Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR

UNSUR KEBUDAYAAN SUKU SUNDA

OLEH
KELOMPOK 7 KELAS A2

Mufidah Rona 2111212023


Nabila Westi Khofifah 2111213022
Septiawan Zalukhu 2111212033
Syifa Urrahmah 2111212070
Wetta Fortuna 2111211007

DOSEN PENGAMPU
Hamidatul Yuni, S. ST, M. Kes

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ANDALAS
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karunia – Nya, kami dapat menyusun makalah ini dalam rangka memenuhi tugas kelompok
untuk mata kuliah Ilmu Sosial Dasar dengan judul “Unsur Kebudayaan Suku Sunda”.

Terima kasih kami ucapkan kepada dosen pengampu mata kuliah Ilmu Sosial Dasar
yaitu Ibu Hamidatul Yuni, S. ST, M. Kes yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami berharap makalah ini dapat berguna untuk menambah wawasan serta pengetahuan kita
mengenai unsur kebudayaan suku sunda. Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna dan masih memiliki banyak kekurangan di dalamnya.

Mengingat masih banyaknya kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, kami
sangat mengharapkan adanya kritik ataupun saran yang bersifat membangun dari semua
pihak demi penyempurnaan dan pembelajaran dalam makalah yang kami buat di masa
mendatang.

Padang, 17 Maret 2022

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………................. i

DAFTAR ISI ……………………………………………………............................ ii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………............................ 1

1.1 Latar Belakang …………………………………………………………….. 1


1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………………. 2
1.3 Tujuan Penulisan …………………………………………………………... 2

BAB II PEMBAHASAN ………………………………………............................. 3

2.1 Bahasa…………............................................................................................ 3
2.2 Sistem Pengetahuan ……………………….................................................. 3
2.3 Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial ………………………………... 7
2.4 Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi ……………………………………. 9
2.5 Sistem Mata Pencaharian ………………………………………………….. 13
2.6 Sistem Religi / Kepercayaan ………………………………………………. 13
2.7 Kesenian ………………………………………………………………….... 14

BAB III PENUTUP ……………………………………………............................. 17

3.1 Kesimpulan ………………………………………………………………... 17


3.2 Saran ………………………………………………………………………. 17

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 18

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Budaya Sunda merupakan budaya yang berpengaruh bagi perkembangan budaya


Indonesia. Kata ‘Sunda’ berasal dari kata ‘Su’ yang berarti baik, arti keseluruhan Sunda
adalah segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan. Sunda juga memiliki etos atau
watak budaya mengenai jalan menuju keutamaan hidup yaitu cageur (waras), bageur (baik),
singer (sehat), dan pinter (cerdas). Selain etos budaya itu, Sunda juga tidak kalah dengan
seninya seperti Wayang Golek, tari Jaipongan, dan Angklung, alat musik khas Sunda yang
sudah mendunia.

Kebudayaan Sunda merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan
bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu di lestarikan. Secara umum,
masyarakat Jawa Barat atau tatar Sunda dikenal sebagai masyarakat yang lembut, religius,
dan sangat spiritual. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam konsep kehidupan orang
Sunda silih asih dengan saling mengasihi (mengutamakan sifat welas asih) dan silih asah
dimana saling menyempurnakan atau memperbaiki diri (melalui pendidikan dan berbagi
ilmu) serta silih asuh dengan saling melindungi (saling menjaga keselamatan). Selain itu,
budaya Sunda juga memiliki sejumlah nilai lain seperti kesopanan, rendah hati terhadap
sesama, hormat kepada yang lebih tua, dan menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada
kebudayaan Sunda keseimbangan magis dipertahankan dengan cara melakukan upacara-
upacara adat, sedangkan keseimbangan sosial masyarakat Sunda ditunjukkan melalui gotong-
royong untuk mempertahankannya.

Dengan sejarah dan tradisi yang beragam, sangat disayangkan bagi masyarakat Sunda
sendiri bahwa identitas budaya dan tradisi ini sedikit demi sedikit mulai menghilang.
Xenocentrisme, dimana budaya lain lebih dihargai dibandingkan dengan budaya sendiri
merupakan kontribusi besar dalam hilangnya budaya Sunda. Bagi generasi masa kini,
penyerapan budaya luar adalah sebuah proses modernisasi masyarakat, dan karena hal yang
konstan di dunia adalah perubahan, maka manusia harus ikut berubah beriringan dengan
zaman. Manusia memang harus berubah mengadaptasikan dengan perubahan zaman, tetapi
modernisasi yang dimaksudkan oleh generasi sekarang merupakan persepsi yang salah
terhadap arti sebenarnya dari modernisasi.

1
Menurut Professor Hirai Naofusa dari Universitas Kokugakuin di Jepang, modernisasi
adalah pembentukan ulang dari sebuah sistem menjadi bentuk baru. Sedangkan yang selama
ini dilakukan oleh generasi muda adalah Westernisasi, yaitu eliminasi dari unsur-unsur
budaya timur dan digantikan peranannya oleh budaya barat. Hasil dari kesalahpahaman
tersebut adalah hilangnya budaya Sunda sedikit demi sedikit. Tidak dibantu dengan
kurangnya dokumentasi dari data-data mengenai budaya Sunda oleh masyarakat Sunda
sendiri.

1.2 Rumusan Masalah

1.) Bagaimana bahasa dari suku sunda?


2.) Bagaimana sistem pengetahuan dari suku sunda?
3.) Bagaimana sistem kekerabatan dan organisasi sosial dari suku sunda?
4.) Bagaimana sistem peralatan hidup dan teknologi dari suku sunda?
5.) Bagaimana sistem mata pencaharian dari suku sunda?
6.) Bagaimana sistem religi / kepercayaan dari suku sunda?
7.) Bagaimana kesenian dari suku sunda?

1.3 Tujuan Penulisan

1.) Untuk mengetahui bahasa dari suku sunda.


2.) Untuk mengetahui sistem pengetahuan dari suku sunda.
3.) Untuk mengetahui sistem kekerabatan dan organisasi sosial dari suku sunda.
4.) Untuk mengetahui sistem peralatan hidup dan teknologi dari suku sunda.
5.) Untuk mengetahui sistem mata pencaharian dari suku sunda.
6.) Untuk mengetahui sistem religi / kepercayaan dari suku sunda.
7.) Untuk mengetahui kesenian dari suku sunda.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 BAHASA

Menurut Koentjaraningrat (2002:307) suku bangsa Sunda adalah orang-orang yang


secara turun temurun menggunakan bahasa ibu bahasa Sunda serta dialeknya dalam
kehidupan sehari-hari dan berasal serta bertempat tinggal di daerah Jawa Barat atau Tatar
Sunda atau Tanah Pasundan.

Menurut Ayip Rosidi, dalam Kongres Bahasa Sunda tahun 1926 diputuskan bahasa
Sunda dialek Bandung sebagai bahasa Sunda umum. Tetapi apabila diteliti bahasa Sunda
umum tersebut bukanlah bahasa Sunda dialek Bandung melainkan bahasa yang
dikembangkan dari bahasa tulisan para ahli dan guru besar, seperti: D.K.Ardiwinata,
R.Suriadiraja dan lain-lain. Bahasa tulisan tersebut yang kemudian dikembangkan para
pengarang Balai Pustaka dan diajarkan di sekolah-sekolah guru, baik disekolah Raja maupun
di sekolah biasa. Salah satu ciri bahasa Sunda umum yang dikembangkan melalui pengajaran
di sekolah-sekolah guru dan ciri dalam buku buku Balai Pustaka itu ialah sangat
memperhatikan undak-unduk basa, yaitu tingkat-tingkat sosial penutur (pemakai) bahasa
dalam masyarakat. “undak-usuk basa yang terbagi dalam tingkat-tingkat : kasar pisan (sangat
kasar), kasar (kasar), sedeng (sedang), lemes (halus), dan lemes pisan (sangat halus) itu,
merupakan usaha feodalisasi masyarakat Sunda setelah Tanah Pasundan di bawah kekuasaan
Kerajaan Mataram (Rosidi, 1984: 137-139).

2.2 SISTEM PENGETAHUAN

A. Batik dan Tenun

Pembelajaran tentang batik khas pasundan didapat dari koleksi yang ditata
menyerupai kegiatan membatik tulis. Miniatur alat, contoh kain tradisional, patung pengrajin
dan kertas panduan pembuatan memberi gambaran pada pengunjung tentang cara membatik
secara tradisional. Dari koleksi yang dipajang tersebut kita juga dapat memahami bahwa
pewarna kain tradisional terbuat dari kayu soga dan daun indigo. Selain itu, kita bisa
mengenali asal daerah batik berdasarkan coraknya, sebab masing-masing daerah di Jawa
Barat memiliki ciri yang menjadi pembeda. Batik dari Cirebon dikenal Cirebonan dengan

3
motif guci. Indramayu merupakan penghasil batik Dermayon dengan ukiran berbentuk iwak
entong. Warga Garut menghasilkan Garutan dengan dua gambar yang menjadi andalan,
Merak Ngibing dan Rereng Apel. Batik Tasik menjadi Tasikan dengan motif Puger Galing.
Batik Ciamisan motif Rereng Sirau menjadi salah satu produk lokal kebanggaan kota Ciamis.

Penjelasan tambahan tentang batik Sunda terdapat dalam penelitian Sunarya (2018)
bahwa sesungguhnya latar belakang masyarakat mempengaruhi hias batik khas Parahiyangan.
Kawasan tempat tinggal di pegunungan mempengaruhi corak batik bertema agraria,
contohnya Bango Rawa, Manggu (buah manggis), Kakembangan (jenis bunga-bungaan),
Kopi, Kukupu (kupu-kupu), Daun Sampeu (daun singkong), Daun Taleus (daun talas),
Kurung Hayam (kurungan ayam), Batu, Bilik, Merak, Lancah, Awi (ruas bambu), Kembang
Tahu, dan Batuhiu. Intinya, apapun yang mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari, baik itu
di sawah, ladang, rawa, atau kolam dapat menjadi sumber inspirasi yang memperkaya jenis
hiasan di kain batik.

B. Mata Pencaharian

Masyarakat yang bekerja sebagai petani memanfaatkan kerbau untuk membajak


sawah. Mereka menyadari bahwa tumbuhan padi tidak cocok ditanam pada tanah keras
layaknya palawija. Tanah yang tadinya keras menjadi lebih lunak setelah diinjak oleh kerbau
berkali-kali. Setelah itu digunakan Singkal dan Pacul untuk membolak-balikkan tanah agar
gembur. Tanah tersebut kemudian diberi lubang untuk menanam bibit padi dengan
menggunakan alat bernama Aseuk atau Tugal. Agar padi tumbuh berurutan dan rapi maka
digunakan Caplak untuk mengatur jarak yang sama. Barisan pohon padi yang rapi
memudahkan petani ketika memanen. Pengetahuan masyarakat akan pertanian semakin
berkembang ketika menyadari rumput yang tumbuh disekitar padi akan menyerap nutrisi
tanah yang dibutuhkan padi. Jika tidak disiangi maka padi tidak akan tumbuh sempurna.
Maka diciptakan Lalandakan dan Kukuyaan untuk membersihkan tanaman liar di sekitar
padi.

Selain bertani, masyarakat pun piawai dalam berkebun. Mereka telah mengenali cara
menanam palawija. Mereka juga mampu menciptakan alat yang berbeda untuk
membersihkan tumbuhan di kebun. Kored untuk menyiangi rumput disekitar tumbuhan
palawija dan untuk membersihkan tanaman pengganggu di pinggir ladang mereka
menggunakan Parang atau Congkrak. Kebutuhan tanaman kebun akan air membuat
masyarakat menciptakan alat tradisional untuk menyiram palawija. Bambu muda didesain

4
sedemikian rupa agar membentuk wadah untuk menampung air dan menyiram tanaman,
sehingga dinamakan Timba Pring. Jika disamakan dengan peralataan saat ini, fungsi wadah
tersebut serupa dengan ember untuk menimba air dari sumur.

Dari koleksi peralatan juga dapat diketahui bahwa kegiatan menangkap ikan secara
garis besar dilakukan melalui tiga cara, yakni memasang perangkap, merungkup dan
menciduk. Alat jebakan ikan bernama Bubu, Joged dan Impes. Kecrik dan Susug sebagai
perungkup dan ketika ingin mengambil ikan yang telah terkumpul melalui alat perangkap
atau perungkup maka digunakan Sirib. Terakhir, hasil tangkapan disimpan dalam bernama
Cireung dan Buleng. Jika nelayan ingin menjajakan hasil melaut untuk dijual keliling
kampung, maka ikan dipindahkan ke wadah bernama Naya.

C. Tata Kota

Kampung Naga di daerah Neglasari Tasikmalaya menjadi bukti kepiawaian penduduk


Pasundan dalam bidang tata kota. Dilihat dari gambar denah, kampung tradisional tersebut
masih menerapkan prinsip penggunaan fasilitas umum demi kepentingan bersama. Tempat
ibadah, pendopo untuk pertemuan warga dan alun-alun diposisikan di tengah kampung,
sehingga memudahkan seluruh warga untuk berkumpul. Kampung tersebut juga memiliki
lumbung padi bersama yang dibuat khusus untuk mencegah kekurangan beras ketika musim
paceklik. Kandang ternak dan toilet di bangun agak berjauhan dari rumah dengan
pertimbangan agar baunya tidak mengganggu kesehatan warga. Posisi perumahan yang
dibangun dekat dengan sungai memudahkan masyarakat dalam mencari ikan, mengairi sawah
dan untuk memenuhi kebutuhan lainnya yang memerlukan air.

D. Alat Penerangan

Kekayaan pengetahuan warga Jawa Barat tentang api juga tercatat di museum.
Mereka piawai memilih jenis batu yang bisa menghasilkan api, yakni batu besi. Masyarakat
Baduy menyebut pemantik api tersebut Paneker sedangkan di Priangan bernama Gandawesi.
Ribuan tahun lalu masyarakat telah mengenal teknik membuat api dengan cara
membenturkan atau menggosok dua bilah batu tepat diatas rumput atau ranting kering.
Percikan api yang terkumpul akan membakar daun dan ranting. Setelah api tercipta, mereka
menambahkan kayu kering untuk membuat bara. Kemudian, bara dikumpulkan dan
ditampung dalam bulu batang pohon aren, masyarakat setempat menyebutnya Awul. Sejalan
dengan perkembangan zaman, mereka mampu membuat bahan bakar dari lemak hewan dan
tumbuhan. Merekapun membuat wadah penampung berbentuk piringan yang bernama Pelita.

5
E. Kerajinan Anyaman dan Gerabah

Bagi masyarakat Sunda, anyaman tidak semata menjadi tambahan mata pencaharian
selain bertani, berkebun atau menangkap ikan. Bahan anyaman seperti bambu memiliki
makna filosofis sebagai lambang kekuatan. Bahan lain, yakni pandan mewakili makna lentur,
halus dan karakter yang mudah dibentuk. Produk anyaman berupa tikar misalnya, benda yang
lazim digunakan sebagai alas tersebut memiliki arti khusus dalam kehidupan. Masyarakat
lahir di atas tikar, duduk dan berkumpul dengan rekan dan saudara di atas tikar, bahkan
meninggal juga di tutup dengan tikar. Masyarakat membuat anyaman untuk keperluan rumah
tangga, seperti Aseupan (pengukus nasi), Besek (wadah untuk hantaran), Hihid (kipas) dan
Keranjang. Ciamis, Garut, Majalengka dan Tasikmalaya merupakan daerah pengrajin
anyaman yang sudah dilaksanakan turun-temurun sejak nenek moyang.

Ragam kerajinan tangan masyarakat Jawa-Barat diperkaya dengan adanya Gerabah.


Mereka mengenal teknik membuat wadah dari tanah liat sejak zaman prasejarah. Cara paling
sederhana dimulai dengan memukul sebongkah tanah dengan kayu atau bambu untuk
membentuk wadah tertentu, lalu di bakar agar kering. Perkembangan teknik mengolah tanah
liat selanjutnya adalah teknik putar dan mulai memberi ukiran untuk menambah keindahan
wadah. Mereka telah menguasai pengetahuan untuk menggambar di permukaan tanah basah,
yakni menggunakan benda runcing dan tali. Duri ikan digunakan untuk menggukir sedangkan
tali yang ditekan di tanah basah untuk memberikan efek cekungan. Sadang Gentong dan
Babakan Pariuk (Garut), Lelean (Indramayu), Ciruas (Banten), dan Kampung Anjun
(Purwakarta) tercatat sebagai daerah penghasil gerabah terbaik di Jawa-Barat.

F. Industri Kecil Pande Besi

Teknologi pengolahan logam secara tradisional telah dikuasai warga Serang,


Sukabumi, Bandung, Garut, Sumedang dan Kuningan dengan cara mendirikan pande besi
meski dengan peralatan sederhana. Tungku tanah liat difungsikan sebagai pemanas api untuk
meleburkan bongkahan besi. Jika sudah memanas seperti bara, bongkahan di pukul-pukul
dengan palu besar hingga pipih. Lempengan besi kemudian di potong dan ditempa berulang
kali untuk membentuk benda yang diinginkan. Jika sudah berbentuk maka bagian ujung atau
tepi diruncingkan atau ditajamkan menggunakan Kikir. Setelah itu benda tersebut bisa
digunakan sebagai Pisau, Golok, Kored, dan peralatan pertukangan lainnya.

G. Kalender Tradisional

6
Penduduk di Baduy di Lebak telah mengenal penanggalan tradisional yang bernama
Sastra. Perhitungan waktu diukir di bambu dengan teknik menggores. Sastra digunakan untuk
menentukan hari baik pernikahan, waktu bercocok tanam dan aktivitas mencari nafkah
lainnya. Serupa fungsi dengan Sastra, suku Baduy juga penanggalan lain yang berguna untuk
menentukan hari baik dan buruk namun ditulis di lembaran papan kayu, bernama Kolenjer
dan Tunduk.

Uraian singkat tentang penanggalan Sunda dituliskan oleh Jubaedah (2018) pada surat
kabar lokal online. Mengutip ungkapan perwakilan Dewan Pembina Bestdaya, wartawan
Tribun Jabar tersebut menuliskan bahwa kalender Sunda memiliki tiga perhitungan, yaitu
Panon Poe (matahari), Candra (bulan) dan Sukra (Bentang). Panon Poe untuk menentukan
musim, Candra untuk menuliskan sejarah serta administrasi aktivitas sehari-hari, sedangkan
Sukra berguna untuk kegiatan pelayaran atau menangkap ikan.

Pemanfaatan kalender tradisional Sunda dalam sistem mata pencaharian diterapkan


oleh suku Baduy. Mereka menerapkan larangan untuk bekerja di ladang setiap tanggal 15 dan
30 menurut perhitungan kalender suku. Bulan Kanem dipercaya sebagai masa paceklik.
Bulan Kasa, Karo, dan Katiga, yang merupakan bulan-bulan akhir masa berladang dan masa
panen disebut pula masa Kawalu. Pembagian masa tanam, panen dan larangan mengunjungi
ladang secara perlahan tapi pasti menjadi salah satu cara masyarakat untuk memberikan
waktu pada alam untuk berevolusi, terutama untuk membentuk kesuburan tanah dan
pertumbuhan tanaman secara alami (Ipa dkk, 2014).

2.3 SISTEM KEKERABATAN DAN ORGANISASI SOSIAL

Unsur budaya berupa sistem kekerabatan dan organisasi sosial merupakan usaha
antropologi untuk memahami bagaimana manusia membentuk masyarakat melalui berbagai
kelompok sosial. Menurut Koentjaraningrat tiap kelompok masyarakat kehidupannya diatur
oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan
di mana dia hidup dan bergaul dari hari ke hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan dasar
adalah kerabatnya, yaitu keluarga inti yang dekat dan kerabat yang lain. Selanjutnya, manusia
akan digolongkan ke dalam tingkatantingkatan lokalitas geografis untuk membentuk
organisasi sosial dalam kehidupannya.

Kekerabatan berkaitan dengan pengertian tentang perkawinan dalam suatu masyarakat


karena perkawinan merupakan inti atau dasar pembentukan suatu komunitas atau organisasi
sosial. Perkawinan diartikan sebagai penyatuan dua orang yang berbeda jenis kelamin untuk

7
membagi sebagian besar hidup mereka bersamasama. Namun, definisi perkawinan tersebut
bisa diperluas karena aktivitas tersebut mengandung berbagai unsur yang melibatkan kerabat
luasnya.

A. Jenis Perkawinan

Dilihat dari jenis perkawinan, Marvin Harris mengelompokkan perkawinan menjadi


beberapa macam, antara lain sebagai berikut :

1.) Monogami : Menikah dengan satu orang saja.

2.) Poligami : Menikah dengan beberapa orang.

3.) Poliandri : Seorang perempuan menikahi beberapa orang laki-laki.

4.) Poligini : Satu orang laki-laki menikahi beberapa orang perempuan.

5.) Perkawinan Kelompok (Group Marriage) : Jenis perkawinan yang memperbolehkan


laki-laki dengan beberapa wanita dapat melakukan hubungan seks satu sama lain.

6.) Levirat : Perkawinan antara seorang janda dengan saudara laki-laki suaminya yang sudah
meninggal.

7.) Sororat : Perkawinan antara seorang duda dengan saudara perempuan istri yang sudah
meninggal.

B. Prinsip Jodoh Ideal

Dalam sistem perkawinan masyarakat terdapat dua jenis pemilihan calon pasangan
yang dianggap sesuai menurut adat masyarakat setempat, antara lain sebagai berikut :

1.) Prinsip Endogami : Prinsip endogami adalah memilih calon pasangan dari dalam
kerabatnya sendiri. Hal ini bisa dilihat dalam masarakat Jawa kuno yang memilih sepupu jauh
sebagai jodoh ideal. Dalam masyarakat yang menganut sistem kasta seperti masyarakat Bali
prinsip ini dipegang teguh untuk menjaga kemurnian darah kebangsawanan.

2.) Prinsip Eksogami : Prinsip eksogami adalah memilih calon pasangan yang berasal dari
luar kerabat atau klannya. Masyarakat Batak mempraktikkan hal ini dengan konsep dalihan
na tolu, yakni menikahkan gadis antarkelompok kekerabatan yang berbeda marga.

Pola perkawinan tersebut memang masih dianut oleh masyarakat setempat yang
mempraktikkannya meskipun arus modernisasi telah mulai menggeser kebiasaan tersebut.

8
Misalnya, masyarakat Jawa sudah mulai meninggalkan kebiasaan mencari jodoh ideal yang
berasal dari satu kerabat dan mulai mencari jodoh di luar kerabatnya sendiri. Pergeseran nilai
dan norma masyarakat serta perkembangan zaman mulai mengubah prinsip kekerabatan
dalam perkawinan.

C. Adat Menetap

Adat menetap sesudah menikah juga termasuk dalam bahasan mengenai kekerabatan.
Dalam analisis antropologi Koentjaraningrat menyebutkan adanya tujuh macam adat menetap
sesudah menikah, antara lain sebagai berikut.:

1.) Utrolokal : Kebebasan untuk menetap di sekitar kediaman kerabat suami atau istri.

2.) Virilokal : Adat yang menetapkan pengantin harus tinggal di sekitar pusat kediaman
kaum kerabat suaminya.

3.) Uxorilokal : Adat yang menetapkan pengantin untuk tinggal di pusat kediaman keluarga
istri.

4.) Bilokal : Adat yang menetapkan pengantin untuk tinggal dalam sekitar pusat kediaman
kerabat suami dan istri secara bergantian.

5.) Avunlokal : Adat yang menetapkan pengantin untuk tinggal di sekitar tempat kediaman
saudara laki-laki dari suami ibu.

6.) Natolokal : Adat yang menetapkan pengantin untuk tinggal terpisah dan suami tinggal di
rumah kerabatnya.

7.) Neolokal : Adat yang menetapkan pengantin untuk tinggal di kediaman baru yang tidak
mengelompok di rumah kerabat suami ataupun istri.

D. Keluarga Batih dan Keluarga Luas

Di dalam perkawinan terbentuklah keluarga batih atau keluarga inti yang anggotanya
terdiri atas ayah, ibu, dan anak. Keluarga batih atau nuclear family adalah kelompok sosial
terkecil dalam masyarakat yang didasarkan atas adanya hubungan darah para anggota. Dari
beberapa keluarga inti akan terbentuk keluarga luas (extended family).

2.4 SISTEM PERALATAN HIDUP DAN TEKNOLOGI

Manusia selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka akan


selalu membuat peralatan atau benda-benda tersebut. Perhatian awal para antropolog dalam
9
memahami kebudayaan manusia berdasarkan unsur teknologi yang dipakai suatu masyarakat
berupa benda-benda yang dijadikan sebagai peralatan hidup dengan bentuk dan teknologi
yang masih sederhana. Dengan demikian, bahasan tentang unsur kebudayaan yang termasuk
dalam peralatan hidup dan teknologi merupakan bahasan kebudayaan fisik.

Menurut Koentjaraningrat, pada masyarakat tradisional terdapat delapan macam


sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik yang digunakan oleh kelompok manusia yang
hidup berpindah-pindah atau masyarakat pertanian, antara lain sebagai berikut.

A. Alat-Alat Produktif

Alat-alat produktif adalah alat-alat untuk melaksanakan suatu pekerjaan berupa alat
sederhana seperti batu untuk menumbuk gandum atau untuk menumbuk padi dan alat-alat
berteknologi kompleks seperti alat untuk menenun kain. Jenisjenis alat-alat produktif ini
dapat dibagi berdasarkan bahan mentahnya, yaitu yang terbuat dari batu, kayu, logam,
bambu, dan tulang binatang. Berdasarkan teknik pembuatannya alatalat produktif dibedakan
berdasarkan teknik pemukulan (percussion flaking), teknik penekanan (pressure flaking),
teknik pemecahan (chipping), dan teknik penggilingan (grinding).

Berdasarkan pemakaiannya, alat-alat produktif dapat dibedakan menurut fungsinya


dan menurut jenis peralatannya. Berdasarkan fungsinya, alat-alat produktif dapat dibedakan
berdasarkan jenis alat potong, alat tusuk, pembuat lubang, alat pukul, alat penggiling, dan alat
pembuat api. Berdasarkan jenis peralatannya, alat-alat produktif dapat dibedakan menjadi alat
tenun, alat rumah tangga, alat-alat pertanian, alat penangkap ikan, dan jerat perangkap
binatang.

Namun, alat produktif pada saat ini tidak dibatasi hanya berdasarkan pada alat-alat
yang dibuat secara manual. Alat-alat produktif pada masyarakat masa kini semakin beragam
dengan ditemukannya mesin dan alat listrik hingga teknologi yang dihasilkan dan digunakan
juga lebih canggih dan kompleks. Selanjutnya, dalam perkembangan kebudayaan manusia
alat-alat bertenaga mesin dan listrik merupakan peralatan hidup manusia yang penting.

B. Senjata

Sebagai alat produktif, senjata digunakan untuk mempertahankan diri atau melakukan
aktivitas ekonomi seperti berburu dan menangkap ikan. Namun, sebagai alat produktif senjata
juga digunakan untuk berperang. Berdasarkan bahannya, senjata dibedakan menurut bahan
dari kayu, besi, dan logam. Pada saat ini pengertian senjata telah menyempit hanya sebagai

10
alat yang digunakan untuk mempertahankan diri dari serangan dan alat untuk berperang
seperti senjata modern dan senjata nuklir yang memiliki daya hancur yang relatif tinggi.

C. Wadah

Alat produktif berupa wadah dalam bahasa Inggris disebut container. Wadah adalah
alat untuk menyimpan, menimbun, dan memuat barang. Peralatan hidup berupa wadah
banyak dipakai pada zaman prasejarah pada saat manusia mulai memanfaatkan alam untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada zaman prasejarah anyaman dari kulit atau serat kayu
menjadi pilihan masyarakat. Selanjutnya, terjadi perkembangan alat produksi dengan
ditemukannya teknik membuat gerabah (pottery) yang banyak dibuat dari bahan tanah liat.
Seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi manusia maka bentuk dan jenis wadah pun
mulai berkembang. Misalnya, di dalam aktivitas pertanian menuntut suatu tempat
penyimpanan hasil pertanian sehingga dibuatlah wadah berupa lumbung padi permanen.

D. Alat-Alat Menyalakan Api

Masyarakat zaman prasejarah membuat teknologi untuk menyalakan api dengan


menggesek-gesekkan dua buah batu. Dengan ditemukannya bahan bakar minyak dan gas
maka pembuatan api menjadi lebih mudah dan efisien. Api merupakan unsur penting dalam
kehidupan manusia sehingga pembuatannya menuntut teknologi yang semakin maju.

E. Makanan, Minuman, Bahan Pembangkit Gairah, dan Jamu-jamuan

Dalam sistem pengetahuan cara-cara memasak menarik untuk dikaji karena setiap
kelompok masyarakat dan kebudayaan memiliki sistem pengetahuan dan kebiasaan yang
berbeda-beda dalam mengolah makanan atau minuman. Di dalam antropologi jenisjenis dan
bahan makanan tertentu memberikan arti atau simbol khusus bagi masyarakat tertentu atau
dikaitkan dengan konsepsi keagamaan tertentu. Misalnya, babi dan katak adalah binatang
yang diyakini haram oleh kaum muslim sehingga tidak boleh dimakan. Sebaliknya, dalam
masyarakat Papua, babi menjadi simbol makanan penting karena merupakan binatang yang
dijadikan mahar dalam pesta perkawinan. Dalam kajian antropologi masyarakat kontemporer,
pembahasan mengenai makanan dan minuman disebut dengan istilah kuliner (culinair).

F. Pakaian dan Tempat Perhiasan

Pakaian merupakan kebutuhan dasar manusia untuk melindungi diri dari perubahan
cuaca. Pembahasan fungsi pakaian sebagai alat produktif dalam antropologi adalah pada

11
bagaimana teknik pembuatan serta cara-cara menghias pakaian dan tempat perhiasan. Dalam
suatu masyarakat pakaian seolah menjadi bagian dari tradisi atau adat istiadat sehingga setiap
negara atau suku bangsa memiliki pakaian adat atau kebesarannya sendiri. Di dalam
masyarakat Indonesia yang sangat majemuk setiap suku bangsa memiliki pakaian adatnya
masing-masing yang berfungsi sebagai simbol-simbol budaya tertentu yang
merepresentasikan adat istiadat dan nilai-nilai suku bangsa tersebut.

G. Tempat Berlindung dan Perumahan

Rumah atau tempat berlindung merupakan wujud kebudayaan yang mengandung


unsur teknologi. Manusia membuat tempat tinggalnya senyaman mungkin disesuaikan
dengan lingkungan alam sekitarnya. Masyarakat Eskimo yang tinggal di daerah kutub utara
membuat rumahnya dari susunan balokbalok es untuk menahan serangan dingin. Masyarakat
Minangkabau membuat bentuk rumah panggung untuk menghindarkan diri dari binatang
buas. Dalam masyarakat Jawa dibuat rumah berarsitektur jendela besar karena suhu udara
yang tropis dan lembab. Berdasarkan bangunannya, semua bentuk rumah dalam setiap
kelompok masyarakat harus disesuaikan dengan kondisi alam sekitarnya.

Pada saat ini banyak dijumpai di perkotaan perumahan dengan istilah realestat,
kondominium, apartemen, dan rumah susun. Untuk mengantisipasi dan menanggulangi
kepadatan penduduk di daerah perkotaan maka dibangun sistem rumah susun. Semua bentuk
rumah atau tempat tinggal merupakan hasil teknologi manusia yang mencerminkan
kebudayaannya masing-masing.

H. Alat-Alat Transportasi

Manusia memiliki sifat selalu ingin bergerak dan berpindah tempat. Mobilitas
manusia tersebut semakin lama semakin tinggi sehingga dibutuhkan alat transportasi yang
bisa mencukupi kebutuhan untuk memudahkan manusia dan barang. Kebutuhan mobilitas
manusia tidak hanya muncul di zaman Rumah atau tempat berlindung merupakan wujud
kebudayaan yang mengandung unsur teknologi. Manusia membuat tempat tinggalnya
senyaman mungkin disesuaikan dengan lingkungan alam sekitarnya.

Masyarakat Eskimo yang tinggal di daerah kutub utara membuat rumahnya dari
susunan balokbalok es untuk menahan serangan dingin. Masyarakat Minangkabau membuat
bentuk rumah panggung untuk menghindarkan diri dari binatang buas. Dalam masyarakat
Jawa dibuat rumah berarsitektur jendela besar karena suhu udara yang tropis dan lembab.

12
Berdasarkan bangunannya, semua bentuk modern seperti sekarang ini, namun sudah
ada sejak saat zaman prasejarah. Menurut fungsinya alat-alat transpor yang terpenting adalah
sepatu, binatang, kapal terbang, atau motor dan meninggalkan alat transportasi binatang,
seperti kuda, anjing, atau lembu karena dianggap tidak praktis dan efisien.

Sebelum ditemukannya roda, alat transportasi masih banyak menggunakan alas kaki
atau alat seret yang diikatkan pada hewan seperti pada alat angkut orang Indian di Amerika.
Penemuan roda menjadi dasar penemuan berbagai mesin, pesawat, dan alat transportasi yang
semakin maju, seperti mobil, kapal, pesawat terbang, dan kereta.

2.5 SISTEM MATA PENCAHARIAN

Mayoritas masyarakat sunda berprofesi sebagai petani termasuk juga berhuma,


penambang pasir, dan juga berladang. Hal ini dikarenakan daerah Jawa Barat merupakan
daerah yang mempunyai iklim tropis dengan curah hujan yang sangat tinggi. Keadaan iklim
yang demikian disertai pula dengan endapan vulkanis, mengakibatkan lahan menjadi subur
dan baik untuk pertanian. Oleh karena itu, sebagian besar wilayah Jawa Barat telah
dipergunakan untuk pertanian, yaitu usaha sawah 22%. perkebunan 10%, kebun campuran
13%, dan ladang 15%. Sisanya terdiri dari hutan 22%, pemukiman 6%, dan lain-lain 12%.
Perkebunan banyak terdapat didaerah ini seperti perkebunan teh, kelapa sawit, kina dan juga
tebu. Istilah bertani ini sudah lama dikenal oleh masyarakat sunda. Dulu masyarakat sunda
bertani di ladang tetapi seiring berkembangnya zaman kegiatan bertani dilakukan di sawah.

2.6 SISTEM RELIGI / KEPERCAYAAN

Masyarakat Sunda merupakan salah satu suku di Indoneisa yang mayoritas beragama
Islam. Sekitar 80% masyarakat Sunda beragama Islam dan sisanya beragama Katolik,
Kristen, Hindu dan Buddha. Dalam kehidupan masyarakat sunda, meskipun mereka telah
mengenal agama Islam, namun dalam praktik kehidupan sehari-harinya mereka masih
menjalankan praktik-praktik sinkretisme dan mistik.

Seperti Kebiasaan mereka memberikan sesajen pada setiap malam selasa dan jumat
masih tampak pada sebagian masyarkat. Masyarakat Sunda juga memiliki upacara-upacara
tertentu yang dilakukan dalam tingkat-tingkat sepanjang hidup manusia atau daur hidup,
seperti tingkat masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa pubertas,
masa sesudah kawin, masa hamil dan masa tua. Di setiap tingkat kehidupan itu, biasanya
masyarakat Sunda melakukan upacara-upacara. Upacara yang saat ini lazim dilakukan oleh

13
masyarakat Sunda yaitu upacara hamil tujuh bulan atau tingkeban, sunatan, perkawinan, dan
berakhir pada upacara kematian.

2.7 KESENIAN

Dalam kebudayaan sunda terdapat beragam kesenian seperti :

A. Pakaian Adat Suku Sunda

Biasanya,di suku Sunda kaum pria menggunakan jas dengan leher tertutup, celana
panjang, kain batik yang dililit di pinggang, dan memakai nutup kepala serupa blankon.
Sementara kaum wanita memakai kebaya, kain batik dan selendang. Untuk hiasannya
memakai kalung dan hiasan kepala berupa kembang goyang lengkap dengan melati. Pakaian
adat suku Sunda ini juga menjadi pakaian resmi Provinsi Jawa Barat.

Hal ini disebabkan karena masyarakat Sunda merupakan suku terbesar di Provinsi
Jawa Barat. Selain karena itu, juga karena pakaian Adat masyarakat Sunda tergolong indah
dan menarik. Tentunya cara berpakaian dan model atau jenis pakaian suku Sunda menjadi ciri
khas mereka. Pakain itu membuat mereka dikenal oleh suku lain. Cara berpakaian suku sunda
ini sudah menjadi standar kesopanan dan layak dipakai di depan umum.

B. Rumah Adat Suku Sunda

Secara umum rumah tradisional Sunda adalah sebuah rumah panggung sama seperti
rumah-rumah tradisional lainnya yang ada di Indonesia. Walaupun rumah adat suku Sunda
memiliki kesamaan dengan suku lainnya, namun rumah adat suku Sunda tentunya memiliki
perbedaan dengan rumah adat suku lainnya. Sebenarnya bentuk atau arsitektur rumah Sunda
dipengaruhi oleh tradisi dan dan adat istiadat. Rumah adat Sunda yang berbentuk panggung
ini memilki arti bahwa rumah tidak boleh menempel ke tanah untuk menghormati orang yang

14
sudah meninggal. Biasanya, rumah tradisonal sunda terbuat dari bahan-bahan alam seperti
kayu, bamboo, ijuk, dan pelepah daun kelapa.

Ada banyak hal yang mempengaruhi bentuk rumah adat suku Sunda. Selain adat
istiadat, faktor alam pun memengaruhi arsitektur rumah Sunda. Kondisi topografi yang
berbeda-beda memengruhi penempatan rumah yang disesuaikan dengan keadaan, fungsi, dan
kebutuhan masyarakat Sunda. Karena pemukiman di daerah masyarakat Sunda berbeda-beda.
maka pola rumahnya pun berbeda-beda. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan, fungsi, dan
keadaan kondisi alam yang ada. Pola rumah ini terbagi menjadi tiga, antara lain: pola linear,
pola terpusat, dan pola radial.

Berdasarkan atapnya, rumah adat suku sunda terbagi menjadi :

1.) Jolopong : Sebutan untuk rumat adat dengan atap memanjang.

2.) Tagong Anjing / Jogog Anjing : Sebutan untuk rumah yang atapnya mirip dengan
bentuk atap badak heuay, tetapi dibagian sambungan tidak dilebihkan ke atas. Bentuk ini
mirip dengan rumah adat jolopong.

3.) Badak Heuay : Sebutan untuk rumah yang memiliki bubungan sehingga sekilas seperti
badak yang sedang menguap.

4.) Perahu Kumureb / Perahu Nangkup : Sebutan untuk rumah yang atapnya seperti
perahu terbalik.

5.) Capi Gunting : Sebutan untuk rumah yang setiap ujung atas, pertemuan kasau anatara
dua sisinya, dibuat saling menyilang seperti gunting

6.) Julang Ngapak : Sebutan untuk rumah yang kedua sisi atapnya melebar kesamping dan
lebih landai.

C. Tari Tradisonal

Banyak jenis tari yang dimiliki oleh masyarakat Sunda dan pada umumnya semuanya
sangat menarik dan mampu menghibur para penonto dan member kepuasan bagi pera
pemainnya. Tari tradisional yang dirkenal dari masyarakat Sunda yaitu tari Jaipong dan tari
Topeng Cirebon.

1.) Tari Jaipong : Jaipong merupakan tari pergaulan yang ceria, bersemangat, spontan, dan
sederhana. Biasanya diiringi dengan alat musik gamelan degung. Tari Jainpong. diciptakan

15
oleh Gugum Gumbiran Tirasonjaya. Jenis tari ini merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu.
Penghargaan masyarakat terhadap tari Jainpong sangat baik. Dengan cepat tarian ini menjadi
sangat popular, bahkan ditarikan dalam berbagai hajatan di kota maupun di kampung.

2.) Tari Topeng : Tari Topeng juga merupakan yang sering dipertunjukkan oleh masyarakat
Sunda. Tari Topeng ini sudah menyebar dan terkenal di seluruh kalangan masyarakat.

Kadang kala rakyat mempergunakan tarian ini untuk mencari nafkah. Dalam bahasa
Sunda pekerjaan seperti ini disebut "ngamen".

D. Alat Musik Tradisional

Pada umumnya, alat musik berguna untuk menghibur dan juga untuk mengiring lagu
dan tari-tarian. Adapun alat musik tradisional yang berasal dari masyarakat Sunda :

1.) Calung : Alat musik ini dibawakan dengan cara memukul bambu yang telah dipotong dan
dibentuk sedemikian rupa dengan pemukul kecil sehingga menghasilkan nada-nada yang
khas. Calung sudah umum di daerah Sunda bahkan di Provinsi Jawa Barat. Hal disebabkan
karena Provinsi Jawa Barat mayoritas penduduknya berasal dari suku Sunda. Dengan
demikian kebudayaan masyarakat Sunda lebih menonjol dibandingkan dengan suku lain yang
berada di Provinsi Jawa Barat.

2.) Angklung : Angklung merupakan alat kesenian yang terbuat dari bambu. Angklung
ditemukan oleh Daeng Sutigna sekitar tahaun 1938. Awal penggunaanya, angklung masih
sebatas kepentingan kesenian lokal atau tradisional. Walaupun bahan dasar angklung sama
dengan calung yaitu bambu, namun cara penggunaan atau cara memainkannya berbeda.
Biasanya angklung dimainkan dengan menggoyangkan atau mengetarkan.

3.) Kecapi Suling : Salah satu jenis kesenian Sunda yang memadukan suara alunan Suling
dengan Kacapi (kecapi), iramanya sangat merdu yang biasanya diiringi oleh mamaos.
(tembang) Sunda yang memerlukan cengkok/ alunan tingkat tinggi khas Sunda. Kacapi
Suling berkembang pesat di daerah Cianjur dan kemudian menyebar kepenjuru Parahiangan
Jawa Barat dan seluruh dunia.

E. Seni Sastra

Seni sastra yang terkenal dari masyarakat jawa yaitu: cerita pantun dan cerita
pahlawan yang dimuat dalam naskah-naskah.

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa di Indonesia yang
berusia tua. Dibandingkan dengan budaya yang lain pun, budaya sunda merupakan budaya
yang tertua di indonesia. Budaya sunda adalah budaya masyarakat yang memiliki nilai tinggi
dan merupakan salah satu kebudayaan nasional indonesia yang harus kita lestarikan. Budaya
sunda memiliki ragam kesenian, adat istiadat, bahasa dan sebagainya yang perlu kita jaga
keasliannya.

3.2 Saran

Kami sebagai penulis tentunya menyadari jika makalah di atas masih jauh dari
kesempurnaan baik dari tulisan ataupun bahasan kami. Oleh karena itu, kami selalu membuka
diri untuk menerima kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan dan penyempurnaan
dalam pembuatan makalah berikutnya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Devita N. R. RY. Kebudayaan Suku Sunda. 2015;(0361):236100.

Nurislaminingsih R. Pemetaan Pengetahuan Lokal Sunda dalam Koleksi di Museum Sri


Baduga. Lentera Pustaka J Kaji Ilmu Perpustakaan, Inf dan Kearsipan. 2019;5(2):109.

Budaya U. Unsur-unsur budaya. :53-76. https://repository.dinus.ac.id/docs/ajar/usur-


unsur_budaya.pdf

Anwar, Hendi, Nugraha, Hafizh A. Rumah Etnik Sunda. Jakarta: Griya Kreasi, Februari
2013.

Herayati, Yetti et al. Makanan: Wujud, Fariasi, dan Fungsi Serta Cara Penyajian Pada Orang
Jawa Barat. [tanpa tempat), Direktoral Jenderal Kebudayaan, 1 januari 1993.

Pram, Suku Bangsa Dunia dan Kebudayaanya. Jakarta: Cerdas Imperaktif, 2013.Riski, R.

Rohmat Kurnia, Mengenal Keanekaragaman Suku Sunda (Depok: CV. Arya Duta, 2011).

Wibosono, T. Mengenal Seni dan Budaya Indonesia. Jakarta: Cerdas Imperaktif. 'Desember
2012.

18

Anda mungkin juga menyukai