Anda di halaman 1dari 4

Nama : Melati Ningsih

NIM : 22042252
Tugas Ringkasan Pertemuan 7 PSI
Era Kolonialisme Hindia-Belanda
1. Konsep Kolonialisme: Pax Neerlandika
Menurut Sartono, sejarah nasional adalah “perkembangan Indonesia selama
berabad-abad di mana bagian-bagiannya secara bertahap terintegrasi ke dalam satu unit
tunggal”. Yang mana integrasi itu sudah berlangsung sejak zaman prasejarah melalui
pelayaran dan perdagangan.
Menurut Sartono juga, “Pax Neerlandica (1800-1942) telah menciptakan jaringan
birokrasi, komunikasi, sistem transportasi, agro-industrialisasi, dan sistem pendidikan.
Jaringan ini dilengkapi pula dengan rasionalisasi, komersialisasi, urbanisasi dan
modernisasi.”
2. Transisi dari VOC ke Tangan Pemerintah Hindia Belanda
Dari kedatangan awal hingga berhasil mendapatkan hegemoni (kekuasaan) atas
perdagangan dan perniagaan laut di Indonesia. Belanda sudah mencapai kemajuan yang
pesat. Namun, karena terjadinya bentrok antar pedagang di Belanda dan penumpukkan
rempah di Belanda sehingga mempengaruhi harga rempah. Maka dari itu dibentuklah
persatuan perusahaan Hindia Timur yang disebut sebagai VOC (Vereenigde
Ootindische Compagnie).
Akan tetapi setelah berada dalam puncak kejayaannya. VOC malah goyah. Hal ini
karena beberapa oknum melakukan korupsi dana secara besar-besaran dan perlawanan
dari sebagian besar masyarakat pribumi. Serta adanya perlawanan dari pihak lawan
yang ingin menguasai daerah nusantara yang dipegang oleh Belanda. Seperti Inggris.
VOC pun gulung tikar.
Pada masa itu, Louis Napoleon yang diangkat oleh Napoleon Bonaparte untuk
memimpin dan memegang kekuasaan Belanda, mengirim Marsekal Herman Willem
Daendels ke Batavia. Untuk menjadi gubernur jendral pada tahun 1808-1811. Daendels
yang merupakan seorang pemuja prinsip-prinsip pemerintahan yang revolusioner
membawa semangat pembaruan dan metode-metode kediktaktoran ke Jawa. Sayangnya
hasil yang didapat tak sebanding dengan perlawanan yang berasal dari masyarakat
pribumi.
3. Kebijakan dan Praktek Ekonomi Kolonial (Kultur Stelsel)
Sebelum adanya kultur Stelsel. Tepatnya di tahun 1827, pihak Belanda menerapkan
sistem-benteng atau yang disebut benteng stelsel. Yang mana berfungsi untuk melawan
gerombolan pemberontakan dari pribumi. Sehingga di tahun 1830, Belanda memulai
penjajahan yang sebenarnya. Di mana mereka mampu mengekploitasi dan menguasai
pulau jawa, dan tidak ada satu pun yang mampu menyingkirkan mereka sampai abad
ke 20.
Dalam bukunya, Ricklefs menuliskan hasil pemikiran Van den Bosch tentang
culturstelsel. Culturstelsel tidak pernah dirumuskan secara eksplisit, tetapi tampaknya
sistem itu didasarkan pada suatu prinsip umu yang sederhana. Desa-desa Jawa
berhutang pajak tanah (land rent) kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan
sebesar 40% dari hasil panen utama desa itu (beras). Dalam kenyataannya, taksiran
yang sesungguhnya sering kali di bawah angka ini dan pemungutan pajak tersebut
(sebagian besar dibayar dalam uang tunai) sering kali sulit dilaksanakan karena tidak
memadainya administrasi dan adanya kekurangan mata uang. Rencana Van den Bosch
ialah bahwa setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya guna ditanami komoditi
ekspor (kopi, tebu dan nila) untuk dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang
sudah ditentukan. Dengan begitu, desa akan mampu melunasi hutang pajak tanahnya,
dan Van den Bosch memperkirakan bahwa 20% (kelak akan menjadi 33%) dari hasil
panen desa tersebut akan cukup memadai untuk tujuan ini. Apabila pendapatan desa
dari penjualan hasil panennya kepada pemerintah lebih banyak daripada pajak tanah
yang harus dibayarnya, maka desa itu akan menerima kelebihannya; apabila kurang,
maka desa tersebut masih tetap harus membayar kekurangannya dari sumber-sumber
lain.
Dalam teori, setiap pihak akan memperole keuntungan dari sistem ini. Namun, dalam
praktik, tidak perna ada ‘sistem’ sama sekali. Konsepnya pun berubah dari keuntungan
untuk semua pihak menjadi pemerasan.
Sebenarnya, Culturstelsel sama halnya dengan penyerahan wajib komoditi ekspor
kepada pemerintah, dan sangat mirip dengan sistem penyerahan wajib yang telah
dijalankan VOC terhadap kopi di Priangan pada abad ke 18.
4. Liberialisme dan Politik Etis 1901
Politik Etis adalah kebijakan yang mengurangi pemikiran eksploitasi Indonesia
sebagai alasan utama kekuasaan Belanda dan digantikan dengan pernyataan-
pernyataan keprihatinan atas kesejahteraan bangsa Indonesia. Yang mana melahirkan
perubahan-perubahan yang begitu mendasarnya di lingkungan penjajahan. Meskipun
dalam kebijakan tersebut lebih banyak janji ketimbang dengan pelaksanaannya dan
fakta-fakta penting tentang eksploitasi pun tidak ada yang berubah. Dan selama zaman
liberal (± 1870-1900), kapitalisme swasta memainkan pengaruh yang sangat
menentukan terhadap kebijakan penjajahan. Industri Belanda mulai melihat Indonesia
sebagai pasar yang potensial yang standar hidupnya perlu ditingkatkan. Modal Belanda
maupun internasional mencari peluang-peluang baru bagi investasi dan eksploitasi
bahan-bahan mentah, khususnya di daerah-daerah luar Jawa.
Pada tahun 1901 Ratu Wilhelmina yang menjabat sejak tahun 1890 sampai dengan
1948 mengumumkan suatu penyelidikan tentang kesejahteraan di jawa, dan dengan
demikian politik etis secara resmi disahkan. Pada tahun 1902, Alexander W.F. Idenburg
menjadi Menteri Urusan Daerah Jajahan(1902-1905, 1908-1909, 1918-1919). Dengan
memegang jabatan ini dan jabata Gubernur Jendral (1909-1916), Idenburg pun
mempraktikan pemikiran-pemikiran politik Etis, lebih daripada siapa pun. Pihak
Belanda menyebutkan tiga prinsip yang diangga merupakan dasar kebijakan baru.
a. Pendidikan
b. Pengairan
c. Perpindahan Penduduk
Untuk melaksanakan ketiga proyek itu, Belanda membutuhkan biaya sehingga
hutang pemerintah kolonial Belanda mencapai 40 juta Gulden. Sehingga politik Etis
mulai berjalan.
5. Krisis Ekonomi 1930 dan Recovery Menjelang Kejatuhan Belanda sebelum PD II
Dalam bukunya Ricklefs menuliskan tentang bagaimana kondisi ekonomi di
Indonesia pada tahun 1930. Sebagaimana dengan adanya tanda-tanda krisis yang alam
datang di negara-negara industri sebelum kejatuhan Wall Street pada Oktober 1929.
Harga beberapa produk Indonesia yang terkenal mengalami penurunan dan pasar
ekspor gula mulai menurun karena produksi gula sudah bisa dilakukan di mana saja,
terutama Inggris dan Jepang. Namun, tak ada yang cukup siap untuk menghadapi apa
yang akan terjadi setelah Oktober 1929. Indonesia yang sangat bergantung pada ekspor,
terutama pada minyak bumi dan pertanian. Di tahun 1930, sebanyak 52% dari produk
ini di ekspor ke Eropa dan Amerika Utara. Krisi Ekonomi di kedua daratan ini yang
berakibat diberlakukannya kebijakan proteksi secara menyeluruh ditambah dengan
harga-harga yang menurun, tiba-tiba menjerumuskan Indonesia ke dalam suatu krisis
ekonomi yang tak penah sepenuhnya teratasi sebelum jatuhnya Belanda dan
penaklukan oleh bangsa Jepang pada tahun 1942.
Pada awalnya, di tahun 1929 harga rata-rata ekspor menurun drastis. Pada tahun
1935, penurunan terjadi hingga nilai ekspor tersisa hanya 32% saja. Volume ekspor
yang menurun membuat kebijakan proteksi pun diberlakukan.
Dampak terhadap berbagai sektor amat beragam. Pada tahun 1932, harga karet
hanya 16% dari tahun 1929. Gula menurun drastis. Lahan garapan tebu pun dikurangi
dengan cepat. Pada tahun 1934 ada 200.000 hektar yang digarap, sedangkan di tahun
1939 hanya ada 90.000 hektar. Hal ini juga berlaku pada para pekerja yang bekerja di
kebun di Sumatra Timur. Pada tahun 1930 ada 336.000 pekerja. Sedangkan di tahun
1934 hanya ada 160.000 pekerja.
Karena ekspor yang menurun, maka impor pun dikurang, termasuk bahan
makanan. Pendapatan pemerintah yang sebagian besar didapat dari hasil retribusi dan
pajak pendapatan dan pengeluaran. Maka, Batavia sekarang menghadapi krisi
pendapatan.
Dampak krisis ini jelas sangat membahayakan. Seperti yang dikatakan oleh
beberapa pengamat Belanda, bahwa para pekerja Indonesia cenderung kembali ke
pertanian. Karena gaji yang turun dan jam kerja, serta kondisi yang memburuk.
Ditambah dengan harga produk pangan yang hampir sama dengan gaji mereka. Namun,
bukan berarti tidak ada yang bertahan sebagai pegawai pada sektor formal di kota.
Karena, Organisasi kesejahteraan Indonesia seperti Muhammadiyah dan beberapa
partai politik mengadakan kegiatan yang dapat membantu di tingkat desa. Inilah yang
terjadi pada masa Recovery jatuhnya Belanda di tahun 1930 sebelum Jepang datang
dan mengambil peran sebagai penjajah.
DAFTAR PUSTAKA

Kartodirdjo, Sartono.2014.Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 : Dari Emporium


sampai Imperium.Yogyakarta.Ombak
Ricklefs, M.C.2001.Sejarah Indonesia Modern 1200-2004.Jakarta : PT Ikrar Mandiriabadi.

Anda mungkin juga menyukai