Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam hukum pidana Islam, pembunuhan termasuk ke dalam jaraim perbuatan pidana
yang bersanksikan hukum qisas, yaitu tindakan kejahatan yang membuat jiwa menderita, baik
dalam bentuk hilangnya nyawa maupun terpotong organ tubuh seseorang.
Dalam hukum pidana yang ditetapkan kepada si pembunuh para ulama berbeda pendapat.
Analisis para ulama ditinjau dari merdeka atau tidaknya si pembunuh, muslim atau kafir dan lain
sebagainya. Berkaitan dengan hal tersegugah hati penulis untuk menyusun makalah dengan judul
“Kasus Pembunuhan Ditinjau Dari Hukum Islam”. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua. Aamiin.

1
BAB II
PEMBAHASAN

KASUS PEMBUNUHAN DITINJAU DARI HUKUM ISLAM

A. Pengertian Pembunuhan
Pembunuhan adalah suatu perbuatan mematikan atau perbuatan yang dapat menghilangkan
nyawa orang lain.
Dalam hukum pidana Islam, pembunuhan termasuk ke dalam jaraim perbuatan pidana
yang bersanksikan hukum qisas, yaitu tindakan kejahatan yang membuat jiwa menderita, baik
dalam bentuk hilangnya nyawa maupun terpotong organ tubuh seseorang.

B. Klasifikasi Delik Pembunuhan


Pada dasarnya delik pembunuhan diklasifikasi menjadi dua golongan, yaitu:
1. Pembunuhan yang diharamkan yaitu pembunuhan karena ada unsur permusuhan dan
penganiayaan
2. Pembunuhan yang dibenarkan yakni pembunuhan yang tidak dilatarbelakangi oleh
permusuhan, misalnya pembunuhan yang dilakukan oleh algojo dalam melaksanakan
hukuman qisas.
Secara spesifik mayoritas ulama berpendapat bahwa tindak pidana pembunuhan dibagi
kedalam tiga kelompok, yaitu:
1. Pembunuhan disengaja (qatl al- ‘amd)
Yaitu perbuatan menyengaja suatu pembunuhan karena adanya sebab permusuhan
terhadap orang lain dengan menggunakan alat yang mematikan, melukai, atau benda-benda yang
berat, secara langsung atau tidak langsung (sebagai akibat dari suatu perbuatan), seperti
menggunakan besi, pedang, kayu besar, pada organ tubuh.
2. Pembunuhan menyerupai sengaja (qatl syibh al-‘amd)
Yaitu menyengaja suatu perbuatan aniaya terhadap orang lain, dengan alat yang pada
umumnya tidak mematikan, seperti memukul dengan batu kecil, tangan atau tongkat yang
ringan, dan pukulannya bukan pada tempat yang vital (mematikan), yang dipukul bukan anak
kecil atau orang yang lemah.
3. Pembunuhan kesalahan (qatl al-khata’)

2
Yaitu pembunuhan yang terjadi dengan tanpa adanya maksud penganiayaan, baik dilihat
dari perbuatan maupun orangnya. Misalnya seseorang melempari pohon atau binatang tetapi
mengenai manusia (orang lain), kemudian mati.
Mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana
pembunuhan yaitu
a. Pembunuhan dengan muhaddad, yaitu menggunakan alat yang tajam, melukai, dan
menusuk badan yang dapat mencabik-cabik anggota badan.
b. Pembunuhan dengan musaqqal, yaitu alat yang tidak tajam, seperti tongkat dan batu.
Mengenai alat ini fuqaha berbeda pendapat apakah termasuk pembunuhan sengaja
yang mewajibkan qisas atau syibh ‘amd yang sengaja mewajibkan diyat.
c. Pembunuhan secara langsung, yaitu pelaku melakukan suatu perbuatan yang
menyebabkan matinya orang lain secara langsung (tanpa perantaraan), seperti
menyembelih dengan pisau, menembak dengan pistol, dan lain-lain.
d. Pembunuhan secara tidak langsung (dengan melakukan sebab-sebab yang dapat
mematikan). Artinya dengan melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnya tidak
mematikan tetapi dapat menjadikan perantara atau sebab kematian.
Adapun sebab-sebab yang mematikan itu ada tiga macam, yaitu :
1) Sebab Hissiy (perasaan/psikis) seperti paksaan untuk membunuh.
2) Sebab Syar’i, seperti persaksian palsu yang membuat terdakwa terbunuh,
keputusan hakim untuk membuat seseorang yang diadilinya dengan
kebohongan atau kelicikan (bukan karena keadilan) untuk menganiaya secara
sengaja.
3) Sebab ‘Urfiy, seperti menyuguhkan makanan beracun terhadap orang lain yang
sedang makan atau menggali sumur dan menutupinya sehingga ada orang
terperosok dan mati.
e. Pembunuhan dengan cara menjatuhkan ke tempat yang membinasakan, seperti
dengan melemparkan atau memasukkan ke kandang srigala, harimau, ular dan lain
sebagainya.
f. Pembunuhan dengan cara menenggelamkan dan membakar.
g. Pembunuhan dengan cara mencekik.
h. Pembunuhan dengan cara meninggalkan atau menahannya tanpa memberinya
makanan dan minuman.

3
i. Pembunuhan dengan cara menakut-nakuti atau mengintimidasi. Pembunuhan tidak
hanya terjadi dengan suatu perbuatan fisik, karena terjadi juga melalui perbuatan
ma’nawi yang berpengaruh pada psikis seseorang, seperti menakut-nakti,
mengintimidasi dan lain sebagainya.
Dalam syari’at Islam, pembunuhan diatur di dalam al-Qur’an
Terjemahnya : Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka
balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.(Q.s An-Nisa’:13)

C. Hukuman Bagi Pembunuh (Qisas)


Qisas adalah istilah dalam bahasa arab yang berarti pembalasan. Dalam kasus
pembunuhan hukum qisas memberikan hak kepada keluarga korban untuk meminta hukuman
mati kepada pembunuh. Dasarnya hukumnya adalah:

"Hai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kamu qishash atas orang-orang yang
dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan
wanita. Barangsiapa mendapat ma'af dari saudaranya, hendaklah yang mema'afkan mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma'af dengan cara yang baik." [Al Baqarah:178]

"Dan Kami tetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa dibalas dengan jiwa,
mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka
pun ada Qisasnya. Barangsiapa yang melepaskan hak Qisas, maka melepaskan hak itu jadi
penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zalim." [Al Maa-idah:45]

Meski demikian dikatakan Al Qur'an bila hak Qisas dilepaskan oleh korban maka itu
menjadi penebus dosa bagi mereka. Keluarga korban dapat memaafkan pembunuh dan meminta
penebus dalam bentuk materi, sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Baqarah, 2 : 178

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah
(yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af)
membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu
adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.

4
Hadits riwayat Bukhari ra. Beliau berkata :
Dari Abdullah Ibnu Abbas ra, dia berkata: Dahulu pada Bani Israil adanya qishash dan
tidak ada pada mereka diyat, lalu Allah berfirman kepada umat ini:”Diwajibkan atas kami
qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang mendeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu
pema`afan dari saudaranya dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat
pedih”. Abdullah Ibnu Abbas berkata: “Pemaafan adalah keluarga korban pembunuhan
menerima diyat (tidak menindak Qishash) dalam pembunuhan disengaja”. Ibnu Abbas berkata:
“Mengikuti dengan cara yang baik adalah menuntut (diyat dari pembunuh) dengan cara yang
baik, dan (pembunuh) supaya memenuhi dengan terbaik”.

Adapun syarat-syarat diberlakukannya Qisas bagi pembunuh adalah sebagai berikut:


1. Pelaku berakal
2. Balig
3. Disengaja
4. Tidak terpaksa
Yang dimaksud dengan sederajat disini adalah hanya dalam hal kehambaan dan kekafiran.
Oleh sebab itu maka tidak diqisas seorang merdeka yang melukai hamba sahaya atau memotong
anggotanya. Dan tidak pula diqisas seorang muslim yang melukai kafir zimmi atau memotong
anggotanya.
Apabila pelaku melakukan perbuatan pelukaan tersebut secara sengaja, dan korban tidak
memiliki anak, serta korban dengan pelaku sama di dalam keislaman dan kemerdekaan, maka
pelaku diqisas berdasarkan perbuatannya terhadap korban, misalnya dipotong anggota
berdasarkan onggota yang terpotong, melukai serupa dengan anggota yang terluka. Kecuali jika
korban menghendaki untuk pembayaran diyat atau memaafkan pelaku. Besarnya diyat
disesuaikan dengan jenis dari perbuatan yang dilakukannya terhadap korban.
Syarat-syarat qisas dalam pelukaan:
1. Tidak adanya kebohongan di dalam pelaksanaan, maka apabila ada kebohongan maka
tidak boleh diqisas,
2. Memungkinkan untuk dilakukan qisas, apabila qisas itu tidak mungkin dilakukan, maka
diganti dengan diyat,
3. Anggota yang hendak dipotong serupa dengan yang terpotong, baik dalam nama atau
bagian yang telah dilukai, maka tidak dipotong anggota kanan karena anggota kiri, tidak

5
dipotong tangan karena memotong kaki, tidak dipotong jari-jari yang asli (sehat) karena
memotong jari-jari tambahan,
4. Adanya kesamaan 2 (dua) anggota, maksudnya adalah dalam hal kesehatan dan
kesempurnaan, maka tidak dipotong tangan yang sehat karena memotong tangan yang
cacat dan tidak diqisas mata yang sehat karena melukai mata yang sudah buta,
5. Apabila pelukaan itu pada kepala atau wajah (asy-syijjaj), maka tidak dilaksanakan qisas,
kecuali anggota itu tidak berakhir pada tulang, dan setiap pelukaan yang tidak
memungkinkan untuk dilaksanakan qisas, maka tidak dilaksanakan qisas dalam pelukaan
yang mengakibatkan patahnya tulang juga dalam jaifah, akan tetapi diwajibkan diyat atas
hal tersebut.
D. Contoh Kasus Pembunuhan Zaman Rasulullah SAW1
Dikisahkan ada seorang hamba sahaya dari Madinah yang keluar dari rumahnya dengan
menggunakan anting-anting. Kemudian seorang lelaki Yahudi melempari hamba sahaya itu dengan
batu. Perbuatan lelaki Yahudi itu membuat hamba sahaya tersebut dalam keadaan sekarat.
Sebelum kemudian hamba sahaya itu meninggal, Rasulullah datang dan bertanya kepada
hamba sahaya itu tentang siapa pelaku yang telah membuatnya dalam keadaan sekarat. Kemudian
hamba sahaya itu memberi tahu pelakunya pada Rasulullah. Rasul pun memerintahkan sahabat
membawa Yahudi tersebut. Hingga Rasulullah pun menjatuhi hukuman qisas kepada lelaki Yahudi
dengan menjepitnya dengan dua batu.
Perlu diketahui bahwa dijatuhkannya hukuman mati terhadap lelaki Yahudi itu sesuai
ketentuan hukum dalam kitab Taurat yang menjadi pegangan hukum dan keyakinan lelaki Yahudi
tersebut. Sebab dalam kitab Taurat ditegaskan bahwa hukuman bagi orang yang menghilangkan
nyawa adalah hukuman mati.
Sehingga Rasulullah tidak semena-mena, tetapi justru memberikan hukuman kepada Yahudi
itu sesuai atau berdasar dengan hukum yang dianut oleh orang Yahudi tersebut.

Sebagaimana merujuk pada Alquran surat Al Maidah ayat 45


Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa,
mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka
(pun) ada qisas-nya (balasan yang sama). Barangsiapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu
(menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.

1 Kisah ini dapat ditemukan redaksinya dalam sejumlah kitab hadits seperti Shahih Bukhari nomor 6368,
6369, 6376 versi Al Alamiyah, dan 6876, 6877, 6884 dalam Fathul Bari.

6
Dalam tafsir tahlili Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Kemenag dijelaskan bahwa di
dalam Taurat, telah ditetapkan bahwa nyawa harus dibayar dengan nyawa. Orang yang membunuh
tidak dengan alasan yang benar dia harus dibunuh pula dengan tidak memandang siapa yang
membunuh dan siapa yang dibunuh.
“Sekalipun penetapan dan ketentuan tersebut, diketahui oleh orang-orang Nasrani dan
Yahudi, namun mereka tetap tidak mau menjalankan dan melaksanakannya. Mereka tetap
memandang adanya perbedaan derajat dan strata di dalam masyarakat. Mereka menganggap bahwa
golongan Yahudi Bani Nadir lebih tinggi derajat dan kedudukannya dari golongan Yahudi Bani
Quraizah, dan golongan Bani Quraizah kedudukannya lebih rendah dibanding dengan kedudukan
golongan Bani Nadir.
Sehingga apabila seorang dari golongan Bani Nadir membunuh seorang dari golongan Bani
Quraizah dia tidak dibunuh, karena dianggap tidak sederajat. Tetapi kalau terjadi sebaliknya yaitu
seorang dari Bani Quraizah membunuh seorang Bani Nadir, maka dia harus dibunuh. Hal ini dan
semacamnya, yang merupakan pembangkangan dan penolakan terhadap bimbingan, petunjuk dan
hukum-hukum Allah yang ada di dalam Kitab Taurat berjalan terus sampai datangnya agama
Islam. Setelah itu Bani Quraizah mengadukan adanya perbedaan kelas di dalam masyarakat
mereka, kepada Nabi Muhammad, oleh beliau diputuskan bahwa tidak ada perbedaan antara si A
dan si B antara golongan Anu dan golongan Fulan, di dalam penerapan hukum.
Hukum tidak memandang bulu, semua orang harus diperlakukan sama. Mendengar
keputusan Rasulullah SAW ini, golongan Bani Nadir merasa diturunkan derajatnya karena telah
dipersamakan dengan golongan Bani Quraizah, orang yang mereka anggap rendah. Maka turunlah
ayat ini.
Dalam ayat ini Allah menegaskan kembali bahwa di dalam Taurat telah digariskan suatu
ketetapan bahwa jiwa harus dibayar dengan jiwa sama dengan hukum qisas yang berlaku dalam
syariat Islam. Pembunuh yang telah akil balig bila ia membunuh sesama Islam dan sama-sama
merdeka, maka pembunuh tersebut baik seorang maupun beberapa orang harus dikenakan hukuman
bunuh. Kecuali bagi orang gila yang benar-benar rusak akalnya, orang yang sedang tidur sampai dia
bangun, dan anak kecil sampai dia baligh, bila mereka membunuh tidak dikenakan hukuman qisas
sesuai dengan sabda Nabi:
“Qalam telah diangkat dari tiga macam orang (artinya mereka tidak diperlakukan sebagai orang-
orang mukallaf) yaitu orang-orang gila yang benar-benar telah rusak akalnya, sampai ia sembuh,
orang yang tidur, sampai ia bangun, dan anak-anak sampai ia baligh.” (Riwayat Aḥmad, Abu
Dawud dari al-Ḥakim dan ‘Umar bin al-Khattab).

7
BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan yang telah penyusun uraikan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik
kesimpulan pada hukum pidana Islam delik pembunuhan dikategorikan dalam Jara’im al-Qisas,
yaitu tindakan pidana yang bersanksikan hukum qisas. Lebih khususnya lagi adalah
penganiayaan merupakan jinayah terhadap selain jiwa yaitu perbuatan yang mengakibatkan
orang lain merasa sakit tubuhnya tanpa hilangnya nyawa, sedangkan pembunuhan merupakan
jinayah terhadap jiwa yaitu tindakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa, menghilangkan ruh
atau jiwa manusia. Ancaman hukuman yang diterapkan terhadap pelaku kedua delik tersebut ada
beberapa macam, yaitu qisas.
Dalam beberapa kasus pembunuhan para imam madzhab berbeda Pendapat tentang
hukum qisas yang diberlakukan, seperti para imam mazhab berbeda pendapat apabila ayah
membunuh anaknya. Hanafi, Syafii, dan Hambali mengataka: Tidak dikenai hukum bunuh.
Maliki berkata: Dikenai hukum bunuh pula jika perbuatannya dengan sengaja, seperti sengaja
direbahkan lalu disembelih. Sedangkan jika tidak disengaja, seperti ia melemparkan pedang
kepadanya tanpa berniat membunuhnya maka ia tidak dikenai hukum bunuh. Kakek dalam soal
ini sama dengan ayah.

Anda mungkin juga menyukai