setelah flap koronal
dan pendekatan subsiliar, tulang frontalis, tepi atas orbita dan dasar hidung
terlihat. Dilakukan kraniotomi frontal kanan dan batas frontoorbital kanan
diperluas ke dinding lateral orbita, dan tumor diangkat. Pada hasil akhir
pemeriksaan histopatologi dinyatakan diagnose osteoma dengan aktivitas
osteoblastik dan osteoklastik. Proptosis membaik, pergerakan ocular intak, dan
tidak terdeteksi defek penglihatan. CT scan post operasi menunjukkan tidak ada
tumor tersisa. Satu tahun setelah intervensi, iregularitas pada frontalis diperbaiki
dengan menggunakan bone filler. Tidak ada kekambuhan pada pemantauan
setelah 5 tahun.

Torun et al melaporkan, seorang wanita 65 tahun, dirujuk ke klinik dengan


keluhan rasa tersumbat dan sakit kepala. Gejala ini telah dialami selama 3 tahun
dan bertambah parah dalam 3 bulan terakhir terutama pada wajah sisi kanan.
Pasien tidak mempunyai gejala lain seperti epistaksis, rinorea, diplopia, gejala
serebral atau mata lainnya. Pasien tidak memiliki riwayat operasi, trauma maupun
infeksi kronik. Pada pemeriksaan fisis tidak terdapat deformitas pada wajah.
Rinoskopi anterior menunjukkan kongesti pada konka inferior bilateral dan massa
pada posterior dari konka inferior kanan. Massa solid dengan permukaan halus
yang memanjang ke koana ditemukan pada cavum nasi dextra pada pemeriksaan
endoskopi. Pada CT scan sinus paranasal ditemukan lesi densitas tulang dengan
ukuran 4x3 cm yang muncul dari lamina papiracea kanan dan memanjang sampai
ke koana, sel udara etmoid posterior dan resesus frontalis. Direncanakan sebuah
tindakan eksisi endoskopik dengan anestesi umum. Setelah unsinektomi dan
etmoidektomi anterior, dilakukan evaluasi pada tepi osteoma. Tepi medial orbita
dipotong dengan bor tanpa eksisi dari lamina papirasea dan massa dikeluarkan.
Bagian posterior dari nasal septum direseksi untuk eksisi dari osteoma. Osteoma
kemudian didorong ke koana dan dikeluarkan melalui mulut. Tidak ada
komplikasi setelah pembedahan dan lamina papirasea intak. Hasil histopatologi
menunjukkan osteoma dengan aktivitas osteoblastik dan osteoklas. Pemeriksaan
endoskopi dan CT scan 9 bulan post operasi menunjukkan tidak adanya
kekambuhan.
Identifikasi kepustakaan dari
sumber PubMed
Id
Identifikasi
en
(n = 947)
tif
ic
ati
Eksklusi
on
Penulisan > 10 tahun (n = 765 )
Rekaman setelah eksklusi
Sc penulisan > 10 tahun
re (n = 182)
en
in
Skrining

g
Rekaman dilakukan skrining
(n = 77)
Eksklusi (n = 70)
- Fulltext tidak tersedia (n=2)
- Kurang memiliki relevansi
(n=68)
Kelayakan
El Artikel lengkap dinilai
igi kelayakannya
bil (n = 7)
ity
Eksklusi (n = 2 )
- Review article (n = 2)

In Studi termasuk dalam sintesis


kualitatif
Inklusi

cl
ud (n = 5)
ed

Gambar 9. Istilah pencarian dan proses pemilihan publikasi (PRISMA Flowchart)


Tabel 1. Publikasi diobservasi dengan penilaian kritis

Intervensi/
Penulis Tipe Populasi/ Pasien/ Komparato
NO Indeks/ Hasil
Jurnal Publikasi Masalah r
Indikator

Taketomi Laporan Pasien laki-laki, Sebuah massa Tidak ada Penanganan


Takaharu, kasus 52 tahun, tanpa berukuran 2,7 dilakukan dengan
et al. gejala dirujuk dari x 2,3 cm bedah eksisi
dokter gigi karena tampak pada menggunakan
2023
ditemukan massa sinus metode modifikasi
1.
radiopak pada maksilaris Caldwell-Luc
sinus maksilaris dextra pada CT
kanan. scan dan tidak
tampak
sinusitis.

2. Alkhaldi Laporan Pasien laki-laki, Hasil CT scan Tidak ada Teknik pembedahan
Abdullah,et kasus 44 tahun datang menunjukkan yang dipilih adalah
al. ke klinik sebuah lesi endoskopik.
otolaringologi hiperdens endonasal, tanpa
2021
dengan keluhan besar berlobus, pendekatan
rhinosinusitis berukuran 4,7 eksternal.
berulang. x 3,5 cm, yang
terdapat di
dalam sinus
etmoid kiri.
Lesi tersebut
meluas ke
cavum orbita
kiri, melintasi
lamina
papirasea yang
telah berubah
bentuk dan
mengalami
erosi, dan
menyebabkan
gangguan ke
dalam ostium
dari sinus
maksilaris.

Zaratziotis Laporan Seorang laki-laki Hasil CT scan Tidak ada Dilakukan


Athanasios, kasus berumur 74 tahun menunjukkan dakriosistorinostom
et al. datang ke adanya i endoskopik
poliklinik dengan osteoma endonasal tanpa
2014
epifora sisi kiri sebesar 1 cm flap dengan
dan dakriosistitis pada setengah menggunakan
kronik, tanpa ada ventral dari pemotong dan bor
3. riwayat trauma dinding medial diamond-burr serta
kepala ataupun sinus dilakukan juga
pembedahan pada maksilaris kiri pengangkatan
hidung atau sinus yang osteoma.
paranasalis menyebabkan
sebelumnya. obstruksi total
setinggi sakus
lakrimalis.

4. Burgos Laporan Seorang wanita CT scan Tidak ada Intervensi bedah


Sanches, kasus 62 tahun dengan menunjukkan dilakukan dibawah
riwayat proptosis lesi polilobus anestesi umum.
et al.
perlahan tanpa pada etmoid Setelah flap koronal
2013 nyeri pada mata kanan dan pendekatan
kanan selama 1 berukuran subsiliar, tulang
tahun. Pasien 4x4,5 cm, frontalis, tepi atas
dilaporkan dengan margin orbita dan dasar
kehilangan kortikal hidung terlihat.
lapangan pandang kompak padat Dilakukan
dan tajam dan matriks kraniotomi frontal
penglihatan pada dengan kanan dan batas
mata kanan serta atenuasi frontoorbital kanan
penurunan seperti diperluas ke dinding
kemampuan meduler lateral orbita, dan
menghidu. tumor diangkat.

5. Torun Laporan Seorang wanita Pada CT scan Tidak ada Dilakukan tindakan
Mumtaz. kasus 65 tahun, dirujuk sinus paranasal eksisi endoskopik
ke klinik dengan ditemukan lesi dengan anestesi
et al.
keluhan rasa densitas tulang umum. Setelah
2014 tersumbat dan dengan ukuran unsinektomi dan
sakit kepala. 4x3 cm yang etmoidektomi
Gejala ini telah muncul dari anterior, dilakukan
dialami selama 3 lamina evaluasi pada tepi
tahun dan papiracea osteoma. Tepi
bertambah parah kanan dan medial orbita
dalam 3 bulan memanjang dipotong dengan
terakhir terutama sampai ke bor tanpa eksisi dari
pada wajah sisi koana, sel lamina papirasea
kanan. udara etmoid dan massa
posterior dan dikeluarkan.
resesus
Bagian posterior
frontalis.
dari nasal septum
direseksi untuk
eksisi dari osteoma.
Osteoma kemudian
didorong ke koana
dan dikeluarkan
melalui mulut.
Tidak ada
komplikasi setelah
pembedahan dan
lamina papirasea
intak.
DISKUSI
Osteoma merupakan sebuah tumor jinak yang berkembang dari proliferasi
substansi tulang matur, komposisi utama dari osteoma adalah tulang kompak
matur atau trabecular. Predileksi tumor paling sering ditemukan pada mandibula
diikuti sinus paranasalis. Lokasi pada sinus paranasalis sebanyak 96% kasus pada
sinus frontalis, sinus etmoidalis 2% kasus, dan sinus maksilaris 2% kasus. 12

Osteoma pada sinus ditemukan pada 3% dari CT scan sinus paranasalis,


dan paling banyak pada sinus frontalis dan etmoidalis. Sebuah penelitian pada
16.000 foto x-ray sinus menunjukkan osteoma pada 0,4% foto radiologi. Dari
jumlah yang kecil tersebut, hanya 5,1% dari seluruh osteoma sinus paranasalis
yang berada di sinus maksilaris. Osteoma sinus maksilaris berkembang perlahan
dan sering asimptomatik. Namun gejala pada hidung seperti pembengkakan,
nyeri, obstruksi nasi dan rinore telah dilaporkan karena komplikasi dari sinusitis
atau tekanan dari perkembangan osteoma. 12

Pada pasien yang kami laporkan, gejala yang dirasakan berupa obstruksi
nasi yang dialami sejak 9 bulan terakhir terutama pada hidung kanan, gejala lain
seperti rinore, pembengkakan dan epistaksis tidak ditemukan. Osteoma pada sinus
paranasalis pasien ditemukan secara tidak sengaja saat pasien melakukan
perawatan di dokter gigi. Hal ini sama dengan kasus yang dilaporkan oleh
Taketomi et al, dimana kasus osteoma ditemukan secara insidentil pada
pemeriksaan foto panoramik saat melakukan pemeriksaan gigi tanpa adanya
gejala subjektif.12 Pada kasus lainnya, seperti yang dilaporkan oleh Alkhaldi et al,
kasus osteoma ditemukan karena ada gejala lain seperti riwayat rhinosinusitis
kronik berulang. 13

Ukuran dari osteoma yang sering ditemukan berkisar antara 2 sampai 30


mm, ukuran diameter lebih dari 30 mm atau berat lebih dari 110 gram dapat
dikategorikan sebagai osteoma raksasa atau giant osteoma, seperti pada kasus
yang dilaporkan oleh Torun et al. 16
Pada kasus yang kami temukan, ukuran
osteoma yang ditemukan adalah sekitar 5,5 x 5 cm pada sinus maksilla dan 4,5 x 4
cm pada sinus etmoid, dan dapat dikategorikan sebagai giant osteoma pada sinus
maksilaris dan etmoidalis.
Pada kasus yang dilaporkan oleh Taketomi et al dan Burgos et al
dilakukan penanganan osteoma secara bedah eksisi.12,15 Pada pelaporan lainnya
dilakukan penanganan dengan pendekatan endoskopi. 13,14,16
Pada kasus kami,
penanganan osteoma dilakukan dengan bedah eksisi dengan pendekatan rinotomi
lateral dengan pertimbangan letak dan ukuran dari massa tumor tersebut.
Pembedahan endoskopik, pendekatan eksternal ataupun keduanya merupakan
penanganan utama pada osteoma yang simptomatik. Pemilihan tindakan harus
mempertimbangkan beberapa faktor seperti lokasi tumor, ukuran dan pengalaman
dari dokter bedah. 16

KESIMPULAN

Kasus giant osteoma pada sinus maksila dan etmoid merupakan kasus
yang sangat jarang ditemukan. Pada kasus ini, penanganan osteoma dilakukan
secara bedah eksisi dengan pendekatan rinotomi lateral. Walaupun tingkat
kekambuhan sangat jarang terjadi, tetapi pemantauan berkala pada pasien perlu
dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kalfarentzoz E, Arapi I, Triantafyllou V, Tosios KI, Christopoulus P. An
Unusual Giant Osteoma of the Maxillary Sinus: Case Report. SN
Comprehensive Clinical Medicine. 2020;1-4.
2. Kara I, Vural A, Unlu M, Kokoglu K. Paranasal Sinus Osteomas:
Evaluation Management with 13 Cases. Erciyes Med J. 2022; 44(6): 608-
11.
3. Flora B, Girolamo S Di, Passali FM, Mauro R Di, Martino F, Giacomini
PG. Paranasal Sinus Osteoma : Case Series and a Review of the Literature.
Global Journal of Otolaryngology. 2019;19(4):78–82.
4. Viswanatha B. Maxillary sinus osteoma: two cases and reviewof the
literature. Acta Otorhinolaryngol Ital [Internet]. 2012;32(3):202.
5. Magboul NA, Al-Ahmari MS, Alzahrani MA, Dlboh SS. Fibro-Osseus
Lesion of the Nose and Paranasal Sinus: A Retrospective Study With
Literature Review. Cereus. 2022, 14(7): e27229.
6. Nah KS. Osteomas of the craniofacial region. Imaging Sci Dent.
2011;41(3):107–13.
7. Georgalas C, Goudakos J, Fokkens WJ. Osteoma of the Skull Base and
Sinuses. Otolaryngol Clin North Am [Internet]. 2011;44(4):875–90.
8. Aksakal C, Beyhan M, Gokce E. Evaluation of the Asssociation between
Paranasal Sinus Osteomas and Anatomic Variations Using Computed
Tomography. Turkish Archives of Otorhinolaryngology. 2021; 59(1): 54-
64.
9. Cheng KJ, Wang SQ, Lin L. Giant osteomas of the ethmoid and frontal
sinuses: Clinical characteristics and review of the literature. Oncol Lett.
2013;5(5):1724–30.
10. Sofokleous V, Maragoudakis P, Kyrodimos E, Giotakis E. Management of
paranasal sinus osteomas: A comprehensive narrative review of the
literature and an up-to-date grading system. Am J Otolaryngol - Head Neck
Med Surg [Internet]. 2021;42(5):102644.
11. Cho A, Jung Y, Park JH, Jeong Y, Cho H-J. Clinical Manifestations and
Surgical Treatment Outcomes of Paranasal Sinus Osteoma. J Rhinol.
2022;29(1):19–25.
12. Taketomi T, Imayama K, Nakamura K, Kusukawa J. An Isolated Laminar
Osteoma Arising in the Maxillary Sinus. Am J Case Rep. 2023; 24:
e938904.
13. Alkhaldi AS, Alsalamah S, Tatwani T. A Case of Giant Ethmoid Sinus
Osteoma. Cereus. 2021;13(9): e18011.
14. Saratziotis A, Emanuelli E. Osteoma of the Medial Wall of The Maxillary
Sinus: A Primary Cause of Nasolacrimal Duct Obstruction and Review of
the Literature. Hindawi Publishing Corporation. 2014: 1-4.
15. Burgos RS, Martin-Moro JG, Gallo JA, Benito FC, Garcia MB. Giant
Osteoma of the Ethmoid Sinus with Orbital Extension: Craniofacial
Approach and Orbital Reconstruction. Acta Otorhinolaryngol Ital.
2013;33:431-434.
16. Torun MT, Turan F, Tuncel U. Giant Ethmoid Osteoma Originatedfrom the
Lamina Papyracea. Med Arh. 2014;68(3):209-211.

Anda mungkin juga menyukai