Diabetes Mellitus: Oleh
Diabetes Mellitus: Oleh
Diabetes Mellitus
Oleh:
Dheana Claudia Kalembiroh
210141010138
Dokter Pembimbing:
dr. Iyone E. T. Siagian, M.Kes, Sp.KKLP
LEMBAR PENGESAHAN
Health Education Mengenai: Diabetes Mellitus
di Puskesmas Tuminting
Oleh:
210141010138
Mengetahui,
Dokter Pembimbing
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I. PENDAHULUAN 1
II.1 DEFINISI 2
II.2 EPIDEMIOLOGI 2
II.3 KLASIFIKASI 3
II.4 PATOFISIOLOGI 4
II.7 DIAGNOSIS
II.8 PENATALAKSANAAN 11
II.9 PENCEGAHAN
II.10 KOMPLIKASI 24
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Jumlah penduduk dunia yang menderita Diabetes Mellitus cenderung meningkat dari
tahun ketahun. Indonesia sendiri saat ini menduduki rangking ke 4 (empat) dunia setelah
Amerika Serikat, China, dan India dalam prevalensi diabetes. Dari berbagai penelitian
epidemiologi yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa peningkatan prevalensi akan
lebih menonjol perkembangannya di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju.
Tahun 2007 prevalensi diabetes mellitus di Indonesia sebesar 1,2% - 2,3% dari seluruh
penduduk, maka diperkirakan pada tahun 2030 akan ada sebanyak 20,1 juta penderita
diabetes di Indonesia. Peningkatan jumlah penderita diabetes yang besar ini disebabkan
karena faktor demografi, gaya hidup yang kurang sehat, serta kurang patuh dalam
pengelolaan diet dan pengobatan. Data-data diatas menimbulkan keprihatinan dan perlunya
kewaspadaan kita untuk mengenal lebih dalam mengenai Diabetes Mellitus.
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diagnosis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria,
polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Secara
epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya
adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi
pada kasus yang tidak terdeteksi
DM dapat mengakibatkan berbagai macam komplikasi yang serius pada
organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, dan pembuluh darah. Untuk mencegah komplikasi
yang lebih serius adalah dengan diagnosis dini DM agar dapat diberikan intervensi lebih
awal.
ii
BAB II
PEMBAHASAN
DIABETES MELITUS (DM)
II.1 Definisi
Diabetes Melitus berasal dari istilah kata Yunani, Diabetes yang berarti pancuran dan
Melitus yang berarti madu atau gula. Kurang lebih istilah Diabetes Melitus menggambarkan
gejala diabetes yang tidak terkontrol, yakni banyak keluar air seni yang manis karena
mengandung gula. Oleh karena demikian, dalam istilah lain penyakit ini disebut juga
“Kencing Manis”. (ipd, ui)
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.(2)
Kelainan pada sekresi/kerja insulin tersebut menyebabkan abnormalitas dalam
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ
tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.(3)
ii
II.3 Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi Diabetes Melitus (ADA,2009) : (6)
1. Diabetes Melitus Tipe 1
(Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut):
A. Melalui Proses Imunologik
B. Idiopatik
2. Diabetes Melitus Tipe 2
(Bervariasi mulai terutama yang predominan resistensi insulin disertai defesiensi insulin
relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
A. Defek Genetik fungsi sel Beta :
- Kromosom 12, HNF-α (dahulu MODY 3)
- Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
- Kromosom 20, HNFα (dahulu MODY 1)
- Kromosom 13, insulin Promoter factor (IPF, dahulu MODY 4)
- Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)
- Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6) DNA Mitochondria, dan lainnya
B. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, leprechaunism, sindrom
Rhabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya
C. Penyakit eksokrin Pankreas : Pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma,
fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya
D. Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing, feokromotositoma, hipertiroidisme
somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya
E. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid,
hormone tiroid, diazoxid, agonis β edrenergic, tiazid, dilantin, interferon alfa,
lainnya
F. Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnya
G. Imunologi (jarang) : sindrom “Stiff-man”, antibody anti reseptor insulin lainnya
H. Sindrom genetik lain : Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, sindrom Turner,
sindrom Wolfram’s, Ataksia Friedreich’s, Chorea Hutington, sindrom Laurence-
Moon-Biedl, Distrofi Miotonik, Porfiria, Sindrom Prader Willi, lainnya
4. Diabetes kehamilan/ Gestasional
ii
II.4 Patofisiologi Diabetes Melitus
DM Tipe 1
Pada DM tipe 1 atau yang disebut IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) terjadi
ketiadaan insulin yang mutlak, sehingga penderita membutuhkan pasokan insulin dari luar. Kondisi
ini disebabkan karena adanya lesi pada sel beta pankreas. Pembentukan lesi ini disebabkan karena
mekanisme gangguan autoimun dan infeksi virus yang terlibat dalam kerusakan sel-sel beta.
Adanya antibodi atau autoimun yang menyerang sel beta biasanya dideteksi beberapa tahun sebelum
timbulnya penyakit. DM tipe 1 dapat berkembang secara tiba-tiba, dengan tiga gejala pokok:
(1) meningkatnya glukosa darah, (2) peningkatan penggunaan lemak untuk energi dan
pembentukan kolesterol oleh hati, dan (3) penipisan protein tubuh (7,8). Bagan patofisiologi dapat dilihat
pada gambar dibawah ini
Gambar 1 Patofisiologis T1 DM
DM Tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang progresif, dimulai dengan
resistensi insulin yang mengarah ke peningkatan produksi glukosa hepatik dan berakhir
dengan kerusakan sel beta. Resistensi insulin didefinisikan sebagai ketidakmampuan jaringan
target seperti otot dan jaringan adiposa untuk merespon sekresi insulin endogen dalam tubuh .
Lipotoxicity dapat berkontribusi terhadap resistensi insulin. Lipotoxicity mengacu kepada
tingginya konsentrasi asam lemak bebas yang terjadi sebagai akibat tekanan hambatan
hormone sensitive lipase (HSL). Normalnya insulin menghambat lipolisis dengan
menghambat HSL, namun pada resistensi insulin tidak terjadi secara efisien. Hasil dari
peningkatan lipolisis adalah peningkatan asam lemak bebas, dan inilah yang menyebabkan
ii
obesitas dan peningkatan adiposa. Asam lemak bebas menyebabkan resistensi insulin dengan
mempromosikan fosforilasi serin pada reseptor insulin yang dapat mengurangi aktivitas
insulin signalling pathway. Fosforilasi reseptor insulin pada asam amino tirosin penting untuk
mengaktifkan insulin signalling pathway, jika tidak, maka GLUT-4 akan gagal untuk
translocate, dan penyerapan glukosa ke jaringan akan berkurang, menyebabkan hiperglikemia
(7,8)
.
Pada individu non-diabetik sel beta mampu menangkal resistensi insulin dengan
meningkatkan produksi dan sekresi insulin. Pada penderita DM apabila keadaan resistensi
insulin bertambah berat disertai tingginya glukosa yang terus terjadi, sel beta pankreas dalam
jangka waktu yang tidak lama tidak mampu mensekresikan insulin dalam jumlah cukup untuk
menurunkan kadar gula darah, disertai dengan peningkatan glukosa hepatik dan penurunan
penggunaan glukosa oleh otot dan lemak akan mempengaruhi kadar gula dara puasa dan
postpandrial. Akhirnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas akan menurun dan terjadi
hiperglikemia berat (7,8)
ii
Menariknya, hiperinsulinemia menyebabkan peningkatan sensitivitas full-length
adiponectin (fAd) melalui peningkatan eskpresi reseptor AdipoR2. Hiperinsulinemia
menginduksi kemampuan fAd untuk meningkatkan penyerapan asam lemak dan
meningkatkan oksidasi asam lemak sebagai respon dari fAd sehingga meningkatkan resiko
komplikasi vaskular pada DM-2 (9)
ii
Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir dengan
BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan
BB normal.
Gejala Akut
Gejala penyakit DM dari satu penderita ke penderita lain bervariasi, bahkan mungkin
tidak menunjukkan gejala apapun sampai saat tertentu. Pada permulaan gejala yang
ditunjukkan meliputi serba banyak (tripoli) yaitu: banyak makan (poliphagia), banyak minum
(polidipsia), banyak kencing (poliuria). Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan
timbul gejala nafsu makan mulai berkurang, berat badan turun dengan cepat (turun 5 – 10 kg
dalam waktu 2 – 4 minggu), dan mudah lelah. Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual,
bahkan penderita akan jatuh koma yang disebut dengan koma diabetik (10).
Gejala Kronik
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah kesemutan, kulit terasa
panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di kulit, kram, capai, mudah mengantuk,
mata kabur, gatal di sekitar kemaluan terutama wanita, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun bahkan impotensi (11).
ii
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasaradanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM,
pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaanglukosa secara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena.Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupun
angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan olehWHO. Sedangkan untuk
tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih
sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun
pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-
ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa dapat dilihat pada
gambar 3
ii
*Pemeriksaan HbA1c (≥6,5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu
criteria diagnostic DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah
terstandarisasi dengan baik
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada
hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula
darah 2 jam < 140 mg/dL.
ii
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko DM, namun
tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan
pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat.
Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan
sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk
terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular dikemudian hari.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa.
Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak
dianjurkan mengingat biaya yang mahal, yang pada umumnya tidak diikuti dengan rencana
tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan adanya kelainan. Pemeriksaan penyaring
dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain atau general check-up.
Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai patokan penyaring
dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (MG/dL)
Catatan: Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan
ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun
ii
Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas da mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan
mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
EDUKASI (2)
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif
pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar
glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
ii
Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya
guna mencapai sasaran terapi.
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hamper sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama
pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor
seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal ± 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
ii
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks massa tubuh dapat
dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/ TB(m2)
Klasifikasi IMT
BB Kurang < 18,5 Dengan resiko 23,0-24,9
BB Normal 18,5-22,9 Obes I 25,0-29,9
BB Lebih ≥ 23,0 Obes II >30
ii
perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap
penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.
Pilihan Makanan
Pilihan makanan untuk penyandang diabetes dapat dijelaskan melalui piramida makanan
untuk penyandang diabetes
ii
1. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonylurea dan glinid
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
E. DPP-IV inhibitor
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam
obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
ii
C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis),
di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang
diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan
pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin
secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping
obat tersebut.
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptida yang dihasilkan
oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang
masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin
dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1
diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide
yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2.
Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat
kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya
(analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor,
mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam
bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan
glukagon.
ii
Tabel 3. Perbandingan Golongan OHO
ii
2. Suntikan
1. Insulin
2. Agonis GLP-1/incretin mimetic
insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetic
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
ii
Jenis dan lama kerja insulin
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi lima jenis, yakni:
Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).
ii
Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang
tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin
menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan
glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang,
obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian
dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO
kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk tablet tunggal), harus
dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila
sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari
kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai
dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan
kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi
OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan
pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan
harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.
ii
Bagan 1 Algoritma pengobatan DM tipe 2 tanpa dekompensasi metabolic
Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM
yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa
darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang
diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah. Kriteria keberhasilan pengendalian
DM dapat dilihat pada Tabel 6.
ii
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar
glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan sesudah makan 145-
180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan
kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia
lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia dan
interaksi obat.
Tabel 6, target pengendalian DM
II.9.Pencegahan(2)
Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor
resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan
kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi program penurunan berat badan,
diet sehat, latihan jasmani dan menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan
ii
kesehatan ini tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi penyakit ini,
pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam upaya pencegahan primer
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit
pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan dengan pemberian
pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit
DM. Penyulihan ditujukan terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan
pertama dan selalu diulang pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian antiplatelet dapat
menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada penyandang Diabetes.
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah
mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih menlanjut. Pada
pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada pasien dan juga kelurganya dengan
materi upaya rehabilitasi yang dapat dilakakukan untuk mencapai kualitas hidup yang
optimal. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan
menetap, misalnya pemberian aspirin dosis rendah80-325 mg/hari untuk mengurangi dampak
mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin, jantung, ginjal,
mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll sangat
diperlukan untuk menunjang keberhasilan pencegahan tersier.
ii
Catatan:
kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. Memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang
memadai.
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia dan cara mengatasinya
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL
Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat
berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu
kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk
pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal
kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada
usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang
fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran
pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih
lama.
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebardebar, banyak keringat,
gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran
menurun sampai koma).
Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Bagi pasien
dengan kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang mengandung karbohidrat
atau minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 gram melalui
intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah
pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat.
Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40%
intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan
penyebab menurunnya kesadaran.
ii
II.10.2 Komplikasi menahun/ kronis (2)
1. Makroangiopati
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes.
Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa
gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.
Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati:
Retinopati diabetic
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan
memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati
Nefropati diabetic
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko nefropati
Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi risiko
terjadinya nefropati
3. Neuropati
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa
hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih
terasa sakit di malam hari.
Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk
mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana,
dengan monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun.
Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai akan
menurunkan risiko amputasi.
Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik, atau
gabapentin.
ii
BAB III
KESIMPULAN
ii
DAFTAR PUSTAKA
1. Suyono, Slamet. 2009. Diabetes Melitus di Indonesia. In: Sudoyo, Aru W., Bambang
Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Ed 5. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
6. Purnamasari, Dyah. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In: Sudoyo,
Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed 5. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
8. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penterjemah:
Irawati, Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006.
9. Fang ZY, Prins JB, Marwick TH: Diabetic cardiomyopathy: evidence, mechanisms,
and therapeutic implications. Endocr , 2004
10. Fauci et al.. Harrison’s : Principles of Internal Medicine. 17th Edition. USA :The
McGraw-Hill Companies. p. 2008
11. Dunning T., 2005, Medication Knowledge And Self Management By People With 2
Diabetes, Department of Endocrinology and Diabetes, The University of Melbourne,
Australia.
ii
LAMPIRAN
ii
1
Health Education